Petualang Asmara 27
Petualang Asmara Karya Kho Ping Hoo Bagian 27
"Ohhhh...!"
Sungguh Li Hwa tidak menyangka akan hal ini dan diam-diam dia pun girang karena dia tahu bahwa pemuda gundul itu benar-benar lihai, sungguh pun dia masih sangsi apakah mereka semua dapat melawan orang-orang Pulau Ular. Mereka keluar dari kamar dan menuju ke dek kapal
"Aku harus membantu mereka, dan kau tinggallah di sini, sayang."
"Tidak, aku akan ikut denganmu!"
"Jangan kau masih lemah."
"Hanya luka ringan dan sekarang sudab pulih begitu bertemu denganmu. Dan... ahh, lihat, mereka datang..."
Yuan menengok ke arah yang ditunjuk kekasihnya dan benar saja, tampak perahu besat milik pemerintah di tepi pantai dan banyak orang berloncatan dengen sigap ke darat lalu menyerbu ke pulau.
"Mereka itu tentulah anak buah Suhu!"
Li Hwa berseru girang. Mendengar ini Yuan tidak jadi mendarat, hanya berdiri memandang di samping Li Hwa yang menggandeng lengannya, agaknya dara ini khawatir kalau ditinggal pergi. Diam-diam dia melamun penuh kegelisahan hati. Dia mencinta Yuan dan Yuan mencintanya. Cinta yang mendalam. Dia lebih baik mati kalau tidak hidup bersama Yuan. Akan tetapi Yuan, pemuda asing. Bagaimana gurunya yang menjadi walinya akan dapat menyetujui perjodohan ini? Apa pun yang akan terjadi, dia tetap akan hidup bersama Yuan. Kalau perlu dia akan menentang gurunya.
Perjodohan merupakan jalan hidupnya, siapa pun tidak boleh mencampurinya, termasuk gurunya sendiri! Apakah yang terjadi di Pulau Ular setelah ditinggalkan Yuan dan Li Hwa? Ketika itu, Kun Liong sedang mati-matian menghadapi pengeroyokan dua orang datuk kaum sesat yang amat lihai itu. Hampir saja dia tertusuk pedang ular. Untung dia masih sempat mengelak, kemudian melanjutkan lagi elakannya dari sambaran senjata terompet, akan tetapi dari samping, jubah di tangan Toat-beng Hoat-su menyambar dan dia merasa seperti diseruduk gajah, tubuhnya terlempar dan bergulingan sampai sepuluh meter jauhnya! Baiknya, sin-kang di tubuhnya yang otomatis itu sudah menyelamatkannya sehingga dia tidak terluka, hanya kepalanya agak pening, tampak bintang-bintang kecil menari-nari.
Terlempar sejauh itu menguntungkan Kun Liong, karena dia sempat menyambar sebatang ranting kayu yang dekat dengannya, dan ketika dua orang lawannya menerjang datang, dia dapat menjaga diri dengan ranting itu. Cepat dia mainkan Siang-liong-pang-hoat dengan dua tongkat di tangan kanan kiri dan kedua orang kakek itu terkejut bukan main karena dalam gebrakan pertama itu, mata kanan Toat-beng Hoat-su hampir buta tertusuk ujung ranting, sedangkan jalan darah pundak kiri Ban-tok Coa-ong tertotok lumpuh sehingga terompetnya terlepas. Mereka kaget dan marah, Ban-tok Coa-ong sudah menyambar terompetnya lagi dan bersama kawannya dia sudah menerjang dengan dahsyat sekali sehingga kembali Kun Liong terdesak. Akan tetapi sekali ini, dengan kedua ranting di tangan,
Dia lebih leluasa melawan dan lebih kuat penjagaannya, karena ranting-ranting itu setiap kali menangkis dapat dia serongkan sebagai serangan balasan. Pada saat itu, terdengar bunyi tambur dan terompet dan menyerbulah pasukan pemerintah yang dipimpin sendiri oleh Panglima Besar The Hoo dan Pendekar Sakti Cia Keng Hong! Panglima Besar The Hoo sekali ini memimpin sendiri penyerbuan, bukan semata-mata untuk mendapatkan kembali bokor emas pusakanya, akan tetapi terutama sekali karena dia khawatir akan keselamatan murid tunggalnya yang juga seperti puterinya sendiri, Souw Li Hwa. Kedatangan pasukan pemerintah ini tentu saja membuat keadaan menjadi terbalik sama sekali. Tadinya pihak anak buah orang barat itu terdesak hebat dan banyak jatuh korban di antara mereka. Mereka tinggal sepuluh orang saja yang masih melawan terus.
Para pasukan pemerintah yang melihat orang-orang barat itu menganggap mereka kawan karena bukankah sekarang telah ada semacam "perdamaian"
Antara orang-orang bule ini dengan pemerintah , karena Kaisar telah memberi ijin mereka berdagang di pantai Pohai? Maka begitu mereka menyerbu, sepuluh orang itu girang sekali dan mundur untuk beristirahat, malah kembali ke pantai. Pihak anak buah Pulau Ular terdesak hebat dan banyak di antara mereka berjatuhan. Sementara itu, ketika Cia Keng Hong melihat Kun Liong dikeroyok dua oleh dua orang datuk, bersama Panglima The Hoo menonton sebentar. Kedua orang sakti ini kagum bukan main menyaksikan betapa pemuda gundul itu dengan senjata sepasang ranting mampu mempertahankan diri terhadap pengeroyokan dua orang datuk selihai itu. Mereka segera maju dan Keng Hong berseru kepada Kun Liong,
"Mundurlah kau dan mengasolah!"
Kun Liong menjadi girang bukan main melihat munculnya Cia Keng Hong yang sudah menghadapi Ban-tok Coa-ong dan dia baru teringat sekarang mengapa dia tidak melihat Owyang Bouw? Ke mana perginya putera Ban-tok Coa-ong ini? Pemuda itu sedang berada di kamar rahasia, sengaja bertugas menjaga bokor emas, karena dua orang datuk itu takut kalau-kalau musuh menggunakan siasat memancing harimau keluar dari guha, selagi mereka bertempur dapat merampas bokor. Pula, karena mereka sudah percaya penuh akan kepandaian sendiri, tidak perlu kiranya Ouwyang Bouw membantu mereka, lebih perlu menjaga keselamatan bokor emas!
"Supek, teecu hendak mengejar Legaspi, mencari bokor!"
"Hemmm, kalau begitu pergilah!"
Keng Hong berkata cepat. Setelah memandang kagum kepada kakek berpakaian panglima yang ternyata bukan main gagahnya itu, Kun Liong dapat menduga tentu inilah orangnya manusia sakti The Hoo itu! Dia lalu pergi dan meloncat ke arah ke mana perginya Legaspi dan Hendrik tadi. Ke mana perginya Legaspi Selado dan puteranya? Legaspi cerdik sekali. Dia pun tidak melihat Ouwyang Bouw, dan dia menduga bahwa tentu putera Raja Ular itu yang bertugas menjaga pusaka. Maka dia menangkap seorang anak buah Pulau Ular, mencekiknya dan mengancam,
"Hayo katakan di mana adanya Ouwyang-kongcu!"
Dia tidak menanyakan bokor emas karena menduga bahwa anak buah di situ kiranya tidak ada yang diberi tahu dan memang dugaannya itu tepat.
Karena takut, orang itu lalu memberi tahu di mana kamar pusaka, karena tadi dia melihat putera majikannya itu memasuki kamar pusaka yang berada di tempat rahasia. Dinding itu tidak tampak ada pintunya, akan tetapi ketika orang itu memutar sebuah patung singa di depan, tiba-tiba saja dinding terbuka dan terdapat sebuah pintu! Legaspi menampar pecah kepala orang itu, kemudian bersama Hendrik dia memasuki pintu rahasia! Ketika Legaspi yang lebih cepat larinya itu melewati sebuah gang, Hendrik melihat berkelebatnya bayangan Ouwyang Bouw. Memang Ouwyang Bouw tentu saja sudah tahu bahwa pintu depan terbuka. Ketika dia mengintai dan melihat Legaspi Selado yang sudah diketahuinya, dia terkejut dan tahu bahwa dia tidak menang melawan kakek botak itu. Maka sambil mengempit bokor dia melarikan diri, dan terlihat oleh Hendrik.
"Heee... berhenti...!"
Hendrik mengejar dan mencabut pistolnya.
Melihat ada lawan mengejarnya, Ouwyang Bouw menengok dan dia tertawa mengejek ketika melihat bahwa yang mengejarnya hanyalah seorang pemuda asing dengan senjata api di tangan. Dia maklum akan kelihaian senjata itu dan ketepatan pelurunya, lebih bahaya lagi kalau dia membelakangi lawan. Maka cepat dia membalik, tangannya sudah menggenggam jarum-jarum mautnya. Melihat orang yang membawa bokor emas itu membalik, Hendrik yang juga tahu bahwa orang-orang di Pulau Ular tentu lihai sekali, cepat mengangkat lengan, membidik dan menarik pelatuk pistolnya. Semua gerakan ini dilakukan cepat sekali karena dia termasuk seorang penembak ulung di negaranya. Akan tetapi terlalu lambat bagi pandangan Ouwyang Bouw yang telah bergerak lebih cepat lagi begitu moncong pistol diarahkan kepadanya.
Dia miringkan tubuh dan gerakan ini hanya membutuhkan waktu seperempat detik saja, sedangkan jalannya peluru yang ditembakkan untuk mencapai sasarannya paling cepat setengah detik. Peluru lewat tanpa mengenai sasaran dan sebelum Hendrik sempai menembak lagi, Ouwyang Bouw sudah meloncat ke atas dan menggerakkan tangannya. Melihat sinar merah menyambar, Hendrik maklum bahwa dia diserang senjata gelap, cepat dia mengelak, namun dia tidak mengira akan kelicikan lawan. Hanya tiga perempat saja dari jarum-jarum yang digenggam itu menyerang dan semua ini dapat dielakkan oleh Hendrik, akan tetapi sisa jarum menyusul sedetik kemudian dan sekali ini, biarpun Hendrik masih mencoba mengelak, dia kalah cepat dan sambil berteriak keras Hendrik roboh dengan tiga jarum merah memasuki dadanya!
"Hendrik...!"
Legaspi berteriak. Kakek botak ini sudah keluar dari rumah itu dan mengejar. Terlambat dia melihat puteranya menjadi korban lawan dan dia hanya dapat memanggil nama puteranya.
Akan tetapi melihat seorang pemuda berlari pergi dengan cepatnya sambil memondong sebuah bokor emas, kakek ini seketika melupakan puteranya dan terus mengejar. Owyang Bouw tidak berani melawan Kakek Botak itu. Dia sudah mendengar dari para datuk kaum sesat betapa lihainya kakek asing bule ini, maka dia tidak mau membahayakan dirinya sendiri. Dia mengerahkan tenaga gin-kangnya, dan berlari lebih cepat lagi masuk keluar hutan dan naik turun gunung di tengah pulau itu. Namun kakek itu tetap dapat mengejarnya makin lama makin dekat sehingga Ouwyang Bouw menjadi panik sekali. Sebentar lagi, dia tentu akan tersusul. Dia meloncati jurang, namun pengejarnya dapat meloncatinya lebih cepat lagi. Akhirnya dia mendengar suara kakek itu dekat di belakangnya.
"Serahkan bokor itu kepadaku, ke mana pun kau lari tentu akan terdapat olehku!"
Mendengar suara ini tanpa mendengar jejak kakinya, maklum pula Ouwyang Bouw betapa tinggi ilmu gin-kang pengejarnya. Ia makin panik dan terjadilah perang di dalam pikirannya. Bokor atau nyawa? Dia memilih nyawa dan tiba-tiba dia melontarkan bokor emas itu sekuatnya ke dalam jurang! Perhitungannya tepat sekali. Melihat bokor emas itu dibuang, tentu saja Legaspi cepat mengejar benda itu dan tidek lagi mempedulikan Ouwyang Bouw. Baginya yang terpenting adalah bokor itu dan dia tidak butuh Ouwyang Bouw. Andaikata tidak ada bokor itu, tentu saja dia akan bunuh pemuda itu karena telah merobohkan puteranya. Mendapatkan bokor itu di tangan, Legaspi Selado tertawa bergelak, kemudian berlari kembali. Kelika melihat tubuh puteranya terkapar, dia berlutut dan membalikkan tubuh itu telentang. Sebentar saja memeriksa tahulah dia bahwa jarum-jarum beracun yang amat jahat telah memasuki dada puteranya dan tidak dapat lagi dia menolong.
"Ayah... tolonglah saya..."
Legaspi Selado bangkit berdiri.
"Percuma, kau tentu akan mati tak lama lagi. Dan lebih baik begini, kau tidak akan bermain gila dengan Nina."
Setelah berkata demikian Legaspi lari dari situ, membawa bokor menuju ke pantai. Dia sudah mendapatkan bokor, dia tidak mempedulikan pertempuran yang masih berlangsung, apalagi menolong Souw Li Hwa seperti yang direncanakan. Bokor sudah didapat, lebih lekas pergi meninggalkan tempat itu lebih baik!
Apalagi, dia melihat dari jauh betapa dua orang kakek datuk kaum sesat itu sedang bertanding dan terdesak oleh dua orang yang lihai bukan main. Yang seorang dia tidak mengenalnya, akan tetapi yang melawan Toat-beng Hoat-su yang dia tahu amat sakti, adalah seorang yang membuat jantungnya berdebar penuh rasa ngeri, karena dia mengenal orang itu sebagai Panglima Besar The Hoo yang namanya tidak saja menggemparkan seluruh Tiongkok, akan tetapi juga terkenal jauh di negara-negara di luar Tiongkok! Maka dia makin cepat lari dari situ, tidak tahu bahwa dari jauh ada bayangan orang berkelebat mengejarnya. Bayangan ini bukan lain adalah Kun Liong. Dari jauh dia tidak melihat apakah kakek itu sudah menemukan bokor, akan tetapi karena dia tahu bahwa Legaspi Selado dan puteranya tadi meninggalkan gelanggang pertandingan tentu untuk mencari bokor, dia mengejar terus.
Di jalan tadi dia melihat Hendrik sudah mati dengan tanda-tanda keracunan jarum merah milik Ouwyang Bouw. Akan tetapi tidak tampak Ouwyang Bouw atau mayatnya di situ. Apakah kakek di depan itu masih sedang mengejar Ouwyang Bouw? Dia tidak tahu maka dia mempercepat larinya untuk menyusul kakek itu. Akan tetapi, kakek itu benar-benar lihai dan larinya cepat sekali biarpun dia sudah tua dan tubuhnya gendut. Legaspi sudah meloncat ke sebuah perahu yang disediakan di situ, terus mendayung kuat-kuat ke arah Kapal Kuda Terbang yang berjajar dengan Perahu Ikan Duyung di tengah laut, dalam jarak yang tidak terlalu jauh. Kun Liong yang datang terlambat melihat kakek yang dikejarnya itu sudah sampai di kapal dan meloncat ke atas kapal itu. Maka dia pun cepat menggunakan sebuah di antara perahu-perahu itu untuk menuju ke kapal Kuda Terbang.
Akan tetapi sengaja dia mengambil jalan memutar. Sementara itu, Yuan de Gama yang melihat Legaspi datang sendiri berperahu, maklum bahwa penyerbuan itu gagal. Maka dia cepat-cepat memerintah Perahu Ikan Duyung yang ditumpangi ayah dan adiknya untuk memasang layar mengangkat sauh (jangkar) dan berlayar lebih dulu ke utara. Adapun dia dengan Li Hwa yang memiliki kepandaian tinggi, menanti di Kapal Kuda Terbang untuk memberi kesempatan kepada kawan-kawan yang lain untuk kembali ke kapal. Dan benar saja, dia melihat dari pantai ada tujuh orang temannya yang tergesa-gesa naik perahu, menuju ke kapalnya. Akan tetapi Legaspi Selado sudah meloncat lebih dahulu ke kapal dan tampaklah oleh Yuan de Gama dan Li Hwa betapa bokor emas itu telah dibawa oleh kakek ini, disembunyikan di balik jubahnya!
"Guruku telah berhasil merampas bokor!"
Kata Yuan gembira karena memang menurut rencana bokor itu harus dirampas untuk dikembalikan kepada The Hoo agar perhubungan antara para pedagang dan kerajaan menjadi makin erat yang hasilnya tentu saja menguntungkan pihak pedagang asing. Souw Li Hwa menghadapi Legaspi dan berkata,
"Kembalikan bokor emas itu kepadaku."
Akan tetapi Legaspi memandang dengan mata terbelalak dan melotot marah.
"Kau! Bukankah kau wanita yang memimpin pasukan pemerintah menghancurkan pasukan sahabatku? Kau harus mati!"
Sambil berkata demikian, Legaspi sudah mengeluarkan cambuknya yang lihai, mengayun cambuk di atas kepala sampai terdengar ledakan-ledakan, kemudian cambuk menyambar turun ke arah tubuh Li Hwa! Biarpun Li Hwa masih lemah, namun dengan ringannya dia dapat menghindarkan diri dengan meloncat ke kiri. Dia telah kehilangan pedangnya ketika ditawan, maka kini dia siap menghadapi lawan tangguh itu dengan tangan kosong.
"Tuan Legaspi Selado, jangan serang dia!"
Yuan de Gama membentak.
"Dia adalah murid Panglima The Hoo! Kita sudah berjanji akan mengembalikan bokor..."
Cambuk itu menyambar, pemuda itu terpelanting dan terbanting di atas dek.
"Ha-ha, kau hendak melawan gurumu, ya?"
Legaspi kini kembali menghadapi Li Hwa. Cambuknya bertubi-tubi menyerang dan biarpun Li Hwa dapat mengelak ke sana-sini, namun dara ini tidak dapat balas menyerang. Tubuhnya masih lelah dan dia tidak bersenjata, sedangkan ilmu kepandaian Legaspi bermain cambuk amat dahsyat. Ujung cambuk sudah mematuk dua kali di pundak dan pinggulnya, membuat dua bagian tubuh ini berdarah dan pakaiannya robek.
"Tuan Legaspi, berhenti menyerang. Kalau tidak kutembak!"
Mendengar ini, Legaspi menghentikan serangannya dan menoleh ke arah Yuan de Gama. Dia maklum akan kemahiran Yuan menembak, maka dia ragu-ragu.
"Saya adalah kapten kapal ini, biarpun Anda guru saya, harus tunduk kepada perintah kapten!"
Pada saat itu, tujuh orang asing yang melarikan diri dari pulau telah tiba dan mendarat di atas dek kapal. Yuan de Gama menoleh kepada mereka dan terkejut melihat mereka itu adalah kaki tangan Legaspi. Gerakannya menoleh yang sebentar itu cukup bagi Legaspi. Cambuknya menyambar dan Yuan de Gama berteriak kaget ketika pistolnya direnggut ujung cambuk dari tangannya!
"Ha-ha-ha! Tangkap mereka!"
Legaspi Selado berteriak dan kembali dia menyerang dengan cambuknya. Yuan dan Li Hwa mencoba untuk melawan, akan tetapi ketika dua orang di antara tujuh kaki tangan Legaspi mengeluarkan pistol dan mengancam, terpaksa mereka menghentikan perlawanan. Mereka tahu bahwa melawan terus berarti mati, maka sementara ini lebih baik menyerah.
"Ikat mereka di tihang kapal. Kita jadikan mereka sebagai sandera!"
Kata Legaspi.
"Angkat sauh dan kembangkan layar, cepat kita pergi dari sini!"
Di dalam kesibukan itu, mereka semua tidak melihat Kun Liong yang menyelinap dan tahu-tahu pemuda ini sudah berada di belakang tihang di mana Li Hwa dan Yuan dibelenggu. Mudah saja Kun Liong mematahkan belenggu kaki tangan mereka dan membebaskan mereka dari totokan yang tadi dilakukan Legaspi agar dua orang tawanannya itu tidak mungkin lolos.
"Terima kasih, Kun Liong..."
"Ssst, kalian lawan tujuh orang itu dan aku menghadapi Legaspi!"
Kun Liong cepat meloncat ke luar dan gegerlah tujuh orang itu dan Legaspi ketika melihat pemuda gundul ini muncul seperti setan saja. Dua orang awak kapal mencabut pistol, hanya mereka yang masih bersenjata, lainnya sudah kehabisan senjata ketika melarikan diri dan meninggalkan banyak mayat kawan mereka, tapi dari belakang mereka meloncat keluar lima orang pelayan pribumi yang langsung menyergap mereka.
Terjadi perkelahian cepat dan lima orang itu tewas seketika oleh cambuk Legaspi, akan tetapi Kun Liong yang bergerak seperti kilat sudah dapat pula membuat dua buah pistol terlempar ke laut, Li Hwa dan Yuan muncul dan mengamuk, menghadapi tujuh orang anak buah Legaspi Selado, dan kakek botak itu sendiri, dengan bokor emas dirangkul oleh lengan kiri dan cambuknya dipegang tangan kanan, terpaksa menghadapi serbuan Kun Liong! Adapun Li Hwa mengamuk berdampingan dan tujuh orang itu tentu saja bukan lawan mereka. Apalagi Li Hwa yang tegang hatinya melihat bokor emas berada di tangan kakek botak yang lihai itu, dia menggerakkan semua tenaga yang masih ada dan berkat ilmu silatnya yang tinggi, sebentar saja dia dapat merobohkan mereka, dibantu Yuan, seorang demi seorang.
Sementara itu, pertempuran antara Legaspi dan Kun Liong juga berlangsung seru. Cambuk itu meledak-ledak dan Kun Liong yang bertangan kosong menggunakan ilmu gin-kangnya, selalu dapat mengelak dan balas menyerang dengan pukulan jauh menggunakan sin-kang. Tentu saja karena pemuda ini merasa pantang untuk membunuh orang, menghadapi Legaspi sekalipun dia tidak pernah bermaksud membunuh, hanya untuk merampas bokor. Hal inilah yang membuat dia belum juga dapat merobohkan lawan. Andaikata dia tidak berpantang membunuh, dengan ilmu silatnya yang amat tinggi, dengan sin-kangnya yang hebat dan Thi-khi-i-beng yang mujijat, dia tentu sudah berhasil membunuh lawan. Legaspi menjadi bingung melihat anak buahnya terdesak, bahkan tinggal tiga orang lagi yang melawan mati-matian.
Dia sendiri agaknya belum tentu dapat menangkan pemuda gundul yang lihai seperti setan ini, biarpun hanya bertangan kosong. Tiba-tiba ia berseru keras, tangan kirinya melempar sebuah benda ke tengah kapal, dekat tihang induk. Terjadi ledakan dahsyat dan ternyata benda itu adalah alat peledak. Begitu meledak, timbul kebakaran di tempat itu, karena angin bersilir dan api menjilat layar, sebentar saja kapal itu sudah berkobar-kobar. Melihat ini, Yuan dan Li Hwa cepat merobohkan tiga orang sisa lawan, kemudian keduanya mencoba memadamkan api dengan siraman air. Namun, air yang hanya sedikit itu mana mampu membunuh api yang sudah berkobar begitu dahsyat? Kun Liong penasaran sekali. Ketika cambuk menyambar, dia sengaja menubruk dan melindungi tubuh dengan sin-kangnya.
"Tarrr!"
Cambuk menghantamnya dan membelit tubuhnya, akan tetapi Kun LiOng mencengkeram ke arah tangan kanan yang memegang cambuk.
"Augghh!"
Legaspi berteriak dan terpaksa melepaskan gagang cambuk dan menarik tangannya. Pada saat itu juga, Legaspi memukulkan telapak tangan kanannya yang besar ke arah dada Kun Liong. Kembali Kun Liong menerima pukulan tangan terbuka ini dengan dadanya menggunakan Thi-khi-i-beng dan... telapak tangan itu melekat pada dadanya,
Terus saja sin-kang dari tubuh Legaspi mengalir seperti air membanjir ke tubuh Kun Liong! Mereka berada dekat ril dek, di pinggir kapal. Dapat dibayangkan betapa kaget hati Legaspi ketika merasa babwa tangannya disedot, makin lama makin banyak membuat tubuhnya menggigil. Kun Liong sudah mengulurkan tangan merampas bokor dan pada saat itu juga dia membebaskan lawan dari Thi-khi-i-beng dan mendorongnya ke belakang. Dengan jeritan mengerikan tubuh gendut itu terlempar ke balakang, melalui ril dan jatuh tercebur ke laut yang kini agak besar ombaknya. Kun Liong menjenguk ke bawah dan menarik napas panjang. Hatinya merasa menyesal sekali, bulu tengkuknya berdiri. Dia tidak sengaja membunuh orang, akan tetapi orang itu betapapun juga mati tenggelam di laut karena bertanding dengan dia!
"Gara-gara benda tertutuk ini!"
Dia memandang bokor yang telah banyak mendatangkan korban.
"Kun Liong, syukur kau telah dapat merampas bokor dan membunuhnya!"
Kata Li Hwa.
"Aku tidak membunuhnya dan..."
"Hem, mengapa mengobrol saja?"
Teriak Yuan yang membuka baju, tampak tubuhnya yang kekar itu penuh keringat.
"Lebih baik lekas bantu memadamkan api kalau tidak ingin dibakar hidup-hidup!"
Kun Liong dan Li Hwa segera membantu dengan ember, menguras persediaan air, bahkan menimba dari pinggir kapal untuk menanggulangi kebakaran yang hebat itu. Namun usaha mereka itu sia-sia, sedikit api padam, di lain bagian sudah mendapatkan bahan bakar yang lebih banyak. Kita tinggalkan dulu tiga orang muda yang sibuk berusaha memadamkan api itu dan kembali ke Pulau Ular. Pertandingan antara empat orang tokoh sakti masih berlangsung dengan hebatnya. Namun kini sudah tampak perubahan besar. Toat-beng Hoat-su sudah terengah-engah, keringat memenuhi mukanya dan dari kepalanya tampak uap putih mengepul, sedangkan lawannya, Panglima The Hoo masih tenang saja dan setiap gerakannya mantap. Demikian pula dengan Ban-tok Coa-ong yang menghadapi Keng Hong. Pendekar sakti ini dapat mempermainkan lawannya sekarang setelah lawannya menjadi lelah dan lemah.
"Hayo katakan di mana bokor emas itu kau sembunyikan!"
Kata The Hoo sambil mendesak lawan.
"Dan menyerahlah, mungkin engkau tidak akan dihukum mati."
Namun Toat-beng Hoat-su tidak menjawab melainkan terus melawan mati-matian, setiap gerakan kedua tangannya yang terkepal mantap dan mendatangkan angin dahsyat. Namun lawannya, Panglima The Hoo adalah scorang yang selain memiliki ilmu kepandaian amat tinggi dan pengalaman yang amat luas, juga terkenal sebagai seorang yang memiliki sin-kang yang mujijat. Dari kedua tangan kakek panglima sakti ini tampak uap putih mengepul dan setiap kali mereka beradu lengan, tentu tubuh Toat-beng Hoat-su terdorong mundur dan membuatnya terhuyung-huyung. Hal ini membuat Toat-beng Hoat-su marah sekali. Sambil berteriak keras dia mengeluarkan jubahnya dan mengamuk dengan senjata istimewa ini. Namun, The Hoo sudah pula mengeluarkan pedangnya, dan tampaklah sinar kilat berkelebatan menyilaukan mata ketika pedang itu dimainkan.
"Brett-brett-brett...!"
Betapa kagetnya hati Toat-beng Hoat-su melihat bahwa jubahnya, senjata yang amat diandalkannya, kini cabik-cabik oleh pedang di tangan lawannya. Di lain pihak, pertandingan antara Ban-tok Coa-ong dan Cia Keng Hong juga berlangsung tidak kalah hebat dan serunya.
"Ha-ha-ha, jadi engkau adalah supek dari pemuda gundul itu? Ha-ha-ha kalau begitu biarlah aku mengirim engkau ke neraka menyusul ayah bundanya!"
Ban-tok Coa-ong tertawa mengejek ketika mendengar tadi Kun Liong menyebut lawannya ini "supek".
Dapat dibayangkan betapa kaget rasa hati Keng Hong mendengar kata-kata itu. Ucapan Ban-tok Coa-ong itu berarti bahwa Gui Yan Cu dan Yap Cong San telah tewas! Dia merasa kaget, duka, dan marah sekali. Hal ini membuat gerakannya menjadi kacau dan tenaganya berkurang maka Ban-tok Coa-ong dapat mendesaknya dengan hebat. Datuk kaum sesat ini memang lihai sekali, maka begitu Cia Keng Hong mengalami pukulan batin yang membuat gerakannya mengendur. Kakek Raja Ular itu mendesaknya dengan kedua senjatanya yang aneh. Cia Keng Hong seperti nanar dan pening kepalanya mendengar berita mengejutkan itu dan selama belasan jurus pendekar sakti ini hanya dapat menangkis dan mundur?mundur.
"Mampuslah! Ha-ha!"
Ban-tok Coa-ong sudah menyerang dengan pedang ularnya, menusuk ke arah leher dengan kuatnya, sedangkan terompetnya yang merupakan senjata ampuh itu menghantam arah dada lawan. Menghadapi serangan yang amat berbahaya ini, barulah Cia Keng Hong sadar akan ancaman maut, maka dia cepat menggoyang kepalanya, menggerakkan pedang dan mengerahkan sin-kang untuk menempel pedang lawan, kemudian menerima hantaman di dada itu dengan cengkeraman tangan sehingga terompet itu remuk dan tangan Keng Hong terus mencengkeram tangan kiri lawan schingga jari-jari tangan mereka saling mencengkeram!
"Lepaskan pedang!"
Keng Hong membentak dan sebuah kekuatan dahsyat membuat kedua pedang yang saling menempel itu terlepas karena tangan kanan Ban-tok Coa-ong tergetar hebat. Sepasang pedang itu terlempar kesamping dan kedua tangan kanan mereka pun saling cengkeram.
Kini kedua tangan mereka dengan jari-jari saling mencengkeram mengadu telapak tangan dan keduanya mengerahkan tenaga. Ban-tok Coa-ong mengandalkan sin-kangnya yang mengandung hawa beracun mengerahkan seluruh tenaga untuk mengirim racun ke tubuh lawan melalui telapak tangannya, akan tetapi dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika merasa betapa sin-kangnya menerobos ke luar disedot oleh kedua tangan pendekar itu. Mukanya menjadi pucat sekali, dan teringatlah ia kini akan ilmu mujijat Thi-khi-i-beng yang kabarnya di dunia in hanya dimiliki oleh Pendekar Cia Keng Hong seorang. Dia merasa makin lemah, tak kuat lagi menahan sin-kangnya yang membanjir keluar membuat tubuhnya kehilangan tenaga sehingga tak terasa lagi dia jatuh berlutut, keringatnya menetes-netes.
"Le... lepaskan aku...!"
Katanya di luar kesadarannya, terdorong oleh rasa ngeri ketika merasa betapa sin-kangnya terus membanjir keluar.
"Siapa yang membunuh Yap Cong San dan Gui Yan Cu?"
Terdengar suara pendekar itu bertanya, penuh wibawa menyembunyikan kekagetan, kedukaan, dan kemarahannya mendengar berita itu.
"Para datuk kaum sesat... kecuali aku... eh, Toat-beng Hoat-su, Siang-tok Mo-li, Kwi-eng Niocu dan Hek-bin Thian-sin... Harap kaulepaskan aku...!"
"Di mana dibunuhnya mereka?"
"Di... di Tai-goan... auggghhhh!"
Tubuh Ban-tok Coa-ong roboh dan tewas seketika ketika tangan kiri Keng Hong menampar kepalanya.
"Desss... aduhhh...!"
Tubuh Toat-beng Hoat-su juga terpelanting dan tewas seketika. Dedanya remuk terkena pukulan mujijat Panglima The Hoo yang disebut Jit-goat-sin-ciang-hwat.
"Sayang mereka tidak mengaku di mana adanya bokor... heiii, mengapa wajahmu murung, Cia-sicu?"
Panglima itu bertanya heran.
"Hamba... baru saja mendengar dari dia..."
Keng Hong menunjuk ke arah mayat Ban-tok Coa-ong "...bahwa sahabat hamba Yap Cong San dan isterinya, sumoi hamba telah dibunuh oleh kelima datuk kaum sesat di Tai-goan."
Tak terasa dua titik air mata turun dari mata pendekar itu dan cepat dihapusnya.
"Hemmm, orang-orang jahat itu hanya mendatangkan bencana saja."
Dia menoleh dan melihat bahwa pertempuran sudah selesai, tidak tampak pihak musuh, hanya pasukannya yang siap menanti perintah dan ada yang mempersiapkan kapalnya. Ketika menoleh inilah dia melihat api berkobar di laut.
"Ada kebakaran di sana...!"
Teriaknya. Keng Hong menoleh dan keduanya lari ke pantai di mana semua pasukan juga sedang memandang kebakaran. Dari jauh, para pasukan tidak dapat melihat apa yang terjadi di Kapal Kuda Terbang yang terbakar itu, akan tetapi begitu melihat mata Keng Hong dan Panglima The Hoo dapat melihat dua orang sedang bertanding hebat, yang seorang adalah kakek berjubah aneh yang mudah saja diduga tentulah Legaspi, sedangkan lawannya adalah seorang pemuda gundul.
"Kun Liong menghadapi Legaspi. Tentu bokor sudah di tangan Legaspi."
Kata Keng Hong. Akan tetapi kapal itu terbakar.
"Dan ehhh... bukankah itu Li Hwa di sana, membantu seorang pemuda asing tanpa baju sedang mencoba memadamkan api?"
Keng Hong juga melihat ini.
"Kalau begitu Nona Souw sudah tertolong!"
"Kapal itu terbakar hebat, kita harus mencoba menolong mereka!"
Panglima The Hoo, diikuti oleh Keng Hong lalu lari ke kapal dan panglima itu memerintahkan supaya kapal cepat diluncurkan menuju ke Kapal Kuda Terbang yang terbakar.
Akan tetapi ketika mereka sudah tiba agak dekat, mereka tidak mungkin dapat terlalu dekat, karena hal itu berbahaya sekali. Potongan-potongan kayu yang masih bernyala mulai beterbangan dan kalau mengenai kapal atau layarnya, bisa berbahaya. Di samping lain, juga Perahu Ikan Duyung mendekati kapal yang terbakar namun mereka tidak berdaya melakukan sesuatu. Panglima The Hoo dan Keng Hong melihat betapa Kun Liong dapat merobohkan Legaspi yang terjungkal ke laut, kemudian melihat Kun Liong membantu memadamkan api. Namun api makin membesar dan sudah makan setengah kapal, membuat kapal miring dan sebentar lagi tentu tenggelam! Panglima The Hoo dan Keng Hong memandang penuh kekhawatiran.
"Mereka harus segera meloncat ke luar dan berenang, nanti kita jemput dengan perahu. Kalau sampai kapal itu meledak, celaka...!"
Keng Hong mengerahkan khi-kangnya dan terdengar dia berteriak, nyaring bukan main.
"Yap Kun Liong, kalian semua tinggalkanlah kapal...!"
Panglima The Hoo juga berteriak, teriakannya bahkan lebih nyaring lagi.
"Li Hwa, aku gurumu memerintahkan kau lekas tinggalkan kapal!"
Petualang Asmara Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tiga orang muda itu mendengar seruan-seruan ini, dan mereka baru melihat bahwa kapal perang Panglima The Hoo berada tidak begitu jauh dari situ, demikian pula Perahu Ikan Duyung.
"Yuan, Li Hwa, mari kita tinggalkan saja kapal terbakar ini!"
"Tidak, Kun Liong. Aku adalah kapten kapal ini, dan seorang kapten tidak akan meninggalkan kapalnya. Lebih mati bersama tenggelamnya kapal daripada meninggalkan kapal yang akan tenggelam!"
Jawaban ini penuh semangat, dada yang bidang itu dibusungkan, penuh peluh dan hangus, tampak gagah bukan main.
"Li Hwa, hayo kita pergi dari sini. Gurumu memanggil."
Li Hwa tampak bingung, sebentar menoleh ke arah kapal perang gurunya, kemudian menoleh kepada Yuan yang tersenyum kepadanya dan berkata,
"Pergilah kekasihku, engkau harus diselamatkan."
"Tidak...!"
Li Hwa terisak lalu lari merangkul Yuan.
"Kalau kau tidak pergi, aku tidak. Aku harus berada di sampingmu selalu, hidup atau mati!"
"Li Hwa..."
"Yuan..."
Mereka berpelukan dan Kun Liong memandang dengan mata terbelalak. Sudah diduganya bahwa kedua orang muda ini saling mencinta, akan tetapi tidak diduganya akan menyaksikan cinta sehebat dan sebesar itu, cinta sampai mati!
"Apakah kau telah gila, Yuan?"
"Bukan aku, melainkan engkau yang gila kalau hendak memaksa seorang kapten kapal meninggalkan kapalnya yang sedang tenggelam. Apa artinya hidup tanpa kehormatan? Nenek moyangku terkenal memegang teguh kehormatan, lebih berharga daripada nyawa, dan aku tidak sudi mengecewakan mereka."
"Yuan... kau hebat...!"
Li Hwa mendekap makin erat, penuh bangga dan cinta kepada kekasihnya.
"Li Hwa, kau... ditunggu gurumu... dan kau seorang panglima wanita negaramu... Apakah kau juga gila, ketularan Yuan?"
Li Hwa tidak melepaskan dekapannya, hanya menoleh dan tersenyum kepada Kun Liong. Senyum mulutnya tapi air matanya bertetesan, pemandangan yang tak mungkin akan
(Lanjut ke Jilid 27)
Petualang Asmara (Seri ke 02 - Serial Pedang Kayu Harum)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 27
dapat dilupakan oleh Kun Liong selama hidupnya.
"Kun Liong, engkaulah yang gila seperti dikatakan kekasihku, kalau kau hendak memaksa seorang dara meninggalkan kekasihnya yang terancam kematian. Aku harus tinggal bersama dia, kaupergilah, bawalah bokor itu dan serahkan kepada Suhu, berikut hormatku yang terakhir kepada beliau..."
"Yuan... Li Hwa..."
Kapal makin hebat kebakarannya dan kapal itu sudah miring sekali, sebentar lagi tenggelam.
"Kun Liong...!"
Terdengar lagi suara Keng Hong memanggil.
"Li Hwa...!"
Tersusul suara Panglima The Hoo. Kun Liong mengangkat pundak, kehabisan akal. Tentu saja, dengan kepandaiannya, dia mampu mengusai dua orang itu dan memaksanya meloncat ke air, akan tetapi dia tidak tega melakukannya karena kehidupan Yuan pasti akan sengsara dan karenanya Li Hwa juga akan sengsara. Pula, seandainya mereka berdua tertolong, mungkinkah Li Hwa menjadi jodoh Yuan? Pikiran ini membuat dia melangkah maju, menjabat tangan Yuan dan Li Hwa, hampir tak dapat berkata-kata karena haru, matanya basah dan air matanya bertitik.
"Selamat tinggal, Li Hwa dan Yuan... semoga kalian... semoga... kalian... bahagia...!"
Kun Liong membalikkan tubuh lalu meloncat ke air membawa bokor emas. Keharuan dan pertandingan hebat melawan Legaspi tadi membuat dia lemah, namun dia mengerahkan tenaganya untuk berenang. Tak lama kemudian tubuhnya ditarik ke atas perahu kecil dan langsung dia dibawa ke kapal, dinaikkan ke kapal perang.
