Ceritasilat Novel Online

Pendekar Sadis 38


Pendekar Sadis Karya Kho Ping Hoo Bagian 38



Oleh karena itu, diapun lalu pergi menuju ke Tai-goan. Dia telah berhasil menundukkan dua di antara empat datuk kaum sesat. Pertama, Lam-sin telah ditundukkan, dan ke dua, See-thian-ong telah berhasil ditewaskannya. Kini tiba giliran Pak-san-kui! Datuk itupun merupakan musuhnya, dan sekali ini dia harus dapat menghancurkan Pak-san-kui seperti yang telah dilakukannya terhadap See-thian-ong. Akan tetapi perjalanannya sekali ini terasa kosong dan tidak menyenangkan. Pernah dia merasakan hal yang mirip dengan perasaannya sekarang ini, yaitu ketika dia mendapat kenyataan bahwa Ciu Lian Hong telah memilih Han Tiong, kakak angkatnya, daripada dia. Dia merasa nelangsa sekali, merasa ditinggalkan dan terpencil, dan timbullah perasaan kesepian yang menimbulkan rasa iba diri dan merasa dirinya sengsara.

   Rasa kesepian bukan hanya melanda dalam hati orang seperti Thian Sin, melainkan pernah dialami oleh hampir seluruh manusia di dunia ini. Suatu perasaan kosong, perasaan betapa hidup ini terpencil dan sendirian tanpa ada arti yang mendalam. Kita melihat betapa kita dipermainkan oleh suka duka, lebih banyak dukanya daripada sukanya, lebih banyak susahnya daripada senangnya. Kesenangan-kesenangan yang mula-mula menggembirakan hati, makin lama menjadi semakin hambar tanpa arti. Kita mencari yang lebih! Semua kesenangan kita jangkau, akan tetapi setelah terdapat lalu kehilangan artinya, menjadi hambar dan kembali kita terbenam ke dalam kekosongan. Dan kita teringat bahwa pada suatu saat semua ini akan berakhir, tanpa arti sama sekali, seolah-olah kita ini hanya seperti angin lalu,

   Hidup ini seperti segumpal awan yang melayang di angkasa kemudian lenyap untuk digantikan oleh gumpalan-gumpalan awan lainnya. Rasa kesepian ini mengundang rasa takut, khawatir akan masa depan kita, akan hari kemudian kita, baik hari kemudian ketika kita masih hidup maupun sesudah mati. Kita takut menghadapi kekosongan ini dan kita selalu berdaya upaya untuk mencari sesuatu yang ada isinya, untuk dapat menghibur hati kita. Kita takut berhadapan dengan rasa kesepian, maka kitapun lari ke apa saja yang kiranya dapat menghibur kita, dapat mengusir rasa kesepian itu, yang dapat membuat kita lupa akan rasa kesepian yang menakutkan. Namun, pelarian diri, hiburan-hiburan itu hanya membuat kita lupa sebentar saja dan rasa kesepian akan datang lagi menekan hati,

   Membuat kita gelisah dan tidak dapat tidur, dan kalau sudah tidur terisi oleh mimpi-mimpi buruk. Apapun yang kita lakukan untuk mengusir rasa takut dan kesepian, akhirnya hanya akan memperkuat benih rasa takut dan kesepian itu sendiri yang akan terus mengejar-ngejar kita. Dan kita tidak mungkin selalu memenuhi diri dengan hiburan-hiburan untuk melupakannya. Sekali waktu kita pasti berada seorang diri dalam batin, walaupun banyak orang mengelilingi kita, dan rasa kesepian itu akan semakin mencekik, mendatangkan rasa nelangsa, merasa sengsara dan iba diri. Rasa kesepian ini pasti timbul secara menakutkan kalau kita membayang-bayangkan masa depan kita, membayangkan masa tua di mana kita takkan banyak berguna lagi bagi dunia, di mana kita tidak akan dibutuhkan lagi oleh orang lain,

   Ketika tidak ada orang yang mengacuhkan kita, tidak ada orang yang memperhatikan dan mencinta kita lagi. Rasa takut dan kesepian timbul kalau kita membayangkan betapa kita akhirnya akan terpisah dari semua yang kita senangi, kita akan bersendirian! Sendirian! Tidak ada siapa-siapa yang mempedulikan kita, tidak ada siapapun yang mencinta kita! Kalau kita mau waspada, kalau kita mau menghadapi rasa kesepian yang mendatangkan rasa takut itu, menghadapinya dengan terbuka, tanpa melarikan diri melainkan kalau kita menyelidiki dengan penuh kewaspadaan, membuka mata memandangnya dengan cermat, maka akan nampaklah bagaimana rasa takut itu, bagaimana kepalanya dan bagaimana ekornya. Rasa takut akan kesepian timbul dari bayangan yang kita ciptakan sejak kecil, bayangan berupa si aku yang selalu ingin ada dan berkuasa.

   Si aku inilah yang merasa ngeri kalau-kalau dia tidak ada lagi, kalau-kalau dia lenyap dari keadaannya. Dan si aku ini hanyalah bayangan belaka, ciptaan dari pikiran yang ingin mengulang pengalaman yang menyenangkan dan menjauhi pengalaman yang tidak menyenangkan. Kalau kita tidak melarikan diri, kalau kita menghadapi rasa kesepian yang mendatangkan rasa takut itu, rasa iba diri itu, kalau kita menghadapinya dan memandangnya tanpa berusaha untuk menekan atau mengendalikan, tanpa mengutuk dan membelanya, melainkan mengamatinya saja penuh kewaspadaan, maka pengamatan yang waspada penuh perhatian itu sendiri yang akan menghentikan rasa takut dan rasa kesepian ini. Asalkan kita tidak terkecoh oleh si aku yang licik itu, asalkan yang mengamati bukanlah si aku itu pula,

   Karena kalau yang mengamati itu adalah si aku, maka akan timbullah pula keinginan agar rasa takut itu lenyap! Dan keinginan dari si aku inilah justeru yang memperkuat adanya rasa takut itu sendiri, karena rasa takut rasa kesepian itu bukan lain adalah si aku itu juga! Dan kalau rasa takut akan kesepian itu sudah tidak ada lagi, maka berada sendirian bukan lagi merupakan kesepian, melainkan keheningan. Dan keheningan bukanlah rasa kesepian. Keheningan merupakan sesuatu yang amat mendalam, yang amat luas, yang mencakup seluruh alam, di mana getaran cinta kasih mencapai puncaknya, di mana sinar cinta kasih bercahaya tanpa halangan sesuatupun. Di dalam perjalanannya menuju ke Tai-goan, Thian Sin sering kali termenung seorang diri dengan peasaan kosong dan sunyi. Dia sering kali membayangkan semua pengalamannya, semua perbuatannya.

   Dia telah dijuluki Pendekar Sadis, dan dia tidak merasa menyesal atau malu dengan julukan itu. Biarlah dia dikatakan sadis, akan tetapi dia bersikap kejam hanya terhadap para penjahat! Dia memang sudah berniat untuk membasmi para penjahat dengan kekerasan, dengan menggunakan ilmu kepandaiannya. Dia akan menghancurkan semua datuk kaum sesat dan memperkenalkan diri sebagai pembasmi para datuk, menjadi jagoan nomor satu di dunia ini, melanjutkan cita-cita mendiang ayah kandungnya yang ingin menjadi jagoan nomor satu di dunia. Dia menganggap bahwa semua tindakan itu benar, dan menurut pendapatnya, kalau semua pendekar di dunia ini bertindak seperti dia, membasmi para penjahat tanpa ampun lagi, maka dunia akan bersih dari kejahatan!

   Sungguh dangkal sekali jalan pikiran pendekar muda ini. Sayang! Akan tetapi, dalam pikiran kitapun amat seringnya muncul pendapat yang sama seperti pendapat Thian Sin ini. Bagi kita, yang dinamakan "adil"

   Adalah kalau yang berbuat jahat itu dihukum berat, dan menurut pendapat kita, kalau semua penjahat dihukum berat, maka tidak akan ada lagi kejahatan di dunia ini! Kita lupa bahwa kejahatan tak terpisahkan dari manusia itu sendiri, dan selama manusia belum dapat hidup waras lahir batin, maka kejahatan akan selalu timbul. Kalaupun seluruh manusia yang jahat di dunia ini dibasmi sehingga yang bersisa hanya tinggal dua orang saja, namun selama dua orang ini belum waras dalam arti yang seluas-luasnya, maka mungkin saja timbul kejahatan di antara kedua orang ini! Kejahatan adalah bentok kekerasan yang didasari keinginan menyenangkan diri sendiri.

