Ceritasilat Novel Online

Pedang Kayu Harum 28


Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo Bagian 28



Keng Hong menjadi girang sekali, akan tetapi dia merasa malu sendiri mendengar pengawal yang lihai ini menyebutnya taihiap (pendekar besar)! Ia cepat menjura dan berkata,

   "Banyak terima kasih atas petunjuk Ciangkun. Nah, selamat berpisah sampai jumpa pula."

   Tubuh Keng Hong berkelebat dan sebentar saja lenyaplah pemuda ini dari depan Tio Hok Gwan. Pengawal pengantuk ini sejenak termangu, kemudian menghela napas dan menggeleng kepalanya.

   "Pemuda hebat....!"

   Kemudian dia pun kembali ke dalam istana. Keng Hong mempergunakan ilmu lari cepat setelah dia keluar dari kota raja. Ia memasuki sebuah hutan yang sunyi di sebelah selatan kota raja, kemudian dia duduk di bawah pohon, termenung. Hatinya girang bahwa dia telah bisa menemukan tepat sembunyi Cui Im. Biarpun dia sekarang belum berhasil, akan tetapi dia yakin akan dapat menangkap Cui Im, merampas kembali kitab-kitab yang harus dia kembalikan kepada mereka yang berhak, kemudian menghukum gadis itu yang selalu mencelakainya dan telah mendatangkan kesengsaraan kepada Biauw Eng. Biauw Eng! Teringat akan gadis itu, tanpa disadarinya Keng Hong menyangga dagu dengan tangan dan menyangga siku lengan lutut. Hatinya berduka sekali.

   Memang ada rasa bahagia di hatinya bahwa dia telah bertemu dengan Biauw Eng, melihar dara itu selamat dan telah membukakan rahasia hatinya kepada Biauw Eng, bahkan telah menceritakan segala kesalahfahaman di masa lalu. Akan tetapi, akhirnya Biauw Eng marah-marah dan meninggalkannya! Dan semua itu adalah karena kesalahannya sendiri, karena sikapnya! Kalau dia kenangkan keadaan gadis itu, hatinya makin pedih dan tampak olehnya betapa mulia dan murninya hati gadis itu, gadis yang menjadi puteri Lam-hai sin-ni si nenek iblis, akan tetapi juga puteri gurunya, Sin-jiu Kiam-ong! Ia selalu menyangka yang bukan-bukan terhadap Biauw Eng, padahal gadis itu bersih dan tidak berdosa. Kalau dipikir-pikir kembali, jelas kini bahwa dialah yang kotor dan penuh dosa. Dan yang terakhir sekali, dia masih memaki Biauw Eng karena gadis ini membalas budi Lai Sek yang amat besar!

   "Heh-heh-heh.. tak baik orang muda melamun kosong! Melamun membikin orang lekas menjadi lekas tua, heh-heh-heh!"

   Keng Hong terkejut dan meloncat bangun sambil membalikkan tubuh. Tidak banyak di dunia kang-ouw ada orang datang tanpa dia ketahui, biarpun dia sedang melamun.

   Ternyata di depannya telah berdiri seorang kakek bertubuh kecil bongkok, punggungnya berpunuk dan mukanya ramah tersenyum terus, rambutnya panjang akan tetapi di tengah kepalanya botak, tangan kirinya membawa guci arak. Siauw-bin Kun-cu! Di antara selaksa orang, dia mengenal kakek ini, kakek yang selain aneh juga yang amat berjasa kepadanya karena kakek inilah yang membuka rahasia Siang-bhok-kiam. Kakek inilah yang tanpa disadarinya oleh kakek itu sendiri telah menolongnya sehingga berhasil mendapatkan pusaka peninggalan Sin-jiu Kiam-ong. Hanya tampak perbedaan pada pakaian kakek itu. Kalau dalam pakaiannya yang selalu bersih dan baru itu terbuat dari bahan sederhana dan dengan potongan tidak karuan pula, kini pakaiannya yang amat mewah, berkembang seperti pakaian orang berpangkatan, bahkan kedua kaki yang biasanya telanjang itu kini memakai sepatu baru, berkembang pula!

   "Ah, kiranya Locianpwe yang datang!"

   Keng Hong cepat menjura penuh horat dan hatinya girang bertemu dengan kakek ini.

   "Siauw-bin Kun-cu Locianpwe, sungguh saya hampir tidak mengenal Locianpwe melihat pakaian dan sepetu Locianpwe yang indah!"

   "Heh-heh-heh-he-he! Wah, engkau menyindir,ya? Memang pakaian dan sepatuku hebat. Manyalah, ya? Dan caraku berjalan juga berubah. Lihat...!"

   Kakek itu lalu mendemonstrasikan cara melangkah kaki seorang pembesar! Penuh gaya, dengan langkah tegap tenang berwibawa, dagu ditarik ke atas, mata memandang seperti dari angkasa memandang ke bawah. Akan tetapi karena punuk di punggunggnya membuat dia terpaksa membongkok, biarpun dia memasang aksi tetap saja kelihatan lucu! Keng Hong menahan rasa geli hatinya dan berkata,

   "Locianpwe benar hebat! Telah memperoleh banyak kemajuan kiranya!"

   "Tentu saja! Wah, aku tidak mengira akan bertemu denganmu di sini, Cia Keng Hong! Muird Sin-jiu Kiam-ong benar-benar menimbulkan gara-gara dan heboh! Aku telah mendengar akan sepak terjangmu di istana. Sampai-sampai panglima besar seperti The-taijin yang gagah perkasa dan arif bijaksana juga kagum kepadamu. Bagaimana kabarnya, sahabat cilik? Aduh, betapa bahagianya bertemu dengan sahabat lama!"

   Keng Hong tersenyum mendengar kalimat terakhir itu yang dikutib oleh si kakek dari pelajaran Nabi Khong Hu Cu.

   "Sayalah yang bahagia dan girang dapat bertemu dengan Locianpwe yang bijaksana karena tentu akan mendapatkan banyak petunjuk. Di manakah Locianpwe kini tinggal? Ataukah masih merantau sebatangkara, bebas lepas di udara seperti burung?"

   "Heh-heh-heh, orang setua aku, kalau seperti burung terus, bukankah berarti kelak akan mati terlantar dan menyia-nyiakan pengertian yang ku pelajari sampai puluhan tahun? Ha-ha-ha, tidak Cia Keng Hong. Aku sekarang telah menjadi guru besar, aku menjadi pembesar di kota raja, memimpin kebudayaan dan kesusastraan, mengurus pelaksanaan ujian bagi para calon siucai. Ha-ha-ha-ha-ha!"

   Keng Hong tertegun.

   "Locianpwe... Menjadi pembesar...?"

   Kenyataan ini amat aneh dan lucu bagi Keng Hong. Sulit membayangkan seorang pendekar tua aneh seperti Siauw-bin Kun-cu menjadi seorang pembesar!

   "Apa salahnya?"

   Mata kakek itu melotot.

   "

   Asal orang telah mengerti dan menjalankan tugas hidupnya sesuai dengan To, menjadi pembesar pun tidak ada salahnya. Seorang kuncu (budiman) bukan hanya sebutannya saja, juga harus dalam sepak terjangnya! Aku memegang jabatanku sebagai pembesar berdasarkan pelajaran dari Nabi Khong Hu Cu. Engkau mau tahu? Dengarlah!"

   Siauw-bin Kun-cu yang masih berdiri itu lalu menengadah dan membaca ujar-ujar dengan suara lantang dan memakai irama seperti orang bernyanyi berdeklamasi: "Cai-siang-wi, put-leng-he, Cai-he-wi, put-wan-siang! Ceng-ki-ji, put-kiu-I-jin...." (Berada di atas tidak menghina yang bawah, berada di bawah, tidak menjilat atasan! Memperbaiki diri sendiri tidak mengharapkan sesuatu dari orang lain....) Keng Hong melanjutkan,

   "Siang put wan Thian, he put yu jin! (Ke atas tidak mencela Tuhan, ke bawah tidak menyalahkan orang!)"

