Dewi Maut 18
Dewi Maut Karya Kho Ping Hoo Bagian 18
"Aku... pembunuh? Benarkah aku pembunuh? Pembunuh...?"
"Ha-ha-ha! Kau pembunuh licik dan curang. Aku selalu membunuh orang lain dengan adil, memberi kesempatan kepadanya untuk membela diri. Akan tetapi engkau! Engkau membunuh orang tanpa memberi kesempatan orang itu membela diri. Lihat, kau sedang membunuh muridku itu, nah, bukankah engkau pembunuh yang curang dan licik? Biar aku menunggu di sini melihat bagaimana engkau membunuhnya dengan kejam, setelah itu, aku akan membunuhmu dengan adil, memberi kau kesempatan untuk membela dirimu."
Mata Yok-mo tertutup seperti orang bingung. Kemudian dia menarik napas panjang.
"Hwesio Lama, baru sekarang aku dapat melihat kebenaran omonganmu. Akupun pembunuh! Benar! Entah sudah berapa banyaknya orang yang kubunuh, mereka yang kutolak untuk diobati sehingga mereka itu mati karena luka-luka mereka. Padahal kalau aku mengobati mereka, mereka itu tentu sembuh dan belum mati. Aku pembunuh dan aku melihat ini karena ucapan seorang pendeta Lama gendeng!"
Kakek itu menepuk dahinya dan menggeleng kepalanya.
"Lama, engkau menderita tekanan batin hebat sehingga otakmu tergoncang dan tidak waras, namun engkau yang gendeng, masih mampu mengucapkan kata-kata yang menyadarkan aku. Engkau benar! Bunuh-membunuh timbul karena perbedaan perasaan antara cinta dan benci, karena memilih-milih, yang menguntungkan menjadi sahabat yang merugikan menjadi musuh, dibenci dan dibunuh. Kalau dalam mengobati orang aku juga membeda-bedakan, memilih-milih, apa bedanya dengan kalian yang membawa-bawa senjata? Lama, majulah, engkau menderita tekanan batin hebat, akan tetapi aku bukanlah Yok-mo kalau tidak mampu menyembuhkanmu!"
"Ha-ha-ha, kakek gila! Engkau selain pembunuh jahat juga gila! Aku datang membawa muridku untuk kau obati, bukan aku. Mau atau tidak engkau harus mengobati muridku ini!"
Yok-mo menoleh ke arah Lie Seng.
"Dia terkena racun jahat pula, dan untuk menyembuhkannya membutuhkan waktu panjang, sedikitnya dua pekan perawatan yang teliti..."
"Kakek Yok-mo!"
In Hong berseru dengan hati khawatir. Setelah kini ahli obat itu mau mengobati orang, kalau harus menanti sampai dua pekan, pemuda yang ditolongnya itu keburu mati! "Aku adalah orang yang datang lebih dulu, karena itu sudah sepatutnya dan seadilnya kalau engkau lebih dulu memberi obat kepadaku."
"Heiiittt!"
Kok Beng Lama meloncat dan berdiri di depan In Hong, matanya terbelalak marah.
"Engkau ini bayi kemarin sore berani hendak mendahului aku? Ha-ha-ha, aku lahir puluhan tahun lebih dulu daripada kau, maka harus aku yang lebih dulu mendapat giliran pertolongan Yok-mo!"
Sebetulnya Kok Beng Lama hendak mengatakan bahwa sebagai orang muda, sudah sepatutnya kalau gadis itu mengalah terhadap seorang yang jauh lebih tua, apalagi dia datang membawa muridnya, yang sudah empas-empis napasnya, akan tetapi karena pikirannya tidak waras, maka kata-katanya melantur tidak karuan!
"Tidak perduli!"
In Hong membentak.
"Biar kau seratus tahun lebih tua, engkau datang belakangan dan orang yang hendak kumintakan obat itu amat payah keadaannya."
"Eh, kau berani menentangku?"
Kok Beng Lama menantang.
"Karena aku benar, mengapa tidak berani?"
"Bocah sombong engkau! Sombong dan lancang!"
Kok Beng Lama sudah membentak marah dan kedua tangannya bergerak. In Hong kaget bukan main karena dari kedua tangan kakek itu menyambar hawa pukulan yang dahsyat bukan main. Cepat dia melempar tubuh ke belakang berjungkir balik sambil mencabut pedangnya dan ketika tubuhnya meluncur turun dia langsung membalas dengan serang pedangnya yang juga amat dahsyatnya.
"Aihhh... plak-plak-plak...!"
Kok Beng Lama terkejut bukan main. Dia tadi memandang rendah, mengira bahwa seorang dara remaja seperti ini mana bisa memiliki kepandaian tinggi? Disangkanya bahwa sekali dia menyerang dengan hawa pukulan sin-kang tentu akan membuat dara itu jatuh bangun kemudian lari tunggang langgang ketakutan. Siapa kira, bukan saja dara itu mampu menghindarkan diri dari serangan pukulan jarak jauhnya, akan tetapi bahkan mampu membalas dengan serangan pedang yang amat dahsyat dan bertubi-tubi datangnya. Dan karena sambaran pedang yang bertubi-tubi itu mengarah bagian-bagian berbahaya dari tubuhnya, terpaksa kakek itu menangkis sampai tiga kali berturut-turut dengan lengan kirinya.
In Hong meloncat turun dengan muka berobah. Kakek itu mampu menangkis pedangnya dengan tangan kosong! Seolah-olah pedangnya yang merupakan pedang pilihan itu, yang digerakkan dengan pengerahan sin-kang yang mampu menabas putus senjata-senjata lawan, hanyalah merupakan pedang-pedangan kayu belaka. Dia makin yakin bahwa kakek ini memang benar-benar hebat, lawan terhebat yang pernah dihadapinya semenjak dia memasuki dunia ramai. Akan tetapi, bukan watak In Hong untuk merasa jerih menghadapi lawan tangguh. Dia mengeluarkan teriakan melengking dan tubuhnya mencelat ke depan, seperti seekor burung walet saja cepatnya dia menerjang kakek itu dan pedangnya bergulung-gulung menjadi sinar berkilauan menyilaukan mata. Timbul kegembiraan hati Kok Beng Lama dan dia melayani In Hong dengan tangkisan-tangkisan kedua lengannya dan membalas dengan totokan-totokan jari tangannya yang lihai.
"Wah-wah-wah, jangan berkelahi! Jangan bertempur di sini! Celaka...! Kalian manusia-manusia celaka... jangan mengotori tempatku dengan pertempuran! Heii, bocah perempuan, jangan ugal-ugalan kau. Simpan kembali pedangmu!"
Yok-mo berteriak-teriak dan menggerak-gerakkan kedua lengannya.
"Dan kau Lama gila, hentikan perkelahian itu!"
Akan tetapi, seorang dara berhati sekeras baja seperti In Hong, mana mau berhenti setelah ada orang menentang dan menantangya? Dan Kok Beng Lama, sebelum otaknya agak miririgpun sudah berwatak aneh sekali, suka berkelahi, sekarang setelah otaknya tidak waras, tentu saja kegemarannya itu timbul kembali, dan dia melayani In Hong sambil tertawa-tawa dan memuji-muji dengan suara keheranan.
"Bagus! Kiam-hoat (ilmu pedang) hebat...! Akan tetapi engkau tidak akan mampu mengalahkan aku, bocah! Ha-ha-ha!"
Memang benar teriakannya ini. Betapapun In Hong mengamuk dan menggerakkan senjatanya secara hebat, sama sekali pedangnya tidak pernah dapat melukai lawannya. Dia sudah mengerahkan gin-kangnya sehingga tubuhnya berkelebat tidak tampak lagi, yang kelihatan hanya bayangannya, namun kecepatannya itu sia-sia belaka terhadap kakek ini yang selalu dapat mengikutinya. Juga pengerahan sing-kangnya tidak ada gunanya karena dia memang jauh kalah kuat. Yang membuat In Hong terheran-heran adalah kekuatan tangan kakek itu yang mampu menangkis pedangnya dan setiap kali kakek itu mendorong dengan pengerahan tenaga sin-kang, dia pasti terhuyung-huyung ke belakang.
