Dewi Maut 14
Dewi Maut Karya Kho Ping Hoo Bagian 14
"Kongcu ingin bermain apa?"
Seorang pelayan atau tukang pukul bertanya manis ketika melihat Bun Houw yang baru masuk itu memandang ke kanan kiri, tahu bahwa pemuda ini merupakan seorang tamu baru dan karenanya merupakan makanan lunak.
"Aku... mau melihat-lihat dulu,"
Jawab Bun Houw dan dia menghampiri sebuah meja besar di mana diadakan permainan dadu. Biarpun selamanya Bun Houw belum pernah melihat perjudian dadu, akan tetapi karena amat mudah, maka melihat sebentar saja dia sudah mengerti.
Bandar judinya adalah seorang pegawal po-koan itu yang bertubuh kurus dan berwajah kekuning-kuningan, matanya tajam dan liar mengerling ke sana-sini, kumisnya kecil panjang seperti kumis palsu yang pemasangannya tidak rapi, kedua lengan bajunya digulung sampai ke siku sehingga tampak kedua lengannya yang hanya tulang terbungkus kulit dan jari-jari tangannya yang panjang dan cekatan. Bandar ini memegang sebuah mangkon dan di atas meja terdapat dua buah dadu. Setiap dadu yang persegi itu pada enam permukaannya ditulisi nomor satu sampai dengan enam. Di atas meja, bagian luar dan dekat dengan para tamu, terdapat lukisan petak-petak yang ada nomornya pula, yaitu nomor satu sampai dengan nomor dua belas. Ada pula dua petak di kanan kiri, dibagi dua dan bertuliskan huruf-huruf GANJIL dan GENAP.
"Hayo pasang... pasang... pasang...!"
Si bandar kurus kering dan dua orang pembantunya di kanan kiri yang bertugas menarik uang kemenangan dan membayar uang kekalahan, berteriak-teriak dengan gaya dan suara yang khas. Seolah-olah ada daya tarik terkandung dalam suara mereka yang agak serak itu. Bun Houw melihat betapa belasan orang tamu yang merubung meja itu menaruh setumpuk uang di atas nomor pilihan masing-masing, ada yang sedikit akan tetapi ada pula yang banyak. Setelah semua orang meletakkan uang taruhan mereka, si bandar kurus berteriak nyaring,
"Pemasangan berhenti... dadu diputar...!"
"Kratak-kratak-kratakkk...!"
Dua buah dadu itu dimasukkan ke dalam mangkok, ditutup telapak tangan kiri lalu dikocok, sehingga mengeluarkan bunyi berkeratak, lalu dengan gerakan yang cekatan dan cepat sekali mangkok dibalikkan dan ditaruh menelungkup di atas meja, dengan dua butir dadu di bawahnya.
"Boleh tambah pasangan...!"
Dua orang pembantu bandar berteriak menantang. Sibuk orang-orang yang berjudi itu menambahkan sejumlah uang di atas tumpukan uang pasangan mereka.
"Berhenti semua... dadu dibuka...!"
Bandar kurus berteriak dan tangan kanannya dengan jari-jari yang panjang itu membuka mangkok. Semua mata memandang ke arah meja di mana kini tampak dua butir dadu itu setelah mangkoknya dibuka. Yang sebutir memperlihatkan angka enam di atas dan yang kedua memperlihatkan angka satu.
"Tujuh menang... ganjil menang...!"
Bandar berteriak dan terdengar banyak mulut mengeluh dan muka-muka berkeringat dan muram ketika mata mereka melihat dua orang pembantu bandar menarik semua uang pasangan yang berada di atas nomor lain, kecuali yang berada di atas nomor tujuh dan kotak ganjil.
Akan tetapi Bun Houw melihat bahwa yang menang hanya taruhan kecil saja dan biarpun kepada yang menang itu pembayaran bandar membayar enam kali lipat, akan tetapi jelas bahwa kemenangannya sekali tarik itu besar sekali. Juga yang menang dalam bertaruh ada ganjil hanya mendapat jumlah kemenangan yang sama dengan taruhannya. Akan tetapi semua ini tidak begitu menarik hati Bun Houw. Yang amat mengherankan, mengagetkan dan juga memarahkan hatinya adalah ketika tadi dia melihat cara si kurus itu membuka mangkok. Mangkok itu dibuka cepak sekali, akan tetapi dengan miring sehingga sebelum orang lain melihat letak dadu, si bandar lebih dulu melihatnya dan Bun Houw yang menaruh tangan di atas meja merasa ada getaran aneh pada permukaan meja itu dan matanya yang berpenglihatan tajam itu dapat melihat sebutir di antara dadu itu bergerak membalik, dari angka empat menjadi angka satu.
Kalau tidak terjadi keanehan itu, tentu yang menang adalah angka enam dan empat, berarti akan sepuluh dan angka genap. Dia melihat betapa tadi pemasang angka sepuluh paling banyak, dan yang berpasang pada genap jauh lebih banyak daripada yang berpasang pada ganjil! Biarpun Bun Houw belum pernah berjudi, namun kecerdasannya membuat dia mengerti bahwa bandar itu berlaku curang dengan mempergunakan tenaga lwee-kang yang digetarkan lewat permukaan meja untuk membalik-balik dadu agar keluar nomor seperti yang dikehendakinya! Kini para pembantu bandar sudah berteriak-teriak lagi, menganjurkan para tamu untuk menaruh pasangan mereka. Terdapat suatu keanehan di dalam perjudian dan bagi yang mempunyai kepercayaan tahyul, di tempat seperti itu terdapat setannya. Karena itu maka fihak bandar judi selalu memasang dupa,
Bukan hanya untuk menimbulkan suasana sedap di ruangan itu, melainkan juga untuk menyenangkan setan-setan agar membantunya! Ada atau tidak adanya setan, bukanlah hal panting, akan tetapi yang jelas "setan-setan"
Di dalam diri sendiri yang bersimaharajalela di dalam perjudian. Mereka yang kalah menjadi makin serakah karena ingin mengejar kekalahan mereka, membayangkan bahwa satu kali saja taruhan mereka mengena dan mereka menerima pembayaran enam kali lipat, kekalahan mereka akan tertebus sama sekali atau sebagian. Sebaliknya, mereka yang tadi menarik kemenangan karena pasangan mereka mengena, merasa menyesal dan kecewa mengapa mereka tadi memasang hanya sedikit. Kemenangan sedikit itu tidak membuat mereka menjadi puas, sebaliknya, mereka menjadi makin serakah, ingin memperoleh keuntungan atau kemenangan lebih.
Karena itu, kebanyakan dari mereka yang kegilaan judi ini, baik yang pada permulaannya menang atau kalah, sebagian besar berakhir dengan kantong kosong, tubuh lesu dan putus asa! Judi merupakan permainan yang dengan amat jelasnya menggambarkan watak masyarakat, watak manusia pembentuk masyarakat. Hanya satu sifat yong menonjol, yang dapat dilihat jelas dalam perjudian akan tetapi agak tersamar dan tersembunyi di dalam kehidupan sehari-hari, sungguhpun sifat yang tersembunyi itu bukan berarti lemah, yaitu sifat SERAKAH, ingin memenuhi nafsu keinginan. Seperti juga di dalam perjudian, kita hidup sehari-hari mengejar keinginan kita yang dapat saja berupa harta benda, kedudukan, nama besar, atau keinginan yang lebih tinggi lagi menurut pandangan kita, seperti kedamaian, ketenteraman, keabadian, nirwana atau sorga. Di dalam setiap pengejaran keinginan,
Kepuasan hanya berlaku sementara saja, karena makin dituruti, keinginan makin membesar dan meluas, makin haus sehingga apa yang diperoleh masih selalu kurang dan tidak mencukupi. Celakanya di dalam kenyataan hidup ini, demi mengejar keinginan yang sebutannya diperhalus dan diperindah menjadi cita-cita atau ambisi dan sebagainya, demi mencapai apa yang diinginkan itu, kita main sikut-sikutan, jegal-jegalan dan gontok-gontokan antara manusia, antera bangsa, bahkan antara saudara sendiri! Kenyataan pahit ini hampir tidak tampak lagi, namun bagi siapa yang mau membuka mata melihat kenyataan, peristiwa menyedihkan itu terjadi setiap saat, setiap hari, di mana saja di bagian dunia ini, dan dekat sekali di sekeliling kita, bahkan di dalam diri kita sendiri! Bun Houw mengikuti semua gerak-gerik bandar kurus itu dengan penuh perhatian.
Kini dia melihat bahwa para penjudi itu sebagian besar memasangkan uang mereka kepada angka sembilan karena ada di antara mereka yang berbisik bahwa biasanya di meja ini, setelah keluar angka tujuh lalu disusul angka sembilan! Tentu saja hal itu hanya merupakan kebetulan saja, akan tetapi di dunia ini memang banyak terjadi hal-hal yang kebetulan seperti itu. Setelah semua orang menaruh pasangannya dan bandar menelungkupkan mangkok di atas meja, tidak ada yang menambah pasangan. Waktu ini tentu saja dipergunakan oleh bandar untuk meneliti, nomor mana yang paling banyak dipasangi orang dan nomor mana yang sebaliknya. Maka dia tahu bahwa kalau biji-biji dadu menunjukkan angka sembilan, berarti bandar akan menderita kekalahan yang tidak sedikit. Jadi baginya yang panting hanya menjaga agar jangan sampai keluar angka sembilan!
"Berhenti semua... dadu dibuka...!"
Bandar itu seperti biasa berteriak dan cepat membuka mangkok. Dapat dibayangkan betapa kagetnya melihat bahwa ketika mangkok dibuka miring, dua dadu itu menunjukkan angka empat dan lima! Akan tetapi tentu saja dia cepat menggetarkan tangan kirinya yang menekan meja sehingga permukaan meja tergetar dan dadu itu bergerak. Dia sudah yakin bahwa sebutir di antara dadu-dadu itu tentu akan rebah miring dan memperlihatkan nomor lain sehingga jumlahnya bukan sembilan lagi. Akan tetapi ketika dia buka, jelas nampak bahwa nomor dua butir dadu itu masih lima dan empat, berjumlah sembilan, sama sekali tidak berobah!
"Sem... sem... bilan menang...!"
Bandar berseru dengan suara gemetar dan mata terbelalak heran. Jelas bahwa dia sudah menggetarkan tangannya, menggunakan lwee-kang untuk membuat dadu itu rebah, akan tetapi sekali ini dadu-dadu itu "membangkang"! Dua orang pembantu bandar memandang kepada si bandar kurus dengan mata melotot, marah dan heran. Terpaksa mereka membayarkan kekalahan banda kepada beberapa orang yang menerima kemenangan mereka dengan pandang mata berseri dan muka kemerahan. Sejenak mereka yang menang itu lupa bahwa kemenangan mereka belum tentu berlangsung lama dan bahwa diantara mereka ada yang kalah jauh lebih banyak daripada yang mereka terima sekali ini. Kembali orang memasang.
Kembali bandar mengocok dadu dan pada saat dibuka, si bandar sengaja memperlambat gerakannya dan matanya yang terlatih melihat betapa getaran tenaga lwee-kangnya membuat sebutir dadu terguling, akan tetapi alangkah kagetnya ketika dia melihat dadu yang sudah roboh itu bangkit lagi dan memperlihatkan nomor semula! Biarpun sekali ini bandar tidak kalah banyak, namun hal itu membuat dia mengeluarkan peluh dingin dan matanya mulai memandang para tamu yang merubung meja. Sejenak pandang matanya beradu dengan sinar mata Bun Houw yang masih berdiri dengan tangan di atas meja dan menonton dengan asyik. Akan tetapi si bandar kurus melihat pemuda ini biasa saja, bahkan tidak ikut menaruh pasangan maka kecurigaannya lenyap. Betapapun juga, karena dia mendapat kenyataan bahwa yang meletakkan tangannya di atas meja hanya pemuda itu, dan kini memperhatikan sekali.
"Dadu dibuka...!"
Sekali ini bandar itu menekankan tangan kanan di atas meja sedangkan tangan kiri yang membuka mangkok. Dia mengerahken tenaga sekuatnya sambil mencuri lihat dua butir dadu yang menunjuk angka satu dan tiga. Nomor empat merupakan nomor yang lebih banyak dipasangi orang, make kini dia mengerahkan lwee-kangnya. Akan tetapi, kedua butir dadu ini sama sekali tidek berkutik! Dia masih mengerahkan lwee-kang sambil memandang ke arah Bun Houw. Dia melihat pemuda itu tersenyum kepadanya, bahkan memberi tanda dengan memicingkan sebelah mata, dan tangan kiri pemuda itu menekan meja.
Kini jelas terasa oleh si bandar betapa ada getaran bergelombang yang amat kuat datang dari arah pemuda itu dan tahulah dia siapa orangnya yang "main-main"
Dengan dia. Mangkok dibuka dan tetap saja dua butir dadu itu menunjukkan empat. Bandar memberi isyarat kepada para tukang pukul yang berada di sekitar tempat itu. Meja judi yang istimewa ini, karena memberi kemenangan berturut-turut kepada banyak tamu, kini makin dirubung orang yang ingin pula merasakan kemenangan. Melihat isyarat bandar, empat orang tukang pukul mendekati Bun Houw. Mereka adalah orang-orang yang memiliki bentuk tubuh tinggi besar, dengan lengan baju tergulung sehingga nampak otot-otot longan yang besar menggembung, wajah mereka seram dan membayangkan kekejaman orang yang biasa mengandalkan kekuatan untuk memaksakan kehendak.
"Yang tidak berjudi harap keluar!"
Bentak bandar kurus sambil menuding ke arah Bun Houw.
"Orang muda, aku melihat engkau tidak pernah ikut bertaruh, maka engkau tidak boleh berada di sini!"
Bun Houw tersenyum tenang. Dia memang sedang memancing perhatian, maka dia lalu berkata,
"Mengapa di luar tidak dipasang peringatan seperti aku? Aku datang hendak melihat-lihat dulu, mengapa disuruh keluar? Apakah kalian takut kalau aku melihat ada yang main curang?"
"Mulut lancang, siapa yang main curang? Hayo pergi dari sini, atau kau ingin kami memaksamu?"
Bentak seorang di antara empat tukang pukul itu. Melihat peristiwa ini, para tamu menjauhkan diri, takut terlibat.
"Wah, wah, apakah Hok-po-koan biasa menggunakan kekerasan seperti ini? Hendak kulihat, bagaimana kalian empat orang kasar hendak memaksaku keluar!"
Bun Houw mengejek dan memperlihatkan lagak jagoan, seolah-olah dia sudah biasa pula mengandalkan kepandaiannya untuk menghadapi tantangan, lagak seorang "jagoan".
"Eh, si keparat, kau menantang?"
Bentak seorang di antara empat orang tukang pukul itu dan serentak mereka maju memegang kedua lengan dan kedua pundak Bun Houw, hendak diseretnya pemuda itu dan dilempar keluar
Akan tetapi, segera empat orang itu terkejut bukan main karena pemuda yang mereka pegang itu, sedikitpun tidak berkutik dan biarpun mereka sudah mengerahkan tenaga sepenuhnya untuk menyeret dan menggusur, namun pemuda itu tidak dapat berkisar sedikitpun dari tempatnya, seolah-olah mereka berempat sedang berusaha menarik sebuah arca dari baja yang amat berat dan kokoh! Empat orang itu adalah tukang-tukang pukul yang sudah biasa menggunakan kekerasan kepada orang-orang yang dianggap menantang tempat judi itu, mereka adalah orang-orang kasar yang hanya memiliki tenaga kasar namun pandangan mereka dangkal sehingga mereka tidak insyaf bahwa pemuda itu jelas memiliki kepandaian yang jauh lebih tinggi daripada kekuatan mereka.
