Ceritasilat Novel Online

Pedang Kayu Harum 30


Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo Bagian 30



Diam-diam Cui Im menyumpah kakek tinggi besar hitam ini. Akan tetapi biarpun dia jauh lebih muda, patut menjadi cucu kakek itu, dalam hal kecerdikan, Cui Im menang jauh. Ia hanya tersenyum manis, bukan untuk memikat hati Pak-san Kwi-ong. Dia tahu bahwa kecantikan wajahnya dan keranuman tubuh mudanya tidak akan dapat menggerakkan hati kakek itu. Andaikata demikian halnya, pasti dia tidak akan segan untuk menggunakan umpan lain.

   "Kwi-ong, jangan engkau membohong. Bukankah engkau dahulu merupakan seorang di antara mereka yang memperebutkan Sian-bhok-kiam untuk mendapatkan pusaka peninggalan Sin-jiu Kiam-ong? Keng Hong adalah murid Sin-jiu Kiam-ong!"

   Kembali kakek hitam itu tertawa bergelak.

   "Aku bukan orang bodoh, Ang-kiam. Aku tahu bahwa bocah itu murid Sin-jiu Kiam-ong, akan tetapi kalau dahulu kita semua tidak berhasil membujuk dan mengepung gurunya, bagaimana sekarang akan dapat berhasil memaksa muridnya? Kulihat bocah itu lihai sekali, belum tentu kalah oleh mendiang gurunya, dan juga dalam kekerasan hati, dia tidak kalah. Tidak, aku sudah tua dan kedudukanku di sini sudah amat baik, mau apa lagi? Aku tidak akan mencari penyakit memusuhi murid Sin-jiu Kiam-ong, membahayakan keselamatan sendiri tanpa tujuan yang jelas, kecuali.... Ha-ha-ha, menolong dan membantumu!"

   Cui Im tersenyum mengejek,

   "Hem, tertawalah, Kwi-ong karena engkau belum tahu, nanti ketawamu akan lain bunyinya. Katakanlah pusaka peninggalan Sin-jiu Kiam-ong yang manakah yang dahulu amat kau inginkan?"

   Pak-san Kwi-ong menghentikan tawanya dan memandang wajah cantik itu dengan sinar mata tajam menyelidik.

   "Hemmm, apa artinya kuberitahukan kepadamu? Akan tetapi tidak apalah kuceritakan juga. Di antara kitab-kitab yang dicuri Sin-jiu Kiam-ong, ada sebuah kitab yang amat kubutuhkan, yaitu kitab Siauw-lim-pai..."

   "Seng-to-cin-keng? Ataukah kitab I-kiong-hoan-hiat?"

   Cui Im memotong. Kakek hitam itu terbelalak.

   "Eh, engkau sudah tahu pula? Kitab ke dua itulah, I-kiong-hoan-hiat. Amat kubutuhkan karena ilmu dalam kitab itulah yang akan membantu sempurnanya ilmu yang sedang kuciptakan.

   "Sekarang bagaimana? Masih inginkah? Kalau engkau membantuku menghadapi Keng hong, aku tanggung engkau akan memiliki kitab itu."

   Kakek itu membelalakkan mata.

   "Hemmm, jangan main-main. Andaikata aku membantumu dan kita berhasil mengalahkan Keng Hong, dari mana aku akan bisa mendapatkan kitab itu? Aku sangsi apakah dia akan suka menyerahkan kitab itu, dia seorang yang keras hati dan tak mungkin dapat dipaksa dengan siksaan yang bagaimanapun."

   "Hi-hi-hik, ternyata engkau biarpun sudah tua masih tetap bodoh, Kwi-ong."

   "Apa maksudmu?"

   Kening tebal itu berkerut dan sinar mata datuk dari utara itu membayangkan kemarahan.

   "Kau kira dari manakah aku mendapat kepandaian sehingga kini menjadi Ang-kiam Bu-tek, tokoh nomor satu tak terkalahkan? Kau kira bagaimanakah aku sampai dapat mengalahkan bekas guruku, Lam-hai sin-ni yang menjadi tokoh terkuat dari Bu-tek Su-kwi dan membunuhnya? Dari mana aku mendapatkan kepandaian untuk merobohkan semua jagoan yang berani menentangku, membunuh Sin-to Gi-hiap dan yang lain-lain? Akulah orangnya yang telah berhasil mewarisi semua pusaka Sin-jiu Kiam-ong dan termasuk kitab I-kiong-hoan-hoat. Kalau engkau mau membantuku menghadapi Keng Hong sampai dia tewas, aku akan memberimu kitab pusaka Siauw-lim-pai kepadamu."

   Sepasang mata yang lebar dan tampak putih sekali karena mukanya hitam itu terbelalak, telinga yang lebar seperti telinga gajah itu bergerak-gerak. Pak-san Kwi-ong sudah maklum akan kelihaian bekas murid Lam-hai Sin-ni itu, akan tetapi mendengar pengakuan bahwa gadis ini yang berhasil mewarisi pusaka-pusaka Sin-jiu Kiam-ong, benar-benar merupakan hal yang tak disangka-sangkanya. Ia masih belum mau percaya benar, maka dia berkata,

   "Ang-kiam, bagaimana aku bisa tahu bahwa engkau tidak membohong?"

   "Pak-san Kwi-ong, apakah kepandaianku masih belum meyakinkan hatimu? Apakah engkau perlu untuk mencobanya lebih dulu?"

   Cui Im meraba gagang pedang merahnya.

   "Ha-ha-ha! Kita berdua tentu akan dihukum mati oleh kaisar kalau membuat ribut disini. Tentang engkau pandai sampai setinggi langit, aku tidak peduli. Akan tetapi bagaimana aku bisa percaya bahwa kitab I-kiong-hoan-hiat berada padamu kalau aku belum melihat buktinya?"

   "Bagus! Aku akan memperlihatkan kitab itu. Kalau memang benar, maukah engkau membantuku menghadapi Keng Hong dan kalau dia tewas aku akan memberikan kitab itu kepadamu sebagai balas jasa?"

   Kakek hitam yang amat membutuhkan kitab itu, mengangguk-angguk.

   "Kau tunggulah sebentar!"

   Cui Im berkelebat pergi dan tak lama kemudian ia sudah datang lagi bersama Siauw Lek yang tersenyum-senyum.

   "Lihatlah baik-baik, bukankah ini kitab yang kau inginkan itu?"

   Cui Im memegang sebuah kitab yang tadinya terbungkus kain kuning memperlihatkan sampulnya dan membuka-buka lembarannya. Sepasang mata kakek hitam itu makin melebar dan wajahnya berseri-seri. Ia mengenal kitab itu yang pernah dilihatnya dahulu di Siauw-lim-si akan tetapi yang tak pernah dapat dia miliki. Dahulu, dia siap mempertaruhkan nyawanya untuk mendapatkan kitab ini. Dan sekarang, dia akan dapat memilikinya dengan mudah! Syaratnya hanya membantu Cui Im menewaskan Keng Hong! Kalau dia sendiri disuruh menandingi Keng hong, setelah dia melihat kelihaian pemuda itu bertanding melawan Tio hok Gwan, agaknya akan amat sukar mengalahkan pemuda itu. Akan tetapi bersama-sama Cui Im dan Siauw Lek yang lihai benar-benar tidaklah amat sukar.

   "Baiklah, Ang-kiam Bu-tek. Aku terima permintaanmu! Jawabnya penuh gairah. Cui Im menyimpan kitabnya di balik baju dengan hati girang. Yang penting adalah menundukkan kakek ini supaya ikut membantunya. Yang penting adalah menewaskan Keng Hong. Kalau hal itu telah terlaksana, tentang pemberian kitab adalah merupakan urusan belakang! Mereka bertiga duduk melakukan perundingan.

   "Aku tidak mau bertindak sembrono,"

   Kata Cui Im.

   "Menghadapi lawan yang demikian lihai, kita tidak boleh terlalu mengandalkan kepandaian sendiri agar jangan sampai gagal. Terus terang saja, ilmu kepandaian yang dimiliki Keng Hong juga didapatnya dari kitab-kitab pusaka peninggalan Sin-jiu Kiam-ong. Sesungguhnya, aku tidak akan kalah menghadapinya karena kepandaian kami berdua setingkat dan sesumber. Akan tetapi.."

   Cui Im menarik napas panjang karena ia benar-benar merasa penasaran dan kecewa.

   "dia telah dapat dapat menguasai Thi-khi-I-beng yang entah dia dapatkan dengan cara bagaimana. Bahkan dahulu sebelum kami menemukan kitab-kitab itu, dia sudah memiliki ilmu mujijat itu. Akan tetapi, kalau kita maju bersama, kurasa kita akan dapat mengatasinya."

   Pak-san Kwi-ong yang kini menjadi bersemangat karena dia ingin sekali segera dapat memiliki kitab I-kiong-hoan-jiat, berkata,

   "Kurasa bukan hanya ilmu menyedot sinkang lawan itu saja yang perlu kita perhatikan. Apakah engkau juga mengenal ilmu silatnya ketika dia melawan Tio Hok Gwan?"

   Cui Im menggeleng kepala.

   "Belum pernah aku melihat dia mempergunakan ilmu silat aneh itu."

   "Ha-ha-ha! Apa sih anehnya ilmu silatnya itu?"

   Tiba-tiba Kim-lian Jai-hwa-ong Siauw Lek berkata dengan suara menghina.

   "Mereka gerakan tangannya, ilmu silatnya itu bukankah mengambil dari Pat-kwa Kun-hoat dan melihat gerak kakinya, tentulah Ngo-heng-kun. Mungkin merupakan penyatuan dua ilmu silat itu."

   Pak-san Kwi-ong yang tentu saja lebih banyak pengalamannya, menggeleng kepala dan berkata serius,

   "Bukan! Gerakan lengan yang membentuk lingkaran-lingkaran itu amat aneh dan kurasa merupakan ilmu silat simpanan yang tidak terkenal. Kita harus waspada menghadapi ilmu silatnya itu dan ilmu sedotnya yang lihai!"

   "Aku percaya kita bertiga akan dapat mengalahkannya!"

   Kata Siauw Lek. Pak-san Kwi-ong mengangguk.

   "Kurasa pun begitu. Biarpun dia lihai, mustahil kita bertiga takkan dapat mengalahkannya."

   Cui Im mengerutkan alisnya.

   "Aku ingin sekali turun tangan tidak sampai gagal. Kalau kita bertiga maju, kita hanya merasa unggul, akan tetapi aku belum yakin, sebaliknya kalau kita bisa mengajak seorang di antara rekan kita. Kurasa Kemutani paling boleh diandalkan dengan hui-to (pisau terbang) dia akan dapat mengacaukan lawan."

   "Hemmm, akan tetapi wataknya yang keras mana mungkin dapat kita bujuk?"

   Siauw Lek meragu.

   "Ha-ha-ha-ha-ha! Kesukaan Kemutani hanya satu dan pandang matanya kepadamu Ang-kiam..."

   Cui Im mengangguk.

   "Aku mengerti dan aku siap membalas budinya."

   "Akan tetapi dia.... mengingatkan aku akan kuda Mongol..."

   "Hussshhh, Siauw Lek. Jangan bicara begitu. Harap engkau suka memanggil dia ke sini."

   Cui Im mencela dan pandang matanya membuat Siauw Lek tak berani membantah lagi. Dia adalah kekasih Cui Im, dan dia tidak menjadi cemburu, bahkan tidak peduli kalau Cui Im berpesta pora membagi cinta berahinya kepada pemuda-pemuda tampan.

   Akan tetapi, membayangkan Cui Im dengan tubuhnya yang ranum dan menggairahkan, kulitnya yang halus putih kemerahan itu, harus melayani Kemutani? Dia bergidik. Teringat ia akan cerita orang betapa sudah ada tiga orang pelayan istana yang dihadiahkan kepada Kemutani, semua mati setelah berada di kamar peranakan Mongol itu selama tiga malam! Kemutani yang memiliki tenaga Iweekang yang amat kuat, bermuka pucat seperti mayat dan bertubuh tinggi kurus itu mengingatkan dia akan seekor kuda jantan Mongol yang amat berbahaya bagi setiap orang wanita! Kemutani muncul bersama Siauw Lek dan segera duduk menghadapi Cui Im. Pandang matanya tanpa disembunyikan lagi melihat belahan dada membusung di atas meja di hadapannya itu, wajahnya pucat berseri dan dia berkata dengan suara yang agak kaku karena dia lebih mahir berbahasa Mongol daripada bahasa Han,

   "Nona, engkau memanggil aku? Ada urusan apakah?"

   "Kemutani, aku ingin minta pertolonganmu dalam urusan pribadiku."

   Kemutani tersenyum dan matanya berkedip-kedip sebelum menjawab.

   "Ah, tentu saja, aku bersedia menolong, bukankah kita harus saling menolong? Siapa tahu sekali waktu aku pun ingin minta pertolongan darimu, Nona."

   Cui Im mengangguk-angguk dan semua maklum apa yang tersembunyi di balik ucapan itu.

   "Memang kita harus saling menolong dan aku berjani jika engkau suka membantuku dalam urusan ini, setelah berhasil aku pun akan suka membalasmu dengan membantumu."

   "Heh-heh-heh, betulkah? Katakan dulu, apakah urusan itu?"

   "Engkau sudah melihat sendiri bahwa ada datang musuh besarku yang hendak mencelakakan aku. Karena dia lihai, maka aku ingin minta bantuanmu menghadapinya bersama Pak-san Kwi-ong dan Jai-hwa-ong..."

   "Ah, pemuda lihai bukan main itu?"

   Kemutani tampak kaget karena diapun telah menyaksikan sepak terjang Keng Hong ketika menghadapi Hok Gwan dan diam-diam dia pun telah dapat menilai bahwa dia bukanlah lawan pemuda hebat itu.

   "Boleh jadi dia lihai, akan tetapi kalau kita berempat maju, aku yakin dia akan dapat kita tewaskan,"

   Jawab Cui Im dengan suara pasti.

   "Akan tetapi... Apakah kita tidak akan mendapat teguran kalau melakukan pembunuhan di kota raja? Padahal The-taiciangkun sendiri sudah mengetahui duduknya perkara dan sudah mengenal pemuda itu."

   "Kita harus cerdik. Aku akan memancingnya di luar kota raja dan kita habiskan nyawanya di sana. Pendeknya, hal itu kau tak usah khawatir, aku yang akan mengaturnya. Yang penting, maukah engkau membantuku menghadapi dia?"

   Kemutani tampak meragu, akan tetapi pada saat itu, senyum manis sekali di bibir setengah terbuka penuh tantangan, pandang mata yang indah, dada yang agak dibusungkan, memberi janji yang menggetarkan nafsu berahinya.

   "Nona, apakah balas jasamu untuk membantuku?"

   "Sudah kukatakan, kalau kau suka membantuku, aku pun bersedia membantu, apa saja yang kau minta dariku. Kalau engkau membantuku dan kita berhasil menewaskan dia, boleh kau terima balas jasa itu."

   "Betul? Heh-heh-heh, engkau bersedia... Eh menemani aku semalam suntuk?"

   Ucapan kasar dan terang-terangan di depan orang-orang lain ini tentu akan membikin merah telinga orang, terutama telinga wanita yang bersangkutan. Akan tetapi Cui Im kebal dan ia malah tersenyum, juga Siauw Lek dan Pak-san Kwi-ong mendengar ucapan ini dengan sikap biasa saja. Cui Im mengangguk.

   "Dengan senang hati aku akan menemanimu, Kemutani, setelah engkau membantu kami menewaskan Keng Hong."

   "Wah, aku tidak mau kalau syaratnya harus menewaskan. Bagaimana kalau usaha kita gagal dan dia tidak sampai tewas? Padahal aku sudah membantumu! Bukankah aku akan membantu dengan sia-sia belaka? Tidak, Nona. Janjinya harus begini. Aku akan membantumu menghadapi pemuda sakti itu dan akan kuusahakan sekuat tenagku agar engkau menang dan dia tewas. Akan tetapi, tidak peduli dia terbunuh atau tidak, setelah aku membantumu dan kita kembali ke istana, engkau harus memenuhi permintaanku, menemaniku berenang di lautan asmara selama semalam suntuk. Aku selalu rindu untuk mendapat teman yang akan dapat mengimbangiku dan kurasa hanya engkaulah orangnya, Nona. Bagaimana? Berhasil atau tidak membunuh Keng Hong, engkau harus menemani aku!"

   Cui Im mengangguk dan tersenyum, mengerjapkan mata kirinya dengan gaya yang manis memikat, lalu berkata,

   "Baiklah, Kemutani. Aku pun ingin sekali menguji sampai di mana kekuatanmu berenang di lautan seperti yang disohorkan orang!"

   Ucapan Cui Im ini pun tentu akan terasa menggatalkan telinga orang-orang biasa, akan tetapi mereka yang mendengarkan hanya tertawa. Mereka lalu berunding di dalam kamar itu mengatur siasat, atau tepatnya, Cui Im yang menjelaskan siasatnya kepada tiga orang pembantunya.

   "Menurut penyelidikanku, Keng Hong masih terus menanti di luar kota raja. Kalau kita langsung datang ke sana, tentu dia akan mendapat kesempatan melarikan diri apabila dia melihat akan dikeroyok. Lebih baik kita pura-pura tidak tahu bahwa dia mengintai di sana, biar dia menganggap aku sudah merasa aman dan aku akan bersenang-senang di sana bersama seorang pemuda. Tentu dia muncul dan kalian bertiga yang sudah bersembunyi lebih dulu, menyergap. Kalau dia terjebak memasuki pondok, tidak akan ada jalan keluar lagi baginya."

   Tiga orang itu mengangguk-angguk dan akhirnya Siauw Lek bertanya,

   "Dengan pemuda mana engkau akan ke sana dan kapan akan dilakukan siasat ini?"

   Pertanyaan itu sama sekali tidak mengandung nada suara cemburu, dan Cui Im menjawab,

   "Aku belum tahu. Harus kucari dulu, kemudian setelah dapat baru akan kutentukan waktunya."

   Berakhirlah perundingan gelap ini dan Cui Im lalu keluar dan seperti biasa di waktu dia bebas tugas, ia menunggang kuda dan mengelilingi kota sambil memasang matanya mencari-cari pemuda yang mencocoki hatinya, seperti mata seekor burung elang mencari anak ayam atau burung kecil yang berdaging penuh.

   Biarpun baru kurang lebih setahun Cui I menjadi pengawal istana, akan tetapi ia sudah amat terkenal di kota raja. Hampir semua orang tahu siapakah gerangan gadis berpakaian mewah dan indah, cantik, jelita, dan menunggang seekor kuda yang besar itu. Maklum pula bahwa di samping memiliki kepandaian yang disohorkan orang seperti kepandaian seorang dewi dari langit, juga bahwa wanita cantik menggairahkan ini memiliki hobby mencari pemuda tampan untuk diajak bersenang-senang. Tentu saja bagi pemuda yang dipilih, hal itu merupakan pengalaman yang takkan terlupakan, merasa beruntung seperti kejatuhan bulan. Maka tidaklah mengherankan apabila Cui Im sedang menunggang kuda keliling kota, para pemudanya keluar dari dalam rumah dan memasang gaya masing-masing di depan pintu. Siapa tahu mereka akan terpilih!

   Akan tetapi sekali ini, Cui Im tidak mau memilih pemuda sembarangan saja. Sudah terlalu lama, hampir tiga bulan ia terpaksa menahan nafsunya karena tidak berani keluar dari istana, apalagi pergi bersenang-senang di pondoknya di luar kota. Dia ingin memilih seorang pemuda yang betul-betul memenuhi syarat selera hatinya, untuk diajak bersenang-senang sampai sepuasnya dan juga untuk dipergunakan sebagai umpan memancing keluarnya Keng Hong. Jadi, untuk malam istimewa yang direncanakan itu dia harus mendapatkan seorang pemuda yang betul-betul istimewa! Hatinya kesal karena dia tidak melihat pemuda yang baru. Dia bosan melihat para pemuda yang itu-itu juga berlumba gaya di depan pintu, memasang aksi dan tersenyum-senyum kepadanya. Akan tetapi tentu saja tidak ada seorang pun di antara para pemuda itu yang berani bersikap kurang ajar.

   Mereka semua sudah mengenal siapa Cui Im, seorang wanita yang di satu saat dapat menjadi seorang bidadari dengan jari-jari tangan halus mesra membelai, akan tetapi di saat lain dapat menjadi iblis yang akan membunuh orang tanpa berkedip mata! Dengan hati kesal Cui Im menghentikan kudanya di depan sebuah restoran yang paling terkenal di kota raja. Seorang pelayan cepat menuruni anak tangga depan restoran dan sambil terbongkok-bongkok lalu meneria kendali kuda untuk menuntun kuda nona itu ke kandang kuda yang tersedia di belakang restoran. Cui Im melangkahkan kaki dengan sigap dan sikap angkuh memasuki restoran, tidak begitu mengacuhkan para pelayan yang menyambutnya dengan senyum-senyum menjilat dan tubuh terbongkok-bongkok.

   "Sediakan meja di sudut dalam, menghadap keluar. Aku ingin makan masakan yang paling enak!"

   Kata Cui Im singkat. Pengurus rumah makan itu dengan ramah lalu mempersilakan nona ini duduk di meja sudut sebelah dalam. Cui Im duduk dan memandang keluar. Dari tempat duduknya ia tidak hanya dapat melihat semua tamu yang memasuki restoran, bahkan dapat melihat orang-orang yang lewat dijalan besar depan restoran itu. Dia tidak peduli akan pandangan semua tamu yang menoleh ke arahnya sejak ia memasuki restoran sampai ia duduk. Ada di antara mereka beberapa orang pria muda yang cukup ganteng,

   Akan tetapi tidak ada yang memenuhi seleranya. Hal ini agaknya disebabkan oleh sikap orang-orang muda itu sendiri yang memandangnya penuh gairah. Cui Im terlalu sering melihat pandang mata seperti itu sehingga ia menjadi kebal dan terbiasa. Pandangan laki-laki penuh gairah dan kagum kepadanya malah membosankan, bahkan menjemukan hatinya. Dia ingin mencari seorang pria yang betul-betul istimewa, muda atau tua tidak menjadi soal baginya. Tiba-tiba pandang mata Cui Im berkilat dan seluruh tubuhnya menegang penuh getaran, semangatnya bangkit dan setiap urat syaraf di tubuhnya berdenyut, terbawa oleh jantungnya yang berdebar. Pandang matanya seperti lekat kepada seorang pemuda yang memasuki restoran itu. Begitu melihat wajah pemuda ini, melihat tubuhnya yang sedang berpakaian hijau,
(Lanjut ke Jilid 28)
Pedang Kayu Harum (Seri ke 01- Serial Pedang Kayu Harum)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 28
Bertemu pandang dengan sepasang mata tajam di bawah alis yang hitam tebal, nafsu berahinya bangkit, menyala dan berkobar. Pemuda itu usianya sekitar dua puluh lima tahun, wajahnya membayangkan kejantanan, akan tetapi gerak-geriknya halus. Alisnya yang tebal hitam, matanya tajam dan hidungnya mancung, bibirnya merah membayangkan kesehatan. Wajah yang tampan dan membayangkan kehalusan budi. Melihat bentuk pakaiannya yang kehijauan mudah diketahui bahwa dia adalah seorang pemuda terpelajar, seperti pakaian sastrawan di masa itu, serba longgar, dengan lengan baju lebar. Akan tetapi pakaian itu agaknya kotor dan berdebu, tanda bahwa dia adalah seorang pendatang dari luar kota raja dan agaknya baru saja datang dari perjalanan jauh. Ada kelelahan karena perjalanan tapamk dalam keadaan pakaian dan sepatunya yang berdebu.

