Ceritasilat Novel Online

Dewi Maut 26


Dewi Maut Karya Kho Ping Hoo Bagian 26



Di Sailan Panglima The Hoo pernah bentrok dengan dua orang jagoan, laki-laki dan perempuan yang berilmu tinggi. Akan tetapi berkat kepandaian Panglima The Hoo yang amat sakti, dua orang jagoan Sailan yang suka mengganas itu dapat dikalahkan, dan biarpun dapat melarikan diri, namun diduga tentu akan tewas karena telah menerima pukulan-pukulan sakti dari Panglima The Hoo. Akan tetapi, orang salah duga, karena mereka itu tidak mati, biarpun nyaris mati dan setelah mereka sembuh namun tubuh mereka keracunan oleh hawa beracun mereka yang membalik dan memukul diri sendiri, mereka lalu bertapa sampai puluhan tahun lamanya dan tahu-tahu mereka kini menjadi kakek dan nenek yang muncul di perbatasan utara, menjadi guru Sabutai dan mereka hendak membalas kepada Beng-tiauw! Kini, mereka hanya dikenal sebagai Pek-hiat Mo-ko (Iblis Jantan Darah Putih) dan Hek-hiat Mo-li (Iblis Betina Darah Hitam). Sudah lama Sabutai mengincar ke selatan.

   Akan tetapi biarpun dia seorang berilmu tinggi dan yang pandai pula mengatur siasat perang, Namun dia maklum bahwa dengan kekuatan pasukannya seperti sekarang ini, melakukan serbuan ke selatan hanya merupakan bunuh diri belaka. Oleh karena itu, dia selalu menanti kesempatan baik, dan setelah ada usaha dari Thaikam Wang Cin untuk mengadakan kontak dengan dia, tentu saja dia terima dengan baik. Penerimaan persekutuan rahasia ini hanya dia lakukan demi terlaksananya cita-citanya, karena sesungguhnya di dalam hatinya, orang gagah perkasa ini merasa muak terhadap Wang Cin, apalagi ketika dia mendengar akan segala sepak terjang Wang Cin di istana musuh-musuhnya itu. Dia menganggap orang macam Wang Cin amat berbahaya dan rendah, dan kalau saja dia tidak melihat kegunaan persekutuan ini sebagai jalan tercapainya cita-citanya, dia akan merasa suka sekali membunuh orang seperti thaikam itu dengan jari-jari tangannya sendiri yang amat kuat dan dahsyat!

   Pada suatu malam, Sabutai duduk termenung di dalam kamarnya. Dia mempunyai seorang isteri yang amat cantik, seorang puteri Suku Bangsa Khitan yang mempersembahkan dirinya atas perintah kepala Suku Khitan kepadanya. Puteri ini masih muda, baru delapan belas tahun usianya dan sudah tiga tahun menjadi isterinya. Namun, yang membuat Sabutai kecewa adalah mengapa isterinya itu belum juga mengandung. Betapapun juga, dia amat mencinta isterinya dan dia tidak mau mengambil selir. Selain kekecewaan tidak mempunyai putera, juga dia tahu bahwa isterinya itu sesungguhnya tidak cinta kepadanya, dan hanya terpaksa saja menjadi isterinya. Semua sikap manis isterinya itu hanya demi kewajiban saja, dia memiliki tubuh isterinya, akan tetapi tidak memiliki hatinya. Hal inipun kadang-kadang membuat pria yang jantan dan gagah ini merasa kecewa dan berduka karena dia sungguh-sungguh mencinta Khamila, isterinya yang cantik rupawan itu.

   Sabutai termenung dan di tangannya dia memegang sehelai surat yang diterimanya dari Wang Cin, pembesar thaikam yang pada waktu itu sedang berkuasa dan mempunyai pengaruh besar di Kerajaan Beng. Surat itu dibawa oleh utusan Wang Cin, yaitu tiga orang tokoh berilmu tinggi Hwa Hwa Cinjin, Hek I Siankouw, dan Go-bi Sin-kouw. Mereka diterima sebagai tamu-tamu agung dan diberi kamar-kamar yang mewah untuk tempat menginap. Sudah berjam-jam lamanya Sabutai duduk termenung dengan surat itu di dalam tangannya. Dadanya terasa panas, kebenciannya terhadap Wang Cin memuncak ketika dia membaca betapa di dalam surat itu Wang Cin menerangkan siasatnya yang memancing rajanya sendiri ke utara untuk "diserahkan"

   Kepada Sabutai!

   Sabutai adalah seorang gagah perkasa dan tentu saja dia amat membenci seorang pengkhianat besar macam Wang Cin. Akan tetapi, diapun melihat kesempatan baik sekali untuk membangun kembali kekuasaan Bangsa Mongol, maka dia termenung dan menggunakan kepala dingin untuk mengatur siasat. Menurut surat Wang Cin, orang kebiri itu akan sengaja menjerumuskan Kaisar dan pasukan-pasukan pengawalnya agar dihancurkan oleh Sabutai, Kaisarnya dan semua pengawal Kaisar yang setia dibinasakan, kemudian dia akan kembali ke kota raja dan diam-diam akan mengatur dari dalam untuk membantu barisan Mongol yang dipimpin Sabutai menyerbu kota raja, kemuthan setelah dapat merampas kota raja, Wang Cin akan mengangkat diri menjadi Kaisar sebagai seorang yang berdarah keturunan Jenghis Khan dan Sabutai tentu saja akan menerima bagian yang layak!

   "Si keparat...!"

   Sabutai memaki di dalam hatinya.

   "Seorang, pengkhianat dan pengecut seperti dia, seorang yang sudah kehilangan kejantanannya, seorang kebiri yang berhati palsu, berani mengaku sebagai darah keturunan Jenghis Khan yang besar?"

   Dia merasa muak akan tetapi demi tercapainya cita-citanya untuk menyerbu ke selatan, cita-cita yang sudah dipupuk selama bertahun-tahun, dia tidak akan menyia-nyiakan kesempatan itu. Tiba-tiba dia bertepuk tangan dan muncullah beberapa orang pengawalnya dari tempat-tempat tersembunyi. Sabutai lalu memerintahkan mereka untuk memanggil para pembantunya agar berkumpul di situ pada malam itu juga karena ada hal yang amat penting untuk dirundingkan.

   Menjelang tengah malam, berkumpullah belasan orang pembantunya yang merupakan bekas kepala-kepala suku yang telah ditaklukannya dan yang kini menjadi para pembantunya. Setelah memerintahkan para pengawalnya untuk menjaga kamar-kamar tamu sehingga dia yakin bahwa perundingan itu tidak akan diintai dan didengarkan oleh tiga orang utusan yang dia tahu bukan orang-orang sembarangan itu, Sabutai lalu mengajak para pembantunya untuk berunding dan mengatur siasat untuk menghadapi uluran tangan Wang Cin yang khianat itu. Akhirnya, sampai hampir pagi, mereka telah bersepakat untuk mempergunakan pengkhianatan Wang Cin itu untuk memperoleh keuntungan, akan tetapi tentu saja Sabutai tidak sudi untuk selanjutnya mengadakan persekutuan dengan thaikam yang dianggapnya amat licik, curang dan berbahaya itu.

   Pada keesokan harinya, setelah menjamu tiga orang utusan itu, Sabutai lalu menyerahkan surat balasannya dan kepada Wang Cin dia menjanjikan untuk menyambut dan menghancurkan Kaisar dan pasukannya di dekat Huai-lai, lewat lembah Nan-kouw. Surat balasan itu dibawa sendiri oleh Hwa Hwa Cinjin untuk disampaikan kepada Wang Cin pribadi, sedangkan dua orang nenek, Hek I Siankouw dan Go-bi Sin-kouw, tinggal di markas Mongol yang dipimpin oleh Sabutai itu. Sabutai lalu membuat persiapan, mengumpulkan kekuatan barisan yang besar jumlahnya, kemudian dia memimpin sendiri seluruh barisan itu menuju ke selatan, melalui pegunungan yang sukar dan gurun-gurun pasir yang luas, melewati tembok besar dan bersembunyi di sekitar kota Huai-lai, di sepanjang lembah Nan-kouw untuk menanti datangnya rombongan Kaisar seperti yang dimaksudkan dalam surat Wang Cin.

   Di daerah padang rumput tak jauh dari tembok besar, di lereng pegunungan utara, pada pagi itu penuh dengan serombongan suku bangsa perantau yang terdiri dari campuran Bangsa Mancu dan Khitan. Mereka ini adalah Bangsa Nomad yang hidup dari peternakan dan mereka menggembala kuda yang baik untuk dijual ke daerah selatan. Kelompok keluarga yang terdiri dari hampir dua ratus orang ini menggiring ribuan ekor kuda pilihan dan mereka berhenti di tempat itu karena tempat itu amat subur rumputnya sehingga merupakan tempat peristirahatan yang amat baik. Telah tiga hari lamanya mereka memasang perkemahan di padang rumput ini. Akan tetapi pada pagi hari ketiga itu tampak kesibukan dan kegelisahan di antara mereka ketika terdapat laporan bahwa dua orang penggembala kedapatan menggeletak,

   Yang seorang tewas dan seorang lagi terluka parah sedangkan lebih dari seratus ekor kuda lenyap di malam itu. Agaknya orang kedua itupun telah ditinggalkan karena disangka telah mati oleh para penyerangnya, dan orang inilah yang bercerita kepada kawan-kawan dan pemimpin mereka. Ternyata malam tadi, lewat tengah malam di waktu keadaan amat sunyi dan dingin, tiba-tiba muncul belasan orang bertopeng yang langsung menyerang mereka. Mereka berdua melakukan perlawanan mati-matian, akan tetapi akhirnya mereka roboh dan orang yang terluka parah dan disangka tewas pula itu hanya dapat melihat betapa belasan orang itu menggiring dan melarikan seratus ekor kuda yang mereka curi itu. Tentu saja rombongan itu menjadi marah sekali. Siapa yang begitu berani mati mencuri kuda mereka di tempat terbuka seperti itu?

   Penjagaan dilakukan dengan ketat di malam-malam berikutnya karena biasanya, pencuri-pencuri kuda itu tidak akan puas sebelum dapat mencuri habis ribuan ekor kuda yang berharga mahal itu. Dengan bergilir mereka melakukan penjagaan di malam hari. Malam berikutnya tidak terjadi sesuatu, akan tetapi dua hari kemudian, pada malam kedua semenjak peristiwa pencurian dan pembunuhan itu, tiba-tiba mereka diserbu oleh sedikitnya tiga puluh orang bertopeng yang rata-rata memiliki ketangkasan dan gerakan yang terlatih. Terjadilah pertempuran hebat dan keluarga rombongan itu tentu saja menjadi panik. Jerit dan tangis terdengar di antara teriakan-teriakan kemarahan dari mereka yang bertempur di bawah penerangan obor-obor dan api unggun. Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring.

   "Maling-maling kuda yang hina!"

   Dan muncullah seorang kakek yang berusia enam puluh tahun lebih, berpakaian sederhana akan tetapi bersih,

   Berwajah gagah dan sekaligus membayangkan kelembutan, bahkan bentakannya tadi biarpun nyaring dan menggetarkan jantung, namun suaranya halus. Akan tetapi, begitu dia muncul dan menggerakkan kedua tangannya, empat orang bertopeng jatuh tunggang langgang! Para perampok atau pencuri kuda itu menjadi terkejut dan marah. Mereka maklum babwa kakek ini bukanlah anggauta rombongan peternak atau pedagang kuda itu, melainkan seorang yang dari kata-katanya sudah diketahui datang dari selatan. Maka pemimpin perampok yang terdiri dari tiga orang yang bertubuh tinggi besar dan bersenjata golok besar yang amat berat dan tajam, menggereng dan sekaligus tiga orang ini menerjang kakek itu dengan golok mereka, serentak menyerang dari tiga jurusan, yaitu depan, kiri dan kanan.

   "Singg... singg... wuuuutttt...!"

   Tiga batang golok itu berdesing dan menyambar dengan kuat dan cepat sekali. Akan tetapi, kakek itu tetap saja berdiri tegak dan tenang seolah-olah tidak tahu bahwa ada bahaya maut mengancam nyawanya dari tiga jurusan. Akan tetapi, begitu tiga batang golok itu menyambar dekat, kakek itu kelihatan menggerakkan kedua tangan dan kaki kirinya dan... sungguh luar biasa sekali. Sukar diikuti pandang mata apa yang telah dilakukan oleh kaki kiri dan kedua tangan kakek itu, akan tetapi tahu-tahu penyerang dari depan mencelat goloknya dan orangnya roboh dan mengaduh-aduh,

   Sedangkan dua orang penyerang dari kanan kiri terampas goloknya dan roboh pula! Kiranya kakek yang luar biasa itu menggunakan kakinya menendang pergelangan tangan penyerang dari depan dan dilanjutkan dengan gerakan kaki menendang lutut, sedangkan kedua tangannya dengan cepat sekali tadi telah menangkap golok itu, lalu mengangkat golok itu ke atas, kemudian menggunakan kedua sikunya menghantam dada kedua orang penyerang kanan kiri. Semua gerakarmya itu dilakukan dengan cepat dan kelihatan demikian mudahnya, padahal tiga orang pimpinan perampok itu adalah orang-orang kuat yang memiliki ilmu silat lumayan! Apalagi menangkap golok dengan tangan telanjang begitu saja, benar-benar membuktikan betapa kakek itu adalah seorang yang amat luar biasa!

   Melihat betapa dalam segebrakan saja tiga orang pimpinan mereka roboh, bukan main kagetnya para perampok bertopeng itu dan tanpa dikomando lagi larilah mereka cerai-berai dan menghilang di dalam kegelapan malam. Dua orang yang roboh oleh kakek tadi, yang menyerang dari kanan kiri, juga sudah serentak meloncat bangun dan melarikan diri, akan tetapi peyerang dari depan yang kena tendang lututnya ketika bangkit berdiri, roboh terguling lagi dan mengeluh. Para anggauta rombongan cepat mengepungnya dan beberapa batang senjata tajam sudah digerakkan, agaknya
(Lanjut ke Jilid 25)
Dewi Maut (Seri ke 03 - Serial Pedang Kayu Harum)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 25
dalam kemarahan mereka, orang-orang itu hendak membunuh pemimpin para perampok bertopeng itu.

   "Tahan, jangan bunuh dia!"

   Kakek itu berkata, suaranya halus namun penuh wibawa sehingga orang-orang yang sudah mengangkat senjata itu mundur dan memandang kepada kakek itu dengan heran. Kakek ini datang dari mana tidak ada orang yang tahu, datang-datang telah memperlihatkan kepandaian membantu mereka mengalahkan perampok, akan tetapi sekarang melarang mereka untuk membunuhnya. Sungguh aneh! Yalu, pemimpin Suku Nomad campuran, seorang laki-laki tinggi besar bermuka hitam yang gagah, cepat menghampiri kakek itu dan berkata dengan lantang,

   "Locianpwe telah membantu kami mengusir perampok, akan tetapi mengapa mencegah kami membunuh kepala perampok ini?"

   Mendengar orang tinggi besar muka hitam ini pandai berbahasa Han, kakek itu tersenyum dan berkata tenang,

   "Mereka telah dapat diusir dan orang ini tidak dapat melarikan diri karena sambungan lututnya terlepas. Haruskah kita membunuh lawan yang sudah tidak berdaya?"

   "Locianpwe, harap suka mengampuni saya,"

   Tiba-tiba orang itu berkata dan membuka topengnya. Kiranya dia adalah seorang Han pula yang berusia kurang lebih tiga puluh tahun. Kakek itu mengerutkan alisnya, nampaknya tidak senang melihat orang Han sampai begitu merendahkan diri menjadi pencuri atau perampok kuda, sedangkan yang dirampoknya adalah rombongan suku bangsa yang miskin!

   "Hemm, tidak malukah engkau dengan perbuatanmu yang hina ini?"

   Bentaknya.

