Ceritasilat Novel Online

Dewi Maut 43


Dewi Maut Karya Kho Ping Hoo Bagian 43



"Hemm, kalau awak lagi sial!"

   Dia menggerutu.

   "Dua kali berturut-turut aku disangka jai-hoa-cat, disangka siluman! Pertama oleh puteri ketua Cin-ling-pai, kedua oleh kau!"

   "Lekas ceritakan apa yang terjadi, jangan banyak rewel!"

   "Baik, dengarkanlah, orang gagah. Kemarin malam aku yang sudah sepekan menyelidiki adanya siluman itu tanpa hasil, mengambil keputusan untuk memancing keluarnya siluman itu dengan mencuri harta milik hartawan Ciong. Celakanya, perbuatanku itu ketahuan oleh Cia Giok Keng lihiap, puteri ketua Cin-ling-pai dan hampir saja aku mampus di tangannya. Untung aku sempat memberi tahu dan kemudian malam ini kami bardua menanti akan hasil rencanaku itu yang disetujui pula oleh Cia-lihiap. Dan siluman itu memang muncul. Aku dihajar sampai hampir celaka, untung ditolong oleh Cia-lihiap yang kemudian mengejar siluman itu. Akan tetapi mereka itu lenyap, entah ke mana dan selagi aku termenung bingung menanti di sini bersama harta curian yang digunakan sebagai pancingan ini, engkau datang-datang menyangka aku siluman lagi!"

   "Ah, ke mana perginya Cia-lihiap...?"

   Laki-laki itu bertanya dengan nada suara khawatir.

   "Bagaimana saya tahu?"

   Can Pouw lalu menceritakan sejelasnya tentang pertemuannya dengan Giok Keng dan tentang peristiwa tadi.

   "Sudah kuceritakan bahwa aku hampir tewas di tangan siluman itu, dan untung Cia-lihiap menolongku. Mereka bertanding ramai dan siluman itu lalu melarikan diri, dikejar oleh Cia-lihiap. Mereka lenyap ditelan kegelapan malam, dan karena aku tahu bahwa siluman itu lihai sekali dan aku tidak dapat mencari, terpaksa aku kembali ke sini dan menanti kembalinya Cia... ehhh, apa ini?"

   Can Pouw terkejut karena tiba-tiba laki-laki itu meniup padam lilin di atas meja, kemudian bagaikan seekor burung rajawali menerkam tikus, dia sudah menyambar tubuh Can Pouw dan dibawanya meloncat keluar dari jendela, lalu mendekam tak jauh dari situ.

   "Ssstt, ada orang datang...!"

   Bisik laki-laki itu kepada Can Pouw. Mereka menanti dan jantung Can Pouw berdebar tegang. Belum pernah dia mengalami hal seperti ini di mana dia menjadi orang yang sama sekali tidak berdaya dan lemah! Tak lama kemudian, kelihatan berkelebat bayangan dua orang yang kepalanya gundul. Hwesio! Mereka itu memiliki gerakan lincah sekali, meloncat memasuki kamar dan tak lama kemudian, mereka terdengar berbisik-bisik di dalam kamar, lalu dua bayangan itu berkelebat keluar lagi terus melayang ke atas genteng. Can Pouw hanya merasa ada angin menyambar di belakangnya, dan ketika dia menoleh, ternyata laki-laki yang tadi menangkapnya telah lenyap pula. Can Pouw membanting-banting kakinya.

   "Sialan! Tentu dia tadi siluman dan dua orang tadi teman-temannya! Celaka, harta itu mereka bawa pula!"

   Akan tetapi dia segera berpikir bahwa tidak mungkin siluman itu si laki-laki sederhana tadi.

   Kalau benar demikian, dengan kepandaiannya yang tinggi, apa sukarnya untuk membawa pergi harta itu dan membunuhnya? Tidak, tentu tidak ada hubungannya antara laki-laki gagah tadi dengan dua orang hwesio yang membawa pergi harta. Hwesio? Hanya ada satu kuil di Heng-tung. Kuil Ban-hok-tong! Can Pouw adalah seorang yang cerdik. Begitu melihat bahwa dua orang yang mengambil harta itu adalah hwesio-hwesio, maka segera timbul dugaan keras di hatinya bahwa tentu ada apa-apa di Kuil Ban-hok-tong, ada hubungan antara para hwesio di sana dengan siluman yang menghebohkan Heng-tung itu. Maka dia tidak ragu-ragu lagi cepat diapun meloncat ke atas genteng dan menggunakan kepandaiannya, cepat-cepat dia menuju ke Kuil Ban-hok-tong! Siapakah laki-laki gagah perkasa berpakaian sederhana yang terkejut mendengar nama Cia Giok Keng tadi?

   Dia itu bukan lain adalah Yap Kun Liong! Seperti telah diceritakan di bagian depan cerita ini, setelah berpisah dari pertemuannya dengan Cia Giok Keng, Kun Liong juga pergi hendak mencari putera Giok Keng yang lenyap diculik penjahat, yaitu Lie Seng. Akan tetapi, dia lebih mementingkan penyelidikannya tentang Lima Bayangan Dewa sampai akhirnya dia dapat membongkar semua rahasia setelah dia bertemu dengan Yo Bi Kiok pembunuh isterinya, berhasil merobohkan Bi Kiok dan di tempat Raja Sabutai itupun dia telah bertemu dengan In Hong dan mendengar bahwa Lie Seng ternyata telah ditolong Oleh ayah mertuanya, yaitu Kok Beng Lama. Setelah kembali dari utara, Kun Liong lalu pulang ke Leng-kok untuk menengok kuburan isterinya. Di Leng-kok inilah dia mendengar tentang siluman yang mengacau di Heng-tung, kota yang tidak jauh letaknya dari Leng-kok,

   Maka dengan hati penasaran pendeker ini lalu menyelidikinya dan kebetulan dia melihat gerak-gerik Can Pouw yang mencurigakan melam itu ketika Can Pouw dengan jalan tidak semestinya memasuki kamar hotelnya dari atas genteng! Kini Kun Liong dengan perasaan terheran-heran mengikuti dua orang hwesio yang mengambil karung berisi uang emas dari kamar Can Pouw itu. Dua orang hwesio itu memasuki Kuil Ban-hok-tong dan dengan menggunakan kepandaiannya yang tinggi, Kun Liong dapat terus membayangi mereka dan ketika mereka berdua memasuki kamar besar itu, Kun Liong sudah mengintai dari atas dengan menggantungkan kedua kakinya di tiang melintang. Alangkah kaget dan juga girangnya ketika dia melihat Cia Giok Keng rebah terbelenggu di atas pembaringan dan dua orang hwesio itu memasuki kamar sambil membawa karung berisi uang emas.

   "Suheng, inilah karung uang emas yang dicuri itu, ditinggalkan di sebuah kamar kosong di penginapan itu. Kami tidak melihat adanya Jeng-ci Sin-touw, maka kami hanya dapat membawa karung ini saja."

   "Nah, losuhu. Bukankah benar semua penjelasanku?"

   Terdengar Giok Keng berkata.

   "Nanti dulu, toanio. Benar ada karung emas ini, akan tetapi Jeng-ci Sin-touw belum ditangkap. Siapa tahu kalau-kalau dialah silumannya dan engkau hanya ditipu saja! Betapapun juga, sudah menjadi kewajiban kami untuk melaporkan semua ini kepada yang berwajib. Kami masih ragu-ragu karena bagaimana kami dapat tahu bahwa benar-benar toanio adalah puteri ketua Cin-ling-pai, bukan satu di antara siluman-siluman yang selama ini mengacau kota ini?"

   "Losuhu keliru! Dia benar puteri ketua Cin-ling-pai!"

   Tiba-tiba terdengar suara orang dan tahu-tahu ada bayangan berkelebat dan scorang laki-laki berdiri di dalam kamar itu. Tentu saja Kim Hwa Cinjin dan dua orang sutenya terkejut setengah mati! Bagaimana mereka bertiga yang merupakan orang-orang berkepandaian tinggi, merupakan tokoh-tokoh ternama dari Pek-lian-kauw wilayah selatan, sampai tidak melihat ada orang memasuki kamar di mana mereka berada, dan orang itu bahkan agaknya sudah lama mengintai, buktinya dapat menyambung percakapan mereka!

   "Yap-suheng...!"