   Diri sendiri ini bisa saja diperluas menjadi teman sendiri, keluarga sendiri, kelompok sendiri, aliran sendiri, bahkan bangsa sendiri. Dan mungkinkah membasmi kejahatan, yang merupakan suatu bentuk kekerasan, dengan jalan kekerasan pula? Sama saja dengan mencoba untuk mengakhiri perang dengan peperangan! Juga Thian Sin mengenangkan hubungannya dengan semua wanita semenjak yang pertama kali. Pertama-tama dia berdekatan dengan wanita adalah dengan Bwe Cu Ing, gadis dusun dekat Lembah Naga, yang merupakan cinta pertamanya. Kedukaan pertama karena wanita adalah ketika secara paksa Bhe Cu Ing dipisahkan darinya. Kemudian muncul Loa Hwi Leng, puteri anggauta Jeng-hwa-pang itu yang kemudian dibunuh oleh Jeng-hwa-pang, membuat dia amat membenci Jeng-hwa-pang dan mengobrak-abriknya.

   Lalu bermunculanlah So Cian Ling yang telah berhubungan sangat akrab dengan dia, lebih daripada wanita-wanita lain sebelumnya. Dan ada pula Bin Biauw, puteri Tung-hai-sian itu yang manis dan yang pada pertemuan pertama juga menggerakkan hatinya, akan tetapi dia terpaksa mundur karena di situ hadir pula Cia Kong Liang yang terhitung pamannya. Lalu muncul pula Ang Bwe Nio, anak buah Ji Beng Tat yang terpaksa dia buntungi hidungnya karena telah mengkhianatinya itu, kemudian ada lagi Leng Ci, selir dari Raja Agahai, dan terakhir adalah Kim Hong atau Lam-sin. Dia sering duduk termenung dan bertanya-tanya di dalam hatinya. Apakah artinya semua wanita itu baginya? Itukah cinta? Ataukah semua itu hanya nafsu berahi saja? Atau apa? Dia sendiri tidak tahu.

   Akan tetapi yang jelas, mereka semua itu mendatangkan duka setiap kali berpisah. Juga Ciu Lian Hong, dara satu-satunya yang menimbulkan keinginan hatinya untuk memperisterinya, mendatangkan rasa duka dan sengsara karena berpisah darinya, karena harapannya untuk memperisteri dara itu gagal. Apakah terhadap Lian Hong itu cinta? Dan bagaimana dengan Kim Hong ini? Cintakah? Atau sekedar nafsu berahi. Kalau cinta, mengapa mendatangkan duka? Dia bingung, tak mampu menjawab! Tai-goan adalah kota kedua sesudah ibu kota Peking yang terdekat dengan ibu kota itu, menjadi ibu kota Propinsi Shan-si. Kota ini amat ramai karena kota itu terletak di tepi Sungai Fen-ho yang menjadi cabang dari Sungai Hoang-ho. Dengan adanya Sungai Fen-ho ini, maka tentu saja hubungan antara kota Tai-goan dengan kota-kota lain menjadi lancar,

   Bukan hanya melalui darat, melainkan juga melalui air. Hubungan antara kota Tai-goan dengan kota-kota di dalam Propinsi Ho-nan dan Shan-tung dapat melalui air dan daerah yang dilalui Sungai Fen-ho yang kemudian bersatu dengan induknya, Sungai Hoang-ho, amatlah luasnya. Karena hubungan dengan daerah dan kota-kota lain amat lancar, maka tentu saja perdagangan di Tai-goan menjadi makmur sekali. Berita tentang terbunuhnya See-thian-ong dan para muridnya oleh Pendekar Sadis, sudah mendahului Thian Sin dan sudah sampai ke Tai-goan, membuat gempar para pendekar dan juga para tokoh dunia hitam di daerah Tai-goan, bahkan sudah sampai pula ke daerah kota raja! Dan tentu saja berita itu telah pula terdengar Pak-san-kui! Seperti kita ketahui, Pak-san-kui hidup sebagai seorang hartawan yang kaya raya di kota Tai-goan.

   Dia memiliki banyak perusahan dan toko-toko, terutama sekali penginapan-penginapan, restoran-restoran, rumah-rumah judi dan rumah-rumah pelesiran di seluruh kota Tai-goan, boleh dibilang adalah miliknya, atau kalaupun milik orang lain, tentu berada di bawah kekuasaannya. Datuk kaum sesat yang menguasai wilayah utara ini mempunyai banyak kaki tangan. Akan tetapi yang menjadi murid-muridnya dan langsung menerima pelajaran ilmu silat dari datuk ini hanyalah Pak-thian Sam-liong dan tentu saja puteranya sendiri, yaitu Siangkoan Wi Hong. Dan untuk kota Tai-goan, yang mengenalnya sebagai Pak-san-kui juga hanya para tokoh kang-ouw dan para pendekar saja, sedangkan rakyat di situ lebih mengenalnya sebagai hartawan Siangkoan Tiang atau Siangkoan-wangwe (hartawan) atau Siangkoan-loya (tuan besar).

   Ketika mendengar terbunuhnya See-thian-ong dan murid-muridnya oleh Pendekar Sadis, Pak-san-kui Siangkoan Tiang menjadi terkejut dan merasa gentar. Dia sudah dapat menduga siapa adanya Pendekar Sadis itu. Dia teringat kepada Thian Sin, putera mendiang Pangeran Ceng Han Houw itu. Pemuda itu pernah mengalahkannya setelah menipunya dengan kitab-kitab palsu! Biarpun selama ini, semenjak kekalahannya, dia sudah memperdalam ilmunya bersilat dengan huncwe, namun diam-diam dia merasa gentar juga. Lawan yang pernah mengalahkannya itu adalah orang muda. dan amat mudahnya bagi seorang pemuda untuk memperoleh kemajuan dalam ilmu kepandaiannya, berbeda dengan orang tua seperti dia yang sudah mulai lemah. Maka diapun lalu memanggil Pak-thian Sam-liong dan puteranya, Siangkoan Wi Hong.

   "Hampir dapat dipastikan bahwa Ceng Thian Sin adalah Si Pendekar Sadis, dan kalau benar demikian, sudah tentu dia pada suatu hari akan muncul di sini,"

   Kata Pak-san-kui.

   "Ayah, kalau dia hanya datang seorang diri, takut apa? Dahulupun aku hanya kalah setingkat olehnya dan selama ini aku telah berlatih dengan tekun. Juga ayah telah berlatih memperdalam ilmu. Dengan adanya kita berdua, dibantu oleh para suheng Pak-thian Sam-liong, dan kalau kita mengerahkan lagi sepasukan orang-orang pilihan, tentu kita akan dapat membekuknya! Kita berlima saja kiraku akan cukup untuk membekuknya, betapapun lihainya. Bukankah benar demikian, suheng?"

   Pak-thian Sam-liong mengangguk.

   "Benar sekali apa yang dikatakan oleh Siangkoan-sute. Dengan suhu sendiri saja, atau melawan sute sendiri sudah setingkat, apalagi kalau kita berlima maju bersama. Kami merasa yakin akan dapat membekuknya atau membunuhnya."

   Mendengar ucapan murid-murid dan puteranya, legalah hati Pak-san-kui.

   "Betapapun juga, kita harus berhati-hati. Penjagaan harus diperketat dan setiap malam harus diadakan perondaan dan penjagaan, jangan sampai jahanam itu menyelundup. Kalian bertiga harus mengatur sendiri penjagaan itu,"

   Katanya kepada Pak-thian Sam-liong yang cepat menyatakan kesanggupan mereka.

   "Wi Hong,"

   Katanya kepada puteranya.

   "Engkau pergilah mengunjungi Siong-ciangkun, undang dia ke sini untuk membicarakan tentang kemungkinan Pendekar Sadis mengacau Tai-goan."

   "Baik, ayah."

   Siangkoan Wi Hong lalu pergi untuk melaksanakan perintah ayahnya. Siong-ciangkun atau Komandan Siong adalah komandan yang mengepalai pasukan keamanan di Tai-goan. Seperti juga dengan para pembesar tinggi lain, baik di Tai-goan maupun di kota raja, Pak-san-kui mempunyai hubungan baik sekali, tentu saja dengan bantuan kekayaannya.

   Diapun mempunyai hubungan erat dengan komandan pasukan keamanan di Tai-goan itu dan untuk menghadapi Pendekar Sadis, datuk utara itu kini mengadakan persekutuan dengan Siong-ciangkun. Tentu saja dalam pertemuan itu Pak-san-kui sama sekali tidak membayangkan bahwa dia takut menghadapi Ceng Thian Sing, akan tetapi dia mengatakan bahwa pemuda itu adalah musuhnya dan mungkin saja mengacaukan kota Tai-goan yang tenteram itu. Dan dia tidak lupa untuk memberi bekal yang cukup banyak untuk biaya pasukan yang akan mengadakan penjagaan ketat. Seratus orang anggauta pasukan pilihan dibentuk menjadi pasukan yang kuat oleh komandan ini dan mereka itu disebar untuk melakukan penjagaan di kota, memata-matai semua orang yang datang, terutama sekali menghubungi Pak-san-kui setiap kali mereka menaruh curiga kepada seorang pendatang baru yang memasuki kota.

   Hanya repotnya bagi para petugas itu adalah bahwa mereka belum pernah melihat bagaimana macamnya orang yang berjuluk Pendekar Sadis, dan tentu saja nama julukan itu membuat mereka membayangkan wajah seorang laki-laki yang bengis. Dan Pak-san-kui sendiripun belum berani menentukan bahwa Pendekar Sadis adalah Ceng Thian Sin, karena hal itupun baru merupakan dugaan-dugaannya saja. Diapun tidak berani ceroboh. Bagaimana kalau ternyata Thian Sin bukan Pendekar Sadis? Dia harus berhati-hati, bukan hanya terhadap Thian Sin yang telah menjadi musuhnya, akan tetapi juga terhadap kemungkinan bahwa Pendekar Sadis bukanlah Thian Sin sehingga dia harus menghadapi seorang yang berbahaya dan belum pernah dikenalnya, akan tetapi yang mungkin sekali akan mengganggunya, seperti yang dilakukan pendekar itu terhadap See-thian-ong.

   Inilah sebabnya maka Thian Sin dapat memasuki kota Tai-goan tanpa banyak halangan. Para anggauta pasukan istimewa yang disebar oleh Siong-ciangkun sebagai mata-mata itu tentu saja sama sekali tidak curiga ketika melihat seorang pemuda yang demikian tampan dan halus, yang pantasnya adalah seorang pemuda terpelajar tinggi, dan melihat pakaiannya yang cukup mewah dan pesolek, pantasnya pemuda itu adalah putera bangsawan atau hartawan yang sedang berpesiar ke Tai-goan dan mungkin datang dari kota raja! Thian Sin bukan seorang bodoh. Dia dapat menduga bahwa di tempat itu banyak terdapat kaki tangan Pak-san-kui, maka biarpun dia tidak memasuki kota dengan cara bersembunyi, namun diapun tidak mau menonjolkan diri karena dia tidak ingin bertemu halangan sebelum sempat bertemu muka dengan Pak-san-kui sendiri.

   Maka sebelum pergi ke tempat lain, dia lebih dahulu mencari-cari tempat yang baik untuk bersembunyi atau bermalam. Dia tidak mau bermalam di rumah penginapan karena biarpun dia dapat menggunakan nama palsu, tentu dalam waktu beberapa hari saja Pak-san-kui akan mengetahui tempat itu. Dan hatinyapun girang sekali ketika dia melihat sebuah rumah kecil di sudut kota, rumah seorang miskin yang terpencil dan letaknya di tepi sungai. Ketika melihat bahwa rumah ini hanya dihuni oleh seorang kakek miskin yang pekerjaannya sebagai kuli mengangkut barang-barang yang diangkut oleh perahu-perahu di tempat itu, Thian Sin segera menyewa rumah itu. Kakek yang miskin itu girang sekali dan dia memberikan satu-satunya pembaringan dalam kamar satu-satunya pula, sedangkan dia sendiri mengalah, tidur di lantai bertilam tikar rombeng.

   Kepada kakek itu Thian Sin memberi tahu bahwa dia datang dari kota raja, ingin berpesiar dan tidak ingin terganggu kenalan-kenalan maka dia sengaja mencari tempat sunyi untuk menginap agar jangan terganggu orang lain. Juga dia berpesan kepada kakek itu agar kehadirannya tidak diberitahukan kepada siapapun juga. Kakek itu menerima uang, tentu saja dia tidak peduli akan urusan orang dan tidak mau bicara tentang tamunya yang mendatangkan rejeki baginya itu. Setelah memperoleh tempat itu dan meninggalkan buntalan pakaiannya di dalam kamar, barulah Thian Sin memasuki daerah kota yang ramai untuk mencari rumah makan. Sebuah rumah makan bercat merah amat menarik hatinya. Baru melihat tempatnya yang mewah dan bersih itu saja sudah menimbulkan selera, maka diapun memasuki rumah makan itu.

   "Selamat sore, kongcu."

   Seorang pelayan menyambutnya dengan manis.

   "Kongcu hendak makan di bawah ataukah di loteng?"

   Thian Sin menengok ke atas, melihat ada tangga yang indah menuju ke sebuah ruangan di loteng, dibuat dengan cara yang nyeni sekali. Karena melihat bahwa dia ingin makan di loteng, pelayan itu lalu mengantarnya naik ke loteng. Tiba-tiba, setelah dia hampir sampai ke loteng, Thian Sin berhenti melangkah dan wajahnya berubah. Dia mendengar suara Kim Hong!

   "Kenapa, kongcu?"

   Pelayan yang berjalan di belakangnya bertanya melihat pemuda itu berhenti.

   "Aku tidak senang di ruangan loteng, kau siapkan saja semangkok bakmi dan panggang ayam dengan arak di meja bawah, di sudut jauh dari pintu keluar,"

   Kata Thian Sin.

   "Baik, kongcu,"

   Kata pelayan itu yang segera turun kembali.

   Thian Sin pura-pura melihat-lihat ke dalam ruangan loteng itu, akan tetapi hanya melongok saja dan dia melihat Kim Hong duduk di meja bagian luar loteng, berhadapan dengan seorang pemuda tampan yang membelakangi jalan luar. Jantung Thian Sin berdebar dan terasa panas ketika dia mengenal pemuda itu. Andaikata dia lupa pemuda itu, pasti dia tidak akan melupakan alat musik yang-kim yang terletak di atas meja itu. Siangkoan Wi Hong! Siapa lagi pemuda tampan pesolek yang ke mana-mana membawa yang-kim, alat musik yang juga merupakan senjatanya yang ampuh itu? Dan Kim Hong duduk semeja dengan pemuda itu, bercakap-cakap dan tertawa-tawa penuh keakraban, bahkan kemesraan! Hatinya terasa panas bukan main. Dia mengenal Siangkoan Wi Hong sebagai seorang penakluk wanita, pemuda pengejar wanita yang amat lihai!

   Cepat diapun turun tangga loteng itu dan memilih tempat duduk agak ke dalam sehingga tidak akan kelihatan oleh mereka yang masuk atau keluar melalui pintu depan. Ketika pelayan itu datang membawa masakan yang dipesan, Thian Sin segera membayarnya sekali agar nanti dia dapat pergi tanpa menunggu-nunggu lagi kalau sudah selesai makan. Dia makan perlahan-lahan, sama sekali tidak terasa enak karena pikirannya melayang ke atas loteng. Seolah-olah dia masih mendengar suara Kim Hong bercakap-cakap dan tertawa-tawa dengan mesra bersama Siangkoan Wi Hong, putera tunggal Pak-san-kui itu dan makin dipikir, hatinya menjadi semakin panas. Baru saja dia selesai makan, dia melihat mereka itu turun dari tangga. Sejenak tangan mereka bersentuhan, seperti hendak bergandengan tangan, akan tetapi lalu terlepas lagi.

   Akan tetapi yang sedikit itupun cukuplah bagi Thian Sin untuk menimbulkan dugaan di dalam hatinya bahwa pasti "ada apa-apa"

   Antara mereka itu. Dan merekapun keluar, lalu naik sebuah kereta yang sudah menanti di luar restoran tadi. Thian Sin meninggalkan mejanya, tidak tergesa-gesa agar tidak menimbulkan kecurigaan, dan keluar dari rumah makan. Dengan tenang diapun lalu membayangi kereta itu yang dijalankan perlahan-lahan menuju ke sebelah utara. Cuaca sudah mulal gelap dan hal ini memudahkan Thian Sin untuk membayangi kereta. Akhirnya kereta berhenti di depan sebuah rumah penginapan! Mereka berdua itu menginap dalam sebuah rumah penginapan yang mewah! Makin panas hati Thian Sin dan diapun menyelinap ke dalam gelap dan dari situ dia mengintai. Dia melihat mereka berdua turun dari kereta, dan bercakap-cakap sebentar.

   Agaknya, dari jauh dia dapat menduga bahwa Kim Hong minta kepada Siangkoan Wi Hong untuk lebih dulu berangin-angin di taman bunga rumah penginapan itu sebelum mereka masuk. Siangkoan Wi Hong nampak tersenyum di bawah lampu depan pekarangan itu, lalu keduanya memasuki taman bunga yang letaknya di belakang rumah penginapan dan di sebelah kirinya. Thian Sin tetap membayangi mereka dan menyelinap di antara pohon-pohon dalam taman itu sampai dia dapat mengintai mereka tidak terlalu jauh dan dapat mendengarkan percakapan mereka. Mereka duduk di atas bangku yang saling berhadapan, dekat kolam ikan emas di mana terdapat sedikit penerangan lampu gantung. Suasana di taman itu sungguh romantis dan pada saat itu amat sunyi. Agaknya tidak terdapat lain orang kecuali mereka berdua.

   "Nona Toan, engkau sungguh cantik seperti bidadari, dan aku berbahagia sekali dapat berjumpa dan mengenalmu, nona."

   Terdengar Siangkoan Wi Hong tiba-tiba menyatakan rasa hatinya dengan sikap dan suara mesra. Kim Hong tertawa, ketawa ditahan yang sudah amat dikenal oleh Thian Sin itu.

   "Engkau juga gagah dan tampan sekali, Siangkoan-kongcu, dan akupun gembira dapat berkenalan denganmu."

   "Ah... benarkah apa yang kau katakan itu, Kim Hong? Bolehkah aku memanggil namamu?"

   "Tentu saja benar, dan engkau boleh memanggil namaku."

   "Kim Hong... aku suka sekali kepadamu... belum, aku belum dapat mengatakan cinta karena baru beberapa hari kita berkenalan, akan tetapi aku... aku suka sekali padamu."

   "Hemm, akupun suka sekali padamu, kongcu. Engkau baik sekali dan engkau gagah sekali..."

   "Kim Hong..."

   Pemuda itu bangkit dan menghampiri, lalu duduk di samping gadis itu dan merangkulnya. Kim Hong tidak menolak, bahkan mengangkat mukanya sehingga memudahkan Siangkoan Wi Hong untuk menciumnya. Mencium bibirnya dengan mesra dan lama sekali.

   "Keparat jahanam! Siangkoan Wi Hong, bersiaplah engkau untuk mampus!"

   Teriakan ini keluar dari mulut Thian Sin yang sudah meloncat keluar dari tempat persembunyiannya, tidak dapat menahan lebih lama lagi rasa panas di dada dan perutnya menyaksikan adegan mesra antara Kim Hong dan putera Pak-san-kui itu. Seketika dua orang yang sedang berpelukan dan berciuman itu melepaskan diri masing-masing, dan Siangkoan Wi Hong menyambar yang-kimnya dan membalik. Wajahnya menjadi pucat ketika dia mengenal Thian Sin yang sudah berdiri di bawah lampu, wajah yang biasanya ramah itu kini nampak muram dan menakutkan.

   "Thian Sin...!"

   Dia berseru penuh rasa gentar akan tetapi juga marah.

   "Bagus, engkau sudah mengenalku sehingga engkau tidak mati penasaran!"

   Thian Sin berkata dan secepat kilat dia menerjang ke depan dengan serangan maut. Akan tetapi Siangkoan Wi Hong bukanlah orang lemah dan dia sudah menggerakkan yang-kimnya untuk menangkis.

   "Dukkk...!"

   Dan terkejutlah putera Pak-san-kui itu karena tubuhnya tergetar hebat dan dia terdorong mundur, terhuyung-huyung! Thian Sin tidak mau memberi hati lagi, terus menerjang lawan yang sudah terhuyung itu.

   "Dess...!"

   Thian Sin terkejut melihat bahwa Kim Hong telah menangkis pukulannya. Sejenak mereka saling pandang.

   Akan tetapi Kim Hong tidak mau membuang waktu lagi dan secepat kilat gadis ini sudah mencabut sepasang pedangnya dan menyerang Thian Sin kalang-kabut! Tentu saja Thian Sin cepat mengelak. Hatinya seperti ditusuk rasanya. Begini marahkah Kim Hong kepadanya sehingga kini malah membantu Siangkoan Wi Hong dan menyerangnya mati-matian? Ingin dia bicara, ingin dia minta maaf. Akan tetapi di situ ada Siangkoan Wi Hong. Dia malu kalau harus memperlihatkan kelemahannya di depan orang lain. Maka diapun mencabut pedangnya dan diputarnya pedang itu untuk menangkis. Sementara itu Siangkoan Wi Hong girang sekali melihat Kim Hong membantunya. Dia memang telah tahu bahwa gadis itu memiliki kepandaian silat yang lihai, maka diapun lalu memutar yang-kimnya dan membantu Kim Hong.

   "Pendekar Sadis, jangan harap engkau dapat lolos dari tanganku sekarang!"

   Kim Hong membentak. Bentakan ini diterima oleh Thian Sin dengan mata terbelalak. Dia merasa heran sekali mendengar gadis itu menyebutnya Pendekar Sadis. Ada permainan apa ini? Akan tetapi karena Kim Hong mendesaknya dengan hebat, dibantu pula oleh pemuda itu, dia merasa serba salah. Kalau dia melawan dengan kekerasan, dia takut kalau-kalau melukai gadis itu. Maka diapun lalu meloncat ke dalam kegelapan dan melarikan diri.

   "Lekas lapor ayahmu, aku akan mengejarnya!"

   Kata Kim Hong kepada Siangkoan Wi Hong, dan diapun telah meloncat dengan cepat untuk melakukan pengejaran. Bagaimanakah Toan Kim Hong dapat bersama-sama dengan Siangkoan Wi Hong di Tai-goan dan telah berkenalan dengan akrabnya? Terjadinya tiga hari yang lalu, di sebuah hutan di lembah Sungai Fen-ho. Ketika itu, seperti yang telah menjadi kesukaannya, Siangkoan Wi Hong berburu binatang hutan. Yang-kimnya selalu dibawanya, tergantung di punggung sedangkan tangannya memegang busur dan anak panah. Ketika melihat seekor kijang, dia cepat mengejarnya.

   Kijang itu masih muda dan gesit bukan main, berloncatan amat cepatnya dan menyusup-nyusup ke dalam semak-semak, kalau didekati meloncat lagi. Wi Hong sudah melepaskan anak panah dua kali, yang sekali luput dan yang sekali lagi hanya menyerempet betis binatang itu, membuatnya menjadi semakin ketakutan, liar dan lebih cepat lagi larinya. Akan tetapi akhirnya Siangkoan Wi Hong dapat mendesaknya ke tepi sungai dan binatang itu kebingungan. Wi Hong memasang anak panah pada busurnya dan siap untuk membidikkan anak panahnya. Akan tetapi pada saat dia hendak melepaskan anak panah, tiba-tiba saja kijang itu mengeluarkan teriakan nyaring dan roboh terpelanting! Wi Hong terkejut bukan main dan cepat meloncat, akan tetapi dia melihat bayangan berkelebat dan seorang gadis cantik jelita telah berdiri di dekat bangkai kijang. Siangkoan Wi Hong terpesona dan memandang dengan melongo.

