Ceritasilat Novel Online

Si Tangan Sakti 14


Si Tangan Sakti Karya Kho Ping Hoo Bagian 14



Cia Sun mencoba untuk tersenyum, akan tetapi karena rasa nyeri berdenyut-denyut di kepalanya,membuat kepala seperti akan pecah rasanya, senyumnya menjadi pahit sekali.

   "Aku tidak berdusta, Eng-moi. Memang benarlah, aku mencinta Sim Hui Eng, sejak pertama kali jumpa sampai sekarang dan aku akan tetap mencintanya karena Sim Hui Eng adalah engkau sendiri, Eng-moi.... ahhh...."

   Cia Sun tidak dapat menahan lagi rasa nyeri di dada dan kepalanya.

   Dia pingsan lagi. Dia tidak tahu betapa Eng Eng memandang kepadanya dengan mata terbelalak dan muka pucat. Sampai lama Eng Eng mengamati wajah Cia Sun, pandang matanya meragu. Ia bernama Sim Hui Eng? Apa pula artinya ini? Benarkah semua yang diceritakan Cia Sun? Ia harus tahu apa artinya semua itu. Cia Sun mengaku kepada orang tuanya bahwa dia hanya mencinta gadis yang bernama Sim Hui Eng, dan kini dia menjelaskan bahwa Sim Hui Eng adalah ia sendiri! Bagaimana pula ini? Namanya seperti dikenal Cia Sun adalah Siangkoan Eng, kemudian karena ibunya membuka rahasia bahwa ia bukan puteri kandung Siangkoan Kok, ia pun tidak sudi lagi memakai nama keluarga Siangkoan, lebih memilih marga ibunya, yaitu Lauw.

   Dan kini, tiba-tiba saja Pangeran Cia Sun mengatakan bahwa ia she Sim, dan nama lengkapnya Hui Eng! Jangan-jangan pangeran ini tidak berbohong dan sudah mengenal ayah kan-dungnya. Ayah kandungnya! Ibunya amat membenci ayah kandungnya. Benarkah ayah kandungnya she Sim? Benarkah semua cerita Cia Sun? Sayang bahwa pemuda ini keburu jatuh pingsan sehingga tidak dapat melanjutkan keterangannya. Eng Eng berlutut di dekat tubuh Cia Sun. Hatinya sempat berdegup ketika ia berada begitu dekat dengan pangeran itu, dan keharuan mulai menggigit perasaannya ketika ia melihat wajah yang tampan itu bengkak-bengkak. Ia cepat mengeluarkan sebutir pil, lalu menggunakan bekal air minumnya untuk memasukkan pil itu ke dalam mulut Cia Sun yang dibukanya dengan penekanan kepada rahang pemuda itu.

   Pil itu sukar ditelan maka terpaksa ia mendekatkan mulutnya dan meniup ke dalam mulut pemuda itu sehingga pil itu dapat tertelan karena ia telah menotok beberapa jalan darah, membuat pemuda itu hanya setengah pingsan. Kemudian ia mengurut sana-sini, mengobati luka-luka memar itu dengan semacam obat gosok yang selalu dibawanya sebagai bekal. Kemudian, ia menempelkan tangan kirinya ke dada pemuda itu, menyalurkan sin-kang untuk membantu pemuda itu terbebas dari luka sebelah dalam tubuhnya. Akhirnya Cia Sun membuka matanya dan dia tersenyum melihat gadis itu bersimpuh di dekatnya dan menempelkan telapak tangan ke dadanya. Terasa betapa lembutnya telapak tangan yang mengeluarkan hawa panas itu.

   "Ah, Eng-moi, engkau masih mau mengobati dan menolongku? Terima kasih...."

   Katanya lembut dan wajah yang kini hanya tinggal membiru karena bengkaknya sudah hilang itu tersenyum! Senyum itulah yang menikam jantung Eng Eng. Kalau pangeran itu marah-marah dan memaki-makinya, kiranya tidak akan sesakit itu hatinya. Sejak ditangkapnya tadi, sampai disiksanya, pangeran itu tidak pernah marah, bahkan selalu berbicara lembut, pandang matanya penuh kasih dan mulutnya tersenyum.

   "Aku mengobatimu hanya agar engkau tidak mampus sekarang,"

   Katanya, suaranya diketus-ketuskan.

   "Hayo katakan, apa maksudmu dengan kata-katamu tadi bahwa aku bernama Sim Hui Eng! Jangan mempermainkan aku kalau kau tidak ingin kusiksa lebih berat lagi!"

   "Sejak tadi aku tidak pernah mempermainkanmu, tidak pernah berdusta, Eng-moi. Engkau yang kurang sabar mendengarkan keteranganku. Nah, sekarang kulanjutkan ceritaku tadi. Sebelum ibumu meninggal dunia dalam rangku-lanku, ia menceritakan suatu rahasia yang amat mengejutkan hatiku, juga tentu akan mengejutkan hati-mu dan mungkin engkau semakin tidak percaya kepadaku. Nah, sudah siapkah engkau mendengarkan ceritaku tentang pengakuan ibumu?"

   Eng Eng merasa betapa jantungnya berdebar penuh ketegangan. Kini ia hampir yakin bahwa pangeran ini tidak pernah berbohong kepadanya! Tidak pernah berbohong dan ia sudah menculiknya, menyiksa-nya dan bahkan nyaris membunuhnya. Kemungkinan ini membuat darahnya berdesir meninggalkan mukanya, membuat wajahnya menjadi pucat sekali.

   "Ceritakan semua!"

   Perintahnya.

   "Rahasia yang dibuka bibi Lauw Cu Si ini seluruhnya mengenai dirimu, Eng-moi. Pertama-tama, engkau bukanlah anak kandung Siangkoan Kok ketua Paobeng-pai!"

   Cia Sun mengira bahwa gadis itu akan terkejut sekali mendengar ini. Akan tetapi dia kecelik. Gadis itu sedikit pun tidak kelihatan kaget atau heran, bahkan mulutnya seperti membentuk senyum mengejek.

   "Aku sudah tahu. Dia adalah ayah tiriku."

   Katanya pendek. Cia Sun menggeleng kepalanya.

   "Bukan, Eng-moi. Sama sekali bukan ayah tirimu. Dia bukan apa-apamu."

   Eng Eng terbelalak.

   "Apa.... apa maksudmu? Aku dibawa ibu ketika masih kecil, berusia dua tiga tahun ketika ibuku menikah dengan Siangkoan Kok! Kenapa kau katakan dia bukan ayah tiriku?"

   "Inilah rahasia besar yang dibuka ibumu kepadaku, Eng-moi. Memang benar ketika bibi Lauw Cu Si itu menikah dengan Siangkoan Kok, ia membawa seorang anak kecil dian anak itu adalah engkau, Eng-moi. Akan tetapi, engkau bukanlah anak kandung bibi Lauw Cu Si!"

   "Ehhh....!!??"

   Eng Eng berseru setengah menjerit.

   "Apa"

   Apa maksudmu....!!?"

   Tangan gadis itu menangkap lengan Cia Sun dan mencengkeramnya, seluruh tubuhnya gemetar dan wajahnya semakin pucat.

   "Aku mendengar dari Nyonya Siangkoan Kok yaitu bibi Lauw Cu Si, Eng-moi. Agaknya karena tahu bahwa ia akan tewas, maka ia membuka rahasia itu kepadaku. Engkau bukan anak kandungnya, engkau telah ia culik dari orang tuamu ketika engkau masih kecil, kemudian diaku sebagai anaknya sendiri."

   "Tapi.... tidak mungkin! Apa buktinya? Bagaimana aku dapat mengetahui benar tidaknya ceritamu ini?"

   "Sabar dan tenanglah, Eng-moi. Aku pun tadinya terkejut dan kalau bukan bibi Lauw Cu Si sendiri yang bercerita, aku pun pasti tidak akan percaya. Akan tetapi, aku lalu teringat kepada Yo-toako! Engkau ingat Sin-ciang Tai-hiap Yo Han?"

   Eng Eng mengerutkan alisnya. Tentu saja ia teringat kepada pendekar yang amat lihai itu.

   "Apa hubungannya dia dengan ceritamu itu?"

   "Eng-moi, ingatkah engkau akan pengakuan Yo-toako bahwa dia hendak mencari seorang gadis yang diculik orang sejak kecil? Gadis itu bernama Sim Hui Eng dan Yo-toako bertugas untuk mencarinya. Bahkan dia kemudian ditipu Siangkoan Kok yang menyuruh mendiang Tio Sui Lan untuk memancingnya ke dalam gua kemudian menjebak dan menangkapnya. Nah, gadis yang dicari-carinya itu adalah engkau, Eng-moi. Engkaulah gadis yang ketika kecil diculik itu, dan penculiknya adalah bibi Lauw Cu Si yang selama ini kau anggap sebagai ibumu sendiri."

   Eng Eng masih terbelalak dan seperti berubah menjadi patung. Ia tentu saja masih diombang-ambingkan kebimbangan.

   "Tapi.... tapi apa buktinya bahwa.... ibuku meninggalkan pesan itu kepadamu, dan apa buktinya bahwa aku benar-benar gadis yang bernama Sim Hui Eng itu? Tanpa bukti, bagaimana mungkin aku dapat mempercayai ceritamu?"

   Cia Sun menghela napas panjang.

   "Tentu saja aku tidak dapat membuktikan bahwa mendiang bibi Lauw Cu Si membuka rahasia itu kepadaku, juga ketika kami bicara, tidak ada seorang pun saksinya. Dan ia sudah meninggal dunia, jadi tidak mungkin lagi ditanyai. Akan tetapi, aku mempunyai suatu tanda rahasia yang ada pada dirimu, seperti yang diceritakan Yo-toako kepadaku. Ketika Yo-toako menerima tugas mencari anak yang hilang diculik itu, orang tua anak itu memberitahukan kepadanya adanya dua tanda rahasia di badan anak itu yang merupakan ciri-ciri khas atau tanda sejak lahir. Kalau aku katakan tanda-tanda itu. dan kemudian ternyata cocok dengan keadaan dirimu, apakah engkau masih akan menganggap aku pendusta yang patut kau siksa dan kau bunuh di depan makam bibi Lauw Cu Si?"

   Tentu saja Eng Eng menjadi bingung dan salah tingkah. Ia merasa ngeri kalau membayangkan bahwa pangeran itu benar dan sama sekali tidak berdusta, sama sekali tidak menipunya, dan ia telah menyiksanya seperti itu!
(Lanjut ke Jilid 13)
Si Tangan Sakti (Seri ke 16 - Serial Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 13
"Katakanlah, tanda-tanda apa yang ada pada anak yang diculik itu?"

   Tanyanya, suaranya jelas terdengar gemetar.

   "Yo-toako hanya berpegang kepada, tanda-tanda itu saja untuk mencari anak yang hilang terculik itu, maka tentu saja amat sukar karena tanda-tanda itu terdapat di bagian tubuh yang selalu tertutup...."

   "Katakan cepat, tanda-tanda apa itu?"

   Tanya Eng Eng dengan suara nyaring karena ia sudah tidak sabar sekali.

   "Pertama, anak itu mempunyai sebuah tahi lalat hitam di pundak kirinya, dan ke dua, ia pun mempunyai sebuah noda merah sebesar ibu jari kaki di telapak kaki kanannya."

   Eng Eng meloncat ke belakang, terbelalak dan seluruh tubuhnya menggigil. Melihat ini, Cia Sun menguatkan tubuhnya dan bangkit berdiri, menghampiri dengan pandang mata khawatir.

   "Kenapa, Eng-moi.... dan be.... benarkah ada tanda-tanda itu pada dirimu....? Benarkah bahwa engkau ini Sim Hui Eng?"

   Suara pangeran itu juga gemetar karena dia merasa tegang, khawatir kalau-kalau gadis ini bukan Sim Hui Eng seperti yang disangkanya. Sampai lama Eng Eng tidak mampu bicara, mukanya yang pucat kelihatan seperti mau menangis dan ketika ia bertanya, suaranya hampir tidak dapat didengar,

   "Bagaimana.... perasaanmu terhadap aku kalau aku tidak memiliki tanda-tanda itu, kalau aku bukan Sim Hui Eng?"

   "Eng-moi, masihkah engkau meragukan cintaku kepadamu? Ketika aku jatuh cinta dan meminangmu, engkau adalah puteri ketua Pao-beng-pai, bukan? Engkau tetap engkau bagiku, satu-satunya gadis yang kucinta, baik engkau mempunyai tanda atau tidak, baik engkau puteri Siangkoan Kok atau bukan, atau puteri siapapun juga. Aku tetap cinta padamu, Eng-moi, biar engkau akan membunuhku sekalipun. Tapi.... untuk meyakinkan, benarkah engkau memiliki tanda-tanda itu?"

   Tiba-tiba Eng Eng menjatuhkan diri berlutut dan menangis terisak-isak. Tentu saja pangeran itu terkejut dan khawatir, lalu dia pun berlutut di depan gadis itu.

   "Eng-moi, kenapa, Eng-moi....? Ah, maafkan kalau aku membuat hatimu berduka, Eng-moi. Lebih baik aku melihat engkau marah-marah kepadaku seperti tadi daripada melihat engkau bersedih seperti ini, Eng-moi."

   Ucapan itu membuat Eng Eng semakin mengguguk. Cia Sun merasa hatinya seperti ditusuk-tusuk melihat keadaan kekasihnya itu dan dia pun menyentuh pundak gadis itu dengan lembut.

   "Eng-moi, ada apakah...."

   Akhirnya Eng Eng dapat bicara tanpa menurunkan kedua tangannya dari muka, dan air mata mengalir melalui celah-celah jari kedua tangannya.

   "Kau.... kau lihat sendiri.... apakah.... ada tanda-tanda itu...."

   Ia lalu menyingkap baju di bagian pundak kiri dan melepas sepatu dan kaos kakinya yang kanan. Cia Sun memandang pundak yang berkulit putih mulus itu dan di sana, jelas sekali nampak sebuah titik hitam, sebuah tahi lalat. Dan pada telapak kaki yang putih kemerahan itu nampak pula noda merah.

   "Kau.... kau benar-benar Sim Hui Eng....!"

   Serunya seperti bersorak gembira. Eng Eng kini merangkul ke arah kaki Cia Sun,

   "Pangeran...., ampunkan aku.... aku telah berbuat kejam dan tidak adil kepadamu.... aku.... aku layak kau pukul. Balaslah, Pangeran, pukullah aku, siksalah aku, bunuhlah aku.... huuu-huhuuuuu....!"

   Gadis itu tersedu-sedu, menangis dengan perasaan menyesal, malu, dan juga marah kepada diri sendiri dan amat iba kepada pria yang dicintanya namun yang telah disiksanya tanpa salah itu. Bahkan pangeran itu telah mencegah pasukan membunuh Lauw Cu Si sehingga dia merupakan satu-satunya orang yang telah menemukan rahasia dirinya. Pangeran ini telah berjasa kepadanya.

   Sebaliknya, ia menuduhnya sebagai pembunuh dan ia telah menyiksanya dengan kata-kata, dengan perbuatan. Ingin ia menciumi sepatu pangeran itu untuk menyatakan penyesalannya. Melihat betapa gadis yang dicintanya itu merangkul kakinya dan mencium sepatunya, Cia Sun cepat merangkul, menarik dan mendekap kepala itu, seolah-olah hendak membenamkannya ke dadanya untuk disimpan di dalam dada dan tidak akan dilepaskannya lagi selamanya. Dia sendiri pun membenamkan mukanya yang basah air mata ke dalam rambut itu. Sampai beberapa lamanya mereka berpelukan dan bertangisan, dan Eng Eng beberapa kali mengusap dan membelai muka yang masih ada bekas-bekas tamparan tangannya itu dengan jari-jari gemetar. Setelah gelora keharuan hati mereka mereda, Cia Sun membiarkan Eng Eng duduk bersandar di dadanya. Dia membelai rambut yang kusut itu dan berbisik,

   "Sudahlah, Eng-moi, sudah cukup engkau menyesali diri. Aku tidak akan menyalahkanmu. Memang batinmu mengalami guncangan hebat. Akhirnya semua kegelapan lewat dan kini kita berdua tinggal menyongsong sinar kebahagiaan."

   "Pangeran...."

   Cia Sun menghentikan kata-kata itu dengan sentuhan bibirnya pada bibir Eng Eng.

   "Hushhh...., kalau kau menyebutku pangeran, lalu apa bedanya dengan seluruh wanita yang menjadi kawula dan menyebutku seperti itu. Engkau adalah calon isteriku, engkau tunanganku, engkau kekasihku, ingat?"

   Eng Eng tersipu, akan tetapi tersenyum penuh bahagia.

   "Kakanda.... Cia Sun...."

   Betapa merdunya panggilan itu.

   "Adinda Hui Eng...."

   Sang pangeran berbisik dan sebutan nama yang terdengar asing baginya itu mengingatkan Eng Eng akan keadaan dirinya.

   "Kakanda Pangeran, dengan hati berdebar penuh ketegangan, sekarang aku menanti engkau memberitahu kepadaku, siapa sebenarnya orang tuaku? Ayah ibuku masih hidup?"

   "Engkau akan terkejut, berbahagia dan bangga sekali kalau mendengar siapa ayah ibumu, Eng-moi. Ketika engkau masih kuanggap sebagai puteri Siangkoan Kok, aku sudah kagum dan cinta padamu. Ketika aku mendengar dari bibi Lauw Cu Si siapa ayah ibumu, kekagumanku kepadamu bertambah-tambah. Ketahuilah bahwa ayahmu bernama Sim Houw dan ibumu bernama Can Bi Lan eh, kenapa kau, Eng-moi (adinda Eng)?"

   Mendengar disebutnya dua nama itu sebagai ayah ibunya, Eng Eng sudah meloncat berdiri sehingga terlepas dari rangkulan pangeran itu. Ia berdiri dengan mata terbelalak dan muka pucat.

   "Ayahku.... Pendekar Suling Naga dan ibuku Si Setan Kecil....! Aihhhhh.... Kakanda.... celakalah aku sekali ini...."

   Cia Sun cepat bangkit dan merangkul gadis itu.

   "Tenanglah, Moi-moi, kenapa engkau berkata begitu? Bukankah sepatutnya engkau berbangga? Ayah ibumu adalah suami isteri pendekar yang sakti dan nama mereka terkenal sekali di dunia persilatan!"

   "Aih, engkau tidak tahu, Koko! Ah, betapa malunya aku berhadapan dengan mereka. Ketahuilah, aku pernah mewakili Pao-beng-pai mendatangi tiga keluarga besar para pendekar itu dan menantang mereka mengadu kepandaian. Bahkan dalam peristiwa itu, Siauw-kwi Can Bi Lan, ibu kandungku itu maju untuk menandingiku, akan tetapi aku, si tinggi hati tak tahu diri ini, aku bahkan menghinanya dan menantang Pendekar Suling Naga, ayahku sendiri untuk maju menandingiku! Aku telah bersikap angkuh dan menghina tiga keluarga besar dan ternyata Pendekar Suling Naga adalah ayahnya sendiri. Bagaimana aku dapat ber-hadapan dengan mereka, Koko?"

   Dalam rangkulan Cia Sun, seluruh tubuh Eng Eng gemetar seperti orang terserang demam.

   "Jangan risaukan hal itu, Eng-moi. Engkau tidak dapat disalahkan. Ketika itu, engkau mewakili Pao-beng-pai dan engkau tentu menganggap para pendekar itu sebagai musuh. Apalagi engkau hanya melaksanakan tugas, karena ketika itu engkau menganggap bahwa kau adalah puteri ketua Pao-beng-pai. Dan aku mengerti mengapa engkau mendapatkan tugas itu. Mungkin bibi Lauw Cu Si yang kau angap sebagai ibumu itulah yang mempunyai peran penting, sengaja membujuk Siangkoan Kok agar engkau melakukan penghinaan terhadap keluarga besar para pendekar itu."

   Gadis itu menatap wajah Cia Sun.

   "Eh, kenapa begitu?"

   "Aku sudah melakukan penyelidikan dan mengetahui siapa sebetulnya mendiang bibi Lauw Cu Si itu. Ia adalah seorang keturunan pimpinan Beng-kauw yang telah hancur. Karena ia seorang tokoh sesat, tentu saja ia memusuhi keluarga besar dari Pulau Es, Gurun Pasir, dan Lembah Siluman. Itu pula yang menyebabkan ia menculikmu, yaitu untuk membalas dendam kepada Pendekar Suling Naga dan isterinya yang terkenal sebagai pendekar-pendekar yang menentang golongan sesat. Dengan mengadu-kan engkau melawan keluarga pendekar itu, melawan golongan orang tuamu sendiri, agaknya bibi Lauw Cu Si menemukan kepuasan tersendiri."

   "Akan tetapi, Koko. Kalau orang tuaku itu Pendekar Suling Naga dan isterinya yang merupakan sepasang suami isteri pendekar yang sakti, kenapa aku sampai dapat terculik? Dan kenapa pula mereka tidak mencari si penculik dan merampasku kembali?"

   "Pertanyaan seperti itu juga kuajukan kepada Yo-toako ketika kami membicarakan anak hilang itu. Menurut ketera-ngan Yo-toako, Pendekar Suling Naga dan isterinya sudah sejak kehilangan puteri mereka itu berusaha sampai bertahun-tahun untuk menemukan anak mereka kembali. Namun semua usaha itu sia-sia belaka. Agaknya, si penculik, yaitu bibi Lauw Cu Si, dengan cerdik sekali telah menghilang, yaitu menjadi isteri Siangkoan Kok dan tak seorang pun mengira bahwa engkau adalah anak yang diculik. Semua orang, bahkan Siangkoan Kok sendiri, menganggap engkau adalah puteri bibi Lauw Cu Si."

   Eng Eng mengangguk-angguk, semua rasa penasaran hilang, akan tetapi tetap saja ia mengerutkan alisnya. Kalau saja ia mendengar bahwa ayah ibunya adalah orang-orang biasa, bahkan petani miskin sekalipun, ia tentu akan berbahagia sekali dan merasa rindu untuk segera dapat bertemu dengan orang tuanya yang aseli. Akan tetapi, Pendekar Suling Naga! Semua pengalamannya ketika ia menantang tiga keluarga besar itu terkenang dan makin dikenang, semakin merah wajahnya karena ia merasa malu bukan main.

   "Koko, aku.... aku takut untuk bertemu dengan mereka, aku takut dan malu...."

   Cia Sun merangkul pundaknya, dan mengajaknya menghampiri kuda mereka. Matahari telah naik tinggi dan di jalan raya sana lalu lintas sudah mulai ramai.

   "Eng-moi, buang saja semua perasaan itu. Percayalah, orang tuamu tidak pernah berhenti memikirkanmu, bahkan sekarang pun masih minta bantuan Yo-toako untuk mencarimu. Mereka akan berbahagia sekali kalau dapat menemukan anak mereka kembali, dan tentang kemunculanmu tempo hari, mereka tentu akan dapat mengerti. Jangan khawatir, akulah yang akan menemanimu ke sana menghadap mereka, dan aku yang tanggung bahwa mereka tentu akan menerima dengan bahagia dan tidak akan ada yang menyesalkan tindakanmu dahulu."

   "Aih, aku merasa ngeri bertemu mereka, Koko. Bagaimana kalau aku tidak usah memperlihatkan diri saja kepada mereka? Biarlah ini menjadi rahasia kita berdua saja. Aku.... aku tidak mau membuat suami isteri pendekar itu mendapat malu besar dan nama baik mereka tercemar karena mempunyai anak seperti aku...."

   "Hushh, jangan berkata begitu, Moi-moi. Coba jawab apakah engkau mencinta aku seperti aku mencintamu?"

   "Apakah hal itu masih perlu ditanyakan lagi, Koko? Aku mencintamu, bahkan kekejamanku terhadapmu tadi pun karena terdorong cintaku padamu, karena panasnya hatiku mendengar engkau mencinta Sim Hui Eng yang kukira gadis lain. Aku cinta padamu, Koko."

   "Bagus, dan karena kita saling mencinta, apakah engkau mau menjadi isteriku?"

   Gadis itu mengangguk. Sebagai puteri ketua Pao-beng-pai yang sejak kecil hidup dalam suasana kekerasan, ia tidak canggung atau malu mengaku tentang perasaan cintanya,

   "Tentu saja aku mau,koko!"

   "Nah, kalau begitu, karena aku seorang pangeran yang tidak mungkin meninggalkan tata-susila dan adat-istiadat, aku akan melamarmu dengan terhormat dan baik-baik. Dan untuk itu, engkau harus mempunyai wali, mempunyai orang tua. Sekarang, mari kita pergi ke Lok-yang, ke rumah orang tuamu. Setelah engkau diterima dengan baik, aku akan kembali ke kota raja dan aku akan mengirim utusan untuk meminangmu secara terhormat."

   Gadis itu mengerutkan alisnya, akan tetapi begitu sinar matanya bertemu dengan pandang mata pangeran itu, ia pun mengangguk dan menurut saja ketika digandeng ke arah dua ekor kuda mereka yang sedang makan rumput. Tak lama kemudian, sepasang orang muda yang berbahagia ini pun sudah melarikan kuda, menuju ke Lok-yang. Karena Cia Sun merupakan seorang keluarga kaisar, bahkan cucu kaisar, seorang pangeran yang pandai bergaul dan terkenal di kalangan para pejabat daerah, maka di sepanjang perjalanan dengan mudah saja dia mendapatkan pelayanan yang penuh penghormatan, mendapatkan tempat bermalam di rumah para kepala daerah, dijamu pesta dan mendapatkan penukaran kuda-kuda baru sehingga perjalanan ini cukup menyenangkan bagi Eng Eng.

   Yo Han mendaki lereng bukit itu. Bukit Naga. Thian-li-pang berada di lereng paling atas, dekat puncak. Sudah hampir setengah tahun dia merantau, mencari Sim Hui Eng, puteri Pendekar Suling Naga. Namun, usahanya sia-sia. Tak pernah dia berhasil mendengar keterangan tentang penculikan terhadap putri pendekar sakti itu. Dia sudah memasuki dunia kang-ouw, bahkan banyak menundukkan tokoh-tokoh sesat, hanya untuk dimintai keterangan kalau-kalau ada yang mengetahui, siapa yang pernah menculik puteri Pendekar Suling Naga dua puluh tahun yang lalu. Akan tetapi semua usahanya, dari bujuk halus sampai kekerasan, tidak ada hasilnya. Agaknya tidak ada seorang pun tahu siapa yang menculik puteri pendekar itu. Penculiknya agaknya lihai dan cerdik bukan main sehingga setelah menculik anak itu, dia seperti menghilang ke dalam bumi membawa anak culikannya! Akhirnya Yo Han mengambil kesimpulan bahwa tanpa banyak tenaga pembantu,

   Akan sukarlah menemukan anak yang hilang itu. Dia teringat kepada Thian-li-pang. Dia telah dianggap sebagai pemimpin besar Thian-li-pang dan anak buah Thian-li-pang adalah orang-orang berpengalaman dan memiliki hubungan luas dalam dunia kang-ouw. Mungkin para tokoh kang-ouw yang ditanyainya, merasa enggan untuk membuka rahasia rekan mereka sendiri yang melakukan penculikan, karena dia dianggap sebagai Pendekar Tangan Sakti, seorang pendekar yang menentang kejahatan. Kalau anak buah Thian-li-pang yang melakukan penyelidikan, mungkin akan lebih mudah. Orang-orang kang-ouw tentu akan bersikap lebih terbuka di antara golongan sendiri. Benar sekali, kenapa sejak dahulu dia tidak minta bantuan para anggauta Thian-li-pang, pikirnya menyesali diri sendiri.

   Paman Lauw Kang Hui tentu akan senang membantuku dan lebih besar harapannya untuk dapat menemukan orang yang pernah menculik puteri Pendekar Suling Naga! Demikianlah, pada pagi hari itu, Yo Han mendaki lereng Bukit Naga. Dia sama sekali tidak tahu bahwa Thian-li-pang telah terjadi perubahan yang amat besar. Tidak tahu bahwa Lauw Kang Hui dan beberapa orang tokoh Thian-li-pang telah tewas, terbunuh oleh Ouw Seng Bu, yang kini menjadi ketua Thian-li-pang! Memang Thian-li-pang telah berubah sama sekali semenjak dipegang pimpinannya oleh Ouw Seng Bu. Pemuda yang telah menemukan ilmu silat yang amat hebat ini membiarkan para anggauta Thian-li-pang berbuat apa saja dengan bebasnya. Bahkan dia menjalin hubungan lagi dengan Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-pai, seperti yang pernah dilakukan Thian-li-pang dahulu sebelum muncul Yo Han yang membersihkan perkumpulan pejuang itu,

   Dan Ouw Seng Bu bahkan mempunyai cita-cita untuk mempersatukan semua kelompok pejuang dengan dia yang menjadi pemimpin besar. Kalau semua kekuatan kelompok pejuang sudah dipersatukan, baik itu dari golongan pendekar maupun golongan sesat, dan dia yang menjadi pemimpin besar, tentu perjuangan mengusir penjajah Mancu akan berhasil. Dan kalau sudah berhasil, dia yang menjadi pemimpin besar, tentu berhak untuk menjadi kaisar kerajaan baru! Besar sekali jangkauan cita-cita pemuda ini. Setelah secara kebetulan bertemu dengan Cu Kim Giok di dekat Ban-kwi-kok, menolong gadis itu dari ancaman Siangkoan Kok, dan berhasil pula menundukkan bekas ketua Pao-beng-pai yang berjanji untuk membantunya, Ouw Seng Bu mengajak, Kim Giok berkunjung ke Bukti Naga.

   Cu Kim Giok sudah mendengar tentang perkumpulan Thian-lipang yang di dunia kang-ouw (sungai telaga, atau persilatan) dikenal sebagai sebuah perkumpulan para patriot yang berjuang untuk menggulingkan pemerintah penjajah. Itulah sebabnya, ia merasa kagum dan tertarik sekali kepada Ouw Seng Bu, pemuda tampan dan gagah yang mengaku sebagai ketua Thian-li-pang. Dan di sepanjang perjalana menuju ke Bukit Naga, Kim Giok melihat betapa sikap Seng Bu memang amat baik. Pemuda itu pendiam, juga sopan, juga ramah terhadap dirinya. Cu Kim Giok adalah puteri tunggal suami isteri pendekar. Ayahnya, Cu Kun Tek, merupakan pendekar keturunan langsung dari keluarga Cu, majikan Lembah Naga Siluman. Ibunya tidak kalah lihai dibandingkan ayahnya, karena ibunya adalah murid mendiang Bu Beng Lokai.

   Tentu saja sebagai anak tunggal, Kim Giok telah mewarisi ilmu-ilmu, dari ayah ibunya, dan biarpun usiarya baru delapan belas tahun lebih, Kim Giok telah menjadi seorang pendekar wanita yang amat lihai. Akan tetapi, tentu saja ia kurang pengalaman karena kali ini merupakan yang pertama ia merantau seorang diri untuk meluaskan pengalamannya. Biarpun demikian, ia sudah membawa banyak bekal nasihat dan pesan kedua orang tuanya. Andaikata Seng Bu bersikap ceriwis terhadap dirinya, terdapat kegenitan dalam pandang mata atau kata-katanya saja, tentu ia akan menjauhkan diri. Akan tetapi, sikap Seng Bu sungguh baik. Dia nampak seperti seorang pemuda pendiam yang sopan dan berwatak pendekar sejati! Inilah sebabnya mengapa Kim Giok mekasa tertarik sekali, kagum dan merasa suka.

   Rasa kagumnya semakin bertambah ketika Kim Giok dan Seng Bu tiba di Bukit Naga, di pusat perkampungan Thian-li-pang. Para anggauta Thian-li-pang rata-rata kelihatan gagah perkasa dengan pakaian yang rapi dan bersih, baik prianya maupun wanitanya, dan mereka semua itu menyambut kedatangan Seng Bu dengan sikap yang amat menghormat! Masih begitu muda, akan tetapi telah menjadi ketua sebuah perkumpulan pejuang Yang terkenal gagah perkasa. Dan melihat perkampungan Thian-li-pang itu, Kim Giok menaksir bahwa anggauta perkumpulan itu tidak kurang dari seratus orang banyaknya. Akan tetapi, hati gadis itu merasa penasaran ketika pada keesokan harinya ia melihat lima orang tamu yang datang menghadap ketua Thian-li-pang. Dua orang di antara tamu-tamu itu adalah dua orang tosu (pendeta) berambut panjang yang pada baju di dadanya terdapat lukisan teratal putih.

   Orang-orang Pek-lian-kauw (Agama Teratai Putih)! Dan tiga orang pendeta lainnya mengenakan gambar pat-kwa (segi delapan) pada dada-nya. Ia pernah mendengar akan nama perkumpulan pemberontak yang namanya tidak bersih di dunia kang-ouw karena para anggauta-nya tidak pantang melakukan segala macam kejahatan! Setelah lima orang tamu itu meninggalkan perkampungan Thian-li-pang barulah Kim Giok memberanikan diri me-nemui ketua Thian-li-pang untuk melampiaskan rasa penasaran di dalam hatinya. Ia melihat pemuda itu sedang duduk di ruangan rapat yang luas, sedang memberi perintah kepada belasan orang pembantunya. Melihat ini, Kim Giok yang sudah tiba di ambang pintu, mundur kembali. Akan tetapi Seng Bu telah melihatnya dan ketua ini berseru dengan camah.

   "Nona Cu, masuk sajalah. Di antara kita orang sendiri tidak ada rahasia. Masuk dan silakan duduk."

   Setelah gadis itu memasuki ruangan dan mengambil tempat duduk di sudut, agak jauh dari mereka yang sedang melakukan perundingan, Seng Bu melanjutkan,

   "Harap tunggu sebentar, Nona, pembicaraan kami sudah hampir selesai."

   Kim Giok mengangguk dan pura-pura tidak melihat ke arah mereka, akan tetapi Seng Bu tidak melirihkan suaranya ketika melanjutkan pengarahannya kepada para pembantunya.

   "Kalian sudah tahu akan tugas-tugas kalian? Terserah kalian membagi tugas, kalian harus ingat apa yang terpenting dalam tugas kalian. Yang pertama menghubungi semua kelompok pejuang, membujuk mereka agar suka bekerja sama dengan mengemukakan alasan seperti yang kujelaskan tadi. Kalau ada yang tidak bersedia bekerja sama, selidiki keadaan mereka, siapa para pemimpinnya dan sampai di mana tingkat kepandaian mereka agar aku dapat mengambil tindakan. Dan ke dua, selidiki kelemahan-kelemahan yang ada pada keluarga kaisar, terutama orang-orang yang dekat hubungannya dengan kaisar. Sudah mengerti semua?"

   Belasan orang itu menyatakan mengerti dan Seng Bu lalu mempersilakan mereka keluar. Sikap pemuda itu demikian tegas dan berwibawa sehingga Kim Giok yang ikut mendengarkan merasa kagum sekali. Setelah belasan orang pembantunya keluar, Seng Bu menghampiri Kim Giok dan duduk berhadapan dengan gadis itu. Sikapnya seperti biasa amat sopan dan ramah, menghormati gadis yang dianggap sebagai seorang tamu agung di Thian-li-pang.

   "Nona Cu, selamat pagi. Maafkan, bahwa aku meninggalkanmu seorang diri karena kesibukanku menerima tamu malam tadi dan memberi tugas kepada para pembantuku. Apakah semalam Nona enak tidur, dan apakah pelayanan kepada Nona tidak ada yang mengecewakan?"

   "Terima kasih, Pangcu (Ketua). Pelayanan cukup memuaskan dan aku merasa terlalu disanjung di sini. Pangcu, aku sengaja datang mencarimu karena aku melihat sesuatu yang membuat hatiku merasa penasaran sekali dan aku mengharapkan jawabanmu yang sejujurnya."

   Seng Bu menatap wajah gadis itu. Sejak pertama kali berjumpa, dia telah terpesona.

   Dia bukanlah seorang pria yang mudah terpikat kecantikan wanita. Akan tetapi, belum pernah dia bertemu dengan seorang gadis muda seperti Kim Giok. Gadis ini manis sekali dan terutama yang membuat dia terpesona adalah sepasang matanya. Mata itu demikian indahnya. Selain ini, ilmu silat gadis itu pun cukup tinggi, dan sikapnya demikian pendiam dan gagah. Semua ini ditambah lagi kenyataan bahwa gadis ini adalah puteri pendekar dari Lembah Naga Siluman! Kiranya sukar dicari keduanya gadis seperti ini. Selama ini, Seng Bu sibuk menggembleng diri dengan ilmu yang ditemukan di dalam sumur maut, maka dia pun tidak sempat memikirkan hal lain. Apalagi, dia memang bukan tergolong pemuda yang suka bergaul dengan gadis-gadis cantik. Dan baru sekarang dia merasa kagum dan tertarik kepada se-orang gadis.

   "Nona Cu, aku tidak menyembunyikan sesuatu darimu. Kalau ada hal yang membuat engkau merasa penasaran, tanyakanlah dan aku akan menjawab sejujurnya."

   Kim Giok juga menatap tajam sehingga dua pasang mata bertaut, seperti saling menyelidik, kemudian Kim Giok berkata,

   "Pangcu, bukan aku sebagai tamu ingin mencampuri urusan tuan rumah. Akan tetapi, aku suka menjadi tamu Thian-li-pang karena aku merasa yakin bahwa perkumpulanmu ini adalah perkumpulan orang-orang gagah yang merupakan pejuang-pejuang sejati seperti yang pernah kudengar dibicarakan orang di dunia kang-ouw. Aku percaya itu, apalagi setelah aku mengenalmu. Akan tetapi apa yang kulihat hari ini membuat aku merasa penasaran bukan main. Aku melihat para pendeta Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-pai menjadi tamu Thian-li-pang! Bagaimana ini? Aku sudah mendengar bahwa kedua perkumpulan itu adalah perkumpulan jahat yang banyak ditentang oleh para pendekar!"

   Seng Bu tersenyum, dengan berani menentang pandang mata gadis itu tanpa merasa canggung.

   "Ah, kiranya itu yang membuatmu penasaran, Nona. Hal ini membutuhkan penjelasan yang panjang lebar, Nona. Akan tetapi, apakah Nona tertarik oleh urusan perjuangan? Lika-liku perjuangan amat rumit, Nona. Dipandang sepintas lalu dari segi kependekaranmu, memang rasanya janggal kalau melihat kami berhubungan dengan orang-orang dari golongan yang ditentang para pendekar. Akan tetapi, dalam perjuangan, kepentingan pribadi dan golongan terpaksa harus dikesampingkan. Yang ter-penting adalah urusan perjuangan, urusan usaha untuk membebaskan bangsa dan negara dari cengkeraman penjajah Mancu."

   "Maksudmu bagaimana, Pangcu?"

   "Tentu engkau telah mengetahui hampir satu setengah abad negara kita dijajah bangsa Mancu, dan selama satu setengah abad itu semua usaha perjuangan rakyat untuk merebut kembali tanah air selalu gagal. Mengapa begitu? Karena tidak ada persatuan di antara para kelompok yang berjuang! Bahkan banyak kelompok perjuangan yang saling gempur sendiri, bersaing dan memperebutkan kebenaran demi kepentingan pribadi atau golongan. Itulah sebab utama kegagalan perjuangan selama ini, dan kami dari Thian-li-pang melihat kekeliruan itu, maka kini kami berusaha untuk mengubahnya."

   "Caranya?"

   "Mempersatukan semua golongan, tanpa membedakan mana golongan putih mana golongan hitam, mana golongan pendekar atau mana yang dinamakan kaum sesat. Pendeknya, siapa saja, dari golongan manapun, apa pun pekerjaannya, bagaimana bentuk sepak terjangnya, asalkan dia itu menentang pemerintah penjajah Mancu, dia adalah sekutu kita! Dengan cara ini, maka di seluruh negeri akan terdapat persatuan yang kokoh dan kalau sudah tercapai persatuan itu, maka menggulingkan pemerintah penjajah bukan merupakan masalah yang sukar lagi."

   
Si Tangan Sakti Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Jadi pendirian itukah yang membuat Pangcu tidak memandang bulu dalam memilih sahabat, dan suka menerima Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-pai sebagai sahabat pula?"

   "Benar, Nona. Kalau misalnya Thian-li-pang, Pek-lian-kauw, dan Pat-kwa-pai, yang ketiganya merupakan perkumpulan pejuang, bersatu padu dan bersama-sama menentang penjajah, bukankah itu akan jauh lebih kuat daripada kalau kami berjuang sendiri-sendiri secara terpisah? Apalagi kalau seluruh kekuatan yang ada, baik dari golongan hitam maupun putih, dapat bersatu padu!"

   "Tidak dapat disangkal kebenaran pendapat itu, Pangcu. Akan, tetapi kita kaum pendekar bagaimana mungkin bekerja sama dengan kaum sesat? Justeru tugas utama kita adalah untuk menentang segala perbuatan jahat dari kaum sesat, membela yang lemah tertindas dan menentang yang kuat tapi jahat!"

   Ketua yang masih muda itu tersenyum ramah. Dia bicara penuh semangat, akan tetapi tidak terbawa perasaan, masih tetap tenang dan tersenyum sehingga membuat gadis itu pun tidak terbawa dan terseret dalam perbantahan yang memperebutkan kebenaran sendiri.

   "Sudah kukatakan tadi bahwa dalam perjuangan, kepentingan pribadi dan kepentingan golongan harus disingkirkan lebih dahulu. Tanpa sikap seperti itu, bagaimana mungkin ada persatuan dan tanpa persatuan bagaimana mungkin ada kekuatan? Buktinya, semua usaha perjuangan yang lalu selama ini, baik dari golongan putih maupun dari golongan hitam, gagal semua. Karena terpecah-pecah! Kalau kita menuruti kepentingan pribadi dan golongan, misalnya kalau kita tidak mau bersatu dengan golongan sesat dan memusuhi mereka, maka kita akan terpecah belah dan akibatnya melemahkan diri sendiri. Dengan demikian, yang untung adalah pemerintah penjajah! Mengertikah engkau, Nona?"

   Cu Kim Giok bukan seorang gadis yang bodoh. Ia termenung dan menelan ucapan ketua itu dalam hatinya, dan mulailah ia mengerti akan apa yang dimaksudkan Seng Bu.

   "Aku mengerti, Pangcu. Akan tetapi karena sejak kecil orang tuaku menanamkan jiwa kependekaran dalam hatiku, rasanya amat berat bagiku menerima kenyataan dari kebenaran pendapatmu tadi. Kalau kita para pendekar tidak menentang golongan sesat, bukankah kehidupan rakyat akan menjadi semekin parah dan sengsara, tertindas kejahatan tanpa ada yang membela dan melindungi?"

   "Tentu saja kita tidak kalau terjadi kejahatan di depan mata kita, Nona. Kita wajib melindungi menjadi korban kejahatan. Akan tetapi, urusan itu merupakan urusan yarg tidak diutamakan kepentingannya, lebih penting urusan perjuangan sehingga kalau pun kita menentang kejahatan, harus dicegah agar jangan sampai menimbulkan keretakan persatuan antara golongan. Ketahuilah, Nona, bahwa peristiwa kejahatan hanya merupakan akibat dari tidak sehatnya pemerintah. Seperti sebuah penyakit, kejahatan, ketidakamanan, ketidakmakmuran dan bahkan kesengsaraan rakyat hanya merupakan bintik-bintik kecil akibat penyakit itu. Memberantas dan mengobati bintik-bintiknya saja tidak akan banyak manfaatnya karena bintik-bintik itu akan muncul lagi setelah diobati selama penyakitnya masih ada. Kita harus lebih mementingkan pengobatan penyakitnya, sumber penyakit itu sendiri. Dalam hal ini, sumber penyakitnya terletak pada pemerintahan. Bangsa dan tanah air kita dicengkeram penjajah Mancu, tentu saja pemerintahnya tidak sehat dan memeras rakyat jelata. Kalau penjajahan itu dapat kita bongkar dan kita ganti dengan pemerintah bangsa sendiri, maka penyakit itu sembuh pada sumbernya dan tidak akan timbul bintik-bintik berbahaya. Segala bentuk kejahatan akan dapat kita tumpas. Penindasan yang dilakukan para penjahat itu tidak ada artinya kalau dibandingkan dengan penindasan dan penghisapan yang dilakukan penjajah terhadap kita."

   Kim Giok tersenyum dan mengangguk-angguk. Ia kagum sekali dan kini ia dapat mengerti sepenuhnya,

   "Sekarang aku mengerti, Pangcu, dan aku tidak penasaran lagi melihat Thian-li-pang bersahabat dengan golongan sesat, kalau maksudnya untuk mempersatukan tenaga melawan penjajah."

   Sejak percakapan itu, Kim Giok semakin kagum dan tartarik kepada ketua Thian-li-pang itu, dan sebaliknya Seng Bu juga telah jatuh hati kepada puteri Lembah Naga Siluman. Ketika Seng Bu minta agar gadis itu tinggal di Thian-li-pang sebagai tamu kehormatan selama beberapa hari, Kim Giok tidak menolak. Demikianlah, ketika pada pagi hari itu Yo Han mendaki Bukit Naga, Cu Kim Giok telah tinggal selama lima hari di perkampungan Thian-li-pang. Hubungannya dengan Seng Bu semakin akrab namun ketua itu masih tetap bersikap sopan dan tidak pernah menyatakan perasaan hatinya.

   Kim Giok sudah mendengar banyak dari Seng Bu tentang Thian-li-pang, dan ia mendengar pula kisah yang aneh, peristiwa mengerikan yang terjadi beberapa bulan yang lalu, yaitu tentang pembunuhan terhadap ketua Thian-li-pang yang dilakukan oleh seorang yang tadinya dianggap sebagai pemimpin Thian-li-pang, yaitu Sin-ciang Tai-hiap Yo Han. Ia sudah mendengar nama itu, maka menyatakan keheranannya kepada Seng Bu mengapa Yo Han yang dianggap sebagai pemimpin besar malah membunuh ketua Thian-li-pang. Dengan cerdik Seng Bu menceritakan bahwa pembunuhan itu dilakukan Yo Han untuk membalas dendam atas kematian gurunya yang bernama Ciu Lam Hok. Demikian pandainya Seng Bu bercerita sehingga Kim Giok percaya dan gadis ini pun merasa tidak senang kepada pendekar yang di juluki Si Tangan Sakti itu.

   Kita kembali kepada Yo Han yang sedang mendaki Bukit Naga dengan santai. Kembali ke tempat ini, di mana selama bertahun-tahun dia hidup dalam sumur maut bersama gurunya, mendiang kakek Ciu Lam Hok yang buntung kaki tangannya, mendatangkan segala macam kenangan lama padanya. Bahkan kenangan itu berkembang sampai akhirnya dia terkenang kepada Tan Sian Li, satu-satunya wanita yang pernah dicintanya sejak dia masih seorang pemuda remaja. Akan tetapi, percakapannya dengan Cia Sun, setidaknya menimbulkan lagi harapan baru dalam hatinya. Ketika dia meninggalkan Sian Li, di rumah orang tua gadis itu yang menjadi suhu dan subonya pertama kali, harapannya sudah hancur lu-luh. Dia mendengar betapa suhu dan subonya hendak menjodohkan Sian Li dengan seorang pangeran di kota raja! Tentu saja seorang pangeran jauh lebih pantas menjadi suami seorang gadis seperti Si Bangau Merah itu daripada dia!

   Dia yatim piatu miskin dan papa, tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap! Akan tetapi, kebetulan dia bertemu dengan Pangeran Cia Sun, bersahabat bahkan pernah senasib sependeritaan yang mendorong mereka mengangkat saudara. Dan dari adik angkatnya yang pangeran ini dia mendengar bahwa adik angkatnya itulah pangeran yang hendak dijodohkan dengan Sian Li! Akan tetapi, di samping berita mengejutkan itu, terdapat kenyataan yang membuat dia tumbuh lagi sema-ngatnya, timbul pula harapannya, yaitu bahwa Pangeran Cia Sun dan Tan Sian Li tidak saling mencinta. Pangeran itu bahkan mencinta gadis lain, yaitu puteri ketua Pao-beng-pai! Dalam perjalanannya menuju ke Thian-li-pang, dia pun sudah mendengar akan pembasmian Pao-beng-pai yang dilakukan pasukan pemerintah.

   Dia mengira bahwa tentu adik angkatnya, Pangeran Cia Sun, yang melakukan penyerbuan itu, walaupun ada kesangsian di hatinya apakah sang pangeran mau melakukan hal itu mengingat akan cintanya terhadap Siangkoan Eng. Tiba-tiba Yo Han menghentikan langkahnya dan dia mengerutkan alisnya. Dia mendengar suara orang bercakap-cakap sambil tertawa-tawa dan suara itu makin mendekat, tanda bahwa mereka yang bercakap-cakap itu sedang berjalan menuruni lereng. Yo Han menyelinap ke balik pohon besar. Sudah lama dia meninggalkan Thian-li-pang dan dia tidak tahu bagaimana keadaannya. Walaupun dia percaya sepenuhnya kepada Lauw Kang Hui yang diserahi pimpinan perkumpulan itu, namun sebaiknya kalau dia menyelidiki keadaannya karena bagaimanapun juga, kalau sampai terjadi hal-hal yang tidak benar di Thian-li-pang, dialah yang bertanggung jawab.

   Gurunya berpesan agar dia menyelamatkan Thian-li-pang dari penyelewengan, maka biarpun dia tidak memimpin langsung, dia harus selalu mengawasi. Mereka yang tertawa-tawa tadi sekarang telah datang dekat dan dari balik batang pohon, Yo Han mengintai. Alisnya terangkat dan kemudian berkerut tidak senang ketika dia melihat dua orang anggauta Thian-li-pang berjalan sambil bercakap-cakap dan tertawa-tawa dengan dua orang pendeta muda yang dari tanda gambar di dadanya diketahuinya sebagai dua orang anggauta Pat-kwa-pai! Dia merasa heran bukan main. Bagaimana mungkin anggauta Thian-li-pang bergaul demikian akrabnya dengan anggauta Pat-kwa-pai yang terkenal sebagai golongan sesat yang menggunakan kedok perjuangan, atau dapat juga dikatakan pemberontak-pemberontak yang tidak segan menggunakan kejahatan dan kekejaman dalam pemberontakan mereka?

   Yo Han menahan diri, ingin tahu lebih banyak, maka dari jauh dia membayangi empat orang itu. Dia tidak mengenal para anggauta Thian-li-pang. Yang dikenalnya hanyalah Lauw Kang Hui dan pimpinannya, bahkan dia tidak tahu nama para pimpinan mudanya satu demi satu. Akan tetapi melihat sikap mereka, siapa lagi mereka itu kalau bukan anggauta Thian-li-pang? Dan mereka telah berada di wilayah Thian-li-pang, maka kehadiran dua orang anggauta Pat-kwa-pai sungguh mencurigakan sekali. Dengan ilmu kepandaiannya yang tinggi, tidak sukar bagi Yo Han untuk membayangi mereka, kadang malah demikian dekat sehingga dia dapat mendengarkan sebagian dari percakapan mereka. Setelah mendengar percakapan itu dia pun yakin bahwa dua orang itu adalah anggauta Thian-li-pang.

   "Kenapa kalian khawatir?"

   Terdengar seorang di antara dua anggauta Thian-li-pang itu berkata kepada dua orang tosu itu.

   "Kalau hanya kami berdua yang menghilang dari tempat penjagaan, tidak akan kentara. Pula siapa sih yang akan berani mendaki Bukit Naga dan mengganggu wilayah Thian-li-pang? Baru mendengar nama Thian-li-pang saja, nyali mereka sudah terbang melayang!"

   Mereka tertawa-tawa.

   "Pula, berapa lamanya untuk sekedar bersenang-senang dengan kalian di dusun bawah sana? Andaikata para pimpinan mengetahui kalau kami pergi bersama kalian, tentu tidak akan dimarahi. Bu-kankah Thian-li-pang bersahabat baik dengan Pat-kwa-pai?"

   Kembali mereka tertawa-tawa dan tidak tahu betapa Yo Han mengepal tinju mendengarkan percakapan itu. Akhirnya, empat orang itu tiba di dusun yang berada di kaki Bukit Naga. Di dusun itu terdapat sebuah kedai arak dan ke sanalah mereka masuk. Yo Han yang memakai caping lebar, duduk pula dengan memilih tempat jauh di sudut dan capingnya tidak dilepas sehingga mukanya tertutup. Ketika pelayan datang menghampiri, dia memesan arak dan semangkuk bubur. Terdengar ribut-ribut di meja empat orang itu. Agaknya pemilik kedai arak menghampiri mereka dan menuntut agar mereka lebih dahulu mengeluarkan uang untuk membeli makanan dan minuman yang mereka pesan.

   "Sudah terlalu sering teman-teman kalian makan minum di sini tanpa membayar! Aku tidak mau dirugikan, harap kalian suka membayar lebih dulu."

   Kata pemilik kedai itu, seorang laki-laki berusia lima puluhan tahun yang kurus agak bongkok. Seorang anggauta Thian-li-pang yang tinggi bermuka kuning, bangkit dan bertolak pinggang.

   "Apa katamu? Tidak tahukah engkau dengan siapa engkau berhadapan? Kami berdua adalah anggauta Thian-ii-pang dan dua orang sahabat kami ini adalah anggauta Pat-kwa-pai. Kami adalah pejuang! Kami adalah pahlawan bangsa, pembela rakyat dan tanah air! Masa hanya mengeluarkan sedikit makanan dan minuman saja bagi kami engkau tidak rela? Kami berjuang dengan taruhan nyawa dan engkau tidak mau menjamu makan minum kepada kami?"

   Seorang di antara dua orang tosu Pat-kwa-pai menggebrak meja dan dengan sikap bengis berkata,

   "Hayo cepat keluarkan hidangan untuk kami atau engkau ingin kedaimu ini kami hancurkan?"

   "Kalian sungguh kejam!"

   Pemilik kedai itu membantah dan mempertahankan miliknya.

   "Kalau hanya dua tiga orang saja yang datang minta makan minum, kami rela, akan tetapi kalau setiap hari datang dan jumlah kalian sampai puluhan orang selalu minta makan dan minum dengan gratis, kami dapat bang-krut! Kami pun mempunyai keluarga yang harus hidup dari hasil usaha kami yang kecil ini."

   "Jahanam, masih banyak cakap? Engkau memang perlu dihajar!"

   Bentak seorang anggauta Thian-li-pang bermuka kuning tadi dan sekali kaki kanannya terayun menendang, pemilik kedai itu terpelanting keras.

   "Penuhi permintaan kami tanpa banyak cakap lagi atau engkau akan kuhajar sampai mampus!"

   Bentaknya.

   "Ayah....!"

   Dari dalam berlari keluar seorang gadis berusia tujuh belas tahun dan ia segera menubruk ayahnya yang sudah bangkit duduk sambil menyeringai kesakitan. Melihat gadis itu, yang cukup manis, seorang di antara dua orang anggauta Pat-kwa-pai tersenyum menyeringai dan segera menangkap lengan gadis itu dan menariknya lalu memaksanya duduk di sebuah bangku dekat meja mereka.

   "Haha-ha, tukang warung. Cepat keluarkan hidangan itu atau kami akan membawa pergi gadismu. Nona, kau temani kami makan minum di sini dan cepat suruh pelayan mengeluarkan hidangan dan arak terbaik."

   Katanya. Gadis itu tidak berani meronta, bahkan membujuk ayahnya yang sudah bangkit berdiri.

   "Ayah, turuti saja permintaan mereka."

   Empat orang itu tertawa bergelak melihat pemilik kedai dengan terhuyung memasuki dapur untuk menyediakan hidangan bagi empat orang itu.

   "Manis, engkau lebih bijaksana daripada ayahmu. Untung engkau muncul, kalau tidak tentu ayahmu telah menjadi mayat."

   Kata si muka kuning sambil mencolek dagu gadis itu. Gadis itu membuang muka dan berkata,

   "Kami telah memenuhi permintaan kalian, menyuguhkan hidangan, harap jangan ganggu aku lagi."

   Gadis itu bangkit berdiri.

   "Duduk saja, engkau tidak boleh pergi."

   Kata seorang tosu Pat-kwa-pai.

   "Aku akan membantu ayah mempersiapkan hidangan untuk kalian."

   Bantah gadis itu.

   "Dan menaruh racun dalam hidangannya, ya? Ha-ha-ha, kami tidak sebodoh itu, Manis. Kami berempat makan minum dan engkau harus menemani kami, ikut pula makan minum sehingga kalau hidangan itu beracun, engkau yang akan lebih dulu keracunan!"

   Si muka kuning menekan pundak gadis itu sehingga ia terduduk kembali. Tiba-tiba terdengar suara lembut namun nadanya mengejek.

   "Ini rumah makan macam apa, membiarkan empat ekor buaya darat mengotorinya! Sungguh mendatangkan bau busuk sekali, empat orang maling kecil mengaku pejuang seperti empat ekor tikus mengaku harimau!"

   Jelas sekali makna ucapan itu dan empat orang tadi tentu saja mengerti bahwa merekalah yang dimaki tikus dan maling!

   Hampir mereka tidak percaya ada orang berani memaki mereka seperti itu. Mengatakan mereka maling kecil dan tikus. Tentu saja mereka terbelalak dan muka mereka berubah kemerahan ketika mereka menoleh dan memandang ke arah meja di sudut kanan, di mana duduk seorang laki-laki yang mengenakan sebuah caping lebar sehingga muka dan kepala orang itu tertutup sama sekali. Akan tetapi tidak dapat diragukan lagi. Orang bercaping itulah yang mengeluarkan ucapan menghina tadi karena ucapannya datang dari arah itu dan di sudut itu tidak ada orang lain kecuali dia. Serentak empat orang itu meninggalkan gadis puteri pemilik kedai dan dengan langkah lebar mereka menghampiri meja di mana Yo Han duduk. Yo Han bersikap tenang saja, bahkan kini menuangkan arak ke dalam cawannya yang telah kosong.

   "Heiii, kaukah yang tadi menge-luarkan ucapan menghina kami!"

   Bentak seorang di antara mereka. Yo Han mengangkat cawan araknya dan membawanya ke mulut.

   "Heiii, apakah engkau tuli? Kalau benar engkau yang tadi bicara, coba ulangi ucapanmu kalau engkau berani!"

   Kata si muka kuning yang ingin mendapat kepastian bahwa orang bercaping ini yang tadi bicara. Apalagi melihat orang bercaping itu ternyata masih muda, maka dia agak merasa ragu apakah benar pemuda itu berani mengeluarkan ucapan seperti itu.

   "Kalian berempat memang maling kecil dan tikus-tikus busuk. Pergilah!"

   Kata Yo Han, menahan kemarahannya mengingat bahwa dua di antara mereka adalah termasuk anak buahnya sendiri, anggauta Thian-li-pang!

   "Jahanam!"

   "Keparat!"

   Empat orang itu marah sekali dan menggerakkan tangan memukul dari depan belakang dan kanan kiri. Yo Han menggerakkan tangan yang memegang cawan arak ke sekelilingnya dan empat orang itu berteriak dan terhuyung mundur karena muka mereka disiram arak. Biapun hanya arak, dan tidak banyak pula karena isi cawan itu dibagi empat, namun ketika mengenai muka, terutama mata, membuat mereka sejenak tidak mampu membuka mata dan kulit muka terasa perih.

   Setelah menggosok-gosok mata dan dapat melihat lagi, empat orang itu mencabut golok mereka dan serentak menyerang sambil memaki dengan kamarahan memuncak. Orang-orang yang sedang makan minum di situ menjadi ketakutan dan berhamburan lari keluar, juga pemilik kedai dan puterinya, beserta para pelayan, sudah bersembunyi di balik meja dengan tubuh gemetar ketakutan. Yo Han masih tetap duduk, akan tetapi kedua tangan mengambil sepasang sumpit dan juga dua buah mangkok yang kosong. Begitu empat orang dengan golok mereka menyerbu dekat, kembali kedua tangan Yo Han bergerak. Dua sumpit menembus pundak kanan dua orang tosu sehingga golok mereka terlepas dan mereka mengaduh-aduh, sedangkan dua buah mangkok menghantam muka dua orang anggauta Thian-li-pang dengan keras.

   Dua orang Thian-li-pang itu terjengkang roboh dengan muka berdarah karena mangkok yang menghantam muka mereka tadi pecah-pecah dan melukai mereka. Tidak sampai membunuh mereka, akan tetapi mereka terjengkang roboh dengan muka berlumuran darah dan pingsan! Dua orang tosu terbelalak dan tidak berani melawan lagi, bahkan melarikan diri keluar dari rumah makan itu ketika Yo Han dengan sikap sembarangan saja mencengkeram baju di punggung kedua orang anggauta Thian-li-pang itu dan melempar tubuh mereka yang pingsan ke sudut ruangan itu di mana mereka rebah bertumpuk. Kemudian, dia melanjutkan makan minum seolah-olah tidak pernah terjadi sesuatu. Pemilik rumah makan tadi bersama puterinya segera menghampiri Yo Han dan membungkuk-bungkuk.

   "Terima kasih atas pertolongan Tai-hiap, akan tetapi.... ah, bagaimana dengan nasib kami? Tentu mereka akan datang dan akan menghancurkan rumah kami, bahkan mungkin kami akan mereka bunuh...."

   "Benar apa yang dikatakan Ayah, Tai-hiap,"

   Kata gadis itu sambil menangis.

   "Harap Tai-hiap suka melepaskan dua orang itu, karena sudah pasti kami yang menderita karena pembalasan mereka."

   "Paman dan Nona, jangan khawatir. Aku akan menanti di sini sampai mereka semua datang. Aku yang akan menanggung bahwa kalian tidak akan diganggu lagi oleh mereka. Tenang sajalah. Nanti akan kuganti semua kerugian karena kerusakan yang diakibatkan karena keributan ini. Sekarang, tolong tambahkan arak seguci untukku. Aku akan menanti mereka datang semua."

   

Kisah Si Bangau Putih Eps 20 Kisah Si Bangau Putih Eps 25 Si Bangau Merah Eps 24

Cari Blog Ini