"Kau ingin mampus?"
Bentak seorang di antara mereka dan seperti diberi komando saja empat orang itu lalu bergerak menerjang dan memukul Bun Houw. Akan tetapi, kedua tangan pemuda ini bergerak cepat sekali dan semua orang di situ, termasuk si empat orang tukang pukul, tidak tahu bagaimana dapat terjadi, akan tetapi tahu-tahu empat orang itu terlempar dan terbanting ke atas lantai sambil mengaduh-aduh dan memegang lengan kanan dengan tangan kiri, tidak berani bangkit lagi karena lengan kanan mereka rasanya seperti remuk-rerhuk tulangnya! Melihat ini segera para tukang pukul yang lain mengepung Bun Houw. Jumlah mereka ada belasan orang dan seorang bandar judi cepat masuk ke dalam untuk melaporkan hal ini kepada majikan mereka yang tinggal di rumah mewah terletak di belakang rumah judi itu.
Bun Houw tersenyum ketika melihat dirinya dikurung oleh para tukang pukul, juga beberapa orang bandar judi yang tentu memiliki kekuatan lebih tinggi daripada tukang-tukang pukul kasar itu. Bahkan mereka semua sudah mencabut senjata, ada yang memegang golok, pedang, dan toya. Para tamu sudah membubarkan diri, berlari ketakutan keluar dari pintu rumah judi. Akan tetapi yang berhati tabah memberanikan diri untuk menonton, sambil berlindung di belakang meja-meja judi yang besar dan kuat. Bun Houw hanya ingin memancing perhatian, akan tetapi untuk melaksanakan siasatnya, tentu saja dia tidak ingin bermusuhan dengan kaki tangan Kiam-mo Liok Sun ini, sungguhpun dia amat tidak senang menyaksikan betapa bandar-bandar judi itu menipu para tamu yang datang berjudi dengan permainan-permainan curang.
"Hemm, kalian ini sungguh aneh. Aku detang hanya melihat-lihat karena aku tertarik akan nama besar Kiam-mo Liok loya (tuan besar Liok) dan ingin membantunya, akan tetapi kalian menyambutku dengan kekerasan."
Tentu saja mereka semua tidak memperdulikan omongan ini karena mereka sudah marah sekali mendengar betapa pemuda ini menentang bandar sehingga sang bandar kalah dalam perjudian dadu tadi dan melihat betapa pemuda ini telah merobohkan empat orang tukang pukul. Sambil berteriak-teriak mereka sudah menerjang maju dan senjata tajam di tangan mereka gemerlapan tertimpa sinar penerangan. Bun Houw terpaksa membela diri menggunakan kelincahannya meloncat ke sana-sini di antara meja-meja judi yang kini menjadi berantakan karena didorong oleh para pengeroyok yang mengejarnya.
Kalau dia mau, tentu saja dengan mudah Bun Houw akan dapat merobohkan mereka semua dalam waktu singkat. Akan tetapi bukan demikianlah yang dikehendakinya. Dia ingin menyelidiki Lima Bayangan Dewa dan menurut keterangan penyanyi jalanan tadi, majikan tempat inilah yang mengaku kenal dengan Lima Bayangan Dewa, maka dia harus dapat mendekatinya, kalau perlu masuk menjadi anak buahnya. Dan untuk keperluan ini, tidak baiklah kalau dia merobohkan mereka semua. Kalau tadi dia merobohkan empat orang tukang pukul itu hanya untuk memancing perhatian, dan diapun tidak melukai mereka dengan hebat, bahkan tidak ada tulang yang patah. Keadaan di dalam ruangan judi yang biasanya gaduh dengan suara orang berjudi, kini menjadi makin gaduh dengan teriakan-teriakan para pengeroyok dan bunyi senjata yang bertemu dengan meja,
Lantai dan senjata-senjata yang beterbangan ketika luput mengenai tubuh Bun Houw dan sebagian ada yang terlepas dari tangan pemegangnya karena terkena totokan jari tangan pemuda itu yang memperlihatkan kelincahannya. Bun Houw sejak tadi maklum akan kedatangan seorang laki-laki berusia empat puluh tahun lebih yang berpakaian mewah, berkumis rapi dan bermata tajam. Melihat sebatang pedang di punggung orang itu, sikapnya yang angkuh dan sikap merendah beberapa orang yang datang bersamanya, Bun Houw sudah dapat menduga bahwa yang datang itu tentulah Kiam-mo Liok Sun. Maka dia mengurangi kecepatan geraknya walaupun dia masih dapat menghindarkan diri dari para pengeroyoknya yang terus mengejar dan menghujankan serangan kepadanya itu.
"Kalian orang-orang tak mengenal maksud baik orang lain!"
Bun Houw pura-pura kewalahan dan berteriak-teriak.
"Sudah kukatakan, aku datang untuk bersahabat dan membantu Liok-loya yang terkenal gagah, mengapa kalian memaksaku berkelahi?"
Sejak tadi Kiam-mo Liok Sun menonton dengan hati tertarik. Biarpun gerakan pemuda tampan itu kacau dan tidak membayangkan ilmu silat tinggi yang dikenalnya, akan tetapi jelas bahwa pemuda itu memiliki kelincahan dan kecepatan gerakan yang amat mengagumkan sehingga belasan orang kaki tangannya itu yang mengeroyok dengan senjata di tangan sama sekali tidak mampu mendesaknya,
Apalagi melukai dan merobohkannya. Kini mendengar teriakan pemuda itu, dia makin tertarik. Tentu saja dia tidak begitu bodoh untuk mempercaya kata-kata orang asing ini, akan tetapi diam-diam dia mengakui bahwa kalau dia bisa memperoleh pemuda gagah itu sebagai pembantunya, dia mendapatkan keuntungan besar sekali. Keadaan menjadi sunyi setelah semua orang berhenti bergerak, sunyi yang menegangkan karena semua orang mengira bahwa sebentar lagi tentu sinar pedang maut dari pedang setan akan membuat kepala pemuda tampan itu terpisah dari badannya. Akan tetapi alangkah heran hati mereka ketika Liok Sun menggerakkan tangan dan dengan langkah labar dia mengampiri Bun Houw. Mereka saling berhadapan dan Liok Sun bertanya,
"Aku mendengar laporan bahwa engkau adalah seorang pemuda yang pandai sekali bermain judi. Benarkah itu?"
"Ah, selama hidupku, belum pernah aku bermain judi, mana bisa disebut pandai?"
Bun Houw merendah.
"Orang muda, engkau seorang asing dan datang-datang menimbulkan keributan di po-koan ini, sebenarnya apakah yang kaukehendaki?"
Liok Sun yang merasa suka kepada pemuda ini bertanya.
"Apakah saya berhadapan dengan Liok loya sendiri?"
"Benar, akulah Kiam-mo Liok Sun. Apakah engkau datang untuk menantangku?"
Laki-laki yang kelihatan tampan dan gagah karena pakaian dan sikapnya itu bertanya, nada suaranya mengejek.
"Sama sekali tidak, Liok-loya. Saya memang telah lama mendengar nama besar loya dan saya bahkan ingin menawarkan tenaga saya untuk membantu dan bekerja kepada loya."
"Hemm, orang muda. Siapakah namamu dan dari mana kau datang?"
"Nama saya Bun Houw dan saya tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap. Karena kehabisan bekal dan tidak mempunyai pekerjaan tetap, ketika tiba di kota ini dan mendengar akan kegagahan dan kedermawanan loya, saya lalu datang ke sini hendak mencari loya dan minta pekerjaan."
Kiam-mo Liok Sun memandang penuh selidlk.
"Orang muda she Bun, agaknya engkau memiliki kepandaian pula maka engkau berani mencari aku minta pekerjaan secara ini. Jangan mengira bahwa akan mudah saja mendapatkan pekerjaan dariku, apalagi setelah engkau melakukan pengacauan di sini."
