Ceritasilat Novel Online

Dewi Maut 21


Dewi Maut Karya Kho Ping Hoo Bagian 21



Dua orang muda ini adalah putera-puteri pendekar wanita Souw Li Hwa dan mereka itu dapat melihat betapa Tio Sun bertanding dengan hati-hati dan tenang, tanda bahwa pemuda itu memang berkepandaian tinggi dan tidak sembarangan main seruduk saja yang kemudian akan mengakibatkan kekalahan di fihaknya. Kini mulailah Tio Sun dapat mempelajari inti gerakan lawan. Juga dengan girang dia melihat betapa lawannya sudah mulai berkeringat dan napasnya mulai memburu. Hal ini tidak mengherankan karena Tokugawa telah berusia lima puluh tahun lebih, menggerakkan samurainya dengan kedua tangan dan dengan sepenuh tenaga, ditambah lagi cara hidupnya yang tidak sehat, maka tentu saja ketangkasan dan daya tahannya tidak seperti di waktu dia masih menjadi seorang jagoan samurai di negerinya. Diapun maklum bahwa lawannya ini hebat bukan main, tidak boleh dipandang ringan saja.

   Dahulu pernah dia memandang ringan kepada Souw Li Hwa dan dia kalah, hampir saja dia tewas. Maka kini dia harus bersikap hati-hati. Setelah mendesak selama lima puluh jurus dan sama sekali tidak ada tanda-tanda bagi lawan untuk kewalahan menghadapi samurainya, bahkan gerakan lawan makin lama makin cepat dan ringan, Tokugawa lalu menggunakan siasat. Dia sengaja memperberat napasnya dan memperlambat gerakannya. Betapapun juga, Tio Sun adalah seorang pemuda yang baru saja keluar dari rumah ayahnya, seperti seekor burung yang baru keluar dari sarang. Biarpun dia telah mempelajari banyak teori, akan tetapi dia belum banyak pengalaman, maka dia tidak tahu bahwa lawannya itu berpura-pura kehabisan tenaga. Dia menjadi girang sekali melihat kelambatan gerakan samurai, maka mulailah dia menyerang!

   "Heiiiiittttt...!"

   Pedangnya meluncur seperti kilat.

   "Cring-cringgg... ciuuuutttt...!"

   Samurai itu menangkis dua kali dan tiba-tiba dari pinggir gagangnya meluncur sebatang paku ke arah Tio Sun.

   "Aduhhh...!"

   Tio Sun terpekik karena kaget ketika tahu-tahu paku itu menancap di pundak kirinya. Pedangnya berkelebat cepat laksana kilat dan kini Tokugawa yang berteriak, tangannya berdarah dan terpaksa dia melepaskan samurainya. Pada saat itu Tio Sun yang telah terluka pundaknya itu secepat kilat menusukkan pedangnya ke arah dada lawan. Tokugawa miringkan tubuhnya membiarkan pedang itu menancap di pundaknya akan tetapi pada saat itu,

   Kedua tangannya menyambar dan dia sudah berhasil menangkap kedua pergelangan tangan Tio Sun! Cengkeramannya itu kuat sekali dan Tio Sun maklum bahwa agaknya tidak mungkin melepaskan kedua lengarmya dari cengkeraman itu, maka diam-diam dia lalu mengerahkan sin-kangnya untuk memberatkan tubuhnya. Tokugawa tertawa bergelak. Jagoan samurai ini maklum bahwa bagi ahli silat, yang berbahaya adalah kedua tangannya, maka kini dia telah berhasil menangkap kedua pergelangan tangan lawan, membuat lawannya tidak berdaya. Dia sama sekali tidak berani melepasken lengan lawan, karena maklum bahwa begitu terlepas, tangan itu akan dapat mengirim pukulan maut dengan cepat sekali dan hal ini amat membahayakan dirinya. Maka setelah kini berhasil menangkap lengan lawan, dia tertawa,

   "Ha-ha-ha, hayo, kau lepaskan dirimu kalau bisa! Dan bersiaplah kau untuk mampus kubanting!"

   Souw Kwi Beng dan Souw Kwi Eng memandang dengan kaget sekali. Tadi mereka sama sekali tidak khawatir karena ilmu silat pemuda yang membantu mereka itu ternyata tinggi sekali. Akan tetapi sekarang, dengan kedua pergelangan tangan dicengkeram, ilmu silat tidak ada gunanya lagi, karena kedua lengan tak dapat digerakkan. Kwi Beng dan Kwi Eng merasa heran mengapa pemuda itu tidak mau menggunakan kakinya untuk menendang. Dan Tokugawa juga bahkan mengharapkan lawannya itu menggerakkan kaki menendangnya. Akan tetapi Tio Sun berpendapat lain.

   Setelah bertempur, dia maklum bahwa dia dapat mengatasi ilmu silat kepala bajak ini, akan tetapi yang amat diandalkan oleh lawannya dan tidak dapat diatasinya hanyalah ilmu gulat yang aneh. Maka dia tidak mau mengangkat kaki menendang, karena dia menduga bahwa pada saat dia menendang, maka kekuatan bawah tubuhnya lenyap dan dia akan mudah diangkat dan dibanting oleh lawan yang bertenaga gajah ini. Dan dugaannya memang benar, Tokugawa juga menanti-nanti saat itu. Karena dia mendapat kenyataan bahwa lawannya tetap tidak mau menendangnya bahkan kelihatan seperti memasang kuda-kuda yang kokoh kuat, Tokugawa tertawa, kemudian tiba-tiba mengeluarkan suara dari perut dan kedua lengannya bergerak, otot-otot sebesar jari tangan di sekitar lengannya menonjol.

   "Haaaaaiiiiikkkkk... hyaaaaatttt...!"

   Dia mengerahkan seluruh tenaganya, dengan ilmu gulat dia berusaha mengangkat tubuh pemuda itu untuk dilemparkannya atau dibantingnya. Akan tetapi, sedikitpun kedua kaki Tio Sun tidak terangkat! Pemuda ini adalah putera tunggal,

   Juga murid dari Tio Hok Gwan yang berjuluk Ban-kin-kwi (Setan Bertenaga Selaksa Kati), maka tentu saja dia sudah melatih diri dengan ilmu kebanggaan keluarganya ini sehingga kini jangankan baru tenaga seorang Tokugawa, biar kepala bajak itu menggunakan bantuan sepuluh orang kaki tangannya, belum tentu akan mampu mengangkat tubuh Tio Sun! Tentu saja Tokugawa menjadi penasaran sekali. Dia adalah seorang jagoan samurai yang terkenal memiliki tenaga hebat dan jarang ada lawan yang mampu menandingi tenaganya. Akan tetapi sekarang, setelah menguasai kedua lengan lawan ini, seorang pemuda yang masih amat muda, bertubuh kecil saja, seorang pemuda yang belum ternama, dia tidak mampu mengangkatnya! Saking marahnya, dia mengerahkan seluruh tenaga dalam dan tenaga otot, perutnya mengeluarkan gerengan seperti seekor harimau terluka.

   "Auggghhhh... haaaiiiikkkkk... prott!"

   Kwi Eng sebagai seorang gadis yang wataknya jenaka dan periang, tidak mampu menahan kegelian hatinya mendengar suara terakhir tadi, karena suara berperopot itu keluar dari pantat Tokugawa!

   "Hi-hi-hik, tak tahu malu...!"

   Kwi Eng terkekeh sambil menutupi hidungnya, menjepitnya dengan ibu jari dan telunjukiya. Pada saat itu, Tio Sun nengeluarkan pekik dahsyat melengking, tanda bahwa dia telah mengerahkan Ban-kin-keng (Tenaga Selaksa Kati) sepenuhnya dan tiba-tiba saja tubuh Tokugawa terangkat ke atas dan sekali Tio Sun menggerakkan kedua lengannya, terlepaslah pegangan kedua tangan Tokugawa dan tubuh kepala bajak itu terlempar ke depan sampai enam tujuh meter jauhnya, terbanting ke atas tanah berdebuk dan mengebullah debu di atas tanah yang tertimpa tubuhnya itu. Sebelum Tokugawa sempat merangkak bangun, tampak sinar menyambar dibarengi suara ledakan,

   "Tar-tar...!"

   Dan tubuh itu roboh kembali dengan kepala pecah disambar pecut baja, yaitu joan-pian yang merupakan pecut yang dipakai oleh Tio Sun sebagai ikat pinggang! Tentu saja peristiwa ini mengejutkan hati para bajak laut dan serentak mereka menyerbu ke depan didahului oleh tembakah-tembakan dari pistol beberapa orang anak buah bajak.

   "Tio-twako, awas pistol...!"

   Kwi Eng menjerit, akan tetapi Tio Sun yang sudah bersikap waspada, cepat meloncat ke belakang, kemudian bertiarap di dekat Kwi Eng dan Kwi Beng yang merupakan seorang jagoan tembak, menyambar sepucuk pistol dari tangan seorang anak buahnya,

   Lalu bersama para anak buahnya yang memegang pistol dia lalu maju. Terjadilah tembak-menembak, akan tetapi hanya sebentar saja karena Kwi Eng yang tahu bahwa fihak lawan sudah kehabisan peluru tidak memberi kesempatan kepada lawan untuk mengisi kembali senjata api mereka dan sudah mengerahkan anak buahnya menyerbu ke depan. Dia sendiri bersama kakaknya dan Tio Sun sudah meloneat ke depan dan mengamuklah tiga orang muda ini dengan hebatnya. Perang tanding kini terjadi dengan amat seru. Akan tetapi sebentar saja para bajak yang sudah kehilangan kepalanya itu menjadi kocar-kacir. Banyak di antara mereka yang tewas dan sebagian lagi berhasil melarikan diri dari Pulau Hiu dengan perahu-perahu mereka. Kwi Eng hendak mengerahkan anak buahnya untuk melakukan pengejaran, akan tetapi dicegah oleh Tio Sun.

   "Nona, tidak perlu mereke dikejar. Niat kita hanya menyelamatkan kakakmu dan hal itu sudah berhasil, sedangkan Tokugawa telah tewas."

   Kwi Beng membenarkan pendapat Tio Sun ini dan mereka lalu membakar bekas sarang gerombolan bajak laut itu, kembali lagi ke kapal membawa teman-teman yang tewas atau luka dalam pertempuran tadi dan kembali ke pantai daratan. Dengan hati penuh rasa kagum, kakak beradik kembar itu setelah tiba di dalam gedung mereka, menghaturkan terima kasih kepada Tio Sun yang diterima oleh pemuda sederhana ini dengan sikap merendahkan diri. Kwi Beng juga girang mendengar bahwa pemuda ini ternyata adalah putera pengawal setia dari Panglima Besar The Hoo, guru dari ibunya sendiri.

   "Tio-twako hendak pergi ke manakah maka kebetulan dapat lewat di Yen-tai dan dapat bertemu dengan Eng-moi dan menolongku?"

   Kwi Beng bertanya. Tio Sun menarik napas panjang.

   "Sebetulnya aku sedang memikul tugas yang amat penting sebagai wakil dari ayahku yang sudah tua dan yang tidak suka lagi mencampuri urusan dunia. Karena ayah merasa penasaran akan peristiwa dan malapetaka yang menimpa keluarga ketua Cin-ling-pai yang amat dihormati dan disayangnya, maka ayah menyuruh aku untuk pergi melakuken penyelidikan dan membantu Cin-ling-pai."

   Kwi Beng dan Kwi Eng kelihatan terkejut dan tertarik sekali.

   "Apakah twako maksudkan Pendekar Sakti Cia Keng Hong ketua Cin-ling-pai?"

   Tanya Kwi Beng. Tio Sun tidak merasa heran kalau dua orang kakak beradik ini telah mendengar akan nama Cia Keng Hong. Siapakah yang tidak mendengar nama besar ketua Cin-ling-pai yang merupakan pendekar atau tokoh besar di dunia persilatan pada masa itu?

   "Jadi ji-wi (anda berdua) sudah mengenal beliau?"

   "Mengenal sih belum,"

   Jawab Kwi Eng.

   "Akan tetapi ibu sering kali bercerita kepada kami tentang pendekar-pendekar sakti dan budiman di dunia kang-ouw, di antaranya adalah Cia Keng Hong locianpwe, ayahmu bekas pengawal Tio Hok Gwan, dan pendekar Yap Kun Liong. Karena ibu sering bercerita, kami mengenal nama-nama besar itu sungguhpun belum pernah berjumpa dengan mereka dan baru sekarang secara kebetulan kami dapat bertemu dan berkenalan dengan twako."

   "Apakah yang telah terjadi dengan Cin-ling-pai? Malapetaka apa yang dapat menimpa ketua Cin-ling-pai yang menurut ibu memiliki kepandaian yang amat tinggi?"

   Tanya Kwi Beng.

   "Peristiwa itu terjadi sewaktu Cia-locianpwe (orang tua sakti Cia) dan isterinya tidak berada di Cin-ling-san. Lima orang datuk sesat dari dunia hitam yang agaknya menaruh dendam kepada keluarga Cia-locianpwe menggunakan kesempatan itu untuk menyerbu dan mengacau Cin-ling-pai, mencuri pedang pusaka Siang-bhok-kiam dan membunuh tujuh orang dari Cap-it Ho-han di Cin-ling-pai."

   Tio Sun mulai dengan penuturannya dan kemudian dia menceritakan semua peristiwa yang terjadi di Cin-ling-san sebagaimana yang didengar dari ayahnya. Dua orang kakak beradik itu mendengarkan dengan penuh perhatian, dan dengan hati diliputi penuh rasa penasaran karena cara Lima Bayangan Dewa yang mengganggu Cin-ling-pai itu mereka anggap amat pengecut.

   "Dengan menyebutkan nama asing kami, jelas bahwa pembesar korup ini tidak mempunyai niat yang baik,"

   Kata Kwi Beng.

   "Pembesar busuk!"

   Kwi Eng memaki.

   "Sungguh dia berani menghina kita setelah ayah ibu tidak ada di sini. Lupakah dia betapa ibu sudah membersihkan Yen-tai dari gangguan para penjahat dan betapa sudah banyak dia makan uang hadiah dari ayah?"

   Tio Sun merasa khawatir sekali.

   "Kalau sekiranya dia mempunyai niat buruk, lebih baik ji-wi tidak usah datang menghadapnya."

   "Kita tidak mempunyai pilihan lain,"

   Kwi Beng berkata.

   "Kalau tidak datang tentu dianggap membangkang dan memberontak. Biarlah kami berdua datang untuk mendengar apa yang akan dikatakannya."

   "Dan aku akan membawa bekal untuk menutup mulutnya kalau perlu,"

   Kata Kwi Eng. Mereka lalu mempersiapkan segalanya, tidak lupa sekantong terisi uang emas, kemudian minta kepada Tio Sun agar menanti sebentar di gedung mereka. Tak lama kemudian berangkatlah kakak beradik itu menghadap pembesar setempat, diantar pandang mata penuh kekhawatiran oleh Tio Sun. Sampai hampir sore dua orang kakak beradik itu belum juga pulang dan hati Tio Sun telah merasa gelisah sekali. Tak lama kemudian, datang seorang anggauta atau anak buah keluarga itu berlarian dengan terengah-engah dia menceritakan betapa Kwi Eng dan Kwi Beng telah ditangkap dengan tuduhan memberontak, bahkan para anak buahnya yang malam tadi menyerbu Pulau Hiu juga ditangkap semua!

   "Celaka...!"

   Tio Sun berseru kaget dan pada saat itu, sepasukan perajurit keamanan kota datang menyerbu gedung tempat tinggal Kwi Eng dan Kwi Beng.

   "Tio-Taihiap, larilah... kalau tidak Taihiap tentu akan ditangkap pula!"

   Kata orang yang datang pertama tadi. Tio Sun maklum bahwa tidak mungkin dia melawan perajurit-perajurit pemerintah. Dia putera bekas pengawal setia dari kerajaan, maka tentu saja tidak mungkin bagi dia untuk melawan perajurit pemerintah, sungguhpun sekali ini para perajurit itu dipergunakan oleh seorang pembesar yang agaknya sewenang-wenang.

   "Kalau begitu, hayo kau ikut aku melarikan diri!"

   Tio Sun menyambar lengan orang itu dan membawanya lari lewat pintu belakang setelah mengambil buntalan pakaian dan pedangnya. Karena dia dapat bergerak cepat sekali, biarpun dia mengajak seorang anak buah Kwi Beng, dia dapat lolos melalui tembok belakang ketika para perajurit menyerbu gedung itu, menangkapi pelayan dan menyita gedung seisinya. Apakah sesungguhnya yang telah terjadi atas diri Souw Kwi Beng dan Souw Kwi Eng? Mereka berdua pergi menghadap Ciang-tikoan, akan tetapi begitu mereka tiba, segera keduanya dikepung oleh sepasukan perajurit dan ditangkap dengan tuduhan telah membunuhi para nelayan di Pulau Hiu! Tentu saja Kwi Beng menjadi marah sekali dan hampir saja dia mengamuk kalau tidak dilarang oleh Kwi Eng.

   "Kita difitnah, Beng-ko dan kita dapat membela diri di pengadilan. Kalau kita menentang, berarti kita memberontak terhadap penguasa setempat yang mewakili pemerintah."

   Demikian kata Kwi Eng dan gadis ini lalu menyerahkan bungkusan uang emas kepada kepala pasukan agar disampaikan kepada Ciang-tikoan. Akan tetapi mereka tetap saja ditawan, dibelenggu dan dihadapkan kepada tikoan, sedangkan kantong terisi uang itu entah ke mana larinya! Dengan suara keren tikoan membentak kedua orang kakak beradik yang sudab dipaksa berlutut di depannya itu.

   "Kalian ini keturunan orang-orang asing berani membuat keonaran di daerah kami? Kalian telah mengandalkan kekuatan, membunuhi para nelayan di Pulau Hiu dan merampok harta benda mereka."

   Dua orang kakak beradik itu mengangkat muka dan memandang kepada tikoan itu dengan heran dan penasaran. Ciang-tikoan ini sudah mengenal baik orang tua mereka, sudah pernah datang ke gedung mereka dan sudah banyak memperoleh hadiah, akan tetapi sikapnya sekarang ini seolah-olah seperti belum pernah kenal saja, seperti menghadapi dua orang penjahat!

   "Maaf, taijin (sebutan pembesar). Kami sama sekali tidak merasa membunuhi nelayan, apalagi merampok harta mereka,"

   Jawab Kwi Beng.

   "Brakkk!"

   Tikoan menggebrak mejanya.

   "Kau masih berani membohong, Richardo de Gama? Beberapa orang nelayan dari Pulau Hiu berhasil lolos dan mereka menjadi saksi-saksi utama. Kau tidak mengaku bahwa malam tadi kalian berdua membawa anak buah, dan naik kapal Angin Timur menyerbu Pulau Hiu dan membunuhi banyak nelayan tak berdosa di sana?"

   "Tidak! Itu hanya fitnah semata!"

   Kwi Eng menjawab dengan suara lantang.

   "Sayalah yang membawa anak buah naik kapal Angin Timur menyerbu Pulau Hiu, akan tetapi sama sekali bukan untuk membunuhi nelayan, melainkan untuk menolong kakak saya ini yang diculik oleh gerombolan bajak laut yang dipimpin oleh Tokugawa."

   "Ha, jadi kalian sudah mengaku telah menyerbu Pulau Hiu, bukan? Sudah ada bukti dan pengakuan, jadi sudah jelas dosa kalian! Jangan mencoba memutarbalikkan kenyataan, ya? Di Pulau Hiu tidak ada bajak, yang ada hanya beberapa orang petani dan nelayan Bangsa Jepang dan pribumi yang hidup tenteram."

   "Taijin! Mereka itu benar-benar para bajak yang dipimpin oleh Tokugawa!"

   Kwi Beng berseru. Ciang-tikoan mengangkat tangannya.

   "Kau hendak membantah? Mana buktinya bahwa ada bajak laut di sana? Kalau ada bajak laut tentu sudah kusuruh basmi!"

   "Tapi benar-benar kakak saya diculik, taijin!"

   Kwi Eng membantah.

   "Diam! Tanpa bukti, kalian tidak boleh bicara seenaknya saja. Karena masih mengingat kebaikan orang tua kalian, aku tidak akan menyuruh hukum rangket kepada kalian, akan tetapi kalian telah melakukan pembunuhan besar-besaran ini harus diadili di kota raja sebagai pemberobtak-pemberontak!"

   "Taijin...!"

   Kwi Beng berteriak marah.

   "Kau akan memberontak pula di sini?"

   Pembesar itu mengangkat tangan dan para perajurit pengawal sudah mengurung pemuda yang terbelenggu kedua tangannya di belakang tubuh itu.

   "Tidak, taijin, kami tidak akan memberontak dan kami tidak pernah memberontak,"

   Kwi Eng berkata dengan suara halus.

   "Jika perbuatan kami di Pulau Hiu itu tidak berkenan di hati taijin, harap Ciang-taijin sudi memaafkan dan suka memandang muka orang tua kami memberi ampun. Tentu saja atas budi kebaikan taijin ini kami tidak akan melupakan."

   Dengan halus Kwi Eng membujuk dan menjanjikan "balas jasa"

   Yang besar. Ciang-taijin mengurut kumisnya yang panjang melengkung ke bawah seperti kumis anjing laut jantan itu.

   "Ha-ha, kebaikan apa yang dapat dilakukan kalian ini, peranakan-peranakan asing yang sudah berani memberontak? Seluruh rumah dan seisinya telah kami sita sebagai milik pemerintah dan kalian akan diadili di kota raja. Pengawal, kurung mereka sambil menanti saat mereka dikirim sebagai tawanan pemberontak ke kota raja."

   "Penasaran! Tidak adil...!"

   Kwi Bang meloncat berdiri akan tetapi belasan orang pengawal sudah meringkusnya kembali.

   "Beng-ko, tenanglah dan jangan melawan,"

   Kata Kwi Eng dan mereka lalu digusur keluar dari ruangan itu.

   "Tangkap semua anak buahnya yang menyerbu ke Pulau Hiu!"

   Ciang-taijin memerintah pasukannya. Mengapa pembesar she Ciang itu demikian keras dan menekan terhadap dua orang muda itu? Ada beberapa sebab yang mendorong pembesar itu berlaku sedemikian rupa terhadap Kwi Beng dan Kwi Eng.

   Pertama-tama, memang terdapat rasa tidak puas dan tidak senang di dalam hati pembesar itu terhadap keluarga Yuan de Gama, apalagi setelah Souw Li Hwa selalu menentang para penjahat dan bajak yang berkeliaran di Yen-tai. Lebih-lebih lagi setelah terjadi bentrok antara keluarga pendekar ini dengan Tokugawa, diam-diam Ciang-tikoan menjadi makin tidak senang. Tokugawa adalah "tangan kanannya"

   Secara rahasia dan dari bajak laut inilah segala keinginan hati Ciang-tikoan dapat terlaksana. Mau kekayaan? Mau wanita-wanita muda yang cantik? Mau membunuh orang yang tidak disukainya? Hanya tinggal menyuruh para bajak itu, tanggung beres! Maka kemudian Souw Li Hwa dan suaminya yang menentang kejahatan, dianggap sebagai ancaman yang dapat menggoyahkan kedudukannya.

   Hanya dia tidak berani secara terang-terangan menentang karena Souw Li Hwa dan suaminya merupakan orang-orang gagah dan berpengaruh, pula tidak ada alasannya. Kini, suami isteri perkasa itu pergi, dan terjadi peristiwa pembasmian di Pulau Hiu, Ciang-tikoan mendapat kesempatan baik untuk membalas dan melampiaskan semua kebenciannya. Dia kehilangan Tokugawa, maka dia segera mebangkap Kwi Beng dan Kwi Eng dengan tuduhan pemberontak, dan tentu saja rumah gedung seisinya itulah yang merupakan dorongan besar pula untuk menangkap dua orang muda itu. Dia tidak khawatir kalau kelak orang tua dua muda-mudi kembar itu pulang, karena sudah ada bukti dan banyak saksi betapa dua orang kakak beradik membunuhi orang-orang yang disebutnya "nelayan-nelayan tak berdosa"

   Di Pulau Hiu.

   Semenjak sejarah berkembang, tidak perduli di negara manapun di bagian dari dunia ini, terdapat banyak sekali pembesar-pembesar seperti Ciang-tikoan ini. Terutama sekali di waktu pusat pemerintahan sedang kalut dan pengawasan dari atasan kurang ketat, maka para pembesar setempat lalu mempergunakan kekuasaannya untuk bertindak sewenang-wenang terhadap rakyat jelata. Segala sesuatu kebutuhan rakyat yang harus terlebih dulu mendapatkan ijin dari pera pembesar, pasti dipersulit sedemikian rupa, sehingga rakyat yang membutuhkan ijin itu secara terpaksa harus mengeluarkan sebagian miliknya untuk "memberi hadiah"

   Atau istilah umumnya sogokan atau suapan kalau dia menghendaki pekerjaannya dapat lancar dan ijin yang dibutuhkannya dapat diberi oleh pembesar yang berwenang.

   Tentu saja ada pembesar-pembesar yang betul-betul merupakan pemimpin rakyat, pelindung rakyat yang bijaksana dan menunaikan tugas kewajibannya dengan baik, yang berhati bersih dan tidak menyalahgunakan kekuasaan dan kedudukannya, akan tetapi sayang, pembesar seperti ini hanya dapat dihitung dengan jari tangan saja! Mengapa keadaan di Yen-tai dan di kota-kota lain di seluruh Tiongkok yang dikuasai Kerejaan Beng-tiauw seperti itu, penuh dengan para pembesar yang menyalahgunakan kedudukannya untuk memenuhi kesenangan diri pribadi tanpa menghiraukan nasib rakyatnya? Hal ini adalah karena pengaruh dari keadaan di pemerintahan pusat, yaitu di Kota Raja Peking, di mana pusat pemerintahan di tangan Kaisar, juga mengalami kekacauan dan kelemahan.

   Seperti tercatat dalam sejarah, Peking dibangun oleh Kaisar Yuang Lo yang gagah perkasa. Bukan saja Kaisar ini membangun tembok besar, terutama di bagian timumya, akan tetapi juga membangun kota raja yang tadinya menjadi kota raja Bangsa Mongol itu, dibongkar dan dirobah secara hebat sehingga merupakan sebuah kota raja yang terbesar dan termegah di dunia. Kerajaan Beng-tiauw mengalami kejayaannya sewaktu Kaisar Yung Lo yang memegang kendali pemerintahan, yang dilakukannya dengan tangan besi dan dengan adil, tidak segan-segan menghukum para pejabat yang bersalah sehingga sebagian besar pejabat melakukan tugasnya dengan baik. Pada masa itu, rakyat dapat mengecap kenikmatan hidup di bawah pemerintahan yang adil.

   Dalam tahun 1425, di dalam perjalanan pulang dari penyerbuan musuh di Mongolia luar, Kaisar Yung Lo meninggal dunia. Kedudukan Kaisar diwariskan kepada putera mahkota, yaitu Kaisar Hung Shi yang sudah sakit-sakitan dan Kaisar inipun meninggal dunia setelah menjadi Kaisar selama sepuluh bulan saja. Kembali kedudukan Kaisar diwariskan kepada cucu Yung Lo yang bernama Hian Tek Ong, seorang Kaisar yang mencoba mempertahankan kebesaran kakeknya. Akan tetapi Kaisar Hian Tek Ong inipun hanya memegang kekuasaan selama sebelas tahun saja. Kini singgasana diserahkan kepada seorang buyut dari Yung Lo, seorang pangeran yang baru berusia delapan tahun, yang menjadi Kaisar Cheng Tung. Penggantian kekuasaan yang berusia pendek ini melemahkan Kerajaan Beng-tiauw, karena dengan perobahan Kaisar berarti terjadi pula perobahan politik dan wibawa. Apalagi karena Kaisar yang tetakhir ini,

   Cheng Tung, masih kanak-kanak sehingga pemerintah dipegang dalam kekuasaan ibu suri yang tentu saja sebagai seorang wanita kurang pandai mengatur pemerintahan dan seperti biasa, yang berkuasa di istana sesungguhnya adalah para thaikam yaitu para pembesar yang bertugas di dalam istana dan para petugas pria ini semua dikebiri agar jangan sampai terjadi hal-hal yang melanggar susila antara para petugas ini dengan para wanita istana. Ketika Kaiser Cheng Tung sudah mulai dewasa, dia sudah terbiasa oleh pengaruh para thaikam ini, dan boleh dibilang dia berada dalam cengkeraman yang membius dari seorang thaikam yang paling dipercayanya, yaitu Thaikam Wang Cin, seorang yang berasal dari kota Huai Lai di utara, di daerah Mongol. Demikianlah, karena Kaisarnya seperti boneka, hanya tahu menandatangani saja semua hal yang disetujui dan direncanakan oleh Wang Cin, maka pemerintahannya sangat lemah.

   Orang semacam Wang Cin mana memikirkan keadaan rakyat? Setiap gerak perbuatannya selalu bersumber kepada kepentingan pribadinya. Dengan adanya pemerintah pusat seperti ini, tentu saja para pejabat di daerah menjadi raja-raja kecil yang berdaulat penuh dan sewenang-wenang seperti yang dilakukan oleh Ciang-tikoan di Yen-tai yang tentu saja cukup cerdik untuk "menempel"

   Para pembeser di kota raja, terutama mencari muka terhadap yang dipertuan Wang Cin. Kedua saudara Kwi Eng dan Kwi Beng menjadi korban dari kesewenang-wenangan pembesar lalim ini dan beberapa hari kemudian, dua orang kakak beradik ini dalam keadaan terbelenggu kaki tangannya, diberangkatkan menuju ke kota raja dalam sebuah kereta milik mereka sendiri yang dirampas dan dikawal ketat oleh tiga losin orang perajurit,

   Dipimpin oleh seorang perwira yang membawa surat-surat laporan tentang "dosa-dosa"

   Dua orang tawanan itu untuk disampaikan kepada pembesar atasan di kota raja yang berwenang mengadili perkara-perkara besar. Banyak rakyat memandang dengan mata merah bahkan ada yang mengucurkan air mata melihat dua orang muda yang dermawan dan budiman itu menjadi orang-orang pesakitan diseret ke dalam kereta dan dibawa pergi dari tempat tinggal mereka. Akan tetapi, seperti biasa, rakyat kecil hanya mampu menangis dan mengeluh, paling-paling hanya mampu mengepal tinju dengan diam-diam karena mereka tahu bahwa mereka itu tidak berkuasa atas kehidupan mereka sendiri! Dapat dibayangkan betapa marahnya hati Kwi Beng ketika dalam keadaan terbelenggu kuat dia bersama adiknya diseret ke dalam kereta itu. Mereka duduk berhadapan dan saling pandang.

   "Moi-moi, kalau saja kita memberontak sejak pertama kali dipanggil..."

   Kwi Beng menyatakan penyesalannya.

   "Tenanglah, koko. Belum tentu kita akan celaka, kita bersabar saja sambil melihat perkembangannya. Tentu akan terdapat kesempatan bagi kita, dan lagi... aku percaya bahwa Tio-twako tidak akan tinggal diam saja."

   Seorang pengawal menghardik dan melarang mereka bicara. Kereta lalu diberangkatkan dan sebelum tirai kereta diturunkan oleh pengawal, Kwi Eng sempat melihat berkelebatnya bayangan seorang pemuda jangkung berpakaian kuning di antara rakyat yang menonton dan legalah hati gadis ini. Kwi Beng hanya memandang heran mengapa ada senyum di bibir adiknya itu dalam keadaan seperti itu!

   Beberapa hari kemudian pasukan yang mengawal kereta berisi dua oran tawanan itu tiba di kota Cin-an. Di sini para pengawal berganti kuda dan membawa perlengkapan dan bekal makanan baru dari para pembesar di Cin-an. Setelah bermalam di kota Cin-an, pasukan melanjutkan perjalanan pada keesokan harinya menuju ke utara, ke kota raja. Sorenya, mereka sudah tiba di tepi Sungai Huang-ho di mana telah tersedia perahu-perahu besar untuk menyeberangkan mereka. Akan tetapi karena hari telah mulai gelap, mereka berhenti dan berkemah di dekat sungai sambil beristirahat. Seperti biasa, dua orang tawanan itu menerima makanan dan minuman dan mereka diperbolehkan makan minum dengan kedua pergelangan tangan dibelenggu di depan tubuh mereka dan dipasangi rantai baja yang panjang dan berat. Demikian pula kedua kaki mereka dibelenggu dengan rantai panjang.