   "Heh-heh-heh, engkau murid yang baik! Engkau tahu betapa Nabi Khong HU Cu sampai mengeluh menyaksikan betapa pada masa beliau hidup, pelajarannya yang amat indah dan menuntut manusia ke kebenaran, disia-siakan orang. Karena itu, sekarang aku ikut membantu menyebarkan pelajaran-pelajaran Nabi Khong Hu Cu agar sedikit banyak dapat berguna bagi manusia. Eh, orang muda, mari kita duduk dan mengobrol yang enak, jarang aku bertemu dengan orang yang dapat mengerti baik apabila diajak bicara soal filsafat dan kebatinan."

   Keng Hong tersenyum dan mereka duduk di bawah pohon besar, di atas akar-akar pohon. Kakek itu menenggak arak dari gucinya, menawarkan kepada Keng Hong. Dengan halus pemuda itu menolak. Kakek itu minum lagi beberapa teguk, lalu berkata,

   "Aah, apa katamu melihat aku menjadi pembesar dan mengajarkan pelajaran Nabi Khong Hu Cu yang memang mulai disebarluaskan oleh kaisar yang pandai memakai orang dan menghargai kebudayaan ini?"

   "Maaf, kalau pendapat saya keliru, Locianpwe. Sesungguhnya saya hanya seorang muda yang bodoh dan pelajaran-pelajaran Nabi Khong Hu Cu amatlah sukar bagiku..."

   Kakek itu ribut menggoyang-goyang kedua tangannya.

   "Salah! Salah! Tidak ada orang pintar atau bodoh di dunia ini. Tidak ada pula sesuatu yang sukar atau mudah! Yang ada hanyalah belum mengerti atau sudah mengerti. Orang biasanya disebut bodoh karena belum mengerti, dan disebut pintar kalau sudah mengerti. Dan untuk jadi mengerti orang harus belajar! Engkau pandai silat, apakah engkau disebut orang pintar! Aku pandai filsafat, apakah aku orang pintar? Kalau kita berdua pergi melihat serorang tukang kayu membuat ukiran-ukiran kayu yang indah, apakah kita dapat melakukannya? Apakah kita pintar dalam pertukangan kayu? Tentu saja tidak. Oleh si tukang kayu kita akan dianggap bodoh. Bukan bodoh, hanya belum mengerti, belum bisa! Dan apakah itu sukar? Apa mudah? Tidak ada. Kalau sudah bisa tentu mudah, kalau belum bisa menjadi sukar. Soalnya hanya MENGERTI, dan untuk mengerti harus belajar!"

   "Locianpwe benar sekali, akan tetapi pelajaran budi pekerti sungguh lain lagi, mudah dipelajari, mudah dihafal namun betapa sulitnya melaksanakannya!"

   "Salah! Salah! Nabi Khong Hu Cu pernah bersabda demikian : Yang menyebabkan To tidak dilaksanakan : Orang pandai terlampau jauh melewatinya, orang bodoh tidak mampu mencapai/mengertinya. Yang menyebabkan To tidak dimengerti: Orang pintar terlampau jauh melewatinya, orang tidak pintar tidak mampu memahaminya."

   Keng Hong mengangguk-angguk karena dia pun hafal akan ujar-ujar itu, akan tetapi dia mendengarkan terus. Kakek itu menggaruk-garuk botak di kepalanya lalu melanjutkan.

   "Ujar-ujar itu melanjutkan : Tidak ada seorang pun manusia yang tidak minum dan makan, akan tetapi hanya sedikit saja yang dapat mengenal cita
(Lanjut ke Jilid 26)
Pedang Kayu Harum (Seri ke 01- Serial Pedang Kayu Harum)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 26
rasanya!"

   "Tepat sekali ujar-ujar itu, locianpwe. Memang manusia di dunia ini selalu tertarik oleh kulit tanpa mau memperhatikan isi. Betapa banyaknya orang yang hafal akan segala filsafat, kenal segala pengetahuan batin, mengerti akan segala ilmu kebatinan dan tentang kebajikan. Namun betapa sedikit sepak terjang dalam penghidupan manusia berlandaskan kebenaran dan kebajikan."

   Kakek itu mengangguk-angguk dan menghela napas.

   "Orang muda, dengan kata-katamu itu engkau menampar mukaku pula! Memang demikianlah, banyak sekali orang, termasuk aku juga agaknya, gila akan kedudukan, akan nama, paling suka kalau disebut seorang kuncu, seorang budiman, seorang cerdik pandai dan arif bijaksana! Segala filsafat yang muluk-muluk ditelan semua, namun apa artinya mengenal dan menghafal seribu satu macam filsafat kebatinan namun tidak menerapkannya dalam hidup satu pun juga? Sama dengan gentong kosong nyaring bunyinya!"

   "Kalau Locianpwe sudah tahu akan hal ini, mengapa Locianpwe kini menjadi seorang pembesar, menjadi seorang yang berusaha mengembangkan pelajaran kebatinan atau agama? Bukankah akan sia-sia belaka kalau ada selaksa orang yang mengerti akan semua filsafat kebatinan tanpa melaksanakannya dalam hidup?"

   "Eh-eh-eh, orang muda. Lidahmu terlalu tajam dan berbahaya. Coba jelaskan!"

   Kakek itu melotot.

   "Maaf, Locianpwe, akan pendapat saya yang pandir. Bagi saya, filsafat dan ujar-ujar dalam kitab-kitab suci dibuat untuk dilaksanakan! Kalau hanya untuk dihafalkan belaka kemudian tidak dilaksanakan, sama halnya dengan menodai semua pengetahuan murni dan suci itu! Umpamanya saja, ada dua buah ujar-ujar Nabi Khong Hu Cu yang kalau dituruti oleh semua orang di dunia ini, kiranya dunia akan menjadi aman."

   "Heh-heh-heh, kau kira begitu? Ujar-ujar yang manakah itu?"

   "Pertama ujar-ujar yang berbunyi : Semua manusia di empat penjuru adalah saudara! Kalau kita berpegang kepada pelajaran ini dan menganggap setiap orang manusia, bangsa apa pun juga, di manapun juga adanya, kaya maupun miskin, berpangkat tinggi maupun rendah, pintar maupun bodoh, adalah seperti saudara sendiri, tentu tidak akan ada musuh! Tentu akan saling bantu, seperti yang selayaknya di antara saudara! Kemudian yang ke dua ujar-ujar yang berbunyi : Jangan melakukan kepada orang lain sesuatu perbuatan yang engkau tidak suka orang lain melakukannya kepadamu. Kalau semua orang mentaati pelajaran ini, saya kira tidak akan ada orang yang suka berbuat jahat terhadap orang lain karena dia sendiri tentu tidak mau kalau orang lain berbuat jahat kepadanya."

   "Heh-heh-heh-ha-ha-ha! Apa kau kira hanya untuk itu manusia hidup di dunia ? Apakah cukup dengan mencinta sesama dan tidak berbuat jahat kepada orang lain? Tidak, Keng Hong,. Manusia terikat kewajiban-kewajiban, kewajiban sebagai manusia hidup dan Nabi Khong Hu Cu menunjukkan jalan-jalan dan cara-cara betapa manusia dapat menunaikan kewajiban hidupnya dengan sempurna! Karena itu, mutlak penting bagiku, yang sudah berani memakai nama julukan Kun-cu, untuk menyebarluaskan pelajaran-pelajaran itu agar setiap orang manusia di dunia mengarti, mempejajari, dan kemudian melaksanakannya dalam hidup sehingga semua manusia akan tahu memenuhi kewajiban masing-masing!"

   "Maaf, Locianpwe. Akan tetapi bukankah kewajiban pun dapat diartikan banyak sekali, tergantung daripada orang yang mengartikannya?"

   "Tidak begitu, ada sabda Nabi Khong Hu Cu mengenai itu yang berbunyi begini : Melakukan kewajiban terhadap ayahku sebagaimana aku ingin melihat puteraku melakukannya terhadap aku. Melakukan kewajiban terhadap rajaku, sebagaimana aku ingin melihat sebawahanku melakukannya terhadap aku. Melakukan kewajiban terhadap kakakku sebagimana aku ingin melihat adikku melakukannya terhadap aku dan demikianlah selanjutnya. Singkatnya merupakan kebalikan daripada ujar-ujar yang kau sebut ke dua tadi. Kalau tadi ujar-ujar itu berbunyi jangan melakukan kepada orang lain sesuatu perbuatan yang engkau tidak suka orang lain melakukannya kepadamu, yaitu, Lakukanlah kepada orang lain perbuatan yang kau ingin orang lain melakukannya kepadamu! Jelaskan?"

   "Jelas, Locianpwe. Saya teringat akan sebuah pelajaran yang mengatakan bahwa untuk dapat mengatur dan memperbaiki orang lain harus lebih dulu mengatur dan memperbaiki keluarga sendiri dan untuk dapat mengatur dan memperbaiki keluarga sendiri harus lebih dahulu mengatur dan memperbaiki diri sendiri."

   Kakek itu bersungut-sungut dan mengamang-amangkan telunjuknya kepada Keng Hong, seolah-olah hendak menusuk hidung pemuda itu dengan telunjuknya.

   "Wah-wah, engkau sekali lagi menyinggung aku, ya? Kata-katamu itu benar-benar "mengenai"

   Namanya! Kau tentu bertanya dalam hatimu apakah aku yang mengajar orang lain ini sudah mengatur keluarga sendiri dan telah memperbaiki diri sendiri, bukan? Akan tetapi kata-katamu itu memang amat perlu diperhatikan tiap orang. Memang apakah artinya mengajar orang lain atau keluarga sendiri kalau tidak dapat lebih dulu memperbaiki diri sendiri. Siu-sin (mengatur dan memperbaiki diri sendiri) ini merupakan pelajaran terpenting dari Nabi Khong Hu Cu mengajarkan demikian : Seorang Kuncu tidak boleh tidak harus mengatur dan memperbaiki diri sendiri. Untuk dapat memperbaiki diri sendiri, tidak boleh tidak harus mencinta dan berbakti kepada orang tua. Untuk dapat mencinta dan berbakti, tidak boleh tidak harus tahu akan prikemanusiaan. Untuk dapat tahu akan prikemanusiaan, tidak boleh tidak harus tahu akan ketuhanan!"

   "Saya mengenal pelajaran itu, Locianpwe. Dilanjutkan dengan pelajaran bahwa ada lima macam jalan kebenaran, yaitu tata susila antara raja dan hulubalangnya, antara orang tua dan anaknya, antara suami dan isterinya, antara kakak dan adiknya dan antara sahabat dengan handai taulannya. Untuk melaksanakan tata susila itu terdapat tiga dasar kebajikan, yaitu pengertian (kesadaran), welas asih, dan gagah berani."

   "Benar.... benar....!"

   Kalau sudah melaksanakan dalam hidupnya semua pelajaran itu, mau apalagi hidup di dunia? Heh-heh-ha-ha-ha! Senang sekali hatiku bertemu dan bicara denganmu Keng Hong! Engkau masih muda akan tetapi engkau sudah banyak mengerti tentang ilmu kebatinan!"

   "Aahhh, Locianpwe. Saya hanya seperti seekor burung beo yang meniru-niru belaka. Ujar-ujar dan ayat-ayat suci, pengetahuan tentang agama bukannya hal yang perlu diributkan dalam percakapan melainkan pelajaran yang harus dilaksanakan dalam perbuatan. Kalau tidak dengan Locianpwe, sungguh saya tidak berani bicara soal itu. Hanya satu hal yang amat membingungkan hati saya, Locianpwe. Saya sudah banyak mendengar akan kebijaksanaan kaisar yang pandai mempergunakan orang-orang bijaksana, sehingga buktinya Locianpwe menghabakan diri kepada kaisar. Hal ini saja sudah cukup bagi saya untuk membuktikan kebenaran kabar yang saya dengar itu. Akan tetapi, Locianpwe. Mengapa dalam tempat yang bersih disimpan barang yang kotor? Mengapa kaisar yang bijaksana memelihara srigala dan harimau buas? Mengapa orang-orang macam mereka itu diangkat menjadi pengawal-pengawal?"

   "Mengapa tidak? Hal itu justeru menunjukkan betapa bijaksananya kaisar! Dapat menjinakkan srigala dan harimau sehingga mengubah mereka dari binatang-binatang buas perusak tiada guna menjadi anjing-anjing penjaga yang amat berguna, betapa bijaksananya itu! Jauh lebih bijaksana daripada membiarkan mereka berkeliaran bebas melakukan pengrusakkan sehingga perlu mengerahkan tenaga untuk mengejar-ngejar dan berusaha membasmi mereka!"

   Keng Hong tidak membantah, akan tetapi diam-diam dia tidak menyetujui kebijaksanaan itu. Tiba-tiba kakek itu meloncat berdiri.

   "Cia Keng Hong, kuperingatkan kepadamu, jangan sekali lagi engkau mengacau istana, karena kalau engkau ulangi lain kali aku sendiri tentu akan ikut muncul untuk menentangmu! Aku suka kepadamu, akan tetapi kalau urusan pribadimu kau bawa-bawa ke istana sehingga mengacaukan istana, terpaksa aku melupakan rasa sukaku kepadamu. Selamat tinggal!"

   Setelah berkata demikian, kakek aneh itu lalu membalikkan tubuhnya dan melangkah pergi. Keng Hong memandang bengong, teringat akan nasihat Panglima The Ho dan juga nasihat pengawal lihai Tio Hok Gwan. Baru pergi belasan langkah, Siauw-bin Kuncu menoleh dan berkata,

   "Aku mendengar bahwa pengawal rahasia wanita itu mempunyai pondok di luar kota raja sebelah barat, pondok mungil warna merah!"

   Setelah berkata demikian, kakek itu bergerak cepat sekali dan seperti juga dahulu. Keng Hong merasa geli dan kagum melihat kakek itu meloncat-loncat dengan kedua lengan digerakkan seperti seekor ayam lari akan tetapi gerakannya cepat sekali. Juga hatinya girang. Ternyata biarpun mulut orang-orang seperti Siauw-bin Kun-cu dan Tio Hok Gwan menentangnya, namun di hati mereka itu berfihak kepadanya dalam menghadapi Ang-kiam Bu-tek Bhe Cui Im. Ia harus bersabar dan menanti saat dan kesempatan baik untuk menyergap Cui Im di luar istana, dan kalau mungkin di luar kota raja.

   Bayangan putih itu berkelebat cepat sekali, sukar diikuti pandang mata manusia biasa saking cepatnya. Kalau ada orang melihat bayangan putih itu berkelebat di dalam hutan itu, mendengar isak tangisnya, tentu orang itu akan mengira bahwa yang berkelebatan itu adalah iblis penghuni hutan! Bayangan putih itu adalah Biauw Eng. Dara ini setelah melarikan diri dari kota raja lalu berlari ke utara. Di sepanjang jalan ia menangis, menangis dengan hati pilu. Ibunya telah dibunuh bekas sucinya dan denda ini bukan hanya tidak dapat ia balas, bahkan ia kehilangan Lai Sek, pemuda yang amat mencintanya.

   Dua peristiwa ini, kematian ibunya dan Lai Sek, merupakan malapetaka hebat yang amat melukai hatinya, akan tetapi lebih hebat lagi adalah luka di hatinya karena pertemuannya dengan Keng Hong. Dia harus mengakui bahwa cinta kasihnya terhadap Keng Hong tidak lenyap, bahkan makin mendalam. Akan tetapi setelah ia menguji hati Keng Hong, ternyata bahwa Keng Hong tidaklah setulus dia cintanya. Keng Hong hanya mencinta tubuhnya, mencinta kecantikannya sehingga ketika ia mencoba dan membohonginya, mengatakan bahwa tubuhnya telah dimiliki Lai Sek, pemuda itu menjadi marah dan menghinanya! Ah, betapa dangkal cinta kasih Keng Hong terhadap dirinya, kiranya sama saja dengan cinta kasih pemuda itu terhadap Cui Im atau terhadap para wanita yang pernah dilayaninya bermain cinta.

   Cinta pemuda itu sifatnya hanya badani belaka, cinta nafsu, cinta berahi! Buktinya, begitu mendengar bahwa tubuhnya telah dijamah pria lain, Keng Hong menjadi marah. Padahal, cinta kasihnya terhadap Keng Hong amatlah murni. Dia sudah memaafkan Keng Hong walaupun dia tahu bahwa pemuda itu telah bermain cinta dengan Cui Im dan dengan gadis-gadis lain. Cintanya amat mendalam dan dia sudah berkabung untuk pemuda itu selama bertahun-tahun. Biarpun tadinya menyangka bahwa pemuda itu telah tewas, ia tetap mencinta Keng Hong. Dan kini, setelah bertemu dengan pemuda yang ternyata masih hidup itu, ia dikecewakan! Makin diingat, makin sakit hatinya dan dengan tubuh lemas Biauw Eng menjatuhkan diri di atas rumput dalam hutan itu.

   "Ahhh, Keng Hong.... alangkah kejam hatimu...!"

   Tentu saja ia melarikan diri dari Keng Hong karena maklum bahwa kalau ia mengikatkan diri dengan pemuda itu, akhirnya ia hanya akan dianggap sebagai sebuah benda indah, dijadikan benda permainannya. Tentu saja dia tidak sudi. Lebih baik berpisah! Akan tetapi, betapa sengsaranya perasaan hatinya terpisah dari pria yang dicintanya!

   "Aduhhh..., daripada menderita siksa batin seperti ini, lebih baik aku mati saja...! mati menyusul ibu... Menyusul ayah...."

   Makin terisak ia menangis ketika teringat bahwa dia adalah puteri Sin-jiu Kiam-ong. Dia belum pernah bertemu dengan ayahnya. Dan Keng Hong adalah murid ayahnya, murid yang terkasih! Kalau saja ia dapat bersanding dengan Keng Hong, akan terobatilah rindunya kepada ayahnya. Akan tetapi Keng Hong....!

   "Lebih baik aku mati...!"

   Dan gadis itu menangis sesenggukan, air matanya seperti air sungai meluap, membasahi kedua pipinya, terus menurun ke dagu dan menetes ke dada.

   Akan tetapi Biauw Eng adalah seorang gadis yang semenjak kecilnya digembleng kegagahan oleh mendiang ibunya. Semenjak kecil dia diajar menghadapi segala apa pun di dunia ini penuh ketahanan, penuh keberanian dan kepercayaan kepada diri sendiri. Kini, pikiran ingin mati hanya terucapkan di mulut karena dorongan rasa duka yang amat mendalam. Di dalam hatinya, tidak seujung rambut pun keinginan untuk mati, apalagi bunuh diri yang dianggapnya perbuatan seorang pengecut. Ia tidak takut apa pun juga, mengapa takut melanjutkan hidup. Pula, kematian ibunya belum terbalas! Pada saat itu, tidak mungkin bagi dia untuk membalas dendam karena jelaslah bahwa menghadapi Cui Im, dia tidak dapat berbuat apa-apa.

   Bekas sucinya itu, yang dahulu bekas lawannya dan akan dapat ia kalahkan dengan mudah, kini telah menjadi seorang wanita yang amat lihai, memiliki kepandaian ynag jauh mengatasinya. Apalagi di sebelah Cui Im terdapat Siauw Lek yang juga amat lihai. Kalau saja ada Keng Hong di sampingnya, tentu mereka berdua akan dapat mengalahkan Cui Im dan Siauw Lek. Keng Hong....! Ah, tak dapat diharapkan dan ia pun tidak sudi minta pertolongan pemuda berhati palsu itu! Dia tidak takut mati, akan tetapi dia pun bukan seorang tolol yang menyerahkan kematian begitu saja denagn nekat menyerang Cui Im. Ibunya dahulu meberi tahu bahwa dengan nekat menyerang lawan yang jauh lebih kuat sehingga diri sendiri dirobohkan, bukanlah perbuatan orang gagah, melainkan perbuatan seorang tolol! Habis, apa yang akan ia lakukan?

   "Aduh, ibu...!"

   Biauw Eng menangis lagi, baru pertama kali ini selama hidupnya ia merasa tidak berdaya, kehabisan akal dan kehabisan semangat. Luka di hati karena asmara memang amat pedih, apalagi kalau dirasakan dan dikenang. Memang sesungguhnya bukan apa-apa, karena luka seperti itu akan lenyap dengan sendirinya, akan sembuh tanpa diobati. Obatnya hanya tidak memikirkannya lagi dan mencurahkan pikiran untuk hal-hal lain yang banyak terdapat dalam hidup. Akhirnya tentu akan lenyap dan kemudian orang yang tadinya terluka asmara akan tertawa geli kalau mengenang kelakuannya sendiri.

   Akan tetapi kalau dikenang dan dirasakan, memang tidak ada luka lebih pedih daripada luka asmara, tidak ada penyakit yang lebih parah dan berat daripada penyakit asmara! Tidak, dia tidak akan mati! Dia tidak boleh putus asa! Ia teringat akan ibunya. Ibunya dahulu juga disakitkan hatinya oleh Sin-jiu Kiam-ong! Ayahnya, atau guru Keng Hong telah menggoda ibunya, bahkan lebih jauh perbuatan Sin-jiu Kiam-ong, yaitu telah melakukan hubungan cinta dengan ibunya sehingga ibunya mengandung! Dan ayahnya itu tidak pernah kembali kepada ibunya. Biarpun demikian, ibunya tidak putus asa, bahkan lalu mengasingkan diri dan berhasil memiliki ilmu kepandaian tinggi, menjadi Lam-hai Sin-ni, tokoh pertama dari semua datuk hitam! Mengapa dia tidak meniru perbuatan ibunya?

   Ia akan pergi jauh, jauh dari tempat ramai, menggembleng diri dengan ilmu sehingga ia akan dapat memiliki ilmu kepandaian yang akan dapat mengatasi Cui Im! Dia lebih beralasan untuk hidup daripada ibunya dahulu! Dia akan menggembleng diri dan kelak akan membalas dendamnya kepada Cui Im! Pikiran ini mendatangkan semangat baru dalam hati Biauw Eng. Tidak, dia tidak akan putus asa. Sedikitnya, hubungannya dengan Keng Hong belum sejauh hubungan antara ibunya dengan Sin-jiu Kiam-ong! Dia masih gadis. Lai Sek sekalipun, Lai Sek yang amat mencintanya, yang selalu siap berkorban apa saja untuknya, bahkan yang telah ia serahi seluruh tubuhnya, Lai Sek pun tak pernah menyentuhnya! Sungguh seorang pemuda yang hebat! Cinta kasihnya demikian murni! Kalau saja Keng Hong memiliki cinta kasih seperti Lai Sek. Ah, tidak perlu memikirkan Keng Hong lagi.

   "Aku tidak boleh memikirkannya lagi. Dia laki-laki yang tidak berharga! Aku.... benci kepadanya!"

   Biauw Eng melompat bangun lalu lari secepatnya ke utara.

   Ia lari seperti dikejar setan, dan memang dia melarikan diri untuk lari dari bisikan yang mengejarnya, bisikan bahwa tidak mungkin ia dapat melupakan Keng Hong, bahwa tidak mungkin ia dapat membencinya. Betapapun cepat ia lari, suara bisikan ini terud mengejarnya, terus terdengar oleh telinganya karena yang berbisik adalah hatinya sendiri. Ah, cinta! Sungguh engkau dapat berubah dari seorang dewi pembawa bahagia menjadi seorang iblis yang kejam pembawa derita sengsara! Dan betapa bodohya orang muda yang sudah dicengkeram kuku-kuku beracun dari asmara! Lebih lagi, betapa bodohnya seorang pemuda seperti Keng Hong yang tadinya tidak dapat membedakan antara cinta kasih seorang gadis seperti Biauw Eng dari cinta nafsu seorang wanita macam Cui Im!

   Biauw Eng melakukan perjalanan yang tidak mengenal lelah. Hanya kalau kakinya sudah mogok saking lelahnya, baru ia beristirahat. Kalau matanya sudah hampir tak dapat dibuka saking kantuknya, baru dia tidur dan kalau perutnya sudah tak dapat menahan laparnya, baru ia mencari makanan pengisi perut. Berbulan-bulan dara yang merana karena asmara ini melakukan perjalananke utara dan pada suatu pagi ia memasuki sebuah hutan di lereng Pegunungan Go-bi-san. Pakaiannya yang berwarna putih itu masih bersih karena sering kali dia berhenti dan mencucinya di sungai atau danau, akan tetapi pakaian itu sudah banyak yang robek, juga sepatunya sudah bolong-bolong. Kulit mukanya yang biasanya halus putih itu kini agak hitam karena setiap hari dibakar terik matahari.

   Hanya ada perubahan yang amat menyolok, yaitu pada pandang mata gadis ini. Dahulu, ketika masih bersama ibunya, ketika namanya terkenal sebagai Song-Siu-li (Dara Jelita Berkabung) pandang mata, sikap dan bicaranya dingin seperti sebuah gunung es, dingin akan tetapi amat ganas dan ia dapat membunuh lawannya dengan mata tanpa berkedip. Akan tetapi kini pandang matanya bersinar-sinar penuh api dan semangat, tanda bahwa di dalam hatinya terkandung cita-cita yang amat besar. Selain pandang matanya berubah panas, juga ada kematangan dalam sikap dan suaranya. Kematangan seorang dara muda yang tergembleng oleh tekanan-tekanan batin yang hebat. Keadaan di hutan itu mendatangkan rasa suka di hatinya. Banyak tetumbuhan yang aneh dan tak pernah dijumpainya di selatan.

   Juga banyak terdapat burung-burung indah beraneka warna bulunya. Banyak pula kembang-kembang yang indah bentuk maupun warnnanya. Biauw Eng duduk beristirahat di bawah pohon, memperhatikan bunga kuning yang tumbuh di dekatnya. Bunga itu aneh bentuknya, dapat dikatakan buruk dan tidak berbau wangi. Tak jauh dari bunga kuning ini tumbuh bunga lain yang warnanya merah, bentuknya indah seperti bunga kiok-hwa (seruni) dan berbau harum. Bunga ini dikelilingi beberapa ekor kumbang yang seolah-olah berebut hendak memasuki kelopak bunga merah dan menghisap madunya. Bunga kuning yang buruk itu tidak dihiraukan kumbang. Biauw Eng menarik napas panjang mengulur lengan dan menyentuh bunga kuning dengan ujung jari-jari tangannya, sentuhan halus penuh kasih sayang dan rasa iba.

   "Jangan berduka, bunga kuning,"

   Bisiknya menghibur.

   "Dalam kesepianu, engkau lebih bahagia daripada bunga merah itu.

   Biauw Eng memperhatikan bunga-bunga itu dan menghela napas panjang. Betapa sama nasib bunga-bunga ini dengan nasib para wanita. Di mana-mana, seperti bunga-bunga ini, wanita menjadi permainan kaum pria. Hanya wanita-wanita cantik yang dikejar-kejar kumbang. Pria dan kumbang sama saja. Pria tertarik oleh kecantikan wanita seperti kumbang tertarik oleh keharuman madu kembang. Kembang-kembang yang tidak harum, seperti kaum wanita yang tidak cantik, tidak dipedulikan dan tersia-sia. Namun, kembang-kembang tidak harum dan wanita-wanita tidak cantik tidaklah lebih sengsara daripada nasib kembang-kembang harum atau wanita-wanita cantik. Kembang bermadu setelah madunya habis dihisap kumbang, lalu ditinggal pergi tanpa pamit oleh si kumbang.

   Wanita cantik setelah dipermainkan oleh pria, seperti kembang habis madunya, seperti tebu habis manisnya, lalu disia-siakan dan ditinggal begitu saja! Seperti ibunya! Dan dia tidak mau dijadikan seperti ibunya seperti kembang beradu harum yang kelak disia-siakan. Tidak, lebih baik menjadi kembang kuning yang tidak dipedulikan kumbang, akan lebih segar dan dapat bertahan lama, tidak mudah layu! Persetan dengan kumbang-kumbang palsu itu! Persetan dengan cinta kasih pria-pria palsu yang hanya membutuhkan kecantikan wajah dan keindahan tubuh! Tiba-tiba rasa bencinya kepada kaum pria yang mempunyai cinta kasih palsu melimpah dan membuat Biauw Eng marah kepada kumbang-kumbang itu. Tangan kirinya bergerak menampar dan empat ekor kubang besar terkena tamparan tangannya, terbanting hancur di atas tanah, di bawah kembang kuning. Biauw Eng memandang puas.

   "Tersenyumlah, kembang kuning. Tertawalah, dan lihat kumbang-kumbang palsu itu kini menjadi bangkai, sebentar lagi membusuk dan dimakan semut!"

   Saking gembiranya dan puas hatinya melihat "kumbang-kumbang berhati palsu"

   Itu tewas, Biauw Eng bicara dengan keras, seolah-olah kembang kuning merupakan seorang wanita lain yang perlu dihibur hatinya. Tiba-tiba, agaknya terkejut oleh suaranya, dua ekor kijang berbulu coklat berkuningan seperti emas meloncat keluar dari balik semak-semak. Biauw Eng terkejut dan memandang, ketawa senang dan ia merasa kagum sekali menyaksikan dua ekor kijang jantan betina yang berkejaran itu. Saking gembiranya, Biauw Eng lupa diri dan seperti seorang anak kecil yang nakal, ia pun lalu mengerahkan ginkangnya dan meloncat pula, lari mengikuti dua ekor kijang yang berlari naik ke bukit.

   Dua ekor kijang berlari makin cepat dan kelihatan ketakutan, mengira bahwa manusia yang dapat berlari cepat di belakang mereka itu mengejar mereka dan hendak menangkap mereka. Mereka mengeluarkan suara ketakutan dan lari kacau balau. Melihat ini, Biauw Eng menjadi kasihan dan mengikuti dari jauh agar dua ekor kijang itu tidak menjadi ketakutan. Ia berniat untuk mendekati mereka secara sembunyi agar dia dapat memandang mereka sepuas hatinya. Tiba-tiba terdengar suara gerengan yang amat nyaring, yang menggetarkan seluruh permukaan bukit. Gerengan ini disusul suara mengembik yang menyayat hati, dua kali beruntun. Biauw Eng terkejut bukan main dan cepat ia meloncat tubuhnya berkelebat mengejar ke arah suara. Ketika ia tiba di tempat itu, dara ini memandang dengan mata terbelalak dan mukanya menjadi merah sekali saking marahnya.

   Dua ekor kijang jantan dan betina yang berkejaran tadi kini telah menjadi bangkai, leher mereka terluka dan robek, darah mereka menjadi satu membasahi rumput dan di antara bangkai kedua kijang itu berdiri seekor harimau besar yang mengaum perlahan lalu mencium-cium darah dan tubuh kijang, agaknya hendak menikmati baunya yang sedap dan gurih sebelum mengganyangnya. Harimau itu besar seperti anak lembu, bulunya kehitaman, ekornya panjang melingkar dan yang aneh sekali adalah sebuah tanduk yang tumbuh di antara kedua telinganya yang kecil! Akan tetapi Biauw Eng tidak memperdulikan keanehan binatang ini. Hatinya telah dikuasai nafsu amarah dan sambil mengeluarkan jerit melengking ke depan, menerjang hariau bertanduk satu itu. Dalam kemarahannya, Biauw Eng menubruk maju dan menghantam dengan tenaga sekuatnya ke arah kepala harimau yang ada tanduknya itu.

   "Siuuuuuuttt.... werrrrrrr!"

   "Aihhhhh!"

   Biauw Eng berseru kaget karena pukulannya yang cepat dan kuat itu mengenai tempat kosong! Ternyata harimau bertanduk itu telah dapat mengelakkan pukulannya.

   Padahal pukulan tadi tidak akan mudah dielakan begitu saja oleh seorang ahli silat yang belum memiliki kepandaian tinggi! Tentu saja merupakan hal yang amat aneh kalau seekor binatang dapat mengelak dengan gerakan yang begitu cepat akan tetapi juga seenaknya saja karena Biauw Eng melihat betapa harimau itu mengelak secara tenang tidak tergesa-gesa, hanya dengan miringkan kepala ke kiri! Biauw Eng yang marah sekali melihat sepasang kijang menjadi bangkai diterkam oleh harimau ganas ini, cepat memutar tubuh dan melanjutkan gerakannya dengan sebuah tendangan. Ujung sepatunya meluncur cepat menyambar bawah iga binatang itu. Akan tetapi, sambil mengaum harimau itu kini mengelak dengan loncatan ke belakang dan kaki depan kiri yang bercakar runcing tiba-tiba diangkat menampar ke arah kaki Biauw Eng!