   "Cia-sumoi, tenanglah,"

   Kata Kun Liong. Mendengar sebutan itu, Kim Hwa Cinjin terkejut. Sutenya yang bermuka bopeng sudah mengeluarkan teriakan keras dan berbondong datanglah belasan orang hwesio mengepung kamar itu. Akan tetapi Kim Hwa Cinjin yang sudah mendengar akan nama seorang pendekar sakti she Yap, yaitu Yap Kun Liong, cepat mengangkat tangan ke atas sebagai isyarat agar anak buahnya jangan bertindak sembrono. Kemudian dengan tangan tetap terangkap di dada dia berkata,

   "Omitohud... banyak orang pandai kami temui malam ini! Agaknya persoalan siluman di Heng-tung menarik datangnya pendekar-pendekar sakti. Siapakah sicu dan apa maksud kedatangan sicu di sini?"

   Kun Liong cepat menjura, lalu berkata dengan sikap hormat.

   "Saya bernama Yap Kun Liong, tinggal di Leng-kok. Mendengar akan adanya siluman mengganas, saya menyelidiki dan tadi saya melihat dua orang losuhu ini membawa karung emes ke sini, maka saya lancang membayangi mereka dan melihat bahwa sumoi Cia Giok Keng ditawan di sini, maka saya cepat menjelaskan. Losuhu salah tangkap dan harap suka membebaskan sumoi. Dia itu benar puteri ketua Cin-ling-pai dan tidaklah mungkin kalau dia yang menjadi silumannya!"

   "Omitohud... pinceng benar-benar menjadi bingung,"

   Kim Hwa Cinjin berkata.

   "Sumoi dari sicu ini, Cia-toanio, juga mengaku sebagai penyelidik, akan tetapi kemarin malam hartawan Ciong kemalingan dan ternyata emas itu berada pada Cia-toanio yang katanya memang dicuri oleh temannya untuk memancing keluar siluman. Ah, Yap-sicu, tentu sicu mengerti kedudukan kami sehingga terpaksa kami menangkap Cia-toanio yang mencurigakan perbuatannya itu. Akan tetapi, setelah sicu muncul, ada saksi bahwa dia benar puteri ketua Cin-ling-pal, maka tidak ada perlunya lagi kami menahannya. Sute, lepaskan belenggu itu!"

   "Biarkan saya yang melepaskannya!"

   Kata Kun Liong sambil menghampiri pembaringan. Jari-jari tangannya meraba dan belenggu itu putus semua, kemudian dia membebaskan totokan pada tubuh Giok Keng. Giok Keng bangkit berdiri, mengurut kaki tangannya untuk melancarkan darah.

   "Maaf, toanio,"

   Kim Hwa Cinjin menjura.

   "Kami hanya menjalankan kewajiban kami, dan betapapun juga, kami harap toanio suka pergi kepada pembesar setempat dengan Yap-sicu dan melaporkan semua peristiwa agar kami tidak terlibat dalam kesukaran. Dan untuk menyatakan maaf kami, harap ji-wi sudi menerima suguhan teh harum dari kami. Sute, lekas ambilkan teh untuk menghilangkan rasa tidak enak dan kekagetan Cia-toanio."

   Si muka bopeng mengangguk dan keluar dari kamar. Akan tetapi, segera terdengar suaranya dari kamar belakang,

   "Heiii! Siapa yang mencuri cawan-cawan teh? Tadi masih di sini, kenapa sekarang lenyap semua?"

   Tiba-tiba banyak benda menyambar dari luar kamar memasuki kamar itu, menyambar ke arah Kim Hwa Cinjin dan teman-temannya. Tentu saja mereka sibuk menghindarkan diri, menangkis dan mengelak.

   "Cia-lihiap, awas, mereka itu bukanlah hwesio-hwesio Ban-hok-tong! Mereka adalah tosu-tosu Pek-lian-kau!"

   Terdengar suara teriakan keras dan muncullah Can Pouw bersama seorang hwesio tua yang dikenal oleh Kun Liong sebagai Kai Sek Hwesio, ketua Ban-hok-tong!

   Bagaimana Can Pouw bisa muncul dan membongkar rahasia kawanan Pek-lian-kauw itu? Seperti telah kita ketahui Can Pouw merasa curiga melibat bahwa yang mengambil karung uang emas itu adalah dua orang hwesio, maka dengan cepat dia pergi memasuki Kuil Ban-hok-tong. Kebetulan sekali, ketika dia tiba di situ, semua anak buah Pek-lian-kauw telah berkumpul mengurung kamar besar atas isyarat sute dari Kim Hwa Cinjin untuk menghadapi Kun Liong. Karena kuil itu sepi dan ditinggalkan, enak saja maling yang berpengalaman ini untuk menyelinap masuk. Dia terus pergi ke belakang dan mendengar isak tangis tertahan. Cepat dia mengintai dan di dalam beberapa buah kamar dia melihat beberapa orang gadis cantik yang tidak berpakaian sama sekali berada di atas pembaringan atau duduk di atas kursi sambil menangis, tangis yang ditahan-tahan karena mereka itu kelihatannya takut sekali!

   Can Pouw tidak berani masuk melihat gadis-gadis cantik itu telanjang bulat, maka dia terus menyelidiki ke belakang dan akhirnya di dalam sebuah kamar gudang dia melihat hwesio-hwesio aseli dari Ban-hok-tong dibelenggu menjadi satu dan disumbat mulut mereka! Can Pouw cepat membebaskan belenggu Kai Sek Hwesio, kemudian bersama dengan ketua itu yang telah menceritakan semua perbuatan tosu-tosu Pek-lian-kauw yang menyergap mereka dan menguasai kuil, dia cepet pergi ke kamar yang terkurung dan membikin ribut, dengan mencuri cawan-cawan dan menggunakannya sebagai senjata-senjata rahasia. Tentu saja Kim Hwa Cinjin dan anak buahnya terkejut bukan main.

   Melihat bahwa rahasia mereka telah terbuka, Kim Hwa Cinjin memberi isyarat dan semua hwesio palsu itu mencabut senjata dan menyerbu, menyerang Kun Liong, Giok Keng, dan Can Pouw dengan ganas karena tiga orang ini harus cepat dibunuh! Akan tetapi orang-orang Pek-lian-kauw itu menemui batunya sekarang! Kun Liong dan terutama sekali Giok Keng mengamuk dengan hebat karena mereka marah sekali melihat bahwa hwesio-hwesio itu ternyata adalah penjahat-penjahat Pek-lian-kauw yang menyamar, juga Can Pouw mengamuk dan dikeroyok oleh dua orang hwesio, sedangkan hwesio-hwesio penyamaran orang-orang Pek-lian-kauw yang lain membantu Kim Hwa Cinjin dan dua orang sutenya mengeroyok Kun Liong dan Giok Keng. Pertempuran hebat di dalam dan di luar kamar itu hanya ramai suaranya saja, akan tetapi pertempuran itu sendiri sama sekali tidak seimbang.

   Belasan orang yang dipimpin oleh Kim Hwa Cinjin dan dua orang sutenya itu sama sekali bukanlah lawan yang seimbang dengan Yap Kun Liong dan Cia Giok Keng. Memang harus diakui bahwa kepandaian tiga orang pemimpin itu, terutama Kim Hwa Cinjin, cukup tinggi. Akan tetapi berhadapan dengan Yap Kun Liong, mereka itu mati kutu dan bukan apa-apa. Karena itu, pertempuran itu lebih tepat disebut penghancuran orang-orang Pek-lian-kauw yang dilakukan oleh dua orang pendekar itu yang menghajar mereka. Bahkan, Can Pouw yang dikeroyok oleh dua orang anak buah Pek-lian-kauw itu juga memperlihatkan keunggulannya! Ketika Can Pouw sedang dikeroyok dan dia menggunakan kegesitannya untuk mengelak ke sana-sini, tangannya seperti dua ekor ular dengan jari-jarinya yang panjang bergerak-gerak, tiba-tiba dia membentak,

   "Lihat ini!"

   Dan dia sudah memainkan sehelai kalung emas bermata mutiara yang digantungkan di antara jari-jari tangannya.

   "Hem, itu punyaku!"

   Teriak seorang di antara dua orang pengereyoknya yang bermata juling. Kiranya kalung itu adalah satu di antara barang-barang berharga yang dia sembunyikan dari kumpulan barang-barang curian mereka dan entah bagaimana telah dicopet oleh si pencopet Jari Seribu dari saku sebelah dalam bajunya!

   "Nah, ambillah!"

   Kata Can Pouw, akan tetapi ketika si mata juling itu mengulurkan tangan hendak mengambil kalung itu, tiba-tiba kaki Can Pouw bergerak dari bawah menendang.

   "Dessss...! Auwww...!"

   Si juling terkejut dan berteriak, lalu berloncatan dengan kaki kiri sambil memegang kaki kanan dengan kedua tangannya karena tulang kering kaki kanannya kena digajul (ditendang dengan ujung sepatu) oleh Can Pouw secara licik. Mata itu makin menjuling menahan rasa nyeri yang menyusup ke tulang sumsum.

   "Heh-heh, dan ini punya siapa?"

   Kembali Can Pouw memperlihatkan sebuah hiasan rambut berupa burung terbuat dari emas dan mutiara, yang dicopetnya dari saku baju pengeroyok kedua yang hidungnya besar. Hidung itu kembang kempis ketika orangnya mengenal barangnya.

   "Si copet busuk! Kembalikan barangku!"

   Hardiknya.

   "Boleh, mari ambillah!"

   Can Pouw mengulurkan benda itu di atas telapak tangannya. Akan tetapi orang ini tidak mau diakali, dia mengambil benda itu sambil memperhatikan kaki Can Pouw.

   "Plokkk! Aduhhh...!"

   Kiranya Can Pouw bukannya menggunakan kakinya, melainkan menggunakan hiasan rambut yang terbuat dari emas dan runcing keras itu untuk menghantam hidung yang besar itu. Tentu saja hidung itu menjadi remuk dan darah mengucur deras. Sambil tertawa, Can Pouw lalu menghujankan pukulan dan tendangan kepada dua orang pengeroyoknya sampai mereka jatuh bangun dan roboh pingsan. Akan tetapi ketika itu, pertempuran telah selesai. Semua anak buah Pek-lian-kauw roboh, ada yang tewas dan ada pula yang pingsan, Akan tetapi Kim Hwa Cinjin dan dua orang sutenya berhasil meloloskan diri dengan menggunakan selampe merah yang mengeluarkan debu merah beracun. Semua hwesio Ban-hok-tong lalu dibebaskan dari belenggu dan tujuh orang gadis cantik yang menjadi korban kebiadaban orang-orang Pek-lian-kauw itu diberi pakaian.

   Dengan girang Gjok Keng dapat menemukan kembali pedang dan setelah mewakilkan kepada Can Pouw untuk menyelesaikan urusan itu dengan pembesar setempat, Kun Liong dan Giok Keng cepat meninggalkan kuil itu di waktu itu juga, yaitu lewat tengah malam menjelang pagi! Can Pouw dengan sikap dan lagak sebagai seorang pahlawan, mengumpulkan gadis-gadis dan semua harta curian, menerima kedatangan pembesar yang telah dilapori dan datang untuk mengadakan pemeriksaan. Can Pouw dihujani pujian, baik dari para hwesio dan dari para pembesar maupun dari semua penghuni kota Heng-tung. Berkat jasanya yang beser, di kemudian hari Can Pouw menjadi seorang tokoh di Heng-tung, hidup sebagai seorang warga terhormat, dihadiahi banyak harta oleh kaum hartawan yang mendapatkan kembali harta mereka,

   Diberi kedudukan sebagai penasihat oleh kepala daerah, bahkan dijadikan pelindung oleh Kuil Ban-hok-tong. Dia memperoleh sebuah rumah dan hidup dengan makmur dan terhormat. Tentu saja dia membuang julukannya yang lama, tidak lagi Jeng-ci Sin-touw atau Maling Sakti Jari Seribu, melainkan Jeng-ci Ho-han (Orang Gagah Jari Seribu). Jari-jarinya yang seribu kini bukan digunakan untuk mencopet, melainkan untuk menolong orang! Demikianlah anggapan orang banyak, dan termasuk anggapannya sendiri. Sementara itu, Kun Liong dan Giok Keng sudah berjalan cepat meninggalkan kota Heng-tung dan setelah tiba di luar kota yang sunyi, di waktu pagi yang berkabut, dengan warna-warni biru merah keemasan indah di langit timur, mereka berhenti dan berdiri berhadapan. Sampai lama keduanya hanya berdiri saling pandang, kemudian terdengar ucapan Giok Keng,

   "Terima kasih, suheng. Untuk kesekian kalinya, engkau menyelamatkan aku."

   "Ah, tidak perlu disebut lagi hal itu, sumoi. Aku mempunyai berita yang jauh lebih menyenangkan bagimu."

   "Lie Seng?"

   Giok Keng bertanya penuh gairah dan sinar matanya penuh harapan. Kun Liong mengangguk.

   "Bagaimana dengan dia, suheng? Dan di mana dia?"

   "Dia selamat, diselamatkan oleh... ayah mertuaku..."

   "Kok Beng Lama...?"

   Giok Keng bertanya dengan mata terbuka lebar. Kun Liong mengangguk lalu menceritakan apa yang didengarnya dari In Hong tentang Lie Seng yang terluka oleh pasir beracun Siang-tok-swa dan diobati oleh In Hong sendiri dan diapun mengatakan bahwa racun yang jahat itu telah berhasil dikeluarkan dan bahwa Siang-tok-swa adalah senjata rahasia dari Yo Bi Kiok ketua dari Giok-hong-pang.

   Giok Keng mendengarkan dengan jantung berdebar dan dengan perasaan bercampur aduk. Siapa mengira bahwa akhirnya, orang-orang yang tadinya dianggap memusuhinya itu malah yang menolong puteranya! Kok Beng Lama yang menyeretnya ke Cin-ling-pai dahulu karena menuduh dia membunuh puteri pendeta itu, dan Yap In Hong yang dianggap menghinanya, yang bahkan merupakan sebab yang menimbulkan keributan dan malapetaka, malah menjadi penyelamat puteranya. Teringatlah dia akan kata-kata ayahnya yang ternyata amat tepat sekarang, yaitu bahwa tidak benar kalau kita menilai orang dari perbuatan yang lalu, karena setiap saat bisa saja terjadi perubahan pada orang itu!

   "Jadi... kalau begitu... yang menculik puteraku, yang membunuh Hong Khi Hoatsu guru mendiang suamiku, adalah Yo Bi Kiok?"

   "Yang menculik puteramu memang jelas dia, akan tetapi yang membunuh Hong Khi Hoatsu tentu orang-orang Bayangan Dewa."

   "Hemm, Yo Bi Kiok perempuan laknat. Aku harus mencarinya!"

   Giok Keng berkata geram.

   "Tidak perlu lagi, sumoi. Dia sudah tewas dan tahukah engkau siapa yang membunuh isteriku?"

   Giok Keng terkejut sekali.

   "Siapa? Sudah tahukah engkau, suheng?"

   Kun Liong mengangguk.

   "Yang membunuh dia juga, Yo Bi Kiok itulah."

   "Bukankah dia guru adikmu? Bagaimana ini? Aku menjadi bingung, suheng,"

   Kata Giok Keng yang tentu saja sama sekali tidak menduga akan hal ini. Kun Liong lalu menceritakan semuanya, menceritakan tentang Yo Bi Kiok yang ternyata berhasil mewarisi pusaka dari mendiang Panglima The Hoo dan menjadi seorang sakti setelah mempelajari ilmu dari pusaka itu. Betapa secara kebetulan saja adiknya, Yap In Hong, telah ditolongnya dan menjadi murid wanita sakti itu dan diapun mengaku terus terang bahwa semua perbuatan Yo Bi Kiok itu terjadi karena dorongan rasa cemburu dan cinta kepadanya.

   "Apa? Karena cinta kepadamu, suheng?"

   Kun Liong mengangguk lesu, diam-diam dia kembali menyesali semua pengalamannya di waktu muda dahulu, sikapnya yang selalu ramah, dan memikat terhadap gadis-gadis cantik, ternyata menimbulkan banyak hal yang hebat sekarang.

   "Karena aku tidak dapat membalas perasaannya itu, karena aku telah menikah dengan Hong Ing, dia menjadi kecewa, benci dan dendam. Semua itu diakuinya setelah dia hampir mati."

   Dia lalu menceritakan pertempuran antara dia dan Yo Bi Kiok di benteng Raja Sabutai. Mendengar cerita yang hebat itu, Giok Keng menarik napas panjang.

   "Ternyata bahwa cinta hanya mendatangkan kedukaan dan malapetaka belaka..."

   "Memang, kalau cinta itu hanya didorong mencari kesenangan untuk diri pribadi seperti cinta Yo Bi Kiok dan... dan makin menyesal hatiku mengapa perbuatan sesat yang dilakukan Bi Kiok itu sampai akibatnya menimpa keluargamu, sumoi..."

   "Sudahlah, sekarang sudah tidak ada ganjalan lagi. Lie Seng telah selamat, akan tetapi engkau... masih ada Mei Lan yang belum kauceritakan. Bagaimana dengan dia?"

   Wajah Kun Liong menjadi muram. Dia menggeleng kepala dan menarik napas panjang.

   "Aku belum menemukan jejaknya, sumoi."

   "Aku justeru sedang menyelidikinya dari Leng-kok dari mana dia menghilang dan ketika aku mendengar tentang siluman yang menculik gadis-gadis itu, aku cepat menyelidikinya karena khawatir kalau-kalau puterimu menjadi korban. Karena menyelidiki Mei Lan maka aku berada di sini."

   "Aku sendiripun baru saja pulang dan menengok kuburan isteriku ketika aku mendengar tentang siluman itu dan kebetulan dapat bertemu denganmu di sini, sumoi."

   Tiba-tiba Giok Keng berkata,

   "Suheng, apakah engkau tidak hendak menolong adikmu?"

   Kun Liong terkejut dan memandang wanita cantik itu.

   "Apa maksudmu, sumoi? Apa yang terjadi dengan In Hong? Bukankah dia telah menjadi seorang puteri istana Kaisar?"

   "Jadi kau belum tahu tentang penculikan itu?"

   "Penculikan? Apa? Siapa...?"

   "Akupun baru mendengar malam tadi, suheng. Dari Jeng-ci Sin-touw. Dia yang baru mendengar dari kota raja bahwa In Hong telah diculik oleh guru-guru Raja Sabutai dan dibawa keluar tembok besar..."

   "Ehhh...?"

   Kun Liong terkejut bukan main mendengar berita ini.

   "Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li? Berbahaya sekali! Sumoi, benarkah berita itu?"

   "Kurasa orang seperti Jeng-ci Sin-touw itu, biarpun maling, ternyata dapat dan boleh dipercaya, suheng."

   "Kalau begitu, aku akan cepat mengejar ke utara!"

   "Aku akan membantumu, suheng."

   "Jangan, sumoi. Mereka itu lihai bukan main dan perjalanan ke sana amat sukar..."

   "Suheng, apakah engkau masih meragukan perasaanku yang amat menyesal dan berdosa terhadap dirimu? Apakah engkau tega menolak kesempatan untuk memperbaiki kesalahanku ini? Andaikata engkau tidak sudi mengajak aku, tetap saja aku akan menyusul sendiri ke sana untuk menolong In Hong."

   Kun Liong menarik napas panjang. Sejenak mereka berdiri saling pandang dan kembali di dalam lubuk hatinya, Kun Liong merasa yakin bahwa hanya wanita inilah yang akan mampu mengisi bekas tempat Hong Ing di dalam hatinya. Dia menghela napas panjang dan mengangguk, berkata lirih,

   "Baiklah, sumoi. Mari kita pergi."

   Mereka berdua tidak bicara apa-apa lagi melainkan mengerahkan seluruh kekuatan mereka untuk berlari cepat dan melakukan perjalanan ke utara.

   Biarpun pengalaman mereka bertemu dengan dua orang kakek tadi amat mengejutkan hati akan tetapi tidak membuat dua orang pemuda itu menjadi takut. Setelah berhasil melewati Padang Bangkai dengan selamat, Tio Sun dan Kwi Beng melanjutkan perjalanan mereka ke Lembah Naga menurut petunjuk yang mereka dapat dari Si Kwi. Mereka tentu saja maklum bshwa memasuki Lembah Naga sama artinya dengan memasuki guha naga siluman yang berbahaya dan dengan mengandalkan kepandaian mereka saja mereka tentu tidak akan mampu menandingi tokoh-tokoh tempat itu. Akan tetapi mereka bertekad untuk mencari In Hong sampai dapat, dan mereka mengharapkan dapat bertemu dengan In Hong dan Bun Houw agar mereka dapat menyampaikan rahasia kelemahan dua orang kakek dan nenek iblis seperti yang mereka ketahui dari Ratu Khamila. Akan tetapi, dua orang pemuda ini sama sekali tidak tahu bahwa semenjak memasuki Lembah Naga, mereka telah diawasi dan semua gerak-gerik mereka telah ketahuan oleh fihak musuh!

   Oleh karena itu terkejutlah mereka ketika mereka melewati dua buah batu besar yang seolah-olah merupakan pintu gerbang, tiba-tiba saja dari balik batu-batu besar itu muncul Bouw Thaisu, Hek I Siankouw, Ang-bin Ciu-kwi, Coa-tok Sian-li dan belasan orang tinggi besar anak buah Lembah Naga! Melihat munculnya banyak tokoh ini, Kwi Beng yang berdarah panas dan tidak mengenal takut sudah meraba sisa pisau terbangnya, akan tetapi Tio Sun yang melihat gerakan itu cepat memegang lengannya. Tio Sun memang lebih berhati-hati dan waspada dalam setiap perbuatannya. Melihat bahwa orang-orang yang mengurung mereka, terutama empat orang tua yang berdiri menghadang itu jelas memperlihatkan bahwa mereka adalah tokoh-tokoh yang tentu memiliki kepandaian tinggi, Tio Sun lalu menjura dan pura-pura bertanya,

   "Kami mohon maaf kalau mengganggu cu-wi sekalian. Kami hendak bertanya di manakah letaknya Lembah Naga?"

   "Huah-ha-ha!"

   Ang-bin Ciu-kwi tertawa dan menenggak araknya, matanya yang merah itu mengincar dua orang pemuda itu dari balik guci araknya.

   "Sudah berada di depan mulut naga masih bertanya-tanya. Ha-ha-ha! Thaisu, apakah aku boleh menangkap dua ekor kelinci ini untukmu?"

   Setelah berkata demikian, tiba-tiba Ang-bin Ciu-kwi menyemburkan arak dari mulutnya ke arah Tio Sun dan Kwi Beng. Tio Sun cepat menyampok dengan lengan bajunya sehingga arak yang menyambarnya tertangkis dan membuyar, akan tetapi Kwi Beng yang menganggap ringan semburan arak itu menghindar dan masih kecipratan arak lehernya, terasa panas dan sakit seperti jarum. Hal ini membuat dia marah dan sekali, tangan kirinya bergerak, nampak sinar kilat berkelebat dan sebatang pisau terbang menyambar ke arah leher Ang-bin Ciu-kwi.

   "Tranggg!"

   Pisau itu tertangkis guci dan menancap di atas tanah. Ang-bin Ciu-kwi menggereng, akan tetapi Bouw Thaisu cepat berkata.

   "Ciu-kwi, tahan dulu, jangan engkau menurutkan nafsumu, kita belum tahu siapa yang datang!"

   Ang-bin Ciu-kwi mendengar dan kembali minum arak dari gucinya, sedangkan Coa-tok Sian-li sudah berdiri bengong memandang kepada Kwi Beng karena wanita cabul ini sudah terbangkit nafsu berahinya ketika dia melihat seorang pemuda yang bermata kebiruan dan berambut kuning keemasan itu!

   "Orang muda, kalian siapakah dan apa maksud kalian datang ke Lembah Naga?"

   
Dewi Maut Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Bouw Thaisu bertanya dengan sikapnya yang memang halus. Tio Sun melangkah maju dan menjawab. Dia maklum bahwa menghadapi orang-orang pandai ini, biarpun mereka itu agaknya merupakan sekutu fihak lawan, tidak ada gunanya lagi untuk membohong dan sebaiknya bersikap gagah dan terang-terangan.

   "Saya bernama Tio Sun, dan sahabatku ini adalah Souw Kwi Beng. Kami berdua sengaja datang ke Lembah Naga, untuk mencari keterangan tentang nona Yap In Hong yang kabarnya dibawa oleh Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li ke Lembah Naga."

   "Hemm, sungguh kalian ini orang-orang muda yang bernyali besar!"

   Bouw Thaisu berseru kagum juga.

   "Apakah kalian ini utusan Kaisar?"

   "Bukan, akan tetapi kami adalah sahabat nona Yap In Hong. Dan biarpun kami bukan langsung menjadi utusan Kaisar, namun saya adalah putera dari Ban-kin-kwi Tio Hok Gwan bekas pengawal kepercayaan mendiang Panglima Besar The Hoo, dan sahabat saya ini bahkan masih terhitung cucu murid dari mendiang Panglima The Hoo. Oleh karena itu..."

   Tiba-tiba terdengar suara tertawa nyaring disusul suara seorang kakek,

   "Bagus sekali! Thaisu, Siankouw, tangkaplah mereka hidup-hidup! Mereka adalah keturunan musuh-musuh kami!"

   Tio Sun dan Kwi Beng terkejut karena biarpun mereka mendengar jelas suara kakek itu, namun mereka tidak melihat orangnya. Tio Sun maklum bahwa tentu kakek itu seorang sakti yang mengirim suara dari jauh dan agaknya juga memiliki pendengaran sakti sehingga mampu mendengarkan percakapan itu dari jauh pula. Akan tetapi dia dan Kwi Beng tidak mempunyai kesempatan untuk banyak menduga lagi karena begitu mendengar suara itu, Bouw Thaisu telah menerjang Tio Sun sedangkan Hek I Siankouw telah menyerang Kwi Beng. Dua orang muda ini memang sudah siap menghadapi segala bahaya, maka begitu melihat kakek dan nenek itu bergerak menyerang, mereka cepat mengelak dan menandingi mereka.

   "Dukkk!"

   Tio Sun terhuyung mundur sampai tiga langkah ketika lengannya beradu dengan lengan kakek tua itu yang terlindung lengan baju.

   Dia terkejut sekali. Tadi, karena sudah menduga bahwa penyerangnya itu tentu seorang kakek yang berilmu tinggi, pemuda ini telah mengerahkan tenaga Ban-kin-kang sekuatnya untuk menangkis. Akan tetapi ternyata ujung lengan baju kakek itu mengandung tenaga yang bukan main kuatnya sehingga dia tergetar dan terhuyung. Karena maklum bahwa lawannya ini seorang yang berilmu tinggi, Tio Sun tidak ragu-ragu lagi untuk mengeluarkan sepasang senjatanya yang ampuh, yaitu sebatang pedang di tangan kanan dan sebatang pecut yang sebenarnya adalah sabuknya sendiri di tangan kiri. Dengan sepasang senjata ini di tangan, dia menerjang maju, disambut oleh Bouw Thaisu dengan tenang dan kakek ini seperti biasa hanya mengandalkan kedua lengan bajunya sebagai senjata yang amat berbahaya.

   Sementara itu, Kwi Beng yang dihadapi oleh Hek I Siankouw, dalam belasan jurus saja sudah terdesak hebat. Selisih tingkat kepandaian mereka jauh sekali sehingga biarpun Kwi Beng mengamuk, mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan semua kepandaiannya, namun belum sampai dua puluh jurus saja, pedangnya terampas dan dia roboh tertotok. Setelah merobohkan Kwi Beng yang segera diringkus oleh Ang-bin Ciu-kwi, Hek I Siankouw lalu membantu Bouw Thaisu mengeroyok Tio Sun. Tentu saja pemuda ini menjadi makin repot. Melawan Bouw Thaisu seorang saja dia sudah kalah lihai dan kalau dilanjutkan akhirnya dia tentu akan roboh, dan kini maju lagi Hek I Siankouw yang juga lebih lihai daripada dia.
(Lanjut ke Jilid 42)
Dewi Maut (Seri ke 03 - Serial Pedang Kayu Harum)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 42
Pemuda perkasa ini melawan mati-matian, namun akhirnya, pedang hitam di tangan Hek I Siankouw membuat pedang di tangan Tio Sun terlepas, cambuknya dapat ditangkap oleh Bouw Thaisu dan sebuah tendangan yang secepat kilat dari Hek I Siankouw mengenai lututnya dan membuat dia roboh. Seperti juga Kwi Beng, Tio Sun ditubruk oleh banyak anak buah Lembah Naga dan diringkus. Tubuh dua orang pemuda yang sudah diringkus kaki tangannya itu diseret ke dalam sebuah rumah besar dan dihadapkan kepada Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li yang memandang dengan mulut menyeringai girang. Dengan kasar, para anak buah Lembah Naga memaksa Tio Sun dan Kwi BW duduk di atas lantai menghadapi kakek dan nenek yang duduk di atas kursi itu.

   "Benarkah engkau putera Ban-kin-kwi Tio Hok Gwan pengawal kepercayaan The Hoo?"

   Pek-hiat Mo-ko bertanya kepada Tio Sun. Pemuda ini mengangguk.

   "Hemm, kenapa tidak ayahmu sendiri yang datang untuk menghadapi kami? Kenapa mengutus seorang pemuda yang masih hijau seperti engkau?"

   Tanya pula Pek-hiat Mo-ko. Tio Sun memandang dengan sikap tenang.

   "Pek-hiat Mo-ko, ayahku tidak tahu-menahu akan kedatanganku ke sini. Aku datang bersama sahabatku atas kehendak sendiri untuk menentangmu dan menuntut agar engkau membebaskan nona Yap In Hong."

   "Ha-ha-ha, nyalimu besar sekali. Engkau sudah tahu siapa aku?"

   "Tentu saja aku tahu. Ketika engkau bersama Hek-hiat Mo-li bertempur dengan ketua Cin-ling-pai, aku melihat kalian."

   Tiba-tiba Hek-hiat Mo-li yang sejak tadi memandang kepada Kwi Beng, menghardik kepada pemuda itu.

   "Kau bukan orang Han! Engkau orang asing dari barat! Bagaimana engkau berani mengaku tadi bahwa engkau cucu murid The Hoo?"

   Kwi Beng balas memandang dengan mata melotot,

   "Nenek gila! Dengarlah baik-baik. Ibuku adalah pendekar wanita Souw Li Hwa, murid dari mendiang Panglima The Hoo, sedangkan ayah adalah seorang Portugis. Aku datang untuk menuntut kepada kalian agar membebaskan nona Yap In Hong!"

   "Heh-heh-heh-hi-hik!"

   Hek-hiat Mo-li tertawa terkekeh dan mata kananya bersinar-sinar aneh.

   "Bawa mereka ke lapangan dan ikat di kayu tonggak agar menjadi makanan burung nazar, heh-heh-heh!"

   "Benar! Bawa mereka keluar. Terserah nasib mereka. Kalau nasib baik, tentu orang-orang yang lebih penting datang untuk menolong mereka dan menghadapi kita, kalau nasib buruk, biar mereka dicabik-cabik burung-burung nazar!"

   Kata Pek-hiat Mo-ko dan para anak buah Lembah Naga lalu menyeret Tio Sun dan Kwi Beng keluar dari tempat itu, dibawa ke lapangan dan mereka segera sibuk membuat tonggak kayu salib dan mengikat mereka berdua di tonggak kayu itu. Kemudian mereka meninggalkan Tio Sun dan Kwi Beng berdua di tempat itu, tertimpa panas sinar matahari tanpa terlindung apapun. Kedua orang pemuda itu berusaha untuk meronta dan melepaskan diri, akan tetapi Tio Sun segera mendapat kenyataan bahwa tidak mungkin mereka dapat lolos. Melihat betapa Kwi Beng meronta-ronta dengan beringas dan nampak darah di pergelangan tangan dan kaki pemuda itu karena kulitnya pecah-pecah ketika dia meronta-ronta dengan kuat, Tio Sun berkata,

   "Tenanglah, Beng-te. Tali untuk mengikat kaki tangan kita ini adalah tali kulit kerbau yang kuat sekali dan tidak mungkin dapat kita patahkan begitu saja. Tidak baik membuang-buang tenaga dan tidak baik kalau sampai darah kita keluar karena hal itu akan menarik perhatian burung-burung di sana-sini."

   Kwi Beng mengikuti pandang mata Tio Sun dan dia melihat beberapa ekor burung yang besar bertengger di atas sebatang pohon dan ada beberapa ekor lagi yang beterbangan di sekitar tempat itu. Itulah burung-burung nazar, burung-burung pemakan bangkai yang liar dan buas! Wajah Kwi Beng menjadi pucat karena dia merasa ngeri. Melihat ini, Tio Sun bertanya, hatinya penuh iba.

   "Engkau takut, Beng-te?"

   Kwi Beng memandang kepadanya, lalu mengangguk.

   "Tidak aneh, akupun merasa ngeri melihat burung-burung itu. Akan tetapi janggan khawatir, burung-burung yang kelihatan menyeramkan itu sebetulnya adalah binatang-binatang yang penakut dan mereka tidak akan menyerang sesuatu yang hidup. Hanya kalau kita sudah mati saja mereka berani menyerang. Dan kurasa kita tidak akan mudah mati begitu saja. Pula, orang-orang seperti kita, mana takut mati? Hanya sayangnya, kita belum menyampaikan rahasia mereka itu kepada Cia-Taihiap atau nona Yap."

   Kwi Beng kelihatan termenung, tidak lagi memperdulikan burung-burung itu.

   "Ah, bagaimana dengan dia? Jangan-jangan dia telah mereka bunuh..."

   "Nona Yap? Kiranya tidak mungkin. Kalau mereka itu hendak membunuh nona Yap In Hong, perlu apa mereka susah payah menculik dan membawanya ke tempat sejauh ini. Tentu ada maksudnya, dan kurasa kakek dan nenek gila itu tentu menangkap dan menculiknya untuk dipakai sebagai umpan untuk memancing datangnya orang-orang yang dianggapnya sebagai musuh, seperti Cia-locianpwe ketua Cin-ling-pai dan lain-lain."

   Mereka kini tidak bercakap-cakap lagi dan terik matahari mulai menyengati kulit tubuh mereka. Peluh mulai mengalir keluar. Akan tetapi kini Kwi Beng bersikap tenang saja. Dia merasa malu untuk memperlihatkan kelemahannya. Tidak, dia tidak akan mengeluh dan akan menghadapi kematian dengan gagah kalau perlu. Memang sudah disengaja untuk datang ke tempat berbahaya ini, untuk berusaha menolong In Hong dengan taruhan nyawa. In Hong! Dara yang telah membetot semangatnya, merampas hatinya, dara yang dicintanya, akan tetapi... bagaimana kalau gadis itu tidak membalas cinta kasihnya?

   Membayangkan hal ini rasanya jauh lebih menyiksa daripada keadaan jasmaninya yang terbelenggu di atas tonggak kayu dan disengati panas matahari ini. Dia melirik ke arah Tio Sun. Pemuda tinggi kurus itu memejamkan mata, seperti orang dalam samadhi. Kwi Beng merasa gelisah sekali. Membayangkan betapa gadis cantik jelita dan perkasa itu, yang dicintanya dan membuatnya tergila-gila, sama sekali tidak memperdulikan dia, apalagi membalas cintanya, membuat dia merasa tidak tenang. Akhirnya, kegelisahan hati itu tidak dapat ditahannya lebih lama lagi karena perasaan itu mendorong keluarnya keringat lebih banyak lagi. Keringat yang memenuhi dahinya dan tidak dapat dihapusnya sehingga kini keringatnya mulai mengalir turun dan ada yang memasuki matanya. Pedih rasanya.

   "Tio-twako...!"

   Tio Sun membuka matanya, menoleh dan dia mengerutkan alianya ketika melihat dua mata Kwi Beng basah.

   "Eh, kau menangis, Beng-te?"

   Tanyanya kaget dan kecewa karena tak disangkanya pemuda itu demikian lemah dan cengeng.

   "Tidak, twako, jangan salah kira. Keringat memasuki mataku..."

   Tio Sun menarik napas lega dan tersenyum.

   "Maafkan aku, Beng-te, hampir aku lupa bahwa engkau adalah seorang pemuda yang gagah perkasa dan bersemangat pendekar sejati."

   "Twako, aku menderita sekali..."

   Tio Sun yang tadi sudah memejamkan mata kembali, kini membukanya dan untuk kedua kalinya dia menoleh, memandang sahabatnya itu dengan penuh perhatian dan keheranan.

   "Aku mengerti, Beng-te, akupun menderita. Siapa yang tidak menderita dalam keadaan seperti kita ini?"

   "Bukan itu maksudku, twako. Belenggu dan panas ini tidak ada artinya dibandingkan dengan penderitaan yang timbul dari keraguan di hatiku."

   "Maksudmu?"

   "Aku merasa ragu-ragu, twako, apakah nona Yap In Hong yang kurindukan dan kucinta itu dapat membalas cintaku dan keraguan inilah yang menimbulkan kegelisahanku, twako."

   Tio Sun mengerutkan alisnya. Terbayanglah dia akan semua peristiwa yang dialaminya bersama pendekar muda Cia Bun Houw dan makin menebal dugaannya bahwa besar sekali kemungkinannya bahwa In Hong mencinta Bun Houw! Seperti juga Kwi Eng mencinta Bun Houw! Diam-diam dia mengeluh di dalam hati melihat persamaan nasib antara dia dan Kwi Beng.

   "Mudah-mudahan dia membalas cintamu, adikku. Mudah-mudahan kau tidak bernasib seperti aku..."

   "Eh? Kau, twako? Kau juga mencinta seorang gadis yang tidak dapat membalas cintamu, benarkah?"

   Tio Sun mengangguk. Kwi Beng mengingat-ingat, menatap wajah yang kini kembali telah memejamkan matanya dan tiba-tiba pemuda ini teringat. Sikap Tio Sun terhadap saudara kembarnya! Pandang mata pemuda ini kepada Kwi Eng, caranya bicara, dan dia melihat betapa Tio Sun seperti orang disambar petir dan seperti orang sakit ketika mendengar Kwi Eng telah bertunangan dengan Cia Bun Houw! Ah, mengapa dia begitu bodoh dan tidak melihat kenyataan itu?

   "Twako... maafkan aku, apakah... dia... Kwi Eng?"

   Tio Sun merapatkan bibirnya, membuka mata dan mengangguk.

   "Ah, maaf, twako... sungguh kasihan kau..."

   Kwi Beng berkata dengan hati terharu. Akan tetapi Tio Sun telah depat menguasai keadaan batinnya kembali. Dia menoleh, memandang kepada Kwi Beng dan tersenyum.

   "Kuharapkan engkau tidak akan mengalami seperti aku, Beng-te. Akan tetapi andaikata begitu, andaikata nona Yap telah mencinta orang lain dan terpaksa tidak dapat membalas perasaan hatimu, engkau harus dapat melihat kenyataan, seperti aku. Cinta bukanlah berarti kesenangan bagi diri sendiri belaka! Cinta sejati menimbulkan perasaan ingin melihat orang yang dicinta itu bahagia, dan kalau kebahagiaan orang yang kita cinta itu terletak di dalam diri orang lain, bukan dalam diri kita, kalau orang yang kita cinta itu merasa bahagia kalau berada bersama orang lain, kita harus dapat melihat kenyataan ini. Cintakah itu kalau kita memaksa orang yang kita cinta itu hidup sengsara di samping kita, hanya karena kita ingin memperoleh kesenangan darinya? Tidak, Beng-te, cinta yang hanya mementingkan diri sendiri adalah picik dan curang, karena itu aku rela melihat dia memilih orang lain, demi kebahagiannya."

   Kwi Beng memandang dengan mata terbelalak, kadang-kadang dikejapkan untuk mengusir air di dalam matanya, kini bukan hanya air karena keringat memasuki mata, melainkan bercampur pula dengan air mata keharuan.

   "Twako... kau sungguh seorang laki-laki yang jantan dan bijaksana. Kalau saja... Kwi Eng belum bertunangan dengan Cia-Taihiap, aku akan merasa bangga sekali mempunyai seorang ipar seperti engkau, Tio-twako."

   "Terima kasih, Beng-te."

   Mereka tidak bercakap-cakap lagi sekarang. Matahari makin panas karena makin mendekati kepala mereka. Burung-burung pemakan bangkai itu kadang-kadang terbang mengelilingi udara di atas kepala mereka, seolah-olah mereka itu hendak memeriksa apakah belum tiba saatnya bagi mereka untuk menikmati hidangan daging-daging segar itu! Kemudian mereka terbang kembali ke atas pohon, hinggap di atas cabang dan ranting pohon sampai mentul-mentul menahan berat tubuh mereka dan burung-burung yang baru saja melakukan pengintaian ini mengeluarkan suara seolah-olah memberi tahu kepada kawan-kawannya bahwa saatnya belum tiba! Kwi Beng bergidik menyaksikan semua ini, yang diikuti oleh pandang matanya dan seolah-olah dia dapat mengerti maksud burung-burung itu. Tiba-tiba, pandang mata Kwi Beng tertuju ke depan.

   "Twako... lihat..."

   Dia berbisik.

   "Sstttt...!"

   Bisik Tio Sun kembali dan ternyata pendekar inipun sudah membuka matanya yang sipit, memandang ke arah dua bayangan yang bergerak cepat datang ke arah mereka, lalu bayangan itu memasuki lapangan dan lari menghampiri mereka. Kiranya mereka itu adalah dua orang anak-anak yang seorang perempuan, yang seorang lagi laki-laki. Yang perempuan sudah remaja, berusia lima belas tahun dan yang laki-laki lebih kecil, berusia tiga belas tahun. Mereka ini bukan lain adalah Mei Lan dan Lie Seng! Seperti kita ketahui, dua orang anak remaja ini diam-diam membayangi Tio Sun dan Kwi Beng dari jauh dan mereka terkejut sekali ketika melihat Tio Sun dan Kwi Beng dikepung lalu ditangkap. Mereka tidak berani memperlihatkan diri dan bersembunyi di dalam rumpun ilalang.

   Akhirnya mereka melihat Tio Sun dan Kwi Beng diikat di tonggak salib itu dan karena tidak tega menyaksikan mereka, akhirnya Mei Lan dan Lie Seng memberanikan hati datang dengan niat menolong mereka. Ketika mengenal dua orang bocah yang pernah mereka jumpai, bocah-bocah yang berada bersama dua orang kakek yang memiliki kesaktian hebat, timbul harapan di hati Tio Sun. Kiranya dua orang anak ini bukanlah anak Lembah Naga, dengan demikian berarti dua orang kakek itupun bukan orang Lembah Naga! Betapabun juga, yang datang hanya dua orang bocah yang tidak mungkin akan dapat melawan orang-orang Lembah Naga. Bocah-bocah ini memang lihai, akan tetapi dia sendiri sudah melihat tingkat mereka yang masih mentah. Karena itu, Tio Sun cepat berbisik kepada Mei Lan.

   "Nona, kau lekas tinggalkan kami... harap kau bantu kami menyelundup ke dalam... dan kau cari nona Yap In Hong dan Cia Bun Houw Taihiap yang tertawan di dalam... katakan... bahwa kelemahan Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li berada di bagian lutut ke bawah. Cepat...!"

   Mei Lan adalah seorang anak yang cerdas sekali. Melihat sikap sungguh-sungguh dari Tio Sun, dia dapat menduga bahwa tentu pesan itu amat penting. Apalagi dia mendengar nama Yap In Hong. Itulah nama bibinya, adik dari ayahnya! Bibinya itu tertawan di sini? Dia mengangguk dan cepat pergi dari situ, lari dengan cepat sekali ke arah yang diisyaratkan oleh kepala dan pandang mata Tio Sun, yaitu ke arah perkampungan Lembah Naga. Sedangkan Lie Seng melanjutkan usahanya untuk melepaskan belenggu dari kedua lengan Kwi Beng. Namun, tidak mudah bagi pemuda cilik ini untuk melepaskan belenggu yang demikian kokoh kuatnya. Dan pada saat itu terdengar suara bentakan-bentakan dan muncullah belasan orang anak buah Lembah Naga Yang memang bertugas menjaga "umpan"

   Itu agar jangan lolos dan juga agar kalau ada orang luar datang mereka dapat cepat melapor.

   "Tangkap bocah itu!"

   "Kejar yang perempuan! Dia lari ke dalam...!"

   Lie Seng yang diserbu oleh dua orang itu cepat meloncat dan menerjang mereka dengan keberanian yang mengagumkan. Seorang anak buah Lembah Naga kena dihantam mukanya dan ditendang pusarnya sehingga orang itu terjengkang dan mengaduh-aduh, akan tetapi empat orang kini sudah datang menubruk dan meringkusnya! Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li marah mendengar bahwa yang berhasil "dipancing"

   Hanya dua orang bocah-bocah bahkan yang perempuan dapat melenyapkan diri dan belum tertangkap. Mereka mengharapkan mendapat kakap dengan umpan pancing itu, kiranya yang mereka tangkap hanya teri!

   "Ikat bocah itu bersama mereka di lapangan, biar dimakan burung nazar!"

   Bentak Pek-hiat Mo-ko sebal. Karena memandang rendah kepada anak-anak, dia sampai tidak memeriksa labih jauh dan tidak tahu bahwa anak laki-laki yang kelihatan sama sekali tidak takut itu adalah cucu ketua Cin-ling-pai!

   Tio Sun dan Kwi Beng memandang kagum ketika melihat betapa anak laki-laki berusia tiga belas tahun itu sama sekali tidak mengeluh, sama sekali tidak kelihatan takut, ketika dengan kasaran anak buah Lembah Naga mengikat dia pada tonggak kayu ketiga di dekat mereka. Sinar mata anak laki-laki itu penuh dengan keberanian! Setelah para anak buah Lembah Naga pergi meninggalkan lapangan terbuka yang panas itu, burung-burung nazar kembali beterbangan mengelilingi mereka sambil mengeluarkan bunyi, seolah-olah bergembira melihat jatah makanan mereka bertambah dengan seorang anak yang tentu dagingnya lebih lunak lagi! Ketika ada seekor burung nazar mendekati kepala Lie Seng, anak itu membentak dan meludah.

   "Phuhhh! Burung keparat, kupatahkan batang lehermu nenti!"

   Burung itu terkejut dan Kwi Beng tersenyum. Burung itu buruk sekali, kepalanya botak, juga leher yang panjang itu sudah mulai rontok bulunya maka tentu mudah dan enak untuk memutar dan mematahkan batang leher itu.

   "Eh, adik kecil. Kau tidak takut?"

   Lie Seng menoleh ke arah Kwi Beng, mulutnya membayangkan kekerasan dan keberanian yang wajar.

   "Takut? Takut apa?"

   "Takut kepada burung-burung itu, takut kepada kematian."

   "Huh, siapa takut burung-burung setan seperti itu? Dan kematian? Apakah itu maka perlu ditakuti?"

   Lie Seng mengeluarkan ucapan yang sering dia dengar keluar dari mulut Kok Beng Lama, maka mendengar ini, bukan hanya Kwi Beng yang terkejut, akan tetapi juga Tio Sun memandang dengan sinar mata keheranan.

   "Adik kecil, siapakah namamu dan mengapa engkau dan adik perempuan tadi menolong kami?"

   "Aku she Lie, bernama Seng. Aku tidak sengaja menolong kalian, hanya tadi aku dan Mei Lan cici sengaja membayangi kalian karena curiga melihat sikap kalian. Melihat kalian ditangkap dan diikat di sini, kami berdua lalu berusaha membebaskan, akan tetapi sial, aku tertangkap pula."

   Bocah ini memiliki watak yang berani dan keras, pikir Tio Sun. Bicaranya singkat dan padat.

   "Apakah anak perempuan tadi kakakmu? Ataukah kakak seperguruanmu?"

   Tanyanya.

   "Bukan. Akupun baru saja kenal dengan enci Mei Lan. Guru-guru kami sedang saling bertanding catur, maka kami berdua keisengan dan membayangi kalian."

   "Adik Lie Seng, kami berterima kasih sekali atas usaha kalian menolong kami. Akan tetapi, ternyata engkau tertawan pula. Sungguh kami menyesal..."

   "Bukan salah kalian. Tak perlu disesalkan."

   Tio Sun kembali tertegun.

   "Kau tidak menyesal? Tidak khawatir? Apakah engkau mengandalkan gurumu yang sakti untuk menyelamatkanmu?"

   Lie Seng menjawab singkat,

   "Kalau suhu tahu, tentu aku diselamatkan. Andaikata tidak tahu dan aku akan mati, apa bedanya?"

   Tentu saja Tio Sun dan Kwi Beng terbelalak mendengar ucapan dan melihat sikap bocah itu.

   "Adik kecil, engkau luar biasa! Maukah engkau menceritakan, siapa orang tuamu dan engkau datang dari keluarga mana?"

   Tio Sun mendesak karena dia sudah merasa amat tertarik. Lie Seng memandang kepada mereka berdua bergantian. Bukan wataknya untuk menceritakan keadaan keluarga, apalagi menyombongkan nama keluarganya. Akan tetapi dia melihat bahwa dua orang yang terikat seperti dia itu bersikap gagah, maka dia menjawab singkat.

   "Yang kalian sebut Cia Bun Houw Taihiap tadi adalah pamanku, dialah adik ibuku."

   "Ohhh...!"

   Seruan ini keluar dari mulut Tio Sun dan Kwi Beng hampir berbareng karena mereka sungguh tidak pernah menduga bahwa anak ini adalah keponakan dari Bun Houw atau cucu dari ketua Cin-ling-pai!

   Berbeda dengan Tio Sun dan Kwi Beng yang kebetulan bertemu dengan Si Kwi sehingga mereka berdua memperoleh petunjuk dari Si Kwi tentang jalan memasuki Lembah Naga yang amat berbahaya itu, Kun Liong dan Giok Keng tidak mengenal jalan. Oleh karena itu, tanpa mereka sadari, mereka memasuki Padang Bangkai melalui jalan liar yang amat berbahaya, penuh dengan jebakan-jebakan alam yang mengerikan!

   Kedua orang ini, terutama sekali Yap Kun Liong, adalah pendekar-pendekar yang berkepandaian tinggi dan telah seringkali dalam kehidupan mereka, keduanya berhasil menanggulangi berbagai macam bahaya yang menghadang di jalan kehidupan mereka. Akan tetapi, begitu mereka memasuki daerah Padang Bangkai, mereka menjadi bingung juga. Beberapa kali mereka tersesat dan tak tahu jalan sama sekali ketika mereka memasuki daerah rumpun ilalang yang merupekan padang ilalang yang seperti lautan, yang seolah-olah tidak ada batasnya dan lorong yang kecil dan merupakan jalan setapak itu membawa mereka tersesat dan berkali-kali kembeli ke lorong yang sama!

   "Ini tentu merupakan jalan rahasia yang menyesatkan,"

   Akhirnya Giok Keng berkata karena sudah kehabisan kesabaran.

   "Suheng, lebih baik kita memotong jalan, menerobos ilalang saja!"

   Sambil berkata demikian, pendekar wanita itu mulai memasuki rumpun ilalang yang tingginya hampir sama dengan tubuhnya.

   "Ihhhh...!"

   Tiba-tiba dia menjerit ketika melihat seekor ular menyambarnya dari kanan. Cepat dia menggerakkan kaki dan menginjak kepala ular itu. Tubuh ular membelit-belit kaki pendekar wanita itu, akan tetapi kepalanya remuk dan belitannyapun mengendur. Kemudian terdengar suara berkeresakan gaduh dan banyak sekali ular-ular berbisa datang menyerang mereka dari empat jurusan! Giok Keng menjadi marah, pedangnya berkelebatan dan banyak ular-ular yang putus menjadi beberapa potong disambar sinar pedangnya.

   "Sumoi, kita pergi menjauhi tempat ini!"

   Kata Kun Liong. Biarpun mereka tidak usah takut akan serangan ular-ular itu, namun hawa yang beracun di sekitar tempat itu dapat membahayakan juga. Akhirnya mereka dapat juga keluar dari padang ilalang dan legalah hati mereka melihat padang rumput kehijauan yang luas membentang di depan mereka. Menyenangkan sekali melihat padang rumput yang terbuka ini setelah tadi tersesat dan berkeliaran sampai lama di antara ilalang yang tinggi sehingga pandang mata mereka terhalang.

   "Aihhh... indah sekali!"

   Giok Keng menarik napas panjang dan menyimpan pedangnya karena di tempat terbuka seperti itu tidak perlu lagi mempersiapkan pedang di tangan.

   "Kita dapat melakukan perjalanan cepat kalau begini,"

   Katanya sambil melompat ke depan, ke atas tanah yang tertutup rumput hijau segar.

   "Clupp... aihhh...! Suheng...!"

   Giok Keng menjerit karena dapat dibayangkan betapa kaget hatinya ketika kedua kakinya yang meloncat tadi mendarat di tempat yang lunak dan sekaligus tubuhnya tenggelam ke dalam lumpur yang amat lunak dan lembek. Betapapun dia sudah mengerahkan gin-kangnya, namun tetap saja kedua kakinya sudah tersedot oleh lumpur itu sehingga tubuhnya tenggelam sampai ke pinggang!

   "Tahan...! Jangan bergerak! Sumoi, perhatikan, jangan bergerak sedikitpun juga!"

   Dewi Maut Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Kun Liong berteriak keras dengan wajah pucat. Dia maklum akan bahayanya tempat seperti ini dan dia tidak mau sembrono untuk meloncat mendekati wanita itu karena hal itu berarti dia akan terjeblos pula.

   "Pertahankan, jangan bergerak, sumoi, tunggu aku akan mengambil cabang yang panjang untuk menolongmu!"

   Akan tetapi dia mendengar Giok Keng menjerit dengan suara tertahan, pendekar wanita itu menggigit bibir dan matanya terbelalak seperti menahan sakit, kemudian terdengar wanita itu berseru.

   "Tidak perlu, suheng... lekas tolong... kau sambut ini...!"

   Tangan Giok Keng sudah bergerak menanggalkan sabuknya yang berwarna merah muda, sabuk yang selalu dilibatkan di pinggang karena benda ini merupakan senjatanya yang ampuh. Begitu dia menggerakkan tangan, sabuk itu meluncur ke depan dan ujungnya ditangkap oleh Kun Liong.

   "Pegang kuat-kuat, sumoi!"

   Kata Kun Liong dan pendekar ini mulai mengerahkan tangannya untuk menarik Giok Keng keluar dari dalam lumpur maut itu. Biarpun agak susah payah dan hati-hati sekali agar sabuk merah itu tidak putus, akhirnya Giok Keng dapat ditarik keluar dari dalam lumpur dan begitu tiba di atas tanah yang keras, Giok Keng mengeluh.

   "Aduhhh... suheng... ada binatang-binatang menggigiti aku...!"

   Dia cepat menyentuh kakinya dan ketika melihat seekor lintah menempel di betisnya, wanita itu menjerit saking jijiknya dan tanpa ingat apa-apa lagi, dibantu oleh Kun Liong, Giok Keng menanggalkan pakaiannya! Dan ternyata ada beberapa ekor lintah menempel di kulit tubuh yang putih mulus namun berlepotan lumpur itu! Kun Liong membunuh lintah-lintah itu, kemudian memondong tubuh Giok Keng yang hampir pingsan saking ngeri dan jijiknya, membawanya ke saluran air yang mengalir di tepi lorong dan menurunkan tubuh itu sehingga terendam air.

   "Ahhh, suheng...!"

   Giok Keng terisak, kedua lengannya masih merangkul leher Kun Liong. Sejenak mereka berada dalam keadaan seperti itu, saling rangkul dan masih tegang oleh peristiwa yang amat mengerikan itu. Dalam keadaan seperti itu, dua hati yang memang sejak dahulu saling tertarik namun tidak memperoleh kesempatan untuk bersatu, merasakan getaran aneh. Kun Liong maklum akan hal ini, maklum pula bahwa keadaan mereka yang ditinggal mati oleh teman hidup masing-masing memperkuat dorongan itu.

   "Sumoi..."

   "Suheng, aku cinta padamu, suheng... ah, baru sekarang aku merasakan hal itu..."

   "Sumoi, akupun cinta padamu. Akan tetapi, sumoi, kita tidak boleh... dan cinta bukan hanya hubungan antara jasmani belaka. Dapatkah kau merasakan itu, sumoi? Kita saling mencinta, dan justeru cinta kita yang menyadarkan kita bahwa hubungan jasmani antara kita akan merupakan perbuatan yang dikutuk oleh umum, yang melanggar kesusilaan, yang dianggap kotor dan rendah. Aku tidak ingin melihat engkau dianggap rendah, sumoi, dan engkaupun tentu begitu pula, kalau memang engkau cinta padaku..."

   

Petualang Asmara Eps 10 Petualang Asmara Eps 27 Petualang Asmara Eps 40

Cari Blog Ini