"Bagus, masih begini muda sudah amat lihai... ha-ha, akan tetapi kalau tidak diberi rasa, kau akan tetap sombong! Plak-plak-desss...!"
Tubuh In Hong terlempar dan bergulingan. Akan tetapi dara itu biarpun terkejut sekali karena terdorong oleh tamparan yang amat dahsyat, sudah mencelat bangkit kembali dan menyerang makin nekat.
"Plak-plak-plak... desses...!"
Kembali dia terlempar dan roboh, sekali ini lebih keras, terbanting sampai kepalanya menjadi pening. Dan pada saat itu, sambil tertawa-tawa Kok Beng Lama sudah berada di dekatnya, sudah mengangkat tangan menghantam.
"Plakkk...!"
In Hong menangkis dengan pedangnya, akan tetapi pedang itu terlepas dari tangannya, menancap di atas tanah sedangkan kakek itu sudah mengangkat lagi tangannya yang ampuh. Sekali ini In Hong maklum bahwa dia bertemu dengan orang yang tingkat kepandaiannya jauh lebih tinggi darinya, bahkan jauh lebih tinggi dari tingkat kepandaian gurunya sendiri, maka dia hanya memandang, siap menghadapi pukulan maut.
"Locianpwe, jangan membunuh orang...!"
Tiba-tiba terdengar suara anak dan kiranya Lie Seng yang berteriak itu. Dia tadi siuman dan melihat pertandingan antara kakek itu dan seorang gadis, kini melihat kakek itu hendak membunub lawannya, dia merasa kasihan dan meneriaki orang tua itu dengan suara nyaring. Kok Beng Lama menahan tangannya dan menoleh.
"Ha-ha-ha, Kau kira aku akan membunuhnya? Tidak, aku tidak bisa membunuhnya... dia... dia mirip anakku...!"
Dia kini menoleh lagi ke arah In Hong.
"Ehhh...?"
Gadis itu telah lenyap dari tempatnya ketika terjatuh tadi, bahkan pedangnya juga lenyap.
"Kalau kau menyerang lagi, aku akan membunuh Yok-mo!"
Tiba-tiba kakek itu mendengar suara In Hong. Dia cepat menengok dan terbelalak memandang kepada gadis itu yang sudah menangkap lengan Yok-mo dan menekankan pedangnya di leher kakek ahli obat itu! "Dia harus memberi obat kepadaku lebih dulu, kalau kau menentang, Lama, biar dia kubunuh lebih dulu dan kita sama-sama tidak memperoleh obat!"
Kok Beng Lama terbelalak, kemudian menggeram.
"Bocah licik, kalau kau melakukan itu, engkau akan mati di tanganku!"
"Aku sudah berani berbuat berani pula bertanggung jawab, Lama. Mati bukan apa-apa bagiku, dan biarpun sesudah itu kau membunuhku, namun kematian tetap tidak akan menolong nyawa muridmu, bagaimana?"
Kok Beng Lama menjadi bengong. Semenjak dia menghadapi tekanan batin hebat, dimulai dari matinya puterinya sampai peristiwa di Cin-ling-san, dia sering menjadi bingungm bahkan banyak hal-hal lampau yang dilupakannya.
"Wah, kau bocah memang cerdik! Ha-ha-ha, engkau memang hebat. Biar aku mengaku kalah. Heii, Yok-mo, bukankah sudah sepatutnya kalau tua-bangka tua-bangka macam kita yang sudah mendekati lubang kubur ini mengalah terhadap anak muda? Hayo kau berikan obat untuk bocah cerdik ini, sesudah itu baru kau obati dan sembuhkan muridku!"
In Hong maklum bahwa seorang seperti pendeta Lama yang memiliki kelihaian hebat itu, biarpun wataknya aneh dan seperti orang gila, namun sudah tentu tidak sudi menarik omongannya kembali, mempunyai keangkuhan besar dan tinggi hati, maka diapun menarik kembali pedangnya dari leher Yok-mo. Kakek ini menghela napas panjang dan mengomel,
"Kekerasan...! Hemm... di mana-mana manusia mempergunakan kekerasan..."
In Hong tidak membuang-buang waktu lagi, segera dia menceritakan keadaan Bun Houw kepada kakek itu, menceritakan betapa pemuda itu ditusuk dengan jarum yang mengandung racun kelabang hitam, menceritakan dengan jelas di bagian mana yang ditusuk dan gejala-gejala apa yang nampak pada tubuh pemuda itu. Yok-mo mengomel lagi.
"Biar di dalam dongeng tentang neraka sekalipun, belum tentu ada iblis penyiksa di neraka yang sekejam itu! Jalan darah Tiong-cu-hiat di tengkuk ditusuknya, hal itu berarti bahwa si korban paling lama dapat hidup tiga hari saja. Tusukan di jalan darah itupun mendatangkan siksaan luar biasa, seluruh tubuhnya akan terasa gatal-gatal di sebelah dalam seperti digigiti ribuan ekor semut. Hemm, kalau pemuda itu masih dapat bertahan, sungguh amat luar biasa..."
"Dua tulang pundaknya juga dikait dengan baja kaitan, Yok-mo."
In Hong menceritakan lagi dengan nada suara bangga. Heran dia mengapa dia berbangga hati karena pemuda itu, demikian tahan derita!
"Hemm, untung engkau datang kepadaku, nona. Bukan karena aku pandai mengobatinya, melainkan karena kebetulan sekali aku ada menyimpan obat yang mujarab untuk melawan racun kelabang hitam. Andaikata aku tidak menyimpan obat itu, biar aku sendiri tidak mungkin dapat menolongnya, karena mencari obat itu harus di tempat asal kelabang hitam itu sendiri, yaitu tahi kelabang hitam yang menjadi bahan bakunya. Dan binatang seperti itu jarang sekali muncul di permukaan bumi, selalu bersembunyi di dalam tanah."
Kakek tua renta itu lalu masuk ke dalam gubuknya dan keluar lagi membawa beberapa butir obat pulung, semacam pel kasar yang berwarna hitam.
"Ini ada sembilan butir pel, sehari beri dia tiga kali, setiap kali sebutir dan dalam waktu tiga hari, setelah pel ini habis, aku tanggung dia sembuh kembali. In Hong girang bukan main dan cepat menerima bungkusan pel itu, menjura dan menghaturkan terima kasih.
"Harap engkau sudi memaafkan kekasaranku tadi, locianpwe, dan saya menghaturkan banyak terima kasih atas pertolonganmu!"
"Ha-ha-ha-ha, palsunya! Sebelum diberi marah-marah dan mengancam, sesudah diberi merendah dan berterima kasih. Itulah manusia!"
Kok Beng Lama tertawa bergelak dan In Hong memandang dengan muka berobah merah. Betapapun kasarnya pendeta Lama itu, kata-katanya amat jitu menancap di ulu hatinya dan dia merasa malu kalau mengingat akan sikapnya sendiri tadi. Dia tidak segera pergi karena dia ingin melihat bagaimana Yok-mo akan menyembuhkan anak itu, yang dia yakin pasti terluka oleh serangan Siang-tok-swa.
"Hayo kau obati muridku, Yok-mo. Jangan sampai aku harus mengancammu seperti yang dilakukan bocah liar itu."
Kok Beng Lama berteriak. Tanpa menjawab akan tetapi dengan mulut bersungut-sungut karena baru sekali ini selama hidupnya dia dipaksa orang untuk mengobati, Yok-mo menghampiri tubuh anak itu dan berlutut, membuka bajunya, mencium dekat dada Lie Seng dan memeriksa denyut nadinya yang lemah. Lie Seng yang sudah siuman itu masih rebah dengan lemah, hanya matanya yang lebar itu memandang dan melirik ke mana-mana.
"Hemm, tepat seperti dugaanku. Dia terkena racun yang jahat, racun kembang yang berbau harum. Racun harum dipergunakan untuk melukai seorang bocah sekecil ini! Betapa kejamnya manusia di dunia ini."
"Memang kejam sekali iblis betina itu!"
Kok Beng Lama berteriak.
"Tidak mampu melawan aku, dia melukai muridku. Awas dia, kalau lain kali bertemu dengannya, akan kupukul pecah kepalanya!"
Makin tidak senang hati Yok-mo mendengar ancaman itu, dia tidak memperdulikan dan memeriksa lagi tubuh Lie Seng lalu berkata,
"Tentu saja aku sanggup menyembuhkannya, akan tetapi dia harus dirawat di sini sedikitnya dua pekan. Racun yang menjalar di tubuhnya ini halus dan lembut akan tetapi cukup mematikan dan untuk membersihkannya sama sekali membutuhkan waktu lama..."
"Pendeta Lama yang kasar, aku mampu mengobati dia dan kutanggung dalam waktu tiga hari saja dia akan sembuh!"
Tiba-tiba In Hong berkata. Tadinya dia menyangka bahwa anak itu tentu terluka oleh Siang-tok-swa, ketika dia mendengar teriakan pendeta Lama itu bahwa yang melukai anak itu adalah seorang iblis betina, dia menjadi yakin bahwa tentu gurunya yang melakukan itu. Agaknya gurunya bentrok dengan pendeta ini dan dia tidak akan merasa heran kalau gurunya sampai kewalahan menghadapi pendeta Lama yang memang amat hebat ilmu kepandaiannya ini. Di dunia ini, yang pandai mempergunakan Siang-tok-swa hanyalah dia dan gurunya, maka siapa lagi kalau bukan Giok-hong-cu Yo Bi Kiok yang melukai seorang anak itu? Dia sendiri merasa penasaran mengapa gurunya mau melukai seorang anak sekecil itu dengan Siang-tok-swa.
Perbuatan ini pasti tidak akan dia lakukan, karena hal itu dianggapnya terlalu keji dan curang. Siang-tok-swa adalah pasir beracun yang hanya patut dipergunakan kalau menghadapi pengeroyokan banyak orang atau bertemu dengan lawan tangguh. Akan tetapi sama sekall tidak pantas kalau dipergunakan untuk melukai seorang bocah yang masih begitu kecil dan tentu belum tahu apa-apa! Rasa penasaran inilah yang membuat hatinya tergerak untuk mengobati anak itu dengan obat penawar Siang-tok-swa yang selalu dibawanya bersama pasir beracun itu sendiri. Akan tetapi dia memang seorang dara yang cerdik, tentu saja dia tidak mau mengobati begitu saja! Kok Beng Lama dan Yok-mo keduanya terkejut mendengar ini. Kok Beng Lama terkejut bercampur girang, sedangkan Yok-mo terkejut dan marah.
"Bocah sombong engkau! Aku saja baru akan dapat menyembuhkannya dalam waktu dua pekan atau... baiklah, kuperpendek menjadi sepuluh hari!"
"Dan aku tetap dapat menyembuhkannya dalam waktu tiga hari."
"Akan kukeluarkan semua ilmuku... hemm, aku sanggup menyembuhkannya dalam waktu sepekan! Aku akan bohong kalau mengatakan kurang dari sepekan!"
Yok-mo kembali berseru, penasaran.
"Dan aku ulangi lagi, paling lama tiga hari obatku pasti akan menyembuhkannya, paling lama tiga hari, mungkin kurang dari tiga hari."
Kok Beng Lama menghampiri In Hong.
"Nona, benarkah itu? Kau sanggup mengobatinya secepat itu?"
In Hong mengangguk.
"Kalau kau pandai mengobati muridku, kenapa kau sendiri datang minta bantuan kepada Yok-mo?"
"Luka yang diderita oleh... sahabatku dan luka yang diderita muridmu tidak sama, Lama. Dan aku kebetulan mempunyai obat yang paling mujarab untuk mengobati luka muridmu yang terkena racun itu. Racun itu tentu disebabkan oleh Siong-tok-swa, bukan?"
Yok-mo terkejut. Tidak memeriksa sudah mengerti, sungguh hebat dan tepat sekali.
"Benar, luka itu oleh senjata rahasia pasir yang mengandung racun harum,"
Katanya.
"Kalau begitu, nona yang baik, kau obatilah muridku ini dan aku akan berterima kasih sekali kepadamu!"
Kata Kok Beng Lama.
"Ucapan terima kasih hanya merupakan kata-kata kosong belaka, apa gunanya bagiku, Lama? Sudah sepantasnya kalau orang memberi juga meminta, karena itu, aku mau memberi obat kepada muridmu dengan jaminan bahwa paling lama tiga hari dia pasti sembuh, sebaliknya akupun ingin meminta sesuatu darimu."
Kok Bang Lama tertawa.
"Ha-ha-ha, baru sekali ini aku bertemu dengan bocah secerdik engkau. Baiklah, kau mau minta apa?"
"Karena engkau seorang yang memiliki kesaktian luar biasa, maka aku minta diberi ilmu yang dapat mengalahkan semua ilmuku, termasuk ilmu pedangku."
Sepasang mata yang lebar dan besar itu terbelalak.
"Wahhh... ilmu silatku banyak sekali macamnya, aku sendiri sampai tidak hafal lagi. Yang mana yang kau minta?"
"Yang mana saja, asal bisa menangkan semua ilmuku. Kau tadi menggunakan kedua lengan kosong untuk menghadapi pedangku, nah, aku mau kau ajarkan ilmu sin-kang itu kepadaku."
"Ha-ha-ha, menggunakan tangan kosong menghadapi senjata hanyalah mampu dilakukan orang yang memiliki Thian-te Sin-ciang. Kau mau minta sin-kang istimewa yang khas hanya dimiliki olehku ini?"
"Tidak perduli apa namanya dan bagaimana macamnya, pokoknya aku ingin menukar obatku dengan Ilmu Thian-te Sin-ciang itu. Kalau kau mau, boleh. Kalau tidak, aku mau pergi sekarang. Sahabatku sudah menunggu dan nyawanya tinggal dua hari lagi."
Sambil berkata demikian, dengan lagak "jual mahal"
In Hong membalikkan tubuhnya dan hendak pergi dari situ.
"Eeiiitttt... nanti dulu...!"
Sekali berkelebat Kok Beng Lama sudah mencelat dan melampaui tubuh In Hong, tahu-tahu sudah berdiri menghadang, membuat dara itu menjadi makin kagum. Pantas gurunya tidak mampu menandingi hwesio Lama ini, memang amat luar biasa kepandaiannya.
"Kau mau atau tidak?"
In Hong berkata.
"Kau kira mudah saja mempelajari Thian-te Sin-ciang? Untuk memperoleh ilmu ini kau harus berlatih sedikitnya lima tahun!"
"Tidak perduli, pendeknya aku ingin memiliki ilmu itu, sekarang juga. Dan jangan kau mencoba untuk menipuku, Lama, karena aku cukup tahu bahwa menurunkan sin-kang kepada seseorang, sang guru dapat pula menyalurkan hawa murni kepada si murid dan dengan cara demikian akan dapatlah ilmu itu dikuasai secara langsung."
"Wah, kau minta yang bukan-bukan!"
"Kenapa yang bukan-bukan? Dengan memberikan itu kepadaku, engkau tidak akan kehilangan apa-apa dan tenaga yang hilang oleh penyaluran itupun akan mudah terisi kembali."
"Ha-ha, agaknya engkau cukup tahu akan segala hal ihwal pengoperan tenaga sin-kang, nona. Akan tetapi engkau tentu tahu pula bahwa ilmu simpanan seseorang hanya bisa diberikan kepada seorang muridnya."
"Aku tidak akan menjadi muridmu dan engkau bukan guruku. Tidak ada hubungan guru dan murid antara kita, bahkan saling mengenal namapun tidak. Kita hanya saling menukar sesuatu yang berharga. Bagaimana, mau tidak kau menukar Thian-te Sin-ciang dengan obat untuk muridmu?"
Andaikata Kok Beng Lama masih waras pikirannya, tentu dia akan memikirkan hal ini lebih mendalam dan tidak akan memberikan ilmunya begitu saja. Akan tetapi dia dalam keadaan bingung, maka dia lalu menghela nafas.
"Baiklah, baiklah... nah, kau obati muridku dan aku akan memberi Thian-te Sin-ciang kepadamu."