   Sebuah buntalan kain kuning yang cukup besar, agaknya terisi bekal pakaian dan lain-lain, diletakkan pemuda itu di atas bangku dekat meja. Kemudian ia duduk dan tidak mengacuhkan keadaan sekelilingnya. Dia bukan seorang yang bersikap tinggi hati, akan tetapi jelas tidak merasa rendah berada di restoran, di antara tamu-tamu yang berpakaian mewah bersih itu. Dengan suara tenang dan halus dia memesan makanan kepada pelayan. Kebetulan sekali pemuda itu duduknya menghadap ke dalam sehingga Cui Im dapat melihat wajahnya dari depan. Debar jantung wanita ini makin mengencang. Ia merasa amat tertarik. Inilah pemuda yang dicarinya! Agaknya pandang mata Cui Im yang tajam penuh perasaan itu terasa getarannya oleh pemuda itu karena dia mengangkat muka dan beberapa detik pandang mata mereka bertaut.

   Pemuda itu cepat menunduk dan Cui Im makin tersiksa hatinya dan tergugah nafsunya. Pemuda itu memandangnya dengan heran, seolah-olah mengherankan kehadiran seorang wanita muda sendirian dalam restoran besar itu. Sama sekali tidak ada pandang mata gairah dan kagum seperti didapatkan Cui Im berada dalam sinar mata tiap orang pria yang memandangnya. Dia menjadi makin tertarik dan juga penasaran. Begitu angkuhkah pemuda ini sehingga tidak tertarik kepadanya? Hemmm, aku harus mendapatkan engkau dan akan kubikin mabuk engkau dengan kecantikanku, dengan sifat kewanitaanku, sampai engkau suka bertekuk lutut dan mencium telapak kakiku, demikian bisik hati Cui Im yang menjadi penasaran dan gemas karena baru pertama kali ini dia tidak dipedulikan oleh seorang pria! Memang watak yang aneh dan juga sukar sekali yang dimiliki Cui Im.

   Tadi dia merasa jemu melihat semua pemuda memandangnya penuh kagum dan gairah. Kini bertemu dengan seorang pria yang tidak memandangnya dengan kagum dan gairah, ia menjadi penasaran dan mendongkol! Pesanan makanan Cui Im datang lebih dulu dan dengan sikap amat hormat dan ramah, dua orang pelayan mengatur hidangan itu di atas meja di depan Cui Im. Pemuda baju hijau itu terpaksa memandang, bukan untuk mengagumi wajah Cui Im, melainkan karena bau sedap masakan yang mengepul itu menambah perih perutnya yang amat lapar, dan juga sikap dua orang pelayan yang menjilat-jilat, banyaknya hidangan yang sampai tujuh macam di piring dan mangkok besar itulah. Akan tetapi Cui Im memandang wajah pemuda itu dan ketika dua orang pelayan sudah meninggalkan meja dan kebetulan pandang mata mereka bertemu,

   Cui Im memandang mesra penuh daya pikat, bibirnya yang manis tersenyum dan mengangguk sedikit memberi isyarat menawarkan. Merah wajah pemuda itu, Ia merasa telah melakukan hal tidak pantas, memandang orang mau makan. Melihat isyarat itu ia lalu menggerakkan tubuh membungkuk dan mengangkat kedua tangan di dada sebagai ucapan terima kasih dan minta maaf sekaligus, kemudian menundukkan muka tidak berani memandang lagi. Sampai lama jari-jari tangan Cui Im menjepit tanpa mulai makan. Ia terus memandang pemuda itu, hatinya tertarik sekali. Sikap pemuda itu begitu lemah lembut, begitu sopan dan sama sekali tidak memperlihatkan kagum atau tertarik. Betapa sukarnya mencari pemuda yang memang sudah mengaguminya, kadang-kadang membosankan.

   Belum pernah ia mendapatkan penyerahan diri seorang pria yang tadinya memandang rendah kepadanya. Betapa akan mesranya kalau pemuda sopan dan tak acuh atas kecantikannya seperti pemuda di depannya itu akhirnya menyerah dalam pelukannya! Betapa akan terasa bangga hatinya. Seorang pelayan datang membawa bak terisi makanan yang dipesan pemuda itu. Cukup seorang saja yang melayaninya karena yang dipesannya pun hanya nasi, bakmi dan semacam masakan bersama seguci arak. Setelah hidangan di atur di meja dan pelayan mempersilakannya makan, pemuda itu agaknya teringat kepada Cui Im yang tadi menawarinya. Hatinya merasa tidak enak kalau dia diam saja maka lebih dulu mengerling ke arah meja gadis cantik itu yang tentu sedang asyik makan sehingga dia mendapat alasan untuk tidak menawarkan,

   Akan tetapi mukanya menjadi merah sekali ketika dia melihat bahwa gadis itu hanya memegang sumpit dan belum mulai makan, bahkan sedang memandanginya dan tersenyum ketika pandang mata mereka bertemu! Dengan sikap canggung dan tersipu pemuda itu mengangguk untuk menawarkan, dibalas oleh Cui Im yang tersenyum lebar sehingga tampak deretan giginya yang putih. Tiba-tiba pemuda itu melihat Cui Im mengambil sebuah di antara mangkok-mangkok terisi masakan sekali menggerakkan tangan, mangkok itu melayang di udara, berputaran dan hinggap di atas meja depan pemuda itu, sedikit pun tidak tumpah kuahnya! Pemuda itu terbelalak kaget dan memandang Cui Im penuh pertanyaan, juga penuh keheranan. Cui Im tersenyum lalu berkata lirih,

   "Silakan, Siangkong (Tuan Muda), masakan yang dihidangkan untukku terlalu banyak."

   Wajah pemuda itu menjadi merah sekali, akan tetapi dia hanya mengangguk dan menjawab lirih,

   "Terima kasih."

   Kemudian mulai makan dengan lambat, tidak berani memandang ke kanan kiri karena dia merasa bahwa para tamu lainnya tentu melihat semua kejadian tadi sehingga dia menjadi malu sekali. Akan tetapi pemuda ini diam-diam merasa heran sekali mengapa tidak ada seorang pun yang mengeluarkan suara, padahal apa yang dilakukan wanita itu adalah hal yang tentu akan menimbulkan keheranan banyak orang. Melempar semangkok masakan seperti itu sungguh merupakan perbuatan aneh yang takkan dapat dilakukan oleh sembarangan orang! Tentu saja pemuda ini sama sekali tidak tahu bahwa wanita cantik itu adalah pengawal rahasia kaisar, dan tidak tahu bahwa tidak ada seorang pun yang berani mencampuri urusan wanita itu, apa pun yang dilakukannya! Cui Im sudah mengambil keputusan tetap di hatinya. Pemuda inilah pilihannya!

   Pemuda tampan yang merupakan pendatang baru, yang begitu sopan, begitu halus dan lemah lembut, yang masih begitu murni sehingga tidak mengacuhkan kecantikan dan sinar matanya yang penuh pancaran kasih. Apakah pemuda itu masih begitu bodoh? Usianya tidaklah muda lagi, akan tetapi agaknya dia masih jejaka dan besar kemungkinan belum pernah berdekatan dengan wanita. Pikiran ini membuat Cui Im makin terangsang dan ia menelan ludah. Ia mengilar seperti seorang wanita mengandung melihat buah muda yang masam! Harus ia dapatkan pemuda itu, untuk menemaninya sepuasnya dan untuk memancing Keng Hong. Setelah menghabiskan beberapa potong daging dan minum beberapa teguk arak, ia lalu bangkit berdiri dan keluar dari rumah makan itu diikuti para pelayan yang membungkuk-bungkuk penuh hormat. Cui Im meloncat ke atas punggung kuda.

   Setiap rumah makan atau kedai apa saja takkan ada yang berani menerima uang pembayaran Cui Im, apalagi memintanya! Melihat betapa pelayan-pelayan begitu menghormat, bahkan melihat pula betapa gadis itu pergi saja tanpa membayar, pemuda itu menjadi makin heran. Dia tidak tertarik oleh kecantikan gadis itu, kecantikan yang dia tahu menyembunyikan sifat yang amat tidak menyenangkan, sungguhpun dia tidak tahu sifat apakah itu, hanya dia dapat menangkap sikap tercela dari sinar mata dan senyum memikat gadis itu. Akan tetapi dia amat tertarik melihat betapa gadis itu amat dihormat, dan melihat kepandaian hebat gadis itu yang tadi melempar mangkok secara luar biasa. Karena tertarik, ketika dia selesai akan dam memanggil pelayan untuk membayar, sambil lalu dengan suara tak acuh dia bertanya,

   "Lopek, tahukah Lopek (Paman) siapa nona yang duduk di situ tadi?"

   Mendengar pertanyaan ini, pelayan itu memandang pemuda itu dengan mata lebar, meneliti pemuda itu dari kepala sampai ke kaki, kemudian menggeleng kepala!

   "Ah, tentu Kongcu seorang pendatang dari jauh maka tidak mengenalnya. Dan sebetulnya Kongcu amatlah bahagia mendapatkan perhatiannya. Hemmm... sungguh aneh dunia ini... Yang mengharapkan tidak mendapat, yang sama sekali tidak sengaja malah menemukan! Dia itu adalah Bhe-siocia yang terkenal sebagai pengawal istana dan berjuluk Ang-kiam Bu-tek.."

   Pelayan itu bergegas menerima pembayaran dan pergi, seolah-olah merasa ketakutan telah berani menyebut nama julukan itu. Karena bergegas pergi, pelayan itu tidak melihat wajah pemuda pelajar itu berubah mendengar nama julukan Ang-kiam Bu-tek. Pemuda itu lalu mengambil buntalannya, memanggulnya dan dengan langkah tenang keluar dari restoran, tidak peduli betapa dia menjadi pusat perhatian para tamu lainnya yang merasa iri hati melihat sikap Cui Im tadi kepada pemuda itu dan juga merasa amat heran mengapa ada pemuda yang menerima keuntungan seperti itu sama sekali tidak mengacuhkannya! Pemuda yang sedang melihat-lihat keramaian kota raja, tiba-tiba mendengar derap kaki kuda yang berhenti lari setelah tiba di belakangnya, kemudian terdengar suara halus merdu menegurnya,

   "Siangkong, harap berhenti dulu...!"

   Pemuda dapat menduga siapa yang menegurnya sungguhpun di dalam hati dia merasa terheran, maka ketika dia berhenti dan memutar tubuh, melihat Cui Im duduk dengan gaya indah menarik di atas kudanya yang besar, dia tidak menjadi kaget. Ia cepat mengangkat kedua tangan ke depan dada memberi hormat dan berkata,

   "Ah, saya menghaturkan terima kasih atas keramahan Nona di restoran tadi. Tidak tahu apakah yang dapat saya lakukan untukmu maka Nona menghentikan saya?"

   Kembali Cui Im kagum. Pemuda ini benar-benar amat halus dan sopan santun. Kesopanan yang menimbulkan keraguan di hatinya. Jangan-jangan pemuda ini jasmaninya selemah sikapnya yang halus. Akan tetapi ia mengusir keraguannya dan tersenyum manis sekali, kemudian dengan gerakan lemas, dengan gerak pinggang ramping yang lemah gemulai, ia turun dari atas punggung kudanya, menuntun kuda mendekati pemuda itu. Dengan kendali kuda di tangan ia membalas penghormatan pemuda itu, bersoja (mengangkat kedua tangan depan dada) dan berkata,

   "Tidak perlu berterima kasih, Siangkong. Aku tertarik melihat engkau yang agaknya merupakan seorang pendatang baru di kota raja, dan ingin sekali berkenalan. Kalau sudi Siangkong berkenalan dengan seorang bodoh seperti aku.."

   Cui Im menutupi mukanya untuk menyembunyikan senyum lebar.

   "aku bernama Bhe Cui Im..."

   "Nona terlalu merendahkan diri. Kalau seorang seperti Nona menyebut diri bodoh, tentu saya merupakan seorang setolo-tololnya. Tentu saja saya merasa mendapat kehormatan besar sekali dapat berkenalan dengan Nona. Nama saya Yap Cong San."

   "Nama yang bagus, sesuai dengan orangnya.."

   Kata Cui Im dan ia menahan ketawanya ketika melihat betapa wajah pemuda itu menjadi merah sampai ke leher! Untuk menolong Cong San dari rasa malu, Cui Im cepat berkata lagi.

   "Yap-siangkong datang ke kota raja tentu hendak mengikuti ujian bukan?"

   "Hemmm....., ya, benar. Mengikuti ujian, akan tetapi saya adalah seorang yang amat bodoh..."

   "Eh, Siangkong terlalu merendahkan diri. Siangkong tentulah seorang terpelajar, aku yakin benar akan hal ini.. eh, tidak enak bicara di tengah jalan begini. Di manakah Siangkong bermalam?"

   
Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Saya baru saja datang, karena lapar terus makan di restoran tadi belum sempat mencari rumah penginapan."

   "Ah, kalau begitu saya bisa menolong Siangkong.."

   "Jangan merepotkan diri, Nona. Sesunguhnya saya... saya merasa amat malu menganggu Nona. Apalagi, Nona yang terhormat di kota raja ini, kalau dilihat orang bicara dengan seorang sastrawan miskin seperti saya""

   "Hemmm.... hendak kulihat siapa yang berani mencela aku..!"

   Cui Im sengaja menengok sekelilingnya dan Cong San melihat dengan heran betapa semua orang yang tadinya memandang ke arah mereka, segera menundukkan muka dan melanjutkan perjalanan dengan secepatnya dan tergesa-gesa, seolah-olah dari pandang mata Cui Im memancar api panas yang membuat mereka tidak betah memandang lebih lama.

   "Hemmm, Nona tentu seorang yang amat berkuasa di sini."

   "Benar, Yap-siangkong. Karena itu, marilah kau ikut denganku dan kucarikan tempat penginapan yang patut untukmu. Marilah!"

   Pemuda kelihatan canggung dan malu, akan tetapi dia melangkah dan berjalan di samping nona itu yang bicara dengan senyum-senyum,

   "Percayalah, Siangkong, saya tidak mempunyai niat buruk terhadap Siangkong, saya tahu bahwa Siangkong seorang yang pandai dan terpelajar. Sebagai seorang asing di sini, kasihan kalau Siangkong tidak mendapatkan tempat yang layak."

   Cui Im membawa Cong San ke sebuah hotel terbesar di kota raja. Melihat pakaian para pelayan di situ dan melihat tempat penginapan yang besar, tamu-tamu yang berpakaian mewah, Cong San dapat menduga bahwa kalau dia muncul sendirian di situ agaknya dia akan dipandang rendah dan tentu biaya penginapan di situ amat mahal. Diam-diam ia menghitung bekalnya yang tidak banyak. Akan tetapi karena dia datang bersama Cui Im, para pelayan sibuk menyambut mereka berdua, bahkan kuasa hotel itu sendiri menyambut sambil membongkok-bongkok sehingga pinggangnya hampir patah.

   "Selamat datang, selamat datang, Lihiap (Pendekar Wanita)! Sungguh merupakan kehormatan besar mendapat kunjungan Lihiap. Apakah Lihiap hendak menggunakan kamar? Ataukah ada perintah lain yang harus kami lakukan?"

   Kata kuasa hotel itu tersenyum-senyum dan juga tidak lupa menyoja dengan hormat kepada Cong San. Cui Im tersenyum dan melirik ke arah Cong San seperti hendak membanggakan diri atas sikap kuasa hotel dan para pelayan itu.

   "Tidak, bukan aku yang membutuhkan kamar, melainkan sahabat baikku, Yap-siangkong ini. Harap kau suka memberi kamar terbaik untuknya dan melayaninya dengan baik pula."

   "Tentu... Tentu, Lihiap. Marilah, Yap-siangkong!"

   Kuasa hotel itu menjura kepada Cong San. Pemuda ini cepat berkata kepada Cui Im,

   "Banyak terima kasih, Nona."

   "Ah, diantara sahabat mengapa banyak sungkan, Siangkong?"

   Bantah Cui Im "mengharap Siangkong akan memenuhi undanganku untuk minum arak malam nanti."

   Cong San hendak membantah, akan tetapi nona itu sudah melangkah keluar, di ruangan depan ia menengok sambil tersenyum dan berkata,

   "Saya akan mengirim utusan mengundangmu, Siangkong."

   Lalu dengan langkah ringan dan lincah, Cui Im keluar, meloncat ke atas kudanya dan membalapkan kuda pergi dari situ, meninggalkan debu mengepul di halaan hotel.

   "Yap-siangkong amat beruntung menjadi sahabat baik Bhe-lihiap,"

   Kuasa hotel itu berkata sambil tertawa.

   "Silakan, Siangkong."

   Terpaksa Yap Cong San mengikuti kuasa hotel itu, dipandang oleh para pelayan yang tersenyum-senyum dan membungkuk-bungkuk. Setelah mereka memasuki sebuah kamar yang besar, lengkap dengan perabotan dan amat bersih, Cong San menjadi khawatir dan berkata,

   "Twako, terus terang saja, sahabatku nona Bhe Cui Im itu agak berlebihan. Aku seorang miskin, bagaimana dapat menyewa sebuah kamar sebesar dan semewah ini? Beri padaku sebuah kamar yang kecil saja, yang paling murah."

   "Aiiihhhhh, mana bisa begitu. Saya masih sayang akan nyawa saya, Siangkong. Lihiap telah menentukan kamar yang terbaik untukmu, mana berani saya melanggar perintahnya? Harap Siangkong tidak merendahkan diri. Sebagai sahabat lihiap, saat ini Siangkong menjadi tamu agung bagi kami."

   "Tapi.... tapi...

   "

   Cong San memegang lengan kuasa hotel yang hendak meninggalkan kamar itu.

   "Saya... Tidak akan kuat membayar! Berapa sewanya sehari semalam, Twako?"

   "Ha-ha-ha-ha-ha! Siangkong berkelakar! Mana berani saya menerima uang sewa dari Siangkong? Tidak usah bayar, biar sampai sebulan sekalipun. Nah, selamat beristirahat, Siangkong. Pelayan akan siap menjaga di luar dan menanti segala perintah Siangkong."

   Cong San berdiri tertegun di tengah kamar, kemudian dia menghela napas panjang dan menutup daun pintu, meletakkan buntalan besar di atas meja kemudian dia tertawa seorang diri mengingat segala peristiwa, peristiwa-pwristiwa yang sama sekali tidak pernah diduganya! Benar saja pelayan hotel itu bersikap amat hormat kepadanya dan melayani segala keperluan.

   Cong San juga tidak sungkan-sungkan lagi, malah minta disediakan air panas untuk mandi dan pada sore hari itu ia memesan makanan yang cepat diantar ke kamarnya. Setelah makan sore, dengan pakaian yang bersih, sedangkan pakaiannya yang kotor cepat-cepat dicuci oleh para pelayan, dia duduk di kamarnya membaca buku. Melihat kitab yang dibacanya, yaitu kitab-kitab Susi Ngokeng, para pelayang maklum bahwa pemuda ini adalah seorang terpelajar yang datang dari jauh untuk mengikuti ujian negara. Sementara itu, Cui Im sudah berunding dengan tiga orang pembantunya, yaitu Siauw Lek, Pak-san Kwi-ong dan Kemutani. Penjagaan sekitar kamar kaisar diserahkan kepada Gu Coan Kok, Hok Ku dan Cou Seng. Kemudian tiga orang pembantunya itu diam-diam berangkat keluar dan bersembunyi di dekat pondok merah di luar kota raja sebelah barat.

   Adapun Cui Im lalu mengirim seorang pelayan ke rumah penginapan untuk memberi tahu kepada Cong San, melalui sebuah surat yang ditulisnya sendiri. Ketika Cong San yang sedang membaca kitab di kamarnya itu diberi tahu oleh pelayan hotel dan menerima surat dari pelayan istana, dia terkejut dan cepat merobek sampulnya dan membaca surat dengan kertas merah wangi dengan tulisan yang tidak terlalu buruk bagi seorang wanita yang begitu ditakuti orang. Ternyata surat itu memberitahukan bahwa Bhe Cui Im mengundangnya untuk minum arak sambil bicara tentang sastra di pesanggrahan wanita itu, dan bahwa Cong San diminta untuk bersiap-siap karena akan dijemput sendiri oleh wanita cantik itu! Cong San, mengangguk-angguk dan berkata kepada pelayan utusan,

   "Harap sampaikan terima kasihku kepada nona Bhe, dan katakan bahwa aku siap."

   Setelah utusan itu pergi, Cong San cepat berganti pakaian yang paling baik, juga berwarna hijau pupus, kemudian dia menanti di luar kamarnya. Malam telah mulai gelap dan lampu-lampu telah di nyalakan ketika terdengar derap kaki kuda dan seorang pelayan hotel berlari-lari menyampaikan warta bahwa "lihiap"

   Telah menanti di luar. Cong San menutup pintu kamarnya dan dia berjalan keluar. Diam-diam dia kagum juga melihat Cui Im yang berdandan serba indah, kelihatan cantik dan gagah perkasa, sedangkan bau yang harum semerbak menyambut hidungnya ketika wanita itu mendekat.

   "Ah, engkau baik sekali, Siangkong. Ternyata telah siap. Mari kita segera berangkat sebelum malam terlalu gelap."

   "Berangkat ke mana? Di manakah pesanggrahan itu, Nona?"

   "Tidak jauh kalau berkuda. Marilah arak dan hidangan telah tersedia di sana! Siangkong duduk di depan atau di belakang?"

   Muka Cong San menjadi merah sekali. Untung bahwa cahaya lampu di ruangan depan hotel itu juga merah sehingga warna mukanya tidak terlalu kentara, akan tetapi andaikata ketahuan juga, para pelayan yang berada di situ tidak ada yang berani mentertawainya.

   "Maksudmu... Kita berboncengan?"

   Tanyanya, agak gugup karena memang selama hidupnya, biar usianya sudah dua puluh lima tahun, belum pernah dia berdekatan dengan wanita, apalagi boncengan menunggang kuda!"

   Cui Im tertawa senang. Makin sukalah ia kepada pemuda yang masih "murni"

   Itu, dan ia berkata merdu,

   "Maaf, Siangkong. Karena tergesa-gesa, saya hanya membawa seekor kuda. Terpaksa kita boncengan!"

   "Ah, mana saya berani, Nona? Biarlah Nona menunggang kuda aku berjalan kaki saja."

   "Mana bisa begitu, Siangkong? Apakah Siangkok merasa jijik duduk dekat dengan saya? Ataukah ... Siangkong tidak sudi menerima undanganku?"

   "Eh...., eh, bukan begitu, Nona. Engkau sudah begitu baik... Hanya, saya suka berjalan kaki dan... Saya senang sekali memenuhi undangan Nona..."

   Cong San berkata gagap.

   "Nah, kalau begitu, kita harus boncengan. Jangan khawatir, kudaku ini kuat sekali, biar ditunggangi empat orang yang kuat. Tempat saya itu dekat kalau menunggang kuda, akan tetapi terlalu jauh kalau jalan kaki, di luar kota raja. Siangkong telah melakukan perjalanan jauh, tentu lelah kalau berjalan. Marilah Siangkong suka di depan atau di belakang?"

   Melihat wanita cantik itu bicara terang-terangan di depan banyak pengawal yang tentu ikut mendengarkan, Cong San khawatir kalau menjadi buah tertawaan maka dia lalu berkata,

   "Biarlah.... Aku di belakang saja, Nona."

   Cui Im tertawa dan Cong San merasa betapa pipi dan telinganya panas. Ia sadar akan kebodohannya. Kalau dia di belakang, ah, seolah-olah dia merasa senang memangku tubuh yang montok itu. Akan tetapi bagaimana? Masa dia seorang laki-laki harus duduk di depan? Akan tetapi Cui Im sudah meloncat ke atas punggung kuda, menggeser ke depan dan berkata,

   "Memang seharusnya Siangkong di belakang, karena saya yang tahu jalan dan saya yang mengendalikan kuda. Marilah, Siangkong!"

   Yap Cong San menghampiri kuda dan kelihatan bingung dan malu.

   "Kuda begitu tinggi.."

   "Meloncatlah!"

   Kata Cui Im yang menganggap meloncat ke punggung kuda seperti permainan kanak-kanak saja.

   "Saya... Saya tidak bisa....!"

   Cong San berkata dan para pelayan yang mendengar ini pun tidak dapat menyalahkan si pemuda karena bagi yang tidak ada kepandaian, apalagi yang tidak biasa menunggang kuda, meloncat setinggi itu bukan pekerjaan mudah. Lebih-lebih karena di atas punggung kuda itu sudah ada orangnya!

   "Mari tanganmu, kubantu!"

   Cui Im berkata, kehilangan kesabaran karena ia sudah ingin cepat-cepat berdua dengan pemuda yang menggugah nafsunya ini. Cong San mengulur tangan, ditangkap oleh tangan kecil halus itu dan tiba-tiba tubuhnya melayang ke atas, ditarik oleh tenaga yang hebat bukan main. Tahu-tahu dia telah duduk di belakang tubuh nona itu.

   "Berpeganglah kuat-kuat!"

   Kata Cui Im dan kuda itu sudah meloncat ke depan. Cong San memegangi sela kuda dengan kaku, tubuhnya terguncang dan miring-miring.

   "Eh, awas, engkau nanti jatuh. Berpeganglah padaku, peluk pinggangku kata Cui Im yang membalapkan kudanya lebih cepat lagi dengan maksud agar si pemuda menjadi ketakutan. Benar saja, terpaksa Cong San merangkul pingang yang ramping itu sehingga diam-diam Cui Im menjadi girang bukan main, tubuhnya terasa panas semua karena nafsu berahinya sudah berkobar! Sela kuda itu legok bagian tengahnya.

   Karena Cui Im duduk di pinggir depan dan tubuh Cong San duduk di pinggir belakang tentu saja tubuh mereka merosot ke tengah dan berada di bagian yang melekuk. Cong San yang jauh daripada pengaruh nafsu, merasa malu dan canggung dan malu sekali. Tubuh bagian depannya terpaksa berhimpitan dengan tubuh belakang wanita itu yang lunak, halus dan hangat. Beberapa kali Cui Im terkekeh genit dan sengaja menggeser makin ke belakang sehingga tubuh mereka merapat berhimpitan! Bahkan kadang-kadang, kalau kuda meloncat, tubuh wanita itu melambung dan terjatuh di atas paha Cong San sehingga tubuh wanita itu seperti dipangkuannya, sedangkan pinggang wanita itu dipeluknya! Para penjaga pintu gerbang di barat tadinya menghadang, akan tetapi melihat Cui Im, mereka memberi hormat dan tertawa lalu membukakan pintu gerbang, membiarkan kuda wanita itu lewat tanpa gangguan sedikit pun.

   Setelah keluar dari pintu gerbang, kuda membalap cepat dan tak lama kemudian tibalah mereka di sebuah pondok merah yang indah dan diterangi lampu-lampu dengan teng berkembang. Tiga orang pelayan yang bertubuh tinggi besar segerta menyambut, seorang menerima kuda, dan dua orang mengiringkan Cui Im dan Cong San memasuki pondok merah. Cong San terbelalak kagum menyaksikan isi pondok yang ternyata mewah dan serba indah. Di dalam pondok terdapat sebuah ruangan dan disitu tampak sebuah pintu terbuka, memperlihatkan sebuah kamar tidur yang mentereng dan bau harum semerbak keluar dari kamar tidur yang terbuka menantang itu. Di dalam ruangan terdapat sebuah meja dengan dua bangku dan hidangan yang masih hangat mengepul telah tersedia di atas meja.

   "Duduklah, Siangkong. Di sini kita dapat bicara dengan leluasa dan enak sambil akan minum."

   Yap Cong San mengerutkan alisnya sebentar, akan tetapi dia mengangguk dan duduk di atas bangku, berhadapan dengan Cui Im. Dua orang pelayan yang kelihatan kuat dan sigap itu keluar dari ruangan setelah menutupkan pintu ruangan itu. Sambil tersenyum-senyum Cui Im menuangkan arak ke dalam cawannya dan cawan di depan Cong San sambil berkata,

   "Siangkong, mari kita minum demi persahabatan kita!"

   Cong San mengangkat cawan dan minum araknya sekali teguk. Cui Im tertawa manis.

   "Siangkong sungguh amat baik, suka bersahabat dengan seorang kasar seperti saya."

   "Ah, Nona. Sesungguhnya sayalah yang harus malu. Nona adalah seorang yang berpengaruh dan berkuasa, dan.... hemmm, melihat sikap semua orang, melihat cara Nona menunggang kuda dan tadi menarikku ke atas kuda dan tadi menarikku ke atas kuda, saya dapat menduga bahwa Nona tentulah seorang yang memiliki kepandaian ilmu silat tinggi. Bahkan pengurus hotel menyebut Nona lihiap. Sedangkan saya, seorang kutu buku yang lemah, seorang pelajar yang canggung dan seorang sasatrawan yang miskin."

   "Wah-wah-wah, Siangkong terlalu merendah diri!"

   Cui Im menuangkan lagi arak dari guci ke dalam cawan mereka.

   "Silakan minum demi....eh, rasa suka di hatiku terhadap Siangkong!"

   Ia mengerling tajam penuh arti. Merah wajah pemuda itu ketika mengangkat cawannya.

   "Terima kasih, Nona. Aku ...., eh, tidak berharga untuk rasa suka Nona yang gagah perkasa dan terhormat."

   Akan tetapi ia minum juga araknya. Setelah meletakkan cawan kosong di atas meja Cong San berkata,

   "Semenjak dahulu, banyak saya membaca tentang sepak terjang seorang pendekar wanita. Kini dapat bertemu, bersahabat, bahkan bercakap-cakap dengan seorang pendekar wanita, betapa bangga dan girang hati saya. Tentu Nona seorang pendekar yang kenamaan. Maukah Nona menceritakan tentang pengalaman Nona bertualang di dunia kang-ouw seperti yang saya baca di dalam buku-buku?"

   Cui Im sudah mabuk, bukan mabuk arak melainkan mabuk nafsu berahinya sendiri. Pemuda ini tadi ketika berhimpitan tidak tergerak nafsunya, hal itu menandakan bahwa dia termasuk golongan laki-laki kuat. Dia harus dapat membangkitkan gairahnya, menarik perhatiannya, menggugah berahinya. Dia tahu dari pengalamannya bahwa laki-laki yang tenang dan kuat seperti ini, sekali tergugah berahinya seperti laut yang tadinya tenang diamuk badai. Menghanyutkan dan menenggelamkan. Membayangkan ini, Cui Im makin mabuk, maka mendengar pertanyaan Cong San, ia berniat untuk membanggakan diri agar pemuda itu tertarik.

   "Yap Cong San, engkau belum mengenal siapakah wanita yang menjadi sahabatmu ini,"

   Katanya tersenyum sambil berdiri dan menarik kedua pundak ke belakang sehingga dadanya yang penuh membusung ke depan, pakaiannya yang ketat itu membuat bentuk tubuhnya yang ramping padat tampak nyata.

   "Aku terkenal di dunia kang-ouw dengan julukan Ang-kiam Bu-tek! Bukan julukan kosong karena pedang merahku belum pernah ada yang mampu menandinginya!"

   Ia duduk kembali, matanya bersinar penuh bafsu berahi dan kegembiraan ketika melihat betapa pemuda itu memandangnya dengan mata bersinar-sinar.

   "Wah, engkau tentu hebat sekali, Nona! Aku belum pernah mendangar nama itu, akan tetapi aku dapat menduga bahwa engkau tentulah murid orang pandai, mungkin murid hwesio-hwesio Siauw-li-pai yang kudengar merupakan orang-orang sakti yang berkepandaian seperti dewa."

   "Hi-hi-hi-hi-hi-hik! Hwesio Siauw-lim-pai? Mereka itu bukan apa-pa! Thian Ti Hwesio, tokoh Siauw-lim-pai tingkat dua itu dengan mudah saja roboh dan tewas di ujung pedang merahku!"

   "Aaaahhhhh!"

   Pemuda itu berseru kaget.

   "Tidak perlu kaget, sahabatku yang tampan! Aku mempunyai banyak musuh dan jangan kau kaget kalau andaikata malam ini ada musuhku datang menyerangku, karena pedangku akan melindungimu. Nah, katakanlah, wahai pemuda pujaan hati, apakah engkau suka kepadaku?"

   Cong San menelan ludah, sukar menjawab dan dia hanya dapat menggangguk. Diam-diam Cui Im girang, akan tetapi dia masih belum puas benar karena sikap pemuda itu masih membayangkan bahwa dia belum terangsang.

   "Mari kita makan hidangan ini!"

   Ia mempersilakan dan mereka lalu mulai makan. Melihat sikap Cong San masih canggung dan belum kelihatan pemuda itu tertarik, Cui Im kembali menuangkan arak, akan tetapi kini ia menuangkan arak dari sebuah guci emas yang kecil dan begitu arak dituang di dalam cawan tercium bau yang harum dan arak itu berwarna merah.

   "Minum, sahabatku. Mari kita minum demi.... Cinta kasih kita!"

   Cong San mengangkat cawan dan minum habis arak itu. Cui Im tertawa genit, lalu menawarkan masakan-masakan lezat, diterima oleh Cong San yang tidak banyak bicara lagi. Arak yang diminum Cong San adalah arak istimewa, arak buatan Cui Im yang mengandung obat perangsang yang amat kuat, yaitu Ai-ang-ciu.

   Belum pernah Cui Im mempergunakan arak perangsang ini sebelumnya karena setiap orang pria yang di bawanya ke pondok merah itu, tanpa minum obat perangsang pun sudah terangsang hebat oleh keindahan wajah dan tubuh Cui Im. Sekali ini terpaksa dia menggunakan araknya yang lihai karena melihat bahwa Cong San benar-benar merupakan seorang pemuda istimewa yang sukar sekali dibangkitkan gairahnya. Mereka sudah kenyang akan dan arak di guci sudah habis. Pemuda itu telah minum secawan penuh Ai-ang-ciu dan belasan cawan arak biasa, arak tua dan harum yang keras. Akan tetapi masih kelihatan "dingin"

   Saja. hal ini membuat Cui Im yang sudah tidak kuat menahan gelora nafsunya menjadi penasaran sekali. Ia bangkit, memindahkan bangkunya ke sebelah Cong San, duduk merapatkan tubuhnya dan berbisik,

   "Cong San.... ah, Cong San.... belum tergerak jugakah hatimu...?"

   Aku suka sekali padamu..."

   Dalam gairah nafsunya, Cui Im memegang tangan kanan Cong San, mempermainakn jari-jari tangan pemuda itu yang halus seperti jari tangan wanita, jari tangan yang biasa dimiliki kaum sastrawan lalu menciumi tangan itu. Melihat pemuda itu masih saja dingin, Cui Im membawa tangan itu ke dadanya, dan ia mencondongkan tubuh ke depan mencium pipi Cong San. Karena gerakan ini, sebelah kakinya bergeser ke depan dan kaki itu menginjak sesuatu yang basah di lantai bawah meja. Cui Im melepaskan pipi yang diciumnya, melongok ke bawah meja.

   "Aihhh...!"

   Ia menjerit lirih dan tiba-tiba tubuhnya mencelat ke belakang, bangku yang didudukinya terguling sehingga kini tidak mengalingi lagi lantai di bawah meja yang ternyata basah oleh arak! Pada saat itu, berkelebat bayangan putih dan terdengar suara bentakan halus penuh kemarahan dan amat berpengaruh,

   "Cui Im, akhirnya kita dapat berhadapan juga!"

   Cui Im cepat memutar tubuhnya dan ia tidak kaget melihat Keng Hong telah berdiri di situ, bahkan ia lalu tertawa terkekeh, kemudian mencabut pedangnya ke arah Keng Hong sambil membentak,

   "Cia Keng Hong! Karena mendengar engkau masih berkeliaran di sini, aku memang sengaja datang untuk memancingmu keluar dari tempat sembunyimu. Sekarang dapat masuk ke pondok ini akan tetapi jangan harap akan dapat keluar sebelum meninggalkan nyawa!"

   Keng Hong tersenyum, mengerling ke arah pemuda tampan yang kini mundur-mundur ketakutan dan berdiri di pojok ruangan.

   "Sobat, seorang terpelajar seperti engkau tidak semestinya dapat terpikat oleh wanita iblis ini!"

   Kemudian Keng Hong memandang Cui Im dengan sinar mata tajam penuh teguran.

   "Bhe Cui Im, agaknya setelah engkau mati baru engkau akan menghentikan perbuatanmu yang selalu berlandaskan nafsu! Semua perbuatanmu yang telah engkau menjatuhkan fitnah atas diri Biauw Eng menipuku dan berusaha membunuhku di Kiam-kok-san, membunuh gurumu sendiri, membunuh tokoh-tokoh kang-ouw yang tidak berdosa, sungguh membuktikan bahwa engkau bukanlah manusia, melainkan iblis! Akan tetapi, masih belum terlambat bagimu untuk sadar dan bertobat."

   "Heh-heh-heh, Keng Hong manusia sombong! Engkau memaki aku jahat seperti iblis, apakah engkau sendiri suci dan bersih seperti dewa? Dahulu aku cinta padamu dan bersumpah untuk membasmi semua wanita yang berani mencintamu. Dan Biauw Eng ternyata cinta kepadamu! Perbuatanku itu ada dasarnya, yaitu dasar cinta padamu. Apakah kau sendiri tidak sadar bahwa engkau pun seorang yang tidak mengenal cinta dan budi? Lupakah engkau betapa kita bersama menikmati cinta kita? Kemudian engkau malah menghinaku! Dan aku membunuhi tokoh-tokoh besar, apa hubungannya denganmu? Kalau aku tidak membunuh mereka, mana bisa aku disebut Ang-kiam Bu-tek, dan apa gunanya pula susah payah mempelajari semua ilmu, hidup tersiksa selama lima tahun di dalam neraka bersama seorang pria macam engkau yang tiada ubahnya sebuah arca batu? Huh, engkau sekarang mau apa, Keng Hong?"

   "Cui Im, mengingat bahwa engkau, biarpun secara tidak resmi, adalah murid guruku juga, biarlah aku mengampunimu asal engkau suka memenuhi dua syaratku!"

   "Hi-hi-hik! Keng Hong, engkau benar-benar sombong bukan main. Akan tetapi biarlah aku mendengar dulu apa syaratmu itu?"

   "Pertama, sekarang juga engkau harus mengembalikan semua pusaka peninggalan suhu. Aku tidak ingin benda-benda itu, akan tetapi benda-benda itu menjadi hak milik orang-orang dan partai-partai persilatan lain, tidak boleh kau rampas dan curi begitu saja. Ke dua, mulai detik ini engkau harus bertobat, menghentikan perbuatan-perbuatamu yang jahat. Kurasa, dengan bekerja di istana, apalagi di bawah pengawasan pembesar-pembesar-pembesar sakti bijaksana seperti The-taijin, engkau akan dapat menjadi seorang manusia yang berguna bagi nusa dan bangsa."

   Cui Im membanting kakinya dan mengelebatkan pedangnya sehingga tampak sinar merah,

   "Keng Hong, syarat-syaratmu adalah syarat yang hendak menang sendiri. Kau katakan aku merampas dan mencuri pedang. Hendak kutanya, bagaimana pusaka-pusaka milik Siauw-lim-pai, Hoa-san-pai dan lain-lain bisa berada di tangan Sin-jiu Kiam-ong gurumu itu? Bukankah dia juga dahulu merampas dan mencurinya? Kau bilang sendiri bahwa aku juga murid Sin-jiu Kiam-ong, nah kalau benar begitu, akulah murid yang berbakti dan setia, melanjutkan cita-cita dan perbuatan guru. Sebaliknya engkau hendak mengembalikan pussaka-pusaka itu kepada peilik asal, berarti engkau hendak menentang perbuatan mendiang guru sendiri! Tidak, aku tidak akan menyerahkan pusaka-pusaka itu, terutama sekali tidak kepada engkau! Dan soal ke dua, kau mengatakan aku melakukan perbuatan jahat! Yang mana? Apakah bersenang-senang dengan dia itu kau anggap jahat? Bagaimana dengan engkau sendiri dengan Sim Ciang Bi gadis Hoa-san-pai, dengan Kim Bwee Ceng dan Tan Swat Si murid-murid Kong-thong-pai itu?"

   

Si Bangau Merah Eps 18 Si Bangau Merah Eps 24 Si Bangau Merah Eps 2

Cari Blog Ini