Ceritasilat Novel Online

Pedang Kayu Harum 42


Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo Bagian 42



Dua orang kakek ini terkenal sebagai Hoa-san Siang-sin-kiam. Adapun dari partai Kong-thong-pai hadir empat orang kakek yang telah berjumpa dengan Keng Hong ketika mereka ini mendaki puncak, yaitu Kok Sian-cu, Kok Liong-cu, Kok Kim-cu dan Kok Seng-cu, keempat orang di antara Kong-thong Ngo-lojin. Seperti telah diketahui, orang termuda dari mereka ini. Kok Cin-cu telah tewas dalam pertandingan melawan Biauw Eng. Dari Tiat-ciang-pang hadir ketuanya, Ouw-pangcu bersama tiga orang pembantunya, sedangkan dari Kun-lun-pai hadir pula empat orang sute dari Kiang Tojin yang menjadi ketua Kun-lun-pai. Di samping mereka ini masih terdapat belasan orang tokoh-tokoh kang-ouw yang kesemuanya menentang kaum sesat dan mempunyai jiwa patriot pembela negara dan bangsa.

   Memang harus diakui bahwa dahulu, ketika terjadi perang saudara antara para pengikut Raja Muda Yung Lo dan keponakannya, Banyak kaum kang-ouw menjauhkan diri dan tidak mau mencampuri karena mereka segan untuk berusuhan dengan bangsa sendiri hanya untuk mendukung orang besar yang memperebutkan kedudukan. Akan tetapi sekarang lain lagi. Kaisar Yung Lo telah menjadi satu-satunya kaisar yang memimpin negara, maka kalau ada kaum sesat yang mengancam negara, mereka serentak bangkit untuk menentang kaum sesat. Karena partai-partai besar lainnya hanya mengirim wakil sedangkan yang ketuanya hadir di situ hanya Kiang Tojin ketua Kun-lun-pai sebagai ketua yang besar dan terhormat, apalagi karena mereka semua tahu bahwa di antara yang hadir, Kiang Tojin kakek tua ini memiliki tingkat kepandaian yang paling tinggi, maka dialah yang menjadi pemimpin pertemuan itu.

   Pada pagi hari itu merupakan pertemuan atau perundingan terakhir untuk memilih utusan dan
(Lanjut ke Jilid 39)
Pedang Kayu Harum (Seri ke 01- Serial Pedang Kayu Harum)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 39
membagi-bagi tugas. Selagi mereka itu berkumpul di depan pondok karena pondok itu sendiri terlalu kecil, dan duduk bersila di atas rumput membentuk lingkaran, tiba-tiba Kiang Tojin yang paling tajam pendengarannya mendengar suara yang luar biasa. Ia meloncat bangkit dan mengangkat tangan memberi isyarat agar semua orang diam. Kini jelas terdengar suara rintihan dari bawah puncak. Mendengar ini, Kiang Tojin meloncat dan lari ke arah suara itu, menuruni puncak, diikuti oleh tokoh-tokoh lainnya. Yang merintih itu adalah Hun Bwee. Gadis yang terluka parah ini sambil memegangi batu dan mendekap perutnya, terengah-engah. Empat orang kakek Kong-thong-pai mengenal gadis ini yang mereka temui bersama Biauw Eng, maka cepat mendekat dan berseru,

   "Bukankah Nona yang berjalan bersama Song-bun Siu-li tempo hari?"

   Hun Bwee mengangguk, tubuhnya telah diangkat oleh Kiang Tojin dan diletakkan di atas rumput. Kakek ketua Kun-lun-pai ini maklum bahwa gadis itu tak mungkin dapat ditolong lagi, bahkan dia merasa heran mengapa dalam keadaan seperti itu, gadis itu agaknya masih mampu mendaki puncak.

   "Lekas... tolong mereka... mereka tertawan oleh Ang-kiam Bu-tek dan kawan-kawannya..."

   "Mereka siapa, Nona?"

   Kiang Tojin bertanya dengan sikap tenang setelah menotok beberapa jalan darah untuk mengurangi penderitaan gadis itu.

   "Keng Hong... Biauw Eng... Yap Cong San dan Gui Yan Cu ... cepat tolong mereka... ditawan oleh Cui Im, Pat-jiu Sian-ong, Pak-san Kwi-ong". Dan banyak sekali anak buah dan kawan mereka... cepat..."

   Kaget bukan main mereka semua mendengar keterangan ini, akan tetapi setelah mengeluarkan kata-kata yang sudah sekian lamanya ia tahan-tahan di hatinya, Hun Bwee menjadi lemas. Kiang Tojin terkejut mendengar bahwa Keng Hong ditawan, juga Thian Kek Hwesio dan teman-temannya terkejut mendengar nama Yap Cong San disebut-sebut.

   "Di mana mereka? Di mana ditawannya?"

   Banyak mulut menghujankan pertanyaan ini, akan tetapi Kiang Tojin mengangkat tangannya dan mengurut leher dan dada gadis yang pingsan itu, atau lebih tepat lagi sudah sekarat. Hun Bwee membuka matanya, bibirnya bergerak lemas akan tetapi yang keluar hanya bisikan lirih sekali.

   "...benteng... benteng..."

   Kemudian ia menghembuskan napas terakhir!

   "Ahhh.... kiranya mereka yang menyelundup ke istana telah keluar semua dan berada di sini...!"

   Kata Kiang Tojin kaget. Akan tetapi pada saat itu, ratusan batang anak panah menyambar ke arah sekumpulan orang gagah itu dari empat jurusan.

   "Awas senjata rahasia...!"

   Kiang Tojin berseru dan semua orang gagah itu cepat mengelak, menangkis dan menangkap anak-anak panah yang menyambar.

   Kalau hanya diserang anak panah saja, mereka semua mampu melindungi diri. Ketika anak-anak panah berhenti menyambar, tampak oleh mereka betapa tempat itu telah dikurung oleh banyak sekali orang dan di sebelah depan muncul tokoh-tokoh kaum sesat yang mengejutkan mereka karena mereka itu adalah tokoh-tokoh terkenal yang amat lihai. Ang-kiam Bu-tek Bhe Cui Im tersenyum-senyum menghampiri mereka, didampingi oleh Pak-san Kwi-ong, Pat-jiu Sian-ong, Thian-te Siang-to kedua murid Pat-jiu Sian-ong, empat orang tinggi besar Pak-san Su-liong, Gu Coan Kok si iblis cebol dan Hok Ku si raksasa bongkok! Kiang Tojin yang bermata tajam maklum bahwa keadaan mereka terkurung dan terancam bahaya, namun dengan tenang dia lalu melangkah maju menghadapi Cui Im sambil berkata,

   "Nona Bhe Cui Im, telah lama pinto mendengar akan nama besarmu sebagai Ang-kiam Bu-tek. Apakah maksud kedatanganmu yang datang-datang menyerang kami?"

   Cui Im tertawa dan menunjuk kepada Thian Kek Hwesio.

   "Hi-hi-hik, Kiang Tojin, kau tanyalah kepada Hwesio Siauw-lim-pai itu, apakah dia tidak akan menyerangku kalau aku tidak mendahului menyerang."

   "Iblis betina, pinceng akan mengadu nyawa denganmu!"

   Thian Kek Hwesio yang marah sekali melihat musuh besarnya sudah meloncat maju dan menyerang dengan jubahnya.

   "Plak! Plak!"

   Dua kaki Cui Im menangkis dengan lengannya dan hwesio Siauw-lim-pai itu terhuyung mundur. Kiang Tojin memegang lengan Hwesio itu, menyuruhnya bersabar, kemudian dia menghadapi Cui Im lagi dan bertanya,

   "Engkau belum menjawab pertanyaan pinto."

   "Kiang Tojin engkau bertanya apa maksud kedatanganku? Jawablah dahulu apa maksud kalian berkumpul dan berunding di sini? Bukankah untuk menentang kami? Dari pada kalian susah-susah mencari kami di istana, kami mendahului kalian datang ke sini untuk menentukan siapa yang lebih unggul di antara kami yang kalian yang mengangkat diri menjadi orang-orang gagah. Hi-hi-hik! Lihat baik-baik, kalian telah terkurung. Anak buah kami lebih dari dua ratus orang jumlahnya dan dengan mudah kami akan dapat membasmi kalian semua!"

   "Hemmm, mengapa belum kau lakukan itu?"

   Kiang tojin bertanya, sikapnya masih tenang, karena tosu tua ini dapat menduga bahwa kalau kini Cui Im mengajak mereka bicara, tentu tersembunyi maksud-maksud tertentu dari wanita muda yang amat cerdik ini.

   "Aku tidak tergesa-gesa, Kiang Tojin. Aku akan menerima baik kalau saja kalian semua ini berjanji untuk tidak mencampuri urusan kami, bersumpah tidak akan menentang kami. Nah, bukankah hal ini berarti bahwa aku masih memandang persahabatan antara kaum persilatan. Kami hanya membutuhkan janji dan sumpah kalian untuk ditukar dengan nyawa kalian!"

   Para orang gagah yang hadir di situ menjadi merah mukanya dan terdengar bentakan-bentakan marah menentang permintaan Cui Im itu. Bagi mereka semua, nama lebih berharga daripada nyawa dan tentu saja mereka tidak sudi untuk merendahkan nama mereka dengan tunduk dan bersekutu dengan golongan sesat hanya untuk menolong keselamatan mereka. Pula, biarpun dikurung, mereka tidak menjadi gentar dan bersedia untuk melawan mati-matian. Kiang tojin dapat memaklumi pendirian para sahabatnya maka dapat ragu-ragu dia pun berkata,

   "Nona, kami berkumpul di sini bukan bermaksud untuk mengadakan perang karena kalau demikian halnya, kiranya kami akan dapat dengan mudah mengumpulkan orang seratus kali jumlah orang-orangmu sekarang. Akan tetapi, biarpun demikian, kalau engkau menghendaki hal seperti yang kau kemukakan tadi, tanpa dijawab sekalipun tentu engkau sudah mengenal atau setidaknya mendengar jiwa orang-orang gagah yang tidak mungkin menukar kehormatannya dengan nyawa! Hanya sedikit yang pinto ingin ketahui, mungkinkan tokoh-tokoh seperti engkau yang memakai julukan Ang-kiam Bu-tek, dan tokoh-tokoh itu seperti Pat-jiu Sian-ong dan Pak-san Kwi-ong yang terkenal sebagai datuk-datuk persilatan, tidak malu mempergunakan siasat rendah berupa penggeroyokan jumlah besar terhadap jumlah yang jauh lebih kecil?"

   Kiang Tojin memang seorang yang cerdik dan juga seorang yang berpengalaman, maka sengaja dia mengeluarkan ucapan yang memanaskan hati ini, ucapan yang merupakan pantangan bagi jagoan yang mana pun juga, yaitu kalau dipandang tidak mempergunakan kegagahan melainkan menggunakan kecurangan.

   "Kiang Tojin engkau manusia sombong!"

   Pak-san Kwi-ong menggereng marah.

   "Biarpun engkau telah menjadi ketua Kun-lun-pai, siapa sih yang takut menghadapimu? Biarpun terhadap Thian Seng Cinjin gurumu, dahulu aku tidak pernah merasa takut, apalagi terhadap engkau!"

   Sambil berkata demikian, kakek ini menggerakkan senjatanya sepasang tengkorak di ujung rantai sehingga dua buah tengkorak itu seperti hidup bergerak-gerak dan dari tenggorokan kakek tinggi besar kulit hitam itu keluar gerengan yang mendatangkan getaran sedemikian hebatnya sehingga sebagian besar anggauta rombongan orang gagah cepat-cepat menahan napas dan mengerahkan sinkang untuk bertahan. Namun masih ada beberapa orang di antara mereka yang tidak kuat sehingga cepat mereka duduk bersila memejamkan mata untuk mengelak dari getaran itu dengan mengerahkan hawa murni sebanyaknya. Memang hebat sekali gerengan penuh tenaga dahsyat yang timbul dari khikangnya yang amat kuat!

   "Bagus sekali! Demikianlah suara seorang laki-laki sejati yang tidak sudi berlaku curang dan mencari kemenangan dengan jalan mengandalkan pengeroyokan jumlah banyak,"

   Kata Kiang Tojin, suaranya nyaring melengking melawan getaran dari gerengan Pak-san Kwi-ong itu.

   "Ang-kiam Bu-tek, pinto melihat bahwa agaknya engkaulah yang mewakili rombongan kami, maka sekarang bagaimana kau akan mengatur setelah mendengar bahwa kami menolak usulmu yang menghina itu? Dengar jawaban kami. Selama kami masih hidup, dan selama golongan sesat masih melanjutkan perbuatan-perbuatannya yang jahat dan kotor untuk menimbulkan kekacauan, selama itu pula kami akan menentangnya! Ada jahat tentu ada baik, ada hitam tentu ada putih, ada gelap pasti ada terang. Kalau ada golongan yang menghambur nafsu jahat melakukan penindasan dan mengakibatkan kekacauan, pasti ada pula golongan yang menentangnya. Kalau kalian yang mewakili golongan hitam tidak melakukan perbuatan jahat, tentu saja kami pun tidak mempunyai alasan untuk mencari permusuhan. Akan tetapi, selama kalian masih merajalela dengan perbuatan jahat, kami akan selalu menentang!"

   Cui Im diam-diam merasa marah sekali. Dia pun seorang wanita yang biar pun masih muda namun memiliki kecerdikan luar biasa, maka ia pun tahu akan siasat Kiang Tojin tadi yang ternyata sudah berhasil dengan panasnya hati Pak-san Kwi-ong sehingga mengucapkan kata-kata menantang tadi. Namun karena dia mengandalkan kepandaian sendiri dan mengandalkan bantuan kedua datuk hitam itu, tentu saja ia tidak khawatir dan bibirnya yang manis tetap tersenyum.

   "Kiang Tojin, engkau mengatakan bahwa kalian tidak ingin berkelahi, demikian pula kami kalau tidak perlu sekali, tidak ingin bentrok dengan kalian. Akan tetapi oleh karena di antara kita tidak terdapat kecocokan, maka marilah kita mengadakan pertandingan antara jago-jago kita untuk menentukan siapa yang lebih unggul. Tentu saja fihak yang kalah dinyatakan harus tunduk akan perintah fihak yang menang, ini merupakan hukum kalangan kang-ouw. Bagaimana?"

   Kiang Tojin terpaksa mengangguk, dan diam-diam berpikir bahwa kalau fihaknya kalah sekali pun, para orang gagah tentu akan memilih mati daripada harus tunduk dan melakukan hal-hal yang menyeleweng daripada kegagahan dan kebenaran.

   "Baiklah, memang sebaiknya begitu. Kami siap!"

   Diam-diam Kiang Tojin memilih-milih, siapa kiranya yang akan patut dia jadikan jago dalam pertandingan ini. Kalau saja di situ terdapat orang-orang muda yang lihai seperti Keng Hong, atau seperti Yap Cong San murid ketua Siauw-lim-pai yang dia dengar dari Thian Kek Hwesio merupakan tokoh yang paling kuat di antara murid-murid ketua itu. Akan tetapi menurut penuturan gadis yang tewas tadi, kedua orang muda itu telah ditawan! Cui Im sejak tadi melihat mayat Hun Bwee, dan ia merasa tidak senang, akan tetapi karena ia disitu tidak terdapat Go-bi Thai-houw, Dan pula mengingat bahwa empat orang muda yang lihai masih terkurung dalam sumur, tak mungkin mereka itu dapat keluar, menjadi lega hatinya dan ia tidak mempedulikan.

   "Kiranya tidak perlu mengajukan jago-jago yang tidak memiliki kepandaian Kiang Tojin. Mari kita mengajukan masing-masing tiga orang jago dari fihak kita. Aku mengajukan tiga orang jagoan dan engkau pun mengajukan tiga orang jago. Jumlah kemenangan dalam pertandingan ini menentukan siapa yang menang siapa kalah. Beranikah engkau?"

   Cui Im menggunakan siasat balasan yang sama, ia menanyakan berani atau tidak sehingga terpaksa Kiang Tojin tidak dapat memilih jawaban lain kecuali menerima tantangan itu.

   "Terserah kepadamu, Ang-kiam Bu-tek! Katakanlah siapa jago-jagomu agar pinto dapat pula mengimbangi dengan jago-jago kami."

   Cui Im tersenyum lebar,

   "Hi-hi-hik, jangan kau main akal-akalan menghadapi aku, Kiang Tojin. Aku tahu bahwa fihak yang terakhir mengajukan jagonya dapat menilai dan menentukan tandingan, akan tetapi sekali ini, engkau bolak-balikkan semua jagoanmu akan sia-sia, hi-hi-hik! Tiada halangan bagiku untuk mengajukan nama ketiga jagoku. Pertama adalah aku sendiri, ke dua Pak-san Kwi-ong dan ke tiga Pat-jiu Sian-ong. Nah, siapa jago-jagomu?"

   Kiang Tojin memang sudah menduga lebih dulu dan sejak tadi dia pun diam-diam merasa gelisah dan bingung. Akan tetapi dia menenangkan hatinya dan menjawab,

   "Engkau memang licik, Ang-kiam Bu-tek. Andaikata semua ketua partai berada di sini, pinto rasa engkau tidak sesombong ini! Akan tetapi jangan dikira pinto takut, karena seorang gagah mendasarkan keberanian bukan di atas perhitungan menang kalah, melainkan di atas kebenaran. Baiklah, dari fihak kami yang akan maju adalah kami sendiri, kemudian Thian Kek Hwesio dari Siauw-lim-pai, dan seorang di antara Hoa-san Siang-sin-kiam. Seperti kau tentu tahu, Siauw-lim-pai mempunyai urusan denganmu atas kematian ThianTi Hwesio, dan Hoa-san-pai juga mempunyai urusan denganmu atas kematian murid Hoa-san-pai. Kami siap!"

   Thian Ti Hwesio sudah menggereng dan meloncat maju, demikian pula Coa Kiu, kakek Hoa-san-pai yang lihai. Biarpun mereka berdua ini maklum bahwa mereka tidak akan menang menghadapi seorang di antara ketiga musuhnya yang sakti itu, namun keduanya siap melawan sampai mati!

   "Hi-hi-hik!"

   Cui im terkekeh mengejek.

   "Biarlah semua orang gagah yang hadir di sini menyaksikan pertunjukan yang menarik. Kita maju seorang demi seorang agar dapat dinikmati pertandingan antar puncak! Siapakah di antara kalian yang akan maju lebih dulu?"

   "Pinto yang akan maju dulu."

   Kata Kiang Tojin kemudian menoleh kepada dua orang jagonya.

   "Harap Ji-wi bersabar dan menanti giliran,"

   Kemudian dia berkata Kok Sian-cu, orang tertua dari Kong-thong Ngo-lojin.

   "Jika pinto tewas dalam pertandingan, harap Lo-enghiong sudi mewakili pinto memimpin para saudara."

   Setelah dua orang jagonya mundur dan Kok Sian-cu mengangguk, Kiang Tojin melangkah maju, mencabut pedangnya dan melintang pedang di depan dada, sikapnya tenang.

   "Ang-kiam Bu-tek, pinto telah siap, Majulah!"

   Kiang Tojin yang sudah mendengar betapa wanita itu kini telah memiliki ilmu kepandaian yang dahsyat sehingga membunuh banyak tokoh pandai, di antaranya malah mebunuh bekas gurunya sendiri, yaitu Lam-hai Sin-ni yang lihai, menduga bahwa wanita inilah yang paling kuat maka dia hendak menandinginya sendiri. Akan tetapi, Cui Im adalah seorang yang licik dan juga cerdik. Dia pun maklum bahwa Kiang Tojin yang kini menjadi ketua Kun-lun-pai amat lihai, kalau dia sampai kalah, selain dia rugi, juga ia khawatir fihaknya akan kalah. Adapun kalau dia maju melayani seorang di antara dua jago lawan, sudah dipastikan dia akan menang di samping harapan bahwa seorang di antara kedua datuk kawannya belum tentu pula kalah oleh Kiang Tojin. Maka ia menoleh dan bertanya kepada dua orang kawannya.

   "Sian-ong dan Kwi-ong, siapa di antara kalian yang berani menghadapi ketua Kun-lun-pai?"

   Pak-san Kwi-ong meloncat maju sambil tertawa bergelak,

   "Siapa sih yang takut? Ha-ha-ha-ha-ha, sudah lama aku ingin mencoba kelihaian ketua Kun-lun-pai!"

   Kakek tinggi besar ini lalu menggerakkan rantai dan dua buah tengkoraknya berputaran mengeluarkan angin bersiutan mengerikan. Cui Im tersenyum dan mundur, juga Pat-liu Sian-ong mundur sambil mengebut-ngebutkan hudtimnya mengusir hawa panas. Dia tentu saja memandang rendah calon lawannya dan maklum bahwa hanya pertandingan antara ketua Kun-lun-pai dan Pak-san Kwi-ong ini yang akan menarik dan paling berharga untuk ditonton.

   Menghadapi Pak-san Kwi-ong yang dia tahu amat lihai, Kiang Tojin segera memasang kuda-kuda Ilmu Pedang Kun-lun Kiam-sut. Biarpun dia sudah tua, namun gerakannya masih kuat dan mantap, pedang yang dipegangnya tidak sedikit pun bergoyang. Tiba-tiba Pak-san Kwi-ong mengeluarkan gerengan keras dan sepasang senjata tengkorak itu dan fihak orang-orang gagah menjadi cemas. Bukan main hebatnya gerakan senjata mengerikan itu. Namun dengan lincah Kiang Tojin meloncat untuk menghindarkan sambaran pada kakinya sambil menarik kepalanya miring untuk mengelak sambaran tengkorak ke dua pada kepalanya, berbareng pedangnya meluncur, berubah menjadi sinar terang menusuk dada lawan.

   Akan tetapi, dengan gerakan pergelangan tangan, rantai di tangan kanan raksasa hitam itu menangkis pedang sehingga terdengar suara nyaring dan keduanya merasa betapa lengan mereka tergetar. Pak-san Kwi-ong sudah memutar senjatanya lagi dan kini sepasang senjata tengkorak itu berubah bentuknya, menjadi gulungan sinar abu-abu yang melingkar-lingkar dan mengeluarkan suara bercuitan dibarengi gerengan-gerengan seperti srigala, namun mengandung khikang yang menggetarkan semangat lawan. Gulungan sinar yang membentuk lingkaran-lingkaran lebar ini menerjang ke arah Kiang Tojin. Dahsyat bukan main serangan datuk kaum sesat dari utara ini. Kiang Tojin dengan tenang namun cepat sekali dia menggerakkan pedangnya, melawan dengan Ilmu Pedang Kun-lun Kiam-sut yang sudah mencapai tingkat tinggi. Baru sinar pedang yang mengeluarkan bunyi berdesingan itu saja dapat memenggal leher lawan yang kurang kuat!

   Terjadilah sebuah pertandingan yang amat seru dan menegangkan. Kedua orang itu sama-sama kuat, sama-sama memiliki banyak pengalaan dan keduanya merupakan tokoh-tokoh tingkat tinggi di masa itu, namun sekali ini Kiang Tojin kalah ampuh senjatanya. Senjata di tangan Pak-san Kwi-ong adalah senjata yang khusus untuk dia sendiri, senjata yang khusus untuk dia sendiri. Senjata yang dapat diputar cepat dan selain itu, dua buah tengkorak itu pun bukan tengkorak itu pun bukan tengkorak biasa, melainkan tengkorak yang mengandung racun jahat. Di dalam jurang jurus terdapat gerakan liar dan ganas luar biasa sehingga setelah lewat lima puluh jurus lebih, Kiang Tojin terdesak karena dia harus lebih banyak melindungi tubuhnya sehingga kurang mendapat kesempatan untuk menyerang.

   Fihak anak buah Pat-jiu Sian-ong yang tentu saja kurang tinggi tingkatnya tidak dapat mengikuti jalannya pertandingan yang terlalu cepat untuknya sehingga hanya melihat betapa bayangan ketua Kun-lun-pai itu mundur-mundur terdesak, maka mereka mulai tertawa-tawa girang karena jago mereka akan menang. Tidak demikian dengan Cui Im dan Pat-jiu Sian-ong. Dua orang sakti ini tiba-tiba terkejut sekali menyaksikan perubahan dalam gerangan Kiang Tojin. Masih memainkan Kun-lun Kiam-sut, akan tetapi ada terselip perubahan pada gerak kaki dan tangan yang mengingatkan Cui Im akan gerakan-gerakan aneh dari Keng Hong. Gerakan yang seperti merupakan perjodohan antara Pat-sian-kun dan Ngo-heng-kun, akan tetapi juga bukan itu.

   Gerakan yang kelihatan lemah dan sederhana namun mengandung pengaruh yang amat kuat, yang seolah-olah mengunci gerakan-gerakan lawan dari yang kini memungkinkan Kiang tojin untuk mengirim serangan balasan, makin lama makin sering sehingga keadaan mereka kembali berimbang, bahkan berkali-kali terdengar Pak-san Kwi-ong mengeluarkan seruan kaget di antara gerengan-gerengannya karena secara aneh pedang lawan hampir mengenai tubuhnya dalam jurus-jurus yang dia tidak kebal! Kakek yang menjadi Datuk Hitam di utara ini mengenal gerakan Kun-lun Kiam-sut, akan tetapi setelah kini Kiang Tojin mengubah permainannya, dia menjadi bingung. Disebut bukan Kun-lun Kiam-sut, mengapa begini aneh? Apakah ketua baru dari Kun-lun-pai ini telah menciptakan ilmu pedang baru? Suara angin sambaran pedang yang berdesing mengaung makin nyaring dan kini mulai mengurung lingkaran sinar senjata rantai tengkorak.

   Sebetulnya Kiang Tojin tidak menciptakan ilmu pedang baru, melainkan dia kini mencampurkan unsur-unsur ilmu silat sakti Thai-lek Sin-kun yang dia pelajari dari kitab itu yang dia terima dari Keng Hong. Setelah dia mempergunakan dasar dari ilmu pedang yang hebat ini, maka dia dapat mengimbangi gerakan lawan sampai dua ratus jurus lebih dan mulailah pedangnya mengurung dan menindih senjata lawan! Akan tetapi sayang sekali. Kiang Tojin sudah tua dan dia sudah banyak kehilangan daya tahan dan daya tempurnya. Kalau dia memiliki watak yang liar dan ganas seperti lawannya, tentu dia dapat memperoleh kemenangan. Sebagai seorang dari golongan bersih, tentu saja dia tidak mau menyimpang daripada tata tertib persilatan dan hanya mau merobohkan lawan dengan gerak silat yang teratur. Apalagi Kiang Tojin adalah seorang ketua partai persilatan besar, tentu saja dia harus menjaga "gengsi"

   Perkumpulannya!

   Setelah lewat tiga ratus jurus yang memakan waktu hampir dua jam, mulailah desakan Kiang Tojin berkurang, bahkan kini tangkisan dan serangannya kurang tenaga. Sebaliknya Pak-san Kwi-ong yang menggereng-gereng itu masih kuat sekali dan ulailah dia yang sebaliknya terdesak lagi. Kalau saja usia ketua Kun-lun-pai ini masih muda seperti Keng Hong, tentu tidak akan terjadi hal demikian karena Ilmu Silat Thai-lek Sin-kun yang dia pelajari adalah ilmu yang benar-benar dahsyat dan yang pada masa itu belum dikenal orang rahasianya. Akan tetapi dia sudah tua dan ketika memperlajari ilmu silat sakti itu sama sekali tidak ditujukan untuk menghadapi pertempuran, melainkan hanya untuk menambah pengetahuan silat belaka. Oleh karena hasilya pun tidak sehebat Keng Hong.

   "Robohlah!"

   Tiba-tiba Pak-san Kwi-ong membentak keras sekali, tengkorak di tangan kanannya meluncur ke depan, menyerang ke arah muka Kiang Tojin. Ketua Kun-lun-pai ini yang merasa betapa tenaganya berkurang dan kalau dilanjutkan dia akan kehabisan tenaga, segera mengambil keputusan untuk mencari kemenangan dengan cepat, yaitu mengerahkan tenaga sinkang sekuatnya untuk merusak senjata lawan. Melihat tengkorak itu menyambar ke arah mukanya, Kiang Tojin lalu membacokkan pedang sambil mengerahkan tenaga sekuatnya, bukan ke arah tengkorak yang menyambar, melainkan ke arah rantai yang mengikat tengkorak itu.

   "Cringgggg!!"

   Terdengar suara keras di antara bunga api yang berhamburan menyilaukan mata. Tengkorak manusia itu jatuh menggelinding di atas tanah, akan tetapi pedang Kiang Tojin telah terlibat rantai di tangan kanan Pak-san Kwi-ong yang menjadi marah sekali. Tiba-tiba terdengar suara meledak dan Kiang Tojin terhuyung-huyung tubuhnya.

   Yang meledak dan menghaburkan asap dan jarum baracun adalah tengkorak yang terbabat buntung dari rantainya tadi sehingga kaki Kiang Tojin terkena jarum berbisa. Kesempatan ini dipergunakan oleh Pak-san Kwi-ong untuk menggerakkan tengkorak ke dua di tangan kirinya. Tengkorak itu berputar-putar kemudian menukik dan menyerang Kiang tojin dari arah belakang tosu ini! Pada saat itu, Kiang Tojin tengah berusaha menarik kembali pedangnya yang terbelit rantai lawan, dan baru saja tubuhnya terguncang oleh ledakan tengkorak yang mengandung asap dan jarum beracun, maka terhadap serangan hebat yang aneh karena tengkorak itu menyerangnya dari belakang, dia hanya dapat mengelak senjata berarti kalah. Maka tentu saja elakannya kurang tepat dan tengkorak ke dua itu masih saja mengenai punggungnya.

   "Bukkk!"

   "Dessssss!"

   Pada detik yang hampir bersamaan, tangan kiri Kiang Tojin juga mengirim pukulan sinkang ke arah dada lawan pada saat dia dihantam tengkorak. Pukulannya dengan telapak tangan ini, sama sekali tidak disangka-sangka oleh Pak-san Kwi-ong yang sudah kegirangan menyaksikan serangannya berhasil. Tubuh Kiang tojin terlempar ke belakang seperti sebuah layang-layang putus talinya, akan tetapi tubuh Pak-san Kwi-ong juga terhuyung ke belakang. Kedua orang kakek ini menyemburkan darah segar dari mulut, kemudian tanpa mempedulikan apa-apa lagi mereka berdua itu sudah menjatuhkan diri bersila dan mengatur napas karena dalam keadaan terluka hebat seperti itu,

   Yang terpenting adalah mengobati diri sendiri melalui pernapasan mengumpulkan hawa murni. Bahkan mereka berdua tidak peduli lagi akan senjata masing-masing yang tadi ketika mereka terpental telah terlepas dari libatan dan kalau Kiang tojin kini masih memegang pedangnya sambil bersedakap, adalah Pak-san Kwi-ong masih memegangi rantai tengkorak yang tinggal sebuah itu, disampirkan di pundaknya. Kok Sian-cu, tosu tua yang mata kirinya buta, tokoh utama Kong-thong-pai segera lari menghampiri Kiang tojin dan cepat memeriksa punggung ketua Kun-lun-pai itu Ternyata pukulan tengkorak itu menimbulkan warna hitam bundar pada punggung maka tahulah dia bahwa pukulan itu mengandung racun. Sambil menahan kemarahan Kok Sian-cu bangkit berdiri menghadapi Cui Im, suaranya terdengar penuh wibawa,

   "Ang-kiam Bu-tek, bagaimana pendapatmu atas hasil pertandingan pertama ini?"

   Cui Im mengerti bahwa Pak-san Kwi-ong telah menerima pukulan yang hebat dan menderita luka di sebelah dalam tubuhnya, akan tetapi ia pun tahu bahwa ketua Kun-lun-pai itu pun menderita luka yang lebih berbahaya karena tengkorak itu mengandung racun di samping jarum beracun yang menusuk kakinya, maka ia lalu berkata sambil tertawa,

   "Kalau aku mengakui bahwa fihakku menang, tentu kau akan menganggap bahwa aku takut kalah! Hi-hi-hik, tosu buta sebelah! Biarlah kita anggap saja tidak ada yang kalah tidak ada yang menang karena kedua fihak terluka. Sekarang, kami mengajukan dua orang jago kami, aku sendiri dan Pat-jiu Sian-ong. Hayo, suruh jago-jagomu maju karena kami berdua akan merobohkan mereka dalam sepuluh jurus, hi-hi-hik!"

   Coa Kiu tokoh Hoa-san-pai dan Thian Kek Hwesio sudah marah sekali. Mereka sudah bergerak maju hendak menyambut tantangan itu akan tetapi tiba-tiba berkelebat dua ekor burung walet menyambar, dan tahu-tahu di situ telah berdiri seorang pemuda tampan dan seorang dara jelita yang bukan lain adalah Cia Keng Hong dan Sie Biauw Eng!

   "Cui Im perempuan curang, akulah lawanmu!"

   Bentak Keng Hong. Cui Im dan Pat-jiu Sian-ong terkejut bukan main, apalagi ketika tak lama kemudian muncul pula Yap Cong San Gui Yan Cu di tempat itu!

   Bagaimana mungkin ini? Empat orang muda ini telah terjebak di dalam sumur, bagaimana tahu-tahu telah berhasil meloloskan diri dan menyusul ke sini? Siapakah yang telah menolong mereka? Memang sesungguhnyalah, tanpa pertolongan dari luar, biarpun empat orang itu merupakan orang-orang muda yang berilmu tinggi tidak mungkin mereka akan dapat lolos dari dalam sumur itu. Dan pertolongan ini memang datang dari orang yang sama sekali tidak pernah mereka duga dan harapkan. Yang menolong mereka adalah Sian Ti Sengjin bekas tosu tokoh Kun-lun-pai! Telah terjadi perang besar dalam batin Sian Ti Sengjin semenjak kakek ini mendapat kenyataan bahwa sutenya, Lian Ci Sengjin benar-benar telah melakukan perbuatan keji dan terkutuk, yaitu memperkosa Tan Hun bwee. Semenjak dia tahu akan hal itu, mulailah timbul rasa penyesalan besar di hatinya.

   Barulah dia sadar betapa jauh dia menyeleweng dari pada jalan benar dan betapa dia telah membela sutenya yang ternyata telah menjadi hamba nafsu yang jahat. Mulailah dia teringat akan gemblengan batin yang telah puluhan tahun dia pelajari dan latih. Kalau tadinya dia masih mempertahankan keadaannya dan diam saja adalah karena dia mengharapkan sutenya akan insyaf. Maka dia membujuk-bujuk sutenya agar mereka berdua kembali saja ke Phu-niu-san karena dia tahu bahwa dia telah terjerumus makin dalam dengan menggabungkan diri dengan orang-orang golongan sesat. Namun sutenya selalu menolak dan akhirnya dia menerima pukulan batin terhebat ketika menyaksikan sutenya tewas dengan tubuh hancur lebur oleh Hun Bwee. Timbul penyesalan besar dan dia mulai memikirkan cara untuk menebus dosa-dosanya.

   Demikianlah, begitu Cui Im memimpin rombongan untuk menyerbu ke puncak Tai-hang-san, dia mencari alasan untuk tinggal menjaga di dalam benteng. Kemudian, tidak lama setelah rombongan berangkat, Sian Ti Sengjin cepat memasuki kamar Cui Im, membongkar barang-barang wanita itu dan berhasil mengumpulkan barang-barang pusaka yang dirampas oleh Cui Im dari tangan Keng Hong, yaitu benda-benda pusaka peninggalan Sin-jiu Kiam-ong. Setelah itu, dia cepat mencari tambang, membuka lantai kamar tahanan yang kini menjadi sumur tertutup dan menurunkan tambang itu kebawah. Keng Hong dan tiga orang temannya terkejut melihat betapa ada sinar terang dari atas menyorot ke bawah, dan ternyata bahwa penutup sumur itu terbuka. Makin heranlah hati mereka ketika melihat dari bawah betapa Sian Ti Sengjin menurunkan sehelai tali tambang ke dalam sumur.

   "Thian Yang Maha Adil!"

   Keng Hong berbisik.

   "Kiranya Thian akhirnya menggerakkan hatinya untuk menyadari kesesatannya. Biarlah aku yang naik lebih dulu, siapa tahu ini merupakan jebakan pula.

   "Cepat pemuda ini lalu menyambar tali dan merayap naik sambil menggigit Siang-bhok-kiam untuk bersiap-siap kalau di atas ada bahaya menantinya. Akan tetapi setelah tiba di atas dan meloncat ke lantai, dia melihat Sian Ti Sengjin memandangnya dengan wajah pucat dan bekas tosu yang amat dikenalnya sejak dia menjadi kacung di Kun-lun-pai ini berbisik,

   "Keng Hong, lekas suruh teman-temanmu cepat naik!"

   Bukan main girangnya hati Keng Hong. Ia menjenguk ke dalam sumur dan berkata,

   "Naiklah semua!"

   Tiga orag muda yang menanti dengan hati penuh ketegangan di dalam sumur itu pun menjadi girang sekali dan mereka cepat merayap naik melalui tali. Setelah tiba di atas, Keng Hong menjatuhkan diri berlutut di depan bekas tosu itu dan berkata,

   "Sian Ti Totiang, terimalah ucapan terima kasih kami."

   Sian Ti Sengjin cepat membangunkan Keng Hong dan menarik napas panjang.

   "Jangan begitu, engkau membikin aku malu saja, Keng Hong. Terimalah ini, bukankah ini benda-benda pusaka yang dirampas Cui Im?"

   Keng Hong makin girang melihat bahwa semua benda pusaka peninggalan gurunya, yaitu sebatang pedang Hoa-san-pai, sebuah kitab dari Go-bi-pai, dan kitab-kitab tulisan Sin-jiu Kiam-ong sendiri, sabuk sutera dan senjata-senjata rahasia Biauw Eng berupa bola-bola putih berduri dan tusuk konde bwee, pedang milik Yan Cu, dan sepasang Im-yang-pit milik Cong San, semua telah berada dalam buntalan yang dibawa tosu itu. Ketika dia hendak berlutut kembali, dengan terharu Sian ti Sengjin memegang kedua pundaknya dan berkata,

   "Tak usah berterima kasih karena kalian telah menjadi pendorong pinto, menyesali diri dan bertobat. Sekarang kalian cepat mengejar mereka yang menyerbu ke puncak Tai-hang-san untuk membasmi mereka yang sedang mengadakan pertemuan di sana. Pinto sendiri akan pergi mencari bala bantuan pasukan pemerintah di Tai-goan!"

   Setelah berkata demikian, bekas tosu Kun-lun-pai yang telah insyaf itu lalu berlari keluar dengan cepat.

   Keng Hong tidak membuang waktu lagi. Dia menyimpan benda-benda pusaka itu, kemudian bersama Biauw Eng, Cong San dan Yan Cu dia lari keluar. Dengan mudah saja mereka berempat merobohkan para penjaga yang mencoba menghalangi mereka dan dengan berlari cepat mereka menuju ke puncak Tai-hang-san. Demikianlah, mereka berempat dapat datang tepat pada saat Kiang Tojin dan Pak-san Kwi-ong menyelesaikan pertandingan mereka yang mengakibatkan mereka keduanya terluka. Keng Hong dan Biauw Eng yang lari di depan dapat mendengar tantangan Cui Im, maka mereka berdua segera menyambut tantangan itu. Kini dua pasang orang sakti yang bermusuhan itu memandang dengan mata bersinar-sinar, sebaliknya Cui Im dan Pat-jiu Sian-ong memandang dengan kaget sekali. Kiang Tojin yang sedang bersamadhi untuk memulihkan tenaga dan mengobati lukanya, membuka mata dan tersenyum lemah.

   "Thian selalu berfihak kepada yang benar, siancai... siancai...! Ang-kiam Bu-tek, karena di fihak kami telah datang tenaga-tenaga baru, maka pinto menunjuk Cia Keng Hong dan Sie Biauw Eng untuk menjadi jaog-jago kami yang ke dua dan ke tiga!"

   "Heh-heh-heh, beginikah sikap tokoh-tokoh yang menamakan dirinya golongan bersih? Tidak dapat dipegang janjinya! Bukankah tadi kau mengajukan Thian Kek Hwesio dan seorang di antara Hoa-san Siang-sin-kiam sebagai jago? Di mana letak kegagahanmu, Kiang Tojin?"

   Cui Im tertawa mengejek.

   "Cui Im!"

   Keng Hong membentak marah.

   "Orang macam engkau masih mau bicara tentang kegagahan dan pemenuhan janji? Berapa kali sudah engkau menipuku? Kalau engkau tidak mau menghadapiku sebagai wakil yang diajukan oleh Kun-lun-pai, tetap saja engkau harus kuhadapi sekarang juga untuk menebus semua kejahatan dan kecuranganmu!"

   "Dan engkau pun harus menebus kecuranganmu ketika menjebak kami, Pat-jiu Sian-ong!"

   Bentak pula Biauw Eng yang sudah siap dengan sabuk suteranya seperti Keng Hong yang sudah mempersiapkan Siang-bhok-kiam untuk menghadapi lawan. Pat-jiu Sian-ong menggerak-gerakkan kebutannya dengan lagak seorang dewa lalu berkata halus,

   "Binatang kerbau diikat hidungnya, akan manusia diikat kata-kata yang keluar dari mulutnya. Kiang Tojin seorang manusia atau seekor kerbau? Jangan dikira bahwa aku jerih menghadapi seorang bocah seperti puteri Lam-hai Sin-ni, hanya hatiku belum puas kalau belum memaki Kiang Tojin."

   Pak-san Kwi-ong juga sudah melompat bangun, menyeringai menahan rasa nyeri dan sesak di dadanya, lalu menuding ke arah Kiang Tojin sambil berkata,

   "Kiang Tojin, di antara kita masih belum ada yang kalah atau menang. Marilah kita lanjutkan pertandingan untuk menentukan siapa yang lebih unggul, kalau engkau berani!"

   Kiang Tojin menghela napas panjang.

   "Siancai...!"

   
Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Pinto bukan seorang yang takut menghadapi kematian, Kwi-ong, Marilah!"

   Ia pun bangkit dengan cepat akan tetapi agak terhuyung. Sekali pandang saja maklumlah Keng Hong bahwa Pak-san Kwi-ong telah terluka hebat di dalam dadanya, akan tetapi Kiang Tojin juga telah terluka parah, maka dia cepat benyanyi,

   "Tiga puluh buah ruji berpusat pada poros roda di tempat yang kosonglah terletak kegunaannya! Dengan tanah liat membuat mangkok bundar Di tempat yang kosonglah terletak kegunaannya! Membobol pintu jendela pada sebuah rumah Di tempat yang kosonglah terletak kegunaannya! Yang ada hanya sebagai pegangan Yang kosong itulah yang berguna!"

   Sajak yang dinyanyikan Keng Hong itu adalah ayat-ayat dalam kitab To-tik-keng yang menggambarkan keadaan To dan sifat-sifatnya. Dilihat kosong namun justeru yang kosong itulah yang menciptakan kegunaannya. Akan tetapi tentu saja Keng Hong mempunyai maksud tertentu dengan nyanyian ini yang dia harapkan akan ditangkap maknanya oleh Kiang Tojin. Cui Im adalah seorang yang cerdik, akan tetapi dia tidak mengenal ayat-ayat seperti itu. Ia khawatir kalau-kalau Keng Hong membantu dengan nyanyian yang tak dimengertinya itu, maka sambil melengking keras ia sudah menerjang Keng Hong dengan pedang merahnya.

   Sambil tersenyum Keng hong menangkis dengan Siang-bhok-kiam dan kedua orang yang sama saktinya ini sudah bertanding hebat. Juga Pat-jiu Sian-ong biarpun mengenal nyanyian itu namun tidak tahu mengapa pemuda aneh ini menyanyikannya dalam saat seperti itu, sudah menggerakkan senjata hudtimnya menyerang Biauw Eng yang menghadapinya dengan sambaran sabuk sutera putih. Kiang Tojin adalah seorang ahli Agama To, tentu saja mengenal sajak itu. Kalau saja dia belum mempelajari kitab Thai-kek Sin-kun yang belum lama ini dia terima dari Keng Hong, agaknya dia pun akan sukar sekali menangkap apa yang dimaksudkan oleh pemuda itu. Akan tetapi kini dia mengerti dan diam-diam dia kagum sekali karena melihat akan tepatnya "nasihat"

   Yang diberikan pemuda lihai itu untuk memberi petunjuk kepadanya menghadapi lawan.

   Pak-san kwi-ong adalah seorang tokoh utara yang memiliki kepandaian dahsyat namun liar dan ganas, mengandalkan senjata ampuh dan tenaga kuat. Kini, seperti juga Kiang Tojin, dia sudah terluka hebat. Kalau saja kakek hitam ini tidak yakin benar bahwa Kiang Tojin sudah terluka parah, tentu dia tidak berani menantang dengan nekat. Kini melihat keadaan lawan yang kelihatan lebih lemah, dia sudah menerjang cepat dengan mengayun tengkoraknya yang tinggal sebuah. Kiang Tojin cepat mengelak dengan gerakan ringan sekali dan sebentar saja tosu ini sudah terdesak hebat oleh lawan yang kelihatannya tergesa-gesa hendak cepat merobohkan dan membunuh lawan agar dia dapat beristirahat dan melanjutkan usahanya mengobati luka di dalam dadanya. Namun semua serangannya dapat dihindarkan oleh Kiang Tojin dengan mudah dan pada serangan ke tiga, Kiang Tojin menangkis dengan pedangnya.

   "Tranggg..."

   Semua orang gagah terkejut menyaksikan betapa pedang di tangan Kiang tojin terpental lepas dari tangan tosu itu. Pak-san Kwi-ong tertawa girang dan memutar senjatanya lebih dahsyat lagi untuk merobohkan Kiang Tojin yang kini bertangan kosong. Akan tetapi Keng Hong yang melayani Cui Im sempat melirik dan diam-diam dia menjadi girang karena ketua Kun-lun-pai itu dapat menangkap maksudnya ketika memberi petunjuk melalui sajak tadi. Kini Kiang tojin hanya mengandalkan kelincahan tubuh berkat ginkang yang tinggi, mengelak ke sana-sini untuk menghindarkan sambaran tengkorak yang rantainya diputar-putar kuat-kuat oleh lawan.

   Dengan hati lega dan tidak mengkhawatirkan keadaan Kiang Tojin seperti para orang gagah yang memandang gelisah, Keng Hong melirik ke arah Biauw Eng dan dia menjadi kagum bukan main. Ternyata Biauw Eng sekarang jauh bedanya dengan Biauw Eng dahulu! Gerakan sabuk suteranya mengandung tenaga hebat, gerakannya lebih ringan dan jurus-jurus serangannya amat aneh. Pat-jiu Sian-ong sudah tidak berani memandang rendah lagi dan pertandingan antara mereka ini seru sekali dalam keadaan berimbang. Betapa Pat-jiu Sian-ong takkan menjadi bingung kalau melihat gerakan sepasang ujung sabuk sutera yang berubah menjadi sinar putih bergulung-gulung dan membentuk lingkaran-lingkaran itu dan kadang-kadang menyerang tanah,

   Kadang-kadang malah bermain di atas kepala gadis itu sendiri seperti hendak menotok tubuh sendiri, akan tetapi tiba-tiba melejit dan menotok ke arah jalan darah kematian kalau dia menjadi lengah dan heran? Sementara itu, Cui Im mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya untuk mengimbangi Keng Hong, namun dengan hati panas dan penasaran ia mendapat kenyataan bahwa gerakan-gerakan pemuda itu seluruhnya mengatasi gerakannya sendiri. Ia seolah-olah dihadapkan dengan benteng baja amat kuat yang tak mungkin ia tembusi dengan penyerangannya, sebaliknya dari dalam "benteng baja"

   Itu keluar sinar-sinar yang menyerangnya secara tiba-tiba dan tak terduga-duga! Mulailah Cui Im marah-marah dan memaki-maki,

   "Keng Hong, kau curang! Agaknya dahulu engkau tidak membaca sungguh-sungguh semua kitab itu! Banyak yang kau sembunyikan dariku!"

   Ia memaki-maki dan menyerang terus kalang kabut. Akan tetapi Keng Hong hanya tersenyum saja dan melayaninya seenaknya.

   Keng Hong tidak dapat cepat mengalahkan Cui Im, karena selain memang wanita ini amat lihai dan rapat menjaga tubuh, juga Keng Hong membagi sebagian perhatiannya kepada Biauw Eng untuk melindungi gadis itu kalau-kalau terancam bahaya di tangan Pat-jiu Sian-ong yang dia tahu amat lihai. Maka dia selalu memancing Cui Im untuk bertanding dekat kekasih hatinya itu. Tepat seperti telah diperhitungkan oleh Keng Hong, terjadilah perubahan hebat dalam pertempuran antara Pak-san Kwi-ong dan Kiang Tojin. Sebetulnya tidak patut disebut pertempuran karena dalam pertandingan ini, Kiang Tojin sama sekali tidak pernah membalas serangan. Kelihatannya saja seolah-olah dia sudah terlalu lemas sehingga terdesak dan tidak sempat membalas, padahal memang tosu ini sengaja tidak mau balas menyerang,

   Hanya mengandalkan ginkangnya untuk mengelak terus, membiarkan lawan menyerangnya makin hebat. Inilah petunjuk yang diberikan oleh Keng Hong dalam sajaknya tadi. Yaitu agar Kiang Tojin menggunakan kekosongan. Ketua Kun-lun-pai ini segera dapat menangkap maksud Keng Hong. Mereka berdua sudah luka parah, luka di sebelah dalam tubuh dan pantangan besar bagi orang terluka di dalam tubuhnya untuk mempergunakan tenaga, apalagi tenaga sinkang karena tenaga ini akan membuat luka di dalam tubuh makin parah. Karena itu, maka Keng Hong menganjurkan agar Kiang Tojin menggunakan kekosongan, berarti tidak menggunakan tenaga dan membiarkan lawan yang mempergunakan tenaga sebanyaknya dan dia sendiri hanya mengandalkan kegesitannya untuk mengelak tanpa mengerahkan tenaga.

   Kini mulai tampak perubahan. Biarpun Kiang Tojin kelihatan didesak terus, namun dia masih tetap seperti semula, sebaliknya Pak-san Kwi-ong makin lama makin limbung, wajahnya yang hitam menjadi pucat sekali, matanya merah, mulutnya mengeluarkan buih dan kepalanya mengepulkan uap, kedua kakinya mulai menggigil dan serangan-serangannya mulai ngawur! Pak-san Kwi-ong bukanlah seorang bodoh. Dia tahu bahwa dia telah menggunakan tenaga terlalu banyak sehingga luka di dadanya makin parah, napasnya sesak sekali dan seluruh isi dada dan perut terasa nyeri. Akan tetapi di samping kecerdikannya, dia memiliki watak yang kasar, liar dan ganas, watak seekor binatang buas. Ia penasaran melihat lawan yang seakan-akan tinggal injak saja begitu sukar dirobohkan,

   Maka makin lama dia makin bernafsu sampai akhirnya dia terlambat menyadari kesalahannya. Sambaran tengkoraknya makin lemah dan tiba-tiba dia merasa betapa kepalanya berdenyut-denyut, matanya gelap dan jantungnya seperti akan meledak. Ia masih menubruk maju dan menghantamkan tengkoraknya sekuat tenaga sehingga Kiang Tojin terkejut dan terpaksa meloncat ke belakang. Tubuh Pak-san Kwi-ong terjelungup ke depan dan robohlah raksasa hitam itu. Biarpun demikian, dia masih melakukan serangan dari bawah, tengkorak itu menyambar ke arah perut Kiang Tojin.Ketua Kun-lun-pai ini cepat memutar tubuh, kakinya bergerak mendorong tengkorak dari samping. Tengkorak itu meluncur kembali ke bawah, ke arah muka Pak-san Kwi-ong seolah-olah hendak mencium muka raksasa hitam itu.

   "Prokkk!"

   Tengkorak pecah berantakan dan kepala Pak-san Kwi-ong juga pecah sehingga dia tewas seketika. Kiang Tojin meloncat ke belakang menghindarkan diri dari sambaran jarum-jarum yang meluncur dari dalam tengkorak, kemudain dia terhuyung dan cepat mundur ke rombongan, lalu duduk bersila dan memejamkan mata. Melihat tewasnya Pak-san Kwi-ong, barulah Cui Im mengerti dan dengan marah ia berseru,

   "Keng Hong, engkau manusia curang!"

   Dan ia mempercepat serangan pedangnya. Pat-jiu Siang-ong juga kaget menyaksikan tewasnya Pak-san Kwi-ong yang diandalkan. Ia mengeluarkan suara bersuit keras dan kini majulah semua pembantunya, menyerbu, bukan hanya pembantu tokoh-tokoh persilatan, juga pasukan yang menjadi anak buahnya mulai menyerbu dan memperketat pengurungan!

   Cong San dan Yan Cu berseru keras, mencabut senjata dan menerjang ke depan menyambut lawan, diikuti oleh semua tokoh kang-ouw yang memang sejak tadi sudah siap-siap untuk bertempur dan membela diri. Maka terjadilah perang tanding yang dahsyat dan tidak teratur lagi. Cong San dan Yan Cu mengamuk dan sebentar saja sudah merobohkan dua orang lawan, akan tetapi mereka segera dihadapi oleh Gu Coan Kok dan Hok Ku, dua orang iblis tembok besar yang lihai. Menghadapi Coan Kok, Yan Cu terdesak, sebaliknya Cong San dapat membikin Hok Ku sibuk melindungi dirinya maka Cong San yang selalu memperhatikan Yan Cu segera bertanding sejajar dengan Yan Cu untuk melindungi gadis yang dicintanya itu.

   Maka ramailah pertandingan antara empat orang itu, gerakan mereka cepat dan dahsyat sehingga yang lain-lain tidak sempat untuk mencampuri pertempuran ini. Dari fihak orang gagah, mengamuklah Thian Kek Hwesio, kedua Hoa-san Siang-sin-kiam, keempat orang kakek tokoh Kong-thong-pai, ketua Tiat-ciang-pang Ouw Kian, dan empat orang tosu menjadi sute Kiang Tojin. Mereka ini dihadapi oleh kawan-kawan Pat-jiu Sian-ong yaitu Thian-te Siang-to keempat Pak-san Su-ong dan masih banyak tokoh kaum sesat dibantu oleh ratusan orang anak buah Pat-jiu Sian-ong. Melihat betapa fihak Kiang Tojin terdesak hebat karena memang jauh kalah besar jumlahnya, Keng Hong menjadi khawatir. Untuk cepat-cepat mengalahkan Cui Im bukan merupakan hal yang mudah, maka tiba-tiba tubuhnya melesat mengirim serangan ganas dengan Siang-bhok-kiam.

   Cui Im menangkis akan tetapi ia terpekik dan mencelat ke belakang karena tenaga sinkangnya jauh kalah kuat. Kesempatan itu dipergunakan oleh Keng Hong untuk meloncat ke dekat Biauw Eng yang masih bertanding ramai sekali melawan Pat-jiu Sian-ong. Keng Hong langsung menyerang dengan tusukan Siang-bhok-kiam sehingga terdengar suara bercuit nyaring dan tampak sinar hijau yang amat terang dan cepat menyambar leher Pat-jiu Sian-ong. Kakek ini mendengus, dengan gugup melihat cepat dan kuatnya serangan ini telah mengebutkan hudtimnya menangkis Siang-bhok-kiam dan terus membelit ujung pedang itu untuk merampasnya. Akan tetapi saat yang hanya seteangah detik itu dipergunakan dengan tepat oleh Biauw Eng,. Sabuk suteranya berubah kaku dan menusuk perut Pat-jiu Sian-ong.

   "Crottt!"

   Sabuk sutera yang telah berubah kaku oleh tenaga sinkang itu menembus perut kakek kate itu. Pat-jiu Sian-ong mengeluarkan teriakan kaget, matanya terbelalak seolah-olah tidak percaya ke arah perutnya, akan tetapi tiba-tiba Keng Hong yang sudah berhasil menarik pedangnya, menusukkan Siang-bhok-kiam menembus dada kakek itu.

   "Aihhhhh...!!"

   Pat-jiu Sian-ong memekik dan hudtimnya menyambar ke arah Biauw Eng. Namun gadis ini sudah menarik kembali ujung sabuk pada hudtim sehingga bulu kebutan itu tertarik pedang Siang-bhok-kiam berkelebat lagi dan hudtim itu patah menjadi dua! Putusnya kebutan itu agaknya berbareng dengan putusnya napas Pat-jiu Sian-ong, tubuhnya terkulai, roboh dan dari perut dan dadanya keluar darah yang memancar deras. Cui Im menjerit,

   "Keng Hong, manusia curang!"

   Wanita ini sudah menerjang lagi dengan ganas. Keng Hong menangkis dengan pedang kayunya dan berkata kepada Biauw Eng,

   "Kau bantulah teman-teman!"

   Tanpa diperintah dua kali, Biauw Eng lalu mengamuk dan membantu Cong San dan Yan Cu.

   Keng Hong melanjutkan pertempurannya melawan Cui Im. Diam-diam harus dia akui bahwa andaikan dia tidak mempelajari Thai-kek Sin-kun, agaknya amat sukar baginya untuk mendapatkan kemenangan melawan Cui Im yang benar-benar amat ganas pedang merahnya ini. Pantas saja gadis ini berani menamakan diri Ang-kiam Bu-tek Pedang Merah Tanpa Tanding, karena memang pada masa itu, agaknya sukarlah dicari lawan yang dapat menandingi ilmu pedang gadis ini. Bahkan sekarang pun agaknya tidak akan mudah baginya untuk merobohkan Cui Im tanpa membunuhnya. Dan sukarnya Keng Hong tidak tega untuk membunuh Cui Im! Dia bukannya tidak ingat akan semua perbuatan jahat wanita ini terhadap dirinya, akan tetapi ada beberapa hal yang tak dapat dilupakan Keng Hong dan yang membuatnya tidak tega untuk membunuhnya,

   Yaitu pertama mengingat akan cinta kasih wanita ini terhadap dirinya. Ke dua, karena betapapun juga, setelah sama-sama mempelajari ilmu peninggalan Sin-jiu Kiam-ong, sedikitnya Cui Im boleh dikatakan saudara seperguruan dengannya. Ketiga, kalau saja Cui Im tidak menipunya di dalam tempat rahasia di batu pedang, belum tentu dia akan dapat menemukan dan mempelajari kitab peninggalan Thai Kek Couwsu sehingga secara tidak langsung, Cui Imlah yang berjasa! Oleh karena itu, Keng Hong hanya mau merobohkan Cui Im tanpa membunuhnya dan hal ini benar-benar amat sukar karena serangan-serangan biasa saja mana mampu mengalahkan Cui Im? Maka dia lebih banyak bertahan dan membela diri sambil menanti kesempatan baik untuk merobohkan lawannya yang tangguh ini tanpa membunuhnya.

   Hebat bukan main perang tanding yang terjadi di puncak Tai-hang-san itu. Betapapun lihainya para tokoh kang-ouw dan betapa nekat mereka mempertahankan diri, namun karena jumlah mereka jauh kalah banyak sehingga setiap orang terpaksa harus menghadapi empat lima orang lawan, maka mulailah fihak mereka terdesak dan keadaan mereka berbahaya sekali. Korban kedua fihak sudah mulai berjatuhan dan perang itu penuh dengan suara gaduh, teriakan-teriakan kesakitan, maki-makian kemarahan dan diseling bertemunya senjata tajam yang mengeluarkan bunyi nyaring. Tiba-tiba terdengat bunyi terompet disusul sorak-sorai dan menyerbulah pasukan pemerintah yang terdiri dari ratusan orang, dipimpin oleh seorang perwira dan didampingi oleh Sian Ti Sengjin!

   Itulah pasukan yang didatangkan oleh bekas tokoh Kun-lun-pai ini dari tai-goan dan kalau tadi pertandingan terjadi berat sebelah dengan keuntungan fihak pemberontak, kini sebaliknya menjadi berat sebelah dengan kerugian mereka! Kini fihak pemberontak kalah banyak jumlahnya dan mulailah terjadi penyembelihan yang mengerikan Perang tanding yang terjadi selama setengah hari di puncak Tai-hang-san itu bagi golongan sesat merupakan sejarah hitam di mana lebih dari dua ratus orang terbunuh. Tidak ada seorang pun di antara mereka yang dapat lolos, semua tewas termasuk tokoh-tokohnya, sungguh pun di fihak orang kang-ouw juga jatuh korban yang tidak sedikit. Yang hebat adalah pertandingan antara Keng Hong dan Cui Im. Masih juga Keng Hong belum dapat merobohkan Cui Im pada perang telah terhenti karena musuh telah terbasi habis.

   "Keng Hong, aku bersumpah untuk membunuhmu sekarang juga!"

   Cui Im meloncat maju mengirim tusukan maut.

   "Trang-trang-cringgg!"

   Keng Hong menangkis dan melanjutkan dengan membacokkan pedang Siang-bhok-kiam ke arah paha lawannya.

   "Wuuutttttt!"

   Cui Im melompat ke belakang sehingga bacokan itu luput.

   "Keng Hong, engkau selamanya menjadi penghalang untukku. Engkau manusia satu-satunya di dunia yang paling kubenci!"

   Kembali Cui Im menerjang maju. Wajahnya pucat sekali, keringatnya membasahi seluruh tubuh, akan tetapi matanya sama sekali tidak memperlihatkan kelelahan, bahkan mata itu memancarkan cahaya seperti api menyala-nyala.

   "Cui Im, kau menyerahlah. Aku takkan membunuhmu,"

   Kata Keng Hong sambil memutar pedangnya menangkis.

   "Menyerah? Lebih baik mati!"

   Cui Im kembali menerjang maju. Keng Hong tahu bahwa teman-temannya sudah mengurung tempat pertandingan itu, menonton penuh perhatian. Di antara mereka terdapat Biauw Eng yang menonton dengan alis berkerut.

   "Keng hong, kenapa engkau ragu-ragu merobohkan dia?"

   Tiba-tiba Biauw Eng bertanya, di dalam suaranya terkandung penasaran besar. Keng Hong kaget dan maklum bahwa dia menjadi pusat perhatian. Mungkin bagi orang-orang lain mereka tidak tahu betapa dia mengalah dan tidak mau membunuh lawan, akan tetapi pandang mata tajam dari orang-orang yang ilmunya sudah tinggi seperti Biauw Eng, Cong San, Yan Cu dan beberapa orang lain akan mudah melihatnya. Maka dia menjadi bimbang dan ketika pedang merah itu berkelebat menyambar lehernya, dia mengerahkan seluruh sinkangnya dan menangkis sekuat tenaga.

   "Trakkk!"

   Pedang merah itu patah manjadi dua dan ujung Siang-bhok-kiam masih menyerempet pundak Cui Im.

   "Aihhhhhh!!"

   Cui Im terhuyung dan roboh, pundaknya terluka lebar dan darah bercucuran. Sinar putih berkelebat menyambar ke arah kepala Cui Im yang masih rebah miring. Itu adalah sabuk sutera yang digerakkan Biauw Eng untuk membunuh bekas sucinya. Agaknya gadis ini hendak membalas dendam atas kematian ibunya di tangan Cui Im.

   "Takkk!"

   Ujung sabuk sutera tertangkis oleh pedang Siang-bhok-kiam sehingga luput mengenai sasaran.

   "Keng Hong...!"

   Biauw Eng berseru kaget. Keng Hong menarik napas panjang.

   "Biauw Eng, maafkan aku. Perlukah kita membunuhnya? Dia bekas sucimu dan kalau kuingat-ingat secara adil, dia pun masih terhitung sumoiku sendiri karena dia telah mempelajari pusaka warisan suhu. Dia sudah kalah, kehabisan sagala-galanya, perlukah kita membunuhnya begitu saja. kurasa hatimu tidak akan sekejam itu, Biauw Eng."

   "Tapi... Tapi... dia telah membunuh ibuku!"

   "Benar, akan tetapi apakah untungnya balas-membalas karena dendam? Memang ibumu terbunuh olehnya dalam pertandingan, akan tetapi sekiranya baik kita ingat betapa banyaknya orang yang telah tewas di tangan ibumu juga, Biauw Eng, kalau bukan engkau yang hendak membunuhnya, aku masih tidak peduli. Akan tetapi aku tidak ingin melihat engkau melibatkan diri dalam ikatan dendam-mendendