Ceritasilat Novel Online

Petualang Asmara 48


Petualang Asmara Karya Kho Ping Hoo Bagian 48



Tubuh Lie Kong Tek terbanting keras.

   "Ha-ha-ha, aku tidak akan membunuhmu agar kalau isteriku mau, dia dapat mempergunakanmu. Kalau tidak mau pun, kau harus menyaksikan sendiri betapa aku meniduri kekasihmu yang cantik ini, ha-ha!"

   "Manusia iblis! Terkutuk kau...!"

   Kong Tek memaki-maki akan tetapi tidak mampu bergerak lagi karena dia pun sudah ditotok punggungnya, membuat kedua kakinya lumpuh. Dan Lauw Kim In masih diam saja, hanya meraba pedangnya.

   "Ha-ha-ha, kini tibalah saatnya aku membalas kematian ayahku. Tentu roh ayahku akan tertawa bahagia menyaksikan betapa aku dapat menggagahi puteri musuh besarnya. Hemmm, kau cantik, Giok Keng, cantik sekali, hemmm...!"

   Giok Keng tetap memejamkan mata dan mematikan rasa ketika Ouwyang Bouw menciuminya dan menggerayang tubuhnya. Ketika jari-jari tangan Ouwyang Bouw mulai membuka pakaiannya hendak menanggalkan pakaian itu, totokan itu pun dapat dia punahkan dan tubuhnya sudah dapat bergerak lagi!

   "Hyaaatt...!"

   "Croottttt...! Aduuuhhh...!"

   Tubuh Ouwyang Bouw mencelat jauh ke belakang, kedua tangannya menutupi mukanya yang berlumuran darah. Serangan jari-jari tangan Giok Keng pada kedua matanya tadi, biarpun dia elakkan sedapatnya, tetap saja masih mengenal mata kirinya yang hancur bola matanya, membuatnya buta sebelah seketika dan rasa nyeri membuat dia menggerung-gerung. Tiba-tiba terjadilah hal yang membuat Giok Keng dan Kong Tek memandang terbelalak. Lauw Kim In, yang sejak tadi berdiri diam saja seperti patung, tiba-tiba telah mencabut pedangnya dan kini dari samping dia menghampiri suaminya, lengan kiri memeluk suaminya seperti hendak menolong, akan tetapi tangan kanannya menggerakkan pedangnya menusuk ke arah lambung.

   "Crepppp...!"

   Pedang itu menembus lambung dari kanan ke kiri. Tubuh Ouwyang Bouw seperti menegang, dia membalik dan matanya yang tinggal satu, terbelalak memandang isterinya, mulutnya berteriak,

   "Kau...? Kau...?"

   Kemudian terdengar gerengan seperti seekor serigala dan tahu-tahu kedua tangan Ouwyang Bouw telah menerkam ke depan, mencengkeram ke arah dada Lauw Kim In yang tak dapat mengelak lagi karena wanita itu tersenyum lebar dan wajahnya berseri-seri ketika melihat betapa pedangnya berhasil menembus lambung orang yang amat dibencinya itu.

   "Aughhh...!"

   Lauw Kim In menjerit mengerikan karena kedua buah dadanya telah dicengkeram sedemikian rupa sampai hancur dan darah muncrat keluar, berbareng dengan darah yang mengucur dari kedua lambung kanan kiri Ouwyang Bouw. Giok Keng terkejut, meloncat ke depan, pedangnya berkelebat dan tubuh Ouwyang Bouw terpelanting, tubuh yang tidak mempunyai lengan lagi karena kedua lengannya telah buntung oleh pedang Giok Keng akan tetapi kedua lengan itu kini bergantungan di dada Lauw Kim In karena kedua tangannya masih mencengkeram dada! Lauw Kim In juga terhuyung lalu terguling roboh. Bibirnya bergerak-gerak ketika matanya memandang Giok Keng. Gadis ini cepat menghampiri dan berjongkok, mendengarkan kata-kata yang menjadi pesan terakhir itu.

   "Katakan...kepada Yap Kun Liong...Mawar Go-bi...di saat terakhir...mempertahankan nilainya...!"

   Dan matilah Lauw Kim In dalam keadaan yang amat mengerikan karena kedua lengan yang buntung itu masih tetap menggantung pada dadanya, sedangkan Ouwyang Bouw tewas dengan pedang menembus lambung. Giok Keng mengeluh, bergidik dan menutupi muka dengan kedua tangannya. Ngeri dia membayangkan bahaya yang mengancamnya tadi, bahaya yang amat mengerikan dan amat hebat. Kemudian dia teringat kepada Kong Tek lalu dibukanya kedua tangannya dari depan mukanya. Dia bangkit berdiri, memandang ke arah pemuda itu. Dilihatnya Kong Tek rebah miring, tak mampu bergerak karena selain luka pada pahanya, juga tertotok punggungnya. Pemuda itu memandang kepadanya, akan tetapi tidak mengeluarkan kata-kata sepatah pun. Mengeluh pun tidak. Dengan perlahan Giok Keng menghampirinya.

   "Aku girang dan bersyukur melihat engkau selamat, Nona,"

   Kata Kong Tek.

   "Kau merasa telah menolongku lagi?"

   Giok Keng bertanya sambil menggunakan tangannya untuk membebaskan totokan yang membuat pemuda itu tidak mampu menggerakkan kedua kakinya. Kong Tek menarik napas panjang.

   "Hasrat hati ingin menolong melihat engkau terancam bahaya, akan tetapi kenyataannya aku hanya menimbulkan gangguan saja untukmu, -karena kepandaianku yang amat rendah. Betapa pun, aku girang melihat engkau selamat."

   Setelah dapat menggerakkan kedua kakinya, dengan terpincang-pincang Kong Tek menyeret kakinya yang terkena jarum, lalu menghampiri mayat Lauw Kim In dan Ouwyang Bouw, dan mulailah dia menggali tanah dengan pedangnya.

   "Eh, apa yang kau lakukan itu?"

   Giok Keng bertanya. Tanpa menghentikan pekerjaannya, dia menjawab,

   "Menggali lubang untuk mengubur dua mayat ini..."

   Giok Keng cemberut.

   "Aaaahhh! Perlu apa? Mereka adalah manusia-manusia jahat yang berwatak iblis, terutama Ouwyang Bouw itu!"

   "Mungkin, akan tetapi sekarang aku melihatnya sebagai mayat dua orang yang tidak mungkin kubiarkan tersia-sia dan membusuk begitu saja tanpa dikubur, Nona."

   Giok Keng diam saja, lalu duduk di atas batu dan menonton pemuda itu bekerja dengan susah payah karena paha kirinya terluka. Tentu saja dia mengerti akan kebenaran pendapat pemuda itu. Tidak percuma dia menjadi puteri Pendekar Sakti Cia Keng Hong yang terkenal berwatak budiman. Akan tetapi dia mewarisi watak keras dari ibunya dan kini kebaikan Kong Tek itu dianggapnya sebagai suatu aksi untuk menarik perhatiannya! Maka dia diam saja tidak membantu. Betapapun juga, melihat pemuda itu bekerja dengan amat susah payah, dan satu kali pun tidak pernah menengok atau melirik ke arahnya, Giok Keng merasa tidak enak hatinya. Benarkah pendapatnya bahwa pemuda itu bersikap baik hanya untuk menarik perhatiannya?

   Bagaimana kalau tidak? Pemuda itu tidak pernah melirik ke arahnya, tidak seperti orang yang sedang berlagak minta dipuji. Akhirnya Giok Keng merasa betapa tidak enaknya duduk diam seperti itu menonton orang yang susah payah bekerja. Bagaimanapun juga, pemuda itu tadi telah susah payah membelanya, bahkan telah menderita luka yang amat berbahaya. Dan dia teringat pula betapa wanita yang tewas itu pun telah membantunya, karena biarpun mata sebelah Ouwyang Bouw sudah terluka, agaknya tidaklah akan mudah merobohkan manusia iblis itu. Tanpa berkata-kata lagi Giok Keng turun dari batu yang didudukinya, lalu menghampiri Kong Tek dan membantunya menggali tanah. Pemuda itu pun tidak berkata apa-apa dan keduanya bekerja keras sampai akhirnya tergali sebuah lubang yang cukup lebar dan dalam.