   "Maaf... kami... kami bukanlah pencuri-pencuri kuda biasa... akan tetapi, kami adalah anggauta pasukan Raja Muda
Sabutai yang memerintahkan kami mencari kuda untuk memperlengkapi pasukan-pasukan kami..."

   "Ahhhh...!"

   Yalu, kepala rombongan itu terkejut bukan main.

   "Raja Muda Sabutai terkenal sebagai seorang gagah perkasa yang hanya memusuhi Pemerintah Beng di selatan dan selamanya tidak pernah mau mengganggu suku bangsa di utara, apalagi mencuri kuda kami."

   "Maafkan kami, kawan..."

   Orang itu berkata dengan muka merah.

   "kami telah bersalah... akan tetapi karena pasukan Raja Muda Sabutai sedang mengerahkan kekuatan menyeberang ke lembah Nan-kouw..."

   Tiba-tiba orang itu berhenti bicara.

   "Lanjutkan ceritamu dan aku akan membebaskan engkau."

   Kakek itu berkata dan matanya memandang tajam sehingga orang itu menjadi ketakutan.

   "Saya... saya tidak boleh bicara tentang itu..."

   "Engkau sudah terlanjur bicara dan para sahabat ini hanyalah rombongan pedagang kuda, kami hanya ingin tahu apa yang terjadi di daerah ini, Raja Muda Sabutai sedang mengerahkan pasukannya ke lembah Nan-kouw? Apakah keperluannya? Hayo katakan, keteranganmu itu sebagai penebus nyawamu."

   Dengan muka pucat ketakutan orang itu berkata,

   "Barisan kami... akan... menyergap rombongan Raja Beng-tiauw yang akan lewat di sana..."

   "Hemmmm...!"

   Kakek itu mengangguk-angguk.

   "Dari mana Raja Muda Sabutai dapat mengetahui bahwa rombongan Kaisar akan lewat ke sana?"

   "Hamba... saya mana tahu...? Hanya beritanya, ada datang tiga orang utusan dari selatan... dan raja muda kami lalu mempersiapkan barisan, kami ditugaskan untuk mengumpulkan kuda sebanyaknya guna perlengkapan..."

   "Tiga orang utusan itu, siapa namanya?"

   Kakek yang aneh itu mendesak terus.

   "Saya tidak tahu semua, hanya tahu bahwa yang kakek-kakek berjuluk Hwa Hwa Cinjin, sedangkan dua orang nenek lagi entah siapa..."

   "Sudahlah, kau boleh pergi,"

   Kakek itu berkata dan dengan terpincang-pincang pemimpin para pencuri kuda itu pergi meninggalkan tempat itu.

   "Locianpwe, orang jahat seperti dia bagaimana dibebaskan begitu saja? Dan dia adalah anak buah Raja Muda Sabutai yang sedang melakukan kejahatan terhadap Kaisar!"

   Yalu, pemimpin rombongan itu berkata, alisnya berkerut tanda tidak setuju. Kakek itu memandang tajam.

   "Kalian tidak menyetujui tindakan Sabutai itu?"

   "Tentu saja tidak! Kami bukan bangsa pemberontak, bahkan perbuatan Sabutai itu akan mencelakakan kami, karena pekerjaan kami berdagang kuda dengan orang-orang selatan di sebelah dalam tembok besar tentu tak mungkin dilanjutkan. Celakanya, kami tentu akan dianggap sekutu Sabutai dan akan dihukum pula oleh barisan Beng?"

   "Bagus! Kalau begitu mari kita menentangnya dan kita menyelamatkan Kaisar. Dengan demikian Kaisar akan dapat membedakan siapa yang baik dan siapa yang jahat. Aku akan memimpin kalian melindungi Kaisar sebelum terlambat."

   Yalu dan teman-temannya saling pandang dan mereka meragu, kemudian Yalu bertanya,

   "Siapakah locianpwe yang berilmu tinggi dan hendak membela Kaisar ini?"

   Kakek itu berkata sederhana,

   "Aku adalah ketua dari Cin-ling-pai, namaku Cia Keng Hong dan sejak dahalu aku sudah sering kali membantu Kaisar dan bekerja sama dengan mendiang Panglima The Hoo."

   Yalu mengeluarkan teriakan girang, demikian pula para anak buahnya.

   "Locianpwe sahabat mendiang Panglima Besar The Hoo? Ah, kalau begitu kami telah bersikap kurang hormat."

   Dan serta-merta Yalu dan anak buahnya menjatuhkan diri berlutut.

   "Hendaknya locianpwe ketahui bahwa kami dan ayah-ayah kami dahulu pernah membantu beliau ketika melawat ke utara. Harap locianpwe jangan khawatir, kami akan mengumpulkan teman-teman dan membantu locianpwe menolong dan melindungi Kaisar, menentang Raja Muda Sabutai yang berniat memberontak."

   Tentu saja ketua Cin-ling-pai, Pendekar Sakti Cia Keng Hong menjadi girang. Seperti kita ketahui, kakek Cia Keng Hong yang mendengar penuturan puterinya, Cia Giok Keng, bahwa Lima Bayangan Dewa yang telah dapat ditewaskan dua di antaranya itu dibantu oleh tokoh-tokoh lihai, lalu turun gunung untuk menghadapi musuh-musuh tangguh itu dan untuk mencari kembali pusaka Cin-ling-pai yang hilang, yaitu pedang Siang-bhok-kiam. Dalam perjalanannya menyelidik, dia mendengar bahwa musuh-musuhnya itu pergi ke kota raja dan kemudian dia menyusul, dia mendengar pula bahwa mereka itu bergabung dengan rombongan Kaisar yang melakukan perlawatan ke utara. Tentu saja dia menjadi heran sekali mendengar bahwa musuh-musuhnya itu bergabung dengan rombongan Kaisar.

   Timbullah kekhawatirannya, karena dianggapnya sebagai hal yang tidak wajar dan mencurigakan kalau musuh-musuhnya itu kini bekerja sebagai pengawal-pengawal Kaisar. Karena itu, diapun menyusul ke utara dan kebetulan dia bertemu dengan rombongan pedagang kuda yang dipimpin oleh Yalu dan mendengar keterangan yang amat berguna dari pemimpin para pencuri kuda. Kini dengan hati penuh kekhawatiran, pendekar itu dapat menduga bahwa masuknya para musuhnya dalam rombongan Kaisar tentu ada hubungannya dengan gerakan Sabutai dan bahwa Kaisar tentu terancam bahaya besar, sungguhpun dia mendengar pula bahwa Kaisar dikawal oleh pasukan yang dipimpin oleh para jenderal tua yang setia, di antaranya adalah Jenderal Kho Gwat Leng dan Jenderal Tan Jeng Koan yang dia tahu merupakan jenderal-jenderal yang amat setia dari Kerajaan Beng.

   Mengingat akan mendiang Panglima The Hoo yang mereka hormati dan junjung tinggi, Yalu dan kawan-kawannya lalu mulai mengumpulkan Suku-suku Bangsa Nomad di utara untuk bergabung dengan mereka menentang Sabutai dan menolong Kaisar Beng-tiauw yang terancam bahaya. Sementara itu, rombongan Kaisar Ceng Tung sudah meninggalkan kota raja menuju ke utara. Perjalanan itu amat sukar, melalui pegunungan-pegunungan yang terjal, hutan-hutan yang liar dan daerah-daerah yang tandus. Dari permulaannya saja pasukan-pasukan yang mengawal rombongan Kaisar ini sudah terlantar, perlengkapannya kurang dan juga ransumnya kurang karena Thaikam Wang Cin yang diangkat menjadi panglima komandan pasukan pengawal ini melarang membawa perlengkapan terlalu banyak.

   "Di utara banyak dusun yang harus menunjukkan darma bhakti dan kesetiaannya kepada pemerintah. Perlu apa kita membawa banyak perbekalan?"

   Demikian bantahnya ketika para jenderal mengajukan usul.

   "Hal itu hanya akan menimbulkan ketidaksenangan mereka karena seolah-olah kita tidak percaya kepada mereka."