   Biarpun kedua orang kakak beradik ini dijaga ketat sekali, namun di sepanjang perjalanan mereka diperlakukan dengan baik dan sopan. Hal ini adalah karena si perwira yang memimpin pasukan pengawal itu tahu siapa adanya mereka berdua ini, tahu pula bahwa ibu dua orang muda itu adalah seorang pendekar wanita yang amat lihai, demikian pula ayah mereka adalah seorang asing yang berpengaruh dan dermawan. Akan tetapi diapun maklum betapa penting dan beratnya perkara yang membuat mereka dikirim ke kota raja, yaitu tuduhan memberontak dan membunuhi banyak nelayan tidak berdosa! Tentu saja diapun tahu bahwa yang dimaksudkan dengan "nelayan-nelayan tidak berdosa"

   Itu sesungguhnya adalah Tokugawa dan kawanan bajak laut. Akan tetapi sebagai seorang bawahan, dia tidak dapat berbuat apa-apa dan tidak berani menentang atasannya. Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali rombongan itu melakukan penyeberangan, menggunakan perahu besar yang telah tersedia di pantai sungai yang amat luas itu.

   "Sekarang tiba kesempatan bagi kita, koko. Kau bersiaplah. Rantai tangan kaki kita ini cukup panjang, memudahkan kita bergerak di air."

   "Akan tetapi juga cukup berat untuk membuat kita tenggelam,"

   Bisik kembali Kwi Beng.

   "Kita harus berani mengambil resiko. Kesempatan ini yang terbaik dengan mengandalkan kepandaian kita di air,"

   Bisik lagi Kwi Eng dan karena perwira pengawal mendekati mereka, keduanya menghentikan bisikan dan hanya saling pandang dan mereka telah bersepakat untuk mempergunakan kesempatan penyeberangan itu untuk melarikan diri. Ketika perahu besar yang menyeberang itu mulai meluncur ke tengah sungai, nampak sebuah perahu kecil juga meluncur cepat sekali seiring dengan perahu besar itu. Perahu ini ditumpangi dan didayung oleh seorang pemuda berpakaian kuning yang tidak mencurigakan.

   Para pengawal yang melihat pemuda ini mengira bahwa dia adalah seorang nelayan atau seorang pelancong saja. Akan tetapi Kwi Eng menyentuh lengan kakaknya ketika dia mengenal bahwa pemuda itu bukan lain adalah Tio Sun. Akan tetapi Tio Sun tidak segera turun tangan melainkan terus saja mengikuti perahu itu sampai tiba di dekat pantai sebelah utara. Di pantai selatan dia tidak berani turun tangan karena tempat itu ramai dan dekat dengan kota Cin-an, berbeda dengan pantai utara yang sunyi. Setelah perahu besar yang membawa dua orang sahabatnya sebagai tawanan itu berada kurang lebih tiga ratus meter lagi dari pantai, tiba-tiba Tio Sun meloncat ke atas perahu besar dan tanpa banyak suara lagi dia meloncat ke arah Kwi Eng dan Kwi Beng yang duduk di atas dek terjaga oleh lima orang pengawal.

   "Heii, siapa kau...?"

   Seorang pengawal membentak dan suasana menjadi geger. Para perajurit pengawal meloncat bangun dan mencabut senjata masing-masing. Akan tetapi pada saat itu, Kwi Eng dan Kwi Beng sudah bangkit berdiri, dengan kaki tangan mereka yang terbelenggu itu mereka berhasil menampar dan menendang roboh lima orang penjaganya. Tio Sun menggunakan pedangnya mematahkan belenggu kaki tangan mereka dengan cepat dan merobohkan setiap orang pengawal yang mencoba untuk menghalanginya.

   "Cepat menyingkir...!"

   Tio Sun berkata sambil menyerahkan dua batang pedang yang sengaja dibawanya kepada Kwi Eng dan Kwi Beng. Perwira pengawal berteriak mengumpulkan anak buahnya dan mulailah mereka itu maju mengepung dan mengeroyok.

   "Apakah kalian berani hendak memberontak?"

   Perwira muda itu berseru.

   
Dewi Maut Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Harap ji-wi jangan menambah dosa ji-wi."

   "Kalian mundurlah!"

   Kwi Beng yang maklum akan kebaikan perwira itu berseru.

   "Kalian tahu bahwa kami bukan pemberontak, melainkan Ciang-tikoan yang bersekutu dengan bajak-bajak laut! Mundurlah!"

   "Kami hanya menjalankan tugas, kalau sampai kalian lolos tentu kami dihukum!"

   Sang perwira membantah dan terus mengepung ketat. Kwi Eng, Kwi Beng, dan Tio Sun mengamuk dengan pedang mereka.

   "Jangan membunuh orang, mereka hanya petugas-petugas biasa,"

   Kata Kwi Eng dan tentu saja hal ini disetujui oleh Tio Sun yqng juga segan untuk memusuhi dan membunuh perajurit pemerintah.

   Maka mereka itu hanya menggunakan pedang mereka untuk menghalau semua serangan senjata lawan, dan hanya merobohkan para pengeroyok dengan tendangan kaki atau tamparan tangan kiri saja. Akan tetapi tiga losin orang perajurit pengawal itu yang tentu saja merasa takut kalau sampai tawanan itu lolos, dengan nekat mengeroyok terus tanpa memperdulikan keselamatan mereka sendiri dan hal ini membuat tiga orang muda itu merasa repot juga. Andaikata mereka bertiga itu mau membagi-bagi pukulan maut dan merobohkan para pengeroyoknya, agaknya mereka akan berhasil membasmi puluhan orang itu. Akan tetapi, tanpa membunuh para pengeroyok yang nekat itu, tentu saja amat sukar bagi mereka untuk meloloskan diri, bahkan kalau pertandingan itu dilanjutkan, tentu mereka akan terancam bahaya oleh hujan serangan itu.

   "Tio-twako, kau pergilah dulu dengan perahumu!"

   Teriak Kwi Eng dan mereka kini mulai bergerak ke pinggir perahu besar.

   "Tidak, aku tidak akan meninggalkan kalian!"

   Jawab Tio Sun sambil mengelak dari sambaran dua batang golok dan menggerakkan kakinya menendang roboh seorang pembokong dari belakang.

   "Twako, pergilah dulu dengan perahumu, kami akan mengambil jalan dalam air,"

   Kata Kwi Beng dan kini mengertilah Tio Sun. Teringat dia akan penuturan Kwi Eng betapa kedua orang saudara kembar itu pernah belajar ilmu di dalam air dari nelayan yang dahulu pernah menyelamatkan ayah ibu mereka, maka dia mengangguk dan mengamuk dengan pedangnya sampai semua pengeroyokdya dipaksa mundur. Setelah tiba di tepi perahu besar dan melihat perahu kecilnya masih berada di dekat perahu besar itu, dia berseru,

   "Berhati-hatilah kalian! Aku pergi dulu!"

   Sekali mengayun tubuhnya Tio Sun sudah meloncat keluar dari perahu besar, tepat di atas perahunya yang segera didayungnya menuju ke seberang sungai. Kwi Beng dan Kwi Eng juga mencontoh perbuatan Tio Sun tadi, mereka mengamuk dan makin mendekati pinggiran perahu, kemudian setelah merobohkan beberapa orang pengeroyok, merekapun cepat meloncat keluar dari perahu besar, langsung terjun ke dalam air dengan kedua tangan lebih dulu.

   "Cluppp! Cluppp!"

   Bagaikan dua ekor ikan lumba-lumba saja mereka terjun tanpa menimbulkan banyak suara dan airpun tidak muncrat banyak, tanda bahwa keduanya memang ahli bermain di air. Lenyaplah kedua orang muda itu dari permukaan air dan para pengawal yang bergegas menuju ke pinggir perehu sambil membawa anak panah, tidak melihat mereka lagi. Akan tetapi perwira pasukan pengawal itu bersikap tenang-tenang saja.

   "Cepat jalankan kembali perahu ke seberang. Mereka tentu sudah ditangkap kembali di sana!"

   Semua anak buahnya merasa heran mendengar ucapan ini dan mereka bersicepat meluncurkan perahu besar di tepi sungai sebelah utara.

   Ketika tiba di tempat itu, benar saja mereka melihat tiga orang muda tadi sudah dikepung dan dikeroyok oleh kurang lebih lima puluh orang perajurit yang bersenjata lengkap! Tentu saja mereka menjadi girang dan serentak mereka berbondong-bondong mendarat dan bantu mengeroyok pula. Ternyata siasat dari tiga orang muda itu sia-sia belaka. Mereka tidak memperhitungkan kecerdikan Ciang-tikoan. Pembesar ini tentu saja mengerti akan kelihaian dua orang tawanannya, mendengar pula akan keahlian mereka bermain di air, maka diam-diam dia mengutus seorang pembantu secara rahasia menghubungi rekannya di Cin-an untuk menjaga di seberang sungai kalau-kalau dua orang tahanannya itu mencoba untuk meloloskan diri ketika diseberangkan, mengingat akan kelihaian mereka bermain di air.

   Dan memang dugaannya tepat sekali, maka pembesar di Cin-an telah mempersiapkan pasukan dari lima puluh orang yang bersembunyi di pantai sungai sebelah utara. Begitu Tio Sun yang telah mendarat lebih dulu dengan perahunya itu menyambut dua orang temannya yang muncul dari dalam air seperti dua ekor ikan itu, mereka langsung menyergap dan terjadilah pengeroyokan hebat di tepi sungai sebelah utara itu. Tentu saja mereka bertiga menjadi kaget sekali, dan mereka melawan mati-matian. Akan tetapi, setelah perahu besar pasukan pengawal mendarat pula dan pengeroyokan menjadi makin ketat, mereka benar-benar terdesak hebat dan keadaan mereka amat berbahaya, kalau tidak tertawan kembali tentu akan tewas, atau setidaknya terluka hebat di bawah pengeroyokan lebih dari lima puluh orang itu.

   Mereka tanpa dikomando telah membela diri secara saling melindungi, berdiri saling membelakangi dan dengan senjata pedang mereka, dibantu oleh joan-pian di tangan kiri Tio Sun, mereka menangkis semua senjata yang datang bagaikan hujan dan sekali ini terpaksa mereka menggunakan senjata untuk merobohkan pengeroyokan, sungguhpun pedang mereka itu hanya ditujukan kepada bagian-bagian tubuh yang tidak berbahaya. Belasan orang pengeroyok sudah roboh dengan pundak, lengan atau kaki terluka parah akan tetapi pengeroyokan masih cukup ketat dan tiga orang itu mulai menjadi lelah sekali, bahkan Kwi Beng telah terluka pahanya, dan Kwi Eng telah terluka pangkal lengan kirinya. Namun mereka tidak mau menyerah karena ketiganya maklum bahwa urusan telah menjadi semakin berat sehingga kalau mereka tertawan kembali, hukuman mereka tentu akan jauh lebih berat lagi, mungkin akan dihukum mati sebagai pemberontak-pemberontak hina.

   "Tio-twako, kau larilah...!"

   Tiba-tiba Kwi Eng berkata kepada Tio Sun.

   "Benar, kau pergilah, twako dan jangan mengorbankan diri untuk urusan kami!"

   Kwi Beng juga berkata. Hati Tio Sun rasanya seperti ditusuk, dia merasa terharu dan juga kagum akan kegagahan dua orang kakak beradik ini yang dalam keadaan seperti itu masih ingat kepadanya dan tidak mau membawa-bawanya mengalami kecelakaan.

   "Tidak! Aku akan membela kalian sampai titik darah terakhir!"

   Bentaknya dan pedang serta joan-pian di tangannya bergerak cepat maka robohlah tiga orang pengeroyok. Akan tetapi karena dia mencurahkan seluruh perhatian untuk merobohkan lawan sebanyak mungkin dalam kemarahannya ini, Tio Sun tak dapat menghindarkan bacokan golok dari samping yang mengenai pundaknya.

   "Tio-twako...!"

   Kwi Eng menjerit ketika melihat darah muncrat dari pundak pemuda itu. Tio Sun membalikkan pedangnya dan penyerangnya itu menjerit roboh ketika lengannya terbabat pedang hampir putus.

   "Tidak apa-apa, nona."

   Tio Sun tersenyum dan mereka bertiga terus mengamuk biarpun mereka telah terluka semua.

   "Bunuh saja tiga pemberontak ini!"

   Tiba-tiba terdengar komandan pasukan Cin-an berteriak marah. Tadinya perintah atasannya hanyalah untuk membantu para pengawal dari Yen-tai untuk menangkap kembali tawanan itu jika melarikan diri, akan tetapi kini melihat betapa tiga orang itu memberontak dan merobohkan banyak anak buahnya, dia menjadi khawatir dan marah sekali, maka dia mengeluarkan perintah untuk membunuh mereka. Dengan adanya perintah ini, para perajurit kini mendesak makin ketat dan senjata mereka datang bagaikan hujan menyerang tiga orang muda yang membela diri mati-matian itu.

   "Twako, kitapun harus membuka jalan darah!"

   Terdengar Kwi Eng berteriak dan terpaksa Tio Sun tidak membantah. Karena kini para pengeroyok menghendaki nyawa mereka, tentu saja mereka bertiga harus pula menjaga dan menyelamatkan diri, kelau perlu dengan jalan membunuh para pengeroyok. Tio Sun menggerakkan pedang dan joan-piannya secara hebat, demikian pula Kwi Beng dan Kwi Eng mengamuk dengan pedang mereka dan terdengarlah pekik-pekik mengerikan ketika beberapa orang perajurit roboh untuk tidak bangun kembali! Pertandingan menjadi makin seru dan kini merupakan pertempuran mati-matian, namun karena tiga orang muda itu sudah terluka dan fihak pengeroyok amat banyaknya, mereka makin terdesak dan makin terkurung sehingga ruang gerak mereka menjadi makin sempit.

   Pada saat yang amat kritis dan berbahaya bagi keselamatan tiga orang muda itu, tiba-tiba terdengar bentakan-bentakan nyaring dan keadaan para pengeroyok di sebelah luar menjadi kacau-balau. Ketika Tio Sun melirik, dia kaget dan juga kagum sekali melihat seorang pemuda tampan dan gagah mengamuk, hanya menggunakan kedua tangan kosong saja melempar-lemparkan para perajurit seperti orang melempar-lemparkan rumput kering saja, sama sekali tidak memperdulikan hujan senjata tajam yang menyambar ke tubuhnya. Para perajurit terkejut dan gentar karena pendatang baru ini benar-benar amat lihai, bacokan-bacokan senjata tajam hanya ditangkis oleh lengan yang kulitnya seperti baja kerasnya dan setiap kali tangan kaki pemuda ini bergerak, mereka terlempar sampai beberapa meter jauhnya!

   "Hai, pemberontak dari mana berani menentang pasukan pemerintah?"

   Komandan pasukan menerjang ke depan, akan tetapi pedangnya ditangkap oleh tangan kiri pemuda itu dan sekali remas pedang itu patah-patah. Kemudian pemuda itu menangkap komandan ini pada pinggangnya dan mengangkatnya, tinggi-tinggi.

   "Pasukan pemerintah yang hanya menyalahgunakan kedudukannya tiada bedanya dengan penjahat-penjahat! Pergilah kalian!"

   Pemuda itu melemparkan komandan itu sampai jauh dan jatuh terbanting sampai pingsan. Tentu saja semua perajurit menjadi makin gentar, kurungan mereka melonggar.

   "Sam-wi yang terkurung, tidak lekas lari mau tunggu apa lagi?"

   Pemuda tampan itu berseru dan mendahulul lari, cepat diikuti oleh Tio Sun, Kwi Beng dan Kwi Eng. Karena mereka berempat mempergunakan ilmu berlari cepat, sebentar saja para perajurit sudah kehilangan jejak mereka. Di tengah sebuah hutan, empat orang muda itu berhenti. Ketika pemuda tampan itu hendak melanjutkan larinya tanpa memperdulikan tiga orang yang telah ditolongnya, Tio Sun cepat mengejar dan berseru,

   "Sahabat yang gagah harap suka berhenti dulu!"

   Pemuda tampan itu menoleh dan melihat pandang mereka penuh harapan, terpaksa dia berhenti.

   "Sam-wi sudah beruntung dapat terbebas dari kepungan para pasukan itu, ada urusan apalagikah dengan aku?"

   Tio Sun, Kwi Beng dan Kwi Eng cepat menghampiri dan kini mereka berhadapan. Sepasang mata pemuda tampan itu terbelalak dan jelas dia kelihatan kaget, heran dan bingung ketika dia memandang kepada Kwi Beng dan Kwi Eng secara bergantian.

   "Aihh... kiranya kalian bukan... bukan..."

   Dia tidak melanjutkan kata-katanya karena hatinya merasa sangsi. Melihat pakaian dan bentuk tubuhnya, pemuda tampan dan dara jelita ini jelas orang-orang Han, akan tetapi, mengapa matanya kebiruan dan rambutnya agak pirang? Kwi Eng adalah seorang gadis peranakan barat yang tak dapat disamakan dengan gadis-gadis pribumi yang biasanya bersikap pendiam dan pemalu. Apalagi dia bersama kakak kembarnya mewakili pekerjaan ayahnya sehingga dia sudah biasa bergaul dan tidak malu-malu lagi, bersikap polos dan jujur di samping juga memiliki kecerdasan sehingga dia sudah dapat maklum mengapa pemuda gagah perkasa yang menolong mereka itu kelihatan begitu kaget, heran dan bingung. Cepat dia melangkah maju dan mengangkat kedua tangan di depan dada sambil tersenyum manis sekali dan berkata,

   "Harap saudara yang gagah perkasa dan yang telah menyelamatkan kami tidak menjadi curiga. Biarpun mungkin warna mata dan rambut kami kakak beradik kembar agak berbeda, namun kami berdua adalah berdarah Han, kakak kembarku ini bernama Souw Kwi Beng dan aku sendiri bernama Souw Kwi Eng. Sedangkan dia itu adalah Tio-twako bernama Tio Sun. Kami bertiga telah kena fitnah dan hendak dibawa ke kota raja sebagai tawanan pemberontak, maka pertolonganmu merupakan budi yang amat besar bagi kami."

   Mendengar ucapan lancar dan tidak kaku, pemuda itu merasa lega. Gadis ini luar biasa cantiknya, cantik dan aneh, akan tetapi kata-katanya jelas menunjukkan bahwa dia seorang Han tulen. Melihat pemuda yang usianya masih amat muda dan sikapnya seperti pemalu itu namun yang telah memiliki kepandaian sedemikian hebatnya, Tio Sun yang merasa kagum sudah maju dan berkata,

   "Saudara yang muda memiliki kelihaian yang amat mengagumkan hati kami, dan sudah menyelamatkan kami dari bahaya maut. Bolehkan kami mengetahui she dan namamu yang mulia?"

   Pemuda itu kelihatan meragu. Dia tadi menolong karena melihat tiga orang muda itu terancam bahaya, sama sekali tidak mempunyai keinginan lainnya. Akan tetapi menyaksikan keramahan mereka, terutama sekali keramahan dara jelita yang dengan mata birunya memandangnya dengan sinar mata penuh rasa kagum dan terima kasih, dia merasa tidak enak kalau pergi begitu saja setelah mereka memperkenalkan nama masing-masing. Akan tetapi diapun tidak ingin memperkenalkan namanya, maka dia lalu teringat akan nama yang diperkenalkan kepada gadis aneh bernama "Hong"

   Saja yang baru dijumpainya, maka dia lalu menjura dan berkata,

   "Nama saya Houw, she... Bun."

   Pemuda ini bukan lain adalah Cia Bun Houw, putera ketua Cin-ling-pai. Seperti telah diceritakan di baglan depan, Bun Houw berpisah dengan In Hong, atau lebih tepat lagi dara itu yang meninggalkannya karena tidak mau melakukan perjalanan bersama setelah Bun Houw suka mencegahnya membunuh musuh-musuhnya di perjalanan.

   Bun Houw merasa kecewa sekali bahwa dara yang telah menjadi penolongnya itu meninggalkannya, akan tetapi kerena teringat akan tugasnya mencari dan menyelidiki musuh-musuh besarnya, yaitu Lima Bayangan Dewa, diapun melanjutkan perjalanannya dan pada hari itu dia menyeberangi Sungai Huang-ho dan kebetulan melihat tiga orang muda yang terancam bahaya oleh pengeroyokan para perajurit itu, lalu turun tangan menolong mereka. Tio Sun merasa makin kagum dan heran. Pemuda tampan ini sikapnya begitu sederhana, masih amat muda dan agaknya dia belum pernah mendengar nama pemuda ini di dunia kang-ouw, akan tetapi melihat kepandaiannya tadi, biarpun hanya bergebrak dengan para perajurit, dia dapat menduga bahwa pemuda ini bukan orang sembarangan, tentulah murid seorang yang sakti.

   "Bun-enghiong masib begini muda akan tetapi telah memiliki kepandaian luar biasa, sungguh membuat kami merasa kagum sekali. Kalau sekiranya tidak menjadikan halangan dan kalau kiranya kami cukup pentas menjadi sahabatmu, kami ingin sekeli bersahabat dengan Bun-enghiong,"

   Kata Tio Sun. Souw Kwi Beng yang sejak tedi diam saja kinipun berkata,

   "Kami kakak beradik kembarpun akan merasa terhormat sekali kalau bisa menjadi sahabat Bun-Taihiap."

   Bun Houw merasa kikuk sekali. Tiga orang muda ini jelas merupakan orang-orang gagah yang sopan dan terpelajar, maka akan keterlaluanlah di fihaknya kalau dia tidak melayani uluran tangan mereka. Pula, dara bermata biru itu benar-benar mempesonakan! Selama hidupnya baru sekarang dia berhadapan dengan seorang dara yang begitu jelita, matanya bening lebar kebiru-biruan dan rambutnya agak pirang dan berkilauan halus. Bun Houw menjura dengan hormat.

   "Tentu saja saya suka sekali bersahabat dengan sam-wi (kalian bertiga). Mengapakah kalian tadi dikeroyok perajurit di tepi sungai dan di mana sam-wi tinggal?"

   "Mari kita duduk di tempat yang teduh agar leluasa bicara,"

   Kata Tio Sun dan mereka lalu memilih tempat di bawah pohon yang rindang, duduk di atas batu-batu di bawah pohon itu. Secara singkat Kwi Eng yang pandai bicara itu lalu menceritakan urusannya, mula-mula dengan Tokugawa ketika kepala bajak itu menculik kakak kembarnya dan dia dengan bantuan Tio Sun berhasil menyelamatkan kakaknya. Kemudian betapa dia difitnah oleh pembesar setempat sebagai pemberontak dan pembunuh kaum nelayan yang bukan lain hanya bajak-bajak laut. Sampai mereka ditangkap dan akan dikirim ke kota raja, kemudian mereka berusaha meloloskan diri dan dikeroyok di tepi Sungai Huang-ho. Bun Houw menarik napas panjang.

   "Sudah kudengar akan kekacauan yang mulai terjadi di mana-mana karena lemahnya pemerintah pusat di kota raja. Jadi ji-wi adalah putera-puteri seorang ayah bangsa barat dan ibu bangsa pribumi? Pantas saja keadaan ji-wi agak lain."

   "Biarpun kedua saudara Souw ini putera orang barat, akan tetapi ayahnya bukan orang sembarangan, karena ayahnya adalah Yuan de Gama, seorang tokoh bangsa barat yang disegani dan dihormati. Apalagi ibunya. Ibunya adalah pendekar wanita terkenal, Souw Li Hwa murid mendiang Panglima Besar The Hoo..."

   "Ahhhh...!"

   Bun Houw kaget bukan main mendengar ini. Tentu saja diapun sudah pernah mendengar dari ayah dan ibunya tentang Yuan de Gama dan Souw Li Hwa yang dikabarkan mati tenggelam secara gagah bersama kapalnya.