"Tidak, engkau serahkan dulu ilmu itu, baru aku obati muridmu."
"Hemm, kenapa begitu?"
"Pendeta Lama, di antara engkau dan aku, sudah jelas bahwa kepandaianmu jauh lebih tinggi. Kalau aku obati dulu muridmu dan engkau ingkar janji, aku tidak akan bisa apa-apa terhadapmu. Sebaliknya, kalau kau berikan dulu ilmu itu, kemudian aku tentu tidak mungkin berani ingkar janji terhadapmu karena engkau akan dapat dengan mudah mengalahkan aku. Nah, ini sudah adil, bukan? Dan lagi, setelah kau memberikan ilmu Thian-te Sin-ciang kepadaku, aku akan menyerahkan obat kepadamu lalu pergi karena aku sudah meninggalkan sahabatku yang terluka itu selama satu hari satu malam. Nyawanya tinggal dua hari lagi umurnya, maka aku harus cepat pergi."
"Wah-wah, kau memang cerdik dan banyak akal bulusmu. Mana bisa kau mau menipu aku? Bagaimana kalau obat yang kau berikan itu palsu dan ternyata tidak bisa menolong muridku dalam tiga hari?"
"Habis, hadirnya Yok-mo ini untuk apa? Dialah saksi yang paling berharga. Dia akan tahu apakah obatku itu betul mujarab atau tidak setelah kuobatkan kepada muridmu."
Yok-mo yang sejak tadi mendengarkan perbantahan itu, ingin cepat-cepat terbebas dari dua orang muda dan tua yang sama-sama tiak disenanginya itu. Dia mengangguk.
"Benar, kalau obat itu palsu dan tidak mujarab, aku tentu akan segera tahu. Akupun ingin melihat apakah dia tidak membohongi orang-orang tua."
"Kalau aku bohong, apa sukarnya bagi Lama ini untuk membunuhku?"
In Hong membantah. Kok Beng Lama merasa kalah bicara. Dia mengangguk-angguk lalu duduk bersila.
"Kau kesinilah dan duduk bersila di depanku,"
Dia berkata dengan nada memerintah. In Hong girang sekali dan cepat dia duduk bersila di depan kakek itu. Si kakek menarik napas panjang. Duduk berhadapan demikian dekatnya dengan dara muda yang cantik jelita ini membuat dia teringat akan puterinya dan tiba-tiba dia menangis!
Tentu saja In Hong menjadi terkejut dan mengangkat muka. Melihat kakek itu menangis terisak-isak dan air matanya bercucuran, In Hong bergidik dan merasa serem. Tentu ada suatu hal yang amat hebat menimpa diri kakek sakti ini yang membuat terguncang batinnya dan membuat kakek setua itu dapat menangis mengguguk seperti ini. Karena gemblengan paksaan, In Hong menjadi seorang dara yang berhati dingin, akan tetapi pada dasarnya dia memiliki watak yang lincah, halus dan perasa seperti mendiang ibunya. Maka kini menghadapi keadaan kakek tua renta itu, tak dapat dicegah lagi air matanyapun bercucuran! Hal ini amat menguntungkan In Hong. Kok Beng Lama yang sudah agak sinting itu, merasa seolah-olah berhadapan dengan puterinya. Dia merangkul dan mengeluh.
"Anakku... ah, anakku..."
Dan In Hong balas merangkul. Sejenak mereka saling berpelukan sambil menangis.
Dewi Maut Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Gila...! Gendeng orang-orang kang-ouw ini..."
Yok-mo yang menonton pertunjukan aneh itu menggeleng-geleng kepala berkali-kali.
"Harap... harap kau berikan ilmu itu kepadaku..."
In Hong berbisik, hatinya masih terharu sekali. Hal ini adalah kakek itu tadi menyebutnya "anakku"
Yang tentu saja mengingatkan dia bahwa dia telah tidak berayah ibu lagi, bahkan dia belum pernah melihat atau tidak ingat lagi bagaimana wajah ayahnya dan ibunya. Maka, mendengar kakek ini menganggap dia sebagai anaknya, tentu saja mengingatkan dia kepada ayahnya menimbulkan keharuan.
"Terimalah, anakku... terimalah... kau buka seluruh jalan darahmu, buka pusarmu dan jangan melawan aku... aku akan memasukkan Thian-te Sin-kang kepadamu yang menjadi dasar Ilmu Pukulan Thian-te Sin-ciang..."
In Hong bersila dan "membuka"
Semua jalan darah dan pusarnya. Tiba-tiba kedua telapak tangan yang amat lebar dari pendeta itu menyentuh ubun-ubun kepalanya dan pusarnya. Terasa olehnya hawa yang hangat dan amat kuat mamasuki tubuhnya, berputaran di seluruh tubuh untuk kemudian berkumpul di pusar, bercampur dengan hawa sakti miliknya sendiri. Tubuhnya tergetar, kemudian menggigil dan berkelojotan. Hampir dia tidak kuat menahan, kemudian terdengar bisikan suara kakek itu,
"Perlahan-lahan kerahkan tenaga dari pusar, kuasai tenaga yang meliar itu sampai berputaran di pusar, pusatkan kekuatan dan seluruh perhatianmu..."
Dengan membuta In Hong mentaati perintah ini, dan dia terus mendengarkan perintah kakek itu yang merupakan petunjuk dan teori pengendalian tenaga Thian-te Sin-kang. Hampir tiga jam mereka duduk bersila berhadapan dan akhirnya In Hong dapat menguasai tenaga sakti mujijat yang liar itu. Keadaan itu hampir sama dengan menaklukkan seekor kuda liar. Mula-mula kuda itu meronta dan melawan, meloncat dan hendak membedal, akan tetapi setelah akhirnya dapat dijinakkan, menjadi penurut dan bergerak ke mana saja menurut kemauan yang menguasainya.
Setelah membuka matanya dan wajahnya, masih pucat sekali, In Hong dengan penuh perhatian mendengarkan petunjuk-petunjuk tentang teori Thian-te Sin-ciang. Cukup ruwet teori ilmu silat ini, akan tetapi sebagai seorang gadis yang cerdas dapat menerima dan menghafal teori itu dalam waktu dua jam. Tentu saja teori itu membutuhkan latihan, akan tetapi dengan dasar tenaga sin-kang Thian-te Sin-kang yang telah dikuasainya, dia akan dapat melatih ilmu itu dengan cepat. Kok Beng Lama bangkit berdiri dengan tubuh agak lemas dan mukanya pucat. Dia telah menggunakan banyak tenaga, bahkan kehilangan banyak sin-kang, namun hatinya puas karena anak perempuan yang seperti anaknya ini dapat menerima ilmu demikian cepatnya.
"Sudah cukup... kau telah menguasai Thian-te Sin-ciang asal kau rajin berlatih..."
Hati In Hong masih diliputi keharuan. Dia tadi merasa betapa kakek itu menurunkan ilmu kepandaiannya penuh kasih sayang seperti kepada anaknya sendiri. Dan, memang demikianlah keadaannya. Andaikata tidak ada kasih sayang ini, kiranya tidak mudah untuk menerima penyaluran tenaga mujijat seperti Thian-te Sin-kang tadi. Maka kini In Hong menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu sambil berkata,
"Locianpwe, teecu menghaturkan banyak terima kasih kepada locianpwe."
"Hushh, ingat. Kita bukan guru dan murid, bukan apa-apa, bukan sanak bukan kadang bukan tidak saling mengenal. Hayo cepat kau obati muridku."
In Hong tidak berani, bersikap kasar lagi. Dia mengangguk, lalu mengeluarkan obat penawar Siang-tok-swa, menghampirl Lie Seng dan memeriksa. Diam-diam dia menyesal sekali atas perbuatan gurunya yang terlalu kejam. Anak ini terkena Siang-tok-swa di dada, muka dan perutnya! Cepat dia menaruhkan obat bubuk yang dicampur air dan diborehkan ke tempat-tempat yang terluka dan menghitam itu, kemudian dia memasak sebungkus obat lalu obat itu diminumkannya kepada Lie Seng. Diam-dam dara inipun kagum bukan main karena sejak tadi dia tidak mendengar anak itu mengeluh sedikitpun! Benar-benar seorang bocah yang luar biasa dan sudah patut menjadi murid seorang sakti seperti pendeta Lama itu. Sejam kemudian, hari sudah mulai sore dan Yok-mo memeriksa keadaan Lie Sang. Dia mengangguk-angguk.
"Lama, kau percayalah. Obat boreh dan obat minum itu benar-benar manjur sekali dan agaknya memang khusus dibuat untuk mengobati luka karena Siang-tok-swa. Muridmu sudah hampir sembuh dan dalam waktu dua hari saja kurasa dia sudah akan terbebas dari pengaruh racun."
Kok Bang Lama tertawa girang sekali.
"Ha-ha-ha, tidak percuma kalau begitu aku menyerahkan ilmu kepadamu, nona. Ha-ha-ha!"
In Hong lalu menyerahkan obat untuk Lie Seng kepada Yok-mo, kemudian dia berpamit setelah menjura kepada Yok-mo dengan ucapan terima kasih, kemudian memberi hormat kepada Kok Beng Lama sambil berkata,
"Biarpun teecu bukan murid locianpwe, namun teecu berjanji bahwa Ilmu Thian-te Sin-ciang tidak akan teecu pergunakan secara sembarangan dan akan merupakan ilmu simpanan teecu. Sekali lagi teecu menghaturkan terima kasih."
"Ha-ha-ha, kalau kau pergunakan dengan sembarangan, apa sukarnya bagiku untuk mencarimu dan mencabutnya kembali berikut nyawamu? Ha-ha-ha!"
In Hong menjura lalu membalikkan tubuhnya dan berkelebat lenyap dari tempat itu. Yok-mo bengong dan menggeleng-geleng kepala.
"Nona itu dahsyat bukan main, sinar dingin di wajahnya menunjukkan dendam kebencian yang mendalam. Kini ditambah ilmu pemberianmu, Lama, sama dengan memberi sayap kepada seekor harimau."
Akan tetapi Kok Beng Lama tidak memperhatikan ucapan itu. Hatinya terlampau girang melihat Lie Seng tertolong karena dia telah menganggap bocah itu sebagai muridnya. Memang Kok Beng Lama telah berobah sekali dibandingkan dengan wataknya sebelum dia mengalami pukulan batin yang hebat. Dulu tidak mudah bagi siapapun untuk menjadi murid kakek sakti ini. Akan tetapi kini, begitu bertemu dengan Lie Seng, tanpa tanya-tanya dulu apakah bocah itu mau atau tidak menjadi muridnya, tanpa menyelidiki lebih dulu siapa bocah itu dan anak siapa, dia sudah begitu saja menganggap bocah itu sebagai muridnya! Dan tanpa menanyakan nama In Hong, sama sekali tidak mengenalnya, dia sudah begitu saja menyerahkan ilmu yang merupakan satu di antara ilmu-ilmunya yang paling rahasia dan ampuh!
"Ah, untung engkau keburu datang, lihiap!"
Pemuda murid Bu-tong-pai itu berseru dengan suara lega.
"Aku khawatir dia sudah dalam sekarat..."
In Hong terkejut mendengar sambutan murid Bu-tong-pai itu dan cepat dia mengikuti masuk dalam kuil tua. Dan benar saja, orang yang tersiksa itu rebah dengan mata tertutup, muka kehitaman dan napas tinggal satu-satu. Dua orang murid Bu-tong-pai yang menjaga di situ juga kelihatan girang melihat datangnya penolong mereka. Cepat mereka itu membantu In Hong mencari dan memasak air,
Kemudian dengan paksa mereka membantu In Hong mencekokkan obat yang dibawa oleh In Hong itu ke dalam perut pemuda yang sekarat melalui mulutnya yang dibuka dengan paksa. Mereka berempat menunggu dengan hati tegang, ingin menyaksikan bagaimana pengaruh obat yang didapatkan dari Yok-mo yang terkenal itu. Satu jam mereka menanti penuh ketegangan, karena mereka seolah-olah melihat pemuda itu bergulat dengan elmaut. Detik jantung pemuda itu amat lemah dan napasnya Senin Kemis, kadang-kadang menggeliat-geliat seperti orang dalam sekarat. Tiba-tiba terdengar suara berkeruyuk dari perut Bun Houw. Empat orang muda itu memperhatikan. Suara berkeruyuk itu sambung-menyambung dan perut pemuda itu bergerak-gerak, terus bergerak dan kini naik ke dada.
Tiba-tiba pemuda itu muntah dan cepat sekali In Hong melompat dan membantu pemuda itu duduk sehingga pemuda itu dapat muntah ke pinggir dalam keadaan setengah rebah miring. Lengan In Hong terkena muntahan yang ternyata adalah darah hitam yang berbau busuk! Tiga orang murid Bu-tong-pai itu benar-benar merasa kagum sekali melihat betapa tekun dan penuh perhatian In Hong merawat Bun Houw. Padahal wanita sakti penolong mereka itu sama sekali tidak mengenal pemuda itu, seperti juga tidak mengenal mereka. Juga mereka melihat betapa sinar mata yang biasanya dingin itu menjadi berseri ketika melihat bahwa pernapasan Bun Houw kini menjadi lebih tenang dan detik jantungnya lebih kuat, tanda bahwa obat itu memang manjur sekali.
"Dia tertolong, dan kalian bertiga boleh pergi sekarang,"
Kata In Hong setelah melihat Bun Houw tidur nyenyak dengan napas tenang dan muka pemuda itu tidak begitu menghitam lagi. Dua orang gadis Bu-tong-pai itu memandang dengan mata terharu dan pemuda yang menjadi suheng mereka memandang kagum.
"Lihiap, kami akan kembali ke Bu-tong-pai untuk melapor kepada suhu kami. Setelah menerima pertolongan lihiap dan berkumpul beberapa lama, mustahil kalau kami tidak memperkenalkan diri. Saya bernama Sim Hoat, ini adalah sumoi Lim Soan Li, dan dia itu adalah sumoi Coa Gin Hwa. Kami masih tinggal di Bu-tong-san karena belum tamat belajar dari suhu kami, ketua Bu-tong-pai Thian Cin Cu Tojin. Sudilah kiranya lihiap memperkenalkan nama, karena tanpa ada pertolongan lihiap, kami bertiga tentu sudah tidak hidup lagi. Kami berhutang budi dan tentu suhu akan marah kalau kami tidak dapat memberi tahu kepada beliau siapa lihiap yang telah menyelamatkan nyawa kami."
In Hong mengerutkan alisnya. Sudah berkali-kali dia mengalami bahwa jika orang mengenalnya sebagai murid ketua Giok-hong-pang, orang akan menggolongkan dia sebagai orang sesat atau golongan hitam. Dan merasa malu untuk digolongkan dengan kaum sesat yang selalu mengumbar nafsu tidak segan-segan melakukan kejahatan. Tidak, dia bukan orang macam itu!
"Terima kasih atas kebaikan sam-wi. Akan tetapi aku tidak punya nama dan peristiwa kecil itu tidak perlu mengikat kita. Sebaiknya kita melupakan saja hal yang telah lalu dan aku tidak pernah menolong sam-wi. Baik ikatan budi maupun ikatan dendam hanya merepotkan hidup saja. Pergilah dan di antara kita tidak ada hubungan apa-apa lagi."
Tiga orang murid Bu-tong-pai itu saling pandang dan menarik napas panjang.
Banyak terdapat orang sakti yang berwatak aneh di dunia ini, akan tetapi penolong mereka ini masih begini muda, lebih muda dari mereka, aken tetapi berwatak begini dingin dan aneh, seolah-olah tidak suka berhubuhgan dengan manusia lain, akan tetapi yang jelas sanggup mengorbankan apa saja untuk menolong orang lain yang sama sekali belum dikenalnya. Seorang dara yang luar biasa! Apalagi bagi Sim Hoat pemuda Bu-tong-pai ini, dia sekaligus sudah jatuh cinta kepada dara luar biasa yang selain sakti juga amat cantik jelita ini! Terpaksa mereka lalu berpamit, memberi hormat meninggalkan kuil dalam hujan lebat itu untuk pergi ke Bu-tong-pai dan melaporkan kepada suhu mereka tentang kematian suheng mereka di Lembah Bunga Merah dan tentang kegagahan mereka membalas dendam.
Setelah mereka itu pergi, In Hong merawat Bun Houw seorang diri dengan tekun dan penuh perhatian. Setiap kali dia mencekokkan pel hitam yang dicampur air matang ke dalam perut pemuda itu, Bun Houw muntahkan darah hitam. Sampai dua hari pemuda itu terus muntah setiap habis makan pel, akan tetapi setelah dicekoki pel yang ketujuh, dia tidak muntah lagi dan mukanya sudah menjadi bersih dari warna hitam! Pada hari ketiga, mukanya mulai agak kemerahan dan kini napasnya sudah teratur sehat dan detak jantungnya juga sudah menjadi kuat. Tentu saja In Hong menjadi girang sekali. Tiga hari tiga malam lamanya dia tidak tidur maka kini saking lelahnya, dia tertidur menyandar tembok tidak jauh dari Bun Houw yang masih rebah tidak sadar di atas lantai.
Sehabis memberi minum pel yang kedelapan di siang hari, In Hong tertidur sambil duduk bersandar tembok. Saking lelahnya, dia telah tidur setengah hari dan siang telah terganti senja hampir golap, namun dia masih juga belum bangun. Di dalam tidurnya In Hong bermimpi. Dia diajak berjalan-jalan di dalam sebuah taman bunga yang indah, penuh bunga-bunga mekar semerbak harum, tangannya digandeng oleh Bun Houw dan dia mandah saja. Bahkan dia merasakan suatu kebahagiaan yang belum pernah dialami sebelumnya. Wajah Bun Houw berseri-seri, demikian tampan, sikapnya demikian gagah dan melindungi. Dia sudah begitu hafal akan wajah Bun Houw yang setiap saat dipandangnya itu,
Hafal akan garis dan lekak-lekuk wajah itu, dan kini wajah pemuda itu demikian dekat dengan wajahnya, mata yang bersinar-sinar tajam itu memandang mesra, seolah-olah membelainya dengan pandang mata, dan senyum yang menawan itu khusus ditujukan kepadanya. Dia menjadi malu, perasaan malu yang luar biasa, perasaan malu dan jengah yang amat mengguncang hatinya, mengusap kalbu dan mendatangkan perasaan bahagia yang sukar dituturkan dengan kata-kata. Akan tetapi tiba-tiba pemuda itu mengeluh, In Hong terkejut dan... dia tersadar, membuka mata, memandang ke kenan, ke arah pemuda yang tadi masih rebah tak sadar, karena sebelum tidur seluruh perhatiannya tercurah kepada Bun Houw, maka biarpun dia tidur nyenyak sekali, sedikit saja pemuda itu mengeluh sudah cukup untuk menyadarkannya.
"Kenapa kau tidak membunuhku? Bunuh saja aku, tidak ada gunanya kausiksa dan kaubujuk. Kau... perempuan hina dina, perempuan keparat jahanam!"
Pemuda itu memaki-maki, pandang matanya penuh kebencian ditujukan ke arah In Hong. Di dalam ruangan kuil itu sudah mulai gelap. In Hong lalu meloncat bangun, menjenguk keluar jendela butut untuk mengira-ngira waktu. Cuaca sudah mulai gelap, sudah tiba waktunya pemuda itu menelan pel hitam kesembilan,
Pel yang terakhir dan dia girang sekali karena pemuda itu kini sembuh, buktinya sudah sadar dan sudah penuh semangat hidup kembali, sudah dapat marah-marah dan memaki-maki! Dia tahu bahwa pemuda itu mengira dia seorang di antara para musuh-musuh yang menyiksanya, maka makian itu tidak menyakitkan hati, bahkan menggelikan. Tanpa thenjewab, In Hong mengambil air matang dari panci butut di sudut ruangan, menuangkan ke dalam mangkok, mengambil obat pel terakhir dan menghampiri Bun Houw. Seperti biasa, tanpa bicara apa-apa dia meletakkan mangkok di atas lantai, menggenggam pel di tangan kanan dan lengan kirinya menyangga punggung pemuda itu dan diangkatnya pemuda itu untuk bangkit setengah duduk. Akan tetapi Bun Houw yang dirangkul itu meronta.
"Aku tidak sudi...! Lepaskan, kau perempuan hina...!"
Pemuda itu menggerakkan tangannya hendak memukul, akan tetapi dia mengeluh dan kedua lengannya tergantung lemas karena luka di kedua pundaknya masih belum sembuh benar sehingga sedikit gerakan saja membuat tulang-tulang pundaknya seperti ditusuk-tusuk rasanya.
"Tenanglah, engkau harus menelan pel sebutir lagi dan engkau akan sembuh sama sekali. Buka mulutmu, telan pel ini dan minum air ini."
Akan tetapi Bun Houw menggeleng kepalanya dan memandang wajah yang cantik itu dengan sinar mata penuh kebencian dan kemarahan.
"Perempumn hina, percuma saja Thian mengaruniai padamu wajah secantik ini, temyata engkau hanya seorang manusia berhati iblis, seperti ular beracun, hamba dari nafsu yang cabul!"
Bun Houw mengira bahwa gadis yang amat cantik ini tentu saudara seperguruan dari Ai-kwi dan Ai-kiauw.
Wajah In Hong menjadi merah sekali. Kalau saja bukan pemuda ini yang memakinya seperti itu, kalau saja dia tidak tidak tahu benar bahwa pemuda ini salah sangka, kalau saja dia masih seperti In Hong beberapa hari yang lalu, makian itu sudah cukup baginya untuk membunuh laki-laki ini! Huh, laki-laki berani memaki dia secara demikian menghina! Akan tetapi kini dia tahu betul bahwa pemuda ini bukanlah laki-laki perusak wanita, bahkan sebaliknya, dia mempertahankan diri terhadap bujuk rayu wanita-wanita cabul dan hina. Makiannya itu hanya menunjukkan betapa pemuda ini di saat terakhir pun masih tetap tidak sudi melayani bujuk rayu itu, masih tetap mempertahankan kegagahannya dengan menentang maut! Makin kagumlah hati In Hong.
"Orang she Bun, engkau salah kira..."
Dia berkata lirih.
"Engkau sudah bukan tawanan lagi, dan aku hanya membantumu menelan pel kesembilan ini yang telah menyelamatkan nyawamu dari ancaman racun kelabang hitam."
Bun Houw mendengarkan suara ini dan matanya perlahan-lahan terbuka lebar. Dia memandang wajah itu, yang tidak begitu jelas karena cuaca yang mulai gelap, dan dia memandang ke sekeliling dan mendapat kenyataan bahwa dia berada di sebuah ruangan kuil yang rusak.
"Kau... kau... siapakah...? Kau... bukan... seorang di antara mereka...?"
Ing Hong tersenyum dan giginya yang putih sempat berkilau di dalam gelap. Dia menggeleng kepalanya.
"Telanlah dulu pel ini, dan minum air di mangkok ini..."
Katanya lirih. Bun Houw masih bingung, akan tetapi kini mulailah kesadarannya kembali. Siapapun adanya wanita ini, jelas bahwa wanita ini tidak berniat buruk terhadap dirinya, bukan meracuni ataupun merayu. Bukan demikian sikap orang merayu, biarpun lengan wanita ini merangkul punggungnya. Dan kalau wanita ini hendak membunuhnya atau meracuninya, bukan demikian pula sikapnya. Dan lagi, setelah mengalami siksaan seperti itu, apalagi yang ditakutinya. Dia lalu membuka bibirnya menerima pel yang dimasukkan ke dalam mulutnya, pel yang berbau sedap dan terasa pahit, kemudian menelan pel itu bersama air dari mangkok yang ditempelkan di bibirnya oleh wanita itu. Kemudian wanita itu merebahkan dia kembali ke atas lantai.