   "Hemm, apa yang kau pandang?"

   Bentak gadis itu sambil memandang dan bertolak pinggang. Siangkoan Wi Hong baru sadar dan dia tersenyum, menyimpan gendewanya, lalu menghampiri.

   "Ah, kukira ada bidadari yang turun dari kahyangan. Nona, apakah nona... eh, manusia biasa?"

   Wanita itu adalah Kim Hong dan mendengar ucapan itu, Kim Hong juga tersenyum. Pemuda tampan ini sungguh mengagumkan dan juga menyenangkan hatinya.

   "Kalau aku bukan manusia, apakah kau kira aku setan atau siluman?"

   Siangkoan Wi Hong memandang ke kanan kiri.

   "Tempat ini amat sunyi, dan kijang ini tiba-tiba tewas sebelum kupanah, lalu muncul seorang seperti nona! Begini... cantik jelita. Aku mendengar bahwa di tempat-tempat sunyi terdapat... eh, siluman-siluman yang pandai mengubah diri menjadi wanita cantik melebihi bidadari, seperti... eh, dongeng tentang Tiat Ki dalam dongeng Hong-sin-pong itu, begitu cantiknya sampai menjatuhkan hati Kaisar Tiu-ong!"

   "Hemm, apa kau tidak dapat membedakan antara manusia dan siluman?"

   Kim Hong menanggapi, tidak marah disangka siluman karena cara pemuda itu mengatakannya sama sekali tidak terkandung nada menghina, melainkan memuji. Semakin gembiraiah hati Siangkoan Wi Hong melihat betapa gadis yang cantik jelita itu mau menanggapinya, maka dia lalu pasang aksi, pura-pura memikat dan mengingat-ingat, mengerutkan alisnya, kemudian berkata dengan wajah berseri.

   "Ah, aku ingat! Dalam dongeng kitab kuno tentang siluman-siluman yang menyamar sebagai wanita cantik, terdapat tanda-tanda. Ada tanda yang... ah, sebelumnya maaf, nona. Kata kitab itu, kalau siluman rase atau rubah menyamar sebagai wanita, satu hal tidak dapat dilenyapkannya, yaitu ekornya! Wanita cantik penyamaran siluman rubah itu tentu mempunyai ekor! Ah, akan tetapi tentu saja aku tidak dapat membuktikan pada dirimu..."

   Dia berhenti untuk melihat reaksi gadis itu. Akan tetapi Kim Hong masih tersenyum saja, dan agaknya tidak nampak marah sama sekali. Hal ini membuat Siangkoan Wi Hong menjadi semakin girang dan berani.

   "Akan tetapi ada tanda lain lagi yang dapat kubuktikan pada dirimu, nona. Kata kitab itu, seorang wanita penyamaran siluman rubah mempunyai dua tanda yaitu pertama, karena tubuh yang diambilnya adalah tubuh wanita yang telah mati, maka lengannya akan terasa dingin seperti mayat kalau dipegang, dan dari hawanya keluar bau rubah yang khas. Nah, kalau aku boleh menyentuh lenganmu, nona, dan kalau aku boleh mendekatimu tentu aku akan segera dapat membedakan apakah nona seorang manusia biasa ataukah sebangsa siluman."

   Kim Hong tersenyum, sepasang matanya bersinar-sinar dan wajahnya yang cantik manis itu berseri. Ia juga merasa gembira oleh sikap pemuda itu. Maka ia menyingsingkan lengan baju sebelah kiri dan menyorongkan lengan kirinya itu kepada Wi Hong sambil berkata dengan senyum,

   "Nah, periksalah."

   Siangkoan Wi Hong girang bukan main dan dia menelan ludahnya melihat sebuah lengan yang berkulit begitu mulus, putih dan lembut, halus dan seperti lilin diraut. Diapun melangkah maju mendekat, lalu menggunakan tangan kanannya untuk menyentuh, bahkan setelah ujung jari-jari tangannya menyentuh kulit halus lunak hangat itu dengan sepasang matanya tetap menatap wajah Kim Hong untuk melihat reaksinya, dan melihat bibir nona itu tetap tersenyum, jari-jari tangannya lalu melanjutkan dengan meraba-raba lengan dan memegangnya dengan mesra! Kim Hong menarik lengannya dengan gerakan halus sambil berkata dengan senyum,

   "Bagaimana, dingin seperti mayatkah?"

   Siangkoan Wi Hong tersenyum lebar dan memandang dengan mata berseri.

   "Ah, sama sekali tidak, sebaliknya malah, begitu hangat, halus dan lunak... ah, dan yang tercium olehku hanya keharuman seperti bunga setaman...!"

   Kim Hong tersenyum gembira, akan tetapi berlagak tak senang.

   "Hemm, engkau seorang perayu! Siapakah engkau?"

   Siangkoan Wi Hong menjura.

   "Perkenalkan, nona, namaku Siangkoan Wi Hong. Aku sedang berburu di hutan ini dan mengejar-ngejar kijang itu sampai ke tepi sungai. Setelah aku berhasil menyudutkannya dan siap hendak melepas anak panah... eh, tahu-tahu kijang itu roboh dan tewas, lalu muncul nona. Siapakah nona dan bagaimana seorang wanita muda seperti nona dapat berada di tempat sunyi terpencil seperti ini?"

   "Namaku Toan Kim Hong..."

   "Nama yang indah sekali, seperti orangnya! Dan she Toan...? Ah, apakah ada hubungan dengan keluarga pangeran...?"

   Kim Hong mengangguk. Siangkoan Wi Hong menjura lagi.

   "Ah, maaf, maaf...! Kiranya nona adalah seorang puteri yang berdarah bangsawan! Sungguh sikap saya layak dihukum..."

   Kim Hong menarik napas panjang.

   "Sudahlah, urusan kebangsawanan itu dahulu, sekarang aku adalah orang biasa saja. Aku kebetulan lewat di sini dan selagi menikmati keheningan tempat ini, aku melihat seekor kijang. Karena perutku lapar, maka aku segera merobohkannya dengan sambitan jarumku."

   Wi Hong terbelalak.

   "Apa...? Membunuh kijang dengan sambitan jarum saja? Agaknya tak masuk akal...!"

   "Siapa bilang kalau tidak masuk akal kalau jarumku memasuki kepala melalui antara matanya lalu menembus otak,"

   Jawab Kim Hong. Mendengar jawaban ini, tentu saja Siangkoan Wi Hong menjadi semakin kaget dan heran. Sebagai seorang pemuda yang memiliki ilmu silat yang tinggi, dia tahu bahwa jarum hanya merupakan senjata rahasia ringan yang hanya dapat dipergunakan dari jarak dekat,

   Dan bukan merupakan senjata rahasia yang berbahaya. Akan tetapi gadis ini mampu membunuh seekor kijang dari jarak jauh dengan penyambitan jarum, bahkan tanpa memeriksa lagi gadis itu dapat memastikan bahwa jarumnya telah menembus antara mata kijang itu dan sampai ke otak! Hal ini kalau memang benar, menunjukkan bahwa gadis ini adalah seorang yang mempunyai ilmu kepandaian tinggi! Dan jarum itupun tentu mengandung racun yang amat hebat. Untuk meyakinkan hatinya diapun lalu berjongkok dan memeriksa kijang itu. Dan betapa kagumnya ketika dia mendapat kenyataan bahwa memang benar pada kepala binatang itu, antara kedua matanya, terdapat luka kecil kemerahan yang mulai membengkak dan mengeluarkan darah! Dia cepat bangkit berdiri dan kembali dia menjura dengan hormat.

   "Ah, kiranya aku berhadapan dengan seorang pendekar wanita lihai! Toan-lihiap, aku girang sekali dapat berkenalan dengan seorang gadis pendekar sepertimu!"

