Ceritasilat Novel Online

Si Tangan Sakti 7


Si Tangan Sakti Karya Kho Ping Hoo Bagian 7



"Harap Paduka jangan khawatir, Pangeran. Kami berdua telah melakukan pemeriksaan dan tempat ini sunyi."

   Kata si kumis tebal.

   "Andaikata ada yang melihatnya juga, siapa yang akan beranl mengganggu Paduka?"

   Sambung si botak. Tentu saja kedua orang pengawal istana ini merasa heran melihat sikap sang pangeran. Kenapa mesti bersikap begitu hati-hati dan takut? Dia seorang pangeran. Siapa akan berani mengganggunya tentu akan berhadapan dengan pasukan pemerintah! Pangeran Cia Sun mengerutkan alisnya.

   "Ada urusan penting apakah sampai kalian diutus mencari aku? Aku bisa pulang sendiri!"

   Katanya tak senang.

   "Pula, bagaimana kalian dapat tahu bahwa aku berada di sini?"

   Si kumis tebal tersenyum bangga.

   "Pangeran, tidak percuma kami berdua menjadi jagoan istana, pengawal-pengawal yang dipercaya. Ketika Paduka pergi ayah Paduka Pangeran Cia Yan memerintahkan kami berdua untuk membayangi Paduka dari jauh dan menjaga keselamatan Paduka. Tugas ini amat mudah karena Paduka memiliki ilmu kepandaian tinggi dan cukup kuat untuk membela diri sendiri. Maka kami hanya menyebar anak buah untuk membayangi dari jauh. Kami mengetahui bahwa Paduka hadir pula di, dalam pertemuan Pao-beng-pai walaupun kami tidak mungkin dapat masuk ke tempat berbahaya itu."

   "Untung kalian tidak masuk, kalau hal itu terjadi, selain kalian celaka, tentu penyamaranku akan gagal pula. Lalu bagaimana?"

   Tanya sang pangeran. Kini si Botak yang melanjutkan.

   "Kami merasa khawatir karena setelah semua tamu keluar dari Ban-kwi-tok, Paduka tidak keluar-keluar. Kami merasa bahwa tentu ada sesuatu yang terjadi maka cepat kami mengirim laporan kepada ayah Paduka. Dan kami menerima perintah agar menjemput Paduka dan mengajak Paduka pulang secepatnya. Ayah Paduka tidak berkenan mendengar Paduka bergaul dengan orang-orang kangouw yang mencurigakan itu, juga Paduka ditunggu karena ada tamu penting."

   "Siapa tamu penting itu?"

   Dua orang pengawal itu saling pandang dan tersenyum penuh arti.

   "Paduka tentu akan senang sekali kalau tiba di rumah. Tunangan Paduka telah menanti bersama orang tuanya."

   "Tunanganku? Jangan bicara sembarangan!"

   "Hamba tidak berbohong. Pendekar wanita Si Bangau Merah."

   "Ahhh! Sudahlah, kalian ini sungguh menjengkelkan. Bukankah kalian juga tahu bahwa aku pandai menjaga diri sendiri? Seperti anak kecil saja, di jemput dan dikawal!"

   Tiba-tiba sang pangeran terkejut dan membalikkan tubuh dengan cepat, juga dua orang pengawalnya memutar tubuh ke kanan dan terbelalak. Di situ, di hadapan mereka, telah berdiri lima orang gadis yang cantik-cantik, yang empat orang berpakaian empat macam warna, dan yang di depan luar biasa cantiknya, pakaiannya berkembang, rambutnya digelung ke atas dan dihias sebuah tiara kecil, tangan kirinya memegang sebatang hudtim atau kebutan berbulu merah dengan gagang emas, sepasang matanya mencorong memandang kepada Pangeran Cia Sun seperti mengeluarkan api!

   "Pangeran Cia Sun!"

   Terdengar suaranya dingin sekali.

   "Menyerahlah untuk menjadi tawanan kami!"

   "Eng-moi !"

   Pangeran Cia Sun berseru sambil melangkah maju untuk mendekati gadis kekasihnya itu.

   "Diam! Engkau tak berhak menyebutku seperti itu!"

   Bentak Siangkoan Eng marah. Si kumis tebal dan si botak menjadi marah. Mereka meloncat ke depan Pangeran Cia Sun seperti melindunginya dan menghadapi lima orang gadis cantik.

   "Apakah kalian telah menjadi gila Beliau ini adalah Pangeran Cia Sun, cucu Sribaginda Kaisar! Beranikah kalian bersikap kurang hormat kepada beliau? Apakah kalian sudah bosan hidup?"

   Kedua orang pengawal itu sudah mencabut pedang mereka untuk melindungi sang pangeran.

   "Bereskan mereka!"

   Kata Siangkoan Eng dan empat orang pelayannya sudah berloncatan menghadapi dua orang pengawal itu sambil mencabut pedang mereka.

   "Kalian yang sudah bosan hidup!"

   Bentak nona baju kuning dan ia memimpin penyerangan kepada dua orang jagoan istana itu. Terjadilah pertanding seru dan hebat. Dua orang jagoan istana itu terkejut setengah mati karena mendapat kenyataan bahwa empat orang gadis cantik itu lihai bukan main menggerakkan pedang mereka dan sebentar saja mereka berdua terdesak dan terkepung, harus memutar pedang secepatnya untuk me-lindungi diri. Sementara itu, Siangkoan Eng maju menghampiri Par geran Cia Sun dan membentak lagi.

   "Menyerahlah atau terpaksa aku akan menggunakan kekerasan!"

   "Eng-moi, ingatlah aku"aku.."

   "Tidak perlu banyak cakap lagi!"

   Bentak Siangkoan Eng dan ia sudah menyerang dengan kebutannya, menotok ke arah leher Cia Sun. Pangeran ini mengelak, akan tetapi Eng Eng menyerang terus, bahkan semakin hebat.

   "Eng-moi ah, engkau keterlaluan, tidak memberi kesempatan kepadaku"

   Kata sang pangeran yang terus mengelak sampai beberapa kali.

   "Engkau mata-mata busuk, pengkhianat, manusia berhati palsu, tidak perlu bicara lagi!"

   Kini penyerangan semakin hebat sehingga terpaksa Pangeran Cia Sun menangkis cengkeraman tangan kanan gadis itu. Begitu kedua lengan bertemu, dia hampir terjengkang! Cia Sun terkejut dan baru dia yakin benar bahwa dalam pertandingan tempo hari, gadis itu selalu mengalah. Kini buktinya, pertemuan tenaga mereka membuktikan bahwa gadis itu jauh lebih kuat dari padanya. Kini Cia Sun yang melawan setengah hati, tidak mau membalas serangan, hanya mengelak dan menangkis saja.

   "Engkau keliru, Eng-moi. Aku memang pangeran yang menyamar menjadi orang biasa untuk dapat leluasa memperdalam pengetahuan dan pengalaman aku tidak berniat buruk, aku bertemu denganmu dan jatuh cinta"

   Karena bicara, maka pertahanan pangeran itu kurang kuat dan sebuah totokan jari tangan kanan Eng Eng membuat dia terkulai dan roboh lemas tak mampu bergerak lagi! Dan pada saat itu pun, dua orang pengawal itu roboh mandi darah dan tewas di ujung pedang empat orang gadis pelayan Eng Eng.

   "Belenggu kedua tangannya dan bawa pulang, masukkan ke dalam kamar tahanan dan jangan ganggu dia sampai ayah pulang."

   Katanya kepada empat orang gadis pelayan yang segera meringkus Cia Sun yang sudah tidak mampu bergerak,

   Membelenggu kedua tangan ke belakang lalu menggotongnya seperti seekor kijang yang baru saja ditangkap oleh sekawanan pemburu. Mayat kedua orang pengawal itu ditinggalkan begitu saja oleh mereka. Sepuluh menit kemudian, barulah beberapa orang muncul dan membawa pergi dua jenazah jagoan istana itu. Mereka adalah anak buah yang tadi tidak berani muncul. Sang pangeran yang perkasa dan dua orang jagoan istana itu saja tidak mampu menandingi lawan, apalagi mereka yang hanya anak buah biasa. Dari jauh, gua itu nampak hitam gelap. Akan tetapi, waktu itu, matahari telah tinggi dan bersinar seterang-terangnya. Tengah hari itu, Yo Han tiba di depan gua di lereng bukit yang menjadi tempat tinggal Tiat-liong Sam-heng-te seperti yang diceritakan oleh Siangkoan Kok kepadanya.