   Biarpun alasan Wang Cin ini agaknya masuk di akal, namun sudah diperhitungkan oleh Wang Cin bahwa kaki tangannya di utara tentu sudah bergerak dan berusaha agar rombongan Kaisar tidak mendapat ransum di utara, apalagi pada waktu itu musim panen belum tiba. Kaisar sendiri, yang masih muda dan belum berpengalaman, apalagi yang sejak dewasa terus dibuai dalam rayuan Azisha yang cantik jelita, terseret oleh arus kenikmatan permainan cinta dengan selirnya itu yang sesungguhnya hanya merupakan pemuasan nafsunya sendiri belaka sehingga Kaisar itu tidak tahu apa-apa. Di dalam perjalanan inipun Kaisar Ceng Tung selalu berada dalam pelukan selirnya, berdua di dalam kereta, dan kadang-kadang ditemani oleh Wang Cin yang pandai menghibur hati Kaisar seolah-olah perjalanan itu merupakan tamasya yang amat menyenangkan.

   Kaisar sama sekali tidak tahu betapa pasukan pengawalnya menghadapi perjalanan yang amat sukar, dan betapa para jenderal tua yang setia itu selalu merasa gelisah kalau-kalau terjadi hal-hal yang tidak diharapkan menimpa rombongan ini sehingga membahayakan keselamatan Kaisar. Setelah melalui perjalanan yang amat lama dan amat melelahkan bagi para anggauta pasukan pengawal, akan tetapi amat meayenangkan bagi Kaisar dan selirnya, dan amat menegangkan bagi Wang Cin yang mengharapkan terjadinya peristiwa hebat yang selain akan merubah jalannya sejarah juga akan mengangkatnya ke tingkat teratas sesuai dengan yang selama ini dicita-citakannya, rombongan itu tiba di kaki Pegunungan Nan-kouw dan di padang rumput mereka berkemah untuk melewatkan malam itu di situ dan memberi waktu kepada pasukan untuk beristirahat.

   Malam itu, delapan jenderal tua yang dipimpin oleh Jenderal Kho Gwat Leng dan Jenderal Tan Jeng Koan menghadap Wang Cin yang sedang mengadakan perundingan dengan para pengawal pribadinya termasuk tiga orang dari Lima Bayangan Dewa dan Bouw Thaisu yang lihai. Kedatangan delapan jenderal itu mengejutkan Wang Cin dan para pengawalnya otomatis bangkit dari kursi masing-masing dan oleh isyarat Wang Cin mereka itu berdiri di pinggir, selalu siap membela majikan mereka. Dengan muka manis Wang Cin mempersilakan para jenderal mengambil tempat duduk di dalam perkemahannya itu dan menanyakan maksud kedatangan mereka.

   "Wang-taijin, kami datang untuk mengajukan usul kepada taijin,"

   Jenderal Gwat Leng yang bertubuh kecil kurus itu berkata.

   "Hemm, tentu baik saja, Kho-goanswe. Segala macam usul demi kebaikan kita semua tentu saja kami sambut dengan gembira,"

   Jawab orang kebiri yang memperoleh kedudukan tinggi itu.

   "Wang-taijin, kami semua telah melihat bahwa amat perlu perjalanan ini ditunda di sini sampai sedikitnya tiga hari,"

   Kata Jenderal Kho Gwat Leng.

   "Ah, tidak mungkin!"

   Wang Cin berseru penasaran.

   "Kota Huai-lai sudah dekat, mengapa setelah hampir tiba di tempat tujuan lalu ditunda?"

   "Wang-taijin,"

   Kata Jenderal Tan Jeng Koan yang bertubuh tinggi besar, berkulit hitam dan suaranya mengguntur itu.

   "Di depan adalah Lembah Nan-kouw yang terkenal sulit dilalui, juga tempat itu amat berbahaya apabila terdapat fihak musuh yang menghadang kita."

   "Hemm, Tan-goanswe, siapakah yang berani menghadang rombongan Kaisar? Pula, andaikata ada penjahat yang bosan hidup berani mengganggu, apa artinya ada pasukan besar pengawal yang dipimpin oleh delapan pahlawan Beng yang tersohor?"

   "Maaf, Wang-taijin,"

   Jenderal Kho Gwat Leng yang lebih halus sikapnya itu berkata.

   "Ucapan Tan-goanswe benar, dan juga pendapat Wang-taijin benar pula bahwa andaikata ada musuh menghadang, kami sudah siap menghadapinya. Akan tetapi, pasukan kita sudah amat lelah dan perbekalan sudah hampir habis, bahkan kami hampir kehabisan air, padahal perjalanan di depan melalui daerah pegunungan tandus yang sukar mencari air. Sebaiknya, kita menunda perjalanan selama dua tiga hari untuk menambah perbekalan, terutama ransum dan air."

   Wang Cin menggeleng-geleng kepalanya dan berjalan mondar-mandir di ruangan itu. Dengan menggendong kedua tangan di bawah punggung dan menggeleng kepala, lalu berkata setelah kemudian duduk menghadapi delapan orang jenderal itu.

   "Tidak, tidak! Tidak ada perlunya itu. Sri Baginda Kaisar tentu akan kesal hatinya kalau perjalanan dihentikan sampai tiga hari. Kita berangkat besok pagi, melewati pegunungan dan Lembah Nan-kouw dan setelah tiba di Huai-lai, barulah kita berhenti, mengaso dan makan sepuasnya. Apakah perajurit-perajurit Beng begitu lemahnya dan mementingkan makan dan minum saja?"

   Mendengar ini, Jenderal Tan Jeng Koan mengepal tinju dan sudah hampir mendampratnya, akan tetapi Jenderal Kho Gwat Leng cepat memberi isyarat sehingga jenderal tinggi besar itu menahan kemarahannya.

   "Terserah kepada Wang-taijin yang menjadi komandan pasukan, akan tetapi kalau sampai terjadi hal-hal yang merugikan kita, jangan lupa bahwa kami sudah memberi peringatan,"

   Kata pula Jenderal Kho yang maklum bahwa berdebat melawan orang yang sudah dipercaya penuh oleh Kaisar ini akan percuma saja.

   Para jenderal ini adalah bekas panglima-panglima pembantu Panglima Besar The Hoo dan sudah mengabdi sejak jaman Kaisar Yung Lo. Seperti umumnya para panglima kuno, kesetiaan mereka terhadap Kaisar adalah mutlak, dengan membuta dan keputusan apapun yang diambil oleh Kaisar merupakan perintah yang akan mereka pertahankan dengan pertaruhan nyawa, sungguhpun kesadaran mereka membuat mereka maklum betapa kelirunya keputusan itu sekalipun! Para jenderal ini tentu saja maklum akan keadaan Kaisar muda yang berada di bawah pengaruh Wang Cin itu, akan tetapi mereka tidak berani membantah keputusan Kaisar, dan betapapun juga Wang Cin telah diangkat oleh Kaisar menjadi komandan pasukan, menjadi atasan mereka yang harus mereka patuhi!

   Diam-diam para jenderal yang sudah berpengalaman dan merupakan ahli-ahli perang yang telah puluhan tahun memimpin pasukan itu, telah menyebar penyelidik menyusup ke depan dan menyelidiki keadaan Pegunungan Nan-kouw yang menghalang di depan. Pada pagi harinya, hanya ada empat orang di antara dua puluh penyelidik itu yang kembali ke perkemahan, dan mereka inipun berada dalam keadaan luka-luka parah. Dengan lemah mereka memberi laporan bahwa pegunungan itu penuh dengan barisan musuh yang dipimpin sendiri oleh Sabutai, pemberontak Mongol yang amat tersohor keberaniannya itu. Berita ini tentu saja mengejutkan para jenderal dan kembali mereka membujuk Wang Cin untuk mencari perbekalan lebih dulu sebelum melanjutkan perjalanan.

   "Kami sanggup mengawal Kaisar sampai ke manapun, dan kita memang tidak perlu takut menghadapi para pemberontak liar itu,"

   Kata Jenderal Tan Jeng Koan dengan suara nyaring.

