Pedang Kayu Harum 52
Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo Bagian 52
Mereka berempat berhenti berlari di sebuah hutan yang sunyi, terengah-engah dan saling pandang. Keng Hong memandang Cong San yang berdiri seperti patung dan menundukkan kepala, lalu pendekar ini menarik napas panjang, menghampiri isterinya dan tanpa bicara dia lalu menaruh obat di luka isterinya, membalutnya dengan robekan jubahnya. Sejenak Yan Cu berdiri mengatur napas yang memburu, memandang suaminya, kemudian ia melangkah maju mendekat suaminya, tanpa mempedulikan luka-lukanya sendiri, mengeluarkan bubuk obat dari ikat pinggangnya dan hendak mengobati luka di pundak suaminya. Akan tetapi baru saja tangannya menyentuh pundak, Cong San mengangkat muka memandang, mukanya pucat, kedua matanya mencucurkan air mata dan dia melompat ke belakang.
"Jangan sentuh aku.........!!"
Yan Cu terkejut dan berdiri memandang terbelalak. Keng Hong dan Biauw Eng menoleh dan memandang dengan alis berkerut, kemudian Keng Hong membentak dengan marah,
"Cong San! Apakah engkau masih tetap gila??"
Dengan muka menunduk Cong San menjawab, suaranya terisak menangis,
"Memang aku gila dan masih gila, aku tidak layak........ tidak layak.......!"
Ia tersedu. Yan Cu melangkah maju, kedua pipinya basah air matanya yang mengalir turun.
"Engkau suamiku........, aku tidak sakit hati akan semua yang telah terjadi. Mari kuobati lukamu, Koko......."
Kembali Cong San melompat ke belakang.
"Jangan.......! Jangan.........kau sentuh aku........ aku.......... aku tidak tahan lagi......... aku terlalu kotor........ tak layak kau sentuh.......... kau terlalu suci dan aku......... tanganmu akan menambah penderitaan batinku. Aku......... aku manusia laknat, anjing pun terlalu bersih untuk mendekatiku........"
"Koko......... engkau suamiku..........!"
Yan Cu menangis dan akan menubruk, akan tetapi Cong San mengelak dan melompat mundur.
"Jangan.........! Demi Tuhan.......... jangan sentuh aku atau engkau pun akan menjadi kotor. Aku......... dosaku tak mungkin dapat diampuni oleh siapapun......!"
Cong San menangis tersedu-sedu seperti anak kecil dan dia menjambak-jambak rambutnya. Keng Hong hendak meloncat, akan tetapi ditahan oleh Biauw Eng yang memberi isyarat dengan mata agar suaminya diam saja dan tidak mencampuri urusan itu.
"San-koko......... ingatlah. Aku Gui Yan Cu, telah bersumpah menjadi isterimu. Aku isterimu, sejak dahulu sampai selamanya........ aku cinta padamu dan aku tidak menaruh dendam atas segala kesalahfahaman......."
"Kesalahfahaman? Aihhh, kalau saja benar demikian. Tidak.....! Tidaaaaaak......!! Aku telah buta, gila oleh cemburu! Aku telah menghina, menyiksa hatimu. Aku telah menuduh secara keji......... aku......... aku tidak layak kau sentuh......... tidak layak untuk hidup lagi........!"
Seperti orang gila, rambutnya awut-awutan, mukanya basah air mata, tiba-tiba Cong San mencabut pedang rampasannya tadi.
"Suamiku.......! Jangan.......! Jangan lakukan itu........! Ingat anak kita........., Kun Liong..........!!"
Yan Cu menjerit daan meloncat ke depan hendak merampas pedang. Akan tetapi Cong San kembali meloncat menjauhi dengan pedang telanjang di tangan, sikapnya tidak seperti orang waras lagi.
"Jangan halangi aku! Jangan menambah dosa dan penderitaanku! Biarkan aku mati, aku tidak patut menjadi suamimu, tidak patut menjadi ayah Kun Liong, tidak patut menjadi sahabat Keng Hong! Tidak patut hidup lagi........., aku manusia iblis..........!"
Tiba-tiba Yan Cu mencabut pedang rampasannya pula.
"Begitukah?? Kau nekat untuk memilih mati? Baiklah, suamiku. Aku sebagai isteri harus mentaati semua kehendakmu, dan sebagai isteri yang setia dan mencinta, aku harus mengikutimu ke manapun engkau pergi. Biarlah aku pergi dahulu untuk mencarikan jalan..........."
Setelah berkata demikian, Yan Cu menggerakkan pedangnya, membacok ke arah lehernya sendiri!
"Trangg!!!"
Pedang di tangan Yan Cu terlepas dan wanita ini menjatuhkan diri berlutut, menutupi muka dengan kedua tangan sambil menangis. Cong San yang menangkis pedang isterinya sekuat tenaga berdiri seperti patung, pucat sekali mukanya, kemudian dia meloncat ke belakang dengan berkata, suaranya gemetar penuh penyesalan,
"Yan Cu, menyebut namamu saja sudah tidak layak bagiku. Jangan kau bersikap seperti ini, karena hal itu menambah perihnya hatiku, menambah besarnya dosaku. Dosaku bertumpuk-tumpuk terhadap dirimu yang suci, dan percayalah, aku tidak ingin melihat engkau menderita lagi hanya karena aku, seorang manusia yang tidak berharga sama sekali. Aku harus mati, dan hanya jalan ini saja yang akan membebaskanmu daripada ikatan seorang suami yang tidak berharga sama sekali. Selamat tinggal!"
"Suamiku.........!!!"
Yan Cu menjerit, namun Cong San sudah menusukan pedang ke arah dadanya sendiri.
"Trakkk!"
Pedang Cong San patah dan terpental, bahkan dia sendiri terhuyung. Demikian hebat tangkisan Siang-bhok-kiam di tangan Keng Hong, saking marahnya pendekar ini.
"Keng Hong, mengapa........ mengapa.........?"
Cong San menegur, penuh keheranan melihat orang yang telah dikhianatinya, yang telah difitnahnya, telah diserang, dimaki dan dihinanya, bahkan hampir dibunuhnya itu menghalangi dia membunuh diri.
"Pengecut laknat!!"
Keng Hong menyarungkan pedangnya dan membentak marah.
"Setelah melakukan hal yang memalukan dan gila, kini engkau takut menghadapi akibatnya, takut menghadapi penyesalan sehingga ingin melarikan diri dengan kematian yang pengecut dan menjijikan. Beginikah seorang laki-laki? Kau patut dihajar!"
"Plakkkk!"
Tamparan Keng Hong mengenai pipi Cong San, membuat dia terpelanting roboh. Cong San terkejut sekali dan ketika dia mencoba untuk bangkit, sebuah tendangan mengenai dadanya, membuat dia terjengkang lagi. Namun Cong San meloncat bangun dan tertawa.
"Ha-ha-ha, bagus sekali! Terima kasih, Keng Hong. Hajarlah aku! Bunuhlah aku untuk membalas kejahatanku terhadapmu, agar ringan hatiku, ha-ha-ha!"
"Laki-laki keparat dan pengecut! Mestinya engkau minta ampun kepada Yan Cu sumoi, mestinya engkau menebus dosa dengan membahagiakan dia, sebaliknya engkau malah hendak menghancurkan harapannya. Setan! Plak! Plak!"
Dua tamparan membuat Cong San terguling lagi dan kedua pipinya sudah bengkak-bengkak membiru. Keng Hong mengejar dan terus menamparinya sampai tubuh Cong San terguling-guling dan terhuyung ke kanan kiri.
"Jangan serang suamiku!!"
Tiba-tiba Yan Cu seperti seekor singa betina diganggu anaknya, meloncat dan mencengkeram pundak Keng Hong menarik tubuh Keng Hong ke belakang lalu menghantam dada Keng Hong penuh kemarahan.
"Bukkk!!"
Keng Hong terjengkang ke belakang!
"Yan Cu, jangan........!!"
Cong San kaget sekali dan cepat menubruk isterinya yang masih hendak menyerang Keng Hong. Keng Hong meloncat bangun. Itulah yang dikehendakinya dan kini dia berkata,
"Nah, buka matamu lebar-lebar, Yap Cong San! Isterimu demikian setia, demikian mencintamu sehingga rela dia melindungimu dan memukul suheng sendiri! Apakah untuk seorang isteri yang begini bijaksana, begini mencinta, engkau masih ingin menghancurkan harapan dan kebahagiaannya?"
Mengertilah kini Cong San mengapa Keng Hong tadi menghajarnya. Sama sekali bukan untuk membalas penghinaannya, melainkan untuk memancing kemarahan Yan Cu yang setia. Ia terisak, air matanya bercucuran, lalu memeluk Yan Cu dan berkata,
"Isteriku, kau........ kau......... sudi mengampuni dosa-dosaku.........?"
"San-koko........! Suamiku.........! Yan Cu balas memeluk dan menangis terisak di dada suaminya. Cong San menciumi isterinya, kemudian menarik isterinya maju berlutut. Ia menjatuhkan diri di depan Keng Hong sambil berkata terputus-putus,
"Taihiap........ aku........ aku mohon ampun.......... ampunilah semua kesalahanku..........!"
Keng Hong mengejap-ngejapkan mata menahan air matanya, lalu mengangkat bangun kedua orang itu, lalu dirangkulnya.
"Cong San, aku tidak pernah benci kepadamu karena aku tahu betapa jahatnya perasaan cemburu kalau sudah menguasai hati manusia. Dan jangan menyebut Taihiap segala........ kita masih sahabat seperti dahulu, bahkan keluarga........"
"Keng Hong.........!"
Cong San merangkul pendekar sakti itu dan menangis seperti anak kecil. Yan Cu merangkul Biauw Eng yang menghampiri mereka dan kedua orang wanita ini pun bertangis-tangisan, tangis penuh rasa haru dan bahagia.
"Cong San, mintalah ampun kepada isterimu."
Keng Hong berbisik dekat telinga sahabatnya. Cong San merenggangkan diri, memandang wajah Keng Hong dan mengangguk, kemudian dia menghampiri Yan Cu yang masih berpelukan dengan Biauw Eng.
"Isteriku, Yan Cu"...."
Dua orang wanita itu saling melepas rangkulan dan Biauw Eng segera meninggalkan Yan Cu menghampiri suaminya sambil menghapus air mata dengan sabuk merah muda milik Yan Cu yang tadi dipergunakan sebagai senjata. Cong San dan Yan Cu saling berpandangan. Yan Cu menggerakan bibirnya yang menggigil dan mencoba tersenyum, akan tetapi air mata tetap menitik turun.
"Yan Cu, aku mohon ampun kepadamu......."
Tiba-tiba Cong San yang teringat akan kata-kata Keng Hong ketika mereka tertawan, menubruk kaki isterinya dan menciumi ujung sepatu Yan Cu, mencuci sepatu yang kotor berlumpur itu dengan air mata dan bibirnya! Yan Cu sejenak mengangkat muka ke atas, matanya terpejam, kedua lengan berdekapan seperti mengucap terima kasih kepada langit, akan tetapi tubuhnya bergerak-gerak terayun dan tentu roboh pingsan kalau saja Cong San tidak cepat meloncat dan memeluknya.
"Suamiku........ kau tertipu orang........."
"Tidak, kau harus mengampuni aku, isteriku, barulah tercuci penyesalan di hatiku........"
"San-ko, aku ampunkan engkau.......... suamiku..........."
"Terima kasih, terima kasih, isteriku......"
Setelah keharuan mereka mereda dan saling menghujankan peluk cium pelepas rindu dendam yang selama ini menjadi jurang pemisah oleh cemburu, mereka saling mengobati luka masing-masing dengan muka masih basah melepas isak yang menyesak dada.
"Omitohud, di mana-mana manusia menangis........"
Meraka berempat memandang dan kiranya yang mengucapkan kata-kata itu adalah seorang hwesio tua tinggi besar berkulit hitam, bermata lebar dan memondong seorang anak laki-laki. Di sebelah kanannya terdapat seorang hwesio tua lain, yang juga memondong seorang anak perempuan. Kedua anak itu tadinya tertidur, akan tetapi kini mereka terbangun dan seperti dikomando, keduanya menangis!
"Kun Liong.........!"
Yan Cu cepat lari dan menerima puteranya dari pondongan Thian Kek Hwesio. yang kini menjadi ketua Siauw-lim-pai
"Giok Keng........!"
Biauw Eng juga lari menerima puterinya dari pondongan Thian Lee Hwesio. Kedua orang ibu muda itu lalu menyusui anak masing-masing yang segera terdiam dan menyusu dengan lahapnya.
"Omitohud........! Di antara semua tangis, hanya tangis kedua orang anak ini, seperti tangis semua anak-anak lain di dunia, yang murni dan suci! Mereka menangis dengan wajar, tidak sedikit pun dicampuri perasaan hati dan pikiran. Betapa beningnya dan merdu tangis mereka, betapa bedanya dengan tangis orang-orang tua yang pinceng dengar. Kalian menangis karena penyesalan, terharu dan bahagia."
"Suheng........"
Cong San menjatuhkan diri berlutut.
"Di mana suhu.........?"
"Yap-sicu, harap ingat bahwa Sicu bukanlah murid Siauw-lim-pai. Suhumu menitipkan anak-anak ini kepada pinceng dan karena pinceng tidak menghendaki Siauw-lim-pai terbawa-bawa oleh urusan orang luar, terpaksa pinceng menyusulkan mereka ke sini. Suhumu juga menangis sedih ketika pinceng pergi. Ahhh, dunia penuh dengan tangis-tangis manusia!"
Cong San terkejut sekali.
"Suhu.......... menangis............?"
Thian Kek Hwesio menarik napas panjang, mengangguk.
"Yap, dia menangis karena terpaksa membantu kalian melakukan pembunuhan-pembunuhan. Tiada pilihan lain baginya, tidak menolong berarti kalian terbunuh, menolong berarti kalian membunuh. Sungguh pilihan yang amat sulit bagi orang tua itu dan makin membuka mata batin bahwa dunia ini penuh dengan makhluk-makhluk paling buas yang selalu saling bermusuhan dan saling membunuh, yaitu manusia!"
"Akan tetapi, Locianpwe!"
Biauw Eng membantah.
"Sudah menjadi kewajiban kita untuk menentang yang jahat! Cui Im dan kaki tangannya adalah manusia-manusia iblis yang patut dibasmi!"
Sepasang mata yang lebar itu memandang tajam.
"Pendirian seperti itulah yang menimbulkan segala permusuhan. Menentang! Kata-kata itu seharusnya lenyap dari batin setiap manusia, kalau manusia ingin hidup di dalam dunia yang aman dan damai. Sekali mengambil sikap menentang, berarti menanam permusuhan. Menentang yang jahat? Apakah yang jahat itu? Apakah yang baik itu? Bukankah yang mengatakan baik atau jahat itu sang aku yang mendasarkan pendapatnya dengan rugi untung? Kalau sang aku diuntungkan lahir maupun batinnya, maka baiklah bagi sang aku. Kalau dirugikan, maka jahatlah bagi sang aku. Wahai orang-orang muda, mulai saat ini belajarlah kalian, belajar mengenal diri pribadi. Kenalilah bahwa yang kalian sebut Aku itu bukanlah aku yang sejati, melainkan aku yang palsu, aku yang sebetulnya hanyalah kedok belaka daripada nafsu badani! Aku yang palsu, kedok nafsu badani selalu penuh gairah hendak menyenangkan dan memuaskan badan yang tak kunjung puas seperti sebuah gentong yang dasarnya berlubang, tak mungkin dapat terpenuhi dan selalu kosong dan haus. Semua itu tidak ada sangkut pautnya dengan AKU yang sejati. Manusia menjadi hamba daripada nafsunya sendiri sehingga seperti buta oleh loba dan tamak, mementingkan sang aku. Aku jangan diganggu, manusia lain sedunia masa bodoh. Milikku jangan diganggu, milik manusia lain sedunia masa bodoh. Dan karena setiap orang manusia yang menjadi hamba dari sang aku palsu ini, maka timbullah pertentangan dan mengakibatkan permusuhan, benci-membenci, dendam-mendendam, tipu-menipu, sakit-menyakiti dan bunuh-membunuh. Karena itulah maka Tiong Pek Hosiang menangis dalam kamar samadhinya!"
Kakek itu menengadah dan menarik napas panjang.
"Suheng........ eh, Locianpwe, setelah saya sadar, setelah saya mendapat pengampunan dari isteri saya, sudilah Locianpwe menjelaskan mengapa saya sampai dapat menjadi gila oleh cemburu, padahal saya amat mencinta isteri saya?"
