Ceritasilat Novel Online

Si Tangan Sakti 15


Si Tangan Sakti Karya Kho Ping Hoo Bagian 15



Biarpun khawatir sekali ayah anak itu tidak berani membantah lagi. Mereka tadi sudah melihat betapa mudahnya pemuda bercaping ini mengalahkan empat orang pengacau, akan tetapi mereka tahu belaka betapa kuatnya Thian-li-pang dan kalau mereka semua itu datang, apakah pemuda itu akan mampu menghadapi mereka seorang diri saja? Dua orang tosu Pat-kwa-pai yang sedang bermain-main ke Thian-li-pang tadi, tentu saja tidak mau tinggal diam. Mereka terluka dan masing-masing menderita kesakitan dengan sebatang sumpit masih menancap dan menembusi pundak mematahkan tulang pundak, dan dua orang teman mereka ditawan.

   Mereka cepat mendaki lereng Bukit Naga yang menjadi sarang Thian-li-pang dan sambil meringis kesakitan mereka melapor kepada para anggauta Thian-li-pang yang melakukan penjagaan di pintu gerbang perkampungan perkumpulan itu. Tentu saja para anggauta Thian-li-pang menjadi gempar dan marah mendengar bahwa dua orang kawan mereka dirobohkan seorang asing di dusun yang berada di kaki bukit. Mereka segera melapor kepada kepala jaga. Mereka menganggap urusan itu terlalu kecil untuk dilaporkan kepada ketua, bahkan mereka tidak ingin ketua mendengar bahwa mereka tidak mampu membereskan urusan kecil itu.

   "Di mana jahanam itu sekarang? tanya seorang murid yang tingkatnya lebih tinggi.

   "Di dalam kedai arak dusun itu,"

   Kata dua orang tosu itu. Murid yang termasuk tingkat atas dari Thian-li-pang itu mengumpulkan empat orang saudara lain.

   "Kalian tetap berjaga saja di sini, kami berlima yang akan menghajarnya."

   Katanya dan lima orang yang memiliki tingkat tiga di Thian-li-pang itu segera turun dari lereng bukit sambil berlari cepat.

   Sebentar saja, lima orang murid Thian-li-pang yang usianya kurang lebih tiga puluh tahun ini telah tiba di depan kedai arak itu. Mereka melihat betapa kedai arak itu sepi sekali, dan ada beberapa orang yang mengintai dari jauh dengan sikap ketakutan. Dengan sikap gagah lima orang itu memasuki kedai dan ternyata di dalam ruangan kedai yang biasanya penuh tamu itu, sekarang kosong. Hanya ada seorang tamu sedang minum-minum seorang diri di sudut dan mereka melihat orang itu mengenakan caping lebar sehingga tidak nampak mukanya. Dan mereka melihat pula dua orang adik seperguruan mereka duduk bersandar dinding di lantai sudut itu dengan muka berlumuran darah! Ketika dua orang itu melihat lima orang kakak seperguruan mereka muncul di pintu rumah makan, mereka segera bangkit.

   "Suheng, tolonglah kami...."

   Kata mereka dan mereka hendak menghampiri kawan-kawan mereka, akan tetap begitu tangan Yo Han bergerak, dua butir kacang menyambar dan mengenai dada kedua orang itu, membuat mereka mengeluh dan roboh kembali! Melihat itu, lima orang yang baru datang tentu saja menjadi marah sekali.

   "Jahanam busuk!"

   Bentak seorang di antara mereka dan lima orang itu serentak menyerang Yo Han dari sekelilingnya. Yo Han masih tetap duduk di atas bangkunya, kedua tangannya bergerak, juga kedua kakinya menyambar dan empat orang pengeroyok roboh terpelanting! Orang kelima yang melihat ini, terbelalak kaget dan dengan jerih dia melangkah mundur.

   Empat orang yang roboh itu mencoba untuk mencabut pedang dan menyerang lagi, akan tetapi sebelum mereka dapat melakukan serangan, kembali kaki tangan Yo Han bergerak tanpa dia turun dari bangkunya dan empat orang itu roboh kembali, pedang mereka terlepas berkerontangan dan mereka tidak mampu bangkit. Melihat ini orang ke lima segera meloncat keluar dan melarikan diri ketakutan. Dia tidak tahu bahwa memang Yo Han sengaja melepasnya, dengan maksud agar dia melapor kepada pimpinan Thian-li-pang. Dengan tenang dia lalu turun dari bangkunya, dan bagaikan mencengkeram punggung baju mereka dan melemparkan mereka satu demi satu ke sudut sehingga kini di situ berserakan dan bertumpuk enam orang anggauta Thian-li-pang. Ketika melakukan. ini, enam orang itu dapat sekilas melihat tampangnya dan dua di antara mereka terbelalak.

   "Sin.... ciang.... Tai-hiap...."

   Mereka berbisik dan jatuh pingsan saking kaget dan takutnya. Tentu saja mereka ketakutan sekali karena mereka telah melawan pemimpin besar Thian-li-pang!

   Apalagi mereka juga menyadari bahwa mereka telah melakukan penyelewengan besar dari garis-garis yang ditentukan pemimpin besar ini, menyadari bahwa Thian-li-pang telah berubah semenjak ketua Lauw Kang Hui tewas dan pimpinan dipegang oleh Ouw Seng Bu. Yo Han tidak peduli dan melanjutkan minum seorang diri. Dia harus meluruskan kembali Thian-li-pang seperti pesan mendiang suhunya, yaitu kakek Ciu Lam Hok. Dia sengaja merobohkan para anggauta Thian-li-pang dan menumpuk mereka di sudut ruangan rumah makan itu untuk memancing datangnya para pimpinan Thian-li-pang ke situ, terutama sekali Lauw Kang Hui. Dia tidak langsung datang ke Thian-li-pang karena maklum betapa besar bahayanya kalau dia melakukan itu. Kalau benar para pemimpin Thian-li-pang sudah menyeleweng dan dia dimusuhi,

   Maka mendatangi pusat Thian-li-pang sama dengan menghadapi buaya besar karena Thian-li-pang memiliki anggauta yang rata-rata kuat, juga para pemim-pinnya lihai di samping tempat itu berbahaya dan penuh rahasia. Dia harus dapat memancing para pemimpinnya keluar ke rumah makan ini, agar lebih leluasa dia turun tangan menghajar mereka dan memaksa mereka ke jalan benar seperti dikehendaki mendiang Ciu Lam Hok gurunya. Sementara itu, anggauta Thian-li-pang yang ketakutan dan lari pulang, membuat para anggauta lainnya menjadi gem-par. Mereka tidak berani menganggap persoalan itu kecil lagi, apalagi ketika rekan mereka menceritakan betapa empat kawannya roboh dengan mudah sekali oleh si caping lebar yang aneh. Mereka lalu berangkat untuk melaporkan peristiwa itu kepada ketua mereka.

   Ketika itu, ketua Thian-li-pang yang baru, Ouw Seng Bu, sedang menjamu dua orang tamu yang dihormatinya, yaitu Cu Kim Giok dan Siangkoan Kok. Seperti telah diceritakan dibagian depan, Cu Kim Giok tertarik kepada Ouw Seng Bu dan menganggap pemuda itu seorang ketua perkumpulan besar Thian-li-pang yang tampan, gagah perkasa dan berjiwa patriot, membuat ia merasa tunduk dan kagum bukan main. Adapun Siangkoan Kok, bekas ketua Pao-beng-pai, juga dapat ditundukan Ouw Seng Bu dengan ilmunya yang luar biasa sehingga kini Siankoan Kok yang sudah hancur perkumpulannya itu mau menggabungkan diri untuk menentang pemerintah dan mencari kedudukan yang tinggi. Demikian besar rasa kagum Cu Kim Giok kepada Ouw Seng Bu sehingga ia tidak berkeberatan untuk makan bersama dua orang tosu wakil Pek-lian-kauw dan dua orang tosu wakil Pat-kwa-pai yang datang sebagai tamu Thian-li-pang.