   Dengan sinar matahari yang amat terang, maka setelah tiba di depan gua, ternyata tidaklah begitu gelap seperti nampaknya, dari jauh. Salah satu gua yang besar dan merupakan sebuah ruangan depan karena di situ terdapat perabot-perabot seperti bangku dan kursi. Gua itu seperti sebuah rumah besar saja, di sebelah dalam terdapat sebuah pintu kayu yang memisahkan ruangan depan dengan ruangan dalam. Beberapa kali Yo Han memanggil-manggil ke arah dalam gua, namun tidak terdapat jawaban. Dia tidak berani lan-cang memasuki tempat tinggal orang lain tanpa sepengetahuan pemiliknya. Mungkin gua ini merupakan terowongan yang dalam dan penghuninya berada di bagian belakang sehingga tidak mendengar panggilannya, pikirnya. Dia lalu mengerahkan khikang dan berseru dengan suara yang seperti menembus ke seluruh ruangan di dalam gua terowongan itu.

   "Tiat-liong Sam-heng-te! Harap suka keluar untuk bicara dengan aku, Yo Han."

   Suara itu bergema dan gemanya terdengar dari luar. Akan tetapi tetap saja tidak ada jawaban. Tentu saja sedang keluar, pikir Yo Han. Dia teringat bahwa anak yang diculik itu kabarnya masih hidup dan berada di sini pula. Kebetulan! Kalau Tiat-liong Sam heng-te keluar, tentu anak itu berada seorang diri saja! Kesempatan yang amat baik untuk meng-ajaknya pergi dari sini, kembali kepada orang tuanya.

   "Sim Hui Eng! Apakah engkau berada di dalam?"

   Kembali dia berteriak dengan pengerahan khikang. Dan sekarang ada tanggapan dari dalam! Ada suara langkah kaki menuju keluar. Daun pintu itu terbuka sedikit dan nampak wajah seorang gadis cantik mengintai dari balik daun pintu itu.

   "Nona, aku Ingin bicara denganmu!"

   Yo Han berseru. Akan tetapi wajah itu lenyap dari balik pintu dan Yo Han cepat meloncat ke dalam gua dan mengejar. Gadis itu kini berhenti di ruangan tengah dan tidak lari lagi, melainkan memandangrya dengan heran ketika Yo Han masuk ke ruangan itu.

   "Kenapa engkau masuk ke sini ?"

   Kini gadis itu menegur, suaranya mengandung rasa takut.

   "Jangan masuk, nanti ketiga orang ayahku marah!"

   Tiga orang ayah! Yo Han merasa kasihan sekali. Agaknya gadis itu seperti orang bingung, bahkan mengaku mempunyai tiga orang ayah. Mana mungkin seorang gadis mempunyai tiga orang ayah? Sudah jelas, pasti ini yang namanya Sim Hui Eng, puteri bibinya. Hatinya terharu.

   "Aku mau bicara denganmu."

   Kata pula Yo Han sambil mendekat.

   "Jangan masuk, nanti ayah marah. Dan aku tentu akan dihukum!"

   Yo Han mengerutkan alisnya dan mengepal tinju. Tentu tiga orang penculik itu bersikap kejam terhadap gadis ini, pikirnya.

   "Kalau begitu, mari kita keluar dan bicara di luar agar ayahmu. tidak marah."

   Katanya. Gadis itu mengangguk dan ketika Yo Han melangkah keluar, ia mengikuti. Akan tetapi, kembali gadis itu kembali berhenti, bahkan kini masuk ke sebuah ruangan yang berada di sebelah kiri. Yo Han menengok dan melihat gadis itu berhenti lagi bahkan memasuki sebuah ruangan yang agak lebih terang, dia pun melangkah kembali menghampiri.

   "Nona, kenapa engkau berhenti?"

   Gadis itu kelihatan gelisah dan mengerutkan alisnya, pandang matanya tidak percaya dan curiga.

   "Mau bicara apa sih dengan aku? Aku tidak mengenalmu!"

   "Akan tetapi aku mengenalmu. Engkau tentu Sim Hui Eng"

   Gadis yang manis itu menggeleng kepala.

   "Namaku bukan Sim Hui Eng dan aku tidak mengenalmu."

   "Mungkin engkau sendiri tidak tahu bahwa namamu yang sebenarnya adalah Sim Hui Eng karena engkau diculik orang sejak kecIl. Nona, aku hampir yakin bahwa engkaulah gadis yang kucari, dan aku dapat membuktikan kebenaran hal itu."

   "Hemmm, apakah bukti itu?"

   "Kalau engkau mau memperlihatkan pundak kirimu dan tapak kaki kananmu kepadaku, di sana ada tanda-tanda."

   "Ihhh, engkau orang kurang ajar! Bagaimana mungkin aku dapat memperlihatkan pundak dan kakiku kepadamu?"

   Gadis itu berseru marah dan mukanya berubah kemerahan.Yo Han berpikir. Memang sulit juga. Akan tetapi, agaknya Tiat-liong Samheng-te, tiga orang yang oleh gadis itu disebut ayah, sedang tidak berada di situ dan ini merupakan peluang yang baik sekali. Dia harus dapat melihat bukti itu dan kalau gadis itu tidak mau memperlihatkannya, dia harus memaksanya. Tidak ada lain jalan. Kalau tiga orang yang diaku ayah gadis itu berada di situ, tentu hal ini akan lebih sulit untuk dilaksanakan. Dia harus memeriksa pundak dan kaki gadis itu agar yakin apakah dugaannya bahwa gadis itu Sim Hui Eng itu benar.

   "Nona, aku tidak bermaksud kurang ajar. Akan tetapi aku harus dapat melihat bukti Itu, apakah pundak dan kakimu ada tanda-tanda, kelahiran itu ataukah tidak."

   Katanya dan dia pun cepat memasuki ruangan yang terang itu.

   Gadis itu menyambutnya dengan serangan pisau yang tadi disembunyikannya di belakang tubuhnya. Yo Han tidak merasa heran. Tentu gadis ini salah paham dan menganggap dia hendak kurang ajar. Akan tetapi karena dia tahu bahwa tanpa paksaan, sukar untuk dapat melihat kaki dan pundak seorang gadis, dia pun mengelak dan begitu tangan yang memegang pisau itu menyambar lewat, dia sudah menangkap lengan kanan yang memegang pisau dan secepat kilat jari tangan kanannya menotok dan gadis itu tidak mampu bergerak lagi! la tentu roboh kalau saja Yo Han tidak cepat merangkulnya dan merebahkannya di atas lantai. Pada saat dia merangkul itulah, dia mendengar suara aneh di belakangnya. Dia menoleh dan terkejut melihat betapa jalan masuk ke ruangan itu,

   Tiba-tiba saja tertutup oleh jeruji besi yang meluncur dari atas. Karena dia sedang merangkul tubuh gadis itu, maka dia tidak sempat lagi untuk meloloskan diri, dan dia pun terkurung dalam ruangan itu bersama gadis yang masih tertotok. Celaka, tentu mereka yang disebut Tiat-liong Sam-heng-te itu. yang menjebaknya, karena mengira dia akan kurang ajar terhadap puteri mereka. Akan tetapi dia dapat memberi penjelasan nanti dan begitu kedua tangannya bergerak, baju di pundak kiri gadis itu dan sepatu di kaki kanannya telah terbuka. Bajunya dia robek dan sepatunya dia lepaskan. Akan tetapi, matanya terbelalak ketika melihat kulit pundak dan kulit telapak kaki yang putih mulus tanpa cacat sedikit pun! Wah mungkin dia lupa, pikirnya. Jangan-jangan terbalik, pundak kanan dan kaki kiri yang harus dia periksa!

   Tanpa banyak ragu lagi, Yo Han kembali merobek baju di pundak kanan dan melepas sepatu yang kiri dan dia tertegun. Kulit pundak kanan dan kaki kiri itu pun putih mulus, tidak terdapat tanda apa pun seperti yang diharapkan dan disangkanya. Dia telah keliru! Kalau begitu, Siangkoan Kok telah berbohong kepadanya. Dan ini tentu berarti suatu tipuan, suatu jebakan! Cepat dia meloncat berdiri untuk mencoba keluar dari situ dengan menjebol jeruji besi, akan tetapi pada saat itu juga, dari arah pintu, kanan kiri dan atas, menyembur masuk asap yang kekuningan. Yo Han menahan napas dan memaksa diri mendekati jeruji besi untuk menjebolnya. Akan tetapi, di balik asap tebal nampak orang-orang yang mempergunakan tombak yang ditusukkan ke dalam melalui celah-celah jeruji ke dalam sehingga terpaksa dia mundur lagi.

   Cepat dia memeriksa ke belakang, kanan dan kiri, akan tetapi dinding gua itu merupakan dinding batu alam, entah berapa tebalnya. Tidak ada jalan lari! Dan dia pun tidak mungkin menahan napas terus-terusan. Dia mulai bernapas dan asap sudah memenuhi gua itu, dia terbatuk-batuk lalu mencium bau yang masam, menyesakkan dada dan Yo Han terguling roboh. Pingsan! Yo Han bermimpi. Dalam mimpi itu dia mengejar-ngejar seorang gadis cantik yang dapat berlari kuat sekali, juga kecepatan larinya luar biasa sekali. Akan tetapi akhirnya, di puncak sebuah bukit dia dapat menyusul dan menangkap gadis itu, dirangkulnya dari belakang, lalu dia merobek baju gadis itu! Bukan untuk apa-apa melainkan untuk melihat pundaknya! Dia melihat sepasang pundak putih mulus, lalu gadis itu menendangnya dan dia jatuh terjungkal ke dalam jurang yang dalam sekali!

   Dia membuka matanya. Tidak, dia tidak mati, tidak jatuh ke jurang. Lalu dia teringat. Heran, dia tidak berada di lantai batu, tidak berada di ruangan gua lagi, walaupun masih ada pintu jeruji besi di depannya. Dia rebah di atas lantai ubin, di sebuah kamar yang cukup luas, kamar yang tidak berjendela, akan tetapi pintunya berjeruji amat kuat dan di luar pintu terdapat banyak penjaga dengan senjata tajam dan runcing di tangan. Dia berada dalam tahanan! Yo Han bangkit duduk dan mendengar gerakan orang di belakang-nya, disusul suara tawa orang itu, tawa kecil yang bukan mengejek, bukan pula mentertawakan, melain-kan tertawa karena merasa lucu. Dia cepat menengok dan melihat orang yang dikenalnya, yaitu pemuda bernama Cia Ceng Sun yang pernah bersama dia menjadi tamu kehormatan keluarga Siangkoan atau perkumpulan Pao-beng-pai!

   "Kiranya engkau juga di sini, saudara Cia Ceng Sun. Dan kenapa pula engkau tertawa. Melihat tempat ini, jelas bahwa kita berada dalam kamar tahanan. Kenapa engkau malah tertawa?"

   Yo Han bangkit berdiri dan menghampiri pemuda itu yang duduk di depan kayu panjang, lalu duduk di sampingnya. Cia Ceng Sun menahan tawanya dan menepuk pundak Yo Han.

   "Heh-heh-heh, Yo-toako, lucu akan tetapi menyenangkan melihat engkau dibawa masuk dalam keadaan pingsan ke kamar ini. Berarti aku mempunyai teman yang menyenangkan. Lucunya, kita berdua yang dipilih oleh Pao-beng-pai menjadi tamu kehormatan dan sekutu, dan kita berdua pula yang kini menjadi tawanan. Bukankah itu lucu sekali?"

   Yo Han kagum melihat betapa pemuda itu dalam tawanan masih mampu berkelakar dan tertawa demikian gembira. Wajah yang tampan itu sedikit pun juga tidak membayangkan perasaan takut, bahkan agaknya pengalaman ini amat menyenangkan hatinya.

   "Saudara Cia, kenapa engkau sampai ditawan? Bukankah Siangkoan Kok dan terutama sekali Siangkoan Siocia (Nona Siangkoan) amat suka padamu?"

   Cia Ceng Sun menarik napas panjang, akan tetapi wajah-nya masih cerah.

   "Ini merupakan rahasia besar yang sukar untuk kuceritakan kepadamu. Akan tetapi kenapa engkau sendiri yang memiliki ilmu kepandaian hebat sekali sampai dapat tertawan mereka? Ini baru aneh!"

   Yo Han memandang dengan serius.

   "Saudara Cia, kita ini senasib. Bahkan mungkin sekali kita berdua terancam bahaya maut. Kalau kita tidak bekerja sama, bagaimana mungkin akan mampu lolos. dari ancaman bahaya? Dan untuk dapat bekerja sama, haruslah lebih dulu dapat saling percaya, bukan?"

   Cia Ceng Sun mengangguk.

   "Engkau benar sekali, Yo-toako."

   "Nah, aku percaya padamu, apakah engkau tidak percaya padaku sehingga tidak dapat menceritakan keadaanmu kepadaku? Dengan mengetahui keadaan kita masing-masing, barulah kita dapat bekerja sama."

   "Kalau engkau percaya padaku, nah, ceritakanlah mengapa engkau ditawan, Yo-toako."

   Yo Han menghela napas. Pemuda ini selain cerdik, juga agaknya hendak merahasiakan dirinya. Dia harus memperlihatkan kejujuran dulu agar pemuda itu benar-benar dapat percaya padanya.

   "Baiklah. Namaku memang Yo Han dan seperti telah kau ketahui dalam pertemuan itu, aku adalah seorang tokoh Thian-li-pang, bahkan dianggap sebagai pimpinan. Hanya sikapku memusuhi tiga keluarga besar para pendekar Pulau Es, Gurun Pasir dan Lembah Siluman adalah palsu. Aku sengaja memperlihatkan sikap bermusuhan karena aku sedang menyelidiki hilangnya seorang anak dari ketiga keluarga besar itu yang terjadi dua puluh tahun yang lalu."

   Ceng Sun tertarik sekali.

   "Wah, sungguh menarik dan aneh. Bagaimana mung-kin mencari anak hilang yang sudah lewat dua puluh tahun? Anak siapa yang hilang itu dan bagaimana caranya engkau hendak mencarinya, Yo-toako?"

   Yo Han lalu bercerita tentang hilangnya puteri dari Pendekar Suling Naga Sim Houw dan isterinya, yaitu bibi gurunya yang bernama Can Bi Lan, hilang diculik orang dua puluh tahun yang lalu.

   "Itulah sebabnya aku sengaja menyatakan permusuhanku terhadap suami isteri itu, karena aku mendu-ga bahwa penculiknya tentulah musuh mereka dan musuh mereka itu siapa lagi kalau bukan tokoh kang-ouw, tokoh sesat yang lihai? Aku sengaja memancing untuk mencari pencullk itu dan ketika kuceritakan hal ini kepada Siangkoan Kok, dengan mengatakan bahwa yang menculik puteri suami isteri pendekar itu adalah Tiat-liong Sam-heng-te, dan memberi tahu di mana tiga orang tokoh sesat itu tinggal. Aku segera ke sana dan bertemu seorang gadis yang tentu saja kukira anak yang hilang itu. Aku ajak dia bicara dan kepadanya aku mengaku terus terang bahwa aku mencari anak yang hilang dua puluh tahun yang lalu. Aku bahkan memaksa membuka bajunya dan sepatunya untuk menemukan tanda kelahiran di pundak dan kaki. Akan tetapi ternyata gadis itu bukan anak yang kucari, dan ternyata ia adalah umpan yang sengaja dipasang oleh Pao-beng-pai untuk menjebak dan menangkap aku."