Bun Houw maklum bahwa orang telah salah menduga, mengira dia she Bun bernama Houw, akan tetapi hal ini memang kebetulan karena dia tidak ingin memperkenalkan diri sebagai putera Cia Keng Hong ketua Cin-ling-pai.
"Maafkan saya, Liok-loya. Bukan maksud saya untuk mengacau..."
"Sudahlah. Karena engkau telah memperlihatkan kepandaianmu berjudi, biarlah sekarang aku tantang engkau berjudi dengan aku..."
"Akan tetapi... saya tidak pandai berjudi dan saya tidak mau..."
"Harus! Engkau harus mau berjudi dengan aku. Kalau engkau kalah, tidak perlu banyak cakap lagi dan engkau harus dihukum karena telah merugikan aku dan mengacau po-koan ini. Kalau engkau menang, nah... baru kita bicara tentang pekerjaan itu."
Semua anak buah Liok Sun tersenyum-senyum karena mereka mengira bahwa majikan mereka hendak mempermainkan pemuda itu sebelum membunuhnya. Bun Houw juga maklum bahwa Si Setan Pedang ini hendak mencobanya, maka sambil menarik napas dia berkata,
"Apa boleh buat, caramu menerima pembantu baru sungguh aneh, Liok-loya."
Dengan tersenyum Liok Sun melangkah dan duduk di belakang sebuah meja judi yang tidak berantakan dan dengan isyarat tangan dia menyuruh Bun Houw duduk menghadapi meja itu, bertentangan dengan dia. Dengan sikap terpaksa Bun Houw duduk dia atas bangku. Liok Sun lalu minta dua butir dadu dan sebuah mangkok. Dia memasukkan dadu itu di dalam mangkok lalu menggoyang-goyang mangkok sehingga terdengar bunyi berkeratakan ketika dua butir dadu berputaran di dalam mangkok yang ditutup dengan telapak tangan kirinya.
"Hanya ada dua kemungkinan yang keluar,"
Kata Liok Sun sambil tersenyum dan memandang tajam kepada Bun Houw.
"Yaitu nomor ganjil atau nomor genap, Nah engkau boleh memilih, orang muda."
Bun Houw menengok ke kanan kiri. Semua di sekelilingnya hanya wajah-wajah menyeringai yang seolah-olah sudah memastikan bahwa dia akan kalah dan menerima hukuman! Dia tahu bahwa kehendak majikan po-koan ini tidak dapat dibantah lagi, maka dengan suara tenang dia menjawab,
"Aku memilih genap!"
"Bagus, dan aku memilih ganjil. Engkau tahu yang tak dapat dibagi dua adalah ganjil!"
Kata Liok Sun.
"Dan yang dapat dibagi dua adalah genap!"
Bun Houw berkata pula.
"Lihat baik-baik, aku membuka mangkok!"
Majikan Hok-po-koan itu berteriak, dan cepat mangkoknya menelungkup kemudian dibukanya. Pandang mata Bun Houw dengan cepat dapat melihat bahwa dua butir dadu itu menunjukkan angka tiga dan lima, berarti berjumlah delapan, genap. Akan tetapi tiba-tiba sebutir dadu bergerak terguling.
Melihat ini, Bun Houw yang juga menekan tangannya ke atas meja, mengerahkan sin-kang dan dadu itu kembali lagi ke nomor lima. Akan tetapi tentu saja Liok Sun tidak mau kalah, dan dengan kedua tangan di atas meja dia mengerahkan tenaga dan dadu itu miring ke angka enam! Bun Houw sudah mengukur tenaga orang ini dan dia tahu bahwa biarpun Liok Sin jauh lebih kuat dari bandar judi tadi, akan tetapi kalau dia menggunakan sin-kang melawannya, dengan mudah dia akan dapat mengalahkan Liok Sun. Dia tidak mau menyinggung perasaan Liok Sun, akan tetapi dia harus dapat mendekati orang ini, maka diapun lalu menggerakkan tenaganya dan... dadu itu tetap berdiri miring antara nomor lima dan nomor enam, seolah-olah tenaga mereka seimbang, dan dengan tenaga sin-kangnya yang luar biasa kuatnya,
Bun Houw membuat dadu-dadu itu melesak ke dalam papan kayu meja itu sehingga yang sebutir tetap menunjukkan angka tiga sedangkan yang sebutir lagi melesak miring antara nomor lima dan enam! Semua orang yang melihat ini membelalakkan mata dengan terheran-heran. Liok Sun juga terkejut sekali ketika mendapat kenyataan bahwa dia tidak mampu memaksa dadu itu terlentang dengan nomor enam di atas. Akan tetapi diapun girang melihat dadu itu tidak menunjukkan nomor lima, melainkan miring dan dia mengira bahwa bertemunya dua tenaga, yaitu tenaganya dan tenaga pemuda itu, sedemikian kuat dan hebatnya sehingga dadu itu sampai melesak di atas meja! Giranglah hatinya, girang karena dia tidak kalah akan tetapi juga memperoleh kenyataan bahwa calon pembantunya ini hebat sekali kepandaiannya!
"Ha-ha-ha, yang keluar adalah nomor tiga dan nomor... lima setengah! Kita tidak kalah dan tidak menang!"
Kata Liok Sun. Bun Houw tersenyum.
"Sebaiknya begitu, Liok-loya, karena kalau dadu yang sebutir ini rebah dengan angka lima atau enam di atas, berarti saya yang menang."
"Ehh...? Mengapa begitu? Kalau keluar angka enam, berarti aku yang menang, karena tiga dan enam adalah sembilan, angka ganjil!"
Bun Houw menggeleng kepalanya.
"Dalam hal ini, loya bersikap cerdik, dan salah hitung. Kalau keluar angka sembilan, berarti saya yang menang, bahkan keluar angka apapun, dari satu sampai dua belas, saya yang menang."
"Gila! Mana bisa begitu?"
"Lupakah loya bahwa yang saya pegang adalah nomor..."
"Genap!"
"Ya, dengan penjelasan bahwa nomor genap adalah nomor yang dapat dibagi dua!"
"Memang begitu, dan kalau keluar nomor sembilan, tidak bisa dibagi dua!"
"Siapa bilang, loya? Sembilan dibagi dua adalah empat setengah, bukan? Nah, siapa yang dapat menyangkal bahwa segala nomor, dari satu sampai dua belas atau sampai selaksa sekalipun, depat dibagi dua?"
Liok Sun melongo, menatap wajah pemuda yang bersikap tenang itu dengan mata terbelalak dan terdengar semua orang berbisik-bisik gaduh. Ucapan pemuda aneh ini sama sekali tidak dapat disangkal memang!
"Apakah bicaraku salah, Liok-loya?"
"Tidak... tidak... hemm, kau benar. Bahkan keluar angka delapan setengah inipun masih dapat dibagi dua! Engkau menang orang muda yang cerdik. Akan tetapi aku baru mau menerimamu bekerja membantuku kelau engkau dapat mengalahkan pembantu-pembantu utamaku."
Dia menengok ke belakangnya dan memberi isyarat kepada dua orang yang tadi keluar bersamanya dan yang selalu menjaga di belakangnya.
Dua orang itu menyeringai dan meloncat ke tengah ruangan. Bun Houw memandang dengan penuh perhatian. Yang seorang bertubuh tinggi besar, berkulit kehitaman, dan bermata lebar, kepalanya botak. Dia berdiri dengan tangan kiri bertolak pinggang, tangan kanan mengelus-elus kumisnya yang dipelintir ke atas seperti dua buah golok menjungat ke atas di kanan kiri hidungnya yang besar. Orang kedua adalah seorang laki-laki yang usianya sebaya dengan si tinggi besar, kurang lebih lima puluh tahun, bertubuh pendek gendut dan matanya sipit, kulitnya kuning sekali seperti orang menderita penyakit kuning, kuning sampai ke kuku jari dan ke matanya. Bun Houw sudah maju pula tanpa mengeluarkan kata-kata lagi, menghadapi dua orang pembantu utama dari Kiam-mo Liok Sun.
"Silakan Ji-wi maju,"
Katanya tenang.
Dua orang tukang pukul yang merupakan orang-orang paling kuat di antara anak buah Liok Sun itu memandang ke arah majikan mereka. Tanpa perkenan majikan mereka, dua orang ini tidak berani sembarangan bergerak dan mereka masih ragu-ragu apakah mereka berdua diharuskan melawan bocah yang masih amat muda ini. Akan tetapi Liok Sun yang sudah mengukur tenaga Bun Houw dan yakin akan kelihaian pemuda ini, memberi isyarat dengan mata dan anggukan kepala, menyuruh dua orang pengawalnya itu maju mengeroyok! Dua orang itu lalu mengeluarkan suara gerengan dan bagaikan sekor gajah mengamuk, orang yang tinggi besar itu sudah menerjang dengan kedua lengannya yang panjang menyambar dari kanan kiri, menyerang Bun Houw dengan dahsyat.
Pemuda ini menggerakkan tubuhnya, mengelak dengan cekatan ke kiri dan di sini dia disambut oleh orang kedua yang gemuk pendek dan ternyata bahwa serangan si gemuk pendek ini tidak kalah hebatnya oleh kawannya yang tinggi besar. Namun, tentu saja bagi Bun Houw dua orang tukang pukul itu bukan apa-apa dan kalau dia menghendaki, dalam segebrakan saja dia akan mampu merobohkan mereka. Akan tetapi, dia tidak ingin terlalu menonjolkan kepandaiannya kepada Liok Sun karena hal ini tentu akan menimbulkan kecurigaannya, maka dia lalu melakukan perlawanan yang cukup untuk mengimbangi mereka berdua. Maka amat seru dan ramailah tampaknya perkelahian itu, ditonton oleh Liok Sun dan semua anak buahnya dengan penuh kekaguman. Setelah lewat lima puluh jurus dan membiarkan dada dan pahanya dua kali terkena pukulan lawan,
Akhirnya Bun Houw berhasil menendang sambungan lutut si tinggi besar sehingga orang ini roboh tak mampu berdiri lagi, dan merobohkan si pendek gendut dengan sodokan tangan terbuka ke lambungnya, membuat lawan ini menjadi mulas perytnya dan juga tidak mampu melanjutkan pertandingan. Bukan main girangnya hati Liok Sun. Dia segera menghampiri Bun Houw dan menggandeng tangan pemuda itu. Menurut penilaiannya ketika menyaksikan pertandingan tadi, ilmu kepandaian pemuda ini setingkat dengan dia! Dengan memperoleh pembantu selihai ini, tentu saja dia akan menjadi makin kuat. Bun-hiante, kau hebat sekali! Aku menerima lamaranmu bekerja. Mulai saat ini, engkau menjadi pengawal pribadiku!"
Katanya dengan girang dan dengan suara lantang karena ucapan ini bukan hanya ditujukan kepada Bun Houw, melainkan juga kepada semua anak buahnya.
"Terima kasih atas kebaikan Liok-loya..."
"Ah, mulai sekarang jangan menyebut loya lagi, cukup Liok-twako saja,"
Kata majikan rumah judi itu yang kemudian menoleh kepada anak buahnya.
"Hayo bereskan semua meja dan buka kembali po-koan. Jangan sampai menimbulkan keributan agar para langganan kita tidak menjadi jerih untuk bermain judi."
Setelah berkata demikian, di mengajak Bun Houw masuk ke dalam rumahnya yang terletak di belakang rumah judi itu. Mulai saat itu, berhasillah Bun Houw mendekati Kiam-mo Liok Sun, bahkan setelah mereka bercakap-cakap, Liok Sun makin suka kepada pemuda ini yang selain tinggi ilmu kepandaiannya ternyata juga bukan seorang jahat! Sebaliknya, Bon Houw merasa terheran-heran bahwa majikan rumah judi ini ternyata bukan pula seorang jahat! Bahkan hidupnya menduda dan agaknya dengan terpaksa sajalah Liok Sun membuka rumah judi itu.
"Sekarang berdagang amat sukar memperoleh keuntungan, Bun-hiante,"
Katanya.
"Aku tahu bahwa
pekerjaan bandar judi tidaklah bersih dan kalau tidak berani bermain curang tidak akan dapat untung. Akan tetapi aku memerlukan uang untuk menyusun kekuatan, karena aku mempunyai seorang musuh besar yang harus kubalas. Sekarang aku bertemu dengan engkau, sungguh membesarkan hatiku karena dengan bantuanmu, aku tidak takut lagi menghadapi musuh besarku itu."
Bun Houw mengerutkan alisnya.
"Apakah dia lihai sekali, twako?"
Sudah tiga hari dia tinggal di rumah Liok Sun dan memperoleh pelayanan baik sekali dan dia merasa akrab dengan "majikannya"
Yang menganggapnya seperti sahabat baik ini.
"Dia cukup lihai dan mempunyai banyak pengawal, selain kaya raya juga berpengaruh karena dia adalah seorang yang memegang jabatan dalam pemerintahan dan tinggal di Koan-hu."
Dewi Maut Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Bun Houw terkejut, lalu dia teringat akan urusannya sendiri yang sedang menyelidiki Lima Bayangan Dewa.
"Maaf, twako, akan tetapi aku merasa heran mengapa twako tidak dari dulu menghadapi musuh besar itu. Twako sendiri terkenal sebagai ahli pedang yang lihai dan memiliki banyak pembantu..."
"Aihhh, mereka itu hanya pandai berlagak akan tetapi kosong tanpa isi."
"Akan tetapi kabamya twako mempunyai banyak sahabat orang-orang sakti di dunia kang-ouw, bahkan aku pernah mendengar bahwa twako bersababat dengan Lima Bayangan Dewa."
Liok Sun mengangkat muka memandang sambil tersenyum.
"Eh, engkau juga mendengar tentang mereka, hiante?"
"Siapa yang tidak mendengamya, twako? Seluruh dunia kang-ouw geger setelah Lima Bayangan Dewa mengacau di Cin-ling-pai dan mencuri pedang Siang-bhok-kiam. Aku kagum sekali kepada mereka dan kalau benar twako bersahabat dengan mereka, aku ingin sekali twako memperkenalkan aku dengan mereka."
Liok Sun tertawa.
"Ha-ha-ha, mereka adalah orang-orang luar biasa, mana aku ada kehormatan menjadi sahabat mereka? Memang aku mengenal baik seorang yang mungkin sekali merupakan seorang di antara mereka atau setidaknya mengenal siapa adanya Lima Bayangan Dewa yang tersohor itu. Aku akan mengajakmu berkenalan dengan dia setelah engkau membantu aku menghadapi musuh besarku itu, hiante."
Bun Houw menjadi bingung. Bukan maksudnya seujung rambutpun untuk menjadi pembantu bandar judi ini! Akan tetapi agaknya dari orang inilah dia akan berhasil menemukan musuh-musuh besamya yang sudah sekian lamanya dicari tanpa ada hasilnya. Betapapun juga, dia tidak mau sembarangan turun tangan membantu Liok Sun memusuhi orang lain yang tidak ada sangkut-pautnya dengan dirinya sama sekali, apalagi sebelum dia ketahui apa sebabnya Liok Sun memusuhi orang itu.
"Aku telah menjadi pembantumu, sudah sepatutnya kalau aku membantumu, Liok-twako. Akan tetapi, siapakah musuh besarmu itu dan kalau boleh aku mengetahui agar jelas bagiku dan tidak meragukan tindakanku, mengapa twako bermusuhan dengan dia?"
Liok Sun Si Pedang Setan itu menghela napas panjang dan tiba-tiba wajah yang tampan itu berobah keruh dan muram tanda bahwa pertanyaan itu menimbulkan kenangan yang amat mendukakan hatinya.
"Semua orang mengenalku sebagai Liok Sun Si Pedang Setan, akan tetapi sesungguhnya, baru engkaulah yang mendengar bahwa dahulu namaku adalah Sun Bian Ek. Aku dahulu bukan orang baik-baik sungguhpun aku tidak pemah berhati kejam kepada siapapun yang tidak bersalah dan aku dahulu adalah seorang perampok tunggal yang telah mengundurkan diri dan bertobat, lalu menjadi pedagang hasil bumi."
Liok Sun mulai menuturkan keadaan dirinya.
Setelah mengundurkan diri dari dunia hitam dan menjadi pedagang hasil bumi, Liok Sun menikah dan hidup bahagia dengan isterinya yang cantik sampai mereka dikaruniai seorang anak perempuan yang mungil. Akan tetapi, malapetaka menimpa keluarganya dan hal ini tidak dapat dilepaskan dari cara hidupnya dahulu ketika dia masih menjadi perampok. Pihak pemerintah mengadakan pembersihan, menangkapi banyak sekali orang-orang dunia hitam di kota Koan-hu dan sekitamya. Dalam pembersihan ini, Liok Sun atau yang dahulu bemama Sun Bian Ek ikut pula ditangkap! Kepala pasukan keamanan di kota itu yang bemama Phang Un agaknya tahu akan riwayat hidup pedagang Sun Bian Ek maka biarpun semua orang terheran mengapa pedagang itu ikut ditangkap, namun Sun Bian Ek sendiri tidak dapat menyangkal bahwa dia dahulu adalah perampok dan dia tidak lepas dari pandang mata tajam dari Phang Un.
"Aku dijatuhi hukuman buang ke daerah utara untuk bekerja paksa memperbaiki saluran kota raja."
Liok Sun melanjutkan penuturannya.
"Semua itu tidak menyakitkan hatiku karena akupun maklum, bahwa kesesatanku yang lalu sudah sepatutnya menerima hukuman. Akan tetapi, dapat kau bayangkan bagaimana rasanya perasaanku ketika aku mendengar bahwa sesungguhnya yang menjadi sebab mengapa aku yang sudah mencuci tangan itu ditangkap, sama sekali bukan dikarenakan dosa-dosaku yang lalu, melainkan karena isteriku..."
"Eh...? Apa maksudmu, twako?"
Tentu saja Bun Houw terkejut dan heran mendengar arah cerita yang sama sekali menyimpang dan tidak disangka-sangkanya itu.
"Sehari setelah aku ditangkap, isteri dan anakku diboyong ke gedung si keparat Phang Un!"
"Ah, jadi dia merampas isteri dan anakmu?"
Liok Sun mengangguk.
"Mula-mula kusangka demikian. Di utara, aku tertolong oleh seorang tokoh hitam yang kusangka adalah seorang di antara Lima Bayangan Dewa, orang yang kumaksudkan tadi. Setelah aku bebas, diam-diam aku mengganti namaku dan membuka rumah judi di kota Kiang-shi ini. Sambil mengumpulkan harta dan kekuatan, aku menanti kesempatan baik untuk membalas dendam dan baru aku mengerti bahwa di antara keparat itu dan isteriku memang sudah terjalin hubungan sebelum peristiwa penangkapan itu terjadi. Kau tahu, aku adalah seorang pedagang hasil bumi di waktu itu, sering keluar kota sampai berhari-hari, dan Phang Un adalah kepala pasukan keamanan yang setiap malam boleh saja meronda dan memeriksa, maka..."
Liok Sun menarik napas panjang dan tidak melanjutkan, akan tetapi Bun Houw sudah dapat membayangkan apa yang terjadi antara isteri yang tidak setia itu dan si kepala pasukan keamanan yang mata keranjang.
"Hemm, memang patut dihajar dia!"
Kata Bun Houw. Demikianlah, karena merasa simpati mendengar riwayat Liok Sun, pada suatu pagi, beberapa hari kemudian, berangkatlah kedua orang ini menuju ke kota Koan-hu yang tidak begitu jauh letaknya dari Kiang-shi.
Malamnya, mereka berdua telah bergerak seperti dua ekor kucing di atas genteng rumah-rumah orang, dan berhasil meloncati pagar tembok yang mengurung gedung tempat tinggal Phang-ciangkun (Perwira Phang) tanpa diketahui para perajurit yang berjaga di sekitar tempat itu. Para penjaga itu memang agak lengah, karena mereka tidak percaya bahwa ada orang yang berani mati mengganggu rumah perwira itu. Dengan berindap-indap, akhirnya Liok Sun dan Bun Houw mengintai dari sebuah jendela kamar, Bun Houw melihat seorang wanita yang cantik berdandan mewah sedang duduk menyulam di dalam kamar itu. Wanita yang berpakaian mewah dan pesolek, usianya antara tiga puluh lima tahun, kulitnya putih dan pinggangnya ramping. Tidak ada orang lain lagi di dalam kamar itu,
Bun Houw merasa betapa napas temannya memburu dan tahulah dia bahwa wanita itulah agaknya isteri tidak setia itu. Dengan gerak tangannya, Liok Sun menyuruh Bun Houw berjaga di luar jendela dan dia sendiri hendak menerjang masuk, Bun Houw hanya mengangguk. Tadi dia telah berpesan kepada Liok Sun agar "majikannya"
Itu tidak sembarangan turun tangan dan hanya berurusan
(Lanjut ke Jilid 14)
Dewi Maut (Seri ke 03 - Serial Pedang Kayu Harum)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 14
dengan musuh-musuhnya saja, jangan melibatkan orang-orang lain dan pasukan keamanan pemerintah. Dengan kekuatan tangannya, Liok Sun mendorong daun pintu yang patah kuncinya dan seperti seekor burung dia melayang masuk ke dalam kamar itu. Bun Houw mengintai di luar jendela. Wanita itu menjerit dan bangkit berdiri, seketika menjadi pucat wajahnya dan kain yang disulamnya terlepas dari tangannya dan segulung benang sulam jatuh menggelinding di sudut kamar.
"Kanda... Sun Bian Ek...!"
Tubub wanita itu menggigil dan suaranya menggetar.
"Kau... kau... masih hidup...?"
Liok Sun atau Sun Bian Ek memandang dengan muka merah dan mata berapi, suaranya dingin dan penuh penyesalan,
"Perempuan hina, andaikata sudah matipun aku akan bangkit untuk mengutukmu. Kau perempuan hina, isteri yang khianat hendak kulihat bagaimana macamnya hatimu!"
Mata itu makin terbelalak, mukanya makin pucat.
"Tidak... ahh, jangan kau salah sangka...!"
Wanita itu menangis dan menjatuhkan dirinya berlutut di atas lantai di depan bekas suaminya itu.
"Kau... suamiku... kau salah sangka... aku... aku tidak berkhianat padamu..."
"Hemmm, siapa percaya mulutmu yang palsu? Kau masih berani menyangkal bahwa sebelum aku ditangkap dahulu, diam-diam engkau telah menjual dirimu yang kotor dan hina kepada si jahanam Phang Un?"
"Tidak... tidak... itu fitnah belaka... kau dengarlah... aku memang tidak pernah berani berterus terang akan terjadinya malapetaka di malam itu... pada suatu malam ketika engkau pergi berdagang... dia datang dan mengancam akan membunuh anakku jika aku tidak mau melayaninya... dengan ujung golok di leher anakku, apa dayaku...? Kanda Bian Ek... malam itu, untuk menyelamatkan nyawa anakku... aku terpaksa... melayaninya dan... dan setelah kau ditangkap, aku diboyong ke sini... apakah dayaku sebagai seorang wanita lemah?"
Liok Sun memandang bekas isterinya itu. Dia amat mencinta wanita ini dan selama lima tahun ini semenjak mereka berpisah, dia selalu mengenangkan kemesraan yang telah dialaminya bersama isterinya. Kini, mendengar cerita itu, dia tertegun dan tidak tahu harus berbuat apa terhadap isterinya yang kini menangis sesenggukan itu.
"Di mana adanya anakku, di mana? Aku harus membawa dia pergi dari sini, dan di mana jahanam itu? Akan kubunuh dia..."
Wanita itu kelihatan terkejut sekali, lalu bangkit berdiri dan dengah sikap ketakutan dia mundur-mundur sambil menggeleng kepala berkali-kali dan berkata,
"Jangan... tidak... jangan...!"
Pada saat itu terdengar suara ribut-ribut dari belakang dan tiba-tiba saja wanita itu menoleh dan lari ke arah pintu belakang sambil menjerit,
"Toloong...! Ada penjahat...! Tolooooong...!"
"Keparat, perempuan hina...!"
Kiam-mo Liok Sun menjadi marah sekali. Segala keraguan akan kesalahan isterinya setelah mendengar cerita tadi lenyap sama sekali dan dia tahu bahwa isterinya tadi hanya membodohinya untuk mengulur waktu agar para penjaga mendengar dan tahu akan kedatangan bekas suaminya ini. Dalam kemarahannya yang meluap, Liok Sun mencabut pedangnya dan sinar pedangnya menyambar dari belakang tubuh bekas isterinya. Wanita itu menjerit mengerikan dan roboh dengan punggung tertusuk pedang sampai tembus ke dadanya.
"Ibu...!"
Seorang anak perempuan berusia kurang lebih sepuluh tahun, berlari masuk. Melihat anak ini, Liok Sun cepat menyambarnya dengan tangan kiri. Dapat dibayangkan betapa kaget hatinya ketika tiba-tiba ada angin menyambar dari samping dan berkelebatnya bayangan sinar terang. Dia menggerakkan pedang menangkis.
"Cringg... aduhhh...!"
Liok Sun berteriak karena pundaknya yang kanan tetap saja keserempet golok yang dipegang oleh seorang laki-laki tinggi besar yang telah menyerangnya secara tiba-tiba. Karena tadi dia baru saja mencabut pedang dari tubuh bekas isterinya lalu menyambar anaknya dengan tangan kiri, maka ketika mendadak diserang, tangkisannya kurang cepat sehingga dia terluka oleh laki-laki yang bukan lain adalah Phang Un itu. Melihat betapa isterinya terbunuh dan anak tirinya dirampas, dan mengenal Sun Bian Ek, perwira ini marah sekali. Dia mengeluarkan teriakan untuk memanggil semua pengawalnya, kemudian goloknya bergerak menerjang Liok Sun yang sudah terluka.
"Plakkk...!"
Perwira itu terhuyung dan goloknya terlepas dari tangannya ketika Bun Houw yang meloncat masuk menepuk bahu kanannya dari belakang. Pemuda ini tadi merasa terkejut ketika melihat Liok Sun membunuh bekas isterinya, hal yang sama sekali tidak disangka-sangkanya, sungguhpun dia maklum pula akan kepalsuan wanita itu. Karena tertegun menyaksikan peristiwa mengerikan antara suami isteri yang tentu dahulunya saling mencinta itu, maka dia terlambat menolong Liok Sun sehingga "majikannya"
Itu terluka pundaknya. Baru ketika melihat Liok Sun terluka, dia meloncat ke dalam dan sempat menggagalkan serangan maut Phang-ciangkun tadi.
"Keparat busuk kau...!"
Llok Sun membentak ketika melihat Phang Un terbuyung, biarpun tangan kiri memondong anak perempuan itu dan pundak kanan sudah terluka, namun pedangnya masih berkelebat cepat sekali. Phang Un masih terkejut oleh tamparan yang bukan main kuatnya tadi. Dia masih terhuyung sambil memutar kepala untuk melihat siapa yang telah menampamya ketika sinar pedang berkelebat. Phang Un berusaha mengelak, akan tetapi hanya dua kali berturut-turut dia mampu mengelak. Sambaran pedang yang ketiga kalinya mengena sasaran dan robohlah Phang Un dengan leher yang hampir buntung terbabat pedang Liok Sun. Pada saat itu, datanglah belasan orangg perajurit dan pengawal ke tempat itu. Melihat Liok Sun hendak mengamuk, Bun Houw cepat berkata,
"Liok-twako, hayo kita pergi...!"
Liok Sun juga maklum betapa berbahayanya untuk menentang penjaga keamanan, maka melihat pembantunya itu sudah menerjang keluar kamar dan dengan mudahnya pemuda itu membuat lima enam orang pengawal terlempar ke kanan kiri, diapun lalu mengikuti Bun Houw dan setelah Bun Houw merobohkan lagi beberapa orang, mereka berdua berhasil meloncat ke atas genteng dan menghilang di kegelapan malam. Peristiwa itu membuat Liok Sun makin percaya kepada Bun Houw. Diapun tidak melupakan dan mengingkari janjinya. Setelah dia menitipkan puterinya kepada seorang sahabat baiknya, Liok Sun lalu mengajak Bun Houw untuk pergi mengunjungi seorang kenalannya, yang juga merupakan penolongnya ketika dia dihukum buang di utara,
Dapat juga disebut bekas kekasihnya, yang dianggapnya mungkin seorang di antara Lima Bayangan Dewa. Dan memang anggapannya ini tidaklah keliru karena wanita yang dimaksudkannya ini bukan lain adalah Hui-giakang Ciok Lee Kim. Ketika Bun Houw diberi tahu bahwa yang dimaksudkan itu adalah Hui-giakang Ciok Lee Kim, tentu saja hatinya merasa girang sekali. Tidak percuma dia mendekati Liok Sun, karena ternyata orang ini benar-benar hendak membawanya ke rumah seorang di antara Lima Bayangan Dewa yang dicari-carinya. Maka berangkatlah mereka dengan menunggang kuda dan Liok Sun melakukan perjalanan ini dengan senang hati karena diapun perlu sekali untuk beberapa lamanya meninggalkan Kiang-shi sampai keributan yang terjadi di kota Koan-hu itu menjadi dingin kembali.
Hong Khi Hoatsu yang usianya sudah tujuh puluh tiga tahun itu menggandeng tangan Lie Song dengan wajah muram, memasuki pekarangan rumah Lie Kong Tek, muridnya yang telah tewas itu. Peristiwa yang menyedihkan menimpa keluarga murid tunggalnya yang sudah dianggap sebagai puteranya sendiri itu, dan peristiwa itu menambah keriput di wajah kakek ini dan menambah uban di kepalanya. Andaikata tidak bersama Lie Seng, agaknya Hong Khi Hoatsu tidak akan sanggup memasuki pekarangan rumah mendiang muridnya itu.
"Sukong (kakek guru), alangkah sunyinya rumah kita..."
Lie Seng berkata. Ucapan anak kecil ini terasa seperti pedang menusuk ulu hati Hong Khi Hoatsu. Dia menghela napas panjang dan melihat kenyataan betapa kehidupan manusia penuh dendan suka duka, namun dukalah yang lebih banyak kalau dibandingkan dengan suka. Betapa keadaan hidup sama sekali tidak menentu. Muridnya, Lie Kong Tek, tadinya hidup bahagia dengan isteri dan dua orang anaknya, akan tetapi dalam sekejap mata saja keadaan penuh bahagia itu berubah sama sekali berubah secara hebat dan kebahagiaan kini berobah menjadi kesengsaraan lahir batin yang menyedihkan. Muridnya atau puteranya itu tewas membunuh diri,
Mantunya pergi mencari penjahat yang belum ketahuinya siapa dan dua orang cucunya kehilangan ayah bunda! Tentu hidup terasa makin tidak menyenangkan bagi orang setua dia, terasa makin sunyi dan tentu saja rumah di Sin-yang yang biasanya penuh kegembiraan dengan suara ketawa dua orang cucunya dan senyum manis mantunya, gelak tawa muridnya kini hanya membangkitkan kenangan yang telah lenyap. Kita manusia hidup memang selalu menjadi permainan suka dan duka apabila kita masih terbelenggu oleh segala ikatan. Selama batin kita masih belum bebas dari rasa takut akan kesunyian, kita selalu mencari sandaran dan kita mengikatkan diri dengan segala yang anggap akan mendatangkan kesenangan abadi. Kita selalu mengejar kesenangan dan menuntut kesenangan dari segala sesuatu sehingga kita mengikatkan diri dengan isteri,
Dengan keluarga, dengan kedudukan, dengan harta, dengan nama dan sebagainya. Pengikatan diri dengan semua ini dasarnya karena diri pribadi yang selalu menonjolkan pencarian kesenangan baik kesenangan duniawi maupun kesenangan rohani. Kalau sewaktu-waktu kita diharuskan terpisah dengan semua itu, tentu saja menimbulkan duka dan sengsara yang sama artinya dengan kekecewaan karena kesenangan kita dirampas. Sesungguhnya bahwa suka maupun duka bersumber kepada hati dan pikiran kita sendiri, tergantung dari bagaimana kita menanggapi dan menghadapi semua yang terjadi pada diri kita. Kebanyakan orang menganggap bahwa kesenangan juga berarti kebahagiaan dan sumbernya terletak di harta, kedudukan, nama dan sebagainya. Betapa bodohnya anggapan seperti itu, betapa dangkalnya.