   Padahal, sejak kecil ia sudah mendengar dari ayah ibunya bahwa pek-lian-kauw adalah perkumpulan yang banyak melakukan kejahatan, walaupun perkumpulan itu terkenal sebagai perkumpulan yang menentang pemerintah Mancu. Alasan yang dikemukakan Ouw Seng Bu bahwa untuk menentang penjajah, semau kekuatan harus bersatu, tanpa membeda-bedakan antar golongan putih atau hitam, dapat ia terima bahkan membenar-kannya. Demikianlah, pada saat itu, Ouw Seng Bu, makan minum semeja dengan Siangkoan Kok, Co Kim Giok, dan empat orang tosu, yaitu dua tokoh Pat-kwa-pai dan dua orang tokoh Pek-lian-kauw. Wakil Pat-kwa-pai yang bertubuh tinggi kurus bernama Im-yang-ji, murid kepala dari ketua Pat-kwa-paiyang lihai, bersama adik seperguruannya.

   Adapun wakil Pek-lian-kauw adalah kui Thian-cu yang sudah kita kenal ketika dia mewakili Pek-lian-kauw hadir dalam pesta yang diadakan Siangkoan Kok ketika masih menjadi ketua Pao-beng-pai, bersama seorang adik seperguruannya pula.Ouw Seng Bu yang merasa bergembira sekali telah mendapatkan dua sekutu yang boleh dibanggakan, Siangkoan Kok yang selain amat lihai juga dapat diharapkan menghimpun banyak orang menjadi anak buah mereka, dan Cu Kim Giok. Gadis puteri majikan Lembah Naga Siluman ini tentu saja merupakan seorang sekutu yang amat besar artinya, karena tentu akan dapat menjadi jembatan agar para tokoh kang-ouw lainnya suka bergabung dengan Thian-li-pang. Selain itu, sejak pertemuan yang pertama kalinya, hati Ouw Seng Bu sudah terjerat dan dia tahu bahwa dia jatuh cinta kepada gadis yang bermata indah, dan amat manis itu.

   "Mari kita minum untuk persatuan antara kita yang kokoh kuat untuk menumbangkan penjajah dan mengusir mereka dari tanah air tercinta!"

   Kata Ouw Seng Bu penuh semangat.

   Enam orang lain yang duduk semeja itu menyambut dengan penuh semangat pula, bahkan Cu Kim Giok merasa bangga karena ia merasa yakin bahwa ayah ibunya tentu akan merasa bangga pula melihat puteri mereka kini bersekutu dengan para pejuang yang hendak menumbangkan pemerintah penjajah Mancu! Baru saja mereka mengosongkan cawan, seorang anggauta Thian-li-pang tergopoh-gopoh memasuki ruangan itu. Dia adalah kepala jaga, dan biarpun dalam hal tingkatan, orang ini masih adik seperguruan Ouw Seng Bu, yaitu murid mendiang Lauw Kang Hui, akan tetapi karena kini Ouw Seng Bu telah menjadi ketua dan orang itu bukan lain hanya seorang anak buah, ketua Thian-li-pang yang masih muda itu mengerutkan alisnya dan merasa terganggu.

   "Hemmm, ada urusan apa sampai engkau datang mengganggu kami?"

   Bentaknya dengan sikap berwibawa.

   "Harap maafkan kelancangan saya, Pangcu. Akan tetapi saya hendak melapor bahwa ada seseorang yang telah merobohkan dan menawan enam orang anggauta kita di kedai arak dusun bawah sana."

   Kerut di antara mata Seng Bu semakin mendalam dan matanya mencorong marah.

   "Hemmm, muncul seorang pengacau saja kalian tidak mampu membereskannya sendiri dan masih melapor kepada kami?"

   "Maaf, Pangcu. Mula-mula, dua orang anggauta kita bersama seorang teman anggauta Pat-kwa-pai dan seorang anggauta Pek-lian-kauw minum di kedai itu, bertemu dengan si pengacau yang merobohkan dua orang anggauta kita, akan tetapi hanya melukai dua orang tosu sahabat dan membiarkan mereka pergi. Dua orang anggauta Thian-li-pang itu ditawannya di kedai. Kemudian, lima orang saudara tua kami turun lereng untuk memberi hajaran. Akan tetapi, empat orang di antara mereka roboh dan ditawan, seorang dapat melarikan diri melapor dan menurut laporannya, empat orang saudara tua itu dalam segebrakan saja roboh oleh pengacau yang bercaping lebar itu."

   "Hemmm....!"

   Ouw Seng Bu diam-diam terkejut. Yang disebut saudara tua adalah para anggauta yang tingkatnya sejajar dengannya, yaitu murid atau murid keponakan mendiang Lauw Kang Hui. Kalau empat orang di antara mereka roboh dengan mudah oleh pengacau itu, dapat dibayangkan betapa lihainya orang itu.

   "Ah, siapa berani melukai anggauta Pat-kwa-pai dan Pek-lian-kauw?"

   Seru Im Yang-ji, tokoh Pat-kwa-pai dengan marah. Dia sudah mulai mabuk maka mudah sekali panas hati mendengar bahwa seorang anak buahnya dilukai orang.

   "Toyu, kita harus menghajar orang itu!"

   Katanya kepada dua orang tosu Pek-lian-kauw. Kui Thian-cu mengangguk dan bangkit berdiri, memberi hormat kepada Seng Bu sambil berkata,

   "Pangcu, biarlah kami berempat yang menghajar orang itu dan menyeretnya ke sini agar Pangcu dapat menghukumnya. Pangcu tidak perlu marah-marah dan terganggu makan, minum. Sebaiknya, Pangcu, Nona dan Siangkoan Lo-cian-pwe melanjutkan makan minum. Kami berempat akan segera kembali menyeret si pengacau itu."

   Ouw Seng Bu mengangguk dan bangkit berdiri membalas penghormatan empat orang tosu itu.

   "Kalau Cu-wi hendak menghajar si pengacau yang telah melukai anggauta Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-pai, silakan dan harap jangan membunuhnya karena saya ingin melihatnya dan menanyainya mengapa dia berani memusuhi kita."

   Empat orang tosu itu mengangguk dan ke luar dari ruangan itu dengan langkah lebar. Setelah mereka pergi, Ouw Seng Bu menoleh kepada Cu Kim Giok sambil tersenyum.

   "Aih, ada-ada saja. Sayang sekali masih terdapat orang-orang yang tidak menghargai perjuangan kita sehingga mereka itu bukan mem-bantu kita, bahkan memusuhi kita dan rela menjadi antek penjajah Mancu. Siapa tidak akan merasa menyesal kalau orang-orang pandai yang termasuk golongan pendekar, seperti Sin-ciang Tai-hiap Yo Han itu, membiarkan dirinya menjadi anjing penjilat dan antek penjajah Mancu"

   "Sangat menyakitkan hati memang!"

   Kata Siangkoan Kok sambil menuangkan arak dari cawan ke dalam mulutnya.

   "Bahkan para pendekar dari keluarga pendekar terbesar di dunia persilatan, rela mengekor kepada penjajah Mancu. Harap maafkan aku, nona Cu. Selama ini, aku belum pernah mendengar keluarga Cu dari Lembah Naga Siluman menjadi antek Mancu walaupun hubungan keluargamu dekat sekali dengan keluarga Pulau Es dan Gurun Pasir. Dua keluarga pendekar itu sejak dahulu membantu penjajah Mancu, sungguh mengecewakan sekali. Apakah mereka tidak tahu bahwa bangsa Mancu adalah bangsa liar yang menjajah tanah air dan bangsa? Kita berjuang untuk membebaskan bangsa dari cengkeraman penjajah, dan mereka tidak membantu kita malah memusuhi kita!"

   Wajah Kim Giok berubah agak kemerahan. Selain pengaruh arak, juga hatinya tersentuh.

   Ia telah jatuh cinta kepada Ouw Seng Bu dan merasa yakin akan kebenaran pemuda itu, akan kemurnian perjuangan melawan penjajah, dan ia pun tahu bahwa di antara keluarga Pulau Es dan Gurun Pasir, memang terdapat hubungan yang akrab dengan kerajaan Mancu, bahkan ada pertalian hubungan darah. Biarpun ayah ibunya tidak pernah memusuhi kerajaan Mancu secara berterang, akan tetapi juga mereka tidak pernah menjadi pembantu langsung atau pejabat. Akan tetapi, harus diakui bahwa keluarga orang tuanya dekat dengan keluarga Pulau Es dan Gurun Pasir. Kini pandangannya kepada Siangkoan Kok juga berubah. Kakek ini adalah seorang pejuang sejati, pikirnya, seperti juga Seng Bu, walaupun kakek ini berwatak keras dan aneh, tidak seperti Seng Bu
(Lanjut ke Jilid 14)
Si Tangan Sakti (Seri ke 16 - Serial Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 14
yang halus dan tampan.

   "Biarpun, keluarga Pulau Es dan Gurun Pasir tidak memusuhi kita secara terang-terangan, namun mereka tidak mau bersatu dengan kita untuk menghancurkan penjajah. Kita harap saja nona Cu akan dapat membujuk mereka dan membuka mata mereka betapa pentingnya perjuangan menentang penjajah. Yang kukhawatirkan hanyalah satu orang saja yaitu Sin-ciang Tai-hiap...."

   "Hemmm, orang itu memang berbahaya dan dia pun telah menjadi antek penjajah. Bahkan dia bergaul akrab sekali dengan seorang pangeran Mancu, yaitu Pangeran Cia Sun."

   Kata Siangkoan Kok yang lalu menceritakan dengan singkat betapa Yo Han dan Pangeran Cia Sun pernah menyelundup ke dalam perkumpulannya, Pao-beng-pai sehingga mengakibatkan perkumpulannya itu dihancurkan pasukan pemerintah.

   "Jelas bahwa pasukan itu dibawa datang oleh Yo Han dan Cia Sun yang bekerja sebagai mata-mata,"

   Katanya.

   "Yo Han memang harus dibasmi. Dia pun merupakan ancaman bagi Thian-li-pang, karena dia pernah diangkat oleh men-diang suhu Lauw Kang Hui sebagai pemimpin Thian-li-pang. Dia dapat sewaktu-waktu muncul di sini dan menggunakan hak kekuasaannya untuk mengubah Thian-li-pang, dari perkumpulan pejuang menjadi perkumpulan pengekor kerajaan Mancu."

   Kata Seng Bu penasaran.

   "Biarpun dia datang. Kita sambut dia dengan pedang aku akan membantumu menundukkannya, Pangcu."

   Kata Siangkoan Kok yang masih merasa sakit hati kalau teringat kepada Yo Han dan Cia Sun yang dianggap menjadi penyebab kehancuran Pao-beng-pai.

   "Akan tetapi, dia lihai bukan main, paman Siangkoan,"

   Kata Seng Bu,

   "Sebaiknya kalau kita menggunakan siasat untuk menundukkannya, dan kuharap Paman dan juga nona Cu suka memban-tuku untuk menundukkannya kalau dia berani datang di sini."

   "Tentu saja aku akan membantumu, Pangcu,"

   Kata Kim Giok tanpa ragu lagi, Sin-ciang Tai-hiap adalah seorang yang jahat, pikirnya, telah mengkhianati Thian-li-pang, membunuh ketua Thian-li-pang, bahkan bergaul dengan Pangeran Cia Sun dari kerajaan Mancu. Yo Han telah membunuh banyak tokoh Thian-li-pang dan orang sejahat itu memang harus ditentang.

   "Kalau perlu, kita minta bantuan tenaga ketua Pek-lian-kauw dan ketua Pat-kwa-pai,"

   Kata Siangkoan Kok yang diam-diam juga merasa jerih terhadap Sin-ciang Tai-hiap.

   "Memang aku sudah mempunyai rencana, dan sudah mengirim surat kepada mereka,"

   Kata Seng Bu. Mereka melanjutkan makan minum dan merasa yakin bahwa dua orang tosu Pek-lian-kauw dan dua orang tosu Pat kwa-pai tadi akan mampu membereskan kerusuhan dan menyeret pengacaunya ke markas Thian-li-pang. Empat orang tosu itu memasuki rumah makan dengan hati-hati, dan di belakang mereka nampak dua belas orang anggauta Thian-li-pang tingkat tertinggi, siap dengan pedang di tangan.

   Ketika mereka memasuki pintu depan rumah makan, Kui Thian-cu tokoh Pek-lian-kauw yang memimpin rombongan. itu, memberi isyarat kepada kawan-kawannya untuk berhenti. Tadi dia sudah merundingkan dengan Im-yang-ji dan dua orang tosu lain untuk mempermainkan pengacau yang berada di rumah makan itu dengan mempergunakan kekuatan sihir. Kini, mereka berempat mengerahkan kekuatan sihir, mempersatukan kekuatan mereka, mulut mereka berkemak-kemik membaca mantram, mata mereka memandang ke arah caping yang menutupi kepala dan muka Yo Han, kemudian mereka menudingkan telunjuk kanan ke arah caping itu. Kui Thian-cu yang menjadi juru bicara mereka berempat, segera berkata dengan suara bergema dan mengandung kekuatan sihir.

   "Caping yang berada di atas kepala pengacau, terbanglah ke sini!"

   Para anggauta Thian-li-pang yang bergerombol di luar pintu rumah makan itu terbelalak heran dan kagum melihat betapa caping yang menutupi kepala orang yang duduk membelakangi mereka di sudut itu tiba-tiba saja terbang melayang ke atas meninggalkan kepala itu, dan empat orang tosu itu sudah siap untuk mentertawakan Yo Han. Akan tetapi wajah mereka yang tadinya menyeringai itu berubah seketika ketika caping yang melayang ke atas itu kini menyambar ke arah mereka seperti peluru yang berputar-putar mengeluarkan suara berdesing!

   Tentu saja mereka terkejut bukan main dan mereka cepat mengelak. Caping itu seperti berubah menjadi seekor burung elang yang menyambar-nyambar kepala mereka sehingga mereka sibuk berloncatan ke sana-sini. Akhirnya, setelah gagal memperoleh korban caping itu melayang kembali ke arah kepala pemiliknya dan hinggap di atas kepala seperti burung terbang kembali ke sarangnya! Kini empat orang tosu itu saling pandang, maklum bahwa pemilik caping itu telah mempermainkan mereka dan bahwa kekuatan sihir mereka tadi sama sekali tidak berhasil! Kui Thian-cu yang melihat betapa ruangan itu terlalu sempit dan banyak terhalang meja dan bangku sehingga kawan-kawannya tidak akan leluasa untuk mengeroyok lawan yang agaknya amat lihai ini, segera membentak,

   "Orang bercaping sombong! Engkau berani melukai para anggauta Thian-li-pang, Pat-kwa-pai dan Pek-lian-kauw. Kalau engkau memang berkepandaian, dan bukan seorang pengecut, keluarlah dan mari kita mengadu kepandaian di luar yang luas! Kalau engkau tidak mau keluar, kami akan membakar rumah ini!"

   Setelah berkata demikian, Kui Thian-cu memberi isyarat dan bersama teman-temannya, dia pun melangkah keluar dan menanti di luar rumah makan. Mendengar ucapan yang bernada mengancam itu, pemilik kedai dan puterinya menjadi ketakutan, nekat keluar dari persembunyian mereka dan menjatuhkan diri berlutut di depan Yo Han.

   "Tai-hiap.... tolonglah.... harap Tai-hiap keluar dari sini dan berkelahi diluar saja....jangan sampai rumah kami dibakar....!"

   Juga enam orang anggauta Thian-li-pang yang masih meringkuk di sudut ruangan itu dan tidak berani bergerak, menjadi pucat ketakutan. Mereka sejak tadi takut pergi dari situ, takut kalau dirobohkan lagi oleh si caping lebar yang amat lihai. Akan tetapi sekarang ada ancaman dari tosu tadi, kalau mereka diam saja di situ, tentu mereka akan ikut terbakar! Yo Han tentu saja tidak ingin merugikan si pemilik rumah makan, tanpa men-jawab dia pun menyambar buntalan pakaiannya, menggendong buntalan pakai-annya, mengeluarkan sepotong emas dan melemparkannya ke atas meja.

   "Ini untuk pengganti semua kerugianmu, Paman,"

   Katanya sambil melangkah keluar perlahan-lahan. Tentu saja ayah dan anak itu terkejut dan gembira bukan main. Pemberian itu puluhan kali lebih banyak daripada kerugian yang mereka derita. Sementara itu, ketika si caping lebar melangkah lambat-lambat keluar dari rumah makan, empat orang tosu dan selosin anggauta Thian-li-pang memandang dengan hati tegang. Yo Han melangkah dengan muka ditundukkan sehingga mereka belum dapat melihat wajahnya. Setelah tiba di depan empat orang tosu itu, Yo Han berhenti melangkah.

   "Heiii, orang asing!"

   Bentak Kui Thian-cu marah.

   "Siapakah engkau dan apa pula sebabnya engkau melukai para anggauta Thian-li-pang, Pat-kwa-pai dan Pek-liankauw?"

   Tanpa mengangkat mukanya yang menunduk dan tertutup caping, Yo Han menjawab, suaranya terdengar dingin,

   "Sejak dahulu Pat-kwa-pai dan Pek-lian-kauw adalah penjahat-penjahat yang berkedok perjuangan, tidak aneh kalau hari ini mereka melakukan kejahatan. Akan tetapi, Thian-li-pang adalah pejuang-pejuang sejati, sekarang anak buahnya menyeleweng, patut disesalkan dan dibuat penasaran!"

   "Keparat, enak saja engkau membuka mulut! Perlihatkan mukamu, atau engkau begitu pengecut untuk memperkenalkan diri?"

   "Kui Thian-cu, aku bukan orang asing bagimu,"

   Kata Yo Han dan kini dia mengangkat mukanya sehingga sekilas nampak wajahnya, akan tetapi dia sudah menunduk kembali. Mereka yang sudah mengenalnya, terkejut, termasuk Kui Thian-cu.

   "Ah, kiranya Sin-ciang Tai-hiap? Sejak kapan engkau memusuhi Pat-kwa-pai dan Pek-lian-kauw?"

   "Kui Thian-cu, aku tidak memusuhi siapapun, akan tetapi akan menghajar siapa saja yang berbuat jahat. Anak buah Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-pai melakukan kejahatan bersama anak buah Thian-li-pang yang menyeleweng, maka kuhajar mereka. Pergilah dan jangan mencampuri urusanku dengan Thian-li-pang, ini merupakan urusan dalam Thian-li-pang sendiri."

   Akan tetapi Kui Thian-cu sudah marah sekali, apalagi memang dia tahu bahwa ketua Thian-li-pang, sekutunya, harus membunuh orang ini yang merupakan ancaman bagi perkumpulan itu,

   "Serang dan bunuh dia!"

   Bentaknya dan dia pun sudah menggerakkan pedangnya, diikuti Im Yang-ji dan dua tosu lain yang sudah mencabut pedang.

   Yo Han dikeroyok empat orang tosu! Yo Han bergerak cepat, tubuhnya berkelebatan dan menyelinap di antara gulungan sinar empat batang pedang itu. Sementara itu, selosin anak buah Thian-li-pang tadi terkejut bukan main ketika melihat wajah Yo Han. Akan tetapi, mereka semua telah menjadi anak buah Ouw Seng Bu dan mereka sudah ikut melakukan penyelewengan, maka tentu saja mereka pun tidak menghendaki Yo Han yang berkuasa di Thian-li-pang karena hal itu akan berarti hilangnya semua kesenangan yang selama ini mereka peroleh semenjak Seng Bu menjadi ketua. Maka, mereka pun serentak ikut mengeroyok! Seorang di antara mereka diam-diam sudah lari naik ke lereng bukit untuk melapor kepada ketuanya. Ketika dia tiba di pusat, Thian-li-pang, Ouw Seng Bu yang menjamu Siangkoan Kok dan Cu Kim Giok, baru saja selesai makan minum.

   "Celaka, Pangcu. Sin-ciang Tai-hiap Yo Han telah muncul. Dialah orang yang mengacau tadi!"

   Anggauta itu melapor dengan suara gemetar. Mendengar ini, Ouw Seng Bu me-loncat bangkit dan dia nampak gugup. Akan tetapi, melihat Siangkoan Kok dan Cu Kim Giok di situ, dia menenangkan diri.

   "Di mana dia sekarang?"

   "Dia berada di luar rumah makan, dikeroyok oleh keempat orang tosu dan sebelas orang anggauta kita, Pangcu. Saya lari pulang untuk melapor kepada Pangcu."

   Ouw Seng Bu yang amat cerdik itu bertindak cepat sekali.

   "Paman Siangkoan Kok, harap Paman tidak mem-perlihatkan diri kepada Yo Han dan bersembunyi di dalam kamar Paman. Nona Cu, harap engkau beristirahat di dalam kamarmu sampai nanti aku memberitahukan segalanya kepadamu. Aku akan menghadapi Yo Han dan menerimanya dengan baik-baik untuk mencegah jatuhnya banyak korban."

   Siangkoan Kok dan Cu Kim Giok mengangguk dan mereka pergi ke kamar masing-masing yang sudah diberikan kepada mereka sejak mereka tiba di situ. Ouw Seng Bu cepat mengumpulkan anak buahnya dan dengan tegas memesan agar mereka semua memperlihatkan sikap lunak dan takluk kepada Yo Han dan bersikap seperti dahulu agar tidak menimbulkan kecurigaan di hati Pendekar Tangan Sakti. Kemudian, dia menuju ke kamar Cu Kim Giok dan mengetuk daun pintunya. Setelah Cu Kim Giok muncul, Ouw Seng Bu berkata,

   "Nona Cu, sekarang saatnya engkau membantuku. Aku ingin menalukkan Yo Han tanpa mendatangkan banyak korban, dan aku akan berpura-pura tidak tahu bahwa dia yang telah menyebar pembunuhan di sini. Engkau bersikaplah sebagai seorang tamuku, seorang sahabat baikku...."

   "Tapi, apa manfaatnya kehadiranku...."

   "Banyak sekali, Nona. Engkau akan menimbulkan kepercayaan di hatinya bahwa kita tidak mempunyai maksud tertentu terhadap dirinya. Kalau melihat engkau sebagai tamuku, pasti dia akan percaya kepadaku. Marilah, Nona, aku.... sungguh aku membutuhkan pertolonganmu. Ataukah.... engkau begitu tega tidak mau membantuku?"

   Ouw Seng Bu. Sudah dapat melihat selama dia bergaul dengan Kim Giok bahwa gadis itu pun membalas perasaan hatinya, bahwa. gadis itu pun jatuh cinta kepadanya, maka dia mempergunakan sikap lunak dan menarik rasa iba gadis itu. Dia berhasil, Cu Kim Giok mengangguk.

   "Baiklah, Pangcu. Aku akan, membantumu."

   "Engkau tidak perlu bicara atau berbuat apa pun, hanya mengaku saja bahwa engkau menjadi sahabatku. Nah, aku tidak ingin menyuruhmu berbuat jahat atau berbohong bukan?"

   Mereka berdua segera berlari cepat menuruni lereng bukit dan ketika mereka memasuki dusun dan tiba di depan kedai arak, mereka berdua tertegun. Apa yang telah terjadi? Yo Han dikeroyok oleh empat orang tosu lihai dari Pat-kwa-pai dan Pek-lian-kauw, juga oleh sebelas orang murid Thian-li-pang tingkat atas. Para pengeroyok itu semua menggunakan pedang sedangkan Yo Han bertangan kosong! Akan tetapi, tubuhnya yang dapat dibuat ringan seperti bayangan itu berkelebatan di atas belasan batang pedang dan setiap kali terbuka kesempatan,

   Begitu kaki atau tangannya bergerak menyambar, tentu seorang pengeroyok dapat dirobohkan! Dia mengenal gerakan silat orang-orang Thian-li-pang, mengenal cakar beracun mereka, maka dengan mudah dia dapat mengenal bagian lemah mereka sehingga setiap kali dia menggerakkan tangan atau kaki, seorang anggauta Thian-li-pang terjung-kal. Dia tidak mau membunuh mereka, hanya merobohkan dan membuat mereka tidak mampu bangkit kembali karena patah tulang atau menotok mereka sehingga tidak mampu bergerak kembali. Akhirnya, sebelas orang Thian-li-pang roboh tak dapat bangkit kembali dan tinggal dua orang tosu Pek-lian-kauw dan dua orang tosu Pat-kwa-pai saja yang masih mengeroyoknya dengan serangan membabi-buta karena sejak tadi, serangan pedang mereka tidak pernah mengenai tubuh pemuda itu.

   "Orang-orang Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-pai, kalian pergilah. Aku tidak ingin bermusuhan dengan kalian dan jangan mencampuri utusan kami orang-orang Thian-li-pang!"

   Dua kali Yo Han menegur dan menyuruh mereka pergi. Ketika empat orang itu terus mengamuk tanpa mempedulikan kata-katanya, Yo Han menjadi marah.

   "Kalian ini orang-orang bandel yang pantas menerima hajaran!"

   Dia pun bergerak cepat, menggunakan ilmu silat Bu-kek Hoat-keng dan angin berpusing cepat sekali,

   Membuat empat orang tosu itu ikut terputar dan sebelum mereka tahu apa yang terjadi, pedang mereka beterbangan lepas dari tangan dan mereka pun seperti dilontarkan tenaga yang amat kuat, terlempar dan terbanting sampai beberapa meter jauhnya! Agaknya Si Tangan Sakti memang tidak ingin membunuh mereka sehingga mereka hanya terbanting keras tanpa menderita luka parah.Pada saat mereka terbanting itulah, Ouw Seng Bu dan Cu Kim Giok menuruni lereng. Ouw Seng Bu mengenal gerakan Yo Han itu. Dia pun merasa sanggup bergerak menimbulkan angin berpusing seperti itu seperti yang pernah dia pelajari dalam sumur! Empat orang tosu mendapat hati ketika melihat Seng Bu. Mereka dengan muka meringis kesakitan karena pinggul mereka tadi terbanting keras, bangkit menyongsong kedatangan Seng Bu.

   "Pangcu...."

   Kata mereka, akan tetapi Seng Bu mengangkat tangan memberi hormat.

   "Harap To-tiang berempat suka memaafkan kami dan meninggalkan tempat ini. Biarkan kami menyelesaikan urusan dalam Thian-li-pang."

   Empat orang tosu itu merasa heran, akan tetapi karena mereka sudah maklum bahwa ketua baru itu tentu akan menggunakan siasat, mereka pun memberi hormat,dan pergi dari tempat itu tanpa banyak cakap lagi. Kini Seng Bu berdiri berhadapan dengan Yo Han dan keduanya saling pandang.

   "Kira-nya Sin-ciang Tai-hiap yang datang! Harap maafkan siauwte dan para anggauta Thian-li-pang yang tidak tahu akan kedatangan Tai-hiap dan tidak sempat menyambut seperti mestinya."

   Dia memberi hormat. Yo Han mengerutkan alisnya, memandang penuh selidik. Dia tadi mendengar Kui Thian-cu menyebut "pangcu"

   Kepada pemuda tampan ini! Dengan sikap tenang namun suaranya tegas dan menyelidik, Yo Han berkata,

   "Wajahmu tidak asing bagiku. Bukankah engkau seorang di antara para murid suheng Lauw Kang Hui? Kenapa tosu tadi menyebutmu sebagai pangcu? Di mana suheng Lauw Kang Hui dan apa yang terjadi dengan Thian-li-pang? Mengapa bersahabat dengan orang-orang Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-pai dan mengapa pula ada murid Thian-li-pang yang dapat melakukan kejahatan di dusun ini?"

   Diberondong pertanyaan-pertanyaan itu, Seng Bu merasa seperti dihujani serangan yang berbahaya. Dia memberi hormat lagi.

   "Tai-hiap, banyak sekali hal-hal yang amat hebat telah terjadi di tempat kita. Suhu.... suhu telah....mati dibunuh orang.... dan aku terpaksa untuk sementara mewakili dan diangkat menjadi pangcu karena tidak ada orang lain yang dapat memegang kedudukan itu sebagai pemimpin sementara. Suhu Lauw- Kang Hui dibunuh orang, demikian pula suci Lauw Sek, suheng Lauw Kin, susiok Su Kian den susiok Thio Cu. Semua tewas dibunuh orang...."

   "Ahhh??"

   Yo Han benar-benar merasa terkejut.

   "Siapakah yang membunuh mereka?"

   "Panjang ceritanya, Taihiap. Marilah, kita naik ke tempat kita dan di sana nanti aku menceritakan semuanya. Banyak sekali rahasia tersembunyi di balik semua peristiwa yang mengerikan itu, Taihiap."

   Yo Han masih mengerutkan alisnya, akan tetapi dia mengangguk dan ketika mereka mulai mendaki bukit dan melihat gadis manis yang datang bersama Ouw Seng Bu ikut pula mendaki, dia berhenti dan ber-tanya.

   "Nanti dulu, siapakah Nona ini?"

   
Si Tangan Sakti Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Taihiap, Nona ini adalah nona Cu Kim Giok, ia seorang sahabat baikku dan sekarang menjadi tamu terhormat di Thian-li-pang. Ia bukan gadis sembarangan, Taihiap. Kuyakin Taihiap pernah mendengar tentang keluarga majikan Lembah Naga Siluman, yaitu keluarga Cui Nah, Nona ini adalah puteri dari pendekar besar Cu Kun Tek dari Lembah Naga Siluman."

   "Ahhh, kiranya Nona dari keluarga yang terkenal itu,"

   Kata Yo Han sambil memberi hormat. Kim Giok cepat membalas penghormatan itu.

   "Harap Yo-taihiap tidak bersikap merendah. Sudah lama aku mendengar tentang nama besar Taihiap. Sayang dalam pertemuan tiga keluarga besar di rumah Paman Suma, Ceng Liong di Hong-oun, Taihiap tidak ikut hadir."

   Yo Han tersenyum dan sejenak mamandang gadis itu penuh selidik.

   "Jadi engkau adalah sahabat baik dari.... eh, ketua Thian-li-pang ini?"

   "Benar, dan baru beberapa hari aku menjadi tamu dari Thian-li-pang."

   "Taihiap agaknya sudah lupa kepadaku. Aku murid termuda dari mendiang suhu Lauw Kang Hui, namaku Ouw Seng Bu,"

   Ketua itu memperkenalkan diri. Yo Han mengangguk-angguk.

   "Ya, aku sekarang teringat. Jadi semua murid tertua dari suheng Lauw Kang Hui telah dibunuh orang?"

   Diam-diam Cu Kim Giok mengerling dan mengamati wajah pendekar itu. Menurut cerita yang didengarnya dari. Seng Bu, orang inilah yang membunuh Lauw Kang Hui dan para muridnya. Apakah sekarang dia berpura-pura? Ataukah ada rahasia lain di balik pembunuhan itu dan pembunuh-nya bukan Sin-ciang Tai-hiap melainkan orang lain? Wajah tampan dengan sinar mata tajam mencorong itu sukar diduga apa yang terkandung dalam hatinya.

   "Taihiap, nanti saja akan kuceritakan semua setelah kita tiba di rumah."

   Kata Seng Bu dan Yo Han mengangguk. Mereka lalu mendaki lereng bukit dan ketika mereka tiba di pintu gerbang perkampungan Thian-li-pang, para murid Thian-li-pang menyambut mereka dengan sikap meriah dan gembira.

   "Sin-ciang Tai-hiap telah datang!"