Tanpa bicara In Hong mengembalikan mangkok kosong ke sudut ruangan, lalu membuat api dari kayu-kayu kering di sudut ruangan itu, agak jauh dari Bun Houw. Dengan alat seadanya yang disediakan oleh murid-murid Bu-tong-pai, dia memasak bubur dan semua pekerjaan ini dilakukan dengan mulut tertutup, biarpun dia maklum bahwa sepasang mata selalu mengikuti setiap gerakannya, memandanginya di bawah penerangan api unggun yang kemerahan. Sepasang mata yang memandang penuh keheranan, penuh pertanyaan dan keraguan. Sepasang mata itu terus memandanginya seperti mata seorang anak kecil memandang orang yang baru pertama kali dijumpainya, ketika In Hong menyuapkan bubur ke mulut pemuda itu. Akhirnya sepasang mata itu tertutup kembali, tertidur nyenyak.
In Hong lalu makan pula, makan bubur dengan sayur asin sederhana sebagai lauknya, akan tetapi karena hatinya lega dan perutnya lapar, rasanya belum pernah dia makan selezat itu. Kemudian dia pun tidur tidak jauh dari Bun Houw, tidur dengan nyenyak tanpa mimpi semalam suntuk. Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali In Hong sudah bangun. Tubuhnya terasa segar dan cepat dia keluar dari kuil, kini berlatih ilmu yang baru saja dipelajarinya dari pendeta Lama raksasa itu. Dia bersila dan mengumpulkan hawa murni, menggerak-gerakkan sin-kang yang sudah terkumpul di dalam pusar, melatih perlahan-lahan sehingga "kuda liar"
Yang amat kuat itu tunduk kepada kemauannya dan dia dapat mengalirkan Thian-te Sin-kang itu sampai ke ujung-ujung jari tangannya, akan tetapi belum dapat sepenuhnya.
Setelah merasa cukup berlatih, dia lalu pergi ke sumber air di tengah hutan, menanggalkan pakaiannya dan mandi sampai bersih. Segar bukan main rasanya, lenyap seluruh sisa kelesuan dan kelelahan tubuhnya. Sambil berdendang In Hong mencuci pula rambutnya yang dianggapnya tentu kotor. Tiba-tiba dia berhenti di tengah-tengah dendangnya dan mukanya teran panas. Dia menengok ke kanan kiri, menarik napas lege karena tidak ada orang lain yang melihat dan mendengarnya, cepat-cepat menyelesaikan pekerjaannya membersihkan seluruh tubuh lalu memakai kembali pakaiannya, duduk memeras air dari rambutnya yang hitam panjang, mengurai rambut itu agar cepat kering sambil melamun.
Baru sadar dia akan keadaan dirinya sendiri. Dia berdendang? Belum pernah dia melihat dirinya sendiri seperti ini! Sejak kecil dia tidak pernah bernyanyi, sungguhpun dia tahu bahwa dia pandai menirukan semua nyanyian yang didengarnya dinyanyikan oleh para anggauta Giok-hong-pang dan bahwa suaranya cukup merdu. Tidak pernah selama hidupnya dia merasa begini gembira, begini bebas, begini lapang dadanya. Belum pernah selama hidupnya dia melihat pagi seindah itu, secerah itu sinar keemasan matahari pagi, semerdu itu suara kicau burung dan gemericik air dari sumber air, secantik itu daun-daun hijau terhias embun dan bunga-bunga beraneka warna, senyaman itu tarikan napasnya, membawa bau sedap pohon-pohonan dan keharuman bunga-bunga.
Mengapa begini? Mengapa setelah melihat pemuda she Bun... dia terkejut dan cepat dia meloncat bangun ketika teringat kepada pemuda itu. Tentu telah bangun pemuda itu! Seperti orang takut kehilangan sesuatu yang amat berharga, In Hong meloncat dan berlari cepat ke arah kuil, memegangi rambutnya yang masih terurai lepas dan terbang melambal-lambai di belakang tubuhnya ketika dia berlari cepat. Dengan berindap-indap dia memasuki kuil, seolah-olah khawatir kalau mengejutkan pemuda itu dan dia menarik napas lega ketika melihat betapa Bun Houw masih rebah terlentang di atas lantai. Dia lalu duduk dengan perlahan, menyanggul rambutnya yang menjadi agak kering karena dibawa lari tadi, sambil menatap wajah pemuda itu.
Betapa hafal dia sudah akan wajah yang tampan dan gagah itu, wajah agak kurus dan pucat karena banyak menderita dan hanya makan bubur sedikit setiap hari selama lima hari ini. Akan tetapi warna gelap sudah lenyap sama sekali dan kini wajah itu kelihatan makin tampan, ada warna merah sedikit pada pipi dan bibir itu, tanda bahwa dia sudah sehat benar, hanya tinggal memulihkan tenaga saja. Hati In Hong dilanda rasa iba melihat pakaian yang kotor itu, rambut yang kusut dan pundak yang masih dibalut. Ada bekas-bekas darah pada pakaiannya dan keadaan pemuda itu sungguh mengharukan. Pakaian itu perlu dicuci, pikir In Hong yang sudah membayangkan betapa dia akan dengan senang hati mencucikan pakaian pemuda itu. Tiba-tiba In Hong menghentikan lamunannya dan memandang penuh perhatian.
Jantungnya berdebar tegang. Pemuda itu menggeliat, tubuhnya yang kuat seperti tubuh seekor harimau itu menggeliat dan menegang, akan tetapi ketika kedua lengannya direnggangkan, dia menahan rintihan dan membuka mata karena kedua pundaknya terasa nyeri. Begitu membuka mata, seperti orang yang baru sadar dari mimpi buruk, Bun Houw bangkit duduk, menggigit bibir ketika merasa pundaknya kembali nyeri. Dia menoleh ke kanan kiri, lalu ke arah kaki tangan dan pundaknya dan kini dia menatap wajah In Hong yang duduk dengan tenang-tenang saja itu dengan mata penuh selidik. Seperti teringat sebuah mimpi, Bun Houw mengenal wajah ini yang pernah dilihatnya secara remang-remang, lalu dia menoleh ke sudut di mana terdapat panci dan mangkok, ke sudut lain di mana terdapat bekas api unggun dan dia teringat.
"Kau... eh, nona... apakah yang telah terjadi dengan diriku? Di mana aku sekarang ini berada...?"
Tanyanya, kesadarannya membuat dia bingung melihat betapa dia yang tadinya ditawan dan disiksa oleh dua orang musuh besarnya itu tahu-tahu bisa berada di sini terbebas dari belenggu dan tubuhnya terasa sehat sama sekali, kecuali rasa nyeri pada kedua tulang pundaknya yang masih terbalut. Dengan sikap dingin, bukan dingin sewajarnya seperti yang sudah menjadi sikapnya sejak kecil menurut gemblengan gurunya, melainkan sekali ini dingin buatan, seperti orang acuh tak acuh, seperti orang memandang rendah, In Hong menjawab lirih,
"Di dalam sebuah kuil rusak..."
Lalu dia menunduk dan merapikan bajunya, kemudian merapikan rambutnya yang tadi digelung, dan dipasangnya tusuk konde burung hong kumala di rambutnya. Bun Houw tentu saja melihat betapa cantik jelitanya dara yang duduk di depannya itu, akan tetapi pada saat itu dia lebih memperhatikan keadaan luar kuil dari jendela ruangan itu yang terbuka karena hatinya masih diliputi keheranan besar. Dia melihat pohon-pohon lebat dan tahulah dia bahwa kuil tua ini berada di tengah hutan.
"Hemmm... di dalam sebuah kuil tua di tengah hutan. Dan... bagaimana aku bisa berada di sini? Bukankah tadinya aku berada dalam kamar tahanan di Lembah Bunga Merah?"
In Hong tidak menjawab, hanya memandang dan dua pasang mata saling bertemu, sejenak bertaut dan akhirnya In Hong menundukkan mukanya. Melihat dara itu tidak menjawab, timbul pula kecurigaan Bun Houw dan dia menduga-duga. Apakah dara ini murid Hui-giakang Ciok Lee Kim? Akan tetapi tidak mungkin, karena jelas bahwa dara ini memperlakukan dirinya dengan baik, memberi obat dan menyiapkan bubur!