   "Kau pernah mendengar nama ayah dan ibu, Bun-Taihiap?"

   Tanya Kwi Eng sambil memandang tajam. Bun Houw menggeleng kepala.

   "Saya terkejut mendengar nama mendiang Panglima Besar The Hoo."

   Kemudian dia memandang kepada Tio Sun.

   "Tio-twako agaknya juga bukan keturunan sembarangan dan ternyata engkau seorang pendekar yang suka menolong orang lain yang sedang tertimpa malapetaka seperti yang telah kaulakukan terhadap kedua orang saudara Souw ini."

   Merah wajah Tio Sun menerima pujian ini, dan dia menarik napas panjang.

   "Persoalan yang kuhadapi tadi benar-benar membuat aku bingung, Bun-hiante. Terus terang saja, ayahku adalah seorang bekas pengawal kepercayaan Panglima Besar The Hoo, ayahku bernama Tio Hok Gwan..."

   "Ban-kin-kwi...?"

   Bun Houw kelepasan bicara karena tentu saja mengenal baik nama ini, nama seorang sahabat baik ayahnya!

   "Kau sudah mendengar pula julukan ayah? Ayah seorang bekas pengawal yang setia, tentu saja akupun segan untuk melawan perajurit pemerintah. Akan tetapi melihat sikap Ciang-tikoan yang sewenang-wenang, terpaksa aku menentangnya. Sekarang, setelah terjadi peristiwa ini, kedua orang saudara Souw tidak mungkin lagi kembali ke Yen-tai, dan inilah yang membikin aku menyesal sekali."

   "Ah, mengapa menyesal, twako? Kami berdua tidak menyesal. Biarlah kami tidak dapat kembali ke Yen-tai dan menanti sampai ayah ibu pulang dari barat. Kami berdua malah telah mengambil keputusan untuk membantu Tio-twako dalam mencari musuh-musuh Cin-ling-pai itu dan mengerahkan seluruh kemampuan kami untuk mencari Lima Bayangan Dewa yang menjadi musuh-musuh besar Cin-ling-pai. Ayah dan ibu tentu akan bangga kalau mendengar akan sikap kami ini,"

   Kata Kwi Eng. Dapat dibayangkan betapa terkejut dan heran rasa hati Bun Houw mendengar percakapan mereka itu. Dan sampai bengong memandang mereka tanpa mampu mengeluarkan kata-kata. Kwi Eng yang kebetulan memandang kepada pemuda itu tiba-tiba menjadi merah mukanya dan menunduk karena melihat betapa pemuda tampan itu memandang kepadanya dengan mata terbelalak seolah-olah hendak menelannya bulat-bulat!

   "Bun-Taihiap, engkau... mengapakah?"

   Kwi Eng yang tidak pemalu itu menegur halus. Bun Houw terkejut, mukanya menjadi merah sekali dan dia memandang kepada mereka bertiga dengan mata bersinar-sinar.

   "Sungguh mati saya amat terkejut mendengar betapa sam-wi menyebut-nyebut soal Lima Bayangan Dewa dan hendak membela Cin-ling-pai. Kalau boleh saya bertanya, apakah hubungan antara sam-wi dengan Cin-ling-pai?"

   Kini Tio Sun dan dua orang saudara kembar itu yang menatap wajah Bun Houw dengan tajam penuh selidik.

   "Bun-hiante... tahu soal... Lima Bayangan Dewa dan Cin-ling-pai?"

   Tio Sun bertanya. Bun Houw mengangguk.

   "Tentu saja, dan saya bahkan tersangkut secara langsung. Akan tetapi sebelum aku dapat menceritakan hal itu, harap sam-wi lebih dulu menerangkan apa hubungan sam-wi dengan Cin-ling-pai?"

   Tio Sun menghadapi Bun Houw, memandang dengan sinar mata tajam sejenak, lalu berkata,

   "Biarpun baru berjumpa pertama kali dan tidak mengenal benar siapa adanya dirimu, Bun-hiante, akan tetapi aku telah percaya benar kepadamu, maka biarlah aku mengaku terus terang. Seperti telah kukatakan kepadamu, aku adalah putera dari bekas pengawal Panglima The Hoo, ayahku bernama Tio Hok Gwan dan ayah adalah seorang sahabat baik dari Cia Keng Hong locianpwe, ketua Cin-ling-pai. Agaknya tentu engkau telah mendengar kegemparan di dunia kang-ouw dengan adanya penyerbuan Lima Bayangan Dewa di Cin-ling-san yang membunuh anak-anak murid Cin-ling-pai bahkan telah mencuri pedang pusaka Siang-bhok-kiam. Nah, mengingat akan hubungan persababatan yang amat baik dengan Cin-ling-pai, ayah lalu mengutus aku untuk mewakili ayah, membantu Cin-ling-pai mencari Lima Bayangan Dewa dan kalau mungkin merampas kembali pedang pusaka Siang-bhok-kiam. Demi persahabatan itu, aku melupakan kebodohanku sendiri, melakukan penyelidikan sampai di Yen-tai di mana aku bertemu dan berkenalan dengan kedua orang saudara Souw ini yang ternyata adalah cucu murid sendiri dari mendiang Panglima The Hoo."

   "Adapun kami berdua, setelah terjadi peristiwa di Yen-tai, kami juga sudah sepakat untuk membantu Tio-twako mencari Lima Bayangan Dewa, karena ibu kami pernah bercerita kepada kami tentang kegagahan ketua Cin-ling-pai yang patut kami bantu pula,"

   Kata Kwi Eng. Mendengar ini, Bun Houw segera bangkit dari atas batu dan dia lalu memberi hormat kepada tiga orang itu dengan menjura. Hal ini mengejutkan dan mengherankan mereka yang segera bangkit pula untuk membalas penghormatan itu. Dengan suara terharu Bun Houw lalu berkata,

   "Atas nama Cin-ling-pai, saya menghaturkan banyak terima kasih atas bantuan sam-wi yang demikian budiman."

   "Eh, siapakah sesungguhnya Bun-Taihiap?"

   Tanya Tio Sun yang kembali menyebut Taihiap karena dia menduga bahwa pemuda ini tentulah bukan orang sembarangan.

   "Maafkan kalau saya tadi kurang berterus terang. Sebetulnya saya she Cia dan bernama Bun Houw..."

   "Aih...! Kiranya Cia-Taihiap, putera dari ketua Cin-ling-pai?"

   Tio Sun berteriak girang.

   "Pantas saja demikian lihai, kiranya Cia-Taihiap sendiri orangnya! Maafkan kalau kami bersikap kurang hormat."

   "Putera Pendekar Sakti Cia Keng Hong...?"

   Kwi Eng berseru dan memandang dengan wajah bersinar penuh kekaguman. Juga Kwi Bang memandang kagum dan hal ini membuat Bun Houw menjadi makin sungkan dan malu.

   "Harap sam-wi jangan berlebihan. Marilah kita duduk kembali dan bicara dengan leluasa."

   Mereka duduk kembali dan Bun Houw lalu memandang mereka dengan bergantian.

   "Tidak kukira bahwa ayah mempunyai demikian banyak sahabat yang diam-diam membela Cin-ling-pai dan hal ini amat mengharukan hatiku. Akan tetapi sebelum kita bicara, di antara kita adalah orang segolongan, apalagi sam-wi adalah penolong-penolong Cin-ling-pai, maka harap tinggalkan saja sebutan Taihiap yang tidak pada tempatnya. Tio-twako, harap kau suka menyebutku adik saja, dan kedua adik Souw juga hendaknya menyebutku kakak saja. Bukankah sebagai orang-orang segolongan kita boleh dibilang bersaudara atau bersahabat baik?"

   Tiga orang gagah itu menjadi girang melihat sikap putera ketua Cin-ling-pai yang berilmu tinggi akan tetapi bersikap sederhana dan tidak tinggi hati itu.

   "Baiklah, Houw-te (adik Houw),"

   Kata Tio Sun.

   "Terima kasih, Houw-ko,"

   

Petualang Asmara Eps 28 Petualang Asmara Eps 51 Petualang Asmara Eps 33

Cari Blog Ini