Ceritasilat Novel Online

Pedang Kayu Harum 21


Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo Bagian 21



Keng Hong menghela napas panjang. Harus dia kujungi perkumpulan itu agar dia dapat bicara dengan Ouw Beng Kok dan Lai Ban, ketua dan wakil ketua dari Tiat-ciang-pang. Dengan hati mantap Keng Hong melanjutkan perjalanannya, menuju ke puncak Bayangkara. Ketika dia tiba di wilayah pegunungan ini dan berada di sebuah lereng yang agak tinggi, dia melihat dari jauh beberapa bayangan orang mendaki puncak, ada yang naik kuda, ada yang berjalan kaki. Ia berhenti memperhatikan. Dari gerakan mereka yang berjalan kaki dia dapat melihat bahwa mereka itu adalah orang-orang yang berkepandaian dan agaknya mereka hendak bertamu ke Tiat-ciang-pang. Ada apakah di Tiat-ciang-pang? Selagi dia termangu-mangu, tiba-tiba telinganya mendengar suara orang bernyanyi, suaranya halus terbawa angin lalu.

   "Kun-cu Song Ki Wi Ji Heng, Put Goan Houw Ki Gwee (Seorang budiman bersikap sesuai dengan kedudukannya, tidak menginginkan sesuatu yang bukan menjadi bagiannya)"

   Berseri wajah mendengar syair itu. Ia segera mengenal syair itu sebagai ujar-ujar Nabi Khong-cu dalam pelajaran Kitab Tiong-yong, dan dia mengenal atau dapat menduga pula siapa orangnya yang bernyanyi itu. Keng Hong tersenyum dan melangkah ke depan menuju ke arah datangnya suara nyanyian yang terbawa angin lalu.

   Tepat seperti yang diduganya, dia melihat kakek bongkok berpunuk yang berpakaian selalu bersih berkaki telanjang, rambutnya panjang akan tetapi bagian atas kepalanya botak, duduk ongkang-ongkang di atas sebatang dahan pohon sambil bernyanyi dan diseling menengak arak dari guci araknya. Siauw-bin Kuncu, tokoh aneh yang dulu dia akali untuk memecahkan rahasia kalimat yang terukir di pedang Siang-bhok-kiam! Tanpa disengaja kakek aneh inilah orangnya yang telah berjasa sehingga dia dapat menemukan tempat rahasia penyimpanan pusaka gurunya. Kakek itu melanjutkan syair ujar-ujar di dalam kitab Tiong-yong, akan tetapi kini tidak dinyanyikan, melainkan diucapkan nyaring dengan gaya sedang memberi kuliah atau sedang berceramah di depan banyak murid, kedua lengannya dikembangkan, kepalanya bergerak-gerak mengikuti irama kata-kata yang seperti sajak dideklamasikan:

   "Dalam keadaan kaya dan mulia dia berlaku sesuai dengan keadaannya, dalam keadaan miskin papa dia berlaku sesuai dengan keadaannya, berada di antara bangsa asing dia menyesuailan diri dengan sekelilingnya, dalam keadaan duka dan sengasara, dia menyesuaikan diri dengan keadaannya, maka seorang budiman selalu merasa cukup dan terteram, biarpun berada dalam keadaan yang bagaimanapun juga."

   Keng Hong yang sudah sering kali membaca kitab Tiong-yong dan kini mendengar ayat ini dideklamasi dengan sungguh-sungguh, seolah-olah menjadi makian jelas maknanya bagi pemuda ini. Ujar-ujar itu mengandung inti sari pelajaran "MENYESUAIKAN DIRI DENGAN KEADAAN."

   Memang, seorang yang pandai menyesuaikan diri tanpa memaksa hati dan perasaan sendiri akan selalu merasa puas, tak pernah kekurangan dan tenang tenteram. Menginginkan sesuatu yang takkan dapat dijangkauannya bukanlah menyesuaikan diri namanya. Bersikap tidak cocok dengan sekelingnya, ingin membawa kehendak sendiri, bukanlah menyesuaikan diri namanya! Ia mendengarkan terus terang karena biarpun sudah sering kali membaca ayat-ayat itu, kini mendengar diucapkan kakek itu dia merasa amat tertarik.

   "Dalam kedudukan tinggi dia tidak menghina bawahannya, dalam kedudukan rendah dia tidak menjilat atasannya Dia memperbaiki kekurangaan sendiri tidak mengharapkan orang lain, maka ia tidak membenci atau mengutuk orang lain. Ke atas dia tidak mengutuk Tuhan, Kebawah tidak menyalahkan manusia."

   Ujar-ujar itu adalah kelanjutan daripada ujar-ujar tadi dan inti sari pelajarannya adalah "MENERIMA KEADAAN PENUH KESADARAN."

   Jika seseorang dapat menerima keadaan yang menimpa dirinya dengan kesadaran, maka dia akan selalu dapat menyesuaikan diri dengan keadaan itu dan sama sekali dia tidak akan menyalahkan Tuhan maupun manusia lain. Setiap kegagalan yang lajim disebut kesialan diterima dengan kesadaran penuh bahwa hal ini merupakan akibat daripada sebab, dan untuk mencari sebabnya tidak semetinya kalau melontarkan kesalahan kepada Malaikat maupun Setan. Orang bijaksana atau kuncu (budiman) akan menghadapi setiap kegagalan atau malapetaka yang menimpa diri dengan melakukan instropeksi (memeriksa diri sendiri) kemudian melakukan self-koreksi tanpa membenci atau menyalahkan siapapun juga. Keng Hong sudah mengerti akan semua ini dan dia mendengarkan terus.

   "Seorang budiman selalu tenang dan tenteram menanti kurnia sewajarnya dari Tuhan. Adapun seorang yang rendah budi melakukan kejahatan Untuk mendapatkan sesuatu yang bukan menjadi haknya."

   Memanglah, tanpa adanya kesadaran tadi, seseorang yang sedang mengalai kegagalan akan udah menjadi mata gelap, menipiskan kepercayaan kepada Tuhan yang dianggapnya tidak adil sehingga dia melakukan perbuatan-perbuatan yang merugikan orang lain dan jahat. Keng Hong maklum bahwa yang sedang diucapkan kakek ini adalah pelajaran fasal ke empat belas dari kitab Tiong-yong dan bahwa masih ada satu ayat lagi sebagai penutup dan yang paling penting dalam fasal hal ini, maka dia masih belum mau menegur dan mendengarkan terus. Kini kakek itu kembali menyanyikan ayat terakhir yang pendek dengan gaya seorang penyanyi wayang, lagaknya lucu sekali:

   "Nabi Khong Cu bersabda : Prilaku seorang budiman seperti ilmu memanah, Apabila memanah tidak mengenai sasaran Dia mencari sebab-sebab kegagalan Kepada diri sendiri!"

   Karena ayat-ayat itu sudah habis diucapkan si kakek bongkok, Keng Hong hendak memperkenalkan diri, akan tetapi tidak sempat karena kini kakek itu berkata-kata keras penuh celaan seperti orang marah,

   "Anak panah luput dari sasaran adalah karena tidak becus, mengapa mencak-mencak mencari kesalahan dengan mencela anak panahnya bengkok, gendewanya kaku, sasarannya tidak nyata, angin besar, cuaca terlalu buruk dan lain omong kosong lagi? Ha-ha-ha, benar-benar manusia ini badut-badut dunia yang tidak lucu dan menjemukan. Guru besar, semua pelajaranmu baik dan tepat belaka, hamba kagum dan tunduknya, betapi sukar melaksanakannya! Aduhai...., makin baik pelajarannya, mengapa makin bobrok budi pekertinya manusia?"

   Keng Hong terkejut mendengar ucapan terakhir ini dan lalu dia muncul keluar sambil menegur,

   "Locinpwe, maafkan kalau saya mengganggu, Bukankah Locianpwe ini Siauw Kuncu?"

   Kakek itu yang masih duduk ongkang-ongkang di atas dahan pohon, menoleh dan memandang Keng Hong, kemudian menenggak araknya dan berkata seperti orang mabuk,

   "Memang benar, aku seorang di antara kuncu-kuncu yang memenuhi dunia ini! Betapa banyaknya kuncu macam aku sehingga sukar dihitung, seperti daun-daun kuning berserakan di musim rontok! Betapa sukarnya menerima setangkai bunga di musim rontok!"

   "Apa pula artinya ucapan Locianpwe ini?"

   "Artinya? Lihat saja, betapa kini banyak terdapat kuncu-kuncu berserakan! Setiap orang pelajar hafal akan seluruh kitab-kitab pelajaran Nabi Khong Cu, dan mereka itu menganggap diri mereka sebagai kuncu-kuncu! Apakah kalau sudah hafal akan semua ujar-ujar kitab suci lalu menjadi budiman? Betapa mudahnya menghafal dan bicara ditambah lagak seorang kuncu, betapa mudahnya bicara tentang kebenaran, akan tetapi adakah yang dapat melaksanakannya dalam perbuatan? Mereka itu kuncu-kuncu dalam lagak dan kata-kata, dan karena itu aku menjadi seorang di antara mereka, berjuluk kuncu, aku pun seorang kuncu lagak dan kata, kuncu palsu!"

   "Akan tetapi, Locianpwe, bukankah seseorang yang telah mengenal diri sendiri dan tahu akan kekurangan-kekurangannya, mempunyai harapan besar untuk memperbaiki dirinya dan hal ini sudah merupakan langkah seorang kuncu?"

   "Engkau benar, akan tetapi betapa sukarnya mengalahkan diri sendiri! Betapa sukarnya menjadi kuncu bukan karena ingin disebut kuncu, betapa sukarnya melakukan perbuatan baik bukan karena ingin disebut baik! Betapa mungkin memisahkan malaikat dan setan kalau malaikat itu kita lekatkan di dada sedangkan setan melekat di punggung? Heeeiiiii...! Engkau ini seorang muda sudah pandai bicara tentang ayat-ayat suci. Engkau hendak menjadi kuncu, pula? Eh, aku pernah melihat mukamu! Oho, benar engkau ini!"

   Kakek itu menepuk kepalanya yang botak lalu tubuhnya melayang turun ke depan Keng Hong. Semenjak dahulu Keng Hong kagum menyaksikan ginkang kakek itu, akan tetapi tentu saja kini dia melihat betapa ginkang kakek itu sebenarnya belum berapa tinggi. Hal ini adalah karena tingkat kepandaiannya sendiri telah melonjak secara luar biasa.

   "Betapa senangnya bertemu dengan sahabat lama?"

   Kakek itu berkata seperti orang bernyanyi.

   "Bukankah engkau orang muda yang memiliki pukulan mujijat dan mengerikan itu? Engkau.... ah, murid Sin-jiu Kiam-ong yang menimbulkan geger di seluruh dunia kang-ouw dan di kabarkan lenyap di puncak Kiam-kok-san? Kabarnya engkau sudah mati!"

   Keng Hong tersenyum.

   "Thian masih melindungiku dan masih menganugerahi umur panjang padaku, Locianpwe. Berkat pertolongan Locinpwe, aku masih hidup sampai detik ini."

   Siauw bin kuncu membelalakkan kedua matanya dan mengaruk-garuk kepalanya.

   "Aku? Pertolonganku yang mana? Eh, orang muda, jangan engkau ketularan watak Sin-jiu Kiam-ong yang suka menggoda dan mempermainkan orang. Aku sudah tua, tak baik mempermainkan orang tua."

   "Saya tidak mempermainkan Locianpwe, dan hanya menyatakan hal yang sesungguhnya. Ingatkah Locianpwe akan bantuan Locianpwe memecahkan rahasia tiga macam ujar-ujar dahulu itu? Kebijaksanaan tertinggi seperti air! Tulus dan sungguh mengabdi kebajikan! Tukang saluran mengalirkan airnya ke mana dia suka! Nah, Locianpwe yang membantu saya memecahkan rahasianya!"

   "Oh... Oh... Itukah? Dengan ukuran-ukuran itu...? Hemmm, kau hendak katakan bahwa rahasia itu adalah rahasia tempat penyimpanan peninggalan pusaka Sin-jiu Kiam-ong yang diperebutkan semua orang? Jadi engkau selama ini lenyap ke dalam tempat rahasia itu? Aihhh!"

   Kakek itu menampar kepalanya.

   "Kalau aku tahu.. tentu..."

   Kakek itu terhenti dan kini menampar mulutnya.

   "Nah-nah, inilah yang paling berbahaya, musuh manusia nomor satu, yaitu diri sendiri, nafsunya sendiri yang mendorongnya melakukan hal apa saja demi untuk kepentingan diri sendiri sehingga lenyaplah segala norma kebajikan, lenyap dan terlupakan semua ayat-ayat suci agama. Ah, orang muda, jadi rahasia penyimpanan pusaka gurumu itu tersembunyi di dalam tiga baris ujar-ujar itu? Sungguh mengagumkan!"

   "Benar demikian, Locianpwe. Karena itu, saya menghaturkan terima kasih kepada Locianpwe yang menyelamatkan saya ketika dikejar oleh tokoh-tokoh kang-ouw lima enam tahun yang lalu."

   Kakek itu mengangkat tangan dan menggoyang-goyangnya seperti hendak mencegah pemuda itu melanjutkan ucapan terima kasihnya.

   "Seorang kuncu tidak mengangap bantuan sebagai pelepas budi, tidak menganggap kebajikan sebagai sesuatu yang dibanggakan melainkan sebagai suatu keharusan dan kewajiban. Orang muda, siapakah namamu? Aku sudah lupa lagi."

   "Saya Cia Keng Hong, Locianpwe."

   "Keng Hong, setelah engkau menemukan peninggalan pusaka gurumu, tentu engkau telah mewarisi seluruh ilmu kepandaian Sin-jiu Kiam-ong, bukan?"

   "Ilmu, kepandaian tak dapat diwarisi, Locinpwe, hanya dapat dipelajari. Saya telah mempelajarinya sedikit-sedikit akan tetapi tentu saja masih jauh daripada sempurna."

   "Wah, engkau pandai merendah, Keng Hong. Dahulu pun kepandaianmu sudah mengerikan, apalagi sekarang. Dan sekarang, kemana engkau hendak pergi, apa yang hendak kau lakukan setelah engkau memiliki ilmu kepandaian gurumu?"

   "Locianpwe, saya mohon petunjuk, Locianpwe mengenai cita-cita yang menjadi tugas saya ini. Saya akan berusaha untuk menemui semua tokoh kang-ouw yang dahulu memusuhi suhu, dan akan saya usahakan sedapat mungkin untuk menebus kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh suhu terhadap para tokoh kang-ouw. Bagaimana menurut pendapat Locianpwe? Apakah usaha saya ini tidak berlawanan dengan kebaktian seorang murid terhadap gurunya?"

   "Di dalam kitab Tiong-yong, guru besar Khong Cu berkata! Hu-hauw-cia, Sian-kee-jin-ci-ci, Sian-sut-jit-ci-su-cia-ya (Berbakti ialah melanjutkan cita-cita mulia dan pekerjaan benar daripada leluhurnya). Kalau seorang murid melakukan perbuatan-perbuatan mulia dan benar, berarti bahwa dia mengangkat tinggi nama gurunya. Kalau muridnya menjadi seorang baik, tentu gurunya dipuji orang. Sebaliknya kalau si murid menjadi seorang jahat tentu gurunya dimaki orang. Gurumu Sin-jiu Kiam-ong, di waktu hidupnya menjadi seorang petualang, ugal-ugalan dan karenanya menyusahkan banyak orang sehingga dimusuhi. Dia meninggalkan nama buruk. Kalau engkau sebagai muridnya dapat melakukan kebaikan-kebaikan, hal itu berarti engkau telah berbakti, karena dengan kebaikan muridnya, setidaknya nama buruk si guru akan tercuci sebagian. Akan tetapi, tujuan dan cita-cita baik saja belum ada gunanya kalau belum dilaksanakan, Keng Hong. Sekarang, engkau hendak kemana?"

   "Terima kasih atas wejangan Locianpwe yang ternyata cocok dengan isi hati saya. Saya akan pergi ke puncak sana menemui para pimpinan Tiat-ciang-pang yang paling dekat dari sini. Tugas ini tidak ada sangkut pautnya dengan suhu. Seperti Locianpwe telah mengetahui, dahulu enam tahun yang saya pernah bentrok dengan Tiat-ciang-pang karena salah faham maka sekarang saya hendak menghapus pertentangan itu dengan mohon maaf kepada para pemimpinnya."