   "Akan tetapi karena mereka tentu melakukan perang gerilya, maka pertempuran akan makan waktu lama. Tanpa perbekalan yang cukup, terutama sekali air minum, kedudukan kita dapat berbahaya."

   "Aahhhh, laporan para pengecut itu mengapa mengecilkan hati goanswe? Kalau cu-wi (anda sekalian) takut, biarlah saya sendiri yang memimpin pasukan menggempur perampok-perampok laknat itu! Justeru di depan kehadiran Sri Baginda, mereka berani mengacau, maka harus dibasmi sampai ke akarnya! Sekarang juga kita harus menyerang ke Nan-kouw dan menghancurkan mereka!"

   Wang Cin berkata dengan muka merah karena diam-diam dia marah sekali bahwa para jenderal itu telah menyebar mata-mata tanpa dia ketahui dan timbul kekhawatirannya bahwa rencananya akan gagal. Kembali para jenderal itu tidak dapat membantah dan mereka lalu berunding, kemudian mengambil keputusan untuk mengerahkan seluruh tenaga menghadapi pasukan pemberontak Mongol yang menghadang mereka di Pegunungan Nan-kouw. Demikianlah, pada hari itu juga pasukan Beng-tiauw yang mengawal rombongan Kaisar itu melanjutkan perjalanan mendaki Pegunungan Nan-kouw.

   Untuk menjaga keselamatan Kaisar, kereta yang ditumpangi oleh Kaisar dan selirnya tercinta itu berada di tengah-tengah, Didahului oleh pasukan pengawal yang dipimpin sendiri oleh empat orang jenderal, sedangkan di belakangnya diiringkan oleh pasukan yang dipimpin oleh empat orang jenderal lainnya. Delapan orang jenderal itu sudah bersepakat untuk melindungi Kaisar sedemikian rupa sehingga sebelum orang terakhir tewas, tak mungkin musuh akan dapat mendekati Kaisar. Penjagaan yang mengelilingi Kaisar dilakukan berlapis-lapis dan diatur secara ketat sekali. Hal yang memang sudah diduga-duga dan dikhawatirkanpun terjadilah. Menjelang tengah hari, mulailah pasukan Sabutai menyerang, mula-mula penyerangan itu dilakukan dari arah kiri. Sebagian pasukan pengawal menyambut dan selagi perang terjadi,

   Muncul pasukan musuh menyerang dari kanan, kemudian bertut-turut musuh bermunculan dari depan dan belakang! Mereka telah mengurung rombongan Kaisar! Akan tetapi karena delapan orang jenderal itu sudah bersiap-siap sebelumnya, penyerangan bertubi-tubi dari empat penjuru ini tidak mengacaukan pertahanan pasukan pengawal Kaisar. Perlawanan dilakukan dengan baik, dan Jenderal Kho Gwat Leng sendiri yang memimpin pembuatan sebuah perkemahan di tengah-tengah pertahanan mereka untuk Kaisar, selirnya, dan para pelayan Kaisar. Dengan kata-kata penuh semangat Jenderal Kho membesarkan hati Kaisar dan menghiburnya sehingga Kaisar tidaklah begitu khawatir biarpun tahu bahwa ada pasukan pemberontak menyerang karena dia percaya penuh akan kemampuan delapan orang jenderalnya.

   Perang terjadi dengan hebatnya dan berkat kemampuan delapan orang jenderal yang mahir ilmu perang itu, biarpun jumlah musuh jauh lebih banyak, namun setelah bertempur sampai hari berganti malam, fihak penyerbu dapat dipukul mundur dan mereka melarikan diri ke dalam hutan-hutan di pegunungan itu. Betapapun juga, fihak pasukan pengawal juga kehilangan banyak perajurit yang gugur maupun yang terluka sehingga jumlah mereka tinggal tiga perempatnya. Hal ini membuat para jenderal menjadi khawatir akan keselamatan Kaisar, maka untuk kesekian kalinya mereka mengusulkan kepada Wang Cin agar rombongan ditarik mundur dan kembali saja ke kota raja sebelum terlambat. Kalau mereka mundur ke selatan, mereka akan lebih mudah memperoleh bantuan dari benteng pasukan Beng-tiauw yang berjaga di tapal batas.

   "Tidak, sungguh memalukan kalau kita mundur. Bukankah dalam pertempuran tadi kita telah menang? Musuh telah kacau-balau, terpukul mundur dan kabur. Sebaiknya, besok pagi kita melanjutkan perjalanan ke kota Huai-lai dan di sana kita akan aman dan karena berada dalam benteng."

   Wang Cin berkeras melanjutkan perjalanan itu.

   "Wang-taijin, biarpun musuh terpukul mundur, namun mereka dapat menyusun kekuatan baru dan kalau mereka melakukan pengurungan di lembah depan, amatlah berbahaya."

   Jenderal Kho Gwat Leng memperingatkan.

   "Terutama sekali karena perbekalan kita sudah menipis."

   "Tidak perlu kita takut. Kita sudah menang perang, mengapa harus melarikan diri dan mundur? Kita bahkan harus menggempur musuh yang sudah lari itu sampai terbasmi habis!"

   Wang Cin membantah.

   Delapan orang jenderal itu kembali tidak berhasil membujuk dan pada keesokan harinya, rombongan itu melanjutkan perjalanan menuju ke kota Huai-lai dan menjelang tengah hari tibalah mereka di Lembah Nan-kouw yang amat sukar dilalui dan merupakan tempat berbahaya karena mereka harus melalui lorong yang curam, kanan kirinya menjulang dinding batu yang tinggi. Terjadilah seperti yang dikhawatirkan oleh para jenderal yang berpengalaman itu. Terdengar suara gemuruh dan dari kedua tebing gunung itu datang hujan batu yang menyerang dan menimpa rombongan Kaisar! Tentu saja pasukan pengawal menjadi panik, dan ketika mereka mundur, ternyata jalan di belakang telah dihadang oleh pasukan musuh, juga di sebelah depan nampak debu mengebul tanda bahwa musuh sudah datang dari depan untuk menyerbu mereka yang terjepit di lorong Lembah Nan-kouw itu.

   Delapan orang jenderal cepat membuat perkemahan yang terlindung, dan mengawal sendiri Kaisar dan selirnya untuk berlindung ke dalam kemah Jenderal Kho Gwat Leng dan dua orang jenderal lain membantu para pengawal pribadi Kaisar, menjaga Kaisar di dalam kemah sedangkan Jenderal Tan Jeng Koan bersama empat orang kawannya lari keluar dan ikut memimpin pasukan pengawal untuk melawan musuh yang menyerbu dari depan dan belakang. Terjadilah pertempuran yang amat hebat, akan tetapi karena pasukan pengawal Kaisar berada di tengah-tengah, kanan kiri terhalang dinding gunung dan musuh yang amat banyak jumlahnya menyerang dari depan dan belakang, maka tentu saja mereka terhimpit dan terdesak hebat. Betapapun juga, para jenderal memberi semangat kepada pasukan dengan amukan mereka. Terutama Jenderal Tan yang amat gagah, mengamuk seperti seekor naga yang sedang marah.

   Pakaian perangnya telah berobah menjadi merah oleh darah para pengeroyoknya dan darahnya sendiri yang keluar dari luka-lukanya. Demikian pula dengan empat orang jenderal lainnya. Tiba-tiba terdengar sorak-sorai di sebelah belakang pasukan pengawal dan terjadilah kekacauan di fihak musuh yang menutup jalan keluer di belakang mereka. Ternyata kemudian bahwa datang pasukan campuran dari Suku Bangsa Mancu dan lain-lain, dipimpin oleh seorang kakek yang gagah perkasa menyerbu musuh dan membantu pasukan pengawal Kaisar. Kakek itu bukan lain adalah Pendekar Sakti Cia Keng Hong yang memimpin suku-suku liar yang tidak suka melihat pemberontakan Sabutai dan kini membantu Kaisar dengan menyerang pasukan Sabutai yang memotong atau menutup jalan keluar dari lorong Lembah Nan-kouw itu.

