Ceritasilat Novel Online

Dewi Maut 41


Dewi Maut Karya Kho Ping Hoo Bagian 41



"Saya mendengar bahwa ji-wi adalah utusan dari Kaisar, benarkah?"

   Suara Khamila yang halus dan merdu itu terdengar tidak kaku sehingga dua orang muda itu menjadi kagum. Tidak mereka sangka bahwa isteri dari raja liar Sabutai itu seorang wanita yang begini muda, cantik jelita dan juga terpelajar. Tio Sun yang tadi sudah terlanjur mengaku sebagai utusan Kaisar, tentu saja tidak berani menyangkal lagi.

   "Benar, kami berdua datang dari kota raja."

   "Kalian diutus untuk menghadiri pesta perayaan kelahiran puteraku?"

   Kembali sang puteri bertanya, dan aneh, suaranya agak tergetar.

   "Maaf, harap paduka suka memaafkan kami. Sesungguhnya... eh, agaknya Sri Baginda Kaisar belum mendengar akan kelahiran putera Sri Baginda Sabutai, dan kami diutus untuk menyelamatkan nona Yap In Hong, sedangkan kami hanya kebetulan mampir ketika mendengar akan perayaan ini untuk menyelidiki di mana kami dapat mencari nona Yap."

   "Dan kalian sudah tahu tempatnya?"

   "Berkat kemurahan hati Sri Baginda Sabutai, kami telah diberi tahu."

   Hening sejenak. Para pengawal dan pelayan masih berlutut dan pelayan tidak berani mengangkat muka memandang sang puteri.

   "Saya mendengar bahwa keturunan raja-raja di negerimu sana adalah manusia-manusia utusan Tuhan yang ketika lahir ada tanda-tanda tertentu di tubuh mereka. Sampaikan kepada Kaisar dan keluarga kerajaan di negerimu bahwa puteraku inipun mempunyai tanda tahi lalat merah di sebelah kanan pusar. Ingin aku mendengar apakah itupun merupakan tanda dari Tuhan."

   Tio Sun dan Souw Kwi Beng terharu mendengar ini. Harapan scorang ibu di manapun sama saja, tidak perduli ibu itu seorang petani biasa atau seorang permaisuri, yaitu harapan agar puteranya kelak menjadi orang yang mulia dan bahagia!

   "Kami menghaturkan selamat atas kelahiran putera paduka dan semoga sang pangeran diberi berkah dan penjang usia. Kami akan menyampaikan semuanya ke kota raja,"

   Jawab Tio Sun tanpa berani menyebut Kaisar karena bagaimana dia berani menghadapi Kaisar untuk menyampaikan semua ini?

   "Terima kasih. Kalian menghadapi tugas yang amat berat. Nah, kalian pergilah,"

   Sambil berkata demikian, puteri itu menyerahkan sehelai kertas terlipat dan berbisik.

   "Bukalah jika menemui kesulitan."

   Lalu puteri itu memberi perintah kepada pengawal untuk mengantar dua orang tamu itu keluar. Sambil menggenggam kertas itu dengan hati penuh pertanyaan, Tio Sun memberi hormat, diturut oleh Kwi Beng, kemudian keduanya lalu mundur dan meninggalkan kamar itu. Tio Sun cepat mengantongi kertas itu dan ketika Sabutai menyambut mereka, Tio Sun cepat memberi hotmat dan berkata,

   "Putera paduka sungguh sehat dan tampang semoga diberkahi Tuhan dan dikurniai usia panjang."

   "Ha-ha-ha, terima kasih, sicu. Kelak dia tentu akan menjadi seorang yang lihai seperti sicu."

   Dua orang pemuda itu lalu berpamit dan pergilah mereka meninggalkan tempat itu, langsung keluar dari tembok benteng dan melanjutkan perjalanan mereka menceri tempat yang kini telah mereka ketahui, yaitu Lembah Naga, yang sudah mereka ketahui dari Raja Sabutai. Di tengah perjalanan, Tio Sun mengeluarkan secarik kertas yang diterimanya dari Puteri Khamila tadi. Ternyata ada tulisannya, dua baris huruf-huruf indah.

   "Menemukan kelemahan Hek Pek tidaklah mudah, harus dicari dari lutut ke bawah!"

   Tio Sun dan Kwi Beng menjadi girang bukan main. Mereka sudah khawatir mendengar keterangan Raja Sabutai bahwa dua orang gurunya itu memiliki ilmu baru yang hebat, yaitu kekebalan yang tak terlawan oleh pukulan sekti atau senjata pusaka. Mereka percaya akan keterangan itu karena seorang seperti Sabutai tidak nanti membohong atau menyombongkan sesuatu yang tidak ada kenyataannya. Maka kini, membaca tulisan Puteri Khamila mereka selain terheran-heran juga merasa girang sekali. Diam-diam mereka menghafal bunyi tulisan itu lalu merobek-robek kertas itu dan mereka menduga-duga mengapa puteri itu mau membuka rahasia kakek dan nenek iblis itu kepada mereka.

   Tentu saja dua orang pemuda itu tidak tahu bahwa Puteri Khamila sendirl merasa kaget, bingung dan penasaran ketika mendengar bahwa nona Yap In Hong diculik oleh Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li. Dia telah berhutang budi kepada In Hong, bahkan bersama dengan In Hong dia telah meloloskan Kaisar Ceng Tung dari tahanan. Kini, mendengar bahwa In Hong diculik oleh kakek dan nenek iblis yang menjadi guru suaminya, dia merasa penasaran sekali. Akan tetapi, diapun maklum bahwa suaminya sendiri sebagai murid tentu tidak akan berdaya menghadapi kakek dan nenek itu, maka secara cerdik puteri ini lalu membujuk suaminya untuk bercerita tentang Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li.

   Sabutai yang amat cinta kepada isterinya dan tidak melihat bahaya kalau rahasia guru-gurunya diketahui isterinya, tidak menyimpan rahasia sesuatu dan menceritakan bahwa kedua orang gurunya itu telah menguasai semacam ilmu kekebalan yang amat mujijat dan bahwa kelemahannya dia sendiri tidak tahu dengan past!, hanya tahu bahwa kelemahannya itu terdapat di bagian tubuh dari lutut ke bawah. Maka, ketika Khamila mendengar bahwa ada dua orang utusan Kaisar hadir dalam pesta, cepat dia menuliskan rahasia kelemahan itu pada secarik kertas, kemudian dia mengundang dua orang utusan itu untuk menjenguk puteranya. Dalam peristiwa ini, dia mempunyai dua maksud. Pertama, mengabarkan tentang keadaan puteranya pada ayah kandungnya, yaitu Kaisar Ceng Tung, dan kedua, dia dapat membocorkan rahasia kekebalan dua orang kakek dan nenek yang menculik In Hong.

   Tio Sun dan Kwi Beng telah tiba di sebelah selatan Padang Bangkai. Lembah Naga telah nampak dari jauh ketika mereka tadi meloncat ke atas pohon tinggi dan mengintai. Akan tetapi jalan menuju ke Lembah Naga itu terhalang oleh padang rumput dan alang-alang yang luas sekali. Mereka tidak tahu bahwa itulah Padan Bangkai yang amat berbahaya, pintu masuk ke Lembah Naga yang merupakan pintu neraka.

   Hari masih pagi ketika mereka mulai memasuki daerah Padang Bangkai. Tio Sun yang berwatak hati-hati itu tidak sembrono, melakukan perjalanan perlaban-lahan dan dengan penuh kewaspadaan dia selalu melihat ke kanan kiri menjaga segala kemungkinan. Tiba-tiba dia memberi isyarat kepada Kwi Beng yang berjalan di belakangnya. Mereka berhenti dan menahan napas. Siliran angin dari depan membawa pula suara tangis lirih. Kalau tidak ada angin bersilir, agaknya suara itu tidak akan terdengar oleh mereka. Dengan isyarat tangan Tio Sun memberi tahu kepada temannya untuk maju perlahan dan tidak mengeluarkan suara berisik. Berindap-indap mereka lalu maju menghampiri ke arah suara tangis wanita itu. Sungguh menyeramkan mendengar suara tangis itu, di tempat yang demikian sunyi, penuh dengan rumput alang-alang tinggi dan tidak nampak orangnya yang menangis.

   Ketika mereka tiba di rumpun alang-alang yang berada di tepi jalan setapak, mereka terkejut karena melihat bahwa yang menangis itu adalah seorang wanita muda yang cantik, yang menangis sambil menelungkup di atas tanah yang tertutup batang dan daun alang-alang yang malang melintang menjadi alas tubuhnya. Wanita itu menangis sedih sekali, sesenggukan dan air matanya membasahi seluruh wajahnya yang cantik, tangan kanannya menutupi sebagian mukanya sedangkan tangan kirinya... buntung sebatas pergelangan tangan dan dibungkus dengan kain putih yang masih membekas darah merah, tanda bahwa luka atau buntungnya tangan itu terjadi belum lama. Dua orang pemuda itu tercengang dan merasa kasihan sekali melihat ke arah lengan kiri yang tidak bertangan lagi itu.

   "Apa yang terjadi, nona?"

   Kwi Beng yang memang berperasaan halus dan mudah terharu itu bertanya sambil melangkah mendekati. Gadis itu terkejut, menurunkan tangan kanannya dan dengan mata merah dia memandang. Ketika melihat bahwa di depannya berdiri dua orang laki-laki yang tak dikenalnya, seperti seekor harimau yang marah, dia berteriak keras dan tubuhnya mencelat ke atas, langsung dia menyerang Kwi Beng dengan pukulan tangan kanannya. Cepat sekali gerakan tubuhnya, seperti terbang saja dan tubuhnya berkelebat menjadi bayangan merah karena gadis itu memakai pakaian serba merah.

   "Ehh...?"

   Kwi Beng terkejut dan cepat dia menangkis karena kecepatan serangan gadis itu membuat dia tidak sempat lagi mengelak.

   "Dukk...!"

   Dua lengan bertemu dan akibatnya Kwi Beng hampir terjengkang kalau saja dia tidak cepat berjungkir balik. Kiranya gadis itu memiliki tenaga yang amat kuat biarpun tangannya tinggal satu!

   "Eh, nanti dulu, nona!"

   Tio Sun berseru mencegah, akan tetapi tiba-tiba dia berseru.

   "Beng-te, awas...!"

   Kwi Beng cepat menggulingkan tububnya ke atas tanah. Sebagai seorang ahli melempar pisau terbang, tentu saja dia maklum apa artinya benda-benda hitam kecil yang menyambar ke arahnya. Ternyata paku hitam itu meluncur lewat dan juga Tio Sun sudah berhasil mengelak dari sambaran paku hitam yang disambitkan oleh gadis berpakaian merah itu. Akan tetapi, gadis itu sudah menyerang lagi, kini menyerang Tio Sun dengan tangan tunggalnya. Tio Sun cepat mengelak dan sambil mengelak tiga kali, dia tiba-tiba menangkap pergelangan tangan kanan gadis itu sambil berkata,

   "Tahan dulu, nona. Mari kita bicara!"

   "Bicara apalagi, kau kaki tangan kakek dan nenek iblis!"

   Nona itu membentak, meronta dan merenggutkan tangannya sambil menendang. Kakinya mencuat ke arah bawah pusar Tio Sun. Tentu saja pendekar ini terkejut sekali. Maklum akan bahayanya tendangan maut itu, terpaksa dia melepaskan tangan gadis itu.

   "Plakk!"

   Kembali gadis itu menghantam ke arah Kwi Beng dan ditangkis oleh Kwi Beng yang menjadi terhuyung.

   "Twako, gadis ini gila...!"

   Kwi Beng berseru kaget. Tio Sun cepat meloncat ke depan menghadang dan tiba-tiba nampak sinar berkelebat ketika gadis itu mencabut sebatang pedang dan tanpa banyak cakap lagi dia telah menyerang Tio Sun dengan pedangnya!

   "Hemmm...!"

   Tio Sun cepat mengelak dan melihat betapa gadis itu menyerang kalang-kabut dan nekat, dia mulai percaya akan ucapan Kwi Beng tadi. Harus diakuinya bahwa gadis ini bukan sembarangan orang, melainkan seorang ahli ilmu silat yang selain memiliki sin-kang yang lebih kuat daripada Kwi Beng, juga memiliki kecepatan yang luar biasa sekali dan ilmu silatnyapun tinggi. Akan tetapi melihat caranya menyerang begitu nekat dan kalang-kabut, dia tahu bahwa kalau tidak gila tentu gadis ini sedang bingung dan kacau pikirannya.

   "Minggir, Beng-te!"

   Serunya karena dia tahu betapa bahayanya menghadapi seorang lawan yang kacau pikirannya karena lawan seperti ini hanya tahu menyerang dengan nekat saja sehingga kelihaiannya menjadi bertambah. Diapun cepat mencabut senjatanya, yaitu sebatang pedang dan melolos pula sabuknya yang dapat dipergunakan sebagai pecut.

   "Tringg-cringgg... tarrr...!"

   Dua pedang bertemu berkali-kali dan pecut di tangan kiri Tio Sun menyambar-nyambar.

   Namun gadis itu sama sekali tidak menjadi gentar, bahkan menyerang makin nekat. Tio Sun adalah seorang pemuda yang berpandangan luas dan tidak mau sembrono dalam segala tindakannya. Maka, menghadapi gadis yang nekat dan mengamuk ini, tentu saja dia tidak mau menurunkan tangan besi, tidak mau melukai apalagi membunuh orang yang sama sekali tidak dikenalnya dan tidak diketahui mengapa mengamuk seperti itu. Dengan hati-hati dia selalu menghalau pedang lawan dan mencari kesempatan baik. Memang dalam hal tenaga dan ilmu silat, Tio Sun masih menang banyak, maka kecepatan gerakan wanita itu tidak membuat pemuda ini menjadi bingung. Dengan tenang dia membiarkan gadis itu menyerang terus dan tiba-tiba dia menangkis sambil mengerahkan tenaga Ban-kin-kang (Tenaga Selaksa Kati).

   "Trangggg... aihhhh...!"

   Wanita itu menjerit dan pedangnya terlepas deri tangannya. Akan tetapi, betapa kaget hati Tio Sun melihat lawan yang sudah dilucuti senjatanya itu tiba-tiba menubruknya dan menyerang terus dengan tangan tunggalnya secara nekat!

   "Ahh, kau sungguh nekat...!"

   Kata Tio Sun dan cepat sabuknya menyambar. Dua kali ujung sabuknya menotok dan wanita itupun mengeluh dan roboh tertotok, lemas tubuhnya dan tidak mampu bergerak lagi karena kaki tangannya seperti lumpuh! Akan tetapi matanya masih melotot memandang dan ketika dua orang pemuda itu menghampirinya, tiba-tiba gadis itu berteriak,

   "Kalian bunuhlah aku dan aku akan berterima kasih kepada kalian! Akan tetapi kalau kalian memperkosa aku, ingatlah, biar sampai matipun arwahku akan menjadi setan dan terus mengejar kalian untuk membalas dendam!"

   Wajah kedua orang pemuda itu menjadi merah dan Tio Sun lalu berkata,

   "Nona, kau ini menganggap kami berdua orang macam apakah? Kami tidak sudi melakukan perbuatan terkutuk itu dan kalau aku merobohkanmu, itu adalah karena terpaksa melihat engkau begitu nekat menyerang kami mati-matian."

   Kini pandang mata gadis itu berobah seperti orang baru sadar dan terheran.

   "Siapakah kalian? Bukankah kalian diutus oleh Mo-ko dan Mo-li untuk membunuh aku?"

   Tio Sun menggeleng kepala.

   "Kami sama sekali bukan diutus oleh Mo-ko dan Mo-li, bahkan kami datang untuk mencari Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li, untuk menolong nona Yap In Hong. Apakah kau tahu tentang itu?"

   "Ohhh...!"

   Gadis itu kelihatan terkejut, memandang mereka berdua bergantian penuh perhatian.

   "Ahhh... kalau begitu lekas... lekas kalian selamatkan Cia Bun Houw...!"

   Setelah berkata demikian dia menangis lagi. Tentu saja Tio Sun dan Kwi Beng terkejut mendengar ini dan Tio Sun cepat membebaskan totokannya sehingga dara itu dapat bergerak kembali. Dia bangkit duduk dan berkata berulang kali.

   "Maafkan aku... maafkan aku..."

   Sambil menangis. Tio Sun dan Kwi Beng juga duduk. Dengan duduk begitu, mereka kalah tinggi oleh rumpun ilalang dan tidak nampak dari jauh.

   "Nona, agaknya ada kesalahfahaman antara kita. Nona mengira bahwa kami adalah anak buah kakek dan nenek iblis di Lembah Naga itu, dan kami mengira bahwa nona adalah kaki tangan mereka yang hendak membunuh kami. Sekarang ceritakanlah dengan jelas, siapa nona dan mengapa mengira kami anak buah mereka? Bagaimana pula dengan saudara Bun Houw yang kau sebut-sebut tadi?"

   "Ah, dia tentu celaka... kalau kalian ada kepandaian, harap lekas selamatkan dia. Dengar, aku adalah Liong Si Kwi, murid dari Hek I Siankouw. Guruku itu sekarang juga berada di Lembah Naga, membantu nenek dan kakek iblis itu. Yap In Hong memang ditawan di sana untuk memancing datangnya musuh-musuh kakek dan nenek itu. Akan tetapi yang muncul adalah Cia Bun Houw dan karena hendak membela nona Yap In Hong, Cia Bun Houw kinipun tertangkap dan mereka kini ditawan. Aku... aku... mencoba untuk membebaskan Cia Bun Houw, akan tetapi gagal dan ketahuan... dan aku..."

   Dia bicara tergagap-gagap dan memandang lengan kirinya yang buntung.

   "Engkau lalu dibuntungi tangan kirimu?"

   Tio Sun bertanya dan gadis itu mengangguk.

   "Betapa kejamnya!"

   Kwi Beng berseru marah dan mengepal tinju. Gadis itu memandang kepada mereka berdua bergantian, seperti hendak menaksir apakah benar dua orang pemuda itu boleh diandalkan.

   "Kalian hanya berdua saja dan hendak menyerbu Lembah Naga?"

   Tanyanya.

   "Benar! Kami berdua akan menyerbu dan membebaskan nona In Hong, kalau perlu dengan taruhan nyawa kami!"

   Kwi Beng berkata dengan penuh semangat. Si Kwi, gadis yang bernasib malang itu, memandang tajam kepada Kwi Beng, lalu menarik napas panjang dan berkata lirih,

   "Aihh... engkau agaknya juga menjadi korban cinta..."

   Kwi Beng menjadi merah mukanya dan mengerutkan dahinya.

   "Apa? Apa maksudmu?"

   "Tidak apa-apa, hanya kiranya amat berbahaya kalau kalian berdua menyerbu Lembah Naga. Kalian tidak tahu betapa berbahayanya itu."

   Kini sikap Si Kwi sudah tenang kembali dan dia lalu menceritakan keadaan Padang Bangkai yang penuh dengan tempat-tempat berbahaya itu. Dengan jelas dia memberi petunjuk tentang jalan menuju ke Lembah Naga yang harus melewati Padang Bangkai.

   "Akan tetapi, anak buah Padang Bangkai telah dibasmi oleh Cia Bun Houw dan ketua mereka suami isteri kini berada di Lembah Naga juga, maka akan mudahlah bagi kalian untuk menyeberangi padang ini. Biarpun begitu, di Lembah Naga kalian akan menghadapi bahaya besar. Kakek dan nenek itu sudah amat lihai dan berbahaya seperti iblis. Pula, selain mempunyai anak buah sebanyak seratus orang, juga mereka dibantu oleh orang-orang pandai seperti Bouw Thaisu, guruku Hek I Siankouw, kemudian Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li suami isteri ketua Padang Bangkai! Maka kalau hanya kalian berdua yang menyerbu Lembah Naga, bukankah hal itu sama artinya dengan mengantar nyawa sia-sia belaka?"

   Akan tetapi Kwi Beng masih tetap bersemangat dan Tio Sun tenang saja mendengar cerita itu, sungguhpun di dalam hati masing-masing mereka mengambil keputusan untuk bersikap hati-hati sekali setelah mendengar penuturan ini.

   "Aku tidak takut. Bagaimanapun juga aku harus berusaha untuk menolong dan menyelamatkan nona In Hong!"

   Tio Sun memandang kepada nona itu dan berkata,

   "Nona Liong Si Kwi, kami berterima kasih sekali atas segala petunjukmu dan engkau ternyata adalah seorang sahabat yang baik sekali. Bahkan engkau telah mengorbankan sebelah tanganmu untuk menolong Cia-Taihiap."

   Mendengar ucapan itu, Si Kwi menunduk dan tidak menjawab, kelihatan berduka sekali. Melihat ini, Tio Sun lalu memberi isyarat kepada Kwi Beng dan mereka berdua lalu bangkit berdiri.

   "Nona Liong, kami hendak melanjutkan perjalanan ke Lembah Naga. Sekali lagi terima kasih,"

   Kata Tio Sun, akan tetapi kini Si Kwi sudah mulai menangis lagi, menelungkup dan memeluki rumput-rumput di tempat itu. Tio Sun menghela napas dan mengajak Kwi Beng meninggalkan tempat itu, melanjutkan perjalanan ke utara untuk menyeberangi Padang Bangkai yang ternyata amat berbahaya menurut petunjuk Si Kwi tadi. Kwi Beng juga diam saja mengikuti Tio Sun meninggalkan gadis yang masih menangis, dan setelah jauh baru dia bertanya,

   "Tio-twako, dia kenapakah?"

   Kembali Tio Sun menarik napas panjang, tidak menjawab langsung melainkan berkata lirih seperti kepada dirinya sendiri,

   "Betapa banyaknya di dunia ini manusia dipermainkan dan menjadi korban cinta..."

   "Eh, kenapa ucapanmu seperti nona Liong Si Kwi tadi? Dia juga mengatakan bahwa aku menjadi korban cinta. Apa maksudnya dan apa maksudmu?"

   "Aku tidak tahu bagaimana kenyataannya, akan tetapi menurut dugaanku, melihat keadaan gadis itu, agaknya tidak salah lagi bahwa dia jatuh cinta kepada Cia-Taihiap. Karena cintanya maka dia berkhianat dan berusaha menolong Cia-Taihiap akan tetapi dia ketahuan sehingga dia dibuntungi tangan kirinya. Sungguh kasihan dia."

   Tio Sun menghentikan kata-katanya karena hatinya seperti ditusuk karena dia teringat akan keadaannya sendiri yang juga gagal dalam cintanya. Dia memandang kepada Kwi Beng dan diam-diam dia mengharapkan agar kegagalan yang menyedihkan itu jangan menimpa pemuda tampan ini yang dia tahu benar-benar cinta dan tergila-gila kepada Yap In Hong. Biarpun mereka telah memperoleh petunjuk yang amat lengkap dari Si Kwi, namun kedua pemuda itu melakukan perjalanan dengan hati-hati sekali melewati Padang Bangkai dan benar-benar seperti cerita gadis tadi, dusun Padang Bangkai itu telah kosong dan ditinggalkan penghuninya sehingga tanpa banyak kesukaran mereka dapat melewatinya dan menuju ke Lembah Naga.

   Pohon di tepi padang rumput itu besar dan rimbun sehingga enak duduk beristirahat di dalam bayangannya di siang hari yang terik itu. Akan tetapi kakek tua renta yang sedang duduk di bawah pohon itu agaknya tidak lagi dapat menikmati kesejukan yang diberikan oleh kerindangan pohon itu kepada siapa saja yang berlindung dari panas matahari di bawahnya, karena seluruh perhatian kakek tua renta itu dicurahkan ke atas sebuah papan catur, dan tangannya menjalankan biji-biji catur putih dan hitam silih berganti. Dia sedang bertanding catur dengan diri sendiri! Kadang-kadang kakek tua renta itu menarik napas panjang seperti orang yang kecewa sekali karena tidak memperoleh musuh bertanding yang tentu akan menggembirakan sekali.

   Kakek itu sudah amat tua, sukar ditaksir usianya karena sedikitnya tentu sudah ada seratus tiga puluh tahun! Seluruh rambut, kumis dan jenggotnya sudah putih semua, mukanya penuh keriput, pakaiannya serba putih sederhana dan tubuhnya kurus sehingga kelihatan tulang terbungkus kulit yang sudah tipis. Segala sesuatu pada diri kakek ini kelihatan tua sekali, kecuali sepasang matanya! Sepasang mata itu lembut dan masih jernih, memandang dunia secara terbuka dan seolah-olah tidak ada rahasia lagi bagi sepasang mata yang sudah amat lama memandang dunia ini. Seorang dara remaja yang cantik duduk di dekatnya. Dara ini usianya kurang lebih lima belas tahun, cantik manis dan pakaiannya juga amat sederhana, bahkan sudah ada dua tambalan di bagian pundaknya. Wajah gadis ini membayangkan bahwa dia memiliki watak yang jenaka dan gembira,

   Namun pandang matanya yang tajam itupun menunjukkan kekerasan hati yang sukar ditundukkan. Sejak tadi, dara remaja ini menjadi penonton, melihat betapa kakek itu bermain catur sendiri. Akan tetapi lama-kelamaan dia menjadi bosan dan tidak sabar. Kakek ini adalah seorang pemain catur yang ahli, maka biarpun dia sendiri sudah bisa bermain catur, namun dia bukan lawan kakek itu dan dia tidak mau menandingi kakek itu karena akan dapat dikalahkan dengan amat mudah. Kini, sebagai penontonpun dia bosan. Kembali kakek tua renta itu menarik napas panjang dan wajahnya yang tua itu kelihatan berduka. Kerut-merut di dahinya bertambah dan sepasang matanya ditujukan ke atas papan catur seperti orang melamun. Dia tidak tahu bahwa sejak tadi dara remaja itu memandang wajahnya dan kelihatan makin tidak sabar.

   "Suhu, kalau suhu tidak senang bermain-main catur sendiri, mengapa suhu memaksa diri?"

   Teguran ini membuat si kakek seperti orang terkejut dan dia menoleh ke arah dara itu.

   "Hemm...? Apa...?"

   Katanya pikun.

   "Teecu tahu bahwa suhu suka sekali bermain catur, akan tetapi sudah beberapa hari ini kalau suhu bermain catur, selalu kelihatan berduka dan berulang kali menarik napas panjang. Kalau permainan itu hanya mendatangkan kekecewaan dan kedukaan, mengapa suhu tidak berhenti saja?"

   Kakek itu memandang kepada muridnya dan kembali dia menghela napas panjang, lalu bersandar ke batang pohon besar itu dan pandang matanya melayang jauh ke depan. Kakek tua renta ini bukan lain adalah Bun Hoat Tosu, seorang tosu tua sekali yang puluhan tahun yang lalu pernah menjadi ketua Hoa-san-pai,

   Akan tetapi kemudian mengundurkan diri dari dunia ramai dan hidup berkelana ke tempat-tempat sunyi. Di dalam cerita Petualang Asmara diceriterakan bahwa tosu yang amat lihai ini pernah menjadi guru dari pendekar Yap Kun Liong, kemudian dia menghilang dan tidak ada kabar ceritanya lagi, bertapa di puncak-puncak gunung dan di guha-guha tepi laut. Akan tetapi, seperti telah diceritakan di bagian depan, kakek ini muncul dan telah menolong Yap Mei Lan, puteri dari Yap Kun Liong. Dara remaja itu adalah Yap Mei Lan yang telah setahun lebih lamanya ikut kakek ini dan menjadi muridnya, sama sekali tidak tahu bahwa kakek yang menjadi gurunya ini adalah guru dari ayahnya sendiri! Mendengar ucapan muridnya itu, Bun Hoat Tosu menarik napas panjang. Kemudian terdengar dia berkata lirih, seperti kepada dirinya sendiri,

   "Melihat kelemahan diri sendiri, siapa yang tidak menjadi sedih? Sudah puluhan tahun aku berhasil melepaskan keduniawian, tidak membutuhkan apa-apa lagi, tidak menginginkan apa-apa lagi, hidup dengan bebas dan bahagia karena tidak dirongrong oleh pikiran dan keinginan sendiri. Akan tetapi sekarang...!"

   "Sekarang bagaimana, suhu?"

   Dara itu mendesak sambil menatap wajah tua yang menimbulkan rasa iba di dalam hatinya itu.

   "Kau lihat sendiri, aku kegilaan bermain catur! Aku rindu akan adanya seorang lawan bertanding catur, seorang lawan yang kuat, persis seperti kesenangan yang kucari-cari puluhan tahun yang lalu ketika aku selalu mencari-cari seorang lawan bermain silat yang kuat. Dan perasaan ingin ini selalu mengejar-ngejarku, bahkan dalam mimpi! Akan tetapi sampai sekarang aku belum juga mendapatkan lawan yang seimbang dan menyenangkan. Bukankah itu menyedihkan sekali? Ini tandanya bahwa aku sebenarnya belum mati, dan kebebasan yang lalu itu bukan lain hanya mimpi belaka. Kini aku terbangun dan melihat bahwa yang lalu itu hanya merupakan mimpi, maka betapa menyedihkan itu!"

   "Memang suhu belum mati."

   Kata si dara yang menjadi bingung oleh kata-kata yang dianggapnya tidak karuan artinya itu.

   "Kalau saja sudah, alangkah baiknya!"

   Kakek itu menghela napas panjang.

   "Akan tetapi kematian jasmani tidaklah terlalu penting, yang terpenting adalah mati dari semua keinginan dan kehendak, mati aku-nya, mati keinginannya mengejar kesenangan."

   Dara remaja yang cantik itu mengerutkan alisnya yang bentuknya indah seperti dilukis.

   "Akan tetapi, suhu. Kalau sudah mati keinginannya, sudah mati kehendaknya mengejar kesenangan, kalau sudah tidak butuh kesenangan lagi, bukankah hal itu sama saja dengan hidup seperti sebatang pohon yang suhu sandari itu? Bukankah hidup lalu tidak ada gunanya lagi?"

   Kakek itu tersenyum, senyum yang sudah lama tidak nampak oleh dara itu.

   "Justeru sebaliknya, muridku. Hanya orang yang sudah tidak ingin mengejar kesenangan sajalah yang dapat menikmati kesenangan yang sesungguhnya! Hanya orang yang sudah tidak ingin mengejar kebahagiaan sajalah yang benar-benar bahagia. Orang yang tidak puas saja yang mengejar kesenangan yang dianggapnya akan mengisi kekosongannya, akan memuaskannya. Akan tetapi setelah yang dikejarnya terdapat, ketidakpuasan itu tetap akan menghantuinya, dirinya akan selalu penuh ketidakpuasan dan hidupnya menjadi sengsara selalu."

   "Akan tetapi, apakah kita lalu harus memantang kesenangan dan menjauhi kepuasan?"

   Dara itu mengejar terus, wajahnya membayangkan penasaran.

   "Sama sekali bukan, Mei Lan. Bukan memantang kesenangan, bukan menolak kesenangan, melainkan TIDAK MENGEJAR, tidak memanjakan dan tidak memusuhi. Kalau sudah begitu, barulah segala saat dalam hidup merupakan kesenangan karena htdupnya adalah kesenangan itu sendiri! Bukan menjauhi kepuasan, melainkan tidak menginginkan kepuasan karena kalau sudah demikian, barulah setiap saat merasa puas karena hidupnya adalah kepuasan itu sendiri!"

   "Akan tetapi, kalau tidak mempunyai keinginan apa-apa lagi, bukankah itu sama saja dengan mati?"

   "Nah, itulah! Mati dalam hidup! Jasmaninya memang hidup dan baru benar-benar hidup kalau semua keinginan yang timbul dari si aku yang selalu mengejar keenakan dan kesenangan itu telah mati. Dan celakanya, aku sendiri belum mati, yang kusangka sudah mati puluhan tahun ini hanya mimpi belaka! Dan semua gara-gara papan catur ini!"

   
Dewi Maut Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Dia berkata gemas memandang ke arah papan caturnya.

   "Aku menjadi kegilaan bermain catur, menjadi pecandu catur, bahkan di dalam hati aku telah bersumpah bahwa aku tidak akan mau mati sebelum bertemu dengan seorang lawan catur yang setingkat!

   "Aihhh, sungguh aku seorang tua yang tolol!"

   Bun Hoat Tosu yang biasanya bersikap halus itu, kini menengadahkan mukanya ke atas, mengepal tinju dan berteriak keras.

   "Haii, segala dewa! Turunlah dan mari bertanding catur melawan aku!"

   Tiba-tiba terdengar suara yang bergema, tidak jelas dari mana datangnya.

   "Bagus! Aku datang memenuhi tantanganmu, tua bangka sinting!"

   Tentu saja Mei Lan menjadi terkejut bukan main dan biarpun dia tergolong seorang anak yang pemberani dan tidak mudah merasa ngeri atau takut, sekali ini dia merasa betapa bulu tengkuknya meremang. Benarkah muncul setan atau dewa di tengah hari yang terang dan terik itu?

   Benarkah suara dewa dari angkasa yang menyambut tantangan suhunya itu? Dia bangkit dan memandang ke kanan kiri, namun sunyi saja. Ketika dia menoleh kepada suhunya, dia melihat kakek itu tersenyum memandang ke depan. Mei Lan mengikuti arah pandang mata gurunya dan dia melihat betapa rumpun ilalang jauh di depan itu bergerak-gerak ujungnya dan nampak bayangan
(Lanjut ke Jilid 40)
Dewi Maut (Seri ke 03 - Serial Pedang Kayu Harum)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 40
orang berkelebat seperti terbang melayang di atas rumpun ilalang itu! Dia memandang terbelalak penuh kekaguman. Manusiakah yang datang itu? Ataukah dewa? Dia tahu bahwa gurunya adalah seorang manusia sakti yang sudah pandai terbang di atas rumput, semacam ilmu gin-kang yang sudah mencapai puncak, akan tetapi kiranya kalau yang datang itu manusia, tentu orang itu memiliki kepandaian yang setingkat dengan gurunya!

   Setelah tiba dekat, ternyata orang itu gerakannya memang bukan main cepatnya dan tahu-tahu di situ telah meloncat turun seorang kakek raksasa berkepala gundul, jubahnya yang butut dan rombeng itu berwarna merah. Seorang pendeta! Pendeta miskin agaknya, menuntun seorang anak laki-laki berusia kurang lebih tiga belas tahun, bertubuh tegap dan kuat, wajahnya bundar dan membayangkan keberanian dengan sepasang mata tajam. Begitu tiba di situ, pendeta Lama itu tertawa bergelak. Sepasang matanya yang lebar itu agak liar pandangannya, sikapnya menakutkan karena bunyi ketawanya aneh, dan dia sudah melangkah lebar menghampiri Bun Hoat Tosu yang duduk bersila menghadapi papan caturnya. Tosu itu memandang dengan senyum di mulutnya, pandang matanya penuh perhatian ditujukan ke arah pendeta Lama itu.

   "Sobat, benarkah engkau demikian baik hati untuk menemani aku bermain catur?"

   Bun Hoat Tosu bertanya dengan suaranya yang halus sambil menentang pandang mata yang aneh, tajam dan agak liar itu.

   "Ha-ha-ha, kalau tidak mendengar orang sinting menantang dewa, siapa sudi bermain catur denganmu? Setelah mendengar engkau menantang dewa, tentulah engkau pemain catur jagoan dan patut dilawan."

   "Ha-ha, sobat baik, agaknya engkau seorang ahli main catur,"

   Bun Hoat Tosu berkata, girang sekali.

   "Ahli? Bukan, hanya bisa sedikit-sedikit, akan tetapi di seluruh Tibet tidak ada yang dapat mengalahkan aku!"

   Bun Hoat Tosu memandang dengan sinar mata berseri karena merasa bahwa sekali ihi dia benar-benar menemukan seorang tandingan yang pandai. Inilah yang dirindukannya selama ini! Dan sejenak, dua orang kakek itu saling pandang setelah pendeta Lama itu juga duduk bersila menghadapi Bun Hoat Tosu.

   Sedangkan anak laki-laki yang datang bersama dia juga duduk tidak jauh dari Mei Lan, setelah melempar pandang ke arah gadis cilik ini dengan sikap acuh tak acuh! Dua orang anak itu sama sekali tidak tahu bahwa sebetulnya, antara orang tua mereka masih terdapat hubungan yang amat erat. Anak laki-jaki yang baru datang itu bukan lain adalah Lie Seng, putera dari mendiang Lie Kong Tek dan isterinya, Cia Giok Keng. Seperti telah diceritakan di bagian depan, Lie Seng diculik oleh Giok-hong-cu Yo Bi Kiok dan kemudian ditolong dan dibebaskan oleh Kok Beng Lama. Biarpun Lie Seng hampir saja tewas karena serangan pasir beracun dari Yo Bi Kiok, namun akhirnya gurunya dapat memperoleh obat dari Yap In Hong di tempat tinggal Yok-moi (Setan Obat) di puncak Gunung Cemara, dan semenjak saat itu, Lie Seng menjadi murid dari Kok Beng Lama.

   Seperti kita ketahui, setelah mendengar akan kematian puterinya, Pek Hong Ing, Kok Beng Lama menjadi sinting dan setengah gila. Maka pada tengah hari itu, secara kebetulan dia lewat di dekat tempat itu bersama Lie Seng dan mendengar tantangan Bun Hoat Tosu kepada dewa, maka dia menjadi tertarik dan menyambut tantangan itu. Adapun di antara Bun Hoat Tosu dan Kok Beng Lama, biarpun keduanya merupakan tokoh-tokoh besar di dunia persilatan, namun karena keduanya sudah puluhan tahun tidak pernah mencampuri urusan dunia kang-ouw, mereka tidak pernah saling mengenal dan baru satu kali ini mereka bertemu muka di tempat sunyi itu secara kebetulan saja. Andaikata keduanya tidak mempunyai kesenangan yang sama, yaitu bermain catur, agaknya kedua orang tokoh besar ini tidak akan dapat saling berjumpa.

   "Ha-ha, kiranya engkau adalah jagoan main catur dari Tibet. Lama yang baik, sungguh hatiku girang sekali, dalam keadaan kesepian seperti ini muncul seorang jago catur seperti engkau."

   "Tosu tua bangka, tak perlu puji-memuji dan sungkan-sungkanan ini. Kita sudah sama-sama tua bangka, sama-sama ahli, hanya belum dapat dilihat siapa yang lebih unggul sebelum bertanding. Nah, sebagai tuan rumah tentu engkau suka mengalah dan membiarkan aku memainkan biji putih dan melangkah lebih dulu."

   Sambil berkata demikian, Kok Beng Lama menggerakkan tangan kanannya untuk meraih biji catur yang berwarna putih.

   "Jangan sungkan-sungkan. Silakan saja, Lama. Kau boleh mengumpulkan biji-biji putih itu kalau bisa."

   Sambil berkata demikian, Bun Hoat Tosu menggunakan tangan kanan memegang papan catur pada pinggirnya dan diam-diam dia menyalurkan sin-kangnya.

   "Ehhh?"

   Kok Beng Lama yang mengambil biji catur, terkejut karena biji catur itu melekat pada papan, seolah-olah berakar. Dia mengangkat mukanya memandang dan dua pasang mata saling bertemu dan kedua pasang mata itu seperti mata anak-anak yang tiba-tiba memperoleh permainan baru yang penuh kegembiraan. Kok Beng Lama maklum bahwa tosu tua renta ini ternyata lihai bukan main, dan tahu pula bahwa tosu itu agaknya tidak hanya ingin menguji kepandaiannya bermain catur, akan tetapi juga ingin menguji kekuatannya.

   Maka diapun lalu menyalurkan tenaga sin-kang melalui lengan dan jari-jari tangannya dan dengan pengerahan sin-kang dia berusaha mengambil biji catur putih yang sudah dipegangnya itu, yaitu biji catur raja. Akan tetapi, Bun Hoat Tosu yang tiba-tiba merasa betapa papan catur itu tergetar hebat dan suatu tenaga sakti yang amat kuat bergelombang menyerangnya, timbul kegembiraannya karena dia tahu bahwa pendeta Lama ini benar-benar merupakan tandingan yang amat tangguh, maka dia pun menghimpun tenaga saktinya mempertahankan raja putih itu dengan tenaga membetot. Maka terjadilah pertandingan yang amat aneh dan luar biasa, pertandingan yang tidak kelihatan oleh mata namun yang terjadi amat serunya karena masing-masing telah mengerahkan tenaga sin-kang yang hanya dimiliki oleh orang-orang yang sudah amat tinggi tingkat kepandaiannya.

   Baik Bun Hoat Tosu dan Kok Beng Lama, keduanya bukan main kaget dan herannya karena masing-masing sama sekali tidak mengira bahwa lawan ini sungguh tangguh, seorang yang telah mencapai puncak dari tingkat kepandaiannya! Benar-benar mereka tidak pernah mimpi akan dapat saling bertemu di tempat sunyi ini. Sementara itu, Mei Lan yang sejak kecil digembleng oleh ayahnya, Yap Kun Liong si pendekar sakti, dan Lie Seng juga mcrupakan putera suami isteri pendekar dan dari keluarga pendekar sakti ketua Cin-ling-pai, biarpun keduanya belum banyak mewarisi kepandaian dua orang kakek sakti ini, namun sebagai keturunan orang-orang pandai dua bocah itu telah menduga apa yang terjadi ketika melihat Kok Beng Lama dan Bun Hoat Tosu duduk bersila berhadapan,

   Pendeta Lama itu memegang biji catur raja putih sedangkan tosu tua itu memegang atau menyentuh papan catur dan keduanya diam saja tanpa bergerak, akan tetapi dari kepala mereka mengepul uap putih! Keadaan menjadi sunyi, sunyi sekali dan menegangkan karena dua orang kakek itu kelihatannya tidak mau saling mengalah! Dan biarpun mereka tidak saling menyerang secara langsung, namun mengadu kekuatan sin-kang untuk memperebutkan biji catur itu juga amat berbahaya, tidak kalah bahayanya dengan mengadu pukulan! Bchkan lebih berbahaya lagi karena kalau pukulan atau tendangan dapat dielakkan, akan tetapi getaran sin-kang ini tak dapat dielakkan, harus dihadapi langsung dengan mengadu kekuatan. Tiba-tiba kesunyian yang mencekam perasaan itu dipecahkan oleh suara nyaring Mei Lan,

   "Ji-wi suhu sedang apakah? Katanya hendak bertanding catur! Apakah acara pertandingan telah dirobah?"

   Mendengar suara ini, kedua orang kakek itu sadar dan keduanya tertawa dan otomatis keduanya menghentikan saluran sin-kang mereka.

   "Ha-ha-ha, pantas berani menantang dewa! Kiranya engkau lihai sekali, tosu!"

   "Dan tak kusangka di tempat ini aku dapat bertemu dengan kepala gundul yang sakti seperti engkau, Lama!"

   Kata Bun Hoat Tosu dengan kegembiraan yang tidak disembunyikan lagi.

   "Mari kita mulai mengatur biji-biji catur!"

   Dengan berbareng tangan kanan mereka memunguti biji-biji catur di atas papan,

   Kok Beng Lama memunguti yang putih sedangkan Bun Hoat Tosu memunguti yang hitam. Begitu tangan mereka bergerak, keduanya segera berlomba pula, bercepat-cepatan mengatur biji-biji catur di atas papan sehingga biarpun masing-masing hanya menggunakan sebelah tangan saja, namun dilihat oleh mata orang biasa, satu tangan itu seperti berubah mbnjadi banyak sekali. Banyak tangan bergerak di atas papan catur itu dan keduanya menyelesaikan pekerjaan mengatur biji-biji catur itu dalam waktu yang sama. Tepat pada saat Bun Hoat Tosu melepaskan biji terakhir, demikian pula Kok Beng Lama melepaskan biji terakhir. Kembali mereka tertawa, saling pandang dan wajah mereka berseri gembira sekali. Gembira karena sekaranglah mereka merasa menemukan tanding yang amat menyenangkan dan berharga!

   "Kita bertanding catur dengan taruhan apa?"

   Tiba-tiba Kok Beng Lama menantang. Bun Hoat Tosu tersenyum.

   "Lama, apa sih yang dapat kita pertaruhkan? Pakaianku kumal, jubahmupun butut. Aku tidak mempunyai uang sepeserpun!"

   "Dan akupun tidak mempunyai harta secuwilpun!"

   Keduanya tertawa lagi dengan gembira.

   "Aku sudah tidak menginginkan apa-apa, Lama."

   "Akupun tidak butuh apa-apa. Akan tetapi engkau mempunyai murid."

   "Dan kau juga."

   "Nah, kita berdua tidak butuh apa-apa, akan tetapi murid-murid kita yang masih muda itu tentu membutuhkan sesuatu. Hai, muridmu, gurumu akan bermain catur menandingi tosu tua bangka ini. Kau ingin bertaruh apa?"

   Tanya Kok Beng Lama kepada Lie Seng. Lie Seng mengerutkan alisnya. Apa yang dapat diharapkan dari tosu tua berpakaian sederhana dan muridnya itu, anak perempuan yang pakaiannya juga tambal-tambalan? Akan tetapi Lie Seng adalah seorang anak yang cerdas dan juga berpandangan tajam. Dari sikap gurunya yang biasanya memandang rendah dan tidak perduli terhadap semua orang, yang kini kelihatan amat bergembira bertemu dengan tosu tua itu, dia dapat menduga bahwa tosu itu adalah seorang tua yang memiliki kesaktian hebat. Maka dengan cepat dia menjawab,

   "Teecu ingin agar kalau locianpwe itu kalah dari suhu, dia mengajarkan satu macam ilmu silat kepada teecu!"

   "Dan teeeu juga bertaruh demikian, suhu. Kalau locianpwe itu kalah, dia harus mengajarkan semacam ilmu kepada teecu!"

   Kata Yap Mei Lan sambil memandang kepada Kok Beng Lama. Dua orang kakek itu saling pandang, lalu sama-sama tertawa bergelak.

   "Murid-murid kita memang cerdik, bisa mempergunakan kesempatan. Bagaimana pandapatmu, Lama?"

   Tanya Bun Hoat Tosu. Kok Beng Lama mengangguk-angguk dan tiba-tiba pandang matanya bersinar aneh.

   "Mewarisi ilmu dari orang seperti engkau, sungguh amat berguna bagi orang muda, tosu. Eh, tosu tua! Apa yang kau lakukan terhadap aku tadi? Setelah mengadu sin-kang denganmu, aku merasa aneh! Eh, siapakah engkau, orang tua? Dan bagaimana dengan kematian puteriku? Apakah sudah dapat ditemukan pembunuhnya?"

   Bun Hoat Tosu memandang tajam, lalu menarik napas panjang.

   "Siancai... kiranya baru sekarang engkau dapat pulih kembali ingatanmu, Lama. Terus terang saja, tadi aku melihat sinar aneh di pandang matamu. Aku menduga bahwa tentu engkau menderita semacam penyakit atau keracunan, maka aku tadi sengaja mengerahkan sin-kang untuk membantumu mengusir hawa beracun. Akan tetapi, ternyata sin-kangmu amat kuat, tanda bahwa engkau tidak keracunan. Dan ternyata, tidak gagal sama sekali usahaku, karena ternyata engkau mengalami himpitan batin, pukulan batin yang amat kuat sehingga engkau seperti kehilangan sebagian ingatanmu."

   "Omitohud!"

   Kok Beng Lama baru sekarang teringat untuk memuji nama Buddha dan dia memandang kakek tua itu dengan mata lebar.

   "Dan itu berarti bahwa betapapun juga, sin-kangmu masih lebih tinggi setingkat daripada aku, totiang, sehingga tenagamu dapat menyelinap ke dalam tubuhku, akan tetapi bukannya merusak malah menyembuhkan! Ahhh, aku teringat semua sekarang! Puteriku terbunuh orang... hemm, dan kau... bocah, kau menjadi muridku selama ini?"

   Tanyanya kepada Lie Seng.

   "Benar, suhu. Setelah suhu menolong saya dari iblis betina itu dan menyerahkan saya dari luka akibat pasir beracun."

   Kok Beng Lama kini bangkit berdiri dan menjura ke arah Bun Hoat Tosu.

   "Aku menghaturkan banyak terima kasih atas pertolonganinu, sobat. Aku tidak akan melupakan budimu."

   Bun Hoat Tosu cepat balas menjura, lalu duduk bersila kembali dan mengomel,

   "Lama yang baik, aku tidak melepas budi apa-apa dan tidak minta balasan apa-apa. Asalkan engkau suka menemani aku main catur dengan taruhan seperti yang sudah dikatakan oleh murid-murid kita tadi, cukup senanglah hatiku. Hayo, kaumulai dan jangan banyak main sungkan-sungkan dan hutang-pihutang budi lagi!"

   Kok Beng Lama memandang tosu itu dan tertawa girang.

   "Aha, tidak mudah di dunia bertemu dengan seorang luar biasa seperti engkau, sahabat. Baiklah, mari kita buktikan, siapa yang lebih unggul mempermainkan biji-biji catur."

   Mulailah dua orang kakek itu bermain catur dan mulai pulalah dua orang anak itu menjadi tidak tenang dan bosan. Mereka memang ingin sekali melihat guru masing-masing menang agar bisa mendapatkan pelajaran ilmu silat tinggi, akan tetapi menonton mereka bermain catur begitu lambat, dua orang anak ini merasa bosan. Kadang-kadang sampai hampir satu jam lamanya seorang di antara dua kakek yang bergiliran jalan, hanya termenung memandang papan caturnya, tidak juga menggerakkan biji catur. Akan tetapi di samping kebosanan mereka, dua orang anak itu tidak berani mengganggu guru masing-masing,

   Maka mereka hanya duduk gelisah, hanya kadang-kadang saja memandang ke arah papan catur, akan tetapi lebih sering mereka memandang ke kanan kiri, dan beberapa kali mereka saling pandang tanpa mengeluarkan kata-kata. Ketika matahari telah condong ke barat, dua orang bocah itu sudah tidak lagi nonton guru-guru mereka yang bermain catur. Sampai matahari condong ke barat, sudah setengah hari mereka bermain catur, namun belum juga ada yang kalah atau menang, satu permainan juga belum habis! Kini dua orang anak itu sudah duduk berhadapan, tak jauh dari tempat guru-guru mereka bermain catur. Karena merasa dikesampingkan dan tidak diperhatikan lagi oleh guru-guru mereka, otomatis dua orang anak itu saling memperhatikan. Ketika Mei Lan memetik setangkai bunga merah, Lie Seng berkata, nada suaranya mencela,

   "Sayang sekali bunga itu dipetik."

   Mei Lan memandang kepadanya, memegang setangkai bunga itu dan mencium baunya yang harum. Bunga itu adalah bunga mawar hutan.

   "Kenapa sayang?"

   Tanyanya.

   "Bunga itu sudah baik-baik tumbuh di tangkainya, mengapa dipetik? Kalau dipetik bukankah akan cepat layu dan mati?"

   "Hemm, memang bunga sepatutnya dipetik dan dinikmati, dan aku suka sekali kepada bunga. Anak-anak perempuan sudah biasa suka memetik bunga."

   Lie Sang tidak membantah lagi. Dia menoleh kepada suhunya yang masih tenggelam bersama lawannya dalam dunia tersendiri, dunia perang catur yang amat mengasyikkan bagi mereka berdua.

   "Gurumu suka sekali bermain catur,"

   Kata Lie Seng pula.

   "Gurumu juga,"

   Jawab Mei Lan.

   "Biasanya, guruku tidak pernah main catur, juga membicarakan soal caturpun tidak pernah. Heran sekali mengapa dia ternyata suka sekali bermain catur. Apakah kau bisa main catur?"

   Mei Lan mengangguk,

   "Aku bisa akan tetapi aku tidak begitu suka, tidak enak menanti lawan berlama-lama memikirkan jalan berikutnya, sampai kesal hati menunggu. Lebih senang bermain silat. Apa kau bisa main catur?"

   Lie Seng menggeleng.

   "Tidak. Akan tetapi aku juga senang bermain silat."

   Mereka berdua sampai lama tidak berkata-kata lagi dan ternyata mereka menjadi makin kesal. Mereka sudah lelah dan lapar, akan tetapi dua orang kakek itu terus saja bermain catur tanpa memperdulikan dua orang anak itu, bahkan mereka itupun sama sekali tidak kelihatan lelah atau lapar atau mengantuk.

   Ketika hari berganti malam dan cuaca sudah terlalu gelap untuk dapat bermain catur, dua orang kakek itu menyuruh murid-murid mereka untuk mencari kayu dan daun-daun kering dan agar mereka membuatkan dua api unggun di kanan kiri dua orang kakek yang terus melanjutkan permainan mereka itu. Setelah membuatkan api unggun untuk guru-guru mereka, Mei Lan dan Lie Seng lalu membuka bungkusan bekal mereka, yaitu roti kering dan air minum, dan tanpa menawarkan kepada guru-guru mereka yang asyik bermain catur itu karena tidak berani mengganggu mereka, dua orang anak ini makan minum sendiri! Dan ternyata, dua orang kakek itu tanpa makan atau minum atau mengaso, melanjutkan permainan catur mereka sampai semalam suntuk!

   Tentu saja Mei Lan dan Lie Seng menjadi kesal sekali dan mereka tidur di atas rumput di dekat api unggun. Dua orang kakek itu melanjutkan permainan mereka dan kadang-kadang menambahkan kayu yang ditumpuk sebagai persediaan oleh dua orang murid mereka itu ke dalam api unggun sehingga api unggun di kanan kiri itu bernyala sampai pagi. Setelah matahari naik dan sinarnya mulai menyusup di antara celah daun pohon, Mei Lan dan Lie Seng terbangun oleh suara Kok Beng Lama yang amat nyaring. Mereka bangun dan duduk dengan kaget, lalu memandang ke arah dua orang kakek itu yang masih saling berhadapan dan mereka kini mulai mengatur lagi biji-biji catur, tanda bahwa baru saja mereka menyelesaikan satu permainan dan hendak mulai lagi dengan permainan berikutnya. Kok Beng Lama kelihatan girang bukan main.

   "Ha-ha-ha! Kekalahanku semalam tertebus dengan kemenangan ini, tosu! Semalam engkau mengalahkan aku dan aku berjanji akan memberikan ilmu pedangku yang tidak ada keduanya di dunia. Sekarang, setelah engkau kalah, ilmu apa yang akan kau berikan kepada muridku?"

   Bun Hoat Tosu kelihatan gembira sekali pula, akan tetapi wajahnya kelihatan tegang dan juga lelah, sungguhpun semua itu tertutup oleh kegembiraan yang terpancar dari pandang matanya dan senyumnya.

   "Permainan caturmu hebat, Lama, dan sesuai dengan janji taruhan, biarlah untuk kekalahanku ini aku akan memberikan ilmu tongkat yang tiada duanya di jagad ini, yaitu Siang-liong-pang-hoat."

   "Bagus, bagus! Aku percaya bahwa tua bangka seperti engkau ini tentu menyimpan banyak ilmu yang hebat-hebat. Memang sudah nasib muridku yang baik. Dalam permainan berikutnya, engkau tentu akan kalah terus dan semua ilmumu terkuras habis dalam pertaruhan ini, tosu."

   "Belum tentu, Lama. Pertandingan kita masih ramai, baru satu-satu. Kita lihat saja nanti!"

   Dan mereka berdua sudah bermain lagi dengan asyiknya.

   Mula-mula, mendengar akan kemenangan guru masing-masing satu kali, dua orang murid itu menjadi tertarik dan beberapa lamanya mereka menonton. Masing-masing mengharapkan agar gurunya menang terus agar mereka memperoleh tambahan ilmu silat tinggi sebanyak mungkin. Akan tetapi menonton permainan itu tidaklah begitu menyenangkan seperti kalau mendengar kemenangannya. Dua orang kakek itu seperti arca-arca yang sama sekali tidak bergerak, seluruh perhatian ditujukan ke atas papan catur. Mereka itu bersikap seolah-olah dunia di sekitar mereka tidak ada dan mereka seperti sudah pindah ke dunia di atas permukaan papan catur itu. Tentu saja hal ini kembali mendatangkan kebosanan pada Mei Lan dan Lie Seng. Mei Lan mengerutkan alisnya, bangkit berdiri dan melangkah pergi. Melihat ini, Lie Seng juga bangkit dan cepat mengejarnya.