   Kakek itu tertawa dan mengelus jenggotnya.

   "Ha-ha-ha, kebetulan sekali. Di sana sedang ada keramaian, dan mungkin setibamu di sana akan terjadi perkara besar di sana. Tidakkah kau melihat rombongan tamu yang menuju ke sana itu? Aku sendiri pun kalau ada minat, akan menonton keramaian."

   "Saya tadi melihat rombongan itu, Locianpwe. Ada keramaian apakah?"

   "Pesta keramaian dari mereka yang menang! Mereka merayakan ulang tahun Tiat-ciang pang, juga merayakan kemenangan bala tentara Raja Muda Yung Lo yang berhasil merebut kekuasaan. Sebagai fihak yang pro tentara, tentu saja Tiat-ciang-pang mendapat pahala dan karena itu mereka merayakan kemenangan. Nah, kalau kau hendak menemui para pimpinannya, sekaranglah saatnya. Pergilah, Keng Hong, dan jangan lupa dasar tujuanmu, yaitu menjunjung nama guru yang hanya dapat kau capai dengan perbuatan benar. Selamat berpisah!"

   Kakek itu meloncat jauh lalu berloncatan dengan kedua lengan dikembangkan dan digerak-gerakkan seperti burung terbang! Keng Hong menarik napas lega. Bercakap-cakap dengan kakek itu menambah keyakinannya akan benarnya usaha yang ditempuhnya. Ia maklum betapa berat tugasnya, namun keyakinan bahwa yang dia lakukan adalah benar memperingan tugas itu dalam hatinya.

   Ia lalu melanjutkan perjalannya menuju ke puncak Pegunungan Bayangkara di mana sudah tampak tembok besar yang menjadi bangunan pusat perkumpulan Tiat-ciang-pang. Tiat-ciang-pang adalah sebuah perkumpulan yang besar dan terkenal, apalagi setelah timbul perang ketika Raja Muda Yung Lo memimpin bala tentaranya dari utara menyerbu ke selatan dan perkumpulan ini membantu dengan penuh semangat. Setelah perang dimenangkan tentara utara, nama Tiat-ciang-pang meningkat dan makin banyaklah orang yang memuji-muji perkumpulan ini. Maka ketika perkumpulan itu merayakan ulang tahun sekalian merayakan kemenangan bala tentara utara, juga untuk mengadakan pemilihan ketua baru karena Ouw Beng Kok, ketua pertama itu hendak mengundurkan diri kan karena merasa sudah terlalu tua. Banyak sekali tamu berdatangan dari segenap penjuru, tokoh-tokoh kang-ouw dan bekas-bekas teman seperjuangan.

   Keng Hong menyelinap di antara para tamu dan tidak ada seorang pun memperhatikan pemuda ini karena memang Keng Hong tidak kelihatan menyolok dengan pakaiannya yang sederhana dan kelihatannya tidak membawa sepotong pun senjata, sama sekali tidak kelihatan seperti seorang tokoh kang-ouw yang pandai ilmu silat. Apalagi karena pada saat itu warna kulit muka Keng Hong sudah berubah hitam, karena dia sengaja menggunakan semacam getah pohon untuk menghitamkan muka. Kepandaian menyamar ini dia dapatkan dari sebuah di antara kitab-kitab suhunya, dan dia tahu bagaimana harus mengubah warna kulit mukanya menjadi hitam, putih, kuning, merah atau bahkan kehijauan, hanya mempergunakan getah-getah kulit pohon atau daun-daun.

   Karena kedatangannya dengan itikad baik, dia tidak ingin menimbulkan kekacauan dan tidak ingin dikenal anak buah Tiat-ciang-pang yang tentu akan mengacaukan urusan sebelum dia sempat bicara dengan Ouw Beng Kok dan Lai Ban. Dari tempat duduknya di antara banyak tamu muda, Keng Hong memandang ke depan dimana para pimpinan Tiat-ciang-pang dan para tamu yang dianggap terhormat berkumpul. Bagian itu agak tinggi dan luas sehingga tampak jelas dari semua bagian dimana tamu-tamu yang dianggap "biasa"

   Atau hanya para anggota-anggota rendahan dari Tiat-ciang-pang. Karena di situ berkumpul pula tamu-tamu dari pelbagai golongan sehingga sebagian besar tidak dikenal oleh para anggota Tiat-ciang-pang, maka kehadiran Keng Hong tidak menyolok. Keng Hong dapat melihat bahwa Ouw Beng Kok ketua Tiat-ciang-pang atau Ouw-pangcu itu, kelihatan tua dan mukanya penuh keriput,

   Namun tubuhnya yang agak kurus itu masih membayangkan tenaga yang kuat, dan Keng Hong merasa bulu tengkuknya berdiri ketika melihat tangan kiri Ouw Beng Kok yang palsu, tangan besi yang amat hebat itu, karena tangan besi itulah yang menciptakan Tiat-ciang-pang. Perkumpulan Tangan besi, sungguhpun para anggautanya tidak mempunyai tangan palsu dari besi, namun para tokohnya telah mempelajari ilu Tiat-ciang-pang (Tangan Besi) yang amat ampuh sehingga tangan mereka dari tulang daging dan kulit itu seolah-olah keras seperti besi. Di sebelah kirinya duduk seorang laki-laki berusia kurang lebih tiga puluh tahun yang bermuka brewok dan bertubuh tinggi besar dan gagah. Sedangkan di sebelah kanannya duduk Lai Ban, wakil ketua Tiat-ciang-pang yang berjuluk Kim-to Si Golok Emas. Senjata itu tergantung dengan megahnya di punggung,

   Dan berbeda dengan ketua Tiat-ciang-pang itu, wakilnya itu masih kelihatan gagah bersemangat biarpun usianya sudah lima puluh tahun lebih. Di belakang kedua orang ketua ini duduk para pembantu-pembantu pemimpin Tiat-ciang-pang dengan sikap keren. Dan di depan mereka, mengelilingi meja-meja besar yang ditaruh berjajar, duduk para tokoh yang terhormat, yaitu tokoh-tokoh kang-ouw dan tokoh-tokoh pejuang pembantu barisan dari utara. Setelah semua tamu menghaturkan selamat dan saling memuji dalam merayakan kemenangan tentara utara, yang mereka lakukan sambil tertawa-tawa, menceritakan pengalaman pertandingan dalam perang saudara yang lalu, dan makan minum gembira, ketua Tiat-ciang-pang lalu mengumumkan kesempatan itu untuk mengadakan pemilihan ketua baru.

   "Saya sudah tua dan lelah, perlu mengundurkan diri beristirahat dan memberi kesempatan kepada yang muda."

   Demikian Ouw Beng Kok menutup kata-katanya.

   "Sekarang, kebetulan sekali para sahabat dari berbagai golongan hadir sehingga dapat menjadi saksi peilihan ketua baru Tiat-ciang-pang. Menurut pendapat dan rencana saya, tentu saja kalau seluruh anggauta Tiat-ciang-pang menyetujui, dan saya harap demikian, saya akan menyerahkan jabatan ketua kepada putera saya ini. Mungkin banyak di antara para sahabat yang belum mengenal puteraku. Puteraku ini bernama Ouw Kian, dan karena semenjak kecil dia membantu Raja Muda Yung Lo di utara yang kini menjadi kaisar kita, maka dia tidak mendapatkan kesempatan untuk bekerja bagi Tiat-ciang-pang. Akan tetapi, mengingat bahwa ilmu Tiat-ciang-kang telah di warisinya, dan karena diapun ingin sekali menyumbangkan tenaganya, dan sudah disetujui pula meninggalkan kerajaan, maka saya sendiri mengusulkan untuk mengangkatnya menjadi ketua Tiat-ciang-pang."

   "Ha-ha-ha, Ouw-pangcu mengapa begini sungkan? Kalau yang pangcu usulkan untuk menggantikan adalah putera Pangcu sendiri, hal itu sudah sewajarnya. Ouw-pangcu selain menjadi ketua dari Tiat-ciang-pang, juga menjadi pendiri Tiat-ciang-pang, dan kalau kini Pangcu hendak mengundurkan diri lalu menunjuk putera Pangcu sebagai ketua baru, siapa yang akan menyatakan tidak setuju."

   Ucapan ini keluar dari mulut seorang di antara para tokoh yang hadir di situ. Para tamu lainnya sebagian besar menganggukkan kepala tanda setuju dengan pendapat ini. Akan tetapi Ouw Beng Kok mengerutkan alisnya yang tebal lalu berkata,

   "Cu-wi sekalian (Tuan sekalian) tidak tahu akan keadaan Tiat-ciang-pang kami. Perkumpulan kami selama beberapa tahun ini telah mengalami kemajuan pesat sekali dan kini telah mempunyai belasan buah cabang perkumpulan di kota-kota dan jumlah anggauta kami seluruhnya tidak kurang dari seribu orang! Pada hari baik ini, seluruh pimpinan cabang yang sebagian adalah murid-murid saya, sebagian pula sahabat-sahabat seperjuangan yang jumlahnya tiga puluh orang lebih hadir pula. Saya tidak mau mengandalkan kedudukan sebagai pendiri dan ketua pertama untuk membawa kehendak sendiri dan kalau saya mengusulkan agar putera saya diangkat semata-mata adalah karena saya mengenal kecakapan putera saya dan tahu bahwa pada saat ini, dia merupakan ahli Tiat-ciang-kang yang paling kuat. Namun, saya menyerahkan keputusannya dalam pemilihan umum yang diadakan para pimpinan pusat dan cabang. Dan tentu saja mereka itu berhak untuk memilih calon dan mengemukakan pendapat mereka demi kebaikan Tiat-ciang-pang."

   Semua tamu menjadi kagum mendengar ucapan Ouw-pangcu ini dan diam-diam Keng Hong juga merasa kagum.

   Orang tua itu ternyata mempunyai watak yang adil dan tidak seperti pemimpin-pemimpin yang lain yang hanya ingin melaksanakan kehendaknya sendiri saja. Setelah mendengarkan ucapan ketua Tiat-ciang-pang yang disaksikan oleh banyak tokoh kang-ouw yang hadir di tempat itu, mulailah para dewan pimpinan cabang dan pusat ramai saling bicara sendiri. Memang di antara mereka telah terjadi perpecahan yang menjadi dua golongan, yaitu segolongan yang sejutu dengan pilihan ketua mereka untuk mengangkat Ouw Kian menjadi ketua baru. Akan tetapi segolongan lain tidak setuju dan lebih suka melihat Lai Ban wakil ketua Tiat-ciang-pang menjadi ketua baru. Seorang di antara mereka, yang bertubuh tinggi kurus dan berduka seperti tikus bangkit berdiri dan setelah menjura kepada Ouw Beng Kok berkata, suarnya lantang,

   "Hati kami lega setelah mendengar uraian Pangcu yang amat adil dan yang memberi kesempatan kepada kami untuk ikut mengajukan calon ketua baru. Oleh karena itu perkenankan saya mengajukan usul kepada Pangcu mengenai pencalonan ketua baru, sesuai dengan pendapat kawan-kawan yang mengambil keputusan demi kebaikan Tiat-ciang-pang yang kita cinta."

   "Saudara Lu Tong adalah ketua cabang Bi-na-seng, bukan? Tidak perlu merasa sungkan, memang pemilihan ketua ini demi kebaikan perkumpulan kita. Boleh saja engkau mengajukan usul itu,"

   Jawab Ouw Beng Kok dengan sabar dan tenang.

   "Terima kasih, Pangcu. Kami mengajukan calon kami yang sudah kami pilih dengan suara bulat, yaitu Ji-pangcu Lai Ban!"

   Sejenak pembicara yang bernama Lu Tong ini berhenti bicara karena segera bangkit berdiri dua puluh orang lebih teman-temannya yang bersorak menyebut nama Lai Ban sebagai wakil atau calon mereka. Lai Ban bangkit berdiri dan mengangkat kedua lengan ke atas, suaranya nyaring berpengaruh,

   "Harap saudara-saudara tidak berisik dan suka duduk kembali, biar seorang saja mewakili saudara-saudara bicara!"

   Dan ternyata mereka yang bersorak itu segera terdiam, lalu duduk kembali. Lai Ban dengan sikap tenang juga duduk kembali, wajahnya tenang dan sungguh-sungguh.

   "Kalau Saudara Lu Tong masih ada kata-kata harap lanjutkan."

   "Kami memilih Ji-pangcu Lai Ban dengan alasan yang kuat. Pertama, kami rasa bahwa selain Pangcu sendiri, Ji-pangcu Lai Ban adalah orang ke-dua yang selama ini memimpin Tiat-ciang-pang. Ke-dua, dalam hal ilmu kepandaian, kami semua telah mengerti akan kelihaiannya yang hanya berada di bawah tingkat Pangcu sendiri atau mungkin juga setingkat. Kami menolak pengangkatan atau pencalonan Saudara Ouw Kian bukan sekali-kali karena tidak suka kepadanya, melainkan kami meragukan kepandaiannya. Sudah sering kali Tiat-ciang-pang dimusuhi orang-orang jahat yang berilmu tinggi, maka kalau dipimpin oleh seorang pemuda yang belum berpengalaman dan kepandaiannya tidak boleh diandalkan, bukankah hal itu melemahkan Tiat-ciang-pang?"

   "Betul! Betul! Pilih Lai-pangcu sebagai ketua baru!"

   Kembali terdengar teriakan-teriakan riuh.

   "Tidak! Kami memilih Ouw-siauw-pangcu!"

   Teriak mereka yang berpihak Ouw Kian dan bahkan telah menyebutnya siauw-pangcu (ketua muda)! Melihat keadaan menjadi ribut, Ouw Beng Kok bangkit berdiri, dan seperti yang dilakukan Lai Ban tadi, dia mengangkat kedua lengan ke atas dan seketika semua orang yang ribut-ribut itu diam. Ouw Beng Kok tersenyum dan berkata sabar,

   "Memang sudah menjadi hak Saudara Lai Ban untuk dipilih. Tadinya akupun mempunyai pendapat seperti saudara-saudara yang memilih Lai Ban. Akan tetapi setelah yakin akan kepandaian puteraku, aku mempunyai pikiran bahwa lebih baik puteraku menjadi ketua dan Saudara Lai Ban menjadi wakilnya."

   "Buktikan kepandaiannya! Kami ingin mengujinya!"

   Terdengar teriakn-teriakan. Ouw-pangcu tertawa lebar.

   "Memang tadinya untuk memperkenalkan, aku ingin agar Saudara Lai Ban sendiri yang menguji puteraku. Akan tetapi kalau di antara saudara ada yang penasaran dan ingin menguji dalam hal Ilmu Tiat-ciang-kang, silakan. Kian-ji (anak Kian), kau layanilah mereka baik-baik."

   Ouw Kian yang bertubuh tinggi besar dan bermuka brewok itu lalu meloncat ke tengah ruangan seperti panggung itu, mengangkat kedua tangan ke sekeliling dan berkata, suaranya ramah dan nyaring.

   "Cu-wi sekalian hendaknya suka maafkan kalau kami orang-orang Tiat-ciang-pang terpaksa memperlihatkan kebodohan kami karena hal ini dilakukan demi memperlancar pemilihan ketua. Karena urusan ini adalah urusan dalam, maka cu-wi kami harap tidak mencampurinya dan menjadi saksi saja."

   Setelah memberi hormat kepada para tamu, Ouw Kian menghadapi golongan atau rombongan yang mencalonkan Lai Ban, lalu berkata.

   "Sudah sepatutnya kalau saudara mengenal baik tingkat kepandaian calon ketua perkumpulan kita. Aku menerima pencalonan bukan hanya untuk berbakti kepada ayah, juga untuk berbakti kepada perkumpulan. Kalau ada saudara yang meragukan tingkat Tiat-ciang-kang saya, silakan mencoba."

   Dari golongan tadi, dipipin oleh Lu Tong meloncat keluar lia orang dan Lu Tong berkata mewakili mereka berlima,

   "Seorang ketua kita harus dapat menandingi lima orang pimpinan cabang, seperti juga dapat dilakukan oleh Ji-pangcu."

   Ouw Kian tersenyum lebar.

   "Kalau memang demikian yang kalian kehendaki, silakan. Kalau memang kepandaianku masih jauh daripada mencukupi, tentu saja aku tidak pantas memimpin Tiat-ciang-pang."