Di manakah letak kekayaan? Apakah di kantong baju, di peti uang dan harta benda? Bukan, melainkan di dalam hati dan pikiran sendiri. Biarpun orang memiliki lima buah gunung emas, apabila dia masih merasa kurang maka dia adalah miskin dan akan terus mengejar kekayaan dengan tamaknya. Orang yang mengantongi uang satu juta adalah orang miskin apabila dia menginginkan barang yang lebih dari jumlah itu harganya. Orang tidak akan mampu menikmati, tidak akan mampu melihat keindahan, dari apapun yang berada di dalam tangannya, betapapun tinggi nilai benda itu, apabila dia menginginkan barang yang lain daripada yang telah dimilikinya. Dan orang yang selalu diperhamba oleh nafsu keinginannya, takkan pernah merasa cukup dan takkan pernah dapat mengerti apa yang dinamakan keindahan, apa yang dinamakan kebahagiaan hidup.
Sebaliknya, orang yang sudah bebas batinnya dari semua ikatan, menghadapi kehidupan dengan segala macam peristiwanya dengan hati terbuka, dengan perasaan lapang, dengan gembira dan tidak pernah dia tenggelam di dalam duka maupun suka. Bagi dia, segala sesuatu yang terjadi di dunia ini mengandung hikmah kehidupan yang luar biasa, yang indah dan wajar sehingga dia tidak lagi mengenal apa artinya kecewa, karena dia tidak mengejar apa-apa, tidak mengharapkan apa-apa. Keadaan demikian ini membuat dia bebas dari suka duka, bebas dari arus lingkaran setan yang membuat manusia yang belum bebas dan belum sadar dalam bidupnya selalu jatuh bangun di antara suka dan duka.
Akan tetapi betapa menyedihkan karena kebanyakan dari kita menerima keadaan hidup seperti ini! Kita menerimanya sebagai hal yang "sudah semestinya". Hidup yang penuh dengan duka nestapa, kesengsaraan, pertentangan dan permusuhan, benci dan iri hati, segala macam kepalsuan di segala lapangan dan dalam segala macam bentuk perang, pembunuhan dan kelaparan, di antara semua kengerian ini dan hanya kadang-kadang saja ada kesenangan yang hanya lewat bagaikan sinar kilat sekali-kali, dan kita sudah menerima kehidupan macam ini sebagai hal yang semestinya! Kita selalu mengejar kesenangan, dengan suka rela menghambakan diri kepada pemuasan kesenangan sungguhpun kita tahu bahwa di balik dari semua kesenangan itu terdapat kesusahan yang mengintai dan siap menerkam korbannya, yaitu kita!
Tidak ada kekuasaan apapun di dunia ini dapat merubah semua kesengsaraan kehidupan yang bersumber di dalam diri pribadi, kecuali KITA SENDIRI. Bukan kita yang mengusahakan perobahannya. Kita tidak akan dapat merubah diri sendiri, akan tetapi dengan kewaspadaan dan kesadaran, dengan mengenal diri sendiri luar dalam, dengan pengawasan dan pengamatan setiap saat, akan timbul pengertian dan kesadaran, dan pengertian ini tanpa diusahakan, dengan sendirinya akan menghalau semua perintang dan penghalang dari perobahan. Pengertian yang mendalam inilah yang penting, bukan segala macam pengetahuan mati tentang filsafat atau kebatinan manapun, karena pengetahuan-pengetahuan itu hanya akan menjadi slogan mati, klise-klise lapuk yang hanya akan diulang-ulang oleh mulut, bahkan diperalat untuk membanggakan diri belaka.
"Sukong, mengapa begini sunyi? Ke mana perginya para pelayan?"
Lie Seng berkata lagi dengan nada suara heran dan tidak enak. Anak berusia dua belas tahun ini telah dapat merasakan kehebatan malapetaka yang menimpa keluarganya, dan kini, mendekati rumah di mana dia dilahirkan, dia merasa perobahab hebat karena rumah itu kini seolah-olah merupakan tempat berkabung di mana tidak ada lagi ayahnya, ibunya, dan adiknya.
"Aku juga heran sekali..."
Kakek itu berkata dan hatinya terasa kurang enak karena kesunyian pekarangan rumah itu memang amat mencurigakan. Akan tetapi dia dan cucunya telah tiba di ruangan depan dan sudah terlambat karena tiba-tiba tampak bayangan berkelebatan dan tahu-tahu di ruangan depan itu berdiri empat orang laki-laki yang gerakannya ringan seperti setan. Hong Khi Hoatsu belum pernah bertemu dengan keempat orang ini, maka dia memandang penuh perhatian, lalu mengangkat tangan ke depan dada sambil bertanya,
"Maafkan kalau saya tidak mengenal su-wi (anda berempat). Siapakah kalian dan su-wi mencari siapa?"
Orang yang tertua di antara mereka, seorang kakek berusia enam puluh lima tahun akan tetapi masih kelihatan muda dan berwajah tampan, yang memakai pakaian serba putih, tertawa dan berkata kepada teman-temannya,
"Kalian berhati-hatilah. Tukang sulap ini boleh jadi kepandaiannya tidak berapa tinggi, akan tetapi ilmu sihirnya berbahaya. Kalau dia mengeluarkan sihirnya, lawan dengan sin-kang dan tulikan telinga, butakan mata terhadap semua ucapan dan gerakannya."
Mendengar ini, Hong Khi Hoatsu terkejut. Maklumlah dia bahwa empat orang ini, adalah orang-orang yang berilmu tinggi dan tentu membawa maksud buruk dengan kedatangan mereka yang aneh ini.
"Hong Khi Hoatsu, aku adalah Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok dan kedatangan kami adalah untuk bertemu dengan puteri dan cucu ketua Cin-ling-pai. Akan tetapi mereka tidak ada dan kebetulan kau datang. Kau adalah mertua puteri ketua Cin-ling-pai, hayo katakan di mana dia dan anak-anaknya?"
"Manusia-manusia jahat, kalian mencari ibu mau apa?"
Lie Seng yang masih dihimpit kedukaan itu menjadi marah sekali mendengar ucapan kakek itu. Hong Khi Hoatsu kaget sekali dan untuk mencegah cucunya bicarapun sudah terlambat.
"Ha-ha-ha, inikah puteranya? Anak baik, kau cucu ketua Cin-ling-pai? Ha-ha, sungguh kebetulan sekali!"
Sementara itu, Hong Khi Hoatsu menekan debar jantungnya. Biarpun dia belum pernah bertemu dengan mereka ini, namun mendengar nama Pat-pi Lo-sian, dia tahu siapakah mereka ini karena di Cin-ling-san dia sudah mendengar penuturan Cia Keng Hong tentang Lima Bayangan Dewa yang memusuhi Cin-ling-pai.
Petualang Asmara Eps 12 Petualang Asmara Eps 41 Petualang Asmara Eps 48