   "Kau hendak pergi ke mana?"

   Mei Lan menoleh. Dalam keadaan kesepian dan seperti tidak diperdulikan lagi oleh gurunya itu, dia memang membutuhkan seorang kawan, dan anak laki-laki inipun lumayan untuk dijadikan teman.

   "Mau mandi."

   "Mandi? Di mana ada air di sini?"

   "Di depan sana. Kemarin ketika suhu dan aku berjalan ke sini, aku melihat ada anak sungai kecil di sana, airnya jernih."

   Lie Seng memandang girang.

   "Ah, suhu membawa aku datang begitu cepat sehingga aku tidak sempat melihatnya. Mari kita pergi, akupun ingin mandi."

   Sambil berjalan, mereka memandang ke kanan kiri di mana tumbuh rumput dan ilalang yang amat luasnya.

   "Di bawah pohon di depan itulah tempatnya,"

   Kata Mei Lan menuding ke depan. Mereka mempercepat jalan ke arah pohon itu dan tak lama kemudian setelah tiba di situ, benar saja di situ terdapat anak sungai yang airnya bersih, mengalir sunyi namun gembira dengan dendangnya sambil bermain-main dengan batu-batu yang diterjangnya. Anak sungai itu mengalir menuju ke perkampungan Padang Bangkai dan di daerah ini memang merupakan daerah sebelah selatan Padang Bangkai yang belum berbahaya.

   "Kau tunggulah dulu di bawah pohon dan jangan melihat ke sini. Aku akan mandi dulu,"

   Kata Mei Lan sambil menuruni tebing sungai yang tidak begitu curam.

   "Eh, kenapa? Air itu cukup banyak dan tempatnya juga cukup lebar!"

   Lie Seng membantah. Sepasang pipi itu menjadi kemerahan dan mulut Mei Lan cemberut.

   "Kau bocah laki-laki tahu apa? Mana boleh wanita mandi bersama dengan seorang laki-laki? Hayo kau tunggu dulu di situ, jangan bergerak. Setelah aku selesai, baru engkau yang turun mandi dan aku akan menanti di situ."

   Lie Seng bersungut-sungut akan tetapi lalu duduk di atas akar pohon yang menonjol ke luar tanah.

   "Baiklah, kalau tidak ingat bahwa engkau yang menemukan sungai ini, tentu aku tidak mau mengalah dengan peraturanmu yang aneh ini!"

   Mei Lan hanya tersenyum mendengar ini. Bocah kecil tahu apa engkau, pikirnya. Agaknya biarpun usianya sudah tiga belas tahun, pikiran Lie Seng masih terlalu polos sehingga dia merasa heran mengapa anak perempuan itu tidak mau mandi bersama, bahkan diapun dilarang melihat! Setelah Mei Lan melihat bahwa Lie Seng benar-benar duduk membelakangi sungai dan sama sekali tidak pernah menengok, dia lalu menanggalkan semua pakaiannya dan turun ke dalam air yang setinggi paha, lalu dia duduk sehingga tubuhnya terbenam sampai ke leher.

   "Aihh, dinginnya...!"

   Mei Lan berseru dan ketika dia melihat betapa kepala Lie Seng yang kelihatan dari situ sebatas dada itu hendak menoleh, dia cepat berseru.

   "Awas, tidak boleh menoleh dan melihat ke sini!"

   Lie Seng mendengus dan karena hatinya keras, dia sama sekali tidak sudi menoleh.

   "Akupun tidak ingin melihat engkau mandi!"

   Katanya marah. Makin meradang lagi rasa hati Lie Seng ketika dia menanti sampai lama. Apa saja sih yang dilakukan bocah itu, pikirnya. Mandi sampai begitu lama belum juga selesai!

   "Heii, masa belum juga selesai?"

   Teriaknya tanpa menoleh karena hatinya sudah kesal menanti.

   "Sebentar lagi! Aihh, betapa tidak sabaran engkau!"

   "Habis, lama benar sih! Memangnya engkau mau berendam di situ sampai sehari penuh?"

   Mei Lan tidak menjawab, akan tetapi mempercepat mencuci rambutnya yang hitam panjang itu. Setelah selesai dan berpakaian, dia lalu naik ke atas, rambutnya masih terurai dan dikibas-kibaskannya agar kering. Wajahnya segar kemerahan karena digosok-gosoknya tadi, seperti sekuntum bunga yang sedang mulai mekar.

   Dewi Maut Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Nah, ambillah olehmu seluruh air sungai itu!"

   Katanya kepada Lie Seng yang cemberut. Lie Seng bangkit dan memandang marah.

   "Mandi saja sampai berjam-jam, dasar anak perempuan!"

   "Huh, dan kau menunggu begitu saja tidak sabar, dasar anak laki-laki!"

   Mei Lan membalas. Lie Seng tidak menjawab, menuruni tebing dan menanggalkan semua pakaiannya lalu masuk ke dalam air. Mandinya mendatangkan suara bising, berkecipak di dalam air. Dia tidak pernah menengok apakah anak perempuan itu masih berada di tepi sungai atau tidak, dan memang dibandingkan dengan waktu yang dipergunakan oleh Mei Lan untuk mandi tadi, Lie Seng hanya menggunakan waktu singkat saja. Ketika dia sudah berpakaian dan naik ke tepi sungai dengan rambut basah, dia melihat Mei Lan masih duduk di bawah pohon sambil menyisiri rambutnya.

   "Eh, kau masih di sini?"

   Tanya Lie Seng, rasa mengkal hatinya agaknya sudah lenyap, larut oleh air sungai atau sudah menjadi dingin oleh air.

   "Tentu saja. Bukankah aku tadi berjanji akan menunggu di sini sampai kau selesai?"

   Hati Lie Seng menjadi girang. Kiranya anak perempuan ini baik juga, bersahabat dan memegang janji. Maka ketika Mei Lan menyerahkan sisirnya, dia menyambut tanpa berkata-kata, menyisiri rambutnya. Dan kiranya Mei Lan sudah mengeluarkan roti kering yang tadi dibawanya, mengajak Lie Seng untuk sarapan roti kering, Lie Seng duduk di atas akar pohon dan mereka makan roti kering.

   "Siapa namamu?"

   Tanya Mei Lan.

   "Namaku Lie Seng, dan kau?"

   "Mei Lan. Berapa usiamu?"

   "Tiga belas tahun."

   "Dan aku lima belas tahun."

   "Kalau begitu kau lebih tua dari aku, enci Mei Lan."

   "Tentu saja! Semua orangpun dapat melihatnya."

   "Oh, belum tentu. Aku tidak kalah tinggi olehmu."

   "Benar, karena kau laki-laki. Akan tetapi kau masih kanak-kanak."

   "Hemm, dan kau sudah tua, ya?"

   "Setidaknya, lebih tua daripada engkau."

   Lie Seng tidak dapat membantah. Hening sejenak sampai mereka selesai makan roti kering yang tentu saja tidak enak di mulut karena setiap hari mereka memakannya, akan tetapi berguna bagi perut mereka yang lapar.

   "Mengapa kau ikut bersama hwesio aneh itu?"

   Lie Seng memandang.

   "Tentu saja. Dia guruku dan... dia yang telah menolongku dari bahaya. Kau sendiri, mengapa ikut bersama kakek yang sudah amat tua itu?"

   "Sama denganmu. Karena dia guruku. Di mana orang tuamu?"

   Tanya Mei Lan. Ditanya demikian, Lie Seng mengerutkan alisnya dan sepasang matanya penuh dengan sinar kedukaan, wajahnya menjadi muram dan dia menggeleng kepala, tidak menjawab. Mei Lan menarik napas panjang.

   "Maafkan aku, adik Seng. Agaknya di dunia ini banyak terdapat anak-anak seperti kita... yang terlantar..."

   "Eh, apakah engkau sendiri tidak berayah ibu lagi?"

   Mei Lan menggeleng kepala juga.

   

Petualang Asmara Eps 17 Petualang Asmara Eps 49 Petualang Asmara Eps 34

Cari Blog Ini