   "Ah, Siangkoan-kongcu terlalu memuji orang. Sebaliknya, akupun pernah mendengar namamu dan melihat yang-kim di pundakmu tadipun aku sudah dapat menduga bahwa engkau tentulah Siangkoan-kongcu yang amat terkenal itu putera dari Locianpwe Pak-san-kui, bukan?"

   "Tepat sekali, lihiap."

   "Ah, jangan sebut aku lihiap, membikin aku merasa canggung dan malu saja."

   "Baiklah, kalau begitu biar kusebut engkau Toan-siocia."

   Siangkoan Wi Hong lalu memanggul bangkai kijang itu.

   "Nona, setelah kita bertemu dan saling berkenalan di sini, aku mengundang nona untuk bersama-sama menikmati daging kijang ini. Akan kusuruh masak daging ini di rumahku. Silakan, nona."

   Demikianlah, dua orang itu berkenalan dan Kim Hong mengunjungi rumah pemuda hartawan itu. Sebaliknya Wi Hong juga sering mengunjungi hotel di mana gadis itu bermalam, mengajaknya pelesir atau makan ke restoran-restoran terbesar di kota Tai-goan, mengajaknya pesiar dengan kereta. Dalam waktu beberapa hari saja hubungan antara mereka amat akrabnya. Demikianlah pertemuan antara Kim Hong dengan putera Pak-san-kui itu sampai mereka dilihat oleh Thian Sin yang membayangi mereka dan Pendekar Sadis menyerang Siangkoan Wi Hong ketika melihat betapa putera datuk utara itu berpacaran dengan Kim Hong. Dan dalam waktu beberapa hari itu, Siangkoan Wi Hong sempat mengajak Kim Hong berkunjung pula kepada ayahnya. Pak-san-kui Siangkoan Tiang menerima perkenalan itu dengan senang.

   Dia melihat bahwa bukan saja gadis itu amat cantik dan menurut puteranya juga memiliki ilmu silat yang lihai, akan tetapi juga mengingat bahwa gadis itu masih keluarga bangsawan tinggi, yaitu Pangeran Toan, maka mereka merasa girang kalau puteranya dapat berjodoh dengan gadis ini. Terutama sekali setelah dia mendengar bahwa gadis itu adalah puteri dari mendiang Pangeran Toan Su Ong seperti pengakuannya, diam-diam dia terkejut dan semakin kagum. Dia pernah mengenal pangeran pemberontak itu, dan maklum bahwa kepandaian pangeran itu tidak berada di bawah tingkatnya! Bahkan akhirnya dia mendengar bahwa sebelum meninggal, pangeran itu bersama isterinya telah menemukan ilmu peninggalan Menteri The Hoo sehingga kabarnya memiliki ilmu kepandaian yang sukar dicari tandingannya.

   Ketika Thian Sin menyerang Siangkoan Wi Hong dengan ganas karena pemuda ini sudah marah sekali dan ingin membunuhnya, Kim Hong membela sahabat barunya ini dan ketika Thian Sin melarikan diri karena pemuda ini tidak mau berkelahi melawan kekasihnya, Kim Hong lalu mengejar dan minta kepada Siangkoan Wi Hong untuk melaporkan kepada ayah pemuda itu. Dengan gin-kangnya yang memang lebih tinggi daripada Thian Sin, Kim Hong berhasil membayangi pemuda itu tanpa diketahuinya, dan dara ini dapat melihat pondok kecil yang disewa pemuda itu di tepi kota. Maka iapun cepat meninggalkan tempat itu dan menyusul Siangkoan Wi Hong ke rumah Pak-san-kui. Ketika tiba di rumah datuk itu, ternyata Pak-san-kui telah mengumpulkan murid-muridnya dan ketika melihat Kim Hong cepat menyambutnya dan memegang tangan dara itu.

   "Nona, bagaimana...? Dapatkah engkau mengejarnya?"

   "Aku tahu di mana dia, akan tetapi aku tahu dia lihai sekali, maka aku tidak berani turun tangan sendiri, dan aku cepat menyusulmu untuk memberitahukan hal itu."

   Akan tetapi Pak-san-kui memandang kepada gadis itu dengan sinar mata tajam penuh selidik.

   "Nona Toan, kenapakah nona membantu puteraku dan memusuhi Pendekar Sadis?"

   Pertanyaan ini diajukan secara tiba-tiba dengan suara keras penuh desakan, karena memang kakek ini menaruh curiga dan sengaja menanya secara tiba-tiba untuk membuat gadis itu tidak dapat membohong tanpa diketahuinya. Akan tetapi gadis ini bersikap tenang, dan di bawah sinar lampu yang terang itu nampak betapa gadis itu memandang kepada penanyanya dengan penasaran.

   "Ah, apakah locianpwe belum tahu? Bukankah Pendekar Sadis yang membunuh pamanku, Pangeran Toan-ong di kota raja? Locianpwe, biarpun mendiang ayahku dianggap pemberontak oleh kota raja, akan tetapi telah diampuni, dan bagaimanapun juga, Toan-ong yang dibunuh Pendekar Sadis itu adalah pamanku sendiri. Maka, aku tentu saja menganggap Pendekar Sadis sebagai musuhku!"

   "Ayah, selain itu, juga kami berdua saling mencinta. Aku... aku telah mengambil keputusan untuk memilih Nona Toan sebagai calon jodohku, maka sudah sepatutnya kalau ia membantuku ketika Pendekar Sadis menyerangku,"

   Kata Siangkoan Wi Hong. Kim Hong mengerling ke arah pemuda itu dan sepasang pipinya berubah merah, akan tetapi ia tidak berkata sesuatu.

   "Jadi engkau sudah tahu di mana dia berada, nona?"

   
Pendekar Sadis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Tanya Pak-san-kui Siangkoan Tiang. Gadis itu mengangguk.

   "Sebaiknya kalau malam ini juga kita menyerbunya, selagi dia lengah,"

   Katanya.

   "Memang itupun menjadi rencana kami,"

   Kata Pak-san-kui.

   "Akan tetapi, kita masih menanti datangnya pasukan Siong-ciangkun."

   "Ah, jangan menggunakan pasukan, locianpwe!"

   Tiba-tiba Kim Hong berkata sambil mengerutkan alisnya.

   "Kenapa menghadapi satu orang saja harus menggunakan pasukan? Locianpwe sendiri adalah seorang sakti, belum lagi locianpwe masih dibantu oleh putera locianpwe yang lihai dan juga ada lagi murid-murid locianpwe ini yang terkenal pula. Dan, kalau locianpwe percaya kepadaku, akupun dapat membantu. Padahal, bukan aku sombong, kalau aku dibantu oleh Siangkoan-kongcu seorang saja, akupun sudah akan mampu menandinginya!"

   Tentu saja Pak-san-kui menganggap gadis ini bicara sombong. Betapapun lihainya, mana mungkin gadis ini mampu melawan Pendekar Sadis? Dia sendiri saja gentar menghadapi pendekar yang telah mampu menewaskan See-thian-ong dan para muridnya itu. Akan tetapi karena gadis inipun merupakan pembantu yang lumayan, dia diam saja tidak menanggapi sikap yang dianggapnya sombong itu. Akan tetapi diam-diam Siangkoan Wi Hong mempercayai omongan gadis itu karena dia sudah melihat sendiri betapa gadis itu mampu menandingi Pendekar Sadis, bahkan pendekar itu yang ketihatan gentar dan melarikan diri, maka diapun cepat berkata,

   "Ayah, kalau Toan-siocia membantu kita, aku yakin kita akan mampu menghancurkan Pendekar Sadis!"

   "Locianpwe, sebetulnya, sudah lama aku sendiripun ingin sekali bertemu dengan pembunuh pamanku itu dan membalas dendam. Oleh karena itulah, maka sekarang ini sama sekali bukan berarti aku membantu locianpwe, bahkan dapat dikatakan sebaliknya, pihak locianpwe yang membantu aku agar berhasil membalas dendam. Karena aku tidak mau gagal, maka kuharap locianpwe jangan mengerahkan pasukan."

   "Hemm, mengapa nona mengatakan begitu?"

   "Pendekar Sadis adalah seorang yang amat lihai, kalau kita menyerbu menggunakan pasukan besar, tentu sebelumnya dia akan lebih dulu mengetahui dan dapat melarikan diri sehingga usaha kita akan sia-sia belaka. Sebaliknya kalau yang menyergapnya hanya kita saja, yang semua memiliki ilmu kepandaian cukup tinggi, maka kita tentu akan dapat datang tanpa menimbulkan suara dan dapat menyergapnya, tidak memberi kesempatan kepadanya untuk melarikan diri. Maka, kuusulkan agar locianpwe sendiri, dibantu oleh Pak-thian Sam-liong, Siangkoan-kongcu dan aku sendiri, kita berenam sudah lebih dari cukup untuk menandingi dan merobohkannya. Jangan membawa pasukan."

   Pak-san-kui mengangguk-angguk. Kini dia melihat benarnya ucapan gadis itu, dan diam-diam dia girang bahwa puteranya dapat menarik gadis ini sebagai sahabat. Kini dia yakin pasti akan berbasil membalas dendam, bukan hanya mengalahkan Pendekar Sadis, bahkan membunuhnya.

   "Baik, kita berangkat sekarang tanpa pasukan,"

   Katanya dan mereka berenam lalu berangkat. Kim Hong berjalan lebih dulu sebagai penunjuk jalan. Pondok itu memang terpencil di pinggir kota. Dan malam sudah larut, suasana amat sunyi. Agaknya semua penghuni rumah sudah tidur dan tidak terdengar suara apapun. Dengan hati-hati Kim Hong memberi isyarat-isyarat kepada teman-temannya dan mereka berenam mengurung pondok kecil itu. Kim Hong sendiri bersama Pak-san-kui menghampiri pintu depan, dan terdengarlah Pak-san-kui berseru, seperti yang telah mereka rencanakan.

   "Pendekar Sadis! Kami telah mengetahui tempat sembunyimu. Keluarlah untuk menerima
(Lanjut ke Jilid 37)
Pendekar Sadis (Seri ke 05 "

   Serial Pedang Kayu Harum)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 37
kematian!"

   Sejenak sunyi saja. Pak-san-kui yang menjadi tidak sabaran itu menggedor pintu.

   "Pendekar Sadis, keluarlah, kalau tidak, akan kurobohkan pondok itu!"

   "Jangan dirobohkan pondokku...!"

   Terdengar teriakan dan pintu depan terbuka, seorang laki-laki tua keluar dari pintu itu. Dari dalam terdengar suara nyaring.

   "Paman, jangan keluar!"

   Akan tetapi terlambat! Melihat seorang pria tua keluar, Pak-san-kui menggerakkan huncwenya. Terdengar jerit orang itu yang terpelanting roboh tak bergerak lagi. Pak-san-kui sendiri sampai terkejut. Tak disangkanya bahwa orang yang keluar itu sama sekali tidak memiliki kepandaian silat sehingga begitu mudah roboh dan tewas.

   Karena rumah itu menurut Kim Hong adalah tempat sembunyi Pendekar Sadis, maka tentu saja dia tadi menyangka bahwa yang keluar tentu bukan orang sembarangan. Akan tetapi, membunuh orang, baik yang bersalah maupun yang tidak, bagi datuk ini tiada bedanya, maka diapun sama sekali tidak peduli. Puteranya, murid-muridnya dan juga Kim Hong memandang tanpa mempedulikan, melainkan memperhatikan ke dalam pondok melalui pintu yang kini tetah terbuka itu. Akan tetapi tidak terdengar sesuatu dari dalam pondok, juga tidak nampak sesuatu muncul dari situ. Thian Sin yang tadinya sedang merebahkan diri di dalam pondok itu, begitu mendengar suara Pak-san-kui, sudah meloncat ke atas dan membuka genteng, lalu mengintai dari atas. Dia melihat Pak-san-kui datang bersama Siangkoan Wi Hong dan Pak-thian Sam-liong dan sama sekali tidak merasa gentar.

   Akan tetapi yang membuat dia meragu adalah melihat Kim Hong berada pula di situ bersama mereka! Tadipun dia sudah gelisah memikirkan betapa Kim Hong melindungi Siangkoan Wi Hong dan menyerangnya. Dan kini ternyata gadis itu agaknya telah bersekutu dengan musuh besarnya! Hal ini mendatangkan rasa nyeri daripada ketika melihat gadis itu berciuman dengan Siangkoan Wi Hong tadi. Kalau memang Kim Hong sudah mengambil keputusan bersekutu dengan datuk utara itu untuk memusuhinya, diapun tidak takut! Demikian suara hatinya yang terasa nyeri, kecewa, berduka dan marah. Maka diapun bangkit berdiri di atas atap rumah itu. Sinar bintang-bintang membuat dia nampak seperti tubuh siluman yang tiba-tiba muncul di situ. Akan tetapi suaranya masih halus walaupun mengandung teguran keras.

   "Kim Hong, begitu tidak tahu malukah engkau, merendahkan diri menjadi kaki tangan Pek-san-kui?"

   Kemudian dia melayang turun di depan Pak-san-kui sambil menudingkan telunjuknya.

   "Pak-san-kui, tua bangka keparat! Kalau memang engkau seorang datuk dan seorang laki-laki sejati, hayo lawanlah aku, keroyoklah dengan murid-muridmu, akan tetapi jangan ikut-ikutkan orang lain!"

   Sebelum Pak-san-kui menjawab, tiba-tiba Kim Hong tertawa dan berkata dengan nada menghina,

   "Hi-hik, Pendekar Sadis! Apakah engkau telah buta dan tidak melihat dengan siapa kau berhadapan? Locianpwe Siangkoan Tiang adalah datuk dunia utara, seorang locianpwe yang gagah perkasa. Dia sendiri saja sudah cukup untuk membikin engkau mampus, siapa butuh mengeroyokmu?"

   Mendengar ucapan ini, Pak-san-kui terkejut. Ucapan itu memang bermaksud baik, akan tetapi sungguh merugikannya! Dan setelah mendengar gadis itu bicara demikian, tentu dia akan merasa rendah dan malu kalau begitu maju lalu mengeroyok musuhnya itu. Maka diapun mengerling ke arah puteranya dan tiga orang muridnya.

   "Aku akan menghadapinya sendiri! Kalian tahu kapan untuk turun tangan mencegah dia melarikan diri!"

   Setelah berkata demikian dan merasa yakin bahwa puteranya dan tiga orang muridnya dapat mengerti apa yang dimaksudkannya, tiba-tiba saja Pak-san-kui sudah menerjang ke depan dengan senjatanya yang ampuh, yaitu huncwe maut itu. Nampak api menyambar dari dalam huncwe yang kemudian menjadi sinar menyambar ke arah muka dan leher Thian Sin. Cepat bukan main gerakan ini, akan tetapi Thian Sin sudah mengelak ke belakang. Kim Hong melihat gerakan itu, kemudian melihat betapa kakek itu menggerakkan tangan kirinya dan lengan kiri itu mulur sampai panjang mengejar atau membuat serangah susulan ke arah kepala Thian Sin.

   "Dukkk!"

   Thian Sin menangkis dan keduanya terdorong dua langkah ke belakang. Melihat ini, Kim Hong diam-diam terkejut dan kagum akan kelihaian datuk ini yang selain memiliki senjata huncwe yang berbahaya, juga memiliki lengan kiri yang dapat mulur panjang dan tentu saja amat berbahaya pula. Sementara itu, Siangkoan Wi Hong dan Pak-thian Sam-liong hanya mengurung tompat itu, siap untuk membantu karena mereka maklum bahwa kehadiran Kim Hong tentu saja membuat Pak-san-kui merasa sungkan untuk melakukan pengeroyokan. Akan tetapi mereka tahu bahwa kalau sampai Pak-san-kui terdesak, mereka berempat tentu akan segera turun tangan mengeroyok. Maka Siangkoan Wi Hong lalu mendekati Kim Hong.

   "Adik manis, kalau dia terlalu berat bagi ayah, kita baru akan turun tangan mengeroyoknya. Dia memang orang yang berbahaya sekali."

   Kim Hong tidak menjawab, seperti tidak mendengar ucapan itu, melainkan menonton perkelahian itu dengan penuh perhatian.