   Setelah berkata demikian Ouw Kian lalu memasang kuda-kuda persiapan menghadapi penggeroyokan. Dengan kedua lutut di tekuk rendah, tubuh atas tegak dan kedua tangan dengan jari-jari terbuka di depan pusar. Lima orang ketua cabang yang tentu saja adalah ahli-ahli Tiat-ciang-kang dan sudah berlatih di bawah pimpinan Lai Ban sendiri, tentu saja mengenal kuda-kuda Tiat-ciang-kun-hoat ini dan mereka pun cepat mengurung dan memasang kuda-kuda.

   "Kalian semua ingat! Hanya boleh menggunakan Tiat-ciang-kun-hoat!"

   Terdengar Ouw Beng Kok berseru kepada enam orang yang sudah siap itu. Para tau menonton dengan hati berdebar. Mereka semua sudah mengenal kelihaian ilmu silat dari pada tokoh Tiat-ciang-pang. Ilmu Tiat-ciang-kun-hoat (Ilmu Silat Tangan Besi) ini kabarnya terbagi tiga bagian. Pertama tentu saja hanya dimiliki Ouw Beng Kok sendiri yaitu dimainkan dengan sebelah tangan palsu dari besi. Tingkat ke dua adalah mereka yang mainkan ilmu silat ini dengan kedua tangan biasa yang sudah digembleng dengan latihan-latihan sehingga memiliki Tiat-ciang-kang (Tenaga Tangan Besi), sedangkan ke tiga adalah anak buah yang hanya mengerti ilmu silatnya, akan tetapi tangan mereka belum memiliki tenaga Tiat-ciang-kang sepenuhnya.

   Bahkan di antara mereka ini, untuk menambah keampuhan ilmu silat mereka, ada yang menggunakan senjata sebuah tangan besi yang digengam di tangan kanan, menjadi penyambung tangan! Yang memiliki Tiat-ciang-kang secara mahir hanya ada beberapa orang saja dan diantaranya tentu saja Kim-to Lai Ban berada di tingkat teratas. Adapun kepandaian putera Ouw-pangcu ini memang belum ada yang mengetahuinya. Di antaranya lima orang pengeroyok itu, yang memiliki Tiat-ciang-kang lumayan hanya Lu-Tong seorang. Empat orang kawannya hanya pandai ilmu silatnya, bahkan yang dua orang sudah mengeluarkan dua buah senjata tangan basi dan memekai di tangan kanan, sedangkan yang dua orang lagi hanya mengandalkan ilmu silat dan kekuatan yang besar, sungguhpun mereka belum memiliki Tiat-ciang-kang yang diciptakan dari tenaga sinkang.

   Para tamu banyak yang bergerak mendekat panggung, termasuk Keng Hong yang menjadi tertarik hatinya. Sudah lama yang menjadi tertarik hatinya. Sudah lama mereka mendengar akan nama besar Tiat-ciang-pang dan sekali ini mereka akan menonton pertandingan yang khusus dilakukan dengan Ilmu Silat Tangan Besi yang hebat dan terkenal itu. Tiba-tiba Lu Tong mengeluarkan seruan keras dan dia sudah mulai menyerang dengan pukulan tangan miring menuju lambung Ouw Kian. Serangannya ini disusul oleh empat orang kawannya yang juga sudah menerjang dengan pukulan tangan terbuka, atau cengkeraman, atau pukulan dengan tangan besi yang menjadi senjata mereka. Gerakan mereka itu cepat, kuat dan mantap sekali. Lebih-lebih Lu Tong, sehingga ketika mereka bergerak menyerang, tangan mereka mengeluarkan suara berkerotok dan angin pukulan menyambar dahsyat.

   Namun Ouw Kian bergerak dengan tenang dan tepat. Ternyata dia telah menguasai Ilmu Silat Tiat-ciang-kun-hoat dengan amat baiknya. Hal ini terbukti betapa dengan tenang dia menghadapi semua serangan itu dan jelas bahwa dia telah lebih dulu tahu kemana lima orang lawannya itu akan menyerang. Dengan lincah namun tenang tanpa membuang banyak gerakan sia-sia, Ouw Kian mengelak dan menangkis. Ia tidak mau mengerahkan banyak tenaga karena memang dia hendak memperlihatkan mereka bahwa dia telah mahir mainkan ilmu silat perkumpulan ayahnya. Kalau dia menggunakan Tiat-ciang-kun, apalagi kalau dengan pengerahan tenaga sepenuhnya tentu dalam segebrak saja dia mampu lima orang pengeroyoknya jungkir-balik.

   Mula-mula pertandingan itu berjalan dengan gerakan-gerakan mantap dan lambat, namun makin lama makin cepat gerakan lima orang pengeroyok itu. Mereka mulai menjadi penasaran karena sampai tiga puluh jurus lebih Ouw Kian hanya mengelak dan menangkis tanpa balas menyerang. Tangkisan putera ketua itu hanya membuat tangan mereka terpental dan mereka tidak merasakan tenaga sakti yang hebat pada kedua tangan Ouw Kian, maka mereka berlima menjadi makin bersemangat karena menganggap bahwa dalam hal ilmu silat, Ouw Kian kalah cepat oleh Lai Ban, juga dalam hal tenaga sakti, pemuda ini kalah jauh! Setelah menghadapi serangan-serangan para pengeroyoknya selama lima puluh jurus, Ouw Kian menganggap sudah cukup. Ia mengerahkan tenaga dan membentak keras,

   "Harap saudara berlima mundur!!"

   Ucapan ini dibarengi dengan tangkisan kedua tangannya secara bertubi dan tepat sekali mengenai tangan kelima orang penggeroyoknya. Terdengar pekik kaget dan lima orang itu sudah terlempar ke belakang semua, menyeringai dan melongo ketika melihat betapa dua buah senjata tangan besi menjadi hancur,

   Sedangkan tangan mereka merah sekali akan tetapi tidak terluka, hanya panas dan perih! Itulah akibat tersentuh ilmu sakti Tiat-ciang-kang! Terdengar tepuk tangan oleh mereka yang menyetujui pengangkatan putera ketua ini, bahakn para tamu yang menyaksikan kelihaian Ouw Kian ikut pula memuji dan bertepuk tangan. Keng Hong diam-diam juga kagum, terutama sekali cara Ouw Kian mengalahkan lima orang ketua cabang itu amat menyenangkan hatinya dan dari cara ini saja dapat diharapkan putera Ouw-pangcu itu akan menjadi seorang ketua yang baik. Dia tidak membikin malu ketua-ketua cabang itu, bahkan bersikap mengalah sekali. Lu Tong bangkit berdiri, mukanya merah ketika dia meandang ke arah Lai Ban. Ia lalu menjura kepada Ouw Kian dan berkata,

   "Harus kami akui bahwa Ilmu Tiat-ciang-kun-hoat dari Saudara Ouw Kian cukup baik, akan tetapi kami kira tidak sebaik kepandaian Lai-pangcu, dan kami tetap memilih Lai-pangcu karena betapapun juga, tentu Lai-pangcu lebih berpengalaman dalam memimpin Tiat-ciang-pang!"

   Ouw Beng Kok segara berdiri dan berkata,

   "Saudara-saudara sekalian, hendaknya maklum bahwa keputusanku utnuk mengangkat Ouw Kian sebagai penggantiku menjabat ketua baru dari perkumpulan kita telah kupikirkan dan kuperhitungkan masak-masak. Tiat-ciang-pang didirikan tadinya dengan maksud untuk menegakkan kebenaran dan keadilan serta berdasarkan mengembangkan Ilmu Silat Tiat-ciang-kun-hoat diantara para murid dan anggautanya. Oleh karena itu, sudah sepatutnya kalau yang menjadi ketuanya adalah orang yang paling mahir dalam ilmu itu. Pada saat ini, aku melihat bahwa yang paling mahir dalam ilmu kita itu adalah Ouw Kian, maka aku memilih dia. Kemudian barulah Lai-ji-pangcu sebagai wakilnya. Mungkian dalam kepandaian umumnya, puteraku masih kalah, akan tetapi aku mengkehendaki agat Tiat-ciang-kun-hoat dikembangkan tanpa pencampuran ilmu silat lain sehingga ilmu silat kita akan tetap dipertahankan keaseliannya. Hendaknya saudara sekalian dapat memaklumi akan hal ini,"

   Ucapan itu berwibawa dan mempunyai dasar yang kuat sehingga mereka yang menentang pengangkatan Ouw Kian tidak dapat membantah lagi. Lu Tong mengerutkan keningnya, kemudian berkata,

   "Ucapan Pangcu tak dapat dibantah kebenarannya. Akan tetapi kami ingin menyaksikan lebih dulu apakah benar ilmu silat yang dimiliki Lai-pangcu kalah tinggi tingkatnya dengan putera Pangcu."

   "Benar, harap diuji dulu!"

   Terdengar teriakan-terikan dari mereka yang mendukung pencalonan Lai Ban. Kim-to Lai Ban kini bangkit dari tempat duduknya dan berkata,

   "Terima kasih atas kepercayaan saudara sekalian. Biarlah aku akan mnguji kepandaian Ouw-hiante dan memang aku pun ingin sekali menyaksikan sampai dimana kepandaian orang muda yang dicalonkan menjadi pemimpin kita ini. Aku hanya menyatakan tidak setuju akan pendapat pangcu bahwa Ilmu silat Tiat-ciang-kun-hoat tidak boleh dicampur dengan ilmu silat lain. Ilmu silat amat banyaknya di dunia ini dan kalau tidak memasukkan bagian-bagian yang baik dari ilmu silat lain, bagaimana Tiat-ciang-kun-hoat akan memperoleh kemajuan?

   "Nah, Ouw-hiante, mari kita main-main sebentar!"

   Ia lalu meloncat dan menghadapi Ouw Kian yang (Lanjut ke Jilid 20)
Pedang Kayu Harum (Seri ke 01- Serial Pedang Kayu Harum)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 20
masih berdiri di tengah ruangan. Semua orang yang hadir di situ menjadi tegang hatinya. Kini mereka maklum bahwa mereka akan menghadapi sebuah pertandingan yang hebat dan jauh lebih seru daripda tadi. Dua jago Tiat-ciang-pang tua dan muda itu sudah saling berhadapan dan mereka memasang kuda-kuda yang sama.

   "Ouw Kian, majulah!"

   Lai Ban membentak nyaring. Namun Ouw Kian bersikap tenang dan berkata hormat,

   "Lai-susiok, engkau yang hendak mengujiku, silakan mulai."

   Ouw Kian menyebut susiok (paman guru) kepada Lai Ban karena memang wakil ketua itu dianggap adik seperguruan sendiri oleh Ouw Beng Kok sungguhpun ilmu Tiat-ciang-kang dia pelajari dari ketua Tiat-ciang-pang itu. Dahulu dia hanya sahabat orang she Ouw itu, dan memang Lai Ban telah memiliki ilmu kepandaian tingi, tetutama ilmu golok sehingga dia dijuluki Kim-to. Setelah dia mempelajari Tiat-ciang-kang, maka dia dianggap saudara dan ditarik sebagai wakil ketua ketika Ouw Beng Kok mendirikan perkumpulan itu.

   "Jagalah seranganku!"

   Lai Ban membentak dan dia sudah menerjang dengan gerakan kuat dan dahsyat. Ouw Kian maklum akan kelihaian wakil ketua ini, maka cepat dia menggeser kaki mengelak dan balas menyerang. Terjadilah serang-menyerang dalam ilmu silat yang sama, makin lama makin seru dan cepat.

   Pandang mata mereka yang menonton sampai menjadi pening karena gerakan kedua orang itu sama-sama cepat sehingga tubuh mereka berkelebatan dan kadang-kadang sukar dibedakan mana yang tua mana yang muda. Akan tetapi dalam pandang mata Ouw BengKok dan juga para tokoh yang tinggi ilmunya termasuk Keng Hong, jelas tampak bahwa biarpun Lai Ban lebih matang gerakan-gerakannya karena menang pengalaman, namun dia kalah mahir dan juga agaknya kalah latihan. Gerakan Lai Ban matang dalam pengalaman pertempuran, sebaliknya Ouw Kian adalah aseli dan orang muda ini lebih tekun berlatih Tiat-ciang-kun-hoat, apalagi di bawah bimbingan ayahnya sendiri, pencipta ilmu silat ini. Dia belum dapat mengalahkan Lai Ban akan tetapi sedikit demi sedikit setiap jurus serangannya makin mendesak Lai Ban sehingga wakil ketua ini mulai kelihatan sibuk dan mundur.

   Lai Ban sebetulnya diam-diam amat mengharapkan menjadi ketua Tiat-ciang-pang. Ketika putera Ouw-pangcu yang sejak lama di utara itu tiba dan kemudian memperdalam Ilmu Silat Tiat-ciang-kun-hoat, diam-diam dia merasa tidak senang, apalagi ketika dia mendengar pernyataan Ouw-pangcu untuk mengangkat putera itu sebagai pengganti, hatinya makin iri dan tidak puas. Akan tetapi di depan Ouw-pangcu, dia tidak berani membantah dan hanya dia menghubungi para ketua cabang yang sebagian besar adalah murid-muridnya dan lebih setia kepadanya untuk mengajukan pencalonan dirinya di dalam pesta itu. Apalagi karena dia merasa yakin akan dapat mengalahkan keponakannya itu.

   Betapapun juga, karena khawatir menghadapi kegagalan, diam-diam jauh hari sebelumnya Lai Ban telah menemui sebuah perguruan lain di kota Liong-eng, yaitu perguruan Kim-to Bu-koan (Perguruan Silat Golok Emas). Lai Ban memang seorang murid pandai dari perguruan ini sebelum dia menjadi wakil ketua Tiat-ciang-pang. Akan tetapi guru Lai Ban yaitu tosu yang memimpin perguruan itu telah meninggal dunia dan kini perguruan dilanjutkan oleh Thian It Tosu, seorang suheng dari Lai Ban. Semenjak dipimpin Thian It Tosu, perguruan Kim-to Bu-koan menjadi mundur. Maka ketika Lai Ban yang terhitung sute dari Thian It Tosu datang dan mohon bantuan suhengnya agar niatnya menjadi ketua Tiat-ciang-pang tercapai, yaitu dukungan moril dan kalau keadaan memerlukan juga bantuan tenaga, tosu ini cepat berkata girang,

   "Bagus sekali, Sute! Jangan khawatir, tentu pinto akan membantumu dan kalau si tua tangan palsu itu merintangimu, biarlah pinto yang menghadapinya. Akan tetapi tentu saja pinto tidak mau bekerja sia-sia dan engkau pun tentu sudah tahu akan kemunduran bu-koan kita dimana engkau pun menjadi anak muridnya. Demi nama besar bu-koan kita, pinto harap kelak Tiat-ciang-pang dapat digabungkan dengan Kim-to Bu-koan, dengan demikian bukankah kedua perkumpulan akan menjadi makin pesat dan besar?"

   Demikianlah, ketika Tiat-ciang-pang mengadakan pesta, Thian It Tosu menerima undangan pula dan menjadi seorang di antara tamu-tamu terhormat yang hadir disitu. Sebagai suheng dari Lai Ban, tentu saja Ouw-pangcu menerimanya dengan kehormatan.

   Ketika terjadi pertandingan antara Lai Ban dan Ouw Kian, tosu ini memandang penuh perhatian dan diam-diam dia sudah siap sedia untuk membantu sutenya. Kalau saja Kim-to Bu-koan tidak hampir bangkrut kiranya tosu ini segan untuk mencampuri urusan pemilihan ketua perkumpulan lain yang menjadi urusan dalam perkumpulan itu sendiri. Akan tetapi dia mempunyai tujuan lain untuk menggabungkan kedua perkumpulan dan menghidupkan kembali Kim-to Bu-koan. Pertandingan berlangsung makin seru dan Lai Ban sudah amat terdesak. Beberapa kali dia hampir terpukul, bahkan satu kali pundaknya kena diserempet pukulan tangan kiri Ouw Kian sehingga terasa ngilu. Hal ini membuatnya marah sekali. Ia tahu bahwa Ouw-pangcu tidak berlebih-lebihan ketika mengatakan bahwa tingkat kepandaian puteranya itu lebih tinggi daripadanya sendiri.

   Ia maklum pula bahwa dalam Ilmu Silat Tiat-ciang-kun-hoat dia kalah mahir. Akan tetapi dia tidak percaya kalau tenaganya Tiat-ciang-kang kalah kuat, apalagi kalau diingat bahwa sebelum mempelajari Tiat-ciang-kang, dia telah mempelajari sinkang yang kuat, hasil pelajarannya sebagai murid Kim-to Bu-koan. Maka dia lalu mengeluarkan pekik nyaring, mengerahkan tenaga Tiat-ciang-kang sehingga tangannya berkerotokan bunyinya kemudian memukul dengan tenaga dahsyat ini. Ouw Beng Kok terkejut. Pertandingan itu dimaksudkan untuk menguji Ilmu Silat Tiat-ciang-kun-hoat, dan kalau hendak menguji Tiat-ciang-kang, tentu saja bukan dengan cara menyerang sehebat itu. Tenaga Tiat-ciang-kang dapat diuji tanpa bertanding yang amat membahayakan keselamatan lawan. Namun pukulan sudah dilakukan dan ketua ini hanya dapat menahan napas.

   Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Tidak hanya Ouw Beng Kok yang kaget sekali, juga para pimpinan cabang-cabang Tiat-ciang-pang dan terutama sekali Ouw Kian sendiri yang tiba-tiba diserang demikian hebatnya. Ia amat menghormati Lai Ban, dan selain menganggap orang tua ini sebagai paman gurunya, juga menganggapnya sebagai tokoh tua Tiat-ciang-pang yang amat diharapkan bantuannya kelak kalau dia menjabat ketua dan Lai Ban menjadi wakilnya. Kini menyaksikan serangan paman gurunya, Ouw Kian tidak dapat mengelak lagi dan demi untuk kemenangannya dalam pemilihan ketua, juga untuk memperlihatkan kepada Lai Ban yang tidak mengandung niat baik itu bahwa dalam hal tenaga Tiat-ciang-kang dia pun tidak kalah, Ouw Kian lalu mengerahkan pula tenaga sinkang pada kedua tangannya dan dia menyambut pukulan Lai Ban.

   "Dessssss...!!"

   Hebat sekali pertempuran dua tenaga sinkang itu, seperti bertemunya dua toya baja yang keras! Ouw Kian terhuyung ke belakang sampai lima langkah, akan tetapi Lai Ban terjengkang dan roboh bergulingan. Biarpun dia cepat melompat bangun dengan muka merah, namun jelaslah bagi semua orang bahwa dalam pertempuran tenaga ini Lai Ban kalah setingkat oleh Ouw Kian! Ouw Kian cepat menjura dan berkata,

   "Maafkan aku dan terima kasih bahwa Susiok tadi mengalah."

   Akan tetapi ucapan ini seperti minyak menambah api yang berkobar di dada Lai Ban. Secepat kilat tangannya bergerak dan sebatang golok telah berada di tangannya, berkilauan saking tajamnya.

   "Ouw Kian, aku belum kalah! Dia yang terkuatlah yang patut menjadi ketua sebuah perkumpulan!"

   Cepat sekali Lai Ban sudah menerjang dengan goloknya. Golok bergagang emas itu menyambar ganas di dahului pukulan Tiat-siang-kang jarak jauh sehingga tentu saja hebat luar biasa!

   "Ahhh...!"

   Ouw Beng Kok mendengus marah dan Ouw Kian juga kaget, cepat dia mengelak ke samping. Akan tetapi Lai Ban yang memang ahli bermain golok, tidak memberi kesempatan kepada lawannya, goloknya berkelebatan dan menjadi segulung sinar keemasan yang menyambar-nyambar. Kepandaian Ouw Kian dalam hal Ilmu Silat Tiat-ciang-kun-hoat dan tenaga sakti Tiat-ciang-kang memang lebih tingi setingkat dibandingkan dengan Lai Ban, akan tetapi kalau Lai Ban mempergunakan goloknya tentu saja Ouw Kian bukan tandingannya. Biarpun sudah mengelak cepat, masih saja ujung golok menyerempet paha kiri Ouw Kian sehingga dia roboh terguling dengan paha mandi darah.

   "Lai Ban, manusia curang!"

   Tiba-tiba Ouw Beng Kok membentak dan tubuuhnya meloncat ke depan. Ia menudingkan telunjuknya dengan marah sekali ke arah muka wakilnya itu lalu berseru keras.

   "Sungguh perbuatanmu amat mencemarkan dan memalukan Tiat-ciang-pang! Sudah jelas bahwa ujian ini hanya terbatas pada ilmu kita, mengapa engkau menggunakan golok melukai Ouw Kian?"

   Beberapa orang pengurus cabang yang setia kepada Ouw Beng Kok segera menolong Ouw Kian memberi obat dan membalut luka di pahanya yang ternyata tidak hebat itu sehingga Ouw Kian sudah dapat berdiri kembali dan kini memandang kepada Lai Ban dan ayahnya penuh kekhawatiran. Ia tidak menghendaki bentrokan terjadi antara para pimpinan Tiat-ciang-pang sendiri. Lai Ban berdiri menghadapi Ouw Beng Kok dengan golok di tangan, sikapnya menantang ketika dia berkata,

   "Ouw-twako, sudah kukatakan bahwa aku tidak cocok dengan pendapatmu bahwa ilmu Tiat-ciang-kun-hoat tidak boleh dicampur dengan ilmu silat lain. Buktinya, setelah kucampur dengan Kim-to-hoat (Ilmu Golok Emas) memiliki kemampuan mengatasi Tiat-ciang-kun-hoat. Untuk menjadi ketua harus memiliki kepandaian yang paling tinggi, kalau tidak, bagaimana mungkin mampu memimpin perkumpulan? Kalau aku menjadi ketua, akan kupimpin perkumpulan kita menjadi maju dan besar, dan akan kuajar ilmu golok kepada para anggauta."

   "Lai Ban! Engkau hendak berkhianat? Apa sih hebatnya ilmu golokmu? Biarlah aku mencobanya dengan menggunakan Tiat-ciang-kang tanpa senjata!"

   Setelah berkata demikian, Ouw Beng Kok menerjang maju dengan kedua tangannya, mempergunakan jurus Tiat-ciang-kun-hoat menyerang wakil ketua perkumpulannya sendiri! Para penonton mulai menjadi gelisah. Peristiwa ini manjadi makin menegangkan dan hebat dan mereka dipaksa menjadi saksi pertikaian dalam perkumpulan itu. Mereka tidak berani ikut bicara karena maklum bahwa urusan itu tak berhak mereka mencampurinya.

   Mereka menjadi bingung dan hanya saling pandang, bahkan para anak buah Tiat-ciang-pang juga bingung, akan tetapi segera mereka terpecah menjadi dua golongan, ada yang mendukung Ouw Beng Kok, ada yang mendukung Lai Ban. Melihat serangan Ouw Beng Kok, Lai Ban melirik ke arah Thian- It Tosu sebagai isyarat agar suhengnya itu suka membantu karena dia maklum akan kelihaian si tangan besi ini, namun dia pun cepat menyambut dengan bacokan goloknya sambil melompat ke kiri. Terjadilah pertandingan yang lebih seru dan mati-matian. Akan tetapi, belasan jurus kemudian, ketika golok itu menyabar ke arah leher Ouw Beng Kok, ketua Tiat-ciang-pang ini tidak mengelak, bahkan secepat kilat dia menangkap golok itu dengan tangan kirinya yang palsu. Terdengar suara nyaring dan golok itu dapat dicengkeram, tak dapat terlepas lagi.

   "Begini sajakah ilmu golokmu?"

   Ouw Beng Kok berseru kemudian memukul dengan dengan kanannya, menggunakan Tiat-ciang-kang. Terpaksa Lai Ban juga menggerahkan tenaga pada tangan kirinya, menangis.

   "Plakkk!"

   Tubuh Ouw Beng Kok tergetar, akan tetapi dia masih tetap berdiri dan sekali dia mendorong, tubuh Lai Ban terlempar dan wakil ketua ini roboh sambil memegang goloknya, darah segar mengucur keluar dari mulutnya. Ia terluka, sungguhpun tidak hebat karena memang Ouw Beng Kok tidak hendak membunuhnya.

   "Nah, Lai Ban. Masihkah hendak kau katakan bahwa Tiat-ciang-kang perlu dicampur dengan segala macam ilmu golok?"

   Ouw Beng Kok membentak.

   "Siancai.... siancai.... ucapanmu sungguh-sungguh terkebur sekali, Ouw-pangcu!"

   Tampak tubuh berkelebat dan Thian It Tosu yang berjubah kuning dan membawa golok di punggungnya telah berdiri di depan ketua Tiat-ciang-pang. Tosu tinggi kurus itu tersenyum mengejek dan berkata.

   "Ouw-pangcu, mengapa engkau mencela ilmu golok kami? Benar-benarkah engkau tidak memandang mata kepada Kim-to-hoat kami? Kalau begitu, pinto menantang Pangcu menghadapi ilmu golok perguruan kami, hendak pinto lihat sampai dimana sih hebatnya Tiat-ciang-kang yang tersohor!"

   Ouw Beng Kok menoleh dan cepat menjura, kemudian berkata,

   "Maaf, Totiang. Urusan ini adalah urusan dalam perkumpulan kami sendiri dan sama sekali saya tidak memandang rendah ilmu golok Totiang. Saya hanya mencela Lai Ban karena dia adalah wakil ketua perkumpulan kami. Saya tuan rumah dan Totiang seorang tamu terhormat, bagaimana saya berani bersikap tidak hormat ? Harap Totiang sudi duduk kembali."

   Setelah berkata demikian, Ouw Beng Kok kembali ke tempat duduknya dan meninggalkan Thian It Tosu karena dia tidak mau memancing keributan dalam pesta itu, sungguhpun hal ini bukan berarti bahwa dia takut terhadap ketua Kim-to Bu-koan itu.

   "Ha-ha-ha-ha-ha, Ouw-pangcu benar cerdik! Tentu saja ilmu golok Lai-sute tidak mewakili ilmu golok kami yang sejati karena ilmu golok Sute sudah bercampur dengan segala macam ilmu silat cakar setan! Betapapun juga, apa yang diusulkan Sute tadi amatlah tepat. Mengapa di antara kita harus bertentangan? Alangkah akan baiknya kalau perkumpulan Tiat-ciang-pang dan Kim-to Bu-koan disatukan, kedua ilmu kita dipersatukan pula sehingga menjadi ilmu yang tinggi, sedangkan nama perkumpulan kalau diubah menjadi Kim-to-tiat-ciang-pang (Perkumpulan Golok Emas Tangan Besi) bukanlah lebih gagah dan mentereng? Bukan sekali-kali karena pinto terlalu kepingin mempelajari Tiat-ciang-kang, karena sampai detik ini pun pinto tidak pernah merasai kelihaian Tiat-ciang-kang, seperti juga para tokoh Tiat-ciang-pang belum merasai kelihaian kim-to sebenarnya. Tiat-ciang-kang mengandalkan tangan yang keras melebihi baja, dapat mencengkeram golok dan menghancurkan batu. Wah, tentu hebat sekali apakah di antara tokoh Tiat-ciang-pang ada yang begitu baik hati untuk mencengkeram tangan pinto agar pinto dapat merasai kehebatannya? Hayo, siapa sudi berjabat tangan dengan pinto dan menggunakan Tiat-ciang-kang?"

   Tosu itu mengulurkan tangan kanannya yang kurus, menantang untuk berjabat tangan! Karena kini yang mencampuri urusan adalah orang luar, melihat sikap tosu itu yang amat memandang rendah Tiat-ciang-kang, semua anggota Tiat-ciang-pang menjadi penasaran dan marah. Akan tetapi karena makluk betapa lihainya tosu yang sombong ini apalagi ketika mendengar bahwa tosu itu adalah ketua Kim-to Bu-koan, suheng dari Lai Ban, mereka menjadi gentar. Hanya ada dua orang ketua cabang yang merasa amat marah sudah melompat ke depan tosu itu dan mereka ini sambil menahan kemarahan, menjura dan berkata,

   "Kami memiliki sedikit tenaga Tiat-ciang-kang, biarpun belum sempurna biarlah kami mewakili Tiat-ciang-pang untuk menjabat tangan dengan Totiang."

   Ouw beng Kok mengerutkan keningnya. Ia maklum bahwa kedua orang muridnya itu baru menguasai seperempat bagian saja dari Tiat-ciang-kang, akan tetapi karena ingin pula dia mengetahui sampai di mana kekuatan tosu itu dan apa kehendaknya, maka dia tidak melarang karena melarang pun hanya berarti jerih. Sebaliknya, Thian It Tosu memandang rendah, lalu mengulurkan kedua tangannya yang kurus dan berkata,

   "Baik sekali ji-wi Sicu suka memberi pelajaran agar membuka mata pinto. Inilah kedua tanganku, kalau sampai hancur oleh remasan Tiat-ciang-kang ji-wi, pinto takkan menyesal."

   Dua orang ketua cabang itu lalu menyambut uluran tangan si tosu, yang kanan disambut dengan tangan kanan sedangkan yang kiri disambut pula dengan tangan kiri. Setelah mereka saling menggenggam tangan, dua orang ketua cabang itu mengerahkan tenaga Tia-ciang-kang mereka, mencengkeram dan meremas tangan yang kecil dan kelihatan lemah itu.

   "Krek! Krek!"

   Tosu itu tertawa dan melepaskan tangannya sedangkan dua orang ketua cabang Tiat-ciang-pang itu meringis kesakitan, memegangi tangan mereka yang patah tulangnya!

   "Siancai.... kiranya tangan ji-wi tidak seperti besi, melainkan seperti kerupuk!"

   Mendengar ejekan ini, Ouw Kian tak dapat menahan kemarahannya lagi dan dia melamgkah maju ke depan tosu itu sambil membentak,

   "Tosu sombong, biarlah aku mencoba tanganmu dengan tiat-ciang-kang!"

   Ia lalu mengulur tangan kanannya yang tampak kuat. Tanpa ragu-ragu tosu itu menerima uluran tangan Ouw Kian dan mereka saling cengkeram. Berbeda dengan adu tangan tadi, kini mereka saling mengerahkan tenaga dan kedua tangan mereka sampai menggigil. Diam-diam tosu itu kaget dan kagum karena memang Tiat-ciang-kang orang muda itu hebat. Akan tetapi karena tingkat kepandaiannya lebih tinggi dan sinkangnya lebih kuat, maka perlahan-lahan Ouw-Kian merasa betapa tangannya dihimpit dan dicengkeram hebat. Ia mengerahkan tenaga, mempertahankan diri, namun sampai peluhnya memenuhi dahi, dia tidak mampu mendesak bahkan makin dihimpit sehingga tangannya terasa sakit sekali.

   "Krekkk...!"

   Tulang tangan Ouw Kian ada yang patah, mukanya menjadi pucat saking nyerinya, akan tetapi tosu itu sambil tertawa-tawa tidak mau melepaskan cengkeramannya karena dia hendak mencengkeram hancur tangan Ouw Kian yang menjadi saingan sutenya ini. Hebat penderitaan Ouw Kian. Ia masih mengerahkan tenaga, namun rasa sakit membuat dia kurang kuat dan kembali terdengar suara "krek"! ketika tulang jari ke dua patah! Masih juga tosu itu belu mau melepaskan tangannya!

   Melihat ini, semua orang menjadi pucat, dan Ouw Beng Kok cepat bangkit berdiri dan membentak.

   "Tosu jahanam, akulah lawanmu!"

   Ia menerjang maju. Thian It Tosu tertawa, melepaskan tangannya dan mengirim tendangan kepada Ouw Kian yang sudah lemas itu sehingga tubuh Ouw Kian terlempar. Dengan ringan sekali tosu itu mengelak, mencabut goloknya dan balas menyerang dengan kelebatan goloknya dari samping dapat dielakkan pula oleh Ouw Beng Kok.

   "Ha-ha-ha, kiranya pimpinan Tiat-ciang-pang hanya tukang mengeroyok belaka."

   Tosu itu mengejek.

   "Marilah Ouw-pangcu. Mari kita uji mana yang lebih lihai antara Tiat-ciang-kang ilmumu itu dengan ilmu pinto Kim-to-hoat!"

   Ia menggerak-gerakkan goloknya di depam dada dan tampak sinar berkeredepan. Ternyata ilmu golok tosu ini jauh melampaui ilmu golok Lai Ban. Hal ini dapat dilihat pula oleh Ouw Beng Kok yang diam-diam maklum bahwa sekali ini, untuk menjaga nama baiknya, dia harus bertempur mati-matian mengadu nyawa dengan tosu ini. Ia sudah siap untuk mati kalau perlu, maka dia lalu memasang kuda-kuda dan membentak,

   

Si Tangan Sakti Eps 16 Si Tangan Sakti Eps 15 Si Bangau Merah Eps 2

Cari Blog Ini