   Ceng Sun tertawa geli.

   "Heh-hehheh, orang-orang Pao-beng-pai memang cerdik dan licik bukan rmain. Bagaimana mereka dapat menangkapmu dan membuatmu pingsan, Toako?"

   Yo Han lalu menceritakan betapa dia dijebak dan ruangan dalam gua tertutup jeruji besi, kemudian ada asap bius yang menyerangnya sehingga dia akhirnya roboh pingsan.

   "Agaknya Siangkoan Kok memang sudah mencurigaiku atau mendengar tentang sepak terjangku sebagai Pendekar Tangan Sakti, maka dia memasang jebakan itu. Aku terlalu yakin bahwa gadis itu benar puteri Paman Sim Houw, maka aku ceroboh dan bodoh, menceritakan maksudku sehingga aku diketahui dan di jebak. Sekarang aku telah menceritakan semua dengan terus terang kepadamu, Saudara Cia, engkau mengetahui siapa aku dan mengapa aku berada di sini, mengapa pula aku ditangkap. Tiba giliranmu untuk menceritakan siapa adanya engkau dan mengapa pula engkau berada di sini dan akhirnya ditawan juga."

   "Yo-toako, ini merupakan rahasia besar yang gawat dan hanya dapat kuceritakan kepada orang yang benar-benar kupercaya."

   Yo Han mengerutkan alisnya.

   "Saudara Cia! Apakah engkau tidak percaya kepadaku, padahal aku sudah menceritakan segala rahasiaku kepadarnu yang berarti aku percaya padamu?"

   "Bukan begitu, Yo-twako. Akan tetapi karena rahasiaku amat besar dan gawat, aku tidak boleh bercerita kepada orang lain kecuali seorang saudaraku. Nah, kalau engkau mau mengangkat saudara dengan aku, barulah aku mau bercerita."

   Yo Han mengerutkan alisnya. Dia kagum dan suka kepada pemuda ini, akan tetapi sama sekali tidak pernah mimpi akan mengangkat saudara! Akan tetapi, mereka berdua kini menjadi tawanan dan nyawa mereka terancam, kalau tidak ada saling percaya dan saling pengertian, maka akan sukar bekerja sama. Padahal, dengan kerja sama pun belum tentu me-reka akan dapat lolos menghadapi Pao-beng-pai yang memiliki banyak anggauta dan amat kuat itu, apalagi memiliki pimpinan yang berilmu tinggi.

   "Baiklah,"

   Akhirnya dia berkata.

   "Bagus, mari kita bersumpah di sini saja, Toako."

   Kata Ceng Sun dan mereka pun berlutut di atas pembaringan. Yo Han segera mengucapkan sumpahnya.

   "Saya, Yo Han, bersumpah bahwa mulai saat ini, saya menganggap saudara Cia Ceng Sun "

   "Namaku yang sebenarnya Cia Sun, Yo-twaka."

   Pemuda itu memotong. Yo Han membuka matanya dan menoleh. Temannya itu juga berlutut di sebelahnya dan nama Cia Sun ini tidak berarti apa-apa baginya. Dia tidak mengenal nama Cia Sun seperti juga dia tidak mengenal nama Cia Ceng Sun. Akan tetapi dia merasa seolah-olah ada sesuatu yang aneh pada kedua nama itu, entah apanya. Dia tidak peduli dan mengulang.

   "Saya, Yo Han, bersumpah bahwa mulai saat ini saya menganggap saudara Cia Sun sebagai adik angkat saya, akan saling memberi dan saling mengasihi seperti kakak dan adik kandung."

   Cia Sun mengangguk-angguk, lalu dia pun mengucapkan sumpahnya seperti yang diucapkan Yo Han. Setelah itu, mereka lalu turun dari pembaringan dan saling memberi hormat. Cia Sun berkata lebih dahulu sambil memberi hormat.

   "Yo-toako, terimalah hormat adikmu Cia Sun."

   "Cia-siauwte, aku merasa berterima kasih sekali. Nah, sekarang, kau ceritakanlah apa yang sebenarnya terjadi dengan dirimu agar kakakmu ini mengetahui segalanya dan kita dapat saling bantu."

   "Mari kita duduk kembali di pembaringan itu."

   Mereka lalu duduk di tepi pembaringan dan Cia Sun mulai dengan pengakuannya.

   "Namaku memang benar Cia Sun dan kalau engkau tidak mengenal nama ini adalah karena aku hanyalah putera Pangeran Cia Yan yang tidak begitu terkenal di luar istana."

   "Ah, pantas !!!"

   Yo Han berkata sambil menepuk pahanya.

   "Apanya yang pantas?"

   "Ketika mendengar she Cia, aku sudah merasa aneh, seperti ada sesuatu yang kukenal atau yang menarik. Kiranya Paduka adalah cucu Sribaginda Kaisar!"

   
Si Tangan Sakti Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Hushhh ! Begitukah sikap seorang kakak terhadap adiknya Yo-toako, aku akan merasa terhina kalau kakakku sendiri menyebutku paduka. Bagimu aku adalah adik Cia Sun, tanpa embel-embel pangeran dan sebagainya!"

   Melihat sikap pangeran itu yang kelihatan tak senang, Yo Han cepat memegang lengannya.

   "Maafkan aku, siuwte. Aku hanya bergurau. Nah, coba lanjutkan ceritamu, mengapa engkau sampai tersesat ke tempat ini dan mengapa pula engkau ditawan oleh Pao-beng-pai."

   "Aku memang sedang merantau, Toako. Aku bosan di istana dan karena sejak kecil aku suka belajar silat, aku ingin sekali mengenal dunia persilatan, mengenal dunia kang-ouw. Aku lalu mohon kepada orang tuaku untuk merantau meluaskan pengalaman. Demikianlah, aku tiba di sini ketika mendengar akan pertemuan yang diadakan oleh Pao-bengpai."

   "Hemmm, apakah engkau merantau sekalian hendak menyelidiki tentang gerakan anti pemerintah?"

   "Tidak sama sekali. Hanya kebetulan saja aku mendengar. Akan tetapi, begitu bertemu dengan nona Siangkoan, seketika aku jatuh cinta!"

   Yo Han tersenyum, akan tetapi sikapnya bersungguh-sungguh.

   "Aku tidak merasa heran, Cia-te (adik Cia), karena ia memang seorang gadis luar biasa. Ilmu silatnya tinggi, wajahnya cantik jelita dan anggun, tidak kalah oleh puteri yang manapun."

   "Akan tetapi, engkau tentu mengetahui sendiri betapa cintaku kepadanya itu bahkan menyiksa perasaanku, mengingat bahwa ayahnya adalah ketua Pao-beng-pai yang tentu saja memusuhi keluargaku."

   "Hemmm, memang liku-liku cinta kadang membingungkan. Akan tetapi bagaimana dengan perasaan nona itu sendiri kepadamu, Cia-te?"

   "Ia pun tidak menolak cintaku, bahkan setuju ketika aku mengajukan pinangan secara langsung kepada ayahnya."

   Yo Han memandang kaget dan kagum.

   "Engkau berani langsung meminangnya, Cia-te? Itu membutuhkan keberanian hebat! Meminang puteri orang yang baru saja dikenalnya! Dan bagaimana tanggapan orang tuanya?"

   "Eng-moi dan ibunya setuju, dan ayahnya mengajukan syarat, minta tanda ikatan dan juga kelak dalam pesta pernikahan harus dihadiri Kaisar."

   "Gila!!"

   "Engkau tahu siapa aku sebenarnya, Twako. Kalau aku menikah, sudah pasti kakekku, Sri baginda Kaisar, akan menghadirinya. Karena itu, aku menerima syarat itu dan sebagai tanda pengikat, aku memberikan seuntai kalung mutiara yang amat mahal harganya."

   "Jadi engkau mengaku sebagai pangeran?"