   "Biarlah aku yang mengubur mereka, Nona,"

   Kata Kong Tek. Sambil terpincang-pincang dia menyeret dua mayat itu ke dalam lubang, kemudian menguruknya dengan tanah kembali. Setelah selesai, keduanya menyeka peluh dengan saputangan, dan Giok Keng berkata,

   "Hari sudah hampir senja, kita lanjutkan perjalanan."

   Kong Tek mengangguk, akan tetapi ketika mereka berdua baru saja melangkah beberapa tindak, Kong Tek terguling dan tanpa mengeluh dia roboh pingsan! Ketika dia siuman kembali karena mukanya dibasahi air oleh Giok Keng, Kong Tek membuka matanya dan melihat betapa gadis itu sedang memeriksa luka di pahanya dengan merobek sedikit celananya di bagian yang terluka, di atas lutut kiri. Luka itu merah dan agak kebiruan, membengkak besar.

   "Ahhh, engkau terluka oleh jarum beracun yang amat berbahaya, Lie-toako. Aku pun pernah terluka oleh jarum-jarum yang dilepas oleh Ouwyang Bouw dan kalau tidak ada pertolongan Kun Liong, aku tentu sudah mati. Engkau terluka dan masih mengerahkan tenaga untuk menyerangnya, kemudian malah menggali tanah, lukamu menjadi makin hebat dan racun itu tentu menjalar makin luas."

   Kong Tek menarik napas panjang.

   "Nona, aku hanya membikin repot saja kepadamu. Aku terluka dan tidak mampu jalan, maka silakan Nona melanjutkan perjalanan. Kalau umurku masih panjang, kelak aku menyusul ke Cin-ling-pai."

   Giok Keng bangkit berdiri. Orang ini benar-benar angkuh bukan main! Semenjak terluka, mengeluh sedikit pun tidak, minta tolong satu kali pun tidak. Apakah semua ini termasuk aksinya agar dikagumi? Apakah menyuruh dia pergi sendiri meninggalkan dia yang terluka parah itu termasuk lagaknya agar dianggap sebagai seorang gagah sejati? Dia akan mencobanya!

   "Begitulah kehendakmu, Toako? Aku harus melanjutkan sendiri perjalananku dan meninggalkan engkau di sini?"

   Kong Tek mengangguk.

   "Lukaku parah, aku akan mengusahakan sendiri pengobatannya."

   "Kalau tidak berhasil?"

   Kong Tek tersenyum.

   "Paling hebat mati!"

   "Dan kau tidak ingin aku membantumu?"

   "Apakah yang dapat kau lakukan, Nona? Engkau hanya akan ikut repot dan sengsara, dan...dan andaikata aku tidak tertolong lagi dan mati, aku tidak ingin engkau berada di sini."

   "Eh! Mengapa?"

   Kong Tek tak dapat menjawab, ketika didesak dia menjawab,

   "Tidak apa-apa."

   "Hemm, kalau begitu baiklah. Selamat tinggal, Lie-toako."

   "Selamat jalan, harap Nona hati-hati di dalam perjalanan."

   Giok Keng berjalan pergi dengan cepat, beberapa kali dia menengok akan tetapi dia melihat betapa pemuda itu sama sekali tidak memandang kepadanya, melainkan memeriksa luka di pahanya dengan kaku dan canggung. Setelah melalui sebuah tikungan, Giok Keng menyelinap di antara pohon-pohon dan kembali ke tempat itu, mengintai dari balik pohon. Penasaran juga hatinya ketika mendapat kenyataan babwa pemuda itu sama sekali tidak pernah menengok ke arah dia pergi. Satu kalipun tidak pernah! Benar-benar tidak peduli sama sekali! Jangankan tergila-gila kepadanya pemuda ini melirik pun tidak pernah! Apakah daya tariknya terhadap pria sudah pudar? Ataukah pemuda ini yang berhati sekeras baja dan dingin seperti es membeku? Hemm, ingin kulihat kalau dia berhutang budi dan nyawa kepadaku! Giok Keng kembali ke tempat itu membawa daun lebar dibentuk corong berisi air bersih.

   "Mari kurawat lukamu itu"

   Kong Tek mengangkat mukanya.

   "Ahh... kau belum pergi, Nona?"

   Giok Keng tidak mau menjawab melainkan duduk bersimpuh dekat pemuda itu, merobek kain celana di luka itu lebih lebar, kemudian menggunakan kain bersih untuk
(Lanjut ke Jilid 47)
Petualang Asmara (Seri ke 02 - Serial Pedang Kayu Harum)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 47
mencuci darah menghitam dari atas luka itu. Setelah tercuci, tampaklah jarum merah itu terbenam di dalam daging, jauh di bawah kulit. Giok Keng melihat tarikan pada dagu pemuda itu.

   "Sakitkah?"

   "Tidak berapa, Nona,"

   Jawab Kong Tek dan diam-diam Giok Keng merasa kagum juga. Pemuda ini memang luar biasa, kuat menderita bukan main dan sedikit pun tidak memiliki sifat cengeng.

   "Aku pernah menderita luka karena jarum ini. Racunnya hebat, dapat mematikan. Ketika aku diobati oleh Kun Liong, jarum-jarum di tubuhku dikeluarkan dulu, kemudian semua darah yang berada di sekitar luka harus dikeluarkan. Kalau tidak, amat berbahaya karena begitu racun jarum ini naik sampai ke jantung, tidak dapat disembuhkan lagi."

   "Memang pantas kalau orang macam Ouwyang Bouw menggunakan jarum beracun sekeji itu!"

   Hanya ini saja komentar Kong Tek.

   "Aku harus mengeluarkan jarum itu. Ketika Kun Liong... eh, suhengku itu mengeluarkan jarum dari lukaku, dia mempergunakan sin-kang yang amat kuat, menyedot jarum-jarum itu sampai keluar dengan kekuatan sin-kang dari telapak tangannya saja. Akan tetapi aku tidak mungkin dapat melakukan itu. Aku akan menggunakan ujung pedang untuk merobek sedikit daging di luka itu, mengeluarkan jarumnya. Akan tetapi tentu amat nyeri..."

   "Nyeri dapat kupertahankan, akan tetapi apakah kau tidak merasa ngeri, Nona? Biarlah aku yang membedahnya sendiri."

   "Pertahankanlah!"

   Giok Keng mencabut pedangnya, mencuci ujung pedang itu, kemudian dia merobek kulit di luka itu, terus ke dalam daging. Dia melihat Kong Tek hanya menggerakkan sedikit pelupuk matanya ketika ujung pedang itu mencokel keluar jarum merah dan darah kehitaman keluar dari luka yang agak lebar itu.

   "Darah itu harus dikeluarkan semua sampai keluar darah merah, Toako. Caranya harus disedot..."

   Giok Keng maklum bahwa kalau hal itu tidak segera dilakukan, nyawa pemuda ini takkan tertolong lagi. Biarpun luka itu hanya disebabkan sebatang jarum, namun racun itu sudah menjalar sejengkal lebih di seputar luka! Pemuda ini sudah berkali-kali membelanya dengan taruhan nyawa, bahkan luka ini pun hasil membela dirinya, maka dia sendiri akan tersiksa batinnya untuk selamanya kalau sampai dia membiarkan pemuda ini mati, padahal dia dapat menolongnya. Dengan mengeraskan hatinya dia berkata.

   "Aku akan menyedotnya bersih seperti yang ditakukan Yap-suheng kepadaku kemarin dulu."

   "Jangan, Nona...!"

   Kong Tek sudah memegang pundak Giok Keng dan menahan gadis itu yang sudah hendak menunduk untuk menyedot luka dengan mulutnya! "Jangan! Lebih baik aku mati saja daripada membiarkan engkau melakukan hal itu! Harap jangan merendahkan diri seperti itu. Aku dapat menyedotnya sendiri. Lihat!"

   Biarpun dengan susah payah mengangkat-angkat kakinya yang terluka dan menundukkan kepalanya sampai dalam sekali, ternyata mulut Kong Tek dapat juga mencapai luka di atas lutut itu dan dia menyedot, meludahkan darah hitam, menyedot lagi sampai tubuhnya menggigil dan mukanya pucat, napasnya agak terengah. Giok Keng memandang dan membantu, mengurut jalan darah di paha agar darahnya terkumpul di luka. Setelah melihat pemuda itu meludahkan darah merah, dia berseru girang,

   "Cukup, Toako! Kau tertolong sudah!"