   Dan perkelahian itu memang amat menegangkan untuk ditonton. Seru dan mati-matian, juga merupakan perkelahian antara orang-orang yang memiliki kepandaian hebat. Dahulu, ketika untuk pertama kalinya Thian Sin mengalahkan Pak-san-kui, dia harus mengandalkan akal, menggunakan air untuk menghadapi serangan api yang kadang-kadang keluar dari huncwe maut itu, yang membuat lawan kewalahan dan panik. Akan tetapi sekarang dia tidak membutuhkan lagi akal seperti itu, dan pula, sejak kekalahannya dari Thian Sin dahulu itu, Pak-san-kui sudah berlatih matang dan bersiap-siap kalau-kalau lawan menggunakan air lagi. Maka andaikata Thian Sin mengulangi akalnya yang dahulu, dia tentu akan kecelik dan tidak akan berhasil. Pemuda ini hanya menghadapinya dengan memegang kipasnya.

   Setiap kali ada bunga api menyambar, atau asap yang berbau keras, kipas itulah yang mengebut dan api serta asap itu membalik dan menyerbu kakek itu sendiri! Sedangkan serangan huncwe itu hanya dihadapi dengan tangan kosong saja oleh Thian Sin. Huncwe maut itu menyambar-nyambar dengan ganas, mengeluarkan suara bercuitan mengerikan. Thian Sin selalu dapat mengelak atau menangkis Huncwe dengan tangannya, bahkan membalas serangan lawan dengan sama dahsyatnya, menampar dan memukul atau menendang sambil mengerahkan sin-kang. Thian Sin dapat melihat kenyataan bahwa dibandingkan dengan dahulu, datuk ini telah memperoleh kemajuan yang cukup banyak, maka diapun lalu mengubah gerakannya, mainkan ilmu silat warisan ayahnya yaitu Hok-liong Sin-ciang yang hanya delapan belas jurus itu.

   Akan tetapi, baru saja dia mengeluarkan tiga empat jurus yang masing-masing mempunyai bagian-bagian dan perkembangan-perkembangan yang amat sulit itu, lawan telah terdesak hebat! Pak-san-kui mengenal jurus-jurus ini, akan tetapi hanya kulitnya saja dan isinya sungguh membuat dia bingung karena mengandung daya serang yang sama sekali tidak pernah dapat diduganya, dan selain itu juga amat hebat. Dalam serangan-serangan itu terkandung gerakan-gerakan aneh dan hampir saja dia kena dirobohkan lawan sehingga ketika kaki Thian Sin menyerempet lambungnya, dia terhuyung dan meloncat ke belakang sambil mengeluarkan seruan. Seruan ini dikenal oleh Siangkoan Wi Hong dan Pak-thian Sam-liong, maka mereka itu segera bergerak untuk membantu. Akan tetapi tiba-tiba berkelebat bayangan menghadang mereka disertai bentakan,

   "Tahan dulu!"

   Siangkoan Wi Hong terkejut melihat bahwa yang menghadang itu adalah Kim Hong! Gadis ini berkata.

   "Tadi sudah diadakan janji bahwa tidak akan ada pengeroyokan! Kalau kalian ingin mencoba kelihaian musuh, biarlah Pendekar Sadis menghadapi kalian. Dan karena tingkat kepandaian kalian masih rendah, kalian berempat boleh saja maju berbareng untuk menghadapinya! Hei, Pendekar Sadis tinggalkan dulu Pak-san-kui, dan hadapi mereka ini. Aku sendiri ingin merasakan kelihaian huncwe maut!"

   Setelah berkata demikian, Kim Hong sudah meloncat ke dalam arena pertempuran itu sambil mencabut sepasang pedangnya dan langsung menerjang Pak-san-kui!

   Perubahan sikap gadis ini sungguh mencengangkan semua orang. Akan tetapi, kalau Siangkoan Wi Hong menjadi kaget dan marah sekali, sebaliknya Thian Sin yang juga kaget itu merasa girang bukan main. Tadinya dia sudah merasa bingung dan gelisah kalau terpaksa harus menghadapi gadis itu sebagai musuh. Biarpun hatinya masih panas kalau mengingat akan adegan romantis dan mesra antara Kim Hong dan Siangkoan Wi Hong, namun pembalikan sikap Kim Hong yang kini jelas berpihak kepadanya itu membuatnya girang sekali dan begitu melihat Kim Hong menyerbu Pak-san-kui, diapun lalu meloncat ke belakang untuk menghadapi Siangkoan Wi Hong dan Pak-thian Sam-liong yang segera mengurung dan mengeroyoknya dengan serangan-serangan yang bertubi-tubi.

   Terutama sekali, Siangkoan Wi Hong menyerang dengan penuh kebencian dan kemarahan. Pemuda hartawan ini kecewa bukan main melihat betapa Kim Hong, gadis yang menjatuhkan hatinya, yang disangkanya telah terjerat olehnya, ternyata kini malah membantu Thian Sin! Dan timbullah kecurigaannya bahwa memang gadis itu sengaja bersikap baik kepadanya untuk memancingnya, memancing ayahnya untuk menghadapi Pendekar Sadis di tempat sunyi itu. Dan teringatlah dia betapa gadis itulah yang menganjurkan agar mereka berenam saja yang menghadapi Pendekar Sadis dan melarang agar jangan menggunakan pasukan. Teringat akan ini, keringat dingin membasahi dahi Siangkoan Wi Hong dan dia menyerang semakin dahsyat, dibantu oleh tiga orang suhengnya yang sudah membentuk barisan Sha-kak-tin (Barisan Segi Tiga) itu.

   Thian Sin menghadapi empat orang pengeroyoknya dengan tenang-tenang saja. Akan tetapi karena untuk menghadapi pengeroyokan empat senjata itu lebih enak kalau menggunakan senjata pula, maka selain kipasnya, diapun lalu mencabut Gin-hwa-kiam dan memutar pedangnya untuk melindungi dirinya dan kipasnya kadang-kadang menyambar dengan totokan-totokan maut. Akan tetapi, Thian Sin tidak dapat mencurahkan seluruh perhatian terhadap empat orang pengeroyoknya itu karena dia merasa khawatir kalau-kalau Kim Hong terancam bahaya, walaupun dia maklum bahwa kepandaian gadis itu kiranya tidak berada di sebelah bawah tingkat Pak-san-kui. Pak-san-kui sendiri yang tadinya tercengang dan marah melihat betapa gadis itu membalik dan memihak musuh, dengan kemarahan meluap menghadapi Kim Hong.

   "Bagus!"

   Bentaknya.

   "Memang anakku yang buta, tidak tahu bahwa engkau adalah seekor siluman yang jahat. Mampuslah kau di tanganku!"

   Kakek itu segera menghisap huncwenya dan sekali dia menggerakkan huncwe, ada bunga api menyambar ke arah muka Kim Hong, disusul tiupan asap dari mulutnya dan dibarengi pula dengan totokan-totokan maut dari ujung huncwe! Sungguh merupakan serangan maut yang amat hebat. Kim Hong sejak tadi sudah melihat dan mempelajari kepandaian lawan, maka gadis ini mengerahkan gin-kangnya yang istimewa, sudah melesat ke atas untuk mengelak dari serangan bertubi-tubi itu. Akan tetapi tangan kakek itu sudah menyambar, mulur sampai dua kali panjang lengan biasa, mencengkeram ke arah dada Kim Hong!

   "Hih!"

   Kim Hong berseru dan pedangnya berkelebat menyambar untuk membacok lengan yang panjang mengerikan itu. Pak-san-kui kembali meniupkan asapnya dan menarik tangannya. Karena asap itu selain amat kuat juga mengandung bau yang menyesakkan napas, terpaksa Kim Hong berjungkir balik di udara itu saja sudah menunjukkan kemahiran gin-kang yang amat hebat. Dan sambil berjungkir balik ini Kim Hong sudah memindahkan pedang di tangan kirinya ke tangan kanan yang memegang dua pedang, sedangkan tangari kirinya bergerak, sinar merah menyambar dari atas ke arah kepala dan dada Pak-san-kui!

   

Pendekar Lembah Naga Eps 43 Pendekar Lembah Naga Eps 56 Pendekar Lembah Naga Eps 42

Cari Blog Ini