   Demikian mereka berteriak dan bersorak sambil memberi hormat. Yo Han menerima penyambutan itu dengan senyum, akan tetapi di dalam hatinya merasa heran bukan main. Betapa jauh bedanya antara sikap, para anggauta Thian-li-pang yang berada di perkampungan ini dengan mereka yang tadi berada di dusun! Seolah tidak wajar lagi! Setelah mereka memasuki ruangan dalam, Seng Bu berkata kepada Cu Kim Giok,

   "Nona Cu, maafkan saya, harap Nona suka beristirahat dan meninggalkan kami berdua untuk membicarakan soal perkumpulan kami."

   Cu Kim Giok mengangguk, lalu meninggalkan ruangan itu. Seng Bu menutup pintu ruangan itu, kemudian dia pun mempersilakan Yo Han untuk duduk. Yo Han duduk dan menghela napas panjang.

   "Nah, sekarang ceritakanlah semua. Apa yang telah terjadi di sini? Ceritakan semua dengan jelas."

   Tiba-tiba Ouw Seng Bu menjatuhkan diri berlutut di depan Yo Han sambil menangis! Yo Han mengerutkan alisnya dan menegur dengan tegas,

   "Ouw Seng Bu, sikapmu ini sungguh memalukan sekali! Engkau telah ditunjuk sebagai ketua, akan tetapi anak buah Thian-li-pang menyeleweng, Thian-li-pang mengadakan persekutuan dengan partai-partai sesat seperti Pat-kwa-pai dan Pek-lian-kauw, dan sekarang engkau menangis seperti anak kecil atau seperti wanita lemah, yang cengeng. Engkau tidak patut menjadi ketua Thian-li-pang!"

   "Yo-taihiap, harap maafkan dan kasihanilah saya! Saya terpaksa menjadi ketua karena tidak ada orang lain lagi. Hanya sayalah satu-satunya murid mendiang suhu yang dianggap paling kuat. Akan tetapi, setelah suhu dan para susiok dan suheng tewas, saya menjadi bingung dan tidak dapat mengendalikan semua murid, tidak dapat mencegah kalau ada yang melakukan penyelewengan. Mereka itu condong untuk mem-berontak dan saya tidak berdaya menghadapi mereka. Juga saya tidak berani menolak ketika Pat-kwa-pai dan Pek-lian-kauw melakukan pendekatan, takut kalau-kalau mereka akan memusuhi kami. Sekarang Tai-hiap telah pulang, maka saya menyerahkan kepada Tai-hiap untuk mengatur kembali perkumpulan kita ini."

   "Sudahlah, duduklah dan sekarang ceritakan apa yang terjadi dan bagaimana suheng Lauw Kang Hui dan yang lain-lain sampai dibunuh orang, dan siapa pembunuh mereka itu."

   Seng Bu duduk dan menghapus air matanya.

   "Peristiwa yang terjadi itu amat mengerikan dan penuh rahasia, Yo-taihiap. Kami hanya melihat ada bayangan hitam yang menangkap mereka seorang demi seorang dan membawa mereka masuk ke dalam sumur tua itu. Dan setelah mereka itu dibawa masuk sumur, sampai sekarang tidak ada kabar ceritanya dan kami semua menganggap bahwa mereka tentu telah tewas terbunuh."

   "Hemmm, siapakah bayangan hitam itu?"

   Yo Han bertanya, alisnya berkerut, penasaran sekali.

   "Itulah yang membuat kami semua penasaran, Tai-hiap. Tak ada yang dapat melihatnya, hanya melihat baya-ngan hitam seperti setan, menangkap mereka dan membawa loncat ke dalam sumur. Tentu saja peristiwa itu membuat semua anggauta menjadi panik dan ketakutan, dan untuk meredakan kepanikan mereka, terpaksa saya untuk sementara menggantikan kedudukan suhu dan memimpin mereka."

   "Akan tetapi, kenapa kalian tidak memasuki sumur itu untuk menyelidikit apa yang terjadi di sana? Siapa tahu suheng Lauw Kang Hui dan yang lain-lain belum tewas?"

   Seng Bu kelihatan terkejut dan ketakutan.

   "Maafkan kami, Yo-taihiap. Tentu saja kami juga berpikir demikian, mengharapkan mereka belum tewas dan sewaktu-waktu akan muncul keluar. Akan tetapi, untuk menyelidikinya, untuk memasuki sumur tua itu, siapa yang berani?"

   "Tidak berani? Aih, tak kusangka orang-orang Thian-li-pang berubah menjadi penakut dan pengecut!"

   Lalu sambil menatap tajam wajah Seng Bu dia melanjutkan,

   "Dan engkau sendiri, yang telah menerima menjadi ketua, kenapa engkau tidak memasuki sumur itu untuk menyelidikinya?"

   Seng Bu menundukkan mukanya.

   "Maafkan kami semua, Yo-taihiap. Sebetulnya kami ingin sekali, akan tetapi kami takut. Kalau suhu dan para susiok, suci dan suheng sendiri tidak berdaya dibawa masuk ke sumur oleh bayangan hitam itu, lalu bagaimana mungkin kami akan mampu menandinginya? Memasuki sumur berarti mati konyol, dan kami semua, tidak berani."

   Yo Han menghela napas panjang, teringat akan mendiang kakek Ciu Lam Hok. Gurunya itu adalah seorang yang gagah perkasa, bahkan kedua orang paman gurunya, mendiang Ban-tok Mo-ko dan Thian-te Tok-ong, biarpun keduanya menyeleweng dari jalan kebenaran, tetap saja mereka berdua adalah orang-orang yang gagah perkasa. Demikian pula murid mereka, Lauw Kang Hui, memiliki keberanian dan kegagahan. Akan tetapi bagaimana sekarang para murid Thian-li-pang begitu penakut dan pengecut? Gurunya berpesan agar dia mengawasi Thian-li-pang dan mengusahakan agar Thian-li-pang pulih kembali menjadi perkumpulan besar yang berjiwa pahlawan pembela nusa bangsa.

   "Sudah berapa lamakah peristiwa hilangnya suheng Lauw Kang Hui ke dalam sumur tua itu terjadi?"

   "Sudah kurang lebih tiga bulan, Yo taihiap."

   Yo Han merasa penasaran dan khawatir. Kalau sampai tiga bulan mereka tidak keluar dari dalam sumur tua itu, kecil sekali harapannya mereka masih hidup. Akan tetapi, mati atau hidup mereka itu, dia harus mengetahui dengan pasti.

   "Baik, kalau begitu biar aku sendiri yang akan memasuki sumur itu dan melakukan penyelidikan."

   Yo Han berkata. Ouw Seng Bu memandang dengan mata terbelalak.

   "Akan tetapi, Tai-hiap. Itu berbahaya sekali!!"

   Yo Han tersenyum,

   "Seorang gagah tidak gentar menempuh bahaya, asal itu dilakukan demi kebaikan. Lupakah engkau akan pelajaran kegagahan dari Thian-li-pang?"

   "Be.... benar, Tai-hiap. Akan tetapi.... sumur tua itu penuh rahasia dan menyeramkan, tentu banyak iblis menjadi penghuninya di sana dan tak seorang pun berani memasukinya. Saya takut kalau sampai terjadi sesuatu atas diri Taihiap...."

   "Mati hidup di tangan Tuhan. Aku tidak minta ditemani siapapun kalau memang kalian takut. Biar aku sendiri yang masuk dan kalian berjaga di luar sumur raja. Sediakan sehelai tali yang kuat dan panjang, sekaran juga aku akan memasuki sumur menyelidiki keadaan suheng Lauw Kang Hui dan yang lain-lain."

   "Baik, Taihiap."

   "Dan mulai saat ini, Thian-li-pang harus memutuskan hubungan dengan Pat-kwa-pai dan Pek-lian-kauw. Para murid dilarang bergaul dengan mereka, dan kalau ada yang melanggar, akan dihukum berat. Dua orang anggauta Thian-li-pang yang membuat kerusuhan di rumah makan, harus dihukum kurung selama sepekan. Nah, laksanakan!"

