Pedang Kayu Harum 34
Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo Bagian 34
"Plak-plak-plak...! Aiiihhhhh!!"
Tubuh nenek itu terhuyung-huyung ke belakang dan sepasang golok yang sudah menjadi kaitan-kaitan emas itu terlepas dari tangannya. Ternyata bahwa hawa sinkang yang memenuhi tubuh Keng Hong sampai melewati takaran, yaitu hawa sinkang Thian-te Sam-lo-mo tadi, masih berputaran di tubuhnya, tidak menemukan jalan keluar sehingga ketika pundak itu tersentuh tenaga dari luar, otomatis tenaga sinkang itu menyambut dan menendang. Nenek ini bukan lain adalah Ang-bin Kwi-bo, seorang di antara keempat datuk hitam yang terkenal disebut Bu-tek Su-kwi (Empat Iblis Tanpa Tanding).
Dia memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi tingkatnya, memiliki pengalaman yang amat luas, maka setelah hilang kagetnya, ia mengangguk dan memandang ke arah pemuda itu yang masih pingsan. Ia mencelat maju lagi, kini kepalanya digerakkan dan ujung rambutnya melecut ke depan, dua kali menotok ke arah dua jalan darah Keng Hong di kedua pundak. Karena ujung rambut ini merupakan benda lemas, dan memang menjadi keistimewaan Ang-bin Kwi-bo untuk menggunakan rambutnya di samping kukunya sebagai senjata, maka jalan darah di kedua pundak itu kena ditotok sehingga tertutup dan hawa sinkang yang berputaran di tubuhnya itu tidak dapat menembus ke pundak. Setelah terkekeh girang Ang-bin Kwi-bo kembali menggerakkan sepasang kaitan emas itu dengan kedua tangannya.
"Cresss! Cresss!"
Karena tangan Ang-bin Kwi-bo memang ahli dan tenaganya kuat sekali, dengan mudah saja kedua kaitan emas itu menancap di daging pundak, terus di putar sehingga kaitan-kaitan itu kini menancap dan mengait kedua tulang pundak Keng Hong!
"Auggghhh...!"
Keng Hong bergerak, matanya terbuka dan mulutnya mengeluh.
"Aduhhh... aduhhh..."
Ia mencoba akan bangun namun terbanting kembali ketika Ang-bin Kwi-bo menarik ikat pinggangnya yang ujungnya ditalikan kepada dua gagang golok dan mengait kedua pundak Keng Hong itu. Tentu saja tarikan itu membuat sepasang kaitan itu mengait dan menarik tulang pundak Keng Hong dan Keng Hong terbanting roboh sambil mengeluh. Rasa nyeri di pundaknya bercampur dengan rasa muak yang timbul oleh gerakan sinkang yang berlebihan di tubuhnya.
"Hah-hah-hah-hi-hik! Cia Keng Hong, engkau murid Sin-jiu Kiam-ong, masih ingatkah kepadaku?"
Keng Hong menengok dan tanpa menengok sekalipun dia akan mengenal suara ketawa itu.
"Hemmm..."
Ia hendak bicara, akan tetapi dadanya seperti hendak meledak, perutnya mengeras dan dia muak sekali, hendak muntah. Maklumlah dia bahwa kedua pundaknya dikait dan dia tidak berdaya lagi. Kalau dia meronta, berarti kedua tulang pundaknya akan patah-patah dan kalau hal ini terjadi, kedua lengannya akan lumpuh tak dapat dia gerakkan lagi!
Maka, soal pundaknya terkait dan soal Ang-bin Kwi-bo adalah soal ke dua yang membutuhkan pemikiran tenang dan mendalam, lebih dulu dia harus membereskan soal pertama, yaitu tenaga atau hawa sinkang ketiga orang kakek iblis yang kini "pindah"
Ke dalam tubuhnya. Maka dia tidak jadi bicara, meramkan matanya dan mengatur napas, menyedot hawa yang berkeliaran dan berputaran itu ke dalam pusarnya. Ang-bin Kwi-bo sambil terkekeh-kekeh dan memegangi ujung ikat pinggangnya lalu menghampiri tumpukan pusaka. Ia mengikatkan ujung ikat pingang pada pinggangnya, dengan girang dia membungkus pusaka-pusaka itu dengan saputangan dan dia kaitkan di pundaknya, kemudian menyelipkan Siang-bhok-kiam di pinggang. Setelah terkekeh-kekeh lagi saking girang dan puas hatinya ia berkata kepada Keng Hong.
"Cia Keng Hong, engkau minta hidup atau mati?"
Pada saat itu, Keng Hong sudah berhasil menaklukan hawa sinkang liar itu dan dia merasa betapa hawa yang kini berkupul di pusarnya amat kuat dan panas. Ia telah memperoleh kemajuan dalam waktu singkat, padahal kalau harus melatih diri, untuk mendapatkan tenaga sinkang seperti yang "diberikan"
Tiga orang kakek itu kepadanya, mungkin membutuhkan waktu puluhan tahun! Mendengar pertanyaan nenek itu, Keng Hong menjawab tenang.
"Ang-bin Kwi-bo, mati hidupmu sendiri saja engkau tidak mampu menguasai, bagaimana engkau akan dapat menguasai mati hidup orang lain? Mati hidup manusia sepenuhnya berada di tangan Thian!"
"Heh-heh-heh! Hi-hi-hik! Omongan melantur! Omongan kosong dari orang yang sudah putus harappan! Lihat, dengan kedua pundakmu terkait, kalau aku menghendaki, sekali sendal saja dengan ikat pinggang ini, kedua tulang pundakmu akan patah-patah dan kalau sudah begitu, seorang anak kecil pun akan mampu membunuhmu karena kau tidak dapat menggerakkan lagi kedua tanganmu. Bukankah hal ini berarti bahwa kau ati hidup berada di tanganku? Kalau aku menghendaki kau mati, engkau akan mati, akan tetapi kalau aku menghendaki engkau hidup, mungkin engkau dpat hidup lebih lama."
Keng Hong bukanlah orang bodoh. Kalau memang nenek iblis itu menghendaki dia mati, tentu tidak perlu kedua pundaknya dikait seperti ini. Tadi ketika dia pingsan, apa sukarnya bagi nenek itu untuk membunuhnya? Akan tetapi nenek itu tidak membunuhnya, melainkan menawannya. Hal ini sudah meyakinkan bahwa nenek itu tidak akan membunuhnya begitu saja!
"Engkau tersesat, Kwi-bo. Mati hidupku bukan berada di tanganmu, melainkan di tangan Tuhan, seperti juga mati hidupmu. Kalau Tuhan menghendaki, biarpun keadaan kita seperti ini, bisa saja engkau yang mati dan aku yang hidup!"
"Tutup mulutmu yang sombong!"
Tiba-tiba Ang-bin Kwi-bo membentak dan menarik sedikit ikat pinggang itu. Keng Hong merasa seolah-olah semua urat di tubuhnya dibetot, demikian hebat rasa nyeri di tubuhnya sehingga jari-jari kaki tangannya mengkerut, mukanya berkerut dan peluh sebesar kacang hijau keluar memenuhi mukanya. Namun dia mengeraskan hati tidak mau mengeluh.
"Apa kehendamu, Kwi-bo?"
"Katakan, engkau minta mati atau hidup?"
"Maksudmu bagaimana? Kalau minta mati bagaimana kalau hidup bagaimana?"
Ang-bin Kwi-bo mengeget kedua baris giginya sehingga terdengar bunyi berkerot.
"Bedebah engkau, keras kepala dan sombong seperti Sie Cun Hong! Sudah menghadapi maut masih bicara besar! Dasar engkau murid seorang yang besar kepala, seorang yang sejahat-jahatnya di dunia ini, seorang..."
"Cukup, Kwi-bo! Suhu sudah meninggal dunia, tidak perlu kau maki-maki. Apapun yang kau katakan, aku yakin bahwa suhu seorang yang paling gagah perkasa dan berbudi mulia di dunia ini!"
"Mulia? Cuhhh!"
Ang-bin Kwi-bo meludah. Ludah kental itu meluncur ke tanah dan amblas seperti sebutir peluru.
"Kau bangun dan duduklah, agar aku dapat melihat mukamu!"
Keng Hong menahan rasa nyeri yang membuat pandang matanya berkunang ketika dia bangkit duduk dan menghadap nenek itu. Nenek itu memandang penuh perhatian, kemudian berkata,
"Memang cocok menjadi murid Sie Cun Hong, gagah dan tampan."
Nenek itu mengangguk-angguk, lalu melanjutkan "Sayang kalau harus mari dalam usia muda. Gadis-gadis cantik akan kehilangan seorang penggoda dan pemikat menarik, hi-hi-hik! Cia Keng Hong, kau berikan ilmu Thi-khi-I-beng kepadaku dan engkau takkan kubunuh!"
"Hemmm, itukah yang dikehendakinya? Keng Hong memutar otaknya dan teringatlah dia akan Kiu-bwe Toa-nio yang pernah juga menawannya dan memaksanya mengajarkan Thi-khi-I-beng akan tetapi kemudian malah hendak menyedot habis sinkangnya! Nenek ini, Ang-bin Kwi-bo, adalah seorang datuk kaum sesat, yang selain jauh lebih lihai daripada Kiu-bwe Toa-nio, juga jauh lebih kejam, lebih curang dan jahat. Ia harus dapat bertahan, karena kalau dia ajarkan ilmu itu, tetap saja sedikit harapan dapat hidup setelah terjatuh di tangan nenek iblis ini dan dengan memiliki ilmu itu berarti dia membantu nenek ini merajalela melakukan banyak kejahatan. Tentu nenek ini akan menjadi lebih lihai dan lebih jahat.
"Aku tidak pernah mempelajari ilmu yang kau sebut Thi-khi-I-beng itu, Kwi-bo. Bagaimana aku akan dapat memberikan kepadamu?"
Nenek yang tadinya terkekeh-kekeh itu tiba-tiba seperti serigala, dan dua kali ia menggerakkan ikat pinggangnya, Keng Hong mengeluh dan terguling pingsan. Rasa nyeri tak tertahankannya lagi. Melihat pemuda itu pingsan, Ang-bin Kwi-bo menjadi makin marah dan panas hatinya. Melihat korbannya pingsan, ia merasa seperti diejek. Kalau pemuda itu sudah pingsan, apa yang dapat ia lakukan? Menyiksanya pun tiada guna, biar disayat-sayat tubuh itu, takkan terasa dan juga dia tidak akan mendapatkan Thi-khi-I-beng! Keng Hong siuman. Kedua pundaknya terasa panas dan nyeri yang menjalar ke seluruh tubuh.
"Cia Keng Hong! Apakah engkau masih berkeras kepala tidak mau memberikan ilmu itu kepadaku?"
Ang-bin Kwi-bo yang melihat pemuda itu siuman cepat bertanyya. Keng Hong maklum bahwa tidak perlu lagi berpura-pura. Memang dia tidak pernah mempelajari Thi-khi-I-beng, melainkan mendapatkan ilmu itu secara otomatis ketika gurunya memindahkan sinkang ke tubuhnya, kemudian dia dapat menguasai dan mengendalikan hawa mujijat itu setelah dia memperdalam ilmunya di tempat rahasia dalam batu pedang di Kiam-kok-san. Akan tetapi dia kini sudah memiliki ilmu itu dan agaknya ilmu itulah yang disebut Thi-khi-I-beng dan yang selama ini dikabarkan sudah lenyap dari dunia persilatan.
"Ang-bin Kwi-bo, andaikata aku memiliki ilmu yang kau sebutkan itu sekalipun, agaknya tak mungkin dapat kuberikan kepadamu. Engkau adalah seorang tokoh yang jahat seperti iblis..."
"Sombong! Kau kira engkau ini orang apa? Kau kira gurumu itu manusia baik-baik? Sin-jiu Kiam-ong adalah seorang manusia busuk, seorang suami yang tidak setia!"
"Cukup, Kwi-bo! Mau bunuh boleh bunuh, aku tidak takut mati. Tidak perlu engkau menjelek-jelekkan nama baik suhu. Suhu adalah seorang yang mulia, mana bisa dibandingkan dengan engkau?"
"Sie Cun Hong, hi-hi-hik. Dengarlah omongan muridmu ini!"
Nenek itu berdongak dan bicara kepada awan di angkasa seolah-olah dia bicara dengan arwah Sin-jiu Kiam-ong.
"Hi-hi-hik, Cia Keng Hong, engkau benar kepala batu. Kalau tidak disiksa engkau tentu akan berkeras kepala terus. Sekarang kita kesampingkan dulu ilmu Thi-khi-I-beng! Aku hanya minta kau mengatakan bahwa Sie Cun Hong gurumu itu adalah seorang manusia cabul. Hayo, katakan!"
"Sin-jiu Kiam-ong Sie Cun Hong guruku itu adalah seorang laki-laki sejati, dan perempuan-perempuan itulah, termasuk engkau, yang tergila-gila kepadanya!"
Ang-bin Kwi-bo memelintir ikat pinggang itu di kedua telapak tangannya. Hawa panas beracun dari kedua tangannya yang membuat ia terkenal,
Yaitu Ilmu Ban-tok-sin-ciang (Tangan Sakti Selaksa Racun) menjalar ke dalam ikat pingang itu, terus kepada kaitan es dan memasuki tubuh Keng Hong melalui pundaknya. Pemuda itu seketika menjadi pucat wajahnya. Ia merasa betapa kedua pundaknya dimasuki hawa panas yang gatal-gatal, seperti ada ribuan ekor semut yang memasuki tubuhnya dan menggigit dari dalam, dari kepala sampai kaki! Rasa nyeri tidak hebat sekali, tidak sampai membuat ia pingsan, akan tetapi rasa gatal-gatal ini membuat dia lebih menderita, merupakan siksaan yang tiada taranya. Seluruh tubuhnya berdenyut semua bulu di tubuhnya bangun satu-satu, lubang-lubang kulitnya terbuka dan keringat dingin membasahi tubuhnya. Keng Hong cepat memejamkan kedua matanya dan dengan kemauannya yang keras, dapat dia mematikan perasaannya sehingga siksaan itu tidak akan terasa lagi.
"Bocah goblok, aku lebih tahu akan watak Sie Cun Hong! Engkau tahu apa? Dia dahulu telah mempunyai isteri yang cantik dan mencintanya, akan tetapi karena dia itu hidung belang, mengejar-ngejar perempuan saja kerjanya, isterinya lalu lari meninggalkannya! Apakah itu bukan bukti yang cukup jelas?"
"Tidak, aku tidak percaya, Kwi-bo! Kalau betul dia berpisah dari isterinya, tentu ada sebab lain. Aku tetap yakin dalam perpisahan itu pun, suhu tidak salah! Aku tidak tahu dan aku pun tidak berhak tahu mengenai urusan dalam suami isteri, akan tetapi aku merasa yakin bahwa suhu tidak bersalah dalam hal itu!"
"Bocah sombong dan keras kepala!"
Nenek itu membentak makin marah. Ia benar-benar merasa tidak berdaya dan "mati kutunya"
Terhadap Keng Hong.
"Rasakan ini!"
Nenek itu kini menancapkan kuku lima jari tangan kirinya ke pungung Keng Hong. Pemuda ini tidak mampu melawan karena sekali mengerahkan tenaga melawan berarti dia akan mencelakakan diri sendiri. Maka dia menerima serangan itu. Lima kuku jari tangan kiri Ang-bin Kwi-bo menancap di punggung Keng Hong dan pemuda itu memejamkan mata akan tetapi tanpa dapat dia tahan lagi dan seperti tanpa disadari, mulutnya terbuka dan terdengar keluhan berat. Ia terengah-engah dan setelah nenek itu menarik kembali lima kuku jari tangan kirinya Keng Hong merasa betapa tubuhnya seperti disayat-sayat dari dalam!
"Ban-tok-sin-ciang telah meracuni tubuhmu. Dalam waktu dua puluh empat jam engkau akan tersiksa oleh bermacam rasa nyeri yang hebat seolah-olah semua siksaan dari neraka telah masuk ke tubuhmu dan akan kau rasai dalam waktu sehari semalam sebelum engkau mampus. Akan tetapi, kalau engkau mau memaki gurumu sebagai manusia sesat dan memberikan Thi-khi-I-beng kepadaku, aku akan memberi obat penawar racun."
Keng Hong memejamkan mata dan mulutnya masih terbuka, terengah-engah, akan tetapi dia berhasil berkata,
"Suhu manusia mulia!!"
Sekali ini Ang-bin Kwi-bo sudah tidak dapat menahan kemarahannya lagi.
"Bocah sinting! Engkau memang layak mampus! Dahulu aku amat merindukan tubuh Cun Hong! Selaksa orang pemuda ganteng tidak dapat memuaskan hatiku, akan tetapi Cun Hong yang kuingini terlalu besar kepala dan menolakku. Aku hampir gila karena malu dan sakit hati. Apa bedanya antara dia dan aku? Aku suka melayani selaksa orang muda ganteng, dia pun suka melayani selaksa gadis cantik. Dia dan aku sebetulnya cocok akan tetapi dia memandang rendah, merasa dia termasuk golongan bersih dan aku dianggapnya golongan kotor. Macam engkau sekarang ini! Engkau jahat, seperti dia, sampai isterinya sendiri yang kabarnya amat cantik dan memiliki ilmu kepandaian yang tinggi, puteri seorang bangsawan, meninggalkannya!"
"Kwi-bo, tidak perlu mengoceh lagi. Aku tetap tidak percaya dan aku yakin bahwa suhu adalah manusia baik, tidak seperti engkau!"
Pada saat itu terdengar suara orang menarik napas panjang disusul ucapan yang halus,
"Ahhh, betapa untungmu, Sie Cun Hong, mempunyai seorang murid yang masih mati-matian membela nama baikmu biarpun engkau sudah mati dan muridmu terancam bahaya maut...!"
Keng Hong melihat munculnya seorang nenek yang sudah amat tua, kiranya tidak kalah tua oleh Ang-bin Kwi-bo, namun masih membayangkan bahwa nenek ini dahulu di waktu mudanya tentu bertubuh tinggi ramping dan berwajah cantik. Di samping nenek ini berdiri seorang gadis yang luar biasa cantiknya, berpakaian kuning. Gadis ini, seperti juga nenek itu, membawa sebuah keranjang obat yang terisi beberapa helai daun dan beberapa potong akar obat. Ang-bin Kwi-bo cepat membalikkan tubuh seperti seekor harimau marah. Dia tidak berani sembarangan karena maklum bahwa nenek dan gadis yang dapat tiba di belakangnya tanpa ia dengar sama sekali tentu bukanlah manusia-manusia biasa, melainkan orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi.
"Engkau siapa?"
Bentaknya kepada nenek itu. Nenek itu tersenyum dan biarpun mulutnya tidak ada giginya, ketika tersenyum tidak kelihatan buruk.
"Ang-bin Kwi-bo, baru saja engkau bicara tentang diriku, setelah aku muncul, engkau malah tidak mengenalku. Bukankah ini lucu sekali? Biarlah ini menjadi pelajaran bagimu bahwa tidak baik membicarakan urusan orang lain yang diketahuinya betul."
"Heh, siapa engkau?"
Kembali Ang-bin Kwi-bo membentak sambil meneliti keadaan nenek yang kelihatannya halus dan ringkih (lemas) itu.
"Namaku Tung Sun Nio..."
Ang-bin Kwi-bo mencelat ke belakang sampai tiga langkah, memandang tajam dan sepuluh buah kuku jarinya terulur, seperti seekor kucing bertemu anjing dan siap mencengkeram.
"Apa...? Engkau isteri Sie Cun Hong?"
Nenek itu mengangguk dan memandang Keng Hong yang masih duduk dan kini pemuda itu memandangnya dengan mata terbelalak. Saking kaget dan herannya, sejenak Keng Hong melupakan penderitaannya!
"Benar akulah Tung Sun Nio dahulu isteri Sie Cun Hong. Murid mendiang suamiku ini benar! Tak perlu ku sembunyikan lagi, dahulu aku adalah isteri Sin-jiu kiam-ong Sie Cun Hong. Dia seorang suami yang baik, tidak pernah menyeleweng, tidak pernah memperdulikan wanita lain. Akan tetapi terjadi perpecahan dan aku kemudian melarikan diri sehinga suamiku itu berubah wataknya, menjadi petualang cinta, hanya berbeda dengan engkau yang suka menculik dan memaksa pemuda-pemuda tampan, suamilku yang amat tampan itu hanya melayani wanita-wanita yang tergila-gila kepadanya, sama sekali tidak pernah memaksa seperti yang kau lakukan!"
Akan tetapi, dicela tentang perbuatannya, Ang-bin Kwi-bo sama sekali tidak peduli. Dia lalu berkata,
"Nah, benar kataku! Sie Cun Hong bukan manusia baik-baik, sehingga engkau yang menjadi isterinya sampai lari meninggalkannya!"
Nenek itu menggeleng-geleng kepala dan sejenak wajahnya kelihatannya suram.
"Sama sekali tidak. Kau mau tahu mengapa aku meninggalkan dia? Karena akulah yang tergila-gila dengan seorang sahabat baiknya! Akulah yang berlaku serong, tidak kuat menahan nafsu sewaktu suamiku tidak berada di rumah dan aku melakukan hubungan dengan pria lain. Sie Cun Hong tetap seorang yang mulia, seperti dikatakan muridnya ini. Ang-bin Kwi-bo, engkau tidak tahu betapa puluhan tahun aku menderita tekanan batin karena perbuatanku itu. Aku mengerti bahwa perbuatanku itulah yang membentuk watak suamiku, dan akulah yang berdosa. Namun, aku hanya dapat menyesali diri sendiri, tidak mempunyai kesempatan menebus dosa sampai matinya! Kini kesempatan itu muncul! Engkau telah menganiaya muridnya, engkau merampas pusaka peninggalan suamiku. Maka, sekaranglah aku dapat menebus dosaku dengan membela muridnya yang berbakti dan setia, jauh lebih setia daripada aku yang menjadi isterinya. Hayo serahkan kembali pusaka itu!"
Tiba-tiba Ang-bin Kwi-bo tertawa terkekeh-kekeh dan menudingkan telunjuk kirinya yang berkuku panjang,
"Bagus sekali! Dan aku pun belum pernah mendapat kesempatan membalas sakit hatiku kepada Sie Cun Hong. Sekarang engkau isterinya muncul, sungguh kebetulan. Aku akan membunuhmu, akan menyiksamu seperti yang kulakukan kepada muridnya, hi-hi-hik!"
Akan tetapi nenek iblis ini terpaksa menghentikan ketawanya ketika tubuh Tung Sun Nio sudah menerjang maju dengan kecepatan yang luar biasa dan tongkat kecil di tangannya berubah menjadi sinar bergulung menyambar ke arah dada Ang-bin kwi-bo! Nenek iblis ini terkejut sekali dan cepat ia menggerakkan tangan, kukunya seperti lima batang pisau itu menangkis tongkat.
"Triiiiikkkkk!"
Ang-bin Kwi-bo meloncat jauh ke belakang, matanya terbelalak merah penuh kemarahan. Ia tadi merasa betapa jari-jari tangannya sakit dan lengannya tergetar hebat. Maklumlah ia bahwa nenek isteri Sin-jiu Kiam-ong itu merupakan lawan yang tak boleh dipandang ringan! Dengan gerengan marah ia meloncat maju, rambutnya menyambar-nyambar seperti pecut dan sepuluh buah jari berkuku runcing itu mencakar-cakar. Serangannya dahsyat bukan main dan Tung Sun Nio, nenek bekas isteri Sie Cun Hong yang bersikap tenang, cepat memutar tongkatnya dan ia harus mengerahkan semua kepandaian untuk mneghadapi terjangan dahsyat dari nenek iblis itu.
"Kuatkanlah, aku akan melepaskan kaitan-kaitan ini."
Keng Hong yang sedang memperhatikan jalannya pertandingan, menoleh ke kiri ketika mendengar suara halus itu dan dia melihat betapa gadis baju kuning yang cantik luar biasa itu telah mendekatinya. Ia mengangguk lalu mengumpulkan sinkang, mematikan perasaan di kedua pundak dan kini yang terasa olehnya hanyalah bekas tusukan kuku beracun di punggungnya.
Seperti kalau dia bertemu dengan pemandangan alam di pegunungan yang indah, seperti kalau dia melihat bunga-bunga mekar dengan indah, seperti dia melihat bintang-bintang gemerlapan di langit atau bulan purnama tersenyum-senyum di angkasa. Salahkah kalau dia menikmati segala keindahan itu dengan matanya, termasuk keindahan wanita cantik? Mereka bertemu pandang dan agaknya gadis itu dapat melihat pula sinar kagum dan terpesona di mata Keng Hong,buktinya dia lalu menundukkan muka dengan kening berkerut dan kedua pipi yang sudah kemerahan itu kini menjadi merah sekali! Keng Hong cepat memalingkan mukanya. Benar-benar dia telah memiliki watak suhunya. Tidak tahan melihat wanita cantik, tak dapat menyebunyikan rasa kagum dan terpesona sungguhpun dia sangsi apakah perasaan ini termasuk perasaan yang buruk.
Betapapun juga, memang keterlaluan sekali. Dia terancam maut. Racun Ban-tok-sin-ciang mengalir di tubuhnya. Akan tetapi dia masih berkesempatan menikmati dan mengagumi wajah cantik! Karena malu kepada diri sendiri, Keng Hong lalu memejamkan matanya dan mengheningkan cipta bersiulian untuk mencoba menolong dirinya dengan kekuatan sinkang di tubuhnya. Akan tetapi, makin dia kerahkan hawa sakti, punggungnya makin nyeri seperti ditusuk besi membara, sehingga terpaksa dia menghentikan usahanya itu dan hanya mengumpulkan hawa bersih yang disedotnya untuk menahan rasa nyeri yang menggerogoti seluruh tubuhnya dari dala. Entah berapa lama Keng Hong bersamadhi memejamkan mata. Tiba-tiba lengannya disentuh oleh sebuah tangan halus dan terdengar suara yang berbisik halus namun mengandung penuh kekhawatiran.
"Sadarlah... bangunlah... suhu terancam... bagaimana baiknya?"
Keng Hong membuka matanya dan yang pertama-tama menarik perhatiannya adalah lima buah jeriji tangan yang kecil mungil menyentuh lengannya itu. Akan tetapi cepat dia mencela dirinya sendiri, dan mengalihkan perhatiannya ke depan, ke arah dua orang nenek yang sedang bertanding seru sekali. Ternyata bahwa nenek yang memegang tongkat itu terdesak hebat oleh Ang-bin Kwi-bo yang menyerang dengan kuku jari dan rambutnya.
Ilmu silat yang dimainkan isteri gurunya itu baik sekali dan amat kuat, pikir Keng Hong, juga gerakan nenek itu tidak kalah cepat atau ringan dari lawan. Pertemuan tongkat dengan jari berkuku panjang yang mengeluarkan bunyi nyaring pun membuktikan bahwa dalam hal tenaga sinkang, mereka berimbang. Hanya nenek itu terdesak oleh Ang-bin Kwi-bo, oleh terjangan nenek iblis yang amat dahsyat dengan rambut dan kuku-kuku jarinya yang berbahaya sekali. Nenek bertongkat itu berkali-kali terpaksa mengelak dan berloncatan ke belakang untuk menghindarkan pukulan atau cakaran Ban-tok-sin-ciang dari Ang-bin Kwi-bo. Keng Hong sendiri terluka parah dan tak mungkin dia membantu. Ia mengerling ke arah gadis itu dan berbisik,
"Apakah Nona murid dari... eh, subo itu?"
Dia menyebut subo kepada nenek itu, karena bukankah nenek itu isteri mendiang gurunya sehingga nenek itu boleh dibilang adalah ibu gurunya. Gadis itu mengangguk.
"Subo sebetulnya tidak kalah lihai, hanya repot menghadapi senjata yang amat banyak itu, rambut dan sepuluh kuku jari. Ban-tok-sin-ciang itu memang berbahaya sekali. Kalau nona maju membantu kurasa subo tidak akan begitu repot."
"Itulah yang menggelisahkan hatiku,"
Nona itu berbisik dan alis yang hitam kecil menjelirit seperti dilukis itu mengerut.
"Tadi aku hendak membantu, dilarang oleh subo karena diejek iblis itu yang mengatakan subo pengecut hendak mengeroyok."
Keng Hong mengerutkan keningnya. Berabe juga kalau begitu. Dia mengenal kelicikan dan kecurangan Ang-bin Kwi-bo dan agaknya subonya ini, kalau dia tidak salah dengar tadi adalah bekas puteri bangsawan,
Tentu memiliki keangkuhan dan setelah diejek begitu tentu merasa malu kalau dibantu muridnya atau orang lain. Sedangkan kalau pertandingan itu dilanjutkan, isteri gurunya itu agaknya akan kalah. Kalau isteri gurunya tewas, gadis ini akan tewas pula, demikian juga dia. Keng Hong mencari akal, kemudian teringat akan Siang-bhok-kiam. Nenek iblis itu mempunyai ilmu pukulan beracun yang ganas yaitu Ban-tok-sin-ciang dan untuk menghadapi ilmu dengan kuku-kuku beracun itu, paling tepat hanya menggunakan Siang-bhok-kiam karena pedang pusaka itu justeru "anti racun"! Akan tetapi pedang pusakanya itu, seperti pusaka lain, telah dirampas oleh si nenek iblis. Bahkan pedangnya itu kini terselip di pinggang Ang-bin Kwi-bo! Setelah memeras otaknya menahan rasa nyeri di punggungnya, akhirnya Keng Hong berbisik,
"Nona, dekatkan telingamu..."
Nona itu mengerti bahwa pemuda ini hendak berbisik sesuatu yang tak boleh didengar nenek iblis yang tentu memiliki pendengaran amat tajam, maka ia lalu menggeser tubuhnya yang berlutut dan jantungnya berdebar keras. Telinga itu begitu indah bentuknya, rambut pelipis yang halus dan melingkar-lingkar itu menyapu mukanya, berbau harum seperti bunga mawar. Muka itu begitu dekat. Eh, benar engkau bajul buntung, Keng Hong! Kembali Keng Hong memaki dirinya sendiri dan cepat dia berbisik perlahan sekali. Gadis itu menggerak-gerakkan sepasang alisnya, kelihatannya terheran, akan tetapi ia mengangguk tanda mengerti apa yang diminta oleh Keng Hong. Setelah Keng Hong membisikkan siasatnya, nona itu menjauhkan lagi tubuhnya lalu berkata, kini suaranya keras,
"Subo terdesak oleh nenek iblis itu!"
Keng Hong tertawa, suara ketawanya mengejek.
"Ahhhhh, siapa tidak mengenal nenek iblis Ang-bin Kwi-bo? Namanya saja besar, padahal dia seorang yang pengecut dan penakut sehingga kuku-kuku jari tangannya pun diberi racun dan dipanjangkan, masih pula ia menggunakan rambutnya yang kotor dan penuh kutu! Ilmu silatnya sih hanya ilmu silat pasaran saja, dan kepandaiannya pun bolehnya mencuri-curi dan meniru-niru dari orang lain. Biarpun begitu, dia masih tidak malu-malu memakai nama sebagai seorang di antara Bu-tek Su-kwi. Menggelikan dan menjijikkan!"
Terdengar Ang-bin Kwi-bo memekik marah dan meloncat mundur.
"Bocah bermulut busuk! Murid Sie Cun Hong mulutnya busuk seperti gurunya! Kau tunggu saja, setelah aku membunuh isterinya, engkau akan kubunuh sedikit demi sedikit, akan kusayat-sayat dagingmu, kuberikan kepada gagak dan anjing...!"
Akan tetapi ia berhenti memaki karena nenek itu sudah menerjang lagi dengan tongkatnya, marah mendengar caci maki yang kotor dan keji itu. Melihat keduanya bertanding lagi, nona yang sudah diberi isyarat kedipan mata Keng Hong, berkata lagi dengan suara nyaring,
"Akan tetapi, kulihat nenek iblis itu demikian kuat dan cepat, ilmu silatnya aneh sekali! Sungguh mengerikan!"
"Uwaaah! Siapa bilang? Coba kalau gurumu menggunakan senjata Siang-bhok-kiam yang secara tidak tahu malu ia rampas dari tanganku ketika aku pingsan, hemmm... tentu dalam sepuluh jurus lagi dia mampus! Siang-bhok-kiam adalah pedang pusaka guruku yang dianggap suci, tidak mungkin dipergunakan terhadap sembarangan manusia, bahkan pantang minum darah manusia. akan tetapi kalau darah iblis seperti nenek itu, guruku tentu tidak ragu-ragu lagi untuk mempergunakan. Dia pengecut, mana berani? Ha-ha-ha!"