   "Ehhh.....!"

   Biauw Eng terpaksa menarik kembali kakinya. Ia tidak takut dicakar, akan tetapi celana dan sepatunya bisa dirobek kalau terkait kuku-kuku yang kuat itu. Ia makin heran dan penasaran. Dua kali dia menyerang dan dua kali binatang itu mampu mengelak, bahkan balas mencakar ke arah kakinya. Biauw Eng hampir tidak percaya.

   Cepat ia menerjang lagi, kini menggunakan seluruh kecepatan gerakannya, melambung dan ketika tubuhnya menubruk dan menukik, tangan kirinya dengan jari-jari terbuka menusuk ke arah mata harimau itu, dan tangan kanannya diiringkan menghantam ke arah tengkuk. Dua serangan ini ia lakukan sambil mengerahkan Iweekang. Melihat gadis itu yang malah menerkamnya, harimau tanduk satu mengangkat muka, agaknya terheran, akan tetapi begitu angin serangan yang dahsyat menyambar, harimau mengaum dan tiba-tiba tubuhnya merendah dan diputar, lalu kaki depan kanannya membuat gerakan melingkar, menangkis tusukan jari ke arah matanya, sedangkan tangan kanan Biauw Eng yang menghantam tengkuk itu ditangkisnya dengan ekornya yang panjang, yang dipergunakan seperti cambuk diayun dari belakang.

   "Plakkk! Dukkk!"

   "Hayaaaaaa....!"

   Biauw Eng cepat melempar diri ke belakang. Tangkisan-tangkisan itu membuat kedua pukulannya tertahan dan harimau agaknya menjadi marah itu tadi sambil menangkis sudah menggerakkan kepala menggigit sehingga Biauw Eng terpaksa melempar tubuh ke belakang. Akan tetapi baru saja meloncat turun, harimau yang marah itu sudah menerjangnya dan membalas dengan serangan yang dilakukan secara aneh,

   Bukan menubruk seperti harimau-harimau biasa, melainkan menggerakkan kedua kaki depan bertubi-tubi mencakarnya dari kanan kiri, sedangkan tubhnya bergerak maju dengan kaki belakang saja. seperti gerakan manusia! Biauw Eng melangkah mundur dan melolos sabuknya. Dalam keadaan biasa kiranya gadis ini akan merasa malu menggunakan senjatanya menghadapi seekor binatang hutan. Akan tetapi, ia sudah merasa amat marah melihat sepasang kijang yang dibunuh dan ia tahu bahwa harimau ini bukan sembarangan harimau, melainkan seekor harimau yang memiliki kelebihan daripada harimau lain. Gerakannya selain cepat dan kuat, juga aneh, mirip gerakan yang terlatih, gerakan yang memiliki dasar ilmu silat!

   "Binatang jahat dan kejam, mampuslah!"

   Biauw Eng membentak dan tangannya bergerak. Sinar putih menyambar ke depan, sinar putih panjang dari sabuk suteranya. Dengan sabuk suteranya ini, dahulu Biauw Eng amat dikenal dan ditakuti lawan, karena memang hebat permainan sabuk suteranya yang dala segebrakan saja mampu merapas senjata lawan, kalau perlu mampu merampas nyawa lawan! Kini ujung sabuk sutera itu melayang ke arah kepala, tenggorokan dan lambung harimau dengan kecepatan yang menyilaukan mata. Ujung sabuk yang bergerak bertubi-tubi itu seolah-olah berubah menjadi pukulan banyaknya dan ketika menyambar ke arah harimau mengeluarkan bunyi bercuitan mengerikan.

   "Cuiiiiiittttt.... dar-dar-dar...!"

   Tiga kali ujung sabuk sutera yang tidak mengenai sasaran itu meledak di tempat kosong. Sekali ini Biauw Eng benar-benar terkejut. Binatang buas itu mampu mengelak serangan sabuk suteranya secara beruntun tiga kali dengan cara menggulingkan diri. Mana di dunia ini ada harimau yang mempunyai akal untuk mengelak sambil bergulingan?

   Dan bukan sampai disitu saja karena tiba-tiba harimau itu mengaum dan tubuhnya yang tadi bergulingan itu kini berguling mendekat dan secara mendadak sekali tubuh yang kehitaman itu mencelat ke atas dan sudah menubruk ke arah Biauw Eng dengan gerakan dahsyat. Keempat kakinya bergerak hendak mencengkeram akan tetapi dengan cakar-cakar digerak-gerakkan sehingga sukar ditentukan kemana keempat buah cakar yang mengerikan itu akan mencengkeram, dan serangan ini didahului oleh sebatang "cambuk"

   Yaitu ekornya yang digerakkan lebih dulu, bukan menyabet seperti buntut harimau biasa, akan tetapi ekor ini dari bawah menjadi sebatang toya lurus yang menyodok ke arah leher Biauw Eng. Hebat bukan main serangan binatang itu karena sekali serang, buntutnya menotok leher, keempat cakar kakinya mencengkeram dan mulutnya yang terbuka menggigiit kepala!

   "Aihhhhh....!"

   Biauw Eng kaget, akan tetapi tidak menjadi gugup. Ia merendahkan tubuh, tidak mengelak mundur, bahkan cepat ia menyusup ke bawah tubuh harimau yang sedang meloncat. Harimau menggereng, agaknya menjadi bingung dan merasa diakali oleh lawan karena selagi tubuhnya meloncat tak mungkin membalik. Hanya buntutnya yang dapat digerakkan secara tidak terduga oleh Biauw Eng dan tiba-tiba menyabet ke bawah selagi gadis itu menyusup. Hal ini sungguh tidak terduga oleh Biauw Eng sehingga pundaknya terpukul ekor harimau yang menyambar. Dan ternyata pukulan itu amat keras sehingga Biauw Eng terbanting ke kanan dan pundaknya terasa nyeri seperti dipukul toya oleh lawan yang bertenaga besar!

   Kini Biauw Eng marah sekali. Ia tidak memperdulikan rasa nyeri di pundak cepat ia melompat bangun dan pada saaat harimau itu melayang turun, sabuk suteranya sudah menyambar ganas, merupakan dua sinar putih karena yang menyambar adalah kedua ujungnya sedangkan dara itu memegang bagian tengah. Kedua ujung sabuk itu dengan kecepatan kilat sudah menyambar dan membelit keempat kaki harimau itu, ujung pertama membelit kedua kaki belakang, ujung ke dua membelit dua kaki depan. Harimau menggereng dan meronta, namun sia-sia karena tubuhnya tiba-tiba terangkat naik tanpa dapat ditahannya lagi. Harimau masih meronta-ronta ketika Biauw Eng mengerahkan tenaga menggerakkan tangan. Tubuh harimau yang sudah dibelenggu oleh kedua ujung sabuk itu kini terbanting ke bawah menghantam sebuah batu gunung.

   "Desssss!"

   Batu itu remuk dan harimau itu menggerang-gerang kesakitan. Kembali tubuhnya terangkat dan kini menghantam sebuah batu lain yang lebih besar, hanya kali ini ia terbanting dengan kepala lebih dulu.

   "Prokkk!"

   Dan kembali batu yang pecah biarpun kepala harimau itu pun terluka dan berdarah. Biauw Eng menjadi penasaran. Betapa kuatnya harimau itu. Saking marah dan penasaran, berkali-kali ia membanting tubuh harimau yang sudah tak berdaya itu sampai kepala harimau itu pecah-pecah. Sebelum tewas harimau itu mengeluarkan suara mengaum yang amat dahsyat dan nyaring, menggetarkan gunung. Biauw Eng lalu melontarkan bangkai harimau itu jauh memasuki jurang. Kemudian Biauw Eng menghampiri bangkai sepasang kijang berjongkok dan memandang bangkai sepasang kijang itu dengan kening berkerut karena kasihan. Akan tetapi kemarahannya mereda dan sekarang, dalam keadaan tidak panas hatinya, baru ia teringat dan terheran-heran penuh kekaguman akan kelihaian harimau itu.

