Ceritasilat Novel Online

Pedang Kayu Harum 11


Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo Bagian 11



"Siauwte, aku menyesal sekali......... akan tetapi demi Tuhan, aku tidak bermaksud mencelakakannya. Bukan aku yang membunuhnya dan...... sekiranya aku tidak sedang tidur pulas, tentu aku dapat melindunginya....... akan tetapi.........."

   "Laki-laki laknat! Jai-hwa-cat! Setelah memperkosa cici, engkau bisa saja bicara seenakmu! Engkau suah mempunayi kekasih yang bersenjata bola putih itu! Akan tetapi engkau masih merayu enciku! Hayo katakan, apakah engkau berniat mengawini enciku? Apakah engkau berniat mengambil dia sebagai isteri?"

   Keng Hong menghela napas dan menggeleng kepala. Urusan ini amat pelih dan tidak boleh dia main-main dan membohong.

   "Tidak, kami memang saling suka dan hubungan cinta kami dilakukan dengan kesadaran kami berdua, dan aku sudah menjelaskan kepada Bi-moi bahwa aku tidak dapat menjadi suaminya......."

   "Keparat! Jahanam! Sudah kuduga seperti itu! Kalau aku tahu tentu malam tadi sudah kuremukan kepalamu!"

   Lai Sek kembali berteriak-teriak dan menerjang maju. Keng Hong merasa bingung dan berduka sekali. Ia maklum bahwa tidak mungkin dia dapat menenangkan dan menyabarkan hati pemuda yang sedang diamuk kemarahan dan kesedihan itu, maka dia lalu meloncat jauh dan melarikan diri, pergi dari tempat itu. Jalan satu-satunya yang paling baik hanyalah menjauhkan diri pada saat seperti itu. Perhitungannya memang tepat. Setelah maklum bahwa tak mungkin mengejar Keng Hong yang tingkat kepandaiannya jauh lebih tinggi, Lai Sek kembali berlutut dan menangisi jenazah kakaknya dengan sedih. Setengah malam dia menangis sampai matahari muncul dan penduduk dusun pergi ke sawah ladang. Para penduduk terheran dan terkejut,

   Apalagi setelah mendengar dari pemuda itu bahwa kaka perempuan pemuda itu terbunuh oleh penjahat malam tadi. Mereka menaruh kasihan dan beramai-ramai mereka itu membantu Lai Sek mengurus jenazah Ciang Bi dan menguburnya di tanah pekuburan dusun itu secara sederhana. Pada keesokan harinya, ketika malam sedang gelap, sesosok bayangan hitam datang ke dalam tanah kuburan itu dan berlutut di depan gundukan tanah yang masih baru. Bayangan ini menangis dan dia bukan lain adalah Keng Hong! Sampai semalam dia berkabung dengan penuh kedukaan di depan kuburan itu, dan baru pada keesokan harinya dia meninggalkan kuburan baru itu, pergi secepatnya meninggalkan dusun di mana Ciang Bi dimakamkan, meninggalkanya akan tetapi membawa pergi kenangan sedih yang takkan pernah dapat terlupakan.

   Hatinya penuh kedukaan, bukan semata karena kematian Ciang Bi, akan tetapi yang lebih daripada itu, adalah karena kekejaman Biauw Eng! Ia suka kepada Biauw Eng, perasaan suka yang aneh dan berbeda kalau dibandingkan dengan rasa suka kepada wanita lain seperti kepadaCui Im dan Ciang Bi, suka bukan semata karena kecantikan gadis puteri Lam-hai Sin-ni itu, melainkan karena pribadinya, dan mungkin sekali karena dia mengingat bahwa gadis itu adalah puteri suhunya, puteri Sin-jiu Kiam-ong! Inilah agaknya yang membuat dia merasa suka kepada gadis itu, dan kini kenyataan betapa puteri suhunya itu berhati kejam seperti iblis, membunuh Ciang Bi yang sama sekali tidak berdosa, benar-benar mendatangkan rasa duka di hatinya di samping rasa marah terhadap Biauw Eng.

   Keng Hong melakukan perjalanan cepat, tujuannya adalah Kun-lun-san karena dia ingin kembali ke Kiam-kok-san, yaitu puncak dimana terdapat batu pedang tempat suhunya menggemblengnya selama lima tahun. Dia harus pergi ke sana, mengambil pdang Siang-bhok-kiam yang memang dia sembunyikan di puncak Kiam-kok-san! Ketika dia turun gunung setelah tidak berhasil mencari rahasia penyimpanan barang-barang pusaka gurunya, dia maklum akan bahayanya kalau dia membawa Siang-bhok-kiam turun gunung, maka dia lalu membuat sebuah pedang tiruan, pedang dari kayu harum pula yang dia dapatkan di puncak, pedang yang mirip dengan Siang-bhok-kiam. Ia menyembunyikan pedang Siang-bhok-kiam tulen dibalik tumpukan batu karang dan membawa turun pedang palsu.

   Tepat seperti yang telah diduganya, begitu turun gunung pedangnya menimbulkan keributan dan terpaksa dia menyerahkan pedang palsu itu kepada Kiang Tojin! Kini, pedang tulen masih berada di puncak Kiam-kok-san. Setelah mengalami bnayak hal yang amat tidak enak, bertemu dengan orang-orang pandai yang memusuhinya, dia tahu bahwa dia harus kembali ke sana, harus menggembleng dirinya seperti yang dipesankan suhunya. Ia harus dapat menemukan kitab-kitab peninggalan suhunya, memperdalam ilmunya agar dia dapat menjaga diri kalau berhadapan dengan tokoh-tokoh dunia kang-auw, baik para datuk hitam maupun para datuk putih! Seminggu setelah dia meninggalkan dusun di mana terdapat kuburan Ciang Bi dia telah tiba di kaki Pegunungan Bayangkara yang menyambung dengan Pegunungan Kun-lun-san,

   Setelah dia berhasil melewati Pegunungan Min-san. Namun untuk sampai di tempat markas Kun-lun-pai, masih amat jauh dan sedikitnya dia harus melakukan perjalanan naik turun gunung selama setengah bulan. Selagi Keng Hong enak-enak berjalan mendaki sebuah lereng, tiba-tiba terdengar bentakan keras dan muncullah puluhan orang menghadang jalan, bahkan segera mengurungnya. Keng Hong terkejut karena orang-orang yang mengurungnya ini jumlahnya tidak kurang dari lima puluh orang dan semua memegang senjata tajam! Kalau dilihat keadaan mereka, pasti bukan perampok, karena selain meeka terdiri dari bermacam-macam orang yang berpakaian cukup baik, juga di antara mereka terdapat pula wanita-wanita yang cantik dan gagah.

   "Berhenti, orang muda!"

   Yang membentak adalah seorang kakek berjenggot panjang, tangan kiri bertolak pinggang dan tangan kanan meraba gagang golok yang terselip di pinggangnya. Gagang golok ini indah sekali, terbuat dari emas yang diukir seperti kepala naga. Kakek yang berjenggot panjang dan usianya kurang lebih lima puluh tahun ini masih kelihatan gagah dan kuat sehingga Keng Hong merasa kagum dan cepat menjura.

   "Locianpwe siapakah dan ada kepentingan apa menghadang perjalanan saya?"

   Kakek itu mengelus jenggotnya dan tercengang, juga bangga dan girang. Tak disangkanya bahwa pemuda yang menurut laporan anak buahnya yang telah membunuh muridnya itu begini sopan dan halus, dan menyebutnya

   "Locianpwe"! Sikap Keng Hong ini saja sudah melenyapkan sebagian dari kemarahannya. Akan tetapi mengingat akan kematian muridnya dan banyak anak buah muridnya, dia lalu berkata lagi dengan suara nyaring.

   "Aku adalah Kiam-to (Si Golok Emas) Lai Ban, wakil ketua Tiat-ciang-pan dan mereka semua ini adalah anak buah Tiat-ciang-pang!"

   Keng Hong memandang penuh perhatian. Ia belum pernah berurusan dengan orang-orang Tiat-ciang-pang (Perkumpulan Tangan Besi), hanya pernah mendengar bahwa perkumpulan ini adalah sebuah perguruan silat yang lumayan besarnya dan kabarnya membantu atau memihak kepada pemerintahan utara.