   Akan tetapi, biarpun pasukan bantuan ini dapat mengacaukan fihak musuh di sebelah belakang, musuh yang menyerbu dari depan terlalu banyak sehingga selagi sebagian kekuatan pasukan pengawal mendesak musuh di belakang yang menjadi terjepit dengan datangnya Cia Keng Hong dan pasukannya, sebaliknya pasukan pengawal di fihak depan dapat dihancurkan dan terus didesak oleh fihak musuh sehingga mereka mundur dan bergabung dengan teman-teman yang masih melawan musuh yang menghadang di belakang. Akhirnya, habislah anggauta pasukan yang mempertahankan diri di depan dan menyerbulah Sabutai yang dibantu oleh tiga orang tamunya yang lihai, yaitu Hwa Hwa Cinjin, Hek I Siankouw dan Go-bi Sin-kouw,

   Terus menerjang maju sampai akhirnya tidak ada lagi perajurit yang dapat melawan. Bahkan delapan orang jenderal yang tadi mengamuk dahsyat itu tidak nampak lagi karena mereka itu semua sudah masuk ke dalam perkemahan Kaisar untuk menyerahkan sisa darah dan nyawa mereka demi untuk melindungi junjungan mereka. Ketika akhirnya Sabutai yang diiringkan oleh belasan orang pengawalnya, termasuk pula tiga orang tua lihai yang menjadi utusan Wang Cin itu, menyerbu ke dalam tenda besar di mana Kaisar Ceng Tung berada, nampak pemandangan yang amat mengharukan. Kaisar yang masih amat muda itu duduk dengan sikap tenang sekali, tenang dan agung, di atas kursi sambil memeluk seorang wanita cantik yang nampak ketakutan. Wanita ini adalah Azisha, selir terkasih itu.

   Di dekat pintu tenda nampak bergelimpangan mayat delapan orang jenderal dengan tubuh penuh luka! Akan tetapi agaknya yang menewaskan mereka adalah luka-luka terakhir yang mereka terima dari serangan para pengawal Thaikam Wang Cin! Ketika itu, delapan jenderal yang melindungi Kaisar telah luka-luka parah, namun di bawah pimpinan Jenderal Kho Gwat Leng dan Jenderal Tan Jeng Koan, mereka delapan orang kakek itu dengan pedang di tangan masih berjaga di pintu kemah Kaisar. Tiba-tiba para pengawal Wang Cin, di antaranya terdapat Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok, Liok-te Sin-mo Gu Lo It dan Sin-ciang Siauw-bin-sian Hok Hosiang, maju dan menyerang delapan orang jenderal itu dari belakang sehingga tewaslah mereka! Kaisar terkejut sekali, hendak menegur perbuatan Wang Cin itu, akan tetapi thaikam ini berkata,

   "Merekalah yang mencelakakan kita, Sri Baginda. Sekarang hamba dan para pengawal hamba yang melindungi paduka!"

   Akan tetapi, begitu Sabutai dan para pengawalnya memasuki perkemahan itu, Wang Cin menyambut kepala pemberontak Mongol ini dengan senyum dan mereka saling memberi salam, demikian pula para pengawalnya segera beramah-tamah dengan para pengawal musuh!

   "Hemmm... kiranya engkau seorang pengkhianat!"

   Dewi Maut Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Kaisar berseru dan membuang muka tidak mau memandang wajah Thaikam Wang Cin yang tersenyum-senyum menyeringai itu. Kemudian, setelah akhirnya pasukan Sabutai bersatu padu dan berhasil pula mengusir pasukan Cia Keng Hong yang tidak berapa banyak jumlahnya, Sabutai cepat-cepat menggiring Kaisar sebagai tawanannya bersama Azisha yang tidak kelihatan takut lagi, dan kembali ke bentengnya di utara bersama Wang Cin dan para pengawalnya. Diam-diam Sabutai merasa kagum bukan main kepada delapan orang jenderal itu, dari juga merasa kagum melihat sikap Kaisar Ceng Tung yang demikian tenang dan agung, sedikitpun tidak merasa takut dan biarpun telah menjadi tawanan, namun memperlihatkan sikap agung dan penuh wibawa sehingga membuat diam-diam merasa tunduk!

   Sabutai adalah seorang yang menjunjung tinggi kegagahan dan amat membenci kecurangan dan pengkhianatan. Oleh karena itu, biarpun pada lahirnya dia mau dipersekutu oleh Wang Cin si pengkhianat, namun diam-diam di dalam hatinya dia sangat kagum kepada Kaisar muda itu dan amat benci kepada Wang Cin. Hanya karena dia ingin mempergunakan Wang Cin untuk usahanya menyerbu ke selatan, maka dia menahan diri dan tidak memperlihatkan kebenciannya itu. Akan tetapi dengan keras dia memerintahkan para pembantunya agar melayani Kaisar dengan baik dan tidak boleh seorangpun ada yang bersikap kasar atau mengganggu Kaisar muda ini dan selirnya. Bahkan Kaisar Ceng Tung dan selirnya ditempatkan di sebuah bangunan tersendiri, lengkap dengan taman dan diberi kebebasan, karena yang dijaga hanya sekeliling bangunan itu.

   Wang Cin berusaha membujuk Kaisar untuk membuat dan menandatangani surat kekuasaan dan pengangkatan Kaisar baru, tentu saja dengan nama Wang Cin sebagai penggantinya, akan tetapi mendengar usul ini, Kaisar Ceng Tung hanya menjawabnya dengan meludah ke muka thaikam itu! Kalau saja tidak dicegah oleh Sabutai, tentu Wang Cin sudah membunuh Kaisar. Diam-diam Sabutai tertawa di dalam hatinya, melihat betapa pertemuan antara Kaisar dan Wang Cin itu seperti pertemuan antara seekor burung hong dan seekor tikus! Dia maklum bahwa membujuk atau mengancam seorang yang demikian gagah perkasa dan berwibawa seperti Kaisar Ceng Tung tidak ada gunanya sama sekali, dan Kaisar itu jauh lebih baik dijadikan sandera.

   Sabutai memang cerdik bukan main. Dia tahu benar bahwa selama Kaisar itu menjadi tawanannya, bala tentara Beng-tiauw tidak nanti akan berani menyerangnya. Dan kalau dia memperlakukan Kaisar itu dengan baik, sebagai seorang tamu terhormat, hal ini saja sudah cukup merupakan jaminan bahwa kelak, andaikata cita-citanya menyerbu ke selatan gagal dan dia kalah, Pemerintah Beng tentu suka akan memaafkannya, mengingat bahwa dia telah bersikap baik kepada Kaisar. Maka dia melarang Wang Cin untuk bertemu sendiri dengan Kaisar, selalu di bawah pengawasannya. Bahkan tempat yang dijadikan tempat tawanan atau lebih tepat disebut gedung tamu itu bersambung dengan istananya sendiri sehingga dengan demikian leluasalah dia untuk keluar masuk gedung tamu itu.

   Beberapa bulan setelah Kaisar Ceng Tung menjadi tawanan, mulai tampaklah watak aseli dari Azisha. Memang wanita ini sejak diumpankan kepada Kaisar oleh Wang Cin, hanya melayani Kaisar itu sebagai pelaksanaan tugasnya belaka. Sedikitpun dia tidak cinta kepada Kaisar dan kalau toh ada cinta itu, yang dicintanya bukanlah pribadi Kaisar melainkan kedudukannya! Kini, Kaisar yang merupakan manusia terbesar di negaranya, bahkan dianggap sebagal "utusan Tuhan"

   Atau "putera Tuhan", telah kehilangan kedudukannya, kehilangan kebesarannya, bahkan telah menjadi seorang tawanan. Tentu saja Azisha merasa amat rendah kalau menjadi selir seorang tawanan!

   Mulailah dia bersikap keras dan berani menentang Kaisar, bahkan berani mulai menggunakan kata-kata kasar dan menghina. Melihat ini, Kaisar baru terbuka matanya, dan baru dia tahu bahwa wanita cantik jelita ini memiliki batin yang tidak secantik wajahnya, dan baru dialah mengerti bahwa Azisha merupakan "alat"

   Dari Wang Cin yang sekarang terbukti seorang pengkhianat besar itu. Maka diapun tidak memperdulikannya lagi dan setiap hari Kaisar Ceng Tung hanya tekun membaca kitab-kitab yang disediaken oleh Sabutai untuk bacaannya atau melakukan siulian (samadhi). Kaisar yang usianya masih muda, baru dua puluh tiga tahun itu kini sadar bahwa hubungannya yang amat mesra dengan Azisha selama ini hanyalah hubungan yang didasari oleh nafsu berahi saja dari fihaknya, dan dari fihak Azisha hanyalah didasari karena pelaksanaan tugas yang diberikan oleh Wang Cin.

   Dia merasa terpukul oleh kenyataan ini, maka dia merasa muak dan akhirnya tidak memperdulikan lagi kepada Azisha, bahkan tidak pernah mendekatinya, dan tidak pernah mengajaknya bicara sehingga ketika wanita itu tidak pernah memasuki kamarnya, diapun tidak perduli lagi. Perhatian Azisha mulai tertuju pada Sabutai, laki-laki tinggi besar dan gagah perkasa yang usianya sudah empat puluh tahun lebih itu. Dibandingkan dengan Kaisar Ceng Tung yang muda da halus budi bahasanya, lemah-lembut gerak-geriknya, tentu saja Sabutai jauh lebih jantan dan perkasa. Akan tetapi, karena sejak kecil sudah dididik sebagai perayu, maka agaknya wanita macam ini sudah sama sekali tidak mengenal cinta lagi dan kalau dia mulai mendekati Sabutai adalah karena dia tahu bahwa Sabutai merupakan orang pertama di situ,

   Bahkan orang yang mempunyai cita-cita untuk menyerbu ke selatan dan menjadi Kaisar dari seluruh negara! Selain itu, juga dia masih merasa sedarah dengan Sabutai, darah Mongol! Seperti telah dkeritakan, Sabutai mempunyai seorang isteri muda dan cantik, usianya baru delapan belas tahun, seorang berbangsa Khitan yang cantik jelita dan menjadi isterinya di luar kehendak wanita itu. Sabutai amat cinta kepada isterinya yang cantik itu, akan tetapi dia sering kali termenung dan merasa kecewa dan bersedih karena dia maklum bahwa isterinya tidak mencintanya. Padahal dia mengharapkan scorang keturunan dari isterinya yang tercinta itu dan untuk mengambil selir, Sabutai tidak sampai hati. Dia terlalu mencinta Khamila dan tidak ingin membagi cintanya dengan wanita lain.

   Betapapun juga, agaknya Azisha tidak akan berani secara lancang melakukan pendekatan kepada Sabutai karena dia adalah selir raja yang menjadi tawanan, kalau saja hal itu tidak dikehendaki dan diatur oleh Wang Cin. Pembesar kebiri ini mulai khawatir melihat sikap Sabutai yang dingin terhadap dirinya dan sungguhpun dia dan para pengawalnya mendapat perlakuan cukup baik, akan tetapi Sabutai agaknya seperti tidak terlalu mengacuhkannya, bahkan desakannya untuk segera menyerbu ke selatan selalu ditolak oleh Sabutai dengan alasan "belum waktunya"

   Dan "belum cukup kuat". Juga Sabutai menolak keras ketika Wang Cin mengusulkan agar Kaisar Ceng Tung yang menjadi tawanan itu dipaksa, kalau perlu disiksa, agar suka memberi surat kuasa pengangkatan Kaisar baru. Semua ini ditolak oleh Sabutai yang mengatakan bahwa dia tidak sudi mempergunakan cara-cara yang curang.

   "Saya adalah keturunan orang-orang gagah, kakek saya dahulu adalah Jenderal Sabutai yang terkenal dari Dinasti Goan, bagaimana mungkin saya melakukan tindakan yang begitu rendah dan curang? Saya bukan pengecut dan kalau sudah tiba waktunya, saya akan menyerbu ke Peking!"

   Sikap Sabutai ini amat mengkhawatirkan hati Wang Cin. Biarpun dia dianggap sebagai sekutu dan tamu, akan tetapi tidak ada bedanya dengan tawanan juga, seperti Kaisar yang telah dikhianatinya itu. Dia menjadi serba salah. Pulang kembali ke selatan dia tidak berani karena tentu pengkhianatannya itu akan membuat dia celaka, tinggal di utara diapun tidak dapat menguasai Sabutai! Mulailah dia mencari akal, dan orang kebiri ini memang cerdik sekali. Pandang matanya cukup tajam sehingga dia dapat menduga bahwa Sabutai yang hanya mempunyai seorang isteri itu tentu tidak behagia dengan isterinya yang cantik dan muda. Isterinya itu bersikap dingin dan tidak acuh kepada suaminya.

   Maka dia melihat kesempatan baik untuk mempergunakan kecantikan dan kepandaian Azisha yang sudah dilatih sejak kecil untuk menjadi seorang perayu pria! Maka, mulailah dia mengatur siasat dengan Azisha untuk menundukkan hati pemimpin orang Mongol yang keras hati ini dengan pengaruh kecantikan dan kepandaian merayu Azisha. Pada suatu malam, ketika Sabutai duduk seorang diri di dalam kamarnya, termenung mencari siasat untuk dapat menyerbu ke selatan karena kini dia telah dapat menyusun barisan yang besar dan amat kuat, muncullah Azisha yang tentu saja diperkenankan oleh para pengawal karena para pengawal ini sudah lebih dulu disuap oleh Wang Cin! Apalagi, mereka tahu bahwa Azisha adalah selir Kaisar yang tertawan, seorang wanita muda yang cantik jelita dan lemah, tentu saja tidak berbahaya dan mempunyai niat-niat yang mesra terhadap raja mereka! Maka, sambil menikmati hadiah suapan dari Wang Cin,

   Mereka membiarkan Azisha lewat dan bahkan saling pandang dengan senyum penuh arti karena tentu akan terjadi hal-hal mesra di dalam kamar pemimpin atau raja mereka. Bahkan di antara mereka ada yang berani mendekat ke kamar Sabutai dan memasang telinga untuk mendengarkan kemesraan itu! Beberapa orang pengawal ini saling pandang penuh arti ketika mereka mulai mendengar suara Azisha yang merdu, seolah-olah bertanya jawab dengan suara Sabutai yang nyaring dan keras. Mereka sudah mulai merasa tegang dan membayangkan hal-hal yang mengundang kegairahan hati mereka. Pembangkit nafsu berahi, seperti nafsu apapun juga, adalah pikiran sendiri. Kebencian dan rasa takut didatangkan oleh pikiran yang membayangkan hal-hal yang mengerikan dan tidak menyenangkan yang telah atau akan menimpa diri kita.

   Iri hati, keinginan, ambisi, gairah datang karena pikiran membayangkan hal-hal yang menyenangkan dan yang telah atau akan kita alami. Segala macam nafsu datang dari pikiran yang membayang-bayangkan hal-hal yang telah lalu dan yang akan datang sehingga kehidupan kita sepenuhnya dipermainkan dan dikuasai oleh kesibukan pikiran, membuat kita tidak mampu melihat keadaan sesungguhnya dan kenyataan dari saat sekarang ini. Oleh karena itu, seorang bijaksana akan selalu waspada terhadap pikirannya sendiri, karena pikiran yang sesungguhnya amat penting bagi fungsi hidup sehari-hari sebagai alat untuk mengingat dan mencatat, juga amatlah jahat kalau dipergunakan tidak pada tempatnya, yaitu dipergunakan untuk menguasai kehidupan seluruhnya dengan pembentukan si aku. Si aku adalah pikiran itu sendiri yang selalu mengejar kesenangan dan menyingkir dari yang tidak menyenangkan.

   Maka batin menjadi ajang perang dari kenyataan seperti apa adanya dan bayangan-bayangan pikiran yang selalu menginginkan hal-hal yang lain daripada kenyataan yang ada! Maka datanglah konflik batin yang tentu akan tercetus keluar menjadi konflik lahir. Kalau kita mau membuka mata melihat kenyataan konflik ini nampak di dalam kehidupan kita sehari-hari, dari konflik kecil antar manusia sampai konflik besar antar bangsa berupa perang! Karena kadang-kadang suara percakapan di dalam kamar itu lirih dan suara Azisha yang merayu-rayu itu terdengar kadang-kadang seperti rintihan halus, maka para pengawal itu yang tidak berani terlalu dekat tidak dapat menangkap jelas sehingga mereka menjadi makin penasaran. Akan tetapi tiba-tiba terdengar bentakan keras dari Sabutai disusul jerit seorang wanita. Ketika para pengawal cepat lari ke depan pintu kamar, pintu terbuka dari dalam dan nampak Sabutai dengan muka merah berkata,

   "Lempar mayat perempuan hina itu keluar!"

   Para pengawal terbelalak melihat wanita muda yang cantik jelita itu telah rebah di atas lantai dengan kepala pecah sehingga mukanya yang cantik itu kelihatan mengerikan karena penuh darah, matanya terbelalak dan kini muka itu sama sekali tidak menarik lagi, bahkan menakutkan. Baju luar wanita itu telah terlepas sehingga nampak lekuk lengkung dadanya yang penuh di balik baju dalam yang berwarna merah muda. Agaknya wanita muda itu tadi menggunakan rayuan dengan menanggalkan baju luarnya,

   Akan tetapi dia sama sekali tidak berhasil membangkitkan gairah di hati Sabutai, sebaliknya malah membangkitkan kemarahannya sehingga orang yang gagah perkasa ini dalam marahnya menampar kepala wanita itu sehingga pecah dan tewas seketika! Sungguh peristiwa yang amat menyedihkan. Azisha yang sejak kecil dididik sebagai seorang wanita perayu dan yang haus akan kemewahan dan kemuliaan, sama sekali tidak mengenal Sabutai dan menyangka bahwa setiap orang pria tentu akan runtuh oleh rayuan mautnya. Akan tetapi, Sabutai adalah seorang laki-laki jantan yang hanya memiliki satu saja cita-cita, yaitu membangun kembali Bangsa Mongol sebagai bangsa yang terbesar, merampas kembali tahta kerajaan deri Dinasti Beng dan membangun kembali Kerajaan Mongol yang sudah hancur berantakan.

   Sedikitpun dia tidak terpikat oleh wanita, apalagi karena satu-satunya wanita yang dicintanya adalah Khalima, isterinya yang masih muda akan tetapi yang tidak membalas cintanya. Maka, melihat rayuan Azisha, dia menjadi muak, apalagi mengingat bahwa Azisha adalah seorang wanita Mongol dan dia tahu betapa wanita bangsanya ini oleh Wang Cin telah diperalat untuk melemahkan Kaisar Ceng Tung yang amat dikaguminya karena Kaisar yang muda itu ternyata adalah seorang yang gagah perkasa dan tak mengenal takut pula, sungguhpun Kaisar yang muda itu agaknya lemah terhadap wanita cantik. Kemarahannya memuncak ketika dia mengusir Azisha, wanita ini malah menanggalkan baju luarnya untuk memamerkan lekuk lengkung tubuhnya, maka dalam kemarahannya dia menampar,

   Lupa bahwa tamparan tangannya terlalu kuat dan kepala wanita ini terlalu lunak sehinga tewaslah Azisha dengan kepala pecah. Tentu saja hati Wang Cin terkejut setengah mati ketika dia mendengar betapa Azisha telah dibunuh oleh Sabutai. Cepat dia mengumpulkan para pengawalnya karena hatinya merasa tidak enak sekali. Diam-diam dia berunding dengan para pengawalnya yang berjumlah belasan orang, di antaranya termasuk Hwa Hwa Cinjin, Hek I Siankouw, Go-bi Sin-kouw, Bouw Thaisu, Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok, Liok-te Sin-mo Gu Lo It dan Sin-ciang Siauw-bin-sian Hok Hosiang, orang-orang yang berkepandaian amat tinggi dan yang mempergunakan kesempatan itu untuk mencari kedudukan dengan membonceng pengaruh pembesar kebiri Wang Cin dan di samping itu juga untuk menyembunyikan diri sementara waktu karena mereka itu,

   Terutama sekali tiga orang di antara Lima Bayangan Dewa, merasa jerih juga atas pengejaran dan pembalasan dendam dari Cin-ling-pai. Di samping tujuh orang berilmu ini, masih ada lagi enam orang pengawal pribadi Wang Cin yang juga rata-rata memiliki kepandaian tinggi. Setelah mengadakan perundingan dengan tiga belas orang pengawal kepercayaannya, pada keesokan harinya Wang Cin lalu pergi menghadap Sabutai, diikuti oleh tiga belas orang pengawalnya itu. Tentu saja Sabutai bukan seorang bodoh dan dia sudah tahu terlebih dulu bahwa peristiwa kematian Azisha di dalam kamarnya itu tentu mengejutkan hati Wang Cin, karena dia tahu bahwa wanita muda itu adalah sekutu Wang Cin sehingga yang langsung tersinggung oleh kematian itu bukannya Kaisar Ceng Tung yang agaknya kini mulai terbuka matanya oleh kepalsuan-kepalsuan itu, melainkan thaikam itulah.

   Sebetulnya, menurut suara hatinya yang tidak suka kepada kepalsuan dan kecurangan Wang Cin, ingin dia membunuh saja pengkhianat itu, akan tetapi diapun maklum bahwa Wang Cin dikelilingi oleh orang-orang pandai yang amat lihai, dan juga ratusan orang sisa perajurit pengawal yang kini menakluk dan menjadi pasukan pengawal Wang Cin merupakan bantuan yang cukup kuat baginya. Inilah yang membuat dia menahan sabar dan tidak membunuh pengkhianat itu. Setelah dalam kemarahannya dia membunuh Azisha, Sabutai juga maklum bahwa kematian wanita palsu itu tentu akan menyusahkan hati Kaisar yang kini agaknya telah terbuka matanya dan mengenal macam apa adanya wanita yang selama ini mempermainkannya, akan tetapi tentu akan diterima dengan marah oleh Wang Cin. Maka diapun telah bersiap-siap.

   Ketika Wang Cin yang diikuti tiga belas orang pengawalnya itu datang mengunjungi Sabutai, mereka disambut oleh Sabutai yang sudah duduk di ruangan besar itu bersama seorang kakek dan seorang nenek tua renta yang bermata tajam seperti mata harimau. Kakek dan nenek itu duduk di kanan kirinya, si kakek bermuka putih seperti kapur, seolah-olah tidak mempunyai darah, muka mayat yang dipupuri kapur tebal. Sedangkan muka nenek itu hitam sekali, hitam seperti terbakar hangus. Wajah kakek dan nenek yang sama sekali berlawanan warnanya itu membuat mereka kelihatan amat menyeramkan, apalagi karena nenek bermuka hitam hangus itu berpakaian serba putih sedangkan kakek bermuka putih kapur itu mengenakan pakaian serba hitam!

   Tangan mereka memegang tongkat butut yang sukar dikenal terbuat dari bahan apa, hanya nampaknya sudah butut sekali. Di belakang Sabutai berjajar pasukan pengawal yang terdiri dari tiga puluh orang lebih, bersenjata lengkap dan dalam keadaan siap siaga! Melihat ini, Wang Cin tercengang dan jantungnya berdebar. Dia merasa bahwa Sabutai agaknya sengaja memperlihatkan sikap bermusuh dan memamerkan kekuatan, dan diapun tidak mengenal siapa adanya dua orang kakek dan nenek itu. Di lain fihak, Sabutai menerima kedatangan Wang Cin dan para pengawalnya dengan sikap dingin, akan tetapi dia mempersilakan mereka duduk berhadapan dengan dia terhalang meja panjang. Wang Cin duduk di antara para pengawalnya, dan Sabutai lalu memperkenalkan kakek dan nenek itu.

   

Petualang Asmara Eps 27 Petualang Asmara Eps 50 Petualang Asmara Eps 23

Cari Blog Ini