   Baru keadaannya sudah aneh, kepalanya bertanduk, sungguhpun dalam perkelahian tadi ia melihat bahwa benda di kepalanya itu bukan tanduk keras macam lembu, melainkan segumpal daging yang tumbuh di antara kedua telinga. Selain keadaanya yang aneh, juga kini ia teringat betapa gerakan harimau tidak wajar. Gerakan-gerakannya mengandung tehnik ilmu silat! Cara kaki depan menangkis dari samping dengan gerakan memutar dan membesut, cara buntut harimau itu menangkis dan menyerang, semua itu adalah gerakan ilmu silat! Kemudian Biauw Eng termenung memandangi bangkai dua ekor kijang itu dan ia merasa heran teringat akan kelakuannya sendiri. Harimau itu membunuh dua ekor kijang ini karena lapar, karena kijang-kijang ini akan dijadikan mangsanya. Kenapa ia marah-marah dan membunuh harimau itu? Hal ini tidak biasa ia lakukan. Mengapa ia menjadi marah melihat harimau membunuh kijang?

   Bukankah hal itu sudah sewajarnya dan dahulu sudah sering kali ia melihat kejadian seperti ini tanpa terpengaruh sedikitpun? Ia memandang lagi dan tiba-tiba mengertilah dia, lalu menghela napas panjang. Tadi ia melihat dua ekor kijang itu, sepasang kijang indah, jantan dan betina yang kelihatan rukun. Hatinya yang baru diobrak-abrik asmara itu tadi merasa mesra dan penuh gairah menyaksikan pasangan kijang ini, mengingatkan ia akan Keng Hong. Betapa akan mesra dan bahagianya kalau dia bersama Keng Hong bisa hidup rukun berdampingan seperti sepasang kijang itu. Dan harimau itu kemudian muncul menghancurkan kemesraan yang memenuhi dada. Melihat sepasang kijang rebah menjadi bangkai yang berlumuran darah, ia seolah-olah merasa bahwa si harimau juga menghancurkan kebahagiannya bersama Keng Hong, maka bangkitlah kemarahannya yang luar biasa.

   "Ah, Keng Hong... Engkau membuat aku tidak hanya menjadi merana, juga menjadi... Gila!"

   Keluhnya dan kini hatinya mulai merasa menyesal mengapa ia membunuh harimau yang sesungguhnya tidak bersalah apa-apa terhadap dirinya itu. Tiba-tiba terdengar teriakan-teriakan keras, teriakan-teriakan yang makin lama makin mendekati tepat itu. Biauw Eng terkejut dan cepat meloncat bangun sambil melibatkan sabuk suteranya di pinggang. Tak lama kemudian muncullah tiga belas orang wanita. Mereka muncul dari berbagai jurusan, ada yang berlari-larian dari atas, ada yang meloncat keluar dari jurang. Gerakan mereka gesit-gesit dan mereka memakai pakaian seragam berwarna kuning. Tangan mereka memegang pedang dan gerakan mereka gesit sekali. Sambil bertteriak-teriak marah mereka mengurung Biauw Eng yang berdiri tegak dengan sikap tenang.

   
Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Dia membunuh tuan muda..!"

   Beberapa orang di antara mereka berteriak sambil menangis.

   "Dia menyiksa tubuh tuan muda...., hi-hi-hik!"

   Beberapa orang lagi berseru dan". Tertawa-tawa. Melihat sikap mereka, meremang bulu tengkuk Biauw Eng. Wajah tiga belas orang wanita yang berusia antara dua puluh sampai tiga puluh tahun itu rata-rata cantik, akan tetapi sinar mata mereka liar seperti mata orang yang miring otaknya! Mereka menangis dan tertawa tidak karuan, meloncat-loncat seperti orang menari mengelilinginya.

   "Kalian ini mau apakah?"

   Biauw Eng membentak.

   "Siapa pula yang membunuh tuan muda?"

   "Kau yang membunuh siauw-ya (tuan muda)!"

   Seorang di antara mereka, yang membiarkan rambutnya terurai dan yang kelihatan paling tua di antara mereka juga paling cantik, membentak dengan suara seperti orang menangis, akan tetapi bentakan marah itu disusul suara ketawa cekikikan!

   "Aku? Tuan muda yang manakah yang kubunuh?"

   Biauw Eng bertanya, tengkuknya terasa dingin dan hatinya merasa serem. Mudah di duga bahwa wanita yang mengurai rambut ini tidak waras pikirannya. Akan tetapi kalau gila, masa tiga belas orang wanita yang melihat pakaiannya merupakan pasukan seragam ini gila semua?

   "Eh, engkau masih berpura-pura? Engkau telah membunuh tuan muda Tok-kak-houw (Harimau Tanduk Satu)! Mayatnya kau lempar ke dalam jurang!"

   Sambil berkata demikian wanita itu menggerakkan pedangnya menyerang.

   "Srattttt... Sing-sing....!"

   Cepat sekali gerakan pedangnya, sekaligus sudah membacok satu kali dan menusuk dua kali. Biauw Eng mengelak tiga kali lalu meloncat mundur, akan tetapi tiga belas orang wanita itu sudah menerjangnya dan menggunakan ginkangnya mengelak ke sana-sini sambil beerseru.

   "Heeeeee! Nanti dulu, apakah kalian sudah gila semua? Yang kubunuh adalah seekor binatang! Seekor harimau karena dia telah membunuh sepasang kijang. Aku tidak membunuh seorang manusia, bagaimana kalian menuduhku membunuh tuan muda kalian?"

   Tiba-tiba tiga belas wanita itu tertawa semua, tertawa dan dengan telunjuk kiri menuding ke arah hidung Biauw Eng, lalu tertawa lagi terpingkal-pingkal. Melihat ini, Biauw Eng makin terheran dan serem, bahkan otomatis dia meraba hidungnya sendiri. Mengapa hidungnya ditunjuk dan ditertawakan? Hidungnya tidak apa-apa dan gerakannya itu agaknya memancing kegelian hati mereka karena meledaklah suara ketawa mereka makin keras, bahkan ada yang memegangi perut menahan ketawa.

   "Hi-hi-hik, heh-heh, engkau sendiri gila mengatakan kami gila! Engkau telah membunuh tuan muda Tok-kak-houw dan masih menyangkal? Hayo lekas berlutut untuk kami belenggu dan kami bawa menghadap Thai-houw (Ratu)!"

   Kata pemimpin pasukan itu dan kembali Biauw Eng terkejut. Apakah di tempat seperti itu ada ratunya? Kalau harimau mereka sebut tuan muda, bagaimana macamnya ratu mereka? Tentu mereka ini sekawanan manusia jahat yang sengaja hendak mempermainkannya, dan marah Biauw Eng. Ia tadi melihat gerakan mereka amat gesit dan lihai, aka ia lalu meloloskan sabuk suteranya dan berkata dengan suara nyaring,

   "Kalian ini orang-orang gila jangan main-main dengan aku! Pergilah atau kalian akan mampus seperti harimau siluman itu!"

   Tiga belas orang wanita itu tertawa cekikikan, akan tetapi di antara suara ketawa ini terdengar oleh Biauw Eng suara tangis, sehingga keadaan amat menyeramkan.

   Gadis ini menjadi serem karena baru saja ia mengeluh dan merasa menyesal bahwa dia telah membunuh harimau, merasa bahwa Keng Hong membuatnya menjadi gila. Kini, tiga belas orang wanita itu sikapnya begitu aneh dan ia menganggap mereka seperti gila. Benar gilakah mereka ini? Ataukah..., dia sendiri yang sebetulnya gila sehingga hal yang wajar tampak olehnya sebagai tidak wajar? Ia mengkirik dan kemarahan memenuhi hatinya. Ia merasa ditertawakan dan dihina, maka sambil mengeluarkan jerit melengking nyaring ia lalu menerjang maju, menggerakkan sabuk suteranya yang berubah menjadi sinar putih bergulung-gulung. Tiga belas orang wanita baju kuning itu berteriak-teriak dan mengeroyoknya. Biarpun mereka cekikikan seperti orang gila, namun ternyata gerakan mereka selain ringan cepat dan kuat, juga teratur baik sekali sebagai pasukan yang terlatih.

   Gulungan sinar putih sabuk sutera Biauw Eng selalu bertemu dengan sambaran-sambaran pedang yang datang bagaikan hujan. Terpaksa Biauw Eng harus mengerahkan seluruh kepandaiannya karena ternyata olehnya bahwa tiga belas orang itu benar-benat amat lihai dan sama sekali tidak boleh dipandang ringan. Gerakan pedang mereka aneh, kadang-kadang membacok atau menusuk secara kasar seperti gerakan tukang menebang pohon saja, akan tetapi kadang-kadang gerakan mereka melingkar-lingkar dan sukar sekali diduga kemana hendak menyerang. Namun Biauw Eng adalah seorang wanita yang sejak kecil telah dilatih dengan ilmu silat tinggi maka dengan tenang ia dapat menangkis semua serangan dengan membuat benteng dari sinar putih yang mengelilingi tubuhnya secara rapat sekali. Yang membingungkan adalah gerakan tubuh dan kaki para pengeroyoknya.

   Mereka itu bergerak-gerak aneh, kadang-kadang seperti monyet menggoda, dan kadang-kadang seperti tarian manusia-manusia yang liar. Meloncat-loncat, berjongkok, bahkan ada yang bergulingan di atas tanah menyerang dengan pedang membabat ke arah kaki. Ada pula yang meloncat tinggi dan seperti burung mematuk, pedangnya menusuk-nusuk ke arah kepala Biauw Eng! Biauw Eng terheran-heran. Ilmu silat apakah yang mereka mainkan itu? Dala hal ginkang dan tenaga sinkang, ia masih dapat mengatasi mereka, akan tetapi menghadapi ilmu silat edan-edanan yang selama hidupnya belum pernah ia saksikan itu, ia benar-benar tidak berani bersikap sembrono dan melawan dengan hati-hati sekali. Setelah ia melawan dengan pertahanan ketat sampai lima puluh jurus sambil memperhatikan gerakan mereka,

   Biauw Eng mendapat kenyataan bahwa di balik semua gerakan anak-anak dan edan-edanan itu sebetulnya bersembunyi ilmu silat yang dasarnya tinggi dan indah sekali. Gerakan aneh-aneh itu hanya terbawa oleh sifat mereka dan juga dipergunakan untuk mengacau lawan! Sebagai seorang ahli silat tinggi, begitu mengenal dasar mereka, Biauw Eng dapat melihat gerakan-gerakan yang mengandung kelemahan dari mereka yang lebih rendah, maka sekali ia berseru keras secara tiba-tiba ia merebahkan tubuh terlentang akan tetapi berbarengan sabuk suteranya menyambar dengan lingkaran lebar ke arah kaki tiga belas orang yang mengurungnya! Terdegat jerit-jerit dan tertawa-tawa dan dua orang yang terjungkal roboh karena terlibat sabuk sutera kakinya. Akan tetapi Biauw Eng cepat menarik kembali sabuknya dan menggunakan kedua tangan menekan tanah sehingga tubuhnya sudah mencelat berdiri di atas tanah.

   Tepat seperti dugaannya, sebelas orang yang berhasil mengelak dari serampangan sabuknya kini menusuk atau membacok pinggangnya. Ia berseru keras, tubuhnya meloncat tinggi. Ia maklum bahwa pedang-pedang itu akan mengejarnya, maka cepat ia menggunakan kedua kakinya membarengi saat semua pedang menyambar, menginjak pedang-pedang itu, meminjam tenaga mereka mengenjot tubuhnya ke atas. Sebelas batang pedang yang kena dienjot itu tertekan ke bawah sehingga memperlambat gerakan mereka, dan pada saat itu, tubuh Biauw Eng yang sudah melayang ke atas cepat membuat gerakan membalik, kepalanya menukik ke bawah dan sinar putih sabuk suteranya menyambar dari atas ke arah kepala orang-orang itu.

   "Wuuuttt... Trang-trang-cringggg...!"

   Beberapa batang pedang yang menangkisnya terlempar, beberapa orang lagi meloncat jauh menghindar, akan tetapi ada tiga orang yang kurang cepat mengelak sehingga pundak mereka terkena totokan ujung sabuk. Mereka terguling roboh dan.... tertawa cekikikan, padahal yang kena ditotok ujung sabuk adalah jalan darah kin-ceng-hiat-to dan tiong-ca-hiat-to. Mestinya mereka yang tertotok ini mengalami penderitaan karena nyeri, akan tetapi mereka tidak mengeluh tidak menangis malah tertawa sambil meraba-raba pundak!

   Dua orang sudah roboh karena kaki mereka terkilir uratnya, tak dapat bangun, tiga orang lagi tertotok roboh, tinggal delapan orang yang kini mulai mengurung lagi. Mata mereka makin liar berputaran, mulut menyeringai, ada yang menjilat-jilat bibir basah dengan ujung lidah merah kecil meruncing,sikap mereka amat menyeramkan. Akan tetapi ada perasaan kasihan timbul di hati Biauw Eng. Dara ini sekarang merasa yakin bahwa yang mengeroyoknya adalah pasukan wanita yang miring otaknya alias gila! Ia pikir lebih baik melarikan diri dari situ meninggalkan orang-orang gila yang sebetulnya tidak berdosa ini. Akan tetapi selagi ia berpikir hendak pergi meninggalkan mereka, tiba-tiba terdengar suara ketawa nyaring melengking, ketawa merdu sekali, akan tetapi ternyata mengandung wibawa hebat bagi delapan serta merta mereka itu menjatuhkan diri berlutut sambil berseru,

   "Sian-li datang....!"

   Biauw Eng cepat menoleh ke arah wanita-wanita itu menghadap terkejut mendengar mereka menyebut sian-li (dewi) kepada wanita yang tertawa merdu tadi.

   Ia makin terheran dan terkejut ketika melihat seorang wanita muda berpakaian serba merah. Wanita itu masih muda, hanya dua tiga tahun lebih tua dari padanya, berwajah cantik manis dan bersikap gagah, matanya bersinar-sinar seperti sepasang bintang pagi, akan tetapi di balik kemanisan wajahnya ini terbayang kebengisan dan kekerasan hati. Pakaian yang berwarna merah dan dipinggangnya juga tergantung sebatang pedang yang sarungnya terukir kembang-kembang merah pula. Dua orang gadis jelita itu berdiri berhadapan dan saling pandang. Diam-diam Biauw Eng bergidik. Kalau para pelayannya yang tiga belas orang itu gila, apakah majikannya tidak lebih gila? Akan tetapi, pelayan-pelayannya sudah begitu lihai, tentu majikannya lebih lihai! Maka ia bersikap waspada, menggulung sabuk sutera dan bersiap sedia menghadapi segala kemungkinan.

   "Apa yang terjadi di sini?"

   Suara wanita baju merah itu halus dan merdu, sikapnya tenang sekali sehingga Biauw Eng menjadi kagum dan lebih hati-hati lagi. Sikap ini saja sudah menimbulkan dugaan bahwa wanita ini tentu amat lihai.

   "Tanpa sebab aku dikeroyok oleh pasukan ini, terpaksa aku membela diri,"

   Kata Biauw Eng mendahului orang-orang gila itu.

   "Hi-hi-hik, orang gila ini bicaranya tidak karuan, Sianli. Dia melakukan tiga macam kesalahan besar. Pertama, dia membikin marah Thai-houw, ke dua, dia membikin sakit hati Sianli, dan ke tiga, dia menyerang kami!"

   Kata wanita gila berambut riap-riapan.

   "Bohong!"

   Biauw Eng berteriak marah dan penasaran."Mereka itulah yang gila dan miring otaknya!"

   

Pusaka Pulau Es Eps 14 Pusaka Pulau Es Eps 13 Pusaka Pulau Es Eps 11

Cari Blog Ini