Keng Hong tertawa, akan tetapi sesungguhnya ketika dia tertawa itu, punggung dan dadanya rasanya nyeri bukan main hampir tak dapat dia menahan. Tiba-tiba Ang-bin Kwi-bo terkekeh.
"Heh-heh-heh-hi-hik! Cia Keng Hong, kau kira aku manusia tolol yang dapat kau bakar hatiku? Ha-ha-ha, biar kau mencaci maki aku, tidak nanti aku begitu bodoh menjadi marah dan terkena pancinganmu lalu memberikan pedang Siang-bhok-kiam kepada isteri gurumu! Kau lihat ini! Aku malah akan menggunakan pedang pusaka gurumu untuk membunuh isterinya! Heh-heh-heh-heh, bagus sekali! Pedang pusaka suci ini akan minum darah isteri gurumu sendiri!"
Keng Hong memebelalakkan matanya mengangkat tangan ke atas dan mulutnya menyeringai saking sakitnya.
"Jangan...! Ahhh, Kwi-bo, jangan sekeji itu...!"
Gadis itu meloncat berdiri dan menudingkan telunjuknya ke hidung Keng Hong sambil memberntak,
"Engkau... dengan akal bulusmu yang tolol! Engkau malah mencelakakan subo...!"
Ang-bin Kwi-bo terkekeh dan mencabut Siang-bhok-kiam dari pinggangnya. Melihat Pedang Kayu Harum milik suaminya ini, nenek itu menjadi pucat wajahnya, akan tatapi ia sudah nekat dan tanpa banyak cakap lagi ia sudah menerjang dengan tongkatnya. Ang-bin-Kwi-bo mengerahkan sinkangnya dengan amat kuat dan menangkis dengan pedang Siang-bhok-kiam.
"Krekkk!"
Tongkat di tangan nenek itu patah menjadi dua bertemu dengan Siang-bhok-kiam. Nenek itu menjerit dan meloncat mundur.
"Hi-hi-hi-hi-hik!"
Ang-bin Kwi-bo terkekeh girang.
"Celaka...!"
Gadis itu menjerit dan sekali ini jeritnya bukan lagi pura-pura, melainkan jerit karena khawatir dan ngeri. Sambaran Siang-bhok-kiam yang berubah menjadi sinar hijau dapat dielakkan oleh Tung Sun Nio, akan tetapi karena hawa pedang itu amat mujijat, ia terhuyung dan tiba-tiba sinar hitam dari rambut Ang-bin Kwi-bo telah meluncur ke depan dan melibat leher dan pundak Tung Sun Nio! Sambil terkekeh-kekeh, Ang-bin Kwi-bo melangkah maju, pedang Siang-bhok-kiam diangkat tinggi dan akan dihantamkan ke arah kepala nenek itu.
"Tung Sun Nio, lihat pedang suamimu yang suci akan membelah kepalamu, hi-hi-hi..."
Tiba-tiba nenek iblis itu mengeluarkan suara meraung keras, pedang Siang-bhok-kiam terlepas dari tangan kanannya dan ia menjerit.
"Aduhhh... tanganku...tanganku...!"
Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ternyata tangan kanannya menjadi lumpuh dan pedang yang terlepas itu cepat disambar oleh Tung Sun Nio dan sekali pedang itu berkelebat, rambut yang membelitnya telah dibabat putus!
"Aihhhhh... keparat... pedang celaka...!"
Ang-bin Kwi-bo memaki dan tangan kirinya dengan jari-jari berkuku runcing menyambar. Tung Sun Nio memapaki lengan itu dengan Siang-bhok-kiam.
"Srattt... krekkkkk!"
Lengan nenek iblis yang kiri terbabat buntung! Ia memekik keras. Akan tetapi pekik ini dilanjutkan dengan raung yang mendirikan bulu roma ketika pedang Siang-bhok-kiam yang ditusukkan Tung Sun Nio amblas ke dalam perutnya menembus punggung! Tubuh itu meronta keras sehingga Tung Sun Nio tidak mampu menguasai lagi, terpaksa melepaskan gagang Siang-bhok-kiam dan meloncat ke belakang. Tubuh Ang-bin Kwi-bo terguling roboh dan tewaslah nenek iblis itu dengan pedang Siang-bhok-kiam masih menancap di perutnya. Buntalan pusaka yang disampirkan di pundak jatuh terlepas dan berserakan di atas rumput.
"Subo...!"
Gadis itu berseru girang dan memeluk gurunya. Nenek ini yang masih pucat mukanya, menghela napas panjang.
"Sie Cun Hong, tidak urung engkau juga yang menolongku, melalui pedangmu dan siasat muridmu..."
Mereka berdua menengok dan ternyata Keng Hong juga sudah roboh terguling dan pingsan. Ia tadi mempertahankan dirinya untuk menyaksikan siasatnya yang berbahaya. Dia maklum akan kecerdikan iblis wanita itu untuk menjalankan siasatnya.
Nenek iblis itu tentu merasa ditipu dan berlaku cerdik, tidak mau dipancing, padahal justeru itulah kehendak Keng Hong. Andai kata nenek itu menyerahkan pedang kepada Tung Sun Nio, belum tentu isteri gurunya itu akan menang menghadapi nenek iblis yang amat lihai ilmunya Ban-tok-sin-ciang itu. Akan tetapi nenek itu berlaku cerdik, dan terpancing oleh pujian Keng Hong akan pedang Siang-bhok-kiam. Kejahatan dan kekejian nenek iblis itu mendatangkan akal untuk membunuh isteri Sin-jiu Kiam-ong dengan pedangnya sendiri yang oleh muridnya disebut pedang suci. Hal ini dekehendaki oleh Keng Hong karena pemuda ini mempunyai keyakinan bahwa Ban-tok-sin-ciang akan luntur dan punah kalau terkena hawa murni dan mujijat dari Siang-bhok-kiam. Dugaannya terbukti karena begitu tangan kanan nenek iblis itu memegang Siang-bhok-kiam dan mengerahkan sinkang,
Otomatis hawa sakti pedang itu menumpas dan memusnahkan hawa Ban-tok-sin-ciang seperti air memadamkan api sehingga lengan kanan nenek iblis menjadi lumpuh yang mengakibatkan kematiannya! Setelah melhat siasatnya berhasil dan isteri gurunya tertolong, Keng Hong terguling pingsan! Keng Hong mengeluh perlahan dan membuka matanya. Ia mendapatkan dirinya terbaring di atas dipan bambu dalam sebuah kamar yang amat bersih. Dindingnya terbuat dari anyaman bambu dan lantainya dari batu putih. Tubuhnya terasa nyeri semua dan amat panas, seolah-olah di dalam dadanya ada api unggun menyala. Akan tetapi perasaan nyeri sejenak lenyap terlupa olehnya ketika pandang matanya bertemu dengan wajah cantik dari gadis yang duduk di atas bangku, tak jauh dari pembaringannya.
"Suheng..., bagaimana rasanya...?"
Tanya gadis itu dengan suaranya yang halus, wajahnya yang cantik memandang serius sekali dan terbayang kegelisahan.
"Suheng...?"
Keng Hong mengulang dengan suara terheran.
"Engkau adalah murid Sin-jiu Kiam-ong, suami subo. Berarti kita masih saudara seperguruan."
Gadis itu menjelaskan.
"Aahhh... terima kasih, Sumoi. Tentu engkau dan subo yang menolongku dan membawaku ke sini. Budimu dan budi subo amat besar, aku berterima kasih sekali."
"Aihhh, Suheng. Baru sekarang aku tahu setelah subo memberi penjelasan sesungguhnya engkaulah yang telah menyelamatkan subo. Kalau mau bicara tentang budi, engkau pun telah berjasa besar. Akan tetapi, Suheng..."
Gadis itu berhenti dan memandang wajah Keng Hong penuh keharuan dan kegelisahan! "... lukamu..., subo bilang..."
"Bagaimana? Bahwa luka akibat Ban-tok-sin-ciang di punggungku ini tidak dapat disembuhkan?"
Gadis itu mengangguk dan... menangis, menutupi mukanya. Keng Hong membelalakkan matanya, memandang heran.
(Lanjut ke Jilid 32)
Pedang Kayu Harum (Seri ke 01- Serial Pedang Kayu Harum)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 32
"Eh, Sumoi! Kenapa engkau menangis?"
Gadis itu mengangkat mukanya dari balik kedua tangannya, muka yang menjadi merah oleh tangis, sehingga bibirnya menjadi merah sekali, dengan kulit bibir tipis seperti buah apel, seolah-olah mudah sekali pecah.
"Suheng, subo sudah berusaha keras untuk mengobatimu, akan tetapi menurut subo... dia hanya berhasil menghentikan racun itu menjalar, namun tidak berhasil melenyapkannya dan... dan... engkau hanya akan bertahan sampai sehari semalam... Sekarang sudah hampir tengah malam... besok pagi..."
Gadis itu tidak melanjutkan menangis lagi. Keng Hong menjadi terharu. Perasaannya seperti lilin terbakar api dan dalam keharuannya dia memegang tangan gadis itu. Gadis itu pun balas memegang sehingga jari-jari tangan mereka saling mencengkeram!
"Kau mau bilang bahwa nyawaku tinggal setengah malam lagi? Kalau begitu mengapa, Sumoi? Kalau sudah semestinya besok pagi aku mati, aku tidak takut. Biarlah, mengapa kau yang baru saja berjumpa denganku menangisi keadaanku?"
Gadis itu menarik kembali tangannya, mukanya menjadi merah sekali akan tetapi ia memandang Keng Hong dengan sinar mata penuh kejujuran.
"Suheng, selamanya aku tidak mempunyai saudara seperguruan. Sekarang, bertemu denganmu dan tiba-tiba mempunyai seorang suheng, hatiku... amat bahagia. Akan tetapi besok pagi...ahhh..."
Ia menangis lagi. Keng Hong mengerti dan dia menyumpahi diri sendiri mengapa hatinya menjadi kecewa mendengar keterangan itu. Tentu saja! Gadis ini menangis karena kasihan kepadanya, kepada suhengnya! Sama sekali bukan karena... cinta kepadanya, seperti yang diharapkan oleh hatinya yang lemah apabila bertemu dengan gadis jelita! Benar-benar memalukan. Laki-laki mata keranjang benar dia!
"Sudahlah, Sumoi. Harap jangan menangis dan tolong kau minta subo supaya suka datang ke sini dan membawa Siang-bhok-kiam. Kalau Tuhan menghendaki, aku tidak akan mati besok pagi."
Gadis itu memandang penuh harapan, lalu mengangguk dan melangkah keluar dari dalam kamar itu. Keng Hong kembali menyumpahi dirinya. Mengapa mata ini tidak mau diam, seperti besi terbetot besi semberani dan memandang tubuh belakang gadis itu ketika berjalan pergi sehingga tampak pemandangan yang amat menggairahkan? Tak lama kemudian, nenek itu melangkah masuk diikuti gadis itu, langkahnya halus dan biarpun sikapnya tenang dan wajahnya juga tidak membayangkan sesuatu, namun sinar matanya terselimut kegelisahan ketika ia memandang wajah Keng Hong.
"Subo..."
Keng Hong mengangkat kedua tangan ke depan dada dan menyeringai karena pundaknya yang terluka terasa nyeri.
"Harap subo maafkan bahwa teecu tidak dapat memberi hormat sebagaimana mestinya. Teecu telah menerima budi pertolongan Subo, teecu amat berterima kasih..."
"Ssttt, engkau benar-benar seperti gurumu, pandai sekali menyenangkan hati orang. Namamu Cia Keng Hong, benarkah? Aku hanya mendengar iblis betina itu memanggilmu."
"Benar, Subo. Teecu Cia Keng Hong."
"Keng Hong, terus terang saja, biarpun sudah puluhan tahun aku mempelajari ilmu pengobatan, akan tetapi luka dipunggungmu akibat cengkeraman kuku dengan ilmu beracun Ban-tok-sin-ciang itu aku tidak dapat menyembuhkannya. Maka aku khawatir sekali engkau hanya akan bertahan sampai besok pagi..."
Kalimat terakhir terdengar lirih, penuh keharuan. Mata Keng Hong tak dapat ia kuasai, sudah menyelonong lewat balik pundak subonya itu, memandang wajah gadis jelita dan melihat betapa sepasang mata yang indah itu menitikkan air mata.. Aihhh, sungguh aneh. Dia mempunyai perasaan seolah-olah dia akan girang sekali kalau besok pagi mati, ditangisi oleh sepasang mata seperti itu! Gila! Gila engkau Cia Keng Hong, dia menyumpahi diri sendiri. Mata keranjang yang tiada taranya!
"Subo, dahulu suhu pernah memberi tahu bahwa pedang Siang-bhok-kiam adalah sebuah pedang mustika yang dapat menyembuhkan segala macam racun di dunia ini. Selain itu, juga di dalam tubuh teecu sudah mengeram banyak sekali racun yang disuruh minum oleh suhu sehingga sedikit banyak tubuh teecu sudah agak kebal terhadap racun. Oleh karena itu, betapapun lihainya Ban-tok-sin-ciang, namun jika benar keterangan suhu, dan jika Tuhan masih belum menghendaki teecu rasa pedang Siang-bhok-kiam dapat menyelamatkan nyawa teecu."
Seketika berserilah wajah nenek itu dan baru sekarang dapat dilihat bahwa sebetulnya dia tadi berduka sekali.
"Benarkah? Dia tidak pernah membohong, Keng Hong. Kalau dia mengatakan demikian, pasti pedang Siang-bhok-kiam ini akan dapat menyembuhkanmu. Akan tetapi... bagaimana caranya...?"
"Harap Subo suka menusukkan Siang-bhok-kiam di punggung teecu, tepat di bagian yang terkena pukulan Ban-tok-sin-ciang. Tentu saja terserah kepada kebijaksanaan dan keahlian Subo agar tusukan tidak mengenai jalan darah dan tidak merusak bagian yang mematikan, tidak terlalu dalam dan juga tidak terlalu dangkal pun berarti racun yang sudah menggeram di bagian agak dalam tidak dapat tersedot keluar."
Keng Hong membicarakan hal-hal yang menyangkut bahaya bagi nyawanya ini seenaknya saja, seperti orang membicarakan urusan makan minum! Nenek itu memandang kagum, kemudian berkata dan suaranya mengandung isak!
"Sungguh...! Engkau... seperti... seperti dia...! Mirip sekali...!"
Keng Hong tersenyum, maklum bahwa yang dimaksudkan oleh subonya adalah gurunya. Jelas bahwa subonya ini selamanya mencinta suhunya. Mengapa dahulu bisa menyelewang? Dia menarik napas panjang. Manusia manakah di dunia ini yang tidak pernah berdosa? Subonya ini pun tidak terkecualikan. Ia dapat membayangkan betapa suhunya tentu sedang pergi dan subonya yang sedang kesepian itu tergoda nafsunya sendiri, tergoda sahabat suhunya dan terjadilah pelanggaran. Apakah anehnya dalam peristiwa itu? Kalau direnungkan dengan hati dan pikiran dingin, sebenarnya bukanlah apa-apa!
"Teecu menyerahkan keselamatan teecu dalam tangan Subo. Silakan dan... eh, Sumoi... tolonglah bantu aku membalik dan menelungkup."
Gadis itu cepat melangkah maju dan kedua pipinya masih basah ketika ia membantu Keng Hong rebah menelungkup sehingga punggungnya berada di atas.
"Bukalah bajunya, telanjangi punggungnya!"
Kata subonya. Keng Hong kembali menyumpahi dirinya dan ingin menempiling kepala sendiri ketika jantungnya berdebar dan hatinya merasa senang sekali merasa betapa jari-jari tangan yang halus dan hangat itu membuka bajunya.
"Eh, Suheng... engkau berdebar-debar! Kalau kau takut...ah, amat berbahaya...!"
Gadis itu berseru sambil meraba iga kiri Keng Hong. Mampus kau! Keng Hong menyumpahi dirinya. Terbongkar rahasia mata keranjangmu! Ia menoleh dan memaksa diri tersenyum.
"Sumoi, siapa sih yang tidak takut menghadapi detik hidup atau mati ini? Akan tetapi aku cukup tabah, harap jangan khawatir, aku percaya penuh akan keahlian Subo menggunakan pedang!"
Kalau gadis itu tidak mengerti dan percaya akan keterangan Keng Hong, adalah nenek itu yang tak dapat dibohongi. Orang yang berdebar takut tidak bisa tersenyum seperti itu. Ia menghela napas dan berkata lirih,
"Hemmm".. persis dia..! Tiada sedikit pun bedanya... hemmmmm!"
Keng Hong terkejut. Suara "Hemmm!"
Yang terakhir itu benar-benar mencurigakan, karena terdengar jelas subonya itu gemas. Tentu sudah tahu bahwa jantungnya berdebar karena sentuhan jari-jari tangan mungil! Celaka dua belas! Keng Hong cepat membenamkan muka pada bantal dan berkata dengan suara bindeng karena hidungnya terhimpit di bantal,
"Silakan, Subo!"
Nenek itu memegang Siang-bhok-kiam yang sudah dicuci bersih karena tadi memasuki perut Ang-bin Kwi-bo, dan mengheningkan cipta untuk membuat seluruh urat syaraf di tubuhnya menjadi tenang. Kemudian terdengar ia berkata,
"Cia Keng Hong, semoga Tuhan menitahkan arwah gurumu untuk membimbing tanganku menggerakkan pedang ini. Sudah kuperiksa lukamu dan racun ini mengeram dekat jantung. Tusukanku harus tepat, kurang atau lebih satu inci saja berarti nyawamu akan melayang, sampaikan maafku kepada gurumu!"
Sunyi menyeramkan setelah nenek itu mengeluarkan ucapan yang seperti orang berdoa ini, dan terdengarlah isak tangis di tahan dari gadis yang berdiri di sudut kamar dengan kedua kaki menggigil dan muka pucat sekali.
"Teecu mengerti. Silakan!"
Suara Keng Hong sedikitpun pun tidak terdengar takut, tenang sekali. Nenek itu mundur dua langkah, menodongkan pedang, matanya yang tua namun masih awas itu memandang tanpa berkedip pada punggung yang akan ditusuknya, mengukur dengan cermat sekali. Kemudian terdengar dia mengeluarkan suara melengking, sinar hijau berkelebat dan...
"Ceppp!"
Ujung pedang Siang-bhok-kiam menusuk punggung Keng Hong dibarengi sedu-sedan gadis yang menonton pertunjukan mengerikan ini. Terdengar keluhan yang didekap dari mulut Keng Hong. Nenek itu melepaskan gagang pedang. Pedang Siang-bhok-kiam menancap seperempat bagian di punggung itu. Keng Hong kelihatan lemas, entah pingsan entah tidur! Akan tetapi, perlahan-lahan pedang yang putih kehijauan itu berubah hitam, kemudian dari gagangnya menetes-netes cairan berwarna hitam.
"Ya Tuhan... Terima kasih..., terima kasih, Sie Cun Hong...!"
Nenek itu menjatuhkan diri di depan pembaringan dan terisak! Gadis itu pun menangis dan menubruk, terus merangkul gurunya. Kedua orang wanita itu menangis, menangis karena girang, karena sudah merasa yakin bahwa "operasi istimewa"
Itu berhasil baik!
"Yan Cu... Yan Cu... dengarlah baik-baik. Murid dia inilah yang harus menjadi suamimu. Aku telah menentukan detik ini juga. Engkau harus menjadi isterinya!"
"Subo...!"
Gadis yang bernama Gui Yan Cu itu mencela dengan muka merah sekali dan menoleh ke arah dipan.
"Dia..."
Nenek yang masih mengucurkan air mata itu tersenyum dan menggeleng kepala.
"Dia pingsan, tidak mendengar. Andaikata mendengar sekalipun, mengapa? Dia tentu setuju! Adakah perawan yang lebih hebat daripada engkau?"
"Ssssttttt... Subo... teecu malu... kalau-kalau dia mendengar..."
Nenek itu bangkit perlahan, sejenak memandang ke arah punggung Keng Hong. Makin banyak kini cairan berwarna hitam menetes turun dari gagang pedang.
"Dia sudah selamat. Kepulihan kesehatannya hanya tergantung dari kekuatan sinkang di tubuhnya. Akan tetapi aku percaya sebagai murid Sin-jiu Kiam-ong dia telah memiliki sinkang amat kuat dan dalam waktu sepuluh hari tentu dia sudah dapat turun dari pembaringan. Kau jagalah dia baik-baik. Racun yang menetes itu cepat bersihkan dan kalau sudah berhenti cairan hitam dan pedang itu sudah menjadi putih kembali, kau boleh mencabutnya dengan cepat dan obati luka di punggung dengan daun obat pembersih luka. Beri minum obat akar penambah darah, engkau sudah tahu."
Nenek itu lalu keluar dari kamar itu, meninggalkan Yan Cu sendirian bersama Keng Hong. Yan Cu duduk di bangku yang diseretnya dekat pembaringan, sejenak ia termenung seperti patung memandang ke arah punggung dan belakang kepala Keng Hong. Emang yang tampak hanya punggung dan belakang kepala, muka pemuda itu menunduk dan miring ke sebelah dalam. Punggung itu bergerak perlahan naik turun, pernapasannya yang normal, tanda sehat.
Tiba-tiba Yan Cu seperti sadar dan tergopoh-gopoh ia mengambil kain, dicelupkan di air panas, lalu ia membersihkan tetesan-tetesan racun hitam. Dengan jari telunjuknya ia perlahan-lahan menyentuh kulit punggung dekat luka, hati-hati sekali, seolah-olah khawatir kalau-kalau kulit punggung itu akan rusak oleh sentuhannya, seperti orang menyentuh sebuah perhiasan yang mahal. Kemudian ia memegang urat nadi lengan Keng Hong untuk meneliti denyut darahnya yang juga normal. Ia bernapas lega, lalu menjaga di situ, mengusap setiap tetes racun, menjaga dengan penuh kesetiaan, penuh ketelitian dan penuh kebahagiaan. Dia suka kepada pemuda ini. Dia tadinya merasa girang sekali endapatkan seorang suheng yang begini lihai dan begini... Ganteng! Sekarang, suheng ini tiba-tiba menjadi calon suaminya!
Benar-benar kini berbeda sekali perasaannya. Dia hanya girang, gembira, bahagia. Selanjutnya dia tidak akan berpisah dari pemuda ini kalau sudah menjadi isteri pemuda ini. Cinta? Dia tidak tahu, tidak mengerti. Yang ia tahu hanya bahwa dia suka kepada Keng Hong, suka dan kagum. Dengan amat telaten dan penuh perhatian Yan Cu merawat Keng Hong, merawat luka di punggungnya yang sekarang sudah tidak hitam lagi setelah semua racun disedot oleh Siang-bhok-kiam yang kini sudah dicabut oleh Yan Cu. Pemuda itu masih berada dalam keadaan tidak sadar dan dalam waktu dua hari dua malam dia selalu dijaga oleh Yan Cu yang tak pernah meninggalkan kamarnya. Bahkan gadis ini hanya tidur sambil duduk di atas bangku, hanya makan bubur setelah ia menyuapi Keng Hong yang masih setengah pingsan itu dengan bubur encer.
Karena kurang tidur dan lelah, tubuh gadis ini menjadi agak kurus, rambutnya kusut dan wajahnya pucat. Akan tetapi mulutnya selalu tersenyum dan sinar matanya berseri melihat betapa Keng Hong makin sehat. Pada hari ke tiga, Keng Hong siuman. Pagi itu dia tersadar dan membuka mata, melihat Yan Cu tertidur, duduk di atas bangku, kepalanya menyandar dinding. Di atas meja terdapat obat-obat dan di sudut kamar terdapat anglo tempat masak bubur dan obat. Keng Hong kaget meraba punggungnya dan hatinya teharu sekali. Ia tahu bahwa dia telah selamat dan agaknya gadis ini selalu menjaganya entah berapa lamanya dia tidak tahu. Akan tetapi dia bisa menduga, tentu lama sekali, buktinya gadis itu sampai tertidur kelelahan di atas bangku! Ia mengamat-amati wajah yang tertidur itu. Rambut yang kusut itu sebagian menutupi pipi.
Hatinya terharu sekali. Aiiihhh, gadis yang amat cantik jelita yang telah menjaga dan merawatnya, entah berapa hari lamanya! Budi yang amat besar ini, dan dia membalasnya dengan pandang pandang mata tertarik, dengan gairah yang seperti dikutik-kutik! Benar-benar dia keparat tak tahu malu, tak kenal budi! Ia bangkit bersila dan bersamadhi. Sinkangnya dia gerakkan dan ternyata seluruh tubuhnya sudah sehat kembali. Luar biasa sekali, kini sinkangnya dapat dia gerakkan lebih cepat daripada biasanya, jauh lebih kuat! Ia teringat, inilah hasilnya menyedot hawa sinkang dari tiga orang kakek iblis! Terbayanglah semua pengalamannya semenjak dia bertemu dengan Thian-te Sam-lo-mo dan dia bergidik. Ia berhutang budi kepada subonya, berhutang nyawa. Juga kepada gadis cantik ini.
"Ehhhhh... Engkau belum boleh duduk, Suheng...!"
Tiba-tiba Keng Hong mendengar suara gadis itu. Betapa merdunya suara itu. Ia membuka mata, tersenyum. Dua pasang mata bertemu pandang, bertaut sebentar dan... gadis itu menundukkan mukanya, kedua pipnya merah sekali, mulutnya tersenyum-senyum penuh rasa jengah! Eh, mengapa begini? Apakah pandang matanya kembali membayangkan perasaan terpikat? Membayangkan sifatnya yang mata keranjang? Celaka kalau begitu. Tidak boleh begini!
"Maaf, Sumoi... Mengapa tidak boleh duduk?"
Yan Cu mengangkat muka, kini berani memandang.
"Subo berpesan agar engkau berbaring dan memulihkan tenaga sampai sepuluh hari. Engkau baru tiga hari..."
"Apa?"
Keng Hong memotong, terkejut.
"Sudah tiga hari tiga malam aku rebah di sini dan engkau terus-menerus menjaga dan merawatku di sini, Sumoi?"
Sepasang mata yang indah itu memandang Keng Hong dan seolah-olah mata itu bertanya apa salahnya dengan itu, akan tetapi bibirnya bergerak, berkata halus.
"Ah, Suheng. Itu sudah menjadi kewajibanku."
"Kewajibanmu? Dan engkau menjaga terus-menerus tanpa istirahat sehingga engkau kelelahan dan tertidur di bangku. Mukamu pucat, engkau agak kurus, pakaianmu dan rambutmu kusut... Ah, Sumoi aku benar tak tahu diri, membuat Sumoi capek sekali. Yan Cu bangkit berdiri, meneliti pakaiannya, otomatis tangannya meraba rambutnya.
"Wah, aku... Aku harus berganti pakaian... Harus mandi, rambutku... ah, tentu jelek sekali..."
Keng Hong tak dapat menahan ketawanya.
"Bukan begitu, Sumoi. Engkau tetap cantik, ah, malah lebih cantik dalam keadaan begini. Engkau telah merawatku, sungguh aku harus berterima kasih!"
Keng Hong meloncat turun dan menjura di depan gadis itu. Yan Cu tersipu-sipu.
"Eh-eh-eh, jangan Suheng. Aku... aku harus menjagamu, dan engkau tidak boleh turun. Kesehatanmu belum pulih. Subo bilang, kalau sinkangmu cukup kuat, dalam waktu sepuluh hari barulah Suheng boleh turun."
"Ha-ha-ha! Aku sudah cukup sehat dan kuat berkat perawatanmu, Sumoi. Lihat!"
Keng Hong membusungkan dada, menarik napas panjang dan tiba-tiba tubuhnya meloncat ke atas, dan... Punggungnya menempel di langit-langit. Kemudian dia melompat turun lagi, demikian ringan tubuhnya.
"Nah, bukankah aku sudah pulih kembali?"
Yan Cu memandang kagum.
"Engkau... engkau hebat, suheng. Baru malam tadi aku... Engkau makan dengan..."
Sukar ia melanjutkan kata-katanya dan ia hanya memandang ke arah bekas mangkok dengan sendoknya. Keng Hong memandang, terharu.
"Engkau masih menyuapi aku, bukan? Terima kasih, Sumoi. Aku tidak akan mungkin membalas budimu, biarlah Thian saja yang akan membalasmu."
Kembali Keng Hong menjura.
"Dimanakah subo? Aku harus menghaturkan terima kasih kepadanya."
"Subo telah tiga hari pergi seperti biasa, mencari daun-daun obat... nah itu subo datang!"
Benar saja, nenek itu sudah berdiri di ambang pintu dengan sebuah keranjang penuh daun dan akar obat. Keng Hong cepat menjatuhkan diri berlutut.
"Subo, terimalah hormat dan terima kasih teecu atas pertolongan Subo. Sungguh teecu tidak akan dapat melupakan budi Subo dan Sumoi yang amat besar terhadap diri teecu!"
Keng Hong bersoja sampai delapan kali. Nenek itu memandang dengan wajah berseri dan penuh kekaguman.
"Baru tiga hari dan engkau sudah sehat kembali. Entah betapa hebat sinkangmu, Keng Hong! Engkau benar-benar mengagumkan, agaknya sinkangmu malah sudah melebihi mendiang suhumu!"
"Subo, terlalu memuji. Kalau tidak ada Subo dan Sumoi, tentu teecu sekarang hanya tinggal nama saja. Entah bagaimana teecu akan dapat membalas budi Subo dan Sumoi!"
"Keng Hong, orang yang ingat akan budi adalah orang yang baik. Syukurlah kalau engkau suka ingat akan budi orang. Untuk membalasku, engkau harus memenuhi permintaanku dan untuk membalas budi Sumoimu, engkau harus suka menurut menjadi calon suaminya. Aku menjodohkan engkau dengan muridku."
Terbelalak mata Keng Hong dan otomatis dia menengok kepada sumoinya. Akan tetapi gadis itu sudah lari keluar dari kamar.
"Akan tetapi, Subo..."
Keng Hong sudah bangkit berdiri dan memandang nenek itu dengan bingung. Dia benar-benat itdak dapat menggunakan pikirannya, bingung karena keputusan itu benar-benar amat mendadak dan sama sekali tidak pernah diduganya. Dia dijodohkan dengan gadis jelita itu
"Cia Keng Hong, apakah engkau hendak menolak? Tegakah engkau menolak setelah apa yang dilakukan oleh muridku? Dia sudah setuju, dan kulihat kalian memang berjodoh. Engkau murid Sin-jiu Kiam-ong, dia muridku. Engkau tampan gagah, dia pun cantik jelita dan gagah. Adakah gadis yang lebih cantik dari dia? Eh, Keng Hong, apakah engkau sudah mempunyai calon isteri lainya?"
Nenek itu memandang penuh perhatian dan penuh selidik.
Keng Hong menggelengkan kepala. Memang dia belum mempunyai tunangan. Akan tetapi pada saat itu, terbayanglah wajah Biauw Eng di pelupuk matanya. Biauw Eng! Bagaimana dia dapat memilih gadis lain menjadi calon isterinya kalau dia sudah yakin benar bahwa Biauw Englah satu-satunya wanita di dunia ini yang dicintanya? Cintanya terhadap Biauw Eng adalah cinta yang murni, yang mendalam bukan hanya cinta berahi atau tertarik oleh kecantikan Biauw Eng saja. memang dia suka akan kecantikan, selain tertarik, akan tetapi itu bukanlah cinta! Mana mungkin dia mencinta wanita lain, biar sejelita gadis itu sekalipun? Cinta kasihnya sudah direnggut Biauw Eng. Memang Biauw Eng sekarang membencinya, karena kebodohannya sendiri, akan tetapi apa pun yang terjadi, andaikata kelak Biauw Eng menjadi isteri orang lain sekalipun, dia akan tetap mencinta Biauw Eng!
"Nah, kalau engkau belum bertunangan, mengapa ragu-ragu? Engkau harus menjadi suami muridku, karena hanya untuk jodoh muridku inilah aku bertahan hidup selama ini. Kini aku telah mendapatkan jodoh untuknya, yaitu engkau. Kalau engkau menolak, berarti engkau adalah seorang yang tak kenal budi dan akan kuanggap sebagai musuh. Aku akan membunuhmu!"
Si Bangau Merah Eps 27 Si Tangan Sakti Eps 14 Kisah Si Bangau Putih Eps 30