Cia Keng Hong dan The Hoo menyambutnya, Kun Liong berlutut dan menyerahkan bokor emas kepada The Hoo tanpa kata-kata, kemudian dia membalik dan memandang ke arah Kapal Kuda Terbang yang terbakar, kemudian, melihat betapa Yuan dan Li Hwa masih saling berdekapan, di antara api dan air, di pinggir ujung kapal yang sudah tenggelam sebagian. Kun Liong tak dapat menahan diri, dia menangis mengguguk seperti anak kecil!
"Apa yang terjadi...?"
Keng Hong bertanya, mengguncang pundak Kun Liong.
"Yuan de Gama... dia kapten kapal itu... dia tidak mau disuruh pergi... dia memilih mati bersama kapalnya dan... dan Li Hwa... yang mencintanya, mencinta sampai mati tak mau terpisah darinya..."
"Li Hwa...?"
Panglima The Hoo berseru penuh keheranan, kekaguman, penasaran, juga kedukaan, Li Hwa seperti puterinya sendiri. Kalau dia menggunakan kepandaiannya, mungkin dia masih akan dapat memaksa puterinya itu pergi meninggalkan Yuan, akan tetapi, melihat kedua orang itu berdekapan ketat menghadapi maut, dia menghela napas panjang.
"Semua beri hormat kepada kapten Kapal Kuda Terbang. Tuan Yuan de Gama dan Nona Souw Li Hwa!"
Tiba-tiba dia mengeluarkan aba-aba yang nyaring dan semua pasukan bangkit dan berdiri tegak ke arah kapal yang mulai tenggelam itu dengan sikap memberi hormat kepada dua orang yang berdekapan itu. Hanya ujung kapal yang masih tampak, itu pun sudah dijilat api sehingga kedua orang itu seolah-olah berada di tengah-tengah api yang mulai tenggelam! Tiba-tiba terdengar jerit yang penuh kemesraan.
"Li Hwa...!"
"Yuan...!"
Jerit penuh kebahagiaan dari mulut Yuan dan Li Hwa itu seolah-olah merupakan jerit kebahagiaan sepasang mempelai di pelaminan. Tubuh mereka mulai ditelan air perlahan-lahan, kemudian lenyap. Sunyi senyap di kapal perang, kecuali suara mengguguk tangis Kun Liong. Cia Keng Hong dan Panglima The Moo berdiri tegak dan mereka berdua mengusap air mata yang menitik ke atas pipi mereka yang sudah mulai keriputan. Di tempat lain, di atas Perahu Ikan Duyung, juga terjadi hujan tangis. Yuanita jatuh pingsan, dan Richardo de Gama berlutut dan bersembahyang kepada Tuhan untuk menerima roh puteranya yang gugur sebagai seorang gagah perkasa, menjunjung tinggi nama keluarga de Gama yang memang terkenal. Di hati bapak tua ini, terdapat keharuan, kedukaan hebat, namun ada pula sedikit kebanggaan. Dengan matinya Yuan, dia mengajak puterinya kembali ke negaranya.
Kun Liong yang berdiri di ujung kapal perang, memandang Perahu Ikan Duyung. Biarpun dia tidak dapat melihatnya, dia dapat membayangkan betapa duka hati Richardo de Gama, terutama hati Yuanita. Ingin dia dapat dekat dengan nona itu dan menghiburnya. Akan tetapi dia melihat perahu itu mengangkat sauh dan meluncur pergi meninggalkan tempat itu. Maka dia hanya dapat menghela napas saja. Betapa buruk nasib menimpa putera-puteri Richardo de Gama. Biarpun Yuan yang mencinta Li Hwa mendapat balasan yang tidak kalah mesranya, namun dia harus mAti dengan kekasihnya itu. Sedangkan Yuanita, yang dia tahu jatuh cinta kepadanya, terpaksa harus menanggung penderitaan hati akibat cinta gagal. Sebuah tangan menyentuh pundaknya. Dia menengok dan melihat Cia Keng Hong sudah berdiri di depannya dan agaknya supeknya ini akan bicara hal yang serius melihat wajahnya.
"Ada apakah, Supek?"
"Ada berita penting untukmu, Kun Liong. Harus kusampaikan sekarang juga sebelum kita berpisah. Aku telah mendengar tentang ayah bundamu..."
Sampai sini leher Keng Hong seperti dicekik. Wajah Kun Liong seketika berubah dan kedukaan mengingat nasib Yuanita dan Yuan tersapu bersih berganti harapan cerah pertemuan dengan orang tuanya yang sudah terpisah belasan tahun dengannya.
"Di mana mereka, Supek? Ahhh, girang sekali hatiku dan... ihhh, mengapa, Supek?"
Dia kaget setengah mati melihat orang tua itu menitikkan air mata! Dengan suara parau dan sukar, Keng Hong berkata,
"Jangan kaget, anakku... aku mendengar dari mulut Ban-tok Coa-ong sebelum dia kutewaskan bahwa... bahwa... sahabatku Yap Cong San... sumoiku Gui Yan Cu, ayah bundamu itu..."
Kembali dia berhenti dan air matanya makin deras.
"Supek!"
Kun Liong menjadi pucat dan lupa diri, dia memegang lengan supeknya dan mengguncangkan keras-keras!
"Mereka telah tewas, dibunuh oleh lima datuk kaum sesat..."
Kun Liong terhuyung ke belakang, seolah-olah supeknya memukulnya dengan pukulan maut, matanya terbelalak, mulutnya ternganga, kemudian dia menjerit sekuatnya yang terdengar seperti auman harimau yang akan mati, tubuhnya terguling dan cepat disambar oleh Cia Keng Hong. Kun Liong jatuh pingsan, mulutnya terkancing rapat dan matanya terbuka tanpa cahaya!
"Kun Liong... kasihan kau..."
Keng Hong mendukung tubuh pingsan itu dan membawanya ke biliknya di kapal perang itu.
Panglima The Hoo memerintahkan kapal menuju ke Teluk Pohai dan mendarat, di mana telah menanti kereta kebesaran untuk membawanya kembali ke istana. Sedangkan Keng Hong setelah merawat Kun Liong sehingga pemuda itu sadar, menghiburnya dengan nasihat-nasihat mendalam, lalu meninggalkan tempat itu kembali ke Cin-ling-san. Kun Liong juga meninggalkan tempat itu dan mulai merantau seorang diri, akan tetapi pertama-tama dia menuju ke Tai-goan untuk mencari berita tentang kematian ayah bundanya. Kun Liong menelungkup di depan kuburan ayah bundanya sambil menangis. Semalam suntuk dia menelungkup seperti itu dan di antara tangisnya dia minta-minta pengampunan dari ayah bundanya karena dia merasa bahwa dialah yang menyebabkan kematian mereka. Dia mendengar peristiwa mengerikan itu dari seorang tetangga keluarga Theng yang sudah tua dan tahu persis apa yang telah terjadi.
Seluruh rumah tangga keluarga Theng mati karena menjadi tempat pemondokan ayah bundanya. Bahkan puteri cucu Kakek Theng mati dalam keadaan telanjang bulat! Bahkan dia mendengar bahwa orang tuanya telah mempunyai seorang anak perempuan bernama Yap In Hong yang tidak ikut menjadi korban akan tetapi tidak ada orang tahu ke mana perginya anak itu. Berita ini membuat dia merasa lebih berdosa lagi. Dia menyembahyangi kuburan empat orang anggauta keluarga Theng dan setelah air matanya habis ditumpahkan semalam suntuk, pada keesokan harinya dengan muka pucat dan mata merah dia berdiri sejenak memandang jauh tanpa tujuan. Kemudian dia menjatuhkan diri berlutut di depan enam buah kuburan itu, yaitu kuburan empat orang keluarga Theng dan kuburan ayah dan ibunya, dan dengan lantang dia berkata,
"Ayah dan Ibu, empat keluarga Kakek Theng yang mulia, dengarlah sumpah saya saat ini. Tadinya saya menganggap bahwa kekerasan adalah buruk, perkelahian adalah tidak baik, melukai dan membunuh orang adalah perbuatan terkutuk yang amat jahat, apa pun juga alasannya! Akan tetapi, perbuatan yang paling biadab telah dilakukan oleh lima orang datuk kaum sesat dan saya bersumpah takkan mau berhenti sebelum dapat mencari mereka yang masih hidup dan membunuhnya dengan tangan saya sendiri. Toat-beng Hoat-su dan Ban-tok Coa-ong telah tewas oleh Supek dan Panglima The Hoo, Siang-tok Mo-li telah tewas di tangan Kwi-eng Niocu dan kabarnya Hek-bin Thian-sin juga sudah tewas oleh Legaspi Selado dan Toat-beng Hoat-su. Jadi hanya tinggal Kwi-eng Niocu dan saya bersumpah untuk membunuhnya. Harap Ayah, Ibu dan empat keluarga kakek Theng beristirahat dengan tenang."
Setelah bersembahyang dengan hio-swa (dupa biting) sekali lagi Kun Liong meninggalkan tempat itu. Hatinya masih diliputi duka, akan tetapi ada kelegaan di hati setelah tahu akan keadaan orang tuanya. Mereka sudah tidak ada, tak perlu ditangisi dan didukakan lagi karena percuma belaka. Dia sekarang menjadi yatim piatu, tiada sanak kadang, tiada tempat tinggal, bebas lepas di udara. Namun, masih ada tugasnya yang dianggapnya amat penting,
Yaitu mencari seorang di antara para pembunuh orang tuanya yang sekarang masih hidup, yaitu Kwi-eng Niocu di Pulau Telaga Kwi-ouw (Telaga Setan). Dan kebetulan sekali hanya tinggal seorang itulah di antara lima orang datuk kaum sesat yang menjadi pembunuh orang tuanya, karena orang yang telah mencuri dua buah pusaka Siauw-lim-pai juga dari Kwi-eng-pang itulah. Dengan demikian, dia dapat bekerja sekali tepuk dua lalat. Pertama merampas kembali pusaka Siauw-lim-pai seperti yang telah ditugaskan oleh ketuanya, kedua untuk membunuh Kwi-eng Niocu. Dia bergidik ketika teringat akan kata-kata "membunuh"
Ini. Selamanya dia tidak akan pernah membunuh orang dengan sengaja, apalagi dalam perbuatan, bahkan tidak dalam pikiran karena dia membenci kekerasan dan perbuatan membunuh dianggapnya merupakan perbuatan sesat yang paling jahat dan terkutuk,
Apa pun alasan pembunuhan ini. Bahkan dengan alasan membalas dendam kematian orang tua pun tidak mengurangi pendirian tentang itu. Akan tetapi, hatinya terlalu berduka, luka itu terlalu mendalam sehingga dia mengucapkan sumpah di depan kuburan orang tuanya dan sebagai seorang jantan, dia harus memenuhi sumpahnya itu, biarpun hal ini berlawanan dengan isi hatinya. Pada suatu hari, tibalah dia di sebuah dusun. Perutnya terasa lapar sekali, maka dia memasuki sebuah warung nasi yang sederhana dan sunyi tidak ada tamunya. Dia duduk di atas bangku panjang menghadapi meja dan karena tidak ada seorang pun di dalam warung yang terpencil di ujung dusun itu, dia mengetuk-ngetuk meja dengan jari tangannya sambil berteriak,
"Haiii, ada orangnyakah di sini?"
Sampai beberapa kali dia mengetuk dan pendengarannya yang tajam itu dapat menangkap gerakan di sebelah dalam rumah makan itu, gerakan perlahan seolah-olah mereka sedang mengintai dan mengawasinya. Tak lama kemudian setelah dia mengetuk-ngetuk meja untuk ke tiga kalinya, muncullah seorang laki-laki yang tubuhnya berbentuk lucu dan aneh. Laki-laki ini sudah tua, sedikitnya tentu lima puluh tahun usianya, tubuhnya tinggi sekali, tinggi dan kurus kering, lehernya kecil seperti leher burung dan kepalanya botak sehingga dahinya kelihatan amat lebar. Sambil membungkuk-bungkuk orang itu menghampiri Kun Liong dan bertanya,
"Tuan Muda hendak memesan apakah?"
Kun Liong yang merasa lapar dan haus, juga lelah, menyebutkan bermacam-macam makanan yang disukainya,
"Nasi, capjai, tim ayam dan udang goreng berikut seguci arak yang manis."
Akan tetapi betapa mendongkolnya ketika setiap kali dia menyebutkan nama masakan yang dipesannya, leher kecil itu bergerak ke kanan kiri seperti akan patah dan mulut yang bibirnya tebal itu menjawab,
"Tidak ada, tidak ada, tidak ada, Tuan Muda datang terlalu pagi, kami belum siap. Yang ada hanyalah bakmi dan arak tua, dan bakpauw."
"Ya sudahlah, bakmi dan bakpauw pun boleh, arak tua pun lumayan, pokoknya asal perutku kenyang."
Dengan terbongkok-bongkok dan agak pincang, kakek itu masuk lagi ke dalam meninggalkan Kun Liong duduk seorang diri.
Kembali dia mendongkol bukan main. Kalau semua pesanannya ada, mungkin untuk memasaknya orang membutuhkan waktu yang agak lama. Akan tetapi kalau hanya bakmi, memasak sebentar pun jadilah, dan bakpauw paling-paling hanya menghangatkan saja. Akan tetapi, sudah hampir setengah jam dia duduk di bangku panjang itu, masih saja pesanannya belum dikeluarkan. Habislah kesabarannya dan dia mengambil keputusan untuk meninggalkan tempat itu mencari restoran lain. Akan tetapi karena Kun Liong adalah seorang yang biasa bersikap hormat dan jujur, dia mengetuk meja keras-keras dan berkata.
"Haiii, Paman Tua! Apakah bakmi dan bakpauw itu belum dibuat? Kalau belum, biarlah saya akan membeli di warung lain saja. Sudah terlalu lama saya menanti dan perut saya sudah lapar sekali."
"Eh, maaf, tunggu sebentar, Tuan Muda. Sudah siap."
Terdengar jawaban kakek itu dari dalam dan benar saja, tak lama kemudian dia datang membawa baki berisi sebotol arak dengan cangkirnya yang sederhana terbuat dari tanah, sepiring mi dan beberapa potong bakpauw. Lenyap kemendongkolan hati Kun Liong. Dia sedang haus dan lapar, kini melihat makanan, biar sederhana hatinya girang. Kakek pemilik warung itu kembali pergi masuk meninggalkan Kun Liong dan hal ini pun menyenangkan Kun Liong karena kalau dia makan ditunggui kakek yang rupanya mengerikan itu tentu sedikitnya mengurangi seleranya. Mulailah dia makan, mula-mula empat buah bakpauw diganyangnya habis dan rasanya lumayan.
Bakmi yang agak terlampau asin itu pun lenyap ke dalam perutnya, hanya tinggal beberapa potong bawang yang tak disukanya. Kemudian dia minum arak dari cawan butut itu. Begitu minum, dia terkejut. Lidahnya yang sudah terbiasa dapat merasakan campuran racun yang amat kuat dalam arak itu. Akan tetapi dia tidak merasa khawatir karena maklum bahwa perutnya telah kebal menerima racun ini. Diminumnya sampai hausnya hilang dan timbul pikirannya untuk melihat perkembangan apa yang akan terjadi, mengapa kakek aneh itu hendak meracuninya dan siapa pula orang-orang yang tadi dia tahu mengintainya dari dalam rumah. Maka setelah menghabiskan beberapa cawan arak, dia pura-pura memegangi kepalanya dan perutnya, dia teringat akan bagaimana cara racun itu bekerja dan berkata,
"Aihhh, kepalaku pening... perutku panas sekali, lemas... mengantuk..."
Dia tahu bahwa racun itu biar amat kuat, bukanlah sejenis racun yang mematikan orang, melainkan membuat orang yang meminumnya menjadi pingsan, karena mabok dan mengandung daya melemahkan dan memusingkan. Kakek itu keluar sambil terkekeh-kekeh senang. Kun Liong sudah duduk melonjorkan kaki di atas bangku dan bersandar pada tiang dan ujung bangku, pura-pura tertidur atau pingsan. Lengan kirinya di atas meja dan lengan kanan tergantung ke bawah, napasnya berat dan kepalanya terkulai menunduk seperti orang yang menderita pusing hebat. Matanya melirik sedikit dan mengintai dari balik bulu matanya ke arah kakek itu. Terjadi perubahan kini yang mengejutkan hatinya.