   "Aku tidak sebodoh itu. Tentu saja aku tidak mengaku sebagai pangeran. Dan Eng-moi sudah berjanji padaku bahwa kelak setelah menikah dengan aku, ia tidak akan mencampuri urusan pemberontakan dan permusuhan."

   "Aihhh, siauwte! Kalau engkau tidak mengaku sebagai pangeran akan tetapi menyanggupi untuk mendatangkan Sribaginda Kaisar dalam pesta pernikahanmu, hal itu tentu akan membuat mereka curiga sekali!"

   Cia Sun menghela napas panjang.

   "Itulah kesalahanku. Aku tidak menduga sedemikian jauhnya. Aku lalu berpamit kepada mereka, berjanji untuk mengirim utusan meminang secara reami. Dalam perjalanan, muncul tanpa kusangka-sangka dua orang perwira pengawal yang diutus ayah untuk memanggil aku pulang karena aku ditunggu oleh tunanganku dan keluarganya"

   "Aah, engkau sudah bertunangan dan engkau masih meminang nona Siangkoan Eng?"

   Yo Han bertanya dengan suara mengandung teguran. Dia mulai memandang pemuda tampan dan halus itu sebagai adiknya sendiri maka dia secara otomatis menegurnya.

   "Ah, engkau tidak tahu, Twako. Aku ditunangkan oleh orang tuaku dengan gadis itu, akan tetapi bagaimana aku dapat mencinta seorang gadis yang baru sekali aku melihatnya, itu pun ketika ia masih kecil? Aku tidak berani menentang kehendak orang tuaku, akan tetapi biarpun aku sudah ditunangkan, namun aku masih merasa bahwa hatiku bebas. Anehkah kalau aku jatuh cinta kepada Eng-moi? Sudah jelas Eng-moi mencintaku dan aku mencintanya, sedang-kan Si Bangau Merah itu, belum tentu ia suka kepadaku atau aku suka kepadanya."

   Sepasang mata Yo Han terbelalak.

   "Si Bangau Merah....?"

   Pangeran itu tersenyum.

   "Ya, tunanganku itu adalah seorang gadis pendekar yang berjuluk Si Bangau Merah, namanya Tan Sian Li. Ayahnya adalah Pendekar Bangau Putih Tan Sin Hong dan ibunya adalah puteri bekas panglima Kao Cin Liong. Ia masih keturunan keluarga Pulau Es dan Gurun Pasir. Kenalkah engkau kepadanya, Twako?"

   Yo Han dapat menenangkan kembali hatinya yang terguncang keras mendengar bahwa tunangan pangeran ini adalah Tan Sian Li, kekasihnya! Dia mendengar keterangan orang tua Sian Li bahwa kekasihnya itu telah ditunangkan dengan seorang pangeran, akan tetapi siapa dapat menduga bahwa pangeran itu adalah pemuda ini, Cia Sun yang kini menjadi adik angkatnya?

   "Aku mengenal nama besarnya. Cia-te, pernahkah engkau melihatnya sekarang?"

   Tanyanya, dan diam-diam dia membandingkan antara Sian Li dan Siangkoan Eng. Memang keduanya cantik jelita, keduanya memiliki ilmu silat tinggi. Akan tetapi bagi dia, tentu saja Sian Li lebih hebat, lebih segala-galanya. Biarpun demikian, dia yakin bahwa kalau pangeran ini sebelumnya telah melihat Sian Li, belum tentu dia akan mudah terpikat oleh gadis lain yang secantik Siangkoan Eng sekalipun.

   "Sudah kukatakan tadi, aku baru bertemu satu kali dengannya, itu pun ketika kami masih remaja. Bahkan aku sudah hampir lupa bagaimana wajahnya, dan tidak tahu pula bagaimana wataknya."

   "Cia-te, lanjutkanlah ceritamu. Setelah engkau bertemu dengan kedua orang perwira pengawal itu, lalu bagaimana?"

   "Selagi mereka bercakap-cakap dengan aku, tiba-tiba saja muncul Eng-moi bersama empat orang pelayannya. Aku terkejut dan mencoba untuk memberi penjelasan. Akan tetapi ia sudah marah sekali, menganggap aku sebagai pangeran menjadi mata-mata dan tentu akan memusuhi Pao-beng-pai. Ia merobohkan aku dan menawanku, sedangkan dua orang perwira itu diserang oleh empat orang pengawalnya. Mereka tentu tewas. Nah, segala penjelasanku tidak diterima oleh ketua Pao-beng-pai maupun Siangkoan Eng sendiri, aku lalu dimasukkan ke dalam kamar tahanan ini. Eh, belum lama aku berada di sini, engkau digotong masuk dalam keadaan pingsan."

   Setelah saling mendengar pengalaman mereka yang diceritakan dengan sejujurnya, segera kedua orang pemuda yang mengangkat saudara dalam keadaan aneh itu, menjadi akrab sekali. Mereka bercakap-cakap saling menceritakan riwayat mereka, akan tetapi ada satu hal yang masih tetap dirahasiakan oleh Yo Han, yaitu tentang hubungan-nya dengan Tan Sian Li, Si Bangau Merah yang menjadi tunangan pangeran itu. Dia merahasiakan hal ini karena dia tidak ingin menimbulkan suasana yang tidak enak di antara mereka. Kenyataan bahwa pangeran ini tidak saling mencinta dengan Sian Li,

   Bahkan pangeran itu kini jatuh cinta kepada Siangkoan Eng, menimbulkan perasaan senang dan harapan baru dalam hatinya. Dan timbul pula tekad dalam hatinya untuk membantu pangeran itu agar dapat melangsungkan perjodohannya dengan Siangkoan Eng. Tentu saja, tanpa dia sadari, tanpa dia sengaja, dibalik sikapnya ini terdapat dasar kuat dari hasrat hatinya agar pangeran itu dapat terlepas dari ikatannya dengan Sian Li! Tengah malam telah lewat, akan tetapi Siangkoan Eng masih belum juga tidur. Ia sejak sore tadi mondar-mandir di dalam kamarnya dengan wajah muram. Ia menderita tekanan batin dan kebingungan sejak ia menangkap Cia Ceng Sun dan memasukkannya ke dalam kamar tahanan, kemudian melapor kepada ayahnya bahwa Cia Ceng Sun itu sebenarnya adalah seorang pangeran Mancu. Ayahnya marah bukan main.

   "Jahanam, aku sudah curiga! Pantas dia enak saja menerima syaratku bahwa dalam pesta pernikahan harus hadir kaisar! Kiranya kaisar adalah kakeknya sendiri! Dia tentu datang untuk memata-matai kita! Celaka! Kalau begitu, bagus sekali engkau sudah menawannya, anakku. Kita dapat memper-gunakannya sebagai sandera penting untuk melindungi diri kalau-kalau ada penyerangan dari pemerintah. Dan kalau dia sudah tidak ada gunanya lagi, kusiksa dia sampai mampus!"

   Setelah Siangkoan Eng berada di dalam kamarnya sendiri, ucapan ayahnya yang terakhir itu selalu terngiang di telinganya. Cia Ceng Sun yang ternyata adalah Pangeran Cia Sun itu akan disiksa ayahnya sampai mati! Dan ia tidak dapat menipu diri. Ia tetap mencinta pemuda itu, pangeran atau bukan!

   Apalagi kalau ia teringat akan percakapannya dengan Cia Sun, mengingat betapa pemuda itu berjanji akan membawanya ke dalam kehidupan yang tenteram penuh kedamaian, tidak mau terlibat dalam pemberontakan dan permusuhan. Ia bahkan hampir yakin bahwa pemuda itu bukan datang untuk memata-matai Pao-beng-pei. Akan tetapi, karena terkejut dan marah mendengar pemuda itu seorang pangeran yang menyamar sebagai pemuda biasa, ia telah menangkapnya. Kini pemuda itu telah menjadi tawanan ayahnya, tawanan penting dan ia tidak mungkin dapat minta kepada ayahnya untuk mengampuni atau membebaskan Cia Sun. Kini Siangkoan Eng menjatuhkan diri duduk di tepi pembaringan, wajahnya muram dan sedih hampir menangis. Lalu ia bertepuk tangan dua kali dan seorang pelayan menjawab dengan ketukan pada pintu dalam. Ia memerintahkan pelayan memasuki kamar. Pelayan itu kelihatan heran melihat nonanya belum tidur.

   "Panggil Sui Lan ke sini!"

   Katanya singkat. Pelayan itu mengangguk dan cepat keluar. Tak lama kemudian, terdengar ketukan daun pintu sebelah luar dan suara pelayan tadi melapor bahwa Nona Sui Lan telah datang.

   "Sui Lan, masuklah!"

   Kata Siangkoan Eng. Daun pintu depan terbuka dan masuklah seorang gadis cantik berusia dua puluh satu tahun. Gadis itu kelihatan baru bangun tidur, agaknya tadi sedang tidur ketika pelayan memanggilnya. Gadis bernama Tio Sui Lan ini adalah murid yang pandai dari Siangkoan Kok dan merupakan teman bermain Siangkoan Eng, juga menjadi orang kepercayaannya, bahkan juga sumoinya (adik seperguruan).

   "Suci, tengah malam begini memanggilku, ada kepentingan apakah gerangan yang dapat kulakukan untukmu?"

   Dan karena mereka memang bergaul akrab, ia pun menghampiri lalu duduk di tepi pembaringan, sebelah sucinya itu.

   "Duduklah, dan maaf kalau aku mengganggu tidurmu, Sui Lan."
(Lanjut ke Jilid 07)

   Si Tangan Sakti (Seri ke 16 - Serial Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 07
"Aih, Suci, kenapa sungkan kepadaku? Dan engkau kelihatan belum tidur, dan wajahmu kusut dan muram seperti orang bersedih. Ada apakah, Suci?"

   Siangkoan Eng memegang lengan gadis manis itu.

   "Sumoi, engkaulah orang yang paling kupercaya. Hatiku sedang risau. Engkau tahu sendiri bahwa pemuda yang tadinya kita kenal sebagai Cia Ceng Sun itu telah ditunangkan denganku. Kami saling mencinta. Akan tetapi kemudian ternyata bahwa dia seorang pangeran dan aku sendiri yang telah menawannya sehingga kini dia dikurung dalam tahanan."

   "Akan tetapi, itu sudah benar, Suci. Bukankah dia dapat menjadi orang berbahaya sekali dan telah merugikan kita? Dia memata-matai kita dan dia bahkan telah menipu Suci. Aku yakin bahwa cintanya pun hanya pura-pura."

   "Diam! Jangan lagi berkata demikian atau aku akan lupa bahwa engkau sumoiku dan akan kuhajar kau!"

   Tiba-tiba Siangkoan Eng membentak dan gadis itu memandang dengan wajah pucat.

   "Maafkan aku, Suci...."

   Siangkoan Eng menghela napas panjang dan kembai ia memegang lengan gadis itu.

   "Engkaulah yang harus memaafkan aku. Aku begini bingung sehingga mudah tersinggung. Ketahuilah, sampai detik ini aku tidak dapat menghilangkan cintaku kepadanya, apalagi membencinya. Dan aku yakin bahwa dia bukan mata-mata, dan dia benar-benar mencintaiku. Aku menyesal sekali telah terburu nafsu sehingga menangkapnya."

   Diam-diam Siu Lan terkejut akan tetapi ia tidak berani menyatakan pendapatnya, takut salah. Ia terharu karena sucinya atau juga nonanya yang biasanya keras hati itu kini menjadi lemah oleh cinta!

   "Akan tetapi, Suci telah terlanjur menangkapnya, lalu apa yang dapat kulakukan untukmu?"

   "Engkau merupakan satu-satunya murid ayah yang dipercaya ayah, dan juga semua anggauta Pao-beng-pai tunduk kepadamu. Apalagi baru saja engkau berjasa dalam menjebak dan menangkap Pendekar Tangan Sakti Yo Han, pimpinan Thian-li-pang itu. Nah, karena Cia Sun ditahan dalam satu kamar tahanan dengan Yo Han, maka aku minta engkau suka berkunjung ke sana dan melihat keadaan Cia Sun."

   Sui Lan membelalakkan matanya.

   "Malam-malam begini? Ini sudah tengah malam, Suci. Lalu apa alasanku tengah malam begini berkunjung ke tempat tahanan?"

   "Katakan saja kepada penjaga bahwa engkau mendapat tugas dari ayah untuk mengamati penjagaan agar kedua orang tahanan itu tidak sampai lolos. Perhatikan apakah Cia Sun diperlakukan dengan baik oleh para penjaga seperti kuperintahkan kepada mereka, apakah dia mendapatkan makanan sepantasnya, bagaimana keadaannya. Kemudian, engkau harus dapat menyerahkan ini kepada Cia Sun tanpa diketahui penjaga."

   Siangkoan Eng menyerahkan sebuah surat yang dilipat-lipat menjadi kecil kepada sumoinya.

   "Suci, engkau melibatkan aku dalam pekerjaan yang amat berbahaya, karena kalau suhu tahu tentu aku akan dibunuhnya. Setidaknya, aku berhak mengetahui, apa yang akan kau lakukan agar aku dapat menyesuaikan sikapku. Aku pasti akan membantumu, Suci. Akan tetapi, apakah maksudmu memberiku tugas ini? Apa artinya semua ini dan apa rencanamu?"

   Siangkoan Eng merangkul sumoinya.

   "Sumoi, kalau engkau berkhianat kepadaku dan melaporkan kepada ayah, aku akan celaka. Engkau saja yang dapat kupercaya. Aku memberi surat kepada Cia Sun, minta agar dia bersiap-siap menyambut rencanaku malam ini."

   "Dan apa rencanamu itu, Suci?"

   Siangkoan Eng mengusir semua ke-raguannya. Memang berbahaya sekali. Kalau ia memberitahu kepada sumoinya dan gadis itu melaporkan kepada ayahnya, bukan saja rencananya gagal, akan tetapi bahkan amat membahayakan keselamatan Cia Sun dan ia sendiri. Akan tetapi, ia tidak melihat jalan lain.

   "Sumoi, setelah larut malam nanti, aku akan membebaskan Cia Sun."

   Gadis itu terbelalak, kaget dan heran.

   "Suci! Engkau yang menangkapnya dan melaporkannya kepada suhu, dan engkau pula yang kini akan membebaskannya. Bagaimana pula ini?"

   "Sudahlah, Sumoi. Ini demi cinta, dan untuk itu aku siap mempertaruhkan nyawaku. Maukah engkau membantuku? Atau engkau akan melapor kepada ayah?"

   Sui Lan merangkul sucinya.

   "Suci, engkau tahu bahwa aku menganggapmu seperti kakak sendiri. Aku hidup sebatang kara dan di dunia, ini, hanya engkaulah satu-satunya sahabatku, juga saudaraku. Percayalah, aku akan melaksanakan tugasmu dengan baik. Akan tetapi, dia satu kamar dengan orang she Yo itu. Bagaimana?"

   "Justeru aku ingin memanfaatkan dia. Kita tahu, ilmu silat Si Tangan Sakti itu hebat. Kalau mereka berdua melarikah diri bersama, aku yakin ayah sendiri tidak akan mampu menangkap mereka dan Cia Sun tentu akan dapat bebas."

   Siangkoan Eng lalu turun dari pembaringan.

   "Nah, lakukanlah tugasmu, Sumoi. Hati-hati, jangan ada yang melihat ketika engkau menyerahkan surat itu karena kalau ketahuan penjaga, semua rencanaku dapat gagal sama sekali!"

   "Percayalah padaku, Suci."

   Sui Lan meninggalkan kamar sucinya dan setelah Sui Lan pergi, Siangkoan Eng duduk termenung. Sementara itu, Sui Lan dengan langkah biasa pergi ke sebuah bangunan khusus yang berada di perkampungan Pao-beng-pai itu, bangunan yang dipergunakan sebagai tempat tawanan. Para penjaga tentu saja tidak melarang ia masuk, bahkan memberi hormat, apalagi ketika Sui Lan mengatakan bahwa ia mendapat tugas khusus dari ketua untuk memeriksa keadaan tawanan. Juga para penjaga sebelah dalam yang berlapis-lapis, semua mengenal baik siapa gadis ini.

   Murid tersayang dari Siangkoan Kok, juga orang kepercayaan pimpinan Pao-beng-pai. Bahkan semua orang tahu bahwa Pendekar Tangan Sakti Yo Han tokoh Thian-li-pang dapat ditawan berkat pancingan nona ini. Diam-diam Sui Lan menyangsikan kemungkinan berhasilnya rencana sucinya. Bagaimana mungkin tawanan dapat lolos dari tempat ini? Selain penjagaan berlapis-lapis dan ketat, juga jalan keluar melalui rintangan-rintangan berupa jebakan-jebakan rahasia yang sukar ditembus. Akhirnya tibalah ia di depan kamar tahanan yang berjeruji tebal itu. Dan ia melihat dua orang tawanan itu duduk bersila, saling berhadapan dan mengobrol! Kelihatan mereka demikian tenangnya! Pangeran itu bahkan nampak gembira dan mereka berdua menoleh dan memandang ketika ia berdiri di depan jeruji kamar itu. Melihat Sui Lan, Yo Han tersenyum masam.

   "Nah, itulah ia gadis lihai yang telah dipergunakan sebagai umpan sehingga aku terjebak,"

   Kata Yo Han tanpa terdengar suara atau pandang mata membenci gadis itu. Sesuai dengan perintah sucinya, Sui Lan memperhatikan keadaan kedua orang tawanan itu, terutama Cia Sun. Ia melihat betapa mereka dalam keadaan sehat, bahkan wajah mereka tidak memperlihat-kan rasa takut atau murung. Jelas bahwa mereka diperlakukan dengan baik oleh para penjaga seperti diperintahkan sucinya. Sui Lan memberi isyarat kepada para penjaga untuk menjauh. Mereka mentaati, akan tetapi tentu saja memandang dari jauh dan mendengarkan. Sui Lan mengambil sikap seperti orang mengejek.

   "Hemmm, kalian sudah tertangkap seperti dua ekor tikus, masih berlagak. Akuilah saja bahwa kalian telah memata-matai Pao-beng-pai. Benar tidak? Kalian menyamar dan berpura-pura, sungguh licik dan pengecut!"

   Sui Lan sengaja mengejek dan memaki dengan suara nyaring sehingga terdengar oleh para petugas yang melakukan penjagaan di bagian terdalam tempat itu. Yo Han tersenyum. Dia seorang yang cerdik dan dia melihat sikap yang tidak wajar dari gadis itu, bahkan dapat merasakan betapa suara gadis itu sengaja ditinggikan agar terdengar semua orang. Apa yang tersembunyi di balik sikap yang disengaja itu? Pasti ada! Karena itu, dia segera menanggapi, disesuaikan dengan sikap gadis itu yang sengaja menghina mereka. Kesengajaan ini dapat dia lihat dari suara dan sikapnya yang tidak sewajar-nya.

   "Aha, kiranya engkau gadis palsu, gadis licik dan curang! Bukan kami yang curang, melainkan Pao-beng-pai. Kalau tidak licik, pengecut dan curang, coba bebaskan kami dan mari kita bertanding sampai seribu jurus!"

   Sui Lan semakin marah.

   "Jahanam! Engkau telah merobek bajuku, engkau melepas sepatuku, engkau laki-laki mesum dan kurang ajar! Kalau tidak dihalangi suhu, tentu engkau sudah kubunuh!"

   "Ha-ha-ha, engkau mampu membunuhku? Kita lihat saja!"

   Kata Yo Han, dan Cia Sun memandang kakak angkatnya itu dengan mata terbelalak. Dia mengenal Yo Han tidak seperti itu! Begitu kasar kata-katanya terhadap seorang gadis!

   "Keparat busuk, rasakan dan makan jarumku ini!"

   Tangan kiri gadis itu bergerak dan sinar lembut meluncur ke dalam kamar tahanan melalui celah-celah jeruji yang cukup lebar. Dipandang oleh para penjaga dari jauh, jelas bahwa gadis itu menyerang Yo Han dengan jarum rahasia yang ampuh! Akan tetapi, Yo Han menangkap sinar putih yang menyambarnya, dan menyimpannya ke dalam saku bajunya dengan kecepatan yang tidak dapat terlihat oleh para penjaga. Memang jarum yang disambikan Sui Lan, akan tetapi jarum yang membawa lipatan kertas kecil! Melihat sambitannya tidak mengenai sasaran, Sui Lan memaki-maki lalu pergi meninggalkan tempat itu, memesan kepada para penjaga agar menjaga dengan ketat.

   "Kecuali Suhu sendiri, suci Siangkoan Eng, dan aku sendiri, siapapun dilarang memasuki tempat ini! Mengerti?"

   Bentaknya kepada para penjaga sebelum ia pergi dari situ.

   "Dua jam kemudian, malam telah amat larut dan hawa yang dingin membuat semua orang mengantuk. Demikian pula para penjaga di bangunan tempat tahanan itu. Akan tetapi mereka tidak berani tidur dan melakukan penjagaan ketat secara bergantian. Ketika Siangkoan Eng muncul dan membentak para penjaga yang agak mengantuk, mereka terkejut dan cepat mengambil sikap tegak dan siap. Sikap Siangkoan Eng galak terhadap para penjaga, dan me-marahi setiap orang penjaga yang kelihatan mengantuk atau habis tidur.

   "Kalian tidak boleh lengah sedikit pun! Dua orang tawanan ini amat lihai dan amat penting. Aku harus memeriksa segala kemungkinan, jangan sampai mereka lolos!"

   Katanya dengan suara galak. Suaranya terdengar sampai kamar tahanan di mana dua orang pemuda itu duduk bersila. Mendengar suara ini, berubah wajah Cia Sun dan jantung kedua orang tawanan itu berdebar tegang. Tak lama kemudian, setelah memeriksa di sepanjang jalan, tibalah Siangkoan Eng di lorong terakhir yang menuju ke kamar tahanan. Dua belas orang penjaga lorong itu, menyambut dengan sikap yang tegak dan siap.

   "Tidak ada yang tertidur di antara kalian?"

   Bentak Siangkoan Eng.

   "Tidak, Nona."

   "Bagus! Siapa yang memegang kunci kamar tahanan? bentaknya pula.

   "Dia mempunyai tanggung jawab yang amat penting!"

   "Saya, Nona!"

   Kata seorang di antara para penjaga yang bertubuh tinggi besar, bermuka bopeng, yaitu kepala regu yang menjaga kamar tahanan dan lorong itu.

   "Sudah kau periksa benar bahwa pintu itu terkunci rapat?"

   "Sudah, Nona?"

   "Berikan kuncinya kepadaku. Hendak kuperiksa sendiri!"

   Kata Siangkoan Eng.

   "Awas kau kalau menguncinya tidak benar!"

   "Silakan, Nona!"

   Kata si bopeng sambil menyerahkan sebuah kunci yang besar. Karena sikap Siangkoan Eng yang galak dan keras itu, para penjaga nampak takut kepadanya, tidak berani mendekat sehinga ketika gadis itu menghampiri pintu jeruji besi kamar tahanan, para penjaga hanya melihat dari jarak sepuluh meter. Pada saat gadis itu menghampiri pintu jeruji, mereka melihat betapa dua orang tawanan itu tidur di lantai, di tengah kamar, agak mendekat pintu. Mereka tidur mendengkur, dan Siangkoan Eng mencoba kunci pintu, apakah terkunci dengan benar atau tidak. Pada saat itu, dua orang tawanan itu bergerak bagaikan kilat cepatnya dan Yo Han sudah menotok gadis itu melalui celah jeruji, lalu mencengkeram pundak dengan tangan kiri sedangkan tangan kanannya mengancam lehernya. Cia Sun juga cepat mencabut pedang yang terselip di pinggang Siangkoan Eng, lalu menghardik kepada para penjaga yang berloncatan mendekat.

   "Semua berhenti dan jangan ada yang bergerak. Kalau ada yang bergerak, kami akan membunuh Siangkoan Eng!"

   Bentakan itu berpengaruh karena para penjaga yang dua belas orang banyaknya itu tidak berani berkutik, seperti berubah menjadi arca di tempat masing-masing. Tentu saja mereka tidak menghendaki nona mereka dibunuh dan nampaknya, nona mereka memang sama sekali tidak dapat menyelamatkan diri, sudah ditotok, dicengkeram lagi dan mereka semua tahu atau sudah mendengar betapa lihainya dua orang tawanan itu, terutama sekali Yo Han yang mencengkeram nona mereka. Cia Sun merampas kunci dan melalui celah jeruji, dia membuka kunci pintu, lalu mereka berdua keluar. Yo Han menelikung kedua lengan gadis itu ke belakang punggung, lalu membebaskan totokannya.

   "Hayo antar kami keluar. Bergerak sedikit saja melawan, lehermu akan kupatahkan!"

   Katanya geram. Siangkoan Eng kelihatan terkejut dan marah, akan tetapi ia pun tahu bahwa ia tidak berdaya. Ketika melihat para penjaga memandangnya dengan bingung, ia pun berkata gemas,

   "Biar mereka lewat. Lain kali masih ada kesempatan bagi kita untuk menangkap mereka kembali dan kalian akan mendapat bagian menyiksa mereka!"

   Para penjaga terpaksa membiarkan gadis itu digiring keluar oleh kedua tawanan. Demikian pula para penjaga di tengah dan di luar, tidak ada yang berani berkutik melihat nona mereka diancam seperti itu. Dan Siangkoan Eng juga menyuruh mereka mundur dan membiarkan dua orang tawanan itu lewat sambil mengeluarkan ancaman bahwa kelak mereka semua pasti akan dapat membalas dan menangkap kembali dua orang itu. Karena menggiring Siangkoan Eng, tentu saja para penjaga tidak berani menggunakan alat rahasia untuk menjebak. Nona mereka terancam dan sekali menggerakkan tangan, kedua orang tawanan itu dapat membunuhnya dengan mudah.

   Tentu saja mereka tidak berani berkutik, bahkan membunyikan tanda bahaya pun tidak berani, apagi nona mereka memerintahkan mereka tidak melawan dan membiarkan dua orang ta-wanan itu lewat. Dengan amat mudahnya karena tidak ada penjaga yang berani menghalangi, Yo Han dan Cia Sun dapat keluar dari perkampungan Pao-beng-pai itu menggiring Siangkoan Eng. Setelah mereka keluar dari pintu gerbang, barulah para penjaga berani berlari-lari untuk memberi laporan kepada Siangkoan Kok. Akan tetapi, ketika Siangkoan Kok terbangun dan terkejut, juga marah sekali mendengar betapa kedua orang tawanan itu lolos bahkan menggiring Siangkoan Eng yang dibuat tidak berdaya, kedua orang tawanan itu telah lari jauh. Setelah tiba di luar pintu gerbang, agak jauh di tempat sepi, Yo Han melepaskan kedua tangannya.

   "Eng-moi...."

   Cia Sun memegang kedua lengan gadis itu. Siangkoan Eng memandangnya dengan muka sedih, lalu berkata dengan suara lirih.

   "Engkau pergilah...."

   "Eng-moi, kenapa engkau tidak ikut kami saja pergi meninggalkan neraka itu?"

   Bujuk Cia Sun.

   "Neraka itu tempat tinggal ayah ibuku, Koko. Bagaimana aku dapat meninggalkan ibuku begitu saja? Tidak, kalian pergilah cepat sebelum ayah dan para anggauta Pao-beng-pai datang."

   "Eng-moi, aku bersumpah, akan kem-bali dan membawamu sebagai isteriku. Aku cinta padamu, Eng-moi."

   
Si Tangan Sakti Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Aku pun cinta padamu, tidak peduli engkau ini pangeran atau pengemis.... kata Siangkoan Eng terisak, akan tetapi isaknya terhenti ketika Cia Sun, tanpa sungkan dan malu di depan Yo Han, merangkul dan menciumnya. Pada saat itu terdengar suara ribut-ribut yang datangnya dari perkampungan itu sehingga mereka berdua saling melepaskan rangkulan.

   "Pergilah sebelum terlambat."

   Kata Siangkoan Eng.

   "Benar, Cia-te, kita harus cepat pergi. Nona, maafkan kami, terpaksa aku harus menotokmu."

   "Silakan,"

   Kata Siangkoan Eng. Yo Han cepat menotok gadis itu sehinga lemas tak mampu bergerak, bahkan dia pun menotok mulutnya sehingga gadis itu tidak dapat bersuara pula. Cia Sun menyambut tubuh yang lemas itu agar tidak terjatuh, lalu merebahkannya telentang di atas rumput. Setelah menciumnya sekali lagi, Cia Sun terpaksa melompat dan mengejar Yo Han yang sudah lari terlebih dahulu karena kini terdengar langkah kaki orang-orang berlari datang dan nampak pula mereka membawa obor. Siangkoan Kok dan isterinya yang memimpin orang-orang mereka melakukan pengejaran,

   Menemukan puteri mereka dalam keadaan telentang di atas rumput, tak dapat bersuara maupun bergerak. Dengan marah Siangkoan Kok memerintahkan anak buahnya mencari dan melakukan pengejaran sampai ke bawah bukit, sementara dia dan isterinya membebaskan totokan pada diri Siangkoan Eng. Dengan muka merah dan mata berkilat menahan kemarahannya, Siangkoan Kok yang tidak mau ribut-ribut memarahi puterinya di tempat terbuka, lalu mengajak isteri dan puterinya kembali ke rumah mereka, dan memerintahkan semua anak buahnya untuk terus mencari. Kini mereka bertiga berada di dalam rumah, di ruangan dalam di mana tidak ada pelayan yang boleh masuk. Semua pelayan diperin-tahkan untuk keluar dari ruangan itu, dan mereka menanti di luar dengan wajah pucat karena mereka maklum bahwa ketua mereka marah bukan main.

   "Nah, sekarang katakan terus terang, apa yang telah kau lakukan!"

   Siangkoan Kok membentak puterinya yang telah duduk di samping ibunya. Siangkoan Eng mengangkat muka menatap wajah ayahnya, sedikit pun tidak merasa takut walaupun ia tahu bahwa ayahnya marah sekali karena kedua orang tawanan itu dapat meloloskan diri.

   "Apa yang harus kukatakan, Ayah? Tadi, untuk merasa yakin bahwa kedua orang tawanan itu tidak dapat melarikan diri, aku memeriksa tempat tawanan itu. mendadak, ketika aku memeriksa kunci pintu kamar tahanan itu, Pendekar Tangan Sakti yang tadinya kukira tidur pulas, meloncat. dan telah menyergapku melalui celah jeruji besi. Gerakannya tak terduga dan cepat sekali sehingga aku dapat ditotoknya. Mereka membuka piritu dengan kunci setelah membuat aku tidak berdaya, dan mengancam para penjaga untuk membu-nuhku kalau mereka mencoba menghalangi larinya kedua orang tawanan itu. Nah, setelah berhasil keluar dari pintu gerbang, mereka lalu menotok dan meninggalkan aku, sampai Ayah menemukanku."

   "Kau bohong! Kau pembohong besar!!"

   Siangkoan Kok membentak dan matanya melotot lebar. Dalam kemarahannya, pria yang tinggi besar dan gagah ini kelihatan semakin besar dan garang menyeramkan. Akan tetapi, Siangkoan Eng tenang-tenang saja.

   "Ayah, kenapa Ayah mengatakan aku bohong? Untuk apa aku berbohong? Mengapa aku harus membohongi Ayah?"

   

Si Bangau Merah Eps 24 Kisah Si Bangau Putih Eps 11 Kisah Si Bangau Putih Eps 30

Cari Blog Ini