   "Baik, Taihiap."

   Ouw Seng Bu membuka daun pintu dan berseru memanggil pembantunya. Para murid kelas tertinggi dari Thian-li-pang datang berlarian dan berkumpul di luar pintu ruangan itu. Seng Bu lalu berkata dengan suara lantang kepada mereka.

   "Seluruh anggauta agar bersiap-siap dan berkumpul di dekat sumur tua dan sediakan sehelai tambang yang kuat dan panjang. Sin-ciang Tai-hiap sendiri akan turun ke dalam sumur melakukan penyelidikan sekarang juga!"

   Terdengar seruan-seruan kaget di antara para anggauta Thian-li-pang, akan tetapi mereka segera menanti perintah ketua mereka dan diantar oleh Ouw Seng Bu pergi ke bagian belakang perkampungan Thian-li-pang dan tiba di dekat sumur tua.

   Sumur pertama yang pernah menjadi tempat tahanan kakek Ciu Lam Hok yang berada di tempat itu juga, tidak terlalu jauh dari situ, telah ditutup dengan batu-batu sehingga tidak nampak lagi lubangnya. Sumur ke dua ini lebih besar, juga amat dalam karena kalau dijenguk dari atas, tidak nampak dasarnya, hanya gelap menghitam. Sebetulnya, tanpa tambang sekalipun Yo Han akan mampu menuruni sumur itu dengan merayap, akan tetapi lebih mudah menggunakan tali, juga untuk naik kembali, mudah kalau ada talinya. Hampir seratus orang anggauta Thian-li-pang sudah berkumpul di tempat itu, mengelilingi sumur tua, wajah mereka tegang. Seorang di antara mereka menyerahkan segulungan tali yang kuat dan panjang kepada Ouw Seng Bu.

   "Tai-hiap, apakah tali ini memenuhi syarat?"

   Tanya Seng Bu sambil memperlihatkan tali itu kepada Yo Han. Yo Han menerima gulungan tali, kemudian melepas ujungnya ke dalam sumur setelah ujung itu diikatkan kepada sebongkah batu. Ternyata sumur itu dalam sekali dan sampai lama barulah batu di ujung tali tiba pada dasar sumur dan tali itu memng cukup panjang dan kuat. Setelah batu tiba pada dasar sumur dan tali mengendur, masih ada sisa tiga empat meter, Yo Han melibatkan sisa tali itu pada sebatang pohon dekat sumur, lalu menyerahkan ujungnya kepada Seng Bu.

   "Jaga dan pegangi ujung tali ini, aku akan segera turun ke bawah. Kalau aku sudah memberi tanda tarikan tiga kali pada tali kau boleh tarik aku keluar."

   "Baik, Yo-taihiap. Harap Taihiap berhati-hati, siapa tahu ada bahaya mengintai di bawah sana."

   Kata Seng Bu.

   "Jangan khawatir, aku sudah siap menghadapi apa saja,"

   Kata Yo Han.

   Setelah berkata demikian, Yo Han menuruni sumur malalui tali yang ujungnya dipegang oleh Seng Bu, bagaikan seekor monyet saja, dengan cekatan dia menuruni tali itu, waspada memperhatikan ke bawah karena dia maklum bahwa seperti yang dikatakan Ouw Seng Bu tadi, mungkin di bawah sana mengintai bahaya yan mengancam keselamatannya. Sama sekali Yo Han tidak pernah mengira bahwa bahaya mengintai dari atas, bukan dari bawah! Tadi dia telah menduga bahwa sumur ituu menyerong, yaitu ketika dia mengulur tali yang ujungnya digantungi batu. Batu itu tadi menyentuh dinding sumur dan menggelinding ke bawah, tidak lagi tergantung bebas. Itu berartu bahwa sumur itu menyerong, tidak lurus ke bawah. Kini ternyata memang benar. Tubuhnya menyentuh dinding sumur yang kasar dan dia merayap terus.

   Dan nampaklah sinar dari samping, yang tidak nampak dari atas karena letaknya yang menyerong itu. Dan begitu kakinya menyentuh lantai batu, dia pun melihat lima sosok mayat yang sudah tinggal tulang dibungkus pakaian yang robek-robek. Lima orang! Dia teringat akan keterangan Ouw Seng Bu yang menceritakan bahwa yang dibawa masuk ke dalam sumur oleh bayangan hitam adalah Lauw Kang Hui, Su Kian, Thio Cu, Lauw Kin dan Lu Sek. Lima orang tokoh Thian-li-pang telah benar-benar tewas di dasar sumur! Akan tetapi kedudukan lima sosok mayat itu bertumpuk, nampaknya seperti dilemparkan dari atas! Dia menghampiri mayat-mayat itu. Sudah tidak dapat dikenal lagi, apalagi diselidiki sebab kematian mereka. Juga tempat itu hanya remang-remang, terlalu gelap untuk dapat memeriksa dengan teliti.

   Dia harus memeriksa ke dalam sana. Mungkin si pembunuh masih berada di dasar sumur yang ternyata dasarnya merupakan terowongan berbatu-batu. Dia pun melepaskan tali yang tadi masih dipegangnya, lalu berindap-indap memasuki lorong penuh batu-batu besar itu. Kalau benar ada orangnya, mungkin bersembunyi di balik batu besar. Dia sudah siap kalau-kalau ada serangan gelap dari dalam. Tidak ada penyerangan, tidak ada gerakan apa pun dari dalam. Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara bersiutan dari atas. Yo Han terkejut melihat tali yang dipakai turun tadi kini menyambar turun seperti seekor ular yang panjang sekali! Tali itu dilepas dari atas! Sejenak dia tertegun karena heran dan kaget, akan tetapi cepat dia menarik tali itu karena dalam sekejap mata dia yakin bahwa tali itu akan ada gunanya baginya.

   Dia masih belum dapat menduga mengapa Ouw Seng Bu melepaskan tali itu. Tiba-tiba terdengar suara tawa dari atas yang bergema ke bawah dan dia terkejut. Itulah suara Ouw Seng Bu dan dia tahu bahwa orang yang dapat melepas suara tawa mengandung khikang amat kuat seperti itu tentulah memiliki ilmu kepandaian tinggi. Suara tawa itu disusul sorak-sorai dan tiba-tiba saja terjadi hujan batu dari atas sumur! Yo Han melompat lebih dalam, lagi dan cepat dia mendorong sebuah batu besar sekali ke depan terowongan sehingga hujan batu itu tidak menggelundung ke dalam terowongan melainkan tertahan oleh batu besar dan terus bertumpuk menutupi lubang sumur! Kini mengertilah dia. Ouw Seng Bu dan para anggauta Thian-li-pang telah berkhianat dan dia telah tertipu.

   Ouw Seng Bu berhasil memancingnya memasuki sumur dan sumur itu lalu ditimbuni batu. Yo Han yang pada dasarnya seorang yang memiliki iman yang kokoh kuat kepada Tuhan, tidak menjadi gugup. Mati hidupnya sudah dia serahkan kepada kekuasaan Tuhan. Dia akan berusaha sekuatnya mempertahankan hidupnya, akan tetapi berhasil atau gagalnya dia serahkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Dia tahu bahwa tidak mungkin keluar melalui sumur yang sudah tertutup banyak batu itu. Dia tidak mati tertimpa batu karena batu besar tadi merupakan pengganjal dan penghalang batu-batu kecil memasuki terowongan. Dia tidak akan mati tertimbun batu. Juga agaknya dia tidak akan mati kehabisan napas karena ada saluran udara segar di situ, mungkin masuk melalui celah-celah batu, seperti juga sinar matahari yang dapat masuk ke situ.

   Dia tidak akan mati kehausan, karena dinding itu basah dan tidak sukar menampung air dengan membuat lekukan pada dinding,basah untuk menampung air. Dia akan mati kelaparan? Mungkin, kalau dia tidak dapat keluar dan kalau di tempat itu tidak terdapat benda yang bisa dimakan. Yo Han menggulung tali dan duduk di atas gulungan tali agar tidak basah. Dia duduk bersila dan membiarkan hati dan pikirannya tenang. Dia membutuhkan ketenangan. Dalam menghadapi bahaya, dia harus dapat tenang agar akal pikirannya dapat dipergunakan sebaik-baiknya, dan di dalam ketenangan itu kepasrahannya kepada kekuasaan Tuhan dapat lebih mendalam. Sementara itu, di atas sumur, Ouw Seng Bu tertawa gembira ketika bersama para anak buah yang sudah dipersiapkan sebelumnya, menimbun sumur tua itu dengan batu.

   "Ha-ha-ha, Yo Han. Rasakan sekarang engkau, mampus di dalam sumur tua, menjadi setan penasaran! Sin-ciang Taihiap, engkau tidak lagi menjadi penghalang bagiku."

   Akan tetapi, Ouw Beng Bu segera menghentikan tawanya ketika dia melihat Cu Kim Giok datang berlari-larian. Gadis itu mendengar sorak-sorai anak buah Thian-li-pang, merasa tertarik dan segera datang ke tempat itu. Ia masih melihat anak buah Thian-li-pang melempar-lemparkan batu ke dalam sebuah sumur tua dan ia merasa heran sekali.

   "Ouw-pangcu, apakah yang telah terjadi?"

   Tanya gadis itu heran sambil mendekati Seng Bu. Seng Bu segera memasang wajah yang serius.

   "Aih, hampir saja aku pun celaka menjadi korban kelihaian Yo Han, Nona. Mari kita bicara di dalam dan akan kuceritakan semua."

   Kepada anak buahnya dia memesan agar sumur itu ditutup sampai tidak nampak lagi lubangnya. Kemudian dia mengajak Kim Giok kembali ke bangunan induk pusat perkampungan Thian-li-pang. Setelah mereka duduk berdua di dalam kamar belakang, Kim Giok dengan hati tegang bertanya,

   "Ceritakan, Pangcu. Apakah yang telah terjadi dan di mana adanya Sin-ciang Tai-hiap Yo Han?"

   Seng Bu menghela napas dan tiba-tiba dia mengeluh, wajahnya berubah pusat dan napasnya terengah.

   "Aduhhh...."

   Dia memejamkan matanya dan tangan kirinya menekan ke arah dada kanannya. Tentu saja Kim Giok terkejut bukan main, cepat bangkit dan menghampiri pemuda itu.

   "Ouw-pangcu, ada apakah? Engkau.... terluka....?" Sambil menekan dada kanan dengan telapak tangannya, wajahnya menyeringai kesakitan, napasnya sesak, dia menjawab terengah-engah,

   "Dia memang lihai... sekali, dan jahat kejam. Dia... dia tadi tiba-tiba memukulku, di dekat sumur... aku nyaris terjungkal, akan tetapi... aku mampu bertahan, aku melawan.. dibantu oleh saudara-saudaraku.. akhirnya kami berhasil... dia terjatuh ke dalam sumur akan tetapi aku.... aku terkena pukulannya...."

   "Ahhh!"

   Kim Giok terbelalak.

   "Dan kalian.... tadi menimbun sumur itu dengan batu? Dia terkubur hidup-hidup.... ?"

   Gadis itu memandang ngeri.

   "Aih, Nona, kau tidak tahu.... dia amat kejam dan lihai.... kalau berhasil lolos.... kami semua tentu akan dibunuhnya. Lihat, lihat bekas tangannya ini...."

   Seng Bu merobek baju di dadanya dan mata yang indah itu semakin terbelalak kaget. Dada Seng Bu, di bagian kanan, terdapat bekas telapak tangan dengan lima jarinya, menghitam!

   "Ohhhhh....!"

   Dia menahan teriakannya.

   "Ini.... pukulan.... mautnya.... untung aku sudah berjaga diri...., tapi nyeri bukan main.... auhhh....!"

   Seng Bu terkulai dan dia tentu akan terjatuh dari kursinya kalau saja Kim Giok tidak cepat-cepat merangkulnya. Melihat Seng Bu pingsan, Kim Giok memondongnya dan merebahkannya di atas lantai. Ia mengurut kedua pundak dan tengkuk, dan pemuda itu membuka mata kembali.

   "Aduhhh....!"

   "Bagai mana rasanya, Pangcu?"

   "Nona, pukulan itu beracun, harus cepat dibersihkan hawa beracun itu dengan pengerehan sin-kang. Maukah.... maukah engkau membantuku, Nona? Aku lemah sekali....!"

   "Tentu saja, Pangcu. Bagaimana aku dapat membantumu?"

   "Tempelkan kedua telapak tanganmu di punggungku dan kerahkan sin-kang, agar kekuatan kita dapat bersatu mendorong keluar hawa beracun itu."

   "Baik, Pangcu."

   Melihat dengan susah payah Seng Bu bangkit duduk, tanpa ragu Kim Giok membantunya duduk bersila. Ia membantu pula Seng Bu membuka bajunya sehingga punggungnya nampak dan ia pun bersila di belakang pemuda itu, menempelkan kedua telapak tangan di punggung itu dan memejamkan mata, mengerahkan sin-kang membantu pemuda itu "mengusir"

   Hawa beracun. Diam-diam Seng Bu menggunakan tangan kiri mengusap dan menekan dada yang ada tanda, telapak tangan menghitam. Perlahan-lahan, tanda menghitam itu pun lenyap, Kim Giok yang kurang pengalaman sama sekali tidak menyangka bahwa noda hitam itu dibuat oleh Seng Bu sendiri ketika dia menekan dada kanannya tadi. Dengan kepandaiannya yang aneh, dia mampu membuat kulit dadanya kehitaman seperti terkena pukulan beracun.

   "Perlahan-lahan, pernapasan Seng Bu menjadi normal kembali dan dia pun memutar tubuhnya, memegang kedua tangan gadis itu dan menatapnya dengan pandang mata penuh kasih sayang. Kim Giok juga menatapnya dan gadis itu menunduk malu.

   "Giok-moi (adik Giok), terima kasih.... engkau telah menyelamatkan nyawaku...."

   Dengan tersipu Kim Giok menarik kedua tangannya, lalu bangkit berdiri dan memutar tubuh membelakangi pemuda itu agar tidak kelihatan bahwa ia merasa malu sekali.

   "Ihhhhh, Pangcu...."

   "Kim Giok, setelah apa yang kau lakukan kepadaku tadi masihkah kita harus bersungkan-sungkan? Jangan menyebut pangcu kepadaku, sebutan itu terlampau kaku, Giok-moi, aku merasa engkau bukan seperti seorang sahabat baru, me-lainkan seperti sudah bertahun-tahun kukenal. Jangan sebut aku pangcu, aku akan merasa, bahagia kalau engkau menyebut aku koko (kanda)."

   "Bu-koko, engkau terlalu berkelebihan. Apa yang kulakukan tadi hanya sekedar membantumu mengusir hawa beracun. Apakah sekarang engkau sudah sembuh, sudah sehat kembali?"

   "Lihatlah, Giok-moi. Tidak ada bekasnya lagi. Lihatlah!"

   Kim Giok membalikkan tubuhnya dan sekilas memandang ke arah dada yang telanjang itu, dada yang bersih kulitnya, tidak lagi nampak tanda telapak tangan menghitam seperti tadi. Ia merasa lega dan girang, akan tetapi juga malu dan ia tersipu, menundukkan muka tidak mau memandang lagi.

   "Bu-ko, pakailah pakaianmu. Engkau membuat aku merasa malu."

   Seng Bu tertawa.

   "Ha-ha-ha, setelah kita menjadi sahabat baik seperti ini, perlukah kita merasa sungkan dan malu, Moi-moi? Entah mengapa, aku sudah tidak merasa malu sama sekali terhadap dirimu, seolah-olah kita telah akrab selama bertahun-tahun."

   

Si Bangau Merah Eps 23 Si Bangau Merah Eps 8 Suling Naga Eps 35

Cari Blog Ini