"Ah, tentu ada yang menolongku keluar dari tempat itu, betapapun anehnya, hal itu mengingat bahwa aku tersiksa dan dibelenggu, kedua tulang pundakku dikait dengan besi kaitan..."
Tiba-tiba dia teringat akan bayangan rahasia yang memiliki gerakan cepat luar biasa, yang telah menyelamatkan dan membebaskan tiga orang tawanan Lembah Bunga Merah, yaitu tiga murid-murid Bu-tong-pai.
"Nona, apakah engkau yang telah membebaskan tiga orang anak murid Bu-tong-pai dari Lembah Bunga Merah?"
Dia memandang tajam penuh selidik. In Hong mengangkat muka, ketika pandang matanya bertemu dengan pandang mata penuh selidik itu, dia merasakan sesuatu yang aneh pada jantungya. Dia berdebar malu, dan... bangga! Sungguh dia hampir tidak mengenal diriya sendiri, perasaannya sendiri, mengapa sekarang menjadi begini aneh? Dia hanya mengangguk dan menunduk lagi.
"Kalau begitu... agaknya engkau pula yang telah menolong aku, nona?"
Pertanyaan ini diajukan oleh Bun Houw dengan pandang mata penuh keheranan, hampir tidak percaya. Mana mungkin seorang gadis muda seperti ini, yang begini cantik jelita, begini pendiam dan agaknya pemalu, dapat menolong dia yang sudah terbelenggu dan dikait tulang punggungnya dari tangan lima orang sakti dan anak buah Lembah Bunga Merah? Akan tetapi kembali dara itu mengangguk!
Hening sejenak karena Bun Houw terlalu heran dan terkejut sehingga sampai lama dia hanya bengong saja memandang wajah dara itu. Kalau yang menolongnya itu gurunya, Kok Beng Lama misalnya, atau ayahnya dan ibunya sendiri, masih tidak terlalu aneh. Akan tetapi dara ini! Dan bukan hanya menolongnyg keluar dari tahanan yang berbahaya itu, malah sudah menyembuhkannya, padahal dia masih ingat betul betapa dia tersiksa hebat oleh rasa nyeri dan tahu bahwa dia keracunan, bahkan menurut Hui-giakang Ciok Lee Kim dia hanya dapat bertahan hidup tiga hari saja! Buktinya sekarang dia sudah sembuh! Gadis ini pulakah yang menyembuhkannya? Tiba-tiba dia teringat dan cepat Bun Houw bangkit berdiri ketika dia melihat dara itu yang agaknya merasa tidak enak dipandanginya terus seperti itu telah bangkit berdiri di dekat jendela, memandang keluar, membelakanginya.
"Kalau begitu... aku telah kau tolong, nona. Kau telah menyelamatkan nyawaku...! Betapa hebat dan besar budimu terhadap diriku, nona. Bagaimana aku harus mengatakan terima kasihku?"
Kata Bun Houw gagap karena hatinya terharu, tahu betul dia betapa bahayanya menolong dia dari lembah maut itu, bahaya yang hanya dapat ditempuh dengan taruhan nyawa.
"Mengapa bingung-bingung?"
In Hong menjawab tanpa menoleh.
"Sudah saja jangan menyatakan terima kasih, aku tidak membutuhkan itu..."
Bun Houw menjadi makin bingung. Sikap gadis ini sungguh aneh. Melihat budinya yang demikian besar, jelas bahwa dara ini adalah seorang yang berhati mulia, akan tetapi mengapa sikapnya demikian dingin? Jangan-jangan ada maksud tertentu di balik pertolongannya itu! Akan tetapi tak mungkin...!
"Sudikah engkau menceritakan bagaimama engkau dapat membebaskan aku dari tahanan itu, nona?"
In Hong membalikkan tubuhnya. Karena dia berdiri miring, sinar matahari yang menerobos masuk dari jendela tua itu menimpa separuh mukanya dan kelihatan cantik bukan main. Rambut yang baru saja dicuci itu berkilauan, anak rambut banyak yang bergumpal-gumpal kacau dan awut-awutan di sekitar dahi, pelipis dan leher. Manisnya sukar dilukiskan!
"Apa yang dapat diceritakan? Aku melihat engkau ditawan dan disiksa, lalu aku menggunakan kesempatan selagi lima orang sakti itu tidak menjagamu, aku merobohkan semua penjaga, anak buah Lembah Bunga Merah, lalu membawamu ke sini."
Kata-kata yang keluar dari mulut dara itu begitu bersahaja, seolah-olah menceritakan hal yang biasa saja, demikian penuh kerendahan hati sehingga Bun Houw menjadi makin terheran-heran dan kagum.
"Akan tetapi... apakah tidak ada di antara mereka yang merintangimu?"
In Hong mengangguk.
"Hwa Hwa Cinjin dan Hek I Siankouw menghadangku, akan tetapi aku dapat melewati mereka dengan selamat."
Bun Houw terbelalak. Kakek dan nenek pertapa itu lihai bukan main, dan tentu dara ini memanggulnya ketika melarikan dia, namun toh dapat membebaskan diri dari mereka. Bukan main! Cepat dia menjura dengan penuh hormat yang dibalas oleh In Hong dengan kaku dan sembarangan.
"Ah, kiranya aku berhadapan dengan seorang pendekar wanita yang amat lihai! Sungguh beruntung sekali, karena tanpa pertolonganmu aku tentu tewas di tangan mereka. Terimalah ucapan terima kasihku yang sedalam-dalamnya, nona."
Melihat pemuda itu kembali menjura dengan hormat, In Hong membalas dan berkata.
"Sudah kukatakan, aku tidak membutuhkan terima kasih."
"Dan aku telah keracunan, Toat-beng-kauw Bu Sit menusukkan jarum dengan racun kelabang hitam di tengkukku, sakitnya bukan main, seperti ribuan ekor semut menggigit dari dalam tubuhku, sampai aku tidak tahan... dan... aku tidak berdaya, tulang pundakku dikait baja pengait dan Hui-giakang Ciok Lee Kim mengatakan bahwa aku hanya dapat hidup tiga hari saja. Akan tetapi sekarang..."
Bun Houw melihat kaki tangan dan pundaknya.
"tidak ada bekas-bekasnya lagi! Agaknya engkau pula yang telah menyembuhkan aku dari ancaman racun kelabang hitam itu, nona?"
"Bukan aku, melainkan Yok-mo. Aku pergi ke puncak Gunung Cemara di mana tinggal Yok-mo, ahli obat gila. Aku memaksa dia memberikan obat untukmu dan ternyata kau sembuh."
"Dan nona meninggalkan aku di sini ketika pergi mencari obat?"
"Tidak, tiga anak murid Bu-tong-pai menjagamu di sini. Setelah aku kembali membawa obat, baru mereka pulang ke Bu-tong-pai."
"Aihhhh... dua kali engkau menyelamatkan nyawaku, nona!"
Kembali Bun Houw menjura dengan terheran-heran dan kagum sekali.
"Sudahlah, capek aku kalau terus-mencrus membalas penghormatanmu!"
In Hong mengomel dan cemberut, akan tetapi sebetulnya belum pernah dia merasa demikian girang hatinya.
"Sungguh hebat... sunguh mengherankan sekali... engkau yang masih begini muda... bolehkah aku mengetahui namamu yang mulia dan terhormat, nona?"
(Lanjut ke Jilid 18)
Dewi Maut (Seri ke 03 - Serial Pedang Kayu Harum)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 18
"Hemm, pertemuan antara kita hanya kebetulan saja. Aku hanya tahu engkau seorang she Bun, dari percakapan mereka di Lembah Bunga Merah. Biarlah aku mengenalmu sebagai orang she Bun, dan engkau tidak perlu mengetahui namaku..."
"Aih, mengapa begitu, nona?"
Bun Houw bertanya dengan heran lagi, dan diam-diam diapun tidak ingin memperkenalkan namanya. Dia tahu betapa bahayanya kalau namanya dikenal orang, apalagi kalau sampai dikenal oleh Lima Bayangan Dewa, sedangkan nona jelita ini begini aneh dan penuh rahasia.
Pedang Kayu Harum Eps 35 Petualang Asmara Eps 50 Petualang Asmara Eps 3