Kakek itu tidak terbongkok atau terpincang lagi, melainkan bergerak dengan sigap, dengan langkah kaki seorang ahli gin-kang tinggi, dan di tangan kanannya kini tampak sebatang tongkat pendek yang ujungnya berbentuk sebuah tangan manusia, atau lebih tepat tangan setan karena tangan itu mengering, kelihatan keras membaja dengan jari-jarinya hendak mencengkeram, lengkap dengan kuku kehitaman yang tentu mengandung racun berbahaya. Eh, kiranya seorang tokoh yang memiliki ilmu kepandaian, pikir Kun Liong. Akan tetapi dia masih belum bergerak, hendak melihat apa yang akan dilakukan kakek itu kepadanya. Dia tidak mengenal kakek ini, tidak pernah ada urusan dengan kakek ini, akan tetapi mengapa kakek ini begini kejam untuk meracuninya? Betapapun juga, tenaga saktinya telah bergerak melindungi tubuhnya,
Semua urat syaraf di tubuhnya menegang, siap untuk menanti segala kemungkinan. Tak lama kemudian seorang pemuda keluar dan kembali Kun Liong terkejut. Pemuda itu adalah sebangsa Yuan dan Hendrik! Akan tetapi dia pun tidak mengenalnya dan mungkin saja pemuda asing ini merupakan seorang di antara anak buah Legaspi yang berhasil meloloskan diri dalam pertempuran di Pulau Ular, atau orang lain karena memang banyak terdapat orang asing yang kini boleh berdagang di pantai Teluk Pohai. Pemuda itu telah mencabut pula pedangnya, sebatang pedang yang lebih berbentuk golok, agak melengkung dan runcing sekali. Dengan berindap pemuda itu mengambil jalan memutari mejanya dan menodongkan pedangnya di atas kepalanya sambil berkata dengan bahasa pribumi yang kaku kepada kakek itu,
"Harap Lo-mo (Setan Tua) berhati-hati, dia ini lihai sekali!"
"Heh-heh-heh, setelah terkena racunku, dia akan tidur setengah pingsan untuk waktu setengah hari. Dan kita tinggal menanti datangnya pasukan yang tentu sekarang telah dilapori oleh pembantu kita, tepat seperti rencanamu, Tuan Muda Markus,"
Kata kakek itu.
"Siasatmu memang hebat, Lo-mo. Begitu melihat dia berjalan seorang diri, aku sudah mengenalnya dan kebetulan sekali dia masuk ke warung ini. Habis bagaimana dengan pemilik warung dan isterinya yang kita belenggu di dalam itu?"
"Mereka berjasa. Kalau urusan ini selesai, kita bebaskan mereka,"
Kata Si Kakek.
"Dan aku akan memberi mereka hadiah,"
Kata Si Pemuda Asing. Mereka lalu duduk di atas bangku dekat Kun Liong, keduanya siap dengan senjata karena menurut penuturan pemuda asing itu, Kun Liong memiliki kepandaian tinggi.
"Tuan Muda Markus, sudah jelaskah bahwa bokor itu palsu?"
"Tentu saja! Aku mendengar dari seorang perajurit pengawal Panglima The Hoo sendiri setelah kusogok dengan sepuluh potong uang emas. Dia melihat Panglima The Hoo dan Pendekar Cia Keng Hong bicara ketika keduanya meneliti bokor emas yang dirampas dari Pulau Ular itu."
"Pendekar Cia Keng Hong katamu...?"
Kakek itu nampak kaget.
"Dia... dia meninggalkan Cin-ling-san dan mencampuri urusan bokor?"
"Dia memang pembantu Panglima The Hoo, akan tetapi sekarang telah kembali ke Cin-ling-san setelah dipanggil menghadap ke istana Panglima The Hoo. Tak salah lagi, pemuda cerdik inilah yang memalsukan bokor, karena menurut cerita yang kudengar, dialah orang pertama yang menemukan bokor."
"Hemmm... hemmm... guruku tentu akan senang sekali mendengarnya. Benarkah bahwa pemuda ini adalah murid keponakan Cia Keng Hong?"
"Tak salah lagi, semua orang mendengar dia menyebut Cia Keng Hong supek."
"Heh-heh-heh, bagus sekali. Betapa besar untungku hari ini. Sekali tepuk mendapat dua ekor lalat! Pertama tentang bokor..."
"Pengembaliannya kepada Panglima tentu akan menguntungkan kami para pedagang asing dan kami tentu akan menghadiahkan seratus tail emas yang telah kami janjikan kepadamu. Lo-mo."
"Heh-heh-heh!"
Kakek itu mengangguk-angguk.
"Selain itu, dia adalah murid keponakan Cia Keng Hong, tentu akan menyenangkan hati guruku. Aku tahu betapa bencinya guruku terhadap Cia Keng Hong yang pemah membunuh tiga orang susiokku, adik-adik seperguruan guruku."
Biarpun tidak begitu tertarik karena pemuda asing bernama Markus (Marcus) itu hanya mementingkan urusannya sendiri, namun untuk menanti datangnya pasukan yang diberi laporan, Marcus bertanya,
"Siapakah gurumu, Lo-mo? Tentu dia lihai bukan main."
"Seperti dewa! Guruku itu, biarpun sampai kini tidak atau belum mau meninggalkan guha pertapaannya karena sedang mencipta ilmu untuk melawan Thi-khi-i-beng ilmu tertinggi Cia Keng Hong, namun jelas guruku adalah orang yang paling sakti di dunia ini pada saat sekarang. Namanya pun harus kurahasiakan sampai guruku itu keluar dari guha dan turun ke dunia ramai."
Marcus mengangguk-angguk.
"Dan, tiga orang susiokmu itu siapakah, mengapa pula sampai terbunuh oleh Cia Keng Hong?"
"Mereka dahulu terkenal sekali sebagai Thian-te Sam-lomo (Tiga Iblis Tua Langit dan Bumi) yang masing-masing bernama julukan Kai-ong Lo-mo (Iblis Tua Raja Pengemis), Bun-ong Lo-mo (Iblis Tua Raja Sastra), Thian-to Lo-mo, yang menjadi seorang pendeta agama To. Kepandaian mereka hebat sebagai adik-adik seperguruan guruku, dan tentu dengan secara licik, dengan Thi-khi-i-beng maka Cia Keng Hong dapat membunuh mereka. Karena itulah maka selama belasan tahun guruku bersamadhi mencipta ilmu untuk menandingi Thi-khi-i-beng."
Mengenai kematian Thian-te Sam-lo-mo di tangan Cia Keng Hong ini terjadi dalam cerita Pedang Kayu Harum. Akan tetapi Kun Liong yang tak pernah mendengar cerita ini, terkejut bukan main. Dua kali dia terkejut, pertama mendengar bahwa bokor emas yang dirampasnya di Pulau Ular itu ternyata palsu dan ke dua adalah urusan dendam terhadap supeknya itu. Namun dia tetap diam, pura-pura pingsan. Tak lama kemudian terdengar derap kaki kuda dan muncullah pasukan pemerintah yang sedikitnya ada lima puluh orang banyaknya. Beberapa orang perajurit segera memasuki warung itu dan menodongkan tombaknya kepada Kun Liong yang masih terkulai lemas bersandar pada tiang.
"Heh-heh-heh, tak perlu menggunakan kekerasan. Selama setengah hari dia tidak akan dapat bergerak. Belenggu saja dia kuat-kuat,"
Kata kakek yang disebut Lo-mo tadi, kemudian bersama Marcus ia menemui komandan pasukan. Komandan pasukan memang tahu akan bokor emas yang palsu, maka mendengar laporan dua orang asing baginya ini bahwa tentu pemuda ini sebagai penemu pertama bokor emas yang telah memalsukannya, menjadi percaya dan girang.
Pedang Kayu Harum Eps 46 Pedang Kayu Harum Eps 39 Pedang Kayu Harum Eps 50