   "Maaf, menurut ingatan saya, tidak pernah saya berurusan dengan fihak Locianpwe, maka entah kesalahan apa yang telah saya lakukan di luar kesadaran saya terhadap Tiat-ciang-pang, mohon Locianpwe suka memberi penjelasan."

   Lai Ban makin suka kepada pemuda ini. Ia lalu menoleh ke belakang dan bertanya dengan suara keras.

   "Heiii, benar inikah bocah yang kalian maksudkan itu?"

   Tiga orang muncul, laki-laki tinggi besar yang segera menuding ke arah Keng Hong dan berkata,

   "Benar, Ji-pangcu (Ketua Ke Dua), dia inilah bocah setan yang telah membunuh Kiang-twako dan mengaku bernama Cia Keng Hong!"

   Teringatlah Keng Hong sekarang bahwa tiga orang ini terdapat di antara anak buah penjahat yang mengeroyok Ciang Bi. Ketika dia membela gadis itu di depan kuil dalam hutan, dia merobohkan kepala penjahat yang wajahnya seperti Kwan Kong tokoh jaman Sam-kok yang bersenjata golok, kemudian setelah dia merobohkan beberapa orang, diam-diam dibantu pula oleh Biauw Eng dengan senjata rahasianya, sisa gerombolan itu melarikan diri. Agaknya tiga orang ini lalu melapor, dan sungguh diluar dugaannya bahwa kepala penjahat yang brewok dan bersenjata golok besar itu adalah anak murid Tiat-ciang-pang. Kiam-to Lai Ban Si Golok Emas itu memandang kepada Keng Hong dengan pandang mata tidak percaya. Pemuda halus tutur sapanya dan lemah lembut gerak-geriknya inikah yang telah menewaskan muridnya? Sukar untuk dipercaya!

   "Orang muda, benarkah engkau bernama Cia Keng Hong?"

   "Tidak keliru, Locianpwe. Nama saya adalah Cia Keng Hong!"

   "Benarkah engkau telah membunuh muridku Pun Kiong di depan kuil tua di dalam hutan dekat dusun Ciang-chung?"

   Keng Hong menggeleng kepala.

   "Saya tidak tahu siapa yang menjadi murid Locianpwe, akan tetapi memang benar saya telah membunuh beberapa orang angauta penjahat yang hendak berlaku keji dan mengganggu dua orang enci dan adik......."

   Keng Hong berhenti dan lehernya seperti tercekik karena dia teringat kepada Ciang Bi, nona cantik jelita yang tewas secara mengerikan di tangan Song-bun Siu-li Biauw Eng itu. Kakek itu menggerakan alisnya dan matanya mulai menyinarkan kemarahan.

   "Hemmm, kalau begitu benar engkau yang membunuh muridku dan anak buahnya. Bocah lancang, mengapa kau membunuh mereka? Berani engkau menghina Tiat-ciang-pang dengan membunuh seorang anak muridnya?"

   "Maaf, Locianpwe. Saya tidak tahu bahwa dia itu murid Locianpwe atau anak murid Tiat-ciang-pang. Saya hanya tahu bahwa mereka itu amat jahat, hendak menghina seorang gadis baik-baik......."

   "Aaahhhhhh! Engkau seperti orang baik-baik, bukan orang jahat. Akan tetapi mengapa engkau selancang itu? Apakah engkau anak murid Hoa-san-pai?"

   "Bukan, Locianpwe."

   "Kalau bukan, mengapa membela orang-orang Hoa-san-pai?"

   Keng Hong terdesak. Kakek ini benar pandai berdebat sehingga dia tersudut oleh pertanyaan-pertanyaan itu.

   "Saya....... saya hanya melihat seorang gadis dan adiknya....... eh, diganggu orang-orang jahat......."

   "Cia Keng Hong! Bagaimana kau bisa membedakan bahwa gadis dan adiknya itu orang-orang baik dan anak buah muridku orang-orang jahat?"

   Kakek itu membentak, membuat Keng Hong tertegun karena memang tentu saja dia tidak dapat membedakan, hanya dia membantu Ciang Bi dan Lai Sek berdasarkan rasa kasihan melihat seorang gadis dikeroyok banyak laki-laki tinggi besar.

   "Tentu karena gadis itu cantik dan kami laki-laki mana bisa melawan kecantikannya?"

   Teriak seorang di antara mereka yang dahulu mengeroyok Keng Hong dan ucapan ini disebut dengan suara ketawa.

   "Cia Keng Hong, agaknya engkau seorang pemuda hijau yang baru saja muncul di dunia kang-ouw. Akan tetapi menurut pelaporan anak buah muridku, engkau lihai sekali. Dari golongan atau partai manakah engkau? Siapa gurumu?"

   "Maaf, saya bukan dari golongan manapun dan guruku yang sudah meninggal tidak boleh diganggu namanya. Harap Locianpwe jelaskan, kesalahan apakah yang telah saya lakukan dalam membela gadis dan adiknya yang dikeroyok itu?"

   "Kami orang-orang gagah dari Tiat-ciang-pang adalah pendukung-pendukung gerakan raja muda Yung Lo di utara yang perkasa dan yang sepatutnya dan seharusnya menjadi kaisar yang menguasai seluruh tanah air. Akan tetapi Hoa-san-pai begitu tak tahu malu untuk membela kaisar palsu yang kini berkuasa di selatan, yang secara tak tahu malu mengangkat diri sendiri menjadi kaisar padahal sesungguhnya singasana menjadi hak raja Muda Yung Lo. Sudah sering kali terjadi bentrokan antara anak murid fihak kami dengan anak murid Hoa-san-pai, maka setelah terjadi bentrokan lain di dusun Ciang-chung, tanpa melihat perkaranya, engkau langsung turun tangan membantu fihak Hoa-san-pai dan membunuh orang-orang kami. Tidak salahkan itu?"

   Keng Hong terkejut sekali. Hal ini sungguh tak pernah disangkanya, bahkan ketika dia bercakap-cakap dengan Ciang Bi, gadis itu tidak pernah menyebut-nyebut tentang itu,

   Tidak pernah bicara tentang permusuhan antara Hoa-san-pai dan Tiat-ciang-pang yang diakibatkan perbedaan faham itu. Ia merasa menyesal juga mengapa dia tergesa-gesa turun tangan membunuh orang. Ternyata perbuatannya itu menimbulkan kemarahan di fihak Tiat-ciang-pang. Betapapun juga, Keng Hong sorang yang berwatak jantan yang diwarisinya pula dari suhunya. Dia tidak mengenal takut apalagi karena dia merasa bahwa perbuatanya dalam urusan ini tidak salah! Menurut ajaran suhunya, dalam kebenaran dia harus berani menghadapi apa saja, bahkan mati pun bukan apa-apa kalau mati dalam kebenaran. Lebih baik mati dalam kebenaran atau membela kebenaran dari pada hidup dalam keadaan tercemar dan terhina karena kejahatan! Tentu saja baik atau jahat menurut penilaiannya sendiri! Dan betapapun dia pertimbangkan, dia tidak merasa salah dalam hal itu!

   "Maaf, Locianpwe. Baru sekarang setelah mendengar penuturan Locianpwe, saya tahu akan persoalannya. Akan tetapi pada waktu hal itu terjadi, saya hanya tahu bahwa ada seorang gadis muda dikeroyok banyak laki-laki tinggi besar yang mengeluatkan ucapan-ucapan menghina. Tentu saja saya turun tangan membela wanita itu, karena bukankah hal itu merupakan tuga seorang gagah yang menjunjung tinggi kebenaran dan keadilan? Sekarang, ternyata ada sebab-sebab lain tersembunyi dalam perkelahian itu, sebab-sebab yang tidak saya ketahui. Semua telah terjadi, sekarang saya berhadapan dengan Locianpwe, harap jelaskan, apa yang harus saya lakukan dan apa pula yang akan Locianpwe lakukan terhadap saya?"

   Kembali kakek itu diam-diam menjadi kagum. Terang bahwa bocah ini bukan bocah sembarangan dan mulailah dia percaya bahwa pemuda ini memiliki kelihaian yang luar biasa, murid seorang sakti yang tentu amat terkenal. Biarpun dia merasa kagum dan sayang, namun sebagai ketua Tiat-ciang-pang, dia harus membela perkumpulannya dan harus menuntut atas kematian murid Tiat-ciang-pang agar tidak ditertawai dan dipandang rendah dunia kang-ouw, apalagi dipandang rendah oleh Hoa-san-pai!

   "Cia Keng Hong, ucapanmu membuktikan bahwa kau seorang laki-laki sejati yang tidak menyangkal perbuatan yang telah kau lakukan. Kau telah mengaku bahwa kau telah membunuh murid Tiat-ciang-pan, karena itu, aku sebagai wakil ketua Tiat-ciang-pang berkewajiban untuk menangkapmu dan membawamu ke depan ketua kami untuk menerima keputusan dan hukuman."

   Keng Hong mengerutkan alisnya dan menggeleng kepala.

   "Permintaanmu ini sukar sekali untuk dapat saya terima, Locianpwe, karena apa pun yang telah terjadi, saya berbuat demi kebenaran dan kebaikan, sedikitpun tidak mengandung dasar yang jahat dan buruk, sedikit pun tidak merasa salah. Karena itu, saya tidak dapat menghadap Tiat-ciang-pangcu (ketua) untuk menerima hukuman. Harap Locianpwe suka memaafkan."

   Sinar mata yang tadinya sabar dan penuh kagum itu menjadi marah.

   "Eh, orang muda,boleh jadi engkau lihai, murid seorang sakti, akan tetapi ketahuilah bahwa engkau berhadapan dengan seorang tua seperti aku yang telah mengejar ilmu sebelum engkau lahir! Kami orang-orang Tian-ciang-pang mengutamakan keadilan, setelah nanti didengar semua keteranganmu, tentu pangcu kami tidak akan menjatuhkan hukuman sewenang-wenang! Kalau engkau menolak, sunguh menyesal sekali bahwa aku terpaksa harus memaksamu!"

   "Ah, ternyata Locianpwe hanya ingin mencari benar sendiri!"

   Kata Keng Hong.

   "Hemmm, apakah bukan engkau yang hendak mencari benar sendiri, orang muda? Engkau telah membunuh murid kami, dan kami sekarang hendak menangkapmu. Siapakah yang salah dan siapa benar dalam hal ini? Siapa yang jahat dan siapa yang baik?"

   Tiba-tiba terdengar suara ketawa, suara ketawa yang mengakak seperti suara burung gagak (goak) atau suara seekor ular besar.

   Mendengar suara ketawanya, sepatutnya orang yang tertawa seperti itu tentulah seorang yang tinggi besar. Akan tetapi ternyata sebaliknya. Ketika semua orang memandang ke atas karena suara ketawa itu terdengar dari atas, mereka melihat seorang kakek yang amat lucu duduk dengan kedua kaki telanjang ongkang-ongkang di atas dahan pohon tak jauh dari tempat itu. Kakek ini tubuhnya kecil dan bongkok berpunduk, rambut, kumis dan jenggotnya panjang terurai akan tetapi bagian atas kepalanya botak dan kelimis. Mukanya membayangkan kegembiraan total, sehingga tampak seperti wajah seorang bocah nakal yang tertawa-tawa selalu, pakaiannya bersih sekali dan baru, akan tetapi kedua kakinya telanjang. Tangan kirinya memegang sebuah guci arak, dan setelah tertawa dia lalu menuangkan isi guci ke mulut. Bau arak wangi memenuhi tempat itu.

   "Ha-ha-ha-ha-ha!"

   Ia tertawa lagi setelah minum arak.

   "Semua salah, semua benar, tidak ada yang baik tidak ada yang buruk. Sama saja! Ha-ha-ha-ha-ha! Yang tinggi yang pendek ya sama saja! Yang gemuk yang kurus ya sama saja! Yang salah yang benar, yang buruk yang baik, yang cantik yang bopeng, semua ya sama saja! Ha-ha-ha-ha-ha!"

   Kalau semua orang merasa geli dan juga jengkel mendengar kata-kata tdak karuan sikap seperti orang gila itu, Keng Hong sebaliknya menjadi tertarik sekali. Dia dapat menangkap inti sari ucapan yang tidak karuan itu maka lalu menjura ke atas terhadap kakek itu sambil berkata.

   "Kebetulan sekali Locianpwe yang arif bijaksana muncul di saat ini. Mohon petunjuk Locianpwe siapakah yang salah dan siapa yang benar dalam urusan antara saya dan fihak Tiat-ciang-pang ini?"

   "Urusan ini tidak ada sangkut-pautnya dengan orang lain an kami tidak membutuhkan pendapat orang lain,"

   Kata Kim-to Lai Ban yang tentu saja merasa direndahkan kalau sebagai wakil ketua Tiat-ciang-pang dia harus mendengarkan pendapat orang luar untuk mengambil keputusan atas urusan yang mengenai perkumpulannya.

   "Lai-pangcu,"

   Kata Keng Hong dengan wajah tidak senang.

   "dalam setiap urusan antara kedua fihak, selalu harus ada fihak ke tiga yang dimintai pertimbangan agar dapat dipertimbangkan siapa salah siapa benar. Kalau tidak, bagaimana kedua fihak yang bertentangan itu akan dapat menyelesaikan urusan secara musyawarah?"

   Kemudian dia menoleh lagi kepada kakek bongkok di atas dahan itu sambil berkata,

   "Mohon petunjuk Locianpwe."

   Kakek bongkok itu tertawa lagi.

   "Bocah, kau awas dan berbakat sekali! Di dunia ini mana ada baik dan buruk? Mana ada salah dan benar? Yang ada hanyalah pandangan manusia, disesuaikan dengan selera masing-masing, disesuaikan dan didasari oleh nafsu mementingkan diri sendiri masing-masing! Mana ada manusia baik atau manusia jahat? Manusia ya manusia, tidak baik tidak jahat. Baik atau buruknya tergantung dari pendapat masing-masing, pendapat yang diuntungkan atau dirugikan. Pendapat manusia didasari sifat mementingkan diri pribadi. Contohnya? Biar orang sedunia menganggap seseorang itu baik, kalau orang itu merugika dirinya, dia tentu menganggapnya jahat! Sebaliknya, biar orang sedunia menganggap seseorang jahat, kalau orang itu menguntungkan dirinya, dia tentu akan menganggapnya baik! Demikian pula perbuatan. Perbuatan ya perbuatan. Salah atau benarnya, baik atau buruknya, selalu diciptakan manusia yang terkena akibat perbuatan itu. Kalau menguntungkan, dianggapnya benar, kalau merugikan, salahlah perbuatan itu! Buktinya sekarang ini. Perbuatan bocah ini merugikan fihak Tiat-ciang-pang, tentu saja oleh fihak Tiat-ciang-pang dianggap salah dan jahat! Padahal, bagaimanakah sifat perbuatan itu sesungguhnya? Tanyakan kepada pihak murid-murid Hoa-san-pai yang oleh perbuatan bocah ini diuntungkan terhindar dari kekalahan, tentu saja perbuatan ini dianggapnya benar dan baik! Mana yang benar? Baik atau jahat? Salah atau benar? Ya sama saja! Ha-ha-ha-ha-ha-ha!"

   Wakil ketua Tiat-ciang-pang dan anak buahnya menjadi marah dan mendongkol. Akan tetapi diam-diam Keng Hong terkejut dan kagum. Kata-kata yang kedengarannya tidak karuan artinya itu sekaligus mencakup segala rahasia pertentangan dan keributan yang selalu timbul tiada henti-hentinya di atas bumi di antara manusia! Rahasia daripada timbulnya segala bentuk pertentangan telah tercakup dalam kata-kata kakek bongkok itu, ialah bahwa semua pertentangan timbul karena manusia memperebutkan "kebenaran"

   Yang sesungguhnya selalu didasari oleh sifat mementingkan diri pribadi.

   "Maafkan saya, Locianpwe yang bijaksana. Kalau kebenaran dan kebaikan sepalsu yang Locianpwe katakan, bagaimanakah sesungguhnya yang aseli?"

   "Heh-heh-heh, tidak ada yang aseli tidak ada yang palsu! Yang benar dan baik bagi diri sendiri bukanlah kebenaran, yang benar dan baik bagi orang lain tanpa dipaksakan dalam pengakuannya barulah mendekati kebenaran!"

   "Ah, amat dalam dan sukar dimengerti wejangan Locianpwe. Mohon petunjuk bagaimana saya harus menghadapi kemarahan Tiat-ciang-pang?"

   "Ha-ha-ha, sikap terbaik adalah seperti air! Kebijaksanan tertinggi seperti air, tidak memaksa tidak mendesak, sepenuhnya mematuhi kekuasaan yang ada.........!"

   Jantung Keng Hong berdebar. Dia sudah banyak membaca kitab-kitab kuno, sudah banyak menghafal ayat-ayat dalam kitab-kitab suci, maka dia tentu saja dapat menangkap inti sari ucapan kakek ini, ialah bahwa dia harus bersikap wajar, tidak dibuat-buat, seperti gerakan air yang wajar mengalir ke bawah. Akan tetapi bukan maknanya yang mendebarkan jantungnya, melainkan disebutnya kalimat itu. Kebijaksanaan tertinggi seperti air! Bukankah itu merupakan kalimat pertama daripada huruf-huruf yang terukir di pedang Siang-bhok-kiam? Hanya kebetulan saja, ataukah mungkin sekali kakek bongkok ini dapat memecahkan rahasia huruf-huruf di pedang itu?

   "He, orang tua yang lancang mulut! Jangan mencampuri urusan kami!"

   Bentak Lai Ban yang menjadi marah karena pemuda itu mengobrol dengan si kakek bongkok demikian asiknya seolah-olah puluhan orang Tiat-ciang-pang itu dianggap seperti segerombolan pohon saja! Karena kakek itu tidak menjawab dan hanya tersenyum-senyum sambil tetap duduk di atas dahan pohon dengan kedua kaki bergantungan, Keng Hong menoleh kepada Lai Ban dan berkata dingin.

   "Lai-pangcu, salah-menyalahkan dalam urusan ini memang tidak ada habisnya dan tidak akan dapat membereskan persoalan. Aku tidak memusuhi Tiat-ciang-pang, dan aku tiak merasa bersalah dalam peristiwa antara anak murid Tiat-ciang-pang dengan anak murid Hoa-san-pai, dan karena tidak merasa bersalah, aku tidak mau kalau diharuskan menghadap ketua Tiat-ciang-pang untuk menerima hukuman. Jika Ji-pangcu hendak menggunakan paksaan dan kekerasan, silahkan."

   Sekali ini ketua dua Tiat-ciang-pang itu benar-benar hilang sabar dan menjadi marah sekali.

   "Orang muda! Engkau benar-benar tidak tahu tingginya langit dalamnya lautan! Boleh jadi engkau lihai, akan tetapi engkau masih seorang muda remaja, masih seorang bocah! Sebetulnya aku merasa sungkan untuk turun tangan menandingi seorang yang sepantasnya menjadi cucu muridku kalau melihat usianya......"

   "Ha-ha-ha! Pintar dan bodoh tidak mengenal tua atau muda. Yang makin tua makin tolol amat banyak, yang muda-muda sudah pintar seperti orang muda ini pun tidak jarang! Siapa sih orangnya yang tahu akan tingginya langit dan dalamnya lautan? Heh-heh-heh!"

   Kakek bongkok itu tertawa-tawa lagi sambil memberi komentar, seolah-olah dia sedang menonton pertunjukan yang lucu. Kim-to Lai Ban menjadi makin marah.

   "Eh, kakek tua yang lancang mulut! Pergilah engkau dari sini, jangan mencampuri urusan orang lain! Kalau tidak, akan kuseret turun engkau!"

   "Wah-wah-wah, ini aturan mana, ya? Sebelum kalian datang aku sedang enak-enakan tidur di pohon ini. Kalian datang membikin ribut sampai aku terkejut dan terjaga dari tidurku. Menurut patut, aku yang menegur kalian. Kalau kalian mengenal malu, pergilah dari sini dan carilah tempat lain untuk main ribut-ribut agar tidak mengganggu orang!"

   Kim-to Lai Ban membentak kepada dua orang sutenya,

   "Seret dia turun dan tendang dia jauh-jauh dari sini!"

   Dua orang sutenya itu adalah orang-orang yang sudah memiliki kepandaian tinggi. Di dalam perguruan Tiat-ciang-pang, terdapat sebuah ilmu yang dipakai ukuran tinggi murid-muridnya,

   Yaitu ilmu Tiat-ciang-kang (Tangan Besi). Kedua tangan atau sebelah tangan saja, digembleng dan dilatih sedemikian rupa sehingga tangan itu menjadi kuat dan kebal seperti besi. Makin hebat latihannya, makin kuat tenaga sinkang si murid, makin kebal dan kuat tangan besinya. Kekuatan tangan besi inilah yang dijadikan ukuran tingkat. Tingkat pertama tentu saja diduduki oleh ketuanya yang bernama Ouw Beng Kok, adapun tingkat kedua diduduki oleh Kiam-to Lai Ban. Kini, kedua orang sute yang menghampiri pohon di mana duduk kakek bongkok dan yang menerima tugas untuk menyeret turun kakek itu, adalah orang-orang tinggi besar dan kuat sekali, apalagi karena mereka telah menduduki tingkat ke empat di Tiat-ciang-pang yang menandakan bahwa ilmu "tangan besi"

   Mereka sudah amat hebat.

   "Orang tua bongkok, engkau sudah mendengar permintaan Ji-pangcu kami, harap lekas turun dan pergi karena kami merasa tidak enak sekali kalau harus menggunakan kekerasan terhadap orang kakek tua seperti engkau,"

   Kata seorang di antara dua murid Tiat-ciang-pang tingkat empat itu.

   "Heh-heh-heh, apakah sih artinya kekerasan? Kalian hendak menggunakan kekerasan seperti apa? Aku sejak tadi duduk di sini dan hanya tertawa bicara, hanya menggunakan kelemasan, duduk mengandalkan kelemasan kaki, bicara mengandalkan kelemasan lidah, akan tetapi kalian ini agaknya suka sekali akan barang yang serba keras. Agaknya, lebih baik lagi kalau Tiat-ciang (Tangan Besi) ditambah dengan Tiat-sim (Hati Besi)!"

   "Kekerasan seperti inilah!"

   Seorang di antara mereka tiba-tiba menghantamkan tangan kanan dengan jari-jari terbuka ke arah bantang pohon itu.

   "Kraaakkkkk.......!"

   Hebat bukan main hantaman tangan yang penuh dengan hawa Tiat-ciang-kang itu. Batang pohon yang besarnya sepelukan orang itu, sekali kena dihantam tangan besi itu, menjadi patah dan tumbang! Tentu saja tubuh kakek bongkok yang duduk di dahan pohon itu ikut pula terbawa roboh ke bawah! Akan tetapi, ketika dua orang tokoh Tiat-ciang-pang itu siap hendak menubruk dan menyeret kakek cerewet itu pergi, tiba-tiba hanya tampak bayangan berkelebat dan tahu-tahu kakek bongkok itu sudah berjongkok lagi di atas dahan pohon lain sambil terkekeh-kekeh.

   "Heh-heh-heh, itukah yang kalian sebut kekerasan? Bagiku, lebih tepat disebut pengrusakan! Pengrusakan ciptaan alam, sungguh besar dosanya!"

   Karena merasa bahwa mereka diejek dan ditertawakan dua orang tokoh Tiat-ciang-pang itu menjadi makin marah. Mereka berlari menghampiri pohon besar di mana kakek itu kini berjongkok di atas dahan,

   Lalu mereka berdua secara berbareng memukul batang pohon yang amat besar itu. Kembali terdengar suara yang lebih keras daripada tadi dan batang pohon itu tumbang, membawa dahan-dahan dan daun-daun berikut tubuh si kakek bongkok. Seperti tadi pula, bagaikan seekor burung saja, kakek itu telah meloncat seperti terbang melayang dan "hinggap"

   Di atas pohon lain. Cara dia bergerak meloncat benar-benar amat mengagumkan, selain cepat dan ringan, juga aneh gerakannya karena dalam meloncat, kakek ini mengembangkan dan menggerak-geraka kedua lengan seperti sayap burung! Dua orang tokoh Tiat-ciang-pang makin penasaran sehingga mereka terus mengejar dan memukul tumbang semua pohon yang dijadikan tempat "mengungsi"

   Kakek itu sehingga dalam waktu tak berapa lama, belasan batang pohon telah tumbang!