   Kong Tek kehabisan tenaga lalu menjatuhkan dirinya terlentang, rebah di atas tanah.

   "Berkat pertolonganmu, Nona,"

   Katanya terengah. Giok Keng tidak menjawab, mengambil obat luka yang selalu ada padanya, mengobati luka itu dengan saputangannya yang bersih. Dan dua jam kemudian, biarpun agak terpincang-pincang, Kong Tek sudah dapat melanjutkan perjalanan di sampingnya.

   Diam-diam hati gadis ini makin kagum. Memang kuat sekali pemuda ini. Kuat tubuhnya, kuat daya tahannya, dan kuat pula hatinya. Akan tetapi hal terakhir ini makin membuat dia penasaran karena biarpun dia sudah memperlihatkan sikap menolong, bahkan hendak menyedot luka, pemuda itu tetap saja biasa, sama sekali tidak memperlihatkan sikap manis atau bermuka-muka, seolah-olah pemuda itu bukan melakukan perjalanan di samping seorang dara yang cantik jelita, yang telah banyak membuat laki-laki bertekuk lutut dan tergila-gila melainkan agaknya seperti melakukan perjalanan bersama seorang teman biasa saja yang tidak ada keistimewaannya apapun juga! Hatinya kagum bercampur mendongkol karena baru satu kali ini dia merasa tidak dipedulikan oleh seorang pria!

   "Lama Jubah Merah di Tibet? Jahanam benar berani menantangku!"

   Pendekar Cia Keng Hong mengepal tinjunya ketika dia mendengar penuturan isterinya yang berwajah pucat tentang diculiknya puteranya oleh dua orang pendeta Lama yang bernama Hun Beng Lama dan Lak Beng Lama, tokoh-tokoh Perkumpulan Agama Lama Jubah Merah di Tibet. Wajah pendekar ini sebentar merah sebentar pucat dan kemarahan memenuhi dadanya.

   "Aku akan segera mengejar ke sana!"

   "Tenanglah dulu, urusan ini harus kita pertimbangkan baik-baik, selain mereka itu lihai sekali, jelas bahwa mereka itu tidak menghendaki permusuhan dengan kita, juga mereka tidak mengganggu Houw-ji. Hal ini aku percaya benar. Yang mereka kehendaki adalah Kun Liong, entah ada urusan apa mereka dengan Kun Liong. Kalau kita langsung menyerbu ke sana, bukankah hal itu malah membahayakan keselamatan Houw-ji? Ketika aku melawan mereka dan melihat Bun Houw berada dalam kekuasaan mereka, aku tidak berdaya dan terpaksa menyerah. Kalau kita tiba di sana dan melihat mereka mengancam anak kita, apa yang dapat kita lakukan? Sebaiknya kalau kita mencari Kun Liong dan menanyakan urusan apa yang terjadi antara dia dan mereka. Mungkin dia seoranglah yang akan dapat menolong anak kita dan suka bersama kita ke Tibet."

   Dengan panjang lebar Biauw Eng lalu menceritakan semua peristiwa yang terjadi sepekan yang lalu kepada suaminya yang baru saja tiba ini, didengarkan oleh Keng Hong dengan muka keruh dan seringkali menggeleng kepala dan mengepal tinju. Setelah cerita isterinya tentang diculiknya Bun Houw itu berakhir, dia menepuk meja di depannya.

   "Semua gara-gara Giok Keng! Kalau tidak ada urusan dia, tentu aku sudah pulang dan dapat mencegah terjadinya penculikan ini."

   "Giok Keng? Bagaimana dengan anakku itu?"

   Biauw Eng bertanya dan wajah ibu ini makin pucat. Batinnya berkali-kali mengalami pukulan, pertama mengingat akan puterinya yang diusir oleh suaminya itu, ke dua ditambah dengan peristiwa diculiknya Bun Houw.

   "Hehhhh..."

   Keng Hong menghela napas.

   "Masih untung akhirnya. Untung bahwa di saat terakhir, anakmu itu masih tertolong dan dia tidak jadi menikah dengan bangsat Liong Bu Kong itu!"

   "Apa? Giok Keng... menikah?"

   "Hampir saja!"

   Keng Hong kini mendapat giliran menceritakan semua yang terjadi atas puteri mereka itu. Berkali-kali Biauw Eng mengeluarkan seruan tertahan karena merasa ngeri mendengar akan bahaya yang mengancam puterinya itu. Kemudian dia menarik napas lega, hatinya lega dan bersyukur, terutama sekali karena suaminya telah "berbaik kembali"

   Dengan puteri mereka.

   "Sekarang, di mana dia?"

   "Dia mengejar-ngejar Liong Bu Kong."

   "Aihh, berbahaya kalau begitu."

   "Tidak, Kun Liong sudah menyusulnya."

   "Aahhh, kalau begitu, tak lama lagi tentu dia pulang. Mudah-mudahan bersama Kun Liong agar dapat kita ajak ke Tibet bersama. Memang sebaiknya kalau puteri kita itu berjodoh dengan Kun Liong..."

   Kembali Keng Hong menghela napas.

   "Sebaiknya kita tidak mencampuri urusan jodoh anak kita. Biarlah dia yang memilih sendiri, karena kalau kita mencampurinya, tidak urung kita hanya akan kecewa. Agaknya Kun Liong dan Giok Keng tidak saling mencinta, dan di dalam peristiwa di Pek-lian-kauw itu, aku malah menghadapi pinangan orang lain."

   "Siapa?"

   "Dari Hong Khi Hoatsu yang menolong aku dan Giok Keng untuk muridnya yang bernama Lie Kong Tek, seorang pemuda yang hampir kubunuh."

   Dia lalu menceritakan betapa Lie Kong Tek membela Giok Keng. Biauw Eng menggeleng-geleng kepalanya.

   "Memang sukar mengurus soal cinta-mencinta orang-orang muda. Padahal, di dalam cinta-mencinta antara pemuda-pemudi itu terdapat banyak sekali persoalan rumit dan banyak bahaya mengancam, terutama di pibak wanita. Wanita yang masih gadis remaja, masih hijau, mudah terkena bujuk rayu mulut pria, dan cintanya hanya berdasarkan ketampanan wajah dan kebaikan sikap belaka, padahal sangat boleh jadi bahwa semua itu palsu. Dahulu sudah kunasihati Keng-ji agar berhati-hati. Kuberi tahu bahwa seorang calon suami yang baik adalah seorang laki-laki yang dapat menjaga kehormatan sang kekasih, yang memperlakukan kekasihnya itu dengan penuh pengharapan dan penghormatan sebagai seorang calon suami yang ingin melihat calon isterinya itu dalam keadaan murni. Kalau ada seorang laki-laki yang membujuk pacarnya untuk melakukan perjinahan, maka jelas bahwa cintanya itu hanya cinta birahi belaka, dan dia tidak menghargai calon isterinya, tidak menghormatinya, tega menyeret calon isteri dan calon ibu anak-anaknya ke dalam lumpur perjinahan yang akibatnya selalu ditanggung oleh si wanita sebagai aib! Namun...betapa banyak gadis yang membutakan mata akan hal ini, setelah terlanjur dan terlambat, baru menyesal, penyesalan yang tidak ada gunanya sama sekali!"

   Melihat isterinya bicara secara bersemangat itu, Keng Hong lalu merangkulnya dan mengajaknya masuk ke dalam. Dia tahu betapa menderita batin isterinya memikirkan kedua orang anak mereka.

   "Memang kita harus tenang, Isteriku. Urusan Giok Keng sudah bebas dari bahaya, hanya tinggal Bun Houw. Kita harus mencari jalan yang sebaiknya untuk menolong anak kita itu."

   Pada saat itu, Kwee Kin Ta datang menghadap Suhu (Guru) dan Subonya (Ibu Gurunya), melaporkan bahwa ada utusan dari kota raja ingin bertemu dengan suhunya.

   "Dari kota raja?"

   Keng Hong berseru dengan kaget.

   "Mereka dipimpin oleh Tio-ciangkun."

   "Aih, tentu dari The-taiciangkun (Panglima Besar The)!"

   Keng Hong dan isterinya bergegas keluar dan cepat mereka menyambut dengan hormat dan gembira ketika melihat bahwa yang datang adalah Tio Hok Gwan, pengawal The Hoo yang telah lama menjadi sahabat mereka, seorang kakek pengantuk tinggi kurus yang terkenal dengan julukan Ban-kin-kwi (Iblis Bertenaga Selaksa Kati), bersama dua orang pengawal lain yang menjadi pembantu-pembantu tetapnya, yaitu Kui Siang Han dan Song Kin.

   "Ahh, kiranya Tio-toako yang datang berkunjung! Selamat datang! Selamat datang!"

   Tio Hok Gwan memberi hormat diikuti oleh Keng Hong dan isterinya.

   "Mudah-mudahan saja keadaan Taihiap dan Li-hiap selama ini baik-baik saia,"

   Katanya. Suami isteri itu merasa tertusuk batinnya, akan tetapi sambil menekan batin mereka tersenyum dan mempersilakan tiga orang tamunya duduk di ruangan dalam dan para pelayan dan anak murid Cin-ling-pai segera mengeluarkan suguhan minuman sekadarnya.

   "Kunjungan kami ini memenuhi perintah The-taijin untuk menyerahkan surat beliau kepada Taihiap. Silakan Taihiap membacanya dan baru kita dapat mengadakan perundingan."

   Tio Hok Gwan berkata sambil menyerahkan sesampul surat dengan sikap hormat. Karena surat itu mewakili Pembesar The Hoo, maka Keng Hong berlutut dan menerimanya dari tangan perwira pengawal itu. Kemudian dia duduk lagi dan membuka sampul surat dan membaca isi surat yang singkat itu.

   "Ke Tibet...?"

   Serunya dengan suara terkejut dan juga girang. Mendengar seruan ini, serentak Biauw Eng merampas surat dari tangan suaminya dan membacanya. Kiranya di dalam surat itu, Panglima The Hoo minta bantuan Keng Hong agar menemani Tio Hok Gwan yang dikuasai untuk menghubungi pemerintah di Tibet.

   "Sungguh kebetulan!"

   Biauw Eng juga berseru setelah membaca surat itu.

   "Kami berdua pun merencanakan hendak pergi ke sana!"

   
Petualang Asmara Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Ahhh! Begitukah? Agaknya ada urusan penting sekali maka Ji-wi hendak pergi ke barat."

   Tio Hok Gwan berkata dengan heran juga karena keperluan apakah yang memaksa suami isteri itu akan pergi ke tempat asing dan penuh rahasia itu? Suami isteri itu saling pandang dan keduanya mufakat untuk menceritakan urusan mereka kepada Tio Hok Gwan, dan mereka pun percaya kepada dua orang perwira pengawal yang menjadi pembantu Ban-kin-kwi itu.

   "Di antara sahabat baik tidak ada rahasia,"

   Kata Keng Hong.

   "karena yakin bahwa Sam-wi tidak akan membocorkan urusan kami ini. Sesungguhnya, baru sepekan yang lalu, putera kami Cia Bun Houw yang baru berusia lima tahun telah diculik dan dibawa pergi oleh dua orang Lama Jubah Merah ke Tibet!"

   Kini tiga orang pengawal itulah yang terkejut sekali.

   "Lama Jubah Merah? Sungguh aneh! Satu di antara tugas kita di Tibet nanti juga berkenaan dengan perkumpulan Agama Lama Jubah Merah itulah!"

   Cia Keng Hong dan isterinya menjadi terheran-heran dan ingin sekali mendengar penuturan Tio Hok Gwan.

   "Harap Tio-toako cepat menceritakan apa gerangan yang akan menjadi tugas kita di Tibet."

   Tio Hok Gwan lalu bercerita. Kiranya Pemerintah Kerajaan Beng ingin berbaik dengan para negara tetangga yang terdekat, dan satu di antaranya tentu saja adalah Kerajaan Tibet yang sesunguhnya dikuasai oleh para Lama, sedangkan rajanya hanya boneka belaka.

   Untuk mempererat hubungan baik, Kaisar mengajukan lamaran kepada seorang puteri Kerajaan Tibet untuk menjadi isteri seorang pangeran putera Kaisar. Di samping urusan keluarga ini yang akan disampaikan oleh Tio Hok Gwan sambil membawa surat dan hadiah ke Tibet, juga urusan yang lebih penting lagi, yaitu Pemerintah Tibet diam-diam telah minta bantuan Pemerintah Beng, karena mendengar akan gerak-gerik perkumpulan Agama Jubah Merah yang makin kuat dan yang menurut penyelidikan mereka kini mulai mengadakan hubungan dengan perkumpulan Pek-lian-kauw. Mereka merencanakan persekutuan, untuk merobohkan dan merampas kekuasaan di Tibet yang kalau berhasil kelak akan dipegang oleh para Lama Jubah Merah, dan sebagai imbalannya Tibet akan mengerahkan pasukan membantu Pek-lian-kauw memberontak terhadap Kerajaan Beng.

   "Sebetulnya, urusan pemberontakan inilah yang lebih penting,"

   Tio Hok Gwan menutup ceritanya.

   "Akan tetapi, mengapa mengutus Toako dan dibantu oleh kami berdua? Mengapa The-taijin tidak mengirim pasukan saja yang kuat untuk menundukkan para calon pemberontak itu?"

   "Tidak semudah itu, Taihiap. The-taijin ingin menjaga hubungan baik antara rakyat Tibet dengan kita. Rakyat Tibet amat peka terhadap penyerbuan tentara asing dan kalau sampai kita mengirim pasukan ke sana, biarpun pasukan itu akan membantu Pemerintah Tibet yang sah untuk menumpas gerombolan pemberontak, namun dapat menyinggung hati dan kehormatan rakyat di sana. Karena itu, penumpasan para pemberontak Lama Jubah Merah itu diserahkan kepada Pemerintah Tibet sendiri yang cukup kuat. Hanya atas permintaan Kerajaan Tibet, The-taijin mengirim bantuan tenaga yang sekiranya memiliki cukup kelihaian untuk menghadapi para Lama Jubah Merah yang kabarnya banyak yang lihai itu."

   "Memang mereka lihai, terutama dua orang yang datang menculik puteraku!"

   Kata Biauw Eng.

   "Namanya adalah Hun Beng Lama dan Lak Beng Lama!"

   "Hemmm..."

   Tio Hok Gwan mengangguk-angguk.

   "Kalau tidak salah mereka adalah tokoh-tokoh besar, pembantu-pembantu ketuanya yang namanya Sin Beng Lama. Menurut cerita Ji-wi tadi, mereka menculik putera Ji-wi sebagai sandera untuk ditukar dengan Yap Kun Liong?"

   "Benar demikianlah, dan kami pun belum tahu apakah yang terjadi antara mereka dengan Kun Liong. Karena itu, sebaiknya kalau Kun Liong dapat membantu dalam tugas kita ini, selain dia dapat menyelamatkan anak kami juga kepandaian anak itu sudah cukup tinggi untuk memperkuat tenaga kita menghadapi para Lama Jubah Merah."

   "Sebaiknya demikian, Taihiap. Akan tetapi di manakah adanya Yap-sicu?"

   "Justeru ini yang membingungkan kami karena sampai sekarang dia belum juga muncul. Akan tetapi mudah-mudahan saja tidak lama lagi dia datang ke sini,"

   Kata Keng Hong.

   "Biarlah kami akan membantu dengan menyebar para penyelidik untuk mencari Yap-sicu, Taihiap."

   "Bila kita berangkat ke Tibet?"

   "Menurut perintah The-taijin, jika Ji-wi setuju, sebulan lagi Ji-wi diharapkan datang ke kota raja dan kita berangkat bersama."

   Setelah mengadakan perundingan semalam suntuk, pada keesokan harinya tiga orang tamu itu meninggalkan Cin-ling-san dan agak legalah hati Cia Keng Hong dan isterinya. Tentu saja mereka mengharapkan bantuan Kun Liong yang dikehendaki oleh para Lama Jubah Merah untuk menukar putera mereka. Akan tetapi dengan adanya peristiwa yang kebetulan itu, andaikata tidak dapat mengajak Kun Liong pun,

   Mereka memperoleh bantuan yang besar, bukan hanya datang dari tiga orang pengawal Panglima The Hoo, melainkan terutama sekali pasukan Pemerintah Tibet yang hendak membasmi Lama Jubah Merah yang hendak memberontak. Bermacam perasaan mengaduk hati Kun Liong ketika dia berpisah dari Yo Bi Kiok dan adik kandungnya, Yap In Hong. Tentu saja dia merasa berduka dan kecewa, bahwa adiknya, satu-satunya keluarganya di dunia ini, menolak untuk pergi bersamanya. Akan tetapi di samping rasa kecewa dan duka ini, terdapat juga rasa lega dan girang karena hatinya boleh merasa tenteram mengingat bahwa adik kandungnya ternyata masih hidup dan aman berada di dalam perlindungan Yo Bi Kiok yang telah menjadi seorang wanita sakti karena mewarisi pusaka yang seharusnya tersimpan di dalam bokor emas.

   Dalam perlindungan Bi Kiok, adiknya tentu akan aman sentausa dan bahkan memperoleh pendidikan ilmu yang tinggi. Juga, andaikata adiknya itu memilih dia dan ikut bersamanya, tentu dia tidak akan dapat leluasa mencari Hong Ing! Andaikata demikian, agaknya dia pun akan terpaksa menitipkan In Hong kepada orang lain, tentu saja paling tepat menitipkannya ke Cin-ling-san, karena dia tidak mau membawa adik kandungnya yang masih kecil itu ke Tibet dan menempuh perjalanan yang penuh bahaya. Di sepanjang perjalanan ke barat, yang terbayang di depan matanya hanyalah wajah Hong Ing dan adik kandungnya itu. Hanya dua orang itulah yang kini menjadi tangkai hidupnya, yang memberi dorongan semangat kepadanya.

   "Hong Ing... semoga Tuhan melindungimu..."

   Dia menghela napas teringat akan kekasihnya itu dan dia mempercepat langkahnya.

   Kini baru terasa olehnya betapa mendalam cinta kasihnya terhadap dara itu. Kini baru terbayang seluruh pengalamannya di waktu dahulu, ketika dia memandang rendah cinta kasih, ketika dia bersikap sebagai seorang pemuda ugal-ugalan yang mempermainkan cinta kasih wanita terhadap dirinya. Teringat akan itu semua, dia merasa berduka. Terutama sekali mengingat akan dua orang wanita, yaitu Hwi Sian dan Bi Kiok. Mengingat Hwi Sian, terbayang hubungannya dengan gadis itu, perjinahan mereka di dalam kuil tua, dia merasa malu dan menyesal bukan main. Baru terasa olehnya betapa besar pengorbanan Hwi Sian, betapa dara itu telah menjadi korban cinta yang tidak dibalasnya. Betapa ganas dan kejinya dia, mau saja menerima tubuh dan kehormatan dara itu tanpa cinta kasih di hatinya! Betapa rendahnya dia, betapa kotor dan keji!

   "Hwi Sian... kau maafkanlah aku..."

   Berkali-kali dia berbisik di dalam hatinya setiap kali dia teringat akan itu semua. Dan Bi Kiok, gadis yang berwajah dingin itu pun cinta padanya. Sukar mengukur isi hati Bi Kiok, namun dia merasa bahwa cinta gadis itu tentu mendalam dan berbahaya. Bahkan Bi Kiok sudah mengeluarkan ancaman akan membunuh setiap orang wanita yang mencintanya, yang dipilihnya! Timbul kekhawatirannya apakah kelak hidupnya tidak akan selalu menghadapi kesulitan dari gadis bersikap dingin ini. Kemudian Pek Hong Ing! Wajahnya berseri-seri dan matanya bersinar-sinar setiap kali dia teringat kepada Hong Ing, akan tetapi segera menyuram kalau dia teringat akan kebodohannya sendiri. Betapa dia sudah banyak merongrong hati dara yang halus budi itu.

   Terbayanglah kembali semua pengalamannya bersama Hong Ing semenjak pertemuannya dengan "nikouw"

   Itu sampai perpisahan mereka di pulau kosong. Betapa sekarang tampak jelas olehnya cinta kasih dara itu terhadap dirinya yang tiada taranya! Dan dia, si tolol, si canggung dan dungu, selalu menyakiti hati dara itu dengan ketololannya dengan perantaraan kata-katanya, sikapnya! Bahkan dalam saat terakhir sebelum mereka berpisah, dia sudah menikam ulu hati kekasihnya itu dengan ujung pedang beracun yang amat menyakitkan, yang berupa kata-kata setolol-tololnya! Ingin dia menampar kepalanya sendiri, kepala yang kini sudah berambut panjang, hitam dan lebat itu, kalau dia teringat akan semua itu. Bagaimanakah nasib Hong Ing? Dia tidak dapat mengira-ngira karena dia tidak tahu betul apakah dua orang pendeta Lama itu bermaksud buruk terhadap kekasihnya ataukah tidak.

   Betapapun juga, kalau dua orang pendeta itu mempunyai niat buruk, keselamatan kekasihnya terancam bahaya hebat. Dua orang pendeta Lama itu amat lihai. Akan tetapi, kalau benar mereka itu adalah para susiok Hong Ing, tentu tidak akan terjadi sesuatu atas diri kekasihnya itu. Apa pun yang akan terjadi, dia harus menemukan gadis itu dan melihat dengan mata sendiri bahwa Hong Ing berada dalam keadaan selamat. Hatinya agak lega kalau dia mengingat bahwa besar kemungkinan dua orang pendeta itu tidak ingin mengganggu Hong Ing, karena kalau berniat buruk, mengapa susah payah mengajak dara itu pergi? Siapa yang akan dapat mencegah mereka kalau mereka itu berniat buruk terhadap Hong Ing, ketika mereka tiba di pulau kosong dahulu itu dan setelah dia sendiri dirobohkan oleh mereka? Tidak, mereka pasti tidak akan berbuat buruk terhadap Hong Ing.

   Kelegaan hatinya ini hanya sebentar saja membuat wajahnya berseri karena kembali dia teringat kepada Hwi Sian! Dia akan melewati Secuan, apa salahnya kalau dia singgah di tempat tinggal Hwi Sian? Kabarnya gadis itu bersama dua orang suhengnya tinggal bersama guru mereka, Pendekar Gak Liong yang terkenal sekali di Secuan. Mengapa tidak? Kalau belum bertemu dengan Hwi Sian dan melihat keadaan gadis itu baik-baik saja dan mendengar sendiri dari mulut gadis itu bahwa kesalahannya telah diampuni, tentu Hwi Sian akan merupakan pengganggu ketenangan hatinya di masa depan. Karena kini merasa yakin bahwa Hong Ing pasti tidak akan dicelakakan oleh para pendeta Lama yang lihai itu, Kun Liong mengambil keputusan untuk mencari Hwi Sian di Secuan, karena perjalanannya memang melewati tempat itu jadi bukan berarti pembuangan waktu yang terlalu banyak.

   Memang benar seperti dugaannya, tidaklah sukar mencari tempat tinggal Gak Liong di Secuan karena hampir semua orang mengenal, siapakah Gak-taihiap (Pendekar Besar Gak) yang telah banyak berjasa di Secuan, sejak dia membantu paman gurunya, yaitu Panglima The Hoo untuk membasmi para pemberontak dan para penjahat sehingga daerah itu menjadi aman dan penghuninya hidup makmur. Dia memperoleh keterangan bahwa Gak-taihiap tinggal di tepi sungai yang menjadi anak sungai Yang-ce-kiang di luar kota Mian-ning. Ternyata tempat itu sunyi sekali dan memang Gak Liong sekarang setelah tua tidak mencampuri lagi urusan dunia ramai sehingga setiap urusan selalu diselesaikan oleh tiga orang muridnya, bahkan jarang sekali pendekar tua ini menemui tamu. Tempat tinggalnya di tepi sungai itu hanya merupakan sebuah bangunan kayu yang sederhana namun suasananya di situ hening dan menyenangkan.

   Setelah memperoleh keterangan jelas, pagi hari itu berangkatlah Kun Liong ke tempat yang ditunjukkan orang dan menjelang tengah hari tibalah dia di tepi sungai dan sudah tampaklah bangunan tempat tinggal Gak Liong itu. Tempat yang amat sunyi namun menyenangkan karena selalu terdengar bunyi percik air sungai dan kicau burung di pohon-pohon sepanjang sungai. Berdebar juga hati Kun Liong kalau membayangkan betapa dia akan bertemu dengan Hwi Sian yang tinggal di rumah itu. Sudahkah gadis itu menikah dengan suhengnya, Tan Swi Bu? Apakah bersama suheng yang kini menjadi suaminya itu tetap tinggal di situ? Ataukah sudah pindah? Dia hanya ingin melihat Hwi Sian sekali lagi, melihat betapa keadannya selamat dan baik-baik saja, dan melihat sinar mata yang telah memaafkannya. Barulah hatinya akan lega dan dia akan dapat melanjutkan perjalanannya ke Tibet mencari Hong Ing dengan hati tenang.

   Akan tetapi sunyi sekali di luar pondok itu. Kun Liong yang berada di seberang sungai melihat sebuah jembatan kecil yang terbuat daripada bambu di sambung-sambung. Tidak semua orang akan berani melewati jembatan macam itu, karena sekali terpeleset, akan terjungkal ke dalam sungai yang permukaannya amat dalam, merupakan tebing yang curam dan banyak batu-batu yang runcing tajam mengerikan. Kun Liong tidak ragu-ragu lagi, segera melintasi jembatan penyeberangan itu dengan langkah ringan tanpa berpegang kepada bambu melintang di atas jembatan itu. Begitu dia tiba di seberang, di depan rumah yang menghadap ke tebing sungai itu, tiba-tiba muncul sesosok bayangan dari belakang sebatang pohon dan sinar pedang yang menyilaukan menyambar ke arah lehernya!

   "Singggg... ehhhh...!"

   Kun Liong cepat mengelak dan meloncat ke belakang, memandang kepada penyerangnya yang memegang sebatang pedang yang berkilauan saking tajamnya. Orang itu adalah seorang laki-laki yang usianya sudah mendekati lima puluh tahun, sikapnya gagah, tubuhnya tinggi kurus dan sepasang matanya bersinar tajam.

   "Iblis dari Pek-lian-kauw, sudah lama aku menanti kedatanganmu! Suruh Tok-jiauw Lo-mo keluar, tidak usah dengan Suhu, cukup dengan aku..."

   "Heiii, bukankah Toako adalah Poa Su It, Twa-suheng dari Hwi Sian?"

   Tiba-tiba Kun Liong memotong kata-kata penuh tantangan dari orang itu. Orang itu memandang terbelalak, akan tetapi karena dia tidak mengenal Kun Liong, dia menjawab dengan kaku,

   "Benar! Aku Poa Su It, mewakili Suhu untuk menghadapi manusia-manusia jahat macam..."

   "Nanti dulu, Poa-toako! Aku sama sekali bukan iblis Pek-lian-kauw, apalagi teman Tok-jiauw Lo-mo!"

   Orang itu menarik kembali pedangnya yang sudah bergerak hendak menusuk Kun Liong, melangkah mundur tiga kali dan memandang penuh perhatian, matanya masih menyorotkan keraguan dan kecurigaan. Melihat sikap Kun Liong bukan seperti seorang musuh, dia menjadi heran lalu bertanya,

   "Siapakah engkau...?"

   Kun Liong mengelus rambut di atas telinga kanannya, tersenyum.

   "Poa-toako, beberapa tahun yang lalu, kepalaku gundul dan aku pernah bertemu dengan Toa-ko, sutemu Han Swi Bu dan sumoimu Liem Hwi Sian. Aku Yap Kun Liong."

   "Aihhh...!"

   Poa Su It teringat dan menghela napas panjang sambil menyarungkan pedangnya, lalu menjura.

   "Maafkan aku, Yap-enghiong (Orang Gagah she Yap)!

   "Biarpun baru satu kali bertemu, aku sudah banyak mendengar tentang engkau dari kedua adik seperguruanku."

   "Tidak mengapa, Toako. Karena lupa, maka Toako menyangka aku musuh. Akan tetapi, mengapakah di tempat yang damai dan aman ini Toako agaknya menanti datangnya musuh?"

   Orang tinggi kurus itu kembali menarik napas panjang,

   "Mari kita masuk ke dalam, Yap-enghiong, dan akan kuceritakan apa yang telah terjadi."

   Karena memang dia hendak mencari Hwi Sian, Kun Liong mengangguk dan mengikuti twa-suheng (kakak seperguruan pertama) dari Hwi Sian itu memasuki pondok yang kelihatan amat sunyi itu. Setelah mempersilakan Kun Liong duduk, Poa Su It lalu bercerita,

   "Memang tidak keliru dugaanmu tadi, Yap-enghiong. Aku menyangka engkau adalah seorang di antara musuh-musuh yang sudah mengancam akan menyerbu tempat ini. Beberapa hari yang lalu, selagi Suhu bersamadhi seperti biasa, lapat-lapat aku mendengar suara orang yang diteriakkan dari jauh mempergunakan tenaga khi-kang sehingga terdengar jelas dari tempat ini. Suara itu mengaku suara Tok-jiauw Lo-mo yang mengancam Suhu, akan datang membunuh Suhu dalam beberapa hari ini. Nah, ketika engkau muncul, tentu saja aku mengira bahwa engkau adalah musuh itu."

   "Dan bagaimana keputusan Gak-locianpwe tentang ancaman itu?"

   Poa Su It menghela napas panjang,

   "Suhu tenang-tenang saja bahkan menjawab dengan sabar, mempersilakan musuh itu datang. Suhu hanya berpesan kepadaku agar aku menjaga datangnya musuh dan melaporkan kepada Suhu kalau musuh itu datang. Tentu saja aku tidak bisa bersabar seperti Suhu menghadapi musuh yang mengancam nyawa Suhu."

   "Hemmm, Tok-jiauw Lo-mo memang bukan orang baik-baik,"

   Kata Kun Liong.

   "Yap-enghiong pernah bertemu dengan dia?"

   Kun Liong mengangguk dan berkata lagi,

   "Kalau dia datang bersama kawan-kawannya, tentu berniat buruk sekali. Oleh karena itu, setelah mendengar ini, aku akan membantumu, Poa-toako. Aku akan ikut menanti mereka dan membantumu menghadapi mereka."

   Wajah Poa Su It yang tadinya muram itu kini berseri dan dia memegang lengan Kun Liong.

   "Aku memang amat mengharapkan bantuanmu! Yap-enghiong! Terima kasih!"

   Kun Liong menoleh ke kanan kiri karena merasa heran mengapa pondok itu demikian sunyi, dan mengapa pula Tan Swi Bu, terutama Liem Hwi Sian, tidak muncul.

   "Kenapa Toako berjaga seorang diri? Di manakah Sute dan Sumoimu?"

   "Suami istri itu pergi ke barat mewakili Suhu yang sekarang sudah tidak suka lagi mencampuri urusan dunia. Dahulu Suhu terkenal sekali di Secuan ketika Suhu masih membantu Susiok-kong (Paman Kakek Guru) Panglima The Hoo membasmi para pemberontak dan penjahat di daerah Secuan ini. Akan tetapi sekarang Suhu sudah mengundurkan diri, maka ketika datang perintah dari Susiok-kong yang minta bantuannya menyelidiki ke barat, Suhu mewakilkan tugas itu kepada Sute dan Sumoi"

   Lega rasa hati Kun Liong. Inilah yang ingin didengarnya, jadi ternyata Hwi Sian telah menikah dengan ji-suhengnya (kakak seperguruan ke dua), Tan Swi Bu seperti yang dia dengar dari Hwi Sian dahulu. Bagus, kalau demikian keadaan Hwi Sian baik-baik saja dan dia yakin bahwa gadis yang pernah menyerahkan tubuhnya kepadanya itu tentu telah memaafkannya. Sayangnya dia tidak dapat bertemu sendiri dan melihat sinar pengampunan itu dari mata gadis itu sendiri.

   "Kalau boleh aku bertanya, tugas penyelidikan apakah itu, Toako?"

   "Menyelidiki ke Tibet."

   Jawaban ini mengejutkan hati Kun Liong karena dia sendiri pun akan ke Tibet.

   "Ada terjadi apakah di Tibet?"

   "Panglima The menugaskan Suhu untuk menyelidiki perkumpulan Agama Lama Jubah Merah yang kabarnya mengadakan persekutuan dengan Pek-lian-kauw dan kedua perkumpulan ini merencanakan pemberontakan kepada Kerajaan Tibet dan juga Kerajaan Beng."

   Kun Liong mengangguk-angguk dan berpikir keras. Mengapa ada hal begini kebetulan? Kalau terjadi huru-hara di Tibet, dia makin mengkhawatirkan keselamatan Hong Ing. Apakah sangkut-pautnya penculikan atas diri Hong Ing dengan pemberontakan ini?

   "Memang Tok-jiauw Lo-mo seorang tokoh sesat yang berbahaya. Aku ingin sekali dapat berhadapan dengan dia, karena dahulu pernah aku ditangkap oleh kakek itu bersama teman-temannya."

   Poa Su It menghela napas.

   "Itulah yang menggelisahkan hatiku, Yap-enghiong. Suhu berpesan bahwa kalau Tok-jiauw Lo-mo datang, beliau sendiri yang hendak menghadapinya karena di antara mereka terdapat urusan pribadi, demikian kata Suhu."

   "Urusan pribadi?"

   "Ya, dan aku sendiri tidak tahu urusan apakah itu. Kata Suhu, aku hanya boleh menghadapi kaki tangan kakek itu kalau memang ada, sedangkan kakek itu sendiri akan dihadapi Suhu, padahal Suhu sudah tua dan kesehatannya kurang baik, aku khawatir sekali."

   "Hemm, seorang gagah perkasa seperti suhumu itu, tidak perlu dikhawatirkan karena apa pun yang dilakukannya, tentulah berdasarkan kegagahan dan beralasan. Dan agaknya kakek iblis itu tidak akan datang sendiri. Orang seperti dia itu, apalagi menghadapi lawan berat seperti suhumu, tentu tidak akan datang sendiri dan hendak mengandalkan jumlah banyak untuk memperoleh kemenangan. Maka kalau dia datang dengan banyak teman, berarti engkau sendiri sudah sibuk menghadapi kaki tangannya, Toako."

   "Benar, dan sungguh untung bagiku engkau datang berkunjung, Yap-enghiong, karena dengan adanya bantuanmu di sini, hatiku menjadi lebih lega dan tenteram."

   Mereka bercakap-cakap sambil berjaga-jaga dan makin larut hari, makin besar rasa kagum dan suka di hati Kun Liong terhadap murid tertua dari pendekar Secuan itu. Selain luas pengalamannya, juga laki-laki yang tidak pernah menikah selamanya ini memiliki dasar watak pendekar tulen. Karena itu, Kun Liong juga menjadi terbuka sikapnya, dan dia dengan terus terang menceritakan niat perjalanannya, yaitu menuju ke Tibet karena kekasihnya diculik oleh tiga orang Lama Jubah Merah. Mendengar ini, Poa Su It terkejut sekali.

   "Kalau tidak salah dugaanku, tiga orang Lama Jubah Merah yang kauceritakan itu adalah pucuk pimpinan dari perkumpulan Agama Lama Jubah Merah itu! Sungguh berbahaya sekali! Aku mendengar bahwa ilmu kepandaian mereka bertiga itu seperti iblis, amat sakti. Karena itu, Suhu juga memberi peringatan kepada Sute dan Sumoi yang menyelidik ke sana agar berhati-hati dan menghindarkan bentrokan, menyamar sebagai penduduk biasa, yang hendak bersembahyang dan minta berkah."

   Hari berganti malam dan yang mereka tunggu-tunggu pun datanglah! Mula-mula terdengar teriakan dari jauh sekali, teriakan yang dibawa angin dan yang datang karena pengerahan khi-kang yang cukup kuat.

   "Tua bangka she Gak! Aku datang memenuhi janji!"

   Mendengar suara ini, Poa Su It dan Kun Liong meloncat bangun dan cepat lari keluar pondok, menanti dengan hati tegang di depan pondok. Sejak tadi Poa Su It memang sudah siap dan menggantung lampu-1ampu sehingga di depan pondok pun cukup terang. Sebatang pedang tergantung di pinggang murid tertua dari Gak Liong ini. Bagaikan segerombolan setan, muncullah bayangan-bayangan dari dalam gelap, makin dekat makin teranglah bayangan itu, tersorot sinar lampu yang bergantungan di depan pondok. Di depan sendiri tampak Tok-jiauw Lo-mo yang sudah dikenal oleh Kun Liong. Biarpun kakek ini sudah lebih tua, namun tidak berbeda dengan dahulu. Tinggi kurus, kepala botak dan bentuknya seperti kura-kura, membawa sebatang tongkat pendek yang ujungnya berbentuk cakar setan, punggungnya agak melengkung dan matanya dari muka yang menunduk karena bongkoknya itu selalu melirik dari bawah, amat tajam.

   Mata itu memandang bergantian kepada Poa Su It dan Kun Liong, tidak pedulian, dan melirik ke kanan kiri mencari-cari. Memang sukarlah mengenal kembali Kun Liong yang dulu gundul kelimis itu dan yang sekarang memiliki rambut yang aneh, pendek tidak panjang pun belum. Terkejut dan ngeri juga hati Poa Su It melihat kakek ini, akan tetapi sama sekali hati pendekar ini tidak merasa takut. Dia memandang lagi dengan penuh perhatian kepada orang-orang lain yang ikut datang bersama kakek itu. Ada sepuluh orang banyaknya dan melihat pakaian mereka seperti pendeta berwama kuning dengan lukisan teratai putih di bagian dada, Poa Su It tidak merasa heran dan mengertilah dia bahwa mereka adalah orang-orang Pek-lian-kauw.

   Pendekar yang sudah banyak pengalaman ini lalu menarik kesimpulan bahwa kedatangan Tok-jiauw Lo-mo (Iblis Tua Cakar Beracun) ini bukanlah semata-mata karena dia adalah musuh gurunya, melainkan tentu ada hubungannya dengan persekutuan Pek-lian-kauw dengan Lama Jubah Merah, dan ada hubungannya pula dengan perintah susiok-kongnya, Panglima The Hoo. Tentu Pek-lian-kauw dan kakek ini maklum bahwa gurunya adalah murid keponakan The Hoo dan seorang pembantu yang aktip dari panglima itu. Agaknya gurunya yang tinggal di Secuan akan merupakan penghalang bagi kelancaran persekutuan antara Pek-lian-kauw dan Lama Jubah Merah, maka mereka memusuhi gurunya. Dugaan Poa Su It ini memang tepat. Antara Tok-jiauw Lo-mo dan Gak Liong memang terdapat permusuhan pribadi yang dimulai di waktu mereka, masih muda dahulu.

   Tok-jiauw Lo-mo di waktu mudanya adalah penculik gadis-gadis muda yang kemudian dijualnya di sarang-sarang pelacuran di kota-kota besar. Pada suatu hari, ketika dia menculik seorang gadis, muncullah pendekar Gak Liong yang menghajarnya sampai setengah mati. Gadis itu kemudian menjadi isteri Gak Liong, akan tetapi beberapa bulan kemudian, selagi Gak Liong tidak berada di rumah, Tok-jiauw Lo-mo datang dan membunuh wanita itu! Gak Liong menjadi marah dan sakit hati, mencarinya dan kembali menghajar Tok-jiauw Lo-mo sampai menjadi cacad, kepalanya botak tak berambut, punggungnya membungkuk, akan tetapi dia berhasil melarikan diri. Demikianlah, antara kedua orang ini timbul permusuhan dan entah sudah berapa belas kali mereka bentrok dan bertanding, akan tetapi selalu pihak Tok-jiauw Lo-mo yang kalah dan selalu dapat melarikan diri.

   Tok-jiauw Lo-mo terus menggembleng dirinya dan demikian pula Gak Liong. Setelah menjadi murid keponakan The Hoo, Gak Liong menghentikan permusuhan itu dan mengundurkan diri, akan tetapi tentu saja selalu siap menghadapi kalau Tok-jiauw Lo-mo mencarinya. Ketika Pek-lian-kauw mengadakan hubungan dengan Lama Jubah Merah, Tok-jiauw Lo-mo telah menggabungkan diri dengan Pek-lian-kauw. Maka, mendengar bahwa demi kelancaran persekutuan dengan Lama Jubah Merah pendekar Secuan harus dienyahkan dulu, apalagi mengingat bahwa pendekar itu adalah pembantu The Hoo, serta merta Tok-jiauw Lo-mo mengajukan dirinya sebagai petugas yang akan membasmi pendekar Secuan. Tentu saja sekali ini dia tidak mau gagal dan minta dibantu oleh sepuluh orang tokoh Pek-lian-kauw yang cukup tinggi kepandaiannya.

   "Manusia she Gak, kenapa kau sembunyi saja? Keluarlah menerima kematian!"

   Tok-jiauw Lo-mo berseru dengan lagak sombong. Sekali ini dia yakin akan dapat mengenyahkan musuh besar itu karena dia dibantu oleh sepuluh orang Pek-lian-kauw yang tangguh. Poa Su It hendak melangkah maju, akan tetapi dia didahului oleh Kun Liong yang sudah meloncat ke depan kakek itu sambil berkata,

   "Tok-jiauw Lo-mo, sejak dahulu kau selalu membikin kacau dan melakukan kejahatan saja!"

   Melihat seorang pemuda remaja bersikap kurang ajar dan berani menegurnya, kakek itu menjadi marah sekali.

   "Kau mampuslah!"

   Tongkatnya menyambar dan cakar setan yang mengandung racun amat berbahaya itu menyambar ke arah muka Kun Liong. Memang kakek itu tidak main-main dan bukan hanya menggertak sambal belaka. Sikap dan teguran Kun Liong itu baginya sudah menjadi alasan cukup untuk membunuh pemuda ini!

   "Plak! Plak!"

   "Uughhhh...!"

   Tubuh kakek itu terhuyung ke belakang dan dengan mata terbelalak dia memandang pemuda yang berdiri dengan tersenyum itu. Hampir dia tak dapat mempercayai kalau tidak mengalaminya sendiri. Pemuda yang masih remaja itu bukan saja berani menangkis tongkatnya yang ampuh itu, bahkan menangkis dua kali dan membuat dia terhuyung-huyung karena tongkatnya itu membalik bertemu dengan tenaga yang amat dahsyat!

   "Kau... kau siapakah?"

   Bentaknya, mukanya berubah karena dia maklum bahwa pemuda ini adalah seorang yang memiliki kesaktian hebat.

   "Hemm, Tok-jiauw Lo-mo! Pernah kau bersama Marcus dan pasukan pemerintah yang kau bohongi menangkap aku untuk memperebutkan bokor pusaka!"

   Kakek itu melongo, masih tidak mengenal Kun Liong.

   "Ketika itu kepalaku tidak berambut..."

   "Ahaiiii! Kau Si Gundul keparat itu!"

   Kakek itu makin kaget dan kembali tongkatnya sudah diangkat.

   "Tahan...!"

   Tiba-tiba berkelebat bayangan orang dan tahu-tahu di situ telah muncul seorang kakek lain yang berpakaian sederhana seperti petani, tubuhnya kurus dan wajahnya agak pucat, namun sikapnya gagah dan berdiri tegak.

   "Suhu...!"

   Poa Su It berkata.

   "Biarlah teecu dan Yap-enghiong yang menghadapi penjahat-penjahat ini! Silakan Suhu beristirahat!"

   Gak Liong, kakek itu, menoleh kepada muridnya.

   "Su It, kau mundurlah."

   Kemudian dia menghadapi Yap Kun Liong sambil berkata.

   "Yap-sicu, namamu sudah banyak kudengar, terutama dari tiga muridku. Terima kasih atas bantuanmu, akan tetapi, untuk menghadapi Tok-jiauw Lo-mo ini, terpaksa harus aku sendiri yang menghadapinya. Antara dia dan aku terdapat urusan lama, urusan pribadi yang tidak boleh dicampuri orang lain."

   Kun Liong membungkuk dan berkata hormat,

   "Saya mengerti, Locianpwe. Dan saya tidak akan berani lancang mencampuri, hanya akan membantu Poa-toako kalau iblis tua ini berlaku curang dan mengerahkan kaki tangannya mengeroyok."

   Petualang Asmara Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Heh-heh-heh, Gak Liong! Engkau sudah berpenyakitan mau mampus masih berlagak sombong."

   "Lo-mo, kita sama-sama tua dan marilah kila selesaikan urusan lama tanpa membawa-bawa yang muda. Kalau para anggauta Pek-lian-kauw di belakangmu itu mencampuri urusan kita, terpaksa aku membiarkan Yap-sicu dan muridku untuk turun tangan pula."

   "Heh-heh-heh, siapa yang mau curang? Aku akan menghadapi sendiri, satu lawan satu sampai seorang di antara kita mampus. Tentu aku percaya bahwa pendekar Secuan yang terkenal gagah itu tidak akan mengandalkan orang muda untuk mengeroyok aku orang tua!"

   Kata Tok-jiauw Lo-mo sambil melirik ke arah Kun Liong. Kakek ini memang cerdik. Begitu bentrok dengan Kun Liong dia maklum bahwa pemuda itu merupakan lawan yang paling berat, maka dia sengaja memancing dengan kata-kata ini.

   "Aku bersumpah tidak akan membiarkan siapa pun mencampuri urusan kita. Mari kita selesaikan sampai mati urusan pribadi kita sebelum usia tua merenggut nyawa kita."

   "Bagus! Bersiaplah kau untuk mampus, Gak Liong!"

   Tok-jiauw Lo-mo berteriak dan dia sudah menyerang ke depan.

   "Tranggg! Trakkk!"

   Pendekar dari Secuan itu telah menggerakkan tongkatnya pula dan balas menyerang. Terjadilah pertandingan yang amat seru dan mati-matian. Kun Liong menonton dengan hati khawatir. Memang, pada dasarnya ilmu silat pendekar Secuan itu lebih kuat,

   Namun Tok-jiauw Lo-mo mempunyai gerakan liar yang ganas dan mengandung banyak gerak tipu. Kalau saja pendekar Secuan itu tidak sedang dalam keadaan lemah karena penyakit, tentu dia lebih kuat. Akan tetapi kakek itu sudah lemah sehingga setiap tangkisan atau serangannya tidak dapat menggunakan tenaga sepenuhnya dan beberapa kali dia terhuyung-huyung, sungguhpun setiap serangannya membuat lawan terdesak hebat. Poa Su It yang sudah mencabut pedangnya dan berdiri di dekat Kun Liong, juga menonton dengan alis berkerut karena dia merasa gelisah sekali melihat gurunya yang sedang tidak sehat itu harus menghadapi seorang lawan sedemikian tangguhnya. Namun dia juga tidak berani mencampurinya dan hanya merasa mendongkol mengapa kaki tangan Tok-jiauw Lo-mo tidak segera bergerak sehingga dia mendapat kesempatan untuk mengamuk!

   Andaikata tadi Tok-jiauw Lo-mo tidak merasakan kelihaian Kun Liong, tentu dia sudah mengerahkan teman-temannya untuk mengeroyok. Akan tetapi melihat kelihaian pemuda itu, dia berlaku cerdik. Lebih baik dia tidak mengerahkan teman-temannya agar di pihak Gak Liong, pemuda lihai itu pun tidak dapat turun tangan mencampuri. Dia tahu bahwa Gak Liong amat lihai, akan tetapi melihat keadaan musuh besarnya ini sedang tidak sehat, dia merasa yakin akan dapat mengalahkannya. Dengan penuh semangat dia terus menerjang dan menggerakkan tongkat cakar setan itu secepatnya sambil mengerahkan tenaga seadanya pula. Namun Gak Liong bukanlah seorang yang hijau. Dia telah memiliki pengalaman puluhan tahun dan karena sering bertanding melawan musuh besrnya ini, dia sudah mengenal sifat ilmu silat lawan. Maka biarpun dia sedang lemah, dengan ilmu silatnya yang amat hebat, sealiran dengan kepandaian silat The Hoo, dia mulai mendesak lawannya.

   

Pedang Kayu Harum Eps 11 Pedang Kayu Harum Eps 6 Pedang Kayu Harum Eps 33

Cari Blog Ini