Cong San yang melihat hwesio itu hendak pergi, cepat menahannya dengan pertanyaan ini. Hwesio itu memenamkan kedua matanya, seolah-olah hendak mohon penerangan dari alam, kemudian terdengar dia berkata,
"Nafsu badani yang berkedok AKU amatlah berbahaya dan kuat! Semua sifat baik dapat dikotorinya dan dipalsukannya. Bahkan cinta kasih yang murni, sifat termulia di antara segala sifat, dapat pula dipalsukan dan dikotorkan! yap-sicu, pinceng percaya bahwa Sicu mencinta isterimu, dengan cinta kasih yang murni, namun Sicu terpedaya oleh sang aku. Yang menciptakan cemburu bukanlah cinta kasih yang murni, melainkan nafsu sayang diri yang berkedok sang aku itulah! Cinta kasih murni membuat orang ingin melihat yang dicintanya berbahagia, bukan? Apakah Sicu mempunyai keinginan di hati untuk melihat isteri Sicu bahagia hidupnya?"
Cong San mengangguk.
"Tentu saja, Locianpwe."
"Nah, itulah cinta kasih yang murni, bebas dari kepentingan sang aku! Andaikata terbukti bahwa isteri Sicu mencinta orang lain, andaikata isteri Sicu merasa berbahagia untuk hidup berdampingan dengan laki-laki lain, maka cinta kasih murni di hati tidak akan terluka, tentu Sicu, dengan dasar cinta kasih yang ingin melihat kebahagiaan isteri Sicu itu, akan mengalah dan membiarkan isteri Sicu berbahagia! Akan tetapi, Sicu menjadi cemburu. Mengapa? Karena cinta kasih Sicu telah dipalsu dan dikotori oleh sang aku palsu itulah! Maka timbullah kemarahan karena Sicu yang diganggu, Sicu yang dirugikan, isteri Sicu, milik Sicu, yang hendak direbut orang. Jadi, perasaan cemburu, sakit hati dan marah itu timbul bukan demi cinta kasih terhadap isteri Sicu, melainkan demi cinta diri, demi cinta yang berkedok sang aku. Mengertikah, Sicu?"
"Ohhhhh........! Betapa bodohnya aku...........! Dan betapa murni cinta kasih Yan Cu yang rela hendak mengorbankan nyawa demi kebahagiaanku, suaminya yang tidak berharga ini......."
Cong San mengeluh dan merangkul isterinya yang masih menyusui puteranya.
"Cinta kasih murni tidak mengenal cacad, berharga atau tidak, pendeknya, cinta kasih murni tidak membuat penilaian!"
Kakek itu berkata lagi dengan mata setengah terpejam.
"Lihatlah cinta kasih Tuhan kepada manusia dan segala mahluk. Sinar matahari diberikanNya kepada siapapun juga, baik pengemis maupun hartawan, pencuri maupun pendeta, dari semut sampai gajah, sinar matahari itu adalah curahan kasih suci yang bebas dari penilaian. Itulah cinta kasih murni! Lihatlah cinta kasih ibu terhadap anaknya, dari semua makhluk! Tiada penilaian apakah anaknya itu baik ataukah buruk, cinta kasih seorang ibu tetap takkan berubah! Itulah cinta kasih murni manusia, Aaahhh, pinceng telah terlalu banyak bicara, pinceng telah melaksanakan pesan Tiong Pek Hosiang mengembalikan anak-anak kalian. Selamat tinggal dan semoga kalian memperoleh kesadaran."
Kakek itu bersama Thian Lee Hwesio meninggalkan hutan, berjalan dengan langkah lebar tanpa menoleh ke kanan kiri. Keng Hong dan Biauw Eng saling pandang, demikian pula Cong San dan Yan Cu. Biarpun kata-kata Thian Kek Hwesio itu hanya sederhana saja, namun mereka merasa terpesona dan terbuka mata batin mereka, merasa ngeri kalau mengingat kembali perbuatan mereka yang sudah lalu.
"Semoga anak-anak kita akan menjadi manusia-manusia yang lebih sadar daripada kita,"
Keng Hong berbisik.
"Semoga demikian.........."
Cong San menyambung.
"Dan semoga seluruh manusia di dunia ini, bersama-sama saya, akan suka belajar mengenal diri sendiri, sedikit demi sedikit menggosok bersih debu-debu nafsu yang mengeruhkan dan menjadi penghalang dari SINAR API yang berada dalam diri sendiri manusia, sehingga sinar itu akan menyorot keluar dan menerangi dunia, mendatangkan suasana DAMAI penuh KASIH dalam penghidupan manusia,"
Demikian berkata pengarang sebagai penutup cerita "Pedang Kayu Harum"
Ini.
TAMAT
Kisah Si Bangau Putih Eps 29 Si Bangau Merah Eps 24 Pusaka Pulau Es Eps 12