   "Wah-wah-wah, kalian berdua ini dapat menjadi tukang-tukang penebang pohon yang amat baik dan menguntungkan sekali, heh-heh-heh!"

   Kakek bongkok itu tertawa-tawa.

   "Sute, tahan......!"

   Tiba-tiba Kim-to Lai Ban berseru. Kedua orang sutenya itu lalu mundur, akan tetapi muka mereka merah dan mata mereka melotot ke arah kakek bongkok yang kini masih duduk ongkang-ongkang di atas dahan sebuah pohon lain, agak jauh dari situ karena pohon-pohon yang berdekatan telah tumbang semua.

   "Asal kakek itu tidak mencampuri urusan secara langsung, biarkan dia menggoyang lidahnya, setidaknya dia sudah tahu bahwa Tiat-ciang-pang tak boleh dibuat bermain-main."

   Kemudian Lai Ban menghadapi Keng Hong dan berkata.

   "Orang muda, engkau sudah melihat sendiri kehebatan pukulan Tiat-ciang-kang dari kedua suteku. Aku tidak ingin menggunakan kekerasan terhadapmu. Kalau kau menyerahkan diri tanpa perlawanan, kami pun akan membawamu ke hadapan pangcu tanpa kekerasan."

   Semenjak tadi, Keng Hong memandang kakek bongkok dengan penuh perhatian. Dia dapat menduga bahwa kakek itu bukan sembarang orang, akan tetapi yang paling menarik hatinya adalah bunyi kalimat yang merupakan kalimat yang terukir di pedang Siang-bhok-kiam. Ingin dia bertanya tentang kalimat itu kepada si kakek bongkok, akan tetapi dia masih menghadapi urusan dengan orang-orang Tiat-ciang-pang ini, maka dia harus dapat membereskan urusan ini lebih dulu. Tadi dia melihat kehebatan pukulan dua orang tokoh Tiat-ciang-pang itu dan dia maklum bahwa orang-orang ini benar-benar amat lihai dan memiliki pukulan maut yang amat kuat. Dalam hal ilmu silat, tentu saja dia masih kalah jauh, akan tetapi dalam hal sinkang, mereka itu tidak ada artinya baginya. Juga dia memiliki kecepatan gerakan yang jauh melampaui mereka.

   "Lai-pangcu, kedua orang sutemu telah mendemonstrasikan kelihaian dan hal ini hendak kau pergunakan untuk menundukanku, apa bedanya itu dengan kekerasan? Tidak, Pangcu, karena aku tidak merasa bersalah, aku tetap tidak mau kau bawa pergi menghadap ketua kalian di Tiat-ciang-pang."

   "Bocah, kau benar-benar keras kepala!"

   Teriak seorang di antara dua orang sute Lai Ban yang tadi mengejar-ngejar si kakek bongkok. Mereka masih terlalu pensaran dan marah karena merasa dipermainkan si bongkok, kini mereka seolah-olah hendak menimpakan kemarahan mereka kepada Keng Hong.

   "Ji-suheng, serahkan saja bocah ini kepada kami, tidak perlu kiranya Ji-suheng turun tangan sendiri!"

   Kim-to Lai Ban adalah seorang cerdik. Kalau tadi dia menyuruh kedua orang sutenya mundur adalah karena pandang matanya yang awas dapat menduga bahwa kakek bongkok itu bukan orang sembarangan. Kalau pemuda yang lihai ini saja belum dapat ditundukkan, sungguh tidak menguntungkan kalu menambah seorang lawan lagi yang belum dapat diukur sampai di mana kelihaiannya. Kini, dia harus mengawasi gerak-gerik si bongkok yang dia duga tentu akan membantu Keng Hong, maka dia mengambil keputusan untuk "menyerahkan"

   Keng Hong kepada anak buahnya dan dia sendiri yang akan turun tangan kalau kakek bongkok itu mencampuri urusan ini. Anak buahnya ada puluhan orang, masa tidak akan mampu menangkap Keng Hong. Maka dia lalu mengganggukkan kepala dan berkata.

   "Baik, tangkaplah bocah sombong ini!"

   Dua orang tokah Tiat-ciang-pang yang tinggi besar itu lalu bergerak dari kanan kiri Keng Hong sambil membentak keras,

   "Bocah, engkau ikutlah dengan kami!."

   Mereka mencengkeram ke arah pundak keng Hong dari kanan kiri dengan niat menangkap dan sekaligus membuat pemuda itu tidak berdaya dalam cengkeraman tangan besi mereka. Keng Hong dapat merasakan sambaran angin pukulan tangan mereka itu yang amat kuat dan mantep. Dia tidak takut menghadapi cengkeraman itu karena kalau dia mengerahkan sinkang ke arah sepasang pundaknya, kulit pundaknya akan menjadi kebal dan agaknya tidak perlu takut menghadapi cengkeraman mereka. Akan tetapi setidaknya, bajunya tentu akan menjadi robek-robek dan dia tidak menghendaki ini. Pula, dia pun harus memperlihatkan kelihaiannya, maka cepat dia mengangkat kedua tangan ke kanan kiri, mengerahkan tenaga dan menangkis dengan tolakan dari samping mengadu pergelangan kedua tangannya dengan lengan kedua orang lawannya.

   "Plak! Plak!"

   Dua orang tokoh tiat-ciang-pang itu berteriak kaget dan tubuh mereka terdorong ke belakang ke belakang, lengan mereka yang tertangkis terasa nyeri dan panas sekali. Hanya dengan pengerahan tenaga saja mereka dapat mencegah tubuh mereka terguling, dan kini mereka memandang dengan kemarahan berkobar, sejenak mengelus pergelangan tangan yang terasa senut-senut.

   Orang-orang Tiat-ciang-pang menjadi marah sekali dan tanpa menanti komando, mereka sudah menerjang maju dengan senjata di tangan mengeroyok Keng Hong. Hal ini bukan hanya menunjukkan bahwa orang-orang Tiat-ciang-pang suka main keroyok, melainkan karena mereka ini terlatih dalam perang melawan pasukan-pasukan kerajaan sehingga mereka memiliki jiwa setia kawan yang tebal dan setiap melihat seorang kawannya, apalagi pimpinan, terdesak atau terpukul, tanpa dikomando mereka lalu maju menerjang. Hal ini menimbulkan rasa marah di hati Keng Hong. Tadinya dia tidak marah, hanya ingin berpegang kepada kebenaran menurut faham dan pendapatnya sendiri dalam urusannya dengan orang-orang Tiat-ciang-pang, maka dia pun tidak berniat untuk menurunkan tangan maut. Akan tetapi, sekarang melihat betapa puluhan orang itu bergerak seperti semut menggeroyoknya, dia menjadi marah dan menbentak keras.

   
Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Kalian manusia-manusia curang tak tahu malu!"

   Dan tubuhnya lalu menerjang ke depan, sambil mengerahkan tenaga pada kedua lengannya, Keng Hong menangkis, mencengkeram dan memukul.

   Karena para pengeroyoknya hanyalah para anggota Tiat-ciang-pang rendahan, maka berturut-turut robohlah enam orang yang mengeroyok dari sebelah depan!"

   Tiba-tiba angin pukulan yang amat dahsyat menghantam dari arah belakang dari kanan kiri menuju ke punggung Keng Hong. Pemuda ini terkejut karena angin pukulan ini hebat bukan main. Ia maklum bahwa dua orang tokoh Tiat-ciang-pang tukang robohan pohon tadi telah menyerangnya dari belakang, menggunakan kesempatan selagi dia sibuk menghadapi penggeroyokan banyak orang dari depan. Keamarahan Keng Hong memuncak dan dia mengeluarkan suara pekik melengking sambil mengerahkan sinkang ke tubuh bagian belakng.

   "Buk...! Buk...!"

   Dua kepalan tangan yang amat kuat telah menghantam punggung Keng Hong di kanan kiri. Akan tetapi pada saat itu, keng Hong yang sedang marah sekali telah mengerahkan tenaganya dan tenaga mujijatnya timbul di luar kehendaknya sehingga begitu dua kepalan itu sehingga melekat pada punggung tak dapat dilepaskan pula. Dua orang itu adalah ahli-ahli pukulan Tiat-ciang-kang, sungguhpun belum mencapai tingkat paling tinggi, namun sudah cukup hebat dan tenaga sinkang mereka pun sudah amat kuat. Kini, menghadapi kenyataan mengerikan bagi mereka itu,

   Kepalan tak dapat dilepas dari punggung dan tenaga sinkang mereka molos keluar seperti air membanjir karena tanggulnya bobol, tanpa dapat mereka tahan, mereka menjadi kaget dan juga panik. Cepat mereka menggunakan tangan kiri mereka, mengirim pukulan dengan pengerahan tenaga sepenuhnya, kini mereka memukul ke kanan kiri lambung. Pukulan ini adalah pukulan maut, karena selain yang memukul adalah kepalan-kepalan tangan yang penuh dengan hawa sakti Tiat-ciang-kang, juga yang dipukul adalah lambung yang biasanya merupakan tempat yang lemah. Akan tetapi, justru bagian tubuh Keng Hong yang dekat pusar merupakan bagian-bagian yang paling "peka"

   Dan aktif sekali kalau tenaga mujijat yang menyedot itu sedang bekerja, maka begitu dua pukulan itu menyentuh lambung, kontan saja tersedot dan melekat!

   Dua orang tokoh tiat-ciang-pang itu kini menjadi seperti dua ekor lintah yang melekat, tak dapat terlepas pula dan tenaga sinkang mereka terus menerobos keluar melalui kedua tangan mereka memasuki tubuh keng hong yang menjadi makin lamban gerakan-gerakannya akan tetapi menjdai makin hebat tenaga sinkangnya. Dia hanya melangkah perlahan-lahan ke depan, kedua lengannya bergerak perlahan pula, akan tetapi kedua tangannya itu mengeluarkan angin bersuitan dan setiap orang pengeroyok yang terdorong oleh angin pukulan ini tentu roboh terjengkang! Hal ini tidaklah aneh kalau dipikir bahwa pada saat itu, yang memang sudah amat kuat, melainkan ditambah lagi oleh tenaga Tiat-ciang-kang dari kedua orang yang menempel yang di tubuhnya dari belakang itu!

   "Pemuda iblis"!!"

   Kim-to lai ban menjadi marah sekali.

   "Lepaskan dua orang suteku!"

   Ia marah dan juga ngeri menyaksikan betapa dua orang sutenya itu kini telah bergantung pada tubuh Keng Hong dengan lemas, wajah mereka pucat separti mayat. Sebetulnya hal ini adalah kesalahan dua orang itu sendiri. Tenaga mujijat yang bergerak di seluruh tubuh Keng Hong adalah tenaga yang hanya mengenal dan menyedot tenaga sinkang dari luar. Andaikata seorang manusia biasa yangtidak pernah berlatih sehingga tenaga sakti dalam tubuh mereka tidak bangkit, membuat mereka itu hanya bertenga biasa dari otot-otot saja, maka tenaga mujijat di tubuh Keng hong takkan dapat berbuat apa-apa,

   Dan orang yang tidak bersinkang itu tidak akan dapat terlekat dan tersedot. Demikian pula bagi mereka yang memiliki tenaga sakti seperti dua orang Tiat-ciang-pang itu, andaikata mereka tidak mempergunakan tenaga sinkang, tentu mereka akan terlepas dengan sendirinya dari tubuh Keng Hong. Tadi mereka memukul dengan tangan kanan, disusul dengan tangan kiri, mempergunkan Tiat-ciang-kang, pukulan yang sepenuhnya didasari tenaga sinkang, tentu saja mereka terlekat dan tersedot. Setelah demikian, mereka meronta dan mengerahkan tenaga pula untuk berusaha melepaskan diri. Tentu saja usaha pengerahan tenaga ini merupakan "makanan"

   Bagi tenaga mujijat di tubuh Keng Hong yang bekerja sehingga makin hebat mereka berusaha untuk melepaskan diri makin hebat pula mereka tersedot dan melekat terus!

   "Aku... aku tidak bisa melepaskan mereka...!"

   Kata Keng Hong gugup. Peristiwa seperti ini terulang kembali dan selalu dia menjadi gugup. Apalagi sekarang bukan hanya dua orangitu yang melekat dan tersedot sinkangnya, juga ada dua orang lain yang tadinya berusaha embantu kawan mereka, kini menempel dan tersedot sinkangnya. Yang menjemukan, dua orang ini menjerit-jerti seperti dua ekor babi disembelih! Ingin Keng Hong melepaskan dari mereka, akan tetapi dia sendiri pun tidak tahu bagaimana caranya! Jawabannya yang memang sesungguhnya itu diterima salah oleh Kim-to Lai Ban, dia menjadi makin marah dan dicabutlah golok emasnya.

   "Terpaksa aku membunuhmu, pemuda iblis!"

   Serunya dan dia menerjang maju, lalu meloncat ke atas dan berteriak keras menyerang Keng Hong. Pemuda ini maklum betapa hebat dan berbahayanya serangan Kim-to Lai Ban itu. Maka dia pun mengeluarkan pekik melengking dan tubuhnya sudah mencelat ke atas, membawa empat tubuh yang menempel di sebelah belaknang tubuhnya sendiri itu ke udara. Menghadapi serangan golok lawan yang demikian dahsyatnya, yang beruabah menjadi sinar keemasan yang melengkung panjang, Keng Hong sudah mengerahkan tenaga dan menggunakan jurus In-keng-hong-wi (Awan menggetarkan Angin dan Hujan), yaitu jurus kedelapan atau jurus terakhir, jurus yang paling dahsyat daripada ilu silatnya, San-in-kun-hoat (Ilmu Silat Tangan Kosong Awan Gunung) yang hanya terdiri dari delapan jurus itu.

   Jurus ini amat sukar dimainkan, namun juga amat hebat gerakannya, karena selagi berada di udara menyambut terjangan lawan yang juga meloncat ke udara itu, kaki kiri Keng Hong bekerja susul menyusul dalam rangkaian yang selain cepat tak terduga, juga amat aneh dalam kerja sama yang rapi sekali. Kedua kakinya sudah susul menyusul melakukan tendangan ke arah pergelangan tangan Kim-to Lai Ban yang memegang golok dan ke arah pusar, sedangkan kedua tangannya susul menyusul pula melakukan serangan, yang kiri mencengkeram ke arah ubun-ubun kepala sedangkan yang kanan mengikuti gerakan golok yang ditarik ke belakang karena tendangannya sedetik yang lalu!

   "Hayaaaaa..!!"

   Selama hidupnya baru sekali ini Kim-to Lai Ban menjadi gugup. Tadinya dia memutar goloknya dan melompat ke atas melakukan serangan dengan jurus yan paling ampuh dari ilmu goloknya. Ia harus menyelamatkan dua orang sutenya, maka dia tidak segan-segan lagi menurunkan serangan maut, goloknya membentuk lingkaran dan sasarannya adalah leher lawan, sedangkan tangan kirinya yang terbukajarinya mencengkeram ke arah lehar Keng Hong.

   Akan tetapi, siapa kira, lawannya itu malah meloncat pula dan menyambut serangannya secara terbuka di udara! Tentu saja tubuh mereka bertemu di udara dan dalam beberapa detik ini telah terjadi beberapa gebrakan hebat. Kim-to Lai ban terpaksa menarik goloknya karena pergelangan tangannya yang menbacok itu dipapaki tendangan dari bawah, akan tetapi tangan kirinya berhasil "masuk"

   Dan mengcengkeram leher Keng Hong karena dia menang dulu. Dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika jari-jari tangannya yang mengcekeram leher itu seperti mencengkeram daging yang amat lunak dan sekaligus tenaganya tersedot dan tangannya melekat! Sebelum hilang rasa kagetnya, pusarnya terancam tendangan yang cepat dia elakkan, akan tetapi tiba-tiba goloknya terampas oleh tangan Keng Hong dan ubun-ubunnya juga terancam oleh cengkeraman sebelah tangan pemuda luar biasa itu!

   "Celaka..!"

   Lai Ban berseru keras, berusaha membetot tangannya dan pada detik lain, dia mengirim tusukan dengan dua buah tangannya ke arah mata Keng Hong dan hal ini sama sekali tak dapat dielakkan maupun ditangkis oleh pemuda itu! Dalam detik itu, nyawa Lai Ban terancam maut oleh cengkeraman pada ubun-ubunnya sedangkan keselamatan mat Keng Hong terancam kebutaan oleh dua jari tangan Kim-to Lai Ban.

   "Heh-heh-heh, sayang.. sayang..!"

   Terdengar kakek yang duduk nongkrong di atas pohon itu tertawa dan dari tangannya menyambar dua butir buah mentah dari pohon itu.

   Yang sebutir menyambar siku lengan Lai Ban yang menusuk jari tangannya ke arah mata Keng Hong, adapun yang sebutir lagi melayang ke arah siku lengan Keng Hong yang mencengkeram ke arah ubun-ubun lawannya. Biarpun buah mentah itu tidak keras, namun ternyata tenaga luncur dan tenaga totokannya dahsyat sekali sehingga tiba-tiba kedua lengan yang tertotok buah-buah entah itu menjadi lumpuh dan kedua orang itu meloncat turun ke bawah. Untung bagi Lai Ban bahwa ketika dia tertotok oleh buah mentah yang melayang tadi, kelupuhannya membuat dia terlepas dari tenaga mujijat keng Hong yang menyedot dan menempelnya sehingga dia dapat meloncat ke bawah. Ia terkejut bukan main dan hanya dapat memandang kepada Keng hong dengan mata terbelalak dan mulutnya menggumamkan bisiskan,

   "Iblis....!"

   Kemudian dia terbelalak kaget ketika tubuh dua orang sutenya dan dua orang anak buahnya, mereka berempat yang tadi melekat di belakang Keng Hong seperti lintah, kini telah menggeletak tak bernyawa lagi! Kiranya tadi karena terlalu lama mereka tersedot sinkangnya dan mereka sama sekali tidak berdaya, hawa sakti tubuh mereka tersedot sampai habis sama sekali sehingga mereka dengan sendirinya terlepas dan jatuh ke atas tanah dalam keadaan tak bernyawa lagi. Melihat ini, Kim-to Lai Ban menjadi makin marah dan selagi dia bersiap untuk mengerahkan anak buahnya yang saat banyak dan mengeroyok mati-matian untuk menebus kematian dua orang sutenya, tiba-tiba Keng Hong meloncat pergi, melempar golok rampasannya ke atas tanah sambil berseru.

   "Locianpwe, tunggu dulu.....!"

   Ketika Lai Ban memandang teliti kiranya pemuda iblis itu telah lari mengejar kakek bongkok yang juga sudah melarikan diri amat cepatnya . Kim-to lai Ban menggeget giginya sabil memandang jauh ke depan sampai dua bayangan itu lenyap, kemudian menggeleng-gelengkan kepala dan menghela nafas dengan penuh duka. Sungguh tak dia sangka bahwa hari ini nama besarnya, juga nama besar Tiat-ciang-pang akan hancur hanya oleh seorang bocah yang tak ternama! Dengan hati penuh penasaran dan dendam terhadap Keng Hong,

   Kim-to Lai Ban lalu menyuruh anak buahnya mengangkut empat jenazah itu dan membawa pergi dari tempat itu. Dia maklum bahwa mengejar pemuda itu takkan ada gunanya. Sudah dia saksikan betapa ilmu lari cepat pemuda itu amat hebatnya ketika mengejar si kakek bongkok, seperti terbang saja. Dan ilmu kepandaiannya pun mujijat. Belum lagi diingat kakek bongkok itu yang juga memiliki kesaktian. Biarlah, untuk sekali ini Tiat-ciang-pang boleh mengaku kalah, akan tetapi urusan ini takkan habis sampai disitu saja! Pada suatu saat, dendam ini harus terbalas! Demikianlah tekad hati Lai Ban sambil mengiring jenazah ke empat orang kawan, atau lebih tepat, dua orang sute dan dua orang anak buah itu kembali ke pusat Tiat-ciang-pang yang berada di sebuah di antara puncak-puncak pegunungan Bayangkara.

   Kakek kecil pendek yang bongkok itu ternyata dapat lari cepat sekali. Tadinya kakek itu menggunakan ilmu berlari cepat secara melompat-lompat sepert katak, sekali melompat ada sepuluh meter jauhnya dan begitu kakinya tiba di atas tanah terus melompat lagi ke depan. Akan tetapi Keng Hong yang oleh mendiang gurunya di gembleng terutama sekali untuk tenaga dan kecepatan, dapat bergerak lebih cepat lagi. Tubuh peuda yang kini terlalu penuh dengan hawa sinkang "rampasan"

   Dari orang-orang Tiat-ciang-pang tadi, ringan seperti sebuah balon karet penuh hawa, maka dia dapat berlari cepat dan ringan sekali mengejar, makin lama makin dekat sabil berteriak.

   "Locianpwe, tunggu dulu...!"

   Mendengar ini, kakek itu berlari makin cepat lagi.

   "Heiii, Locianpwe yang bongkok, tunggu...!"

   Suara Keng Hong makin keras dan ketika kakek itu menoleh dan melihat betapa pemuda itu mengejarnya dengan cara yang sama, yaitu melompat-lompat seperti katak, akan tetapi dengan lompatan yang lebih jauh daripada lompatannya, dia kaget kaget sekali dan cepat mengubah caranya berlari. Kini dia tidak berlompatan lagi, melainkan berlari dengan gerakan yang luar biasa cepatnya sehingga kedua kakinya itu lenyap bentuknya dan tampak seperti kitiran berputar sehingga kelihatannya seperti roda. Langkah-langkahnya pendek-pendek, sesuai dengan kedua kakinya yang pendek-pendek, namun gerakannya cepat sekali sehingga tubuhnya meluncur ke depan seperti seekor kuda membalap.

   "Heh-heh-heh, tak mungkin kau dapat mengejarku lagi, bocah bandel!"

   Kakek itu terkekeh dan mengerahkan seluruh tenaganya untuk berlari secepat mungkin. Beberapa lamanya kakek itu berlari sampai dia merasa yakin bahwa pemuda itu kini tentu telah tertinggal jauh dan kalau dia teruskan, napasnya mungkin akan putus meninggalkan tubuhnya yang sudah amat tua. Selagi dia hendak memperlambat larinya, tiba-tiba dekat sekali di belakangnya terdengar teriakan Keng Hong.

   "Heiii, Locianpwe, mengapa melarikan diri? Saya hendak bicara..!"

   Kakek bongkok itu menengok dan alangkah kagetnya ketika mendapat kenyataan bahwa kini pemuda itu pun berlari cepat seperti dia, cepat sekali seperti terbang melayang saja. Karena merasa bahwa lari pun tidak ada gunanya, kakek itu berhenti dan membalikkan tubuh menanti sampai Keng Hong tiba di depannya. Pemuda itu masih merah sekali mukanya, sampai matanya pun masih merah sebagai akibat daripada kebanjiran sinkang di tubuhnya, akan tetapi dia sudah tenang karena tadi kelebihan hawa sakti itu telah banyak dia pergunakan untuk melakukan pengejaran terhadap kakek yang amat cepat larinya itu, dan di sepanjang jalan Keng Hong menggunakan tangannya mendorong roboh beberapa batang pohon besar.

   "Ehhh, bocah yang keji seperti setan. Apakah engkau masih belum kenyang, mengejarku untuk menyedot habis sinkangku dengan ilmu sesatmu Thi-khi-i-beng ?"

   Ia bertanya sambil memandang tajam.

   "Seekor lintah hanya menyedot darah sampai kenyang baru puas, akan tetapi engkau menyedot hawa orang sampai empat orang mati masih belum puas, sungguh jauh lebih keji daripada seekor lintah!"

   Keng Hong mengerutkan alisnya dengan hati risau.

   "Locianpwe, benarkah ada itu ilmu yang dinamai Thi-khi-I-beng? Apakah benar tenaga menyedot yang keluar dari tubuhku itu tadi Ilmu Thi-khi-I-beng?"

   Kakek itu membusungkan dada menegakkan kepala dan memandang Keng Hong dari bawah dengan sikap seorang guru memandang muridnya, kemudian dia menunjuk hidung sendiri sambil berkata.
(Lanjut ke Jilid 11)

   Pedang Kayu Harum (Seri ke 01- Serial Pedang Kayu Harum)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 11
"Aku Siauw-bin kuncu (Budiman Berwajah Ramah) selamanya tidak suka membohong. Seorang kuncu (budiman) tidak akan membohong! Terang bahwa kau tadi menggunakan ilmu menyedot sinkang lawan, apalagi namanya kalau bukan Thi-khi-I-beng yang kabarnya sudah lenyap dari permukaan bumi dan dibawa lari untuk dijadikan ilmu para iblis dan setan ? Akan tetapi sekarang ternyata kau memilikinya. Hih, sungguh mengerikan, sungguh keji menakutkan!"

   Setelah berkata demikian, dia bergidik dan mengangkat guci araknya, terus dituangkan isi guci ke dalam mulutnya sambil terdengar bunyi menggelogok. Kemudian dia menutup mulut guci, mukanya menjadi merah dan wajahnya tertawa-tawa lagi.

   "Heh-heh-heh, seteguk arak mengusir semua kerisauan hati! Biarpun engkau memiliki ilmu iblis, tentu takkan kau pergunakan untuk menyedot hawa dari tubuhku, bukan ?"

   Keng Hong menggeleng kepalanya.

   "Locianpwe telah menolong saya, telah menyelamatkan nyawa saya dengan sambitan tadi, mengapa saya hendak menganggu locianpwe yang budiman ? Tidak sama sekali, saya mengejar locianpwe untuk menghaturkan terima kasaih atau pertolongan itu dan.."

   "Tidak ada tolong menolong! Siapa suka menolong orang yang semuda ini telah memiliki ilmu begitu keji sehingga tidak segan-segan membunuh orang? Seekor lintah menyedot darah hanya secukupnya saja, setelah kenyang melepaskan diri. Akan tetapi engkau menyedot hawa orang sampai orang-orang itu mati. Aku tidak menolong siapa-siapa, hanya tidak suka melihat pembunuhan-pebunuhan."

   "Ah, akan tetapi saya tidak sengaja membunuh mereka, Locianpwe..."

   "Bohong! Ingat, tidak baik membohong dan aku, Siauw-bin Kuncu selamanya tidak sudi membohong! Kebohongan itu berantai, sekali berbohong engkau harus selalu membohong untuk menutupi kebohongan-kebohongan yang terdahulu."

   Keng Hong menahan senyumnya,

   "Saya tidak perlu berpura-pura, Locianpwe. Sekali waktu, kalau perlu saya akan membohong. Saya tidak pernah mempunyai niat di hati untuk membunuh siapapun juga. Dan ilmu Thi-khi-i-beng yang Locianpwe sebut-sebut itu sama sekali saya tidak mengerti dan tidak pernah mempelajarinya. Tenaga sedotan yang berada di tubuh saya ini bukan saya pelihara dan bergerak di luar kesadaran saya."

   "Eh, eh, eh, mengapa begitu? Aku melihat engkau seorang bocah yang baik, maka aku condong memihakmu ketika engkau ribut-ribut dengan orang-orang Tiat-ciang-pang. Akan tetapi aku kecewa melihat engkau mempergunakan ilmu yang sesat itu. Dan sekarang kau mengatakan tidak sadar akan ilmu itu ? sungguh luar biasa...."

   "Sudahlah, Locianpwe. Sesungguhnya selain hendak menghaturkan terima kasih kepada Locianpwe, saya hendak mohon penjelasan, hendak bicara dengan Locianpwe.."

   "Hemmm, boleh. Bicara tentang apa ?"

   "Tentang air!"

   Kakek itu melongo. Mulutnya masih tersenyum akan tetapi karena terbuka lebar kelihatan lucu, matanya terbelalak, tangan kirinya perlahan-lahan diangkat ke atas dan menggaruk-garuk bagian atas kepalanya yang botak kelimis.

   "Eh, orang muda, apakah kau gila ?"

   Tanyanya, pertanyaan yang sungguh-sungguh dengan wajah serius, bukan main-main atau memaki. Timbul kegembiraan di hati Keng Hong. Pemuda ini memang memiliki dasar watak gembira, maka biarpun kelihatannya pendiam, setiap kali bertemu dengan orag yang bersikap riang dan lucu,tentu dia akan mudah terbawa riang pula.kakek ini selain aneh, lihai, juga amat lucu dan gembira. Melihat sikap sungguh-sungguh ketika kakek yang nama julukannya saja sudah aneh itu bertanya apakah dia gila, Keng Hong tak dapat menahan kegelian hatinya dan dia tertawa bergelak, membuat kakek itu makin curiga, makin keras mengira bahwa pemuda ini benar-benar telah gila!

   "Tidak, Locianpwe. Aku belum gila dan mudah-mudahan tidak akan gila,"

   Jawab Keng Hong.

   "Yang kumaksudkan dengan air adalah kalimat yang Lociapwe berikan kepada saya sebagai nasihat menghadapi orang-orang Tiat-ciang-pang. Kalimat yang amat menarik hati saya dan yang ingin sekali saya tanyakan kepada locianpwe tentang artinya."

   "Kalimat apa ?"

   "Yang seperti bunyi ujar-ujar kuno yang suci, mengenai air."

   Keng Hong sengaja memancing.

   "Sangat banyaknya ujar-ujar suci yang membawa-bawa air sebagai wejangan. Yang mana yang kau maksudkan? Nasihat apa yang kuberikan tadi? Aku sudah tidak ingat lagi. Pertanyaan-pertanyaanmu aneh dan membikin aku bingung. Eh, benar-benarkah engkau tidak miring otak, ya?"

   "Tidak, Locianpwe. Kalau locianpwe lupa, biarlah saya mengulang kalimat yang locianpwe ucapkan tadi. Begini bunyinya : Kebijaksanaan tertinggi seperti air."

   "Heh-heh-heh! Betul sekali! Kebijaksanaan tertinggi seperti air! Lengkapnya begini : Kebijaksanaan tertinggi seperti air yang memberi manfaat kepada segala sesuatu mengalir ke tempat rendah yang tak disukai orang karena itu, sifatnya berdekatan dengan Too.."

   "Eh bukankah itu ayat di kitab Too-tik-khing bagian ke delapan ?"

   Keng Hong berseru girang dan heran. Sebaliknya, kakek bongkok itu memandang Keng Hong dengan mata beerseri,

   "Hayaaaaa. Engkau ini benar-benar bocah yang kukoai (aneh) sekali! Mengerti dan hafal pula ayat-ayat di kitab Too-tik-khing ?"

   "Tentu saja hafal karena saya sudah berkali-kali menghafalnya, Locianpwe. Tadi saya lupa dan... ah, hal ini tidak perlu. Yang penting sekarang apakah Locianpwe mengenal pula kalimat yang berbunyi seperti ini : Tulus dan sungguh mengabdi kebajikan."

   "Kau maksudkan tulus dan sungguh mengabdi kebajikan seperti air keluar dari sumbernya? Dan sewajarnya seperti munculnya matahari dan bulan atau sewajarnya seperti empat musim yang datang bergantian? Ujar-ujar itu lengkapnya berbunyi begini : Phouw Phek Yan Coan, Ji Si Chut Ci."

   "Wah, itu adalah ujar-ujar pasal tiga puluh satu ayat dua dari kitab Tiongyeng!"

   Kembali Keng Hong berseru girang sekali karena mengenal ujar-ujar itu yang pernah dihafal seluruh isi kitabnya di luar kepala. Sekali lagi kakek bongkok itu bengong dan kagum.

   "Kau juga pandai ujar-ujar Nabi Khongcu ? Wah, bocah apakah engaku ini ? Kalau gila terang belum! Akan tetapi, engaku menguasai ilmu sesat Thi-khi-I-beng, ginkangmu luar biasa sekali dapat menandingi aku, sinkangmu menakjubkan, dan engkau hafal akan kitab-kitab Too-tik-khing dan Tiong-yong! siapakah sesungguhnya engkau ini bocah aneh?"

   

Si Tangan Sakti Eps 7 Si Bangau Merah Eps 27 Si Tangan Sakti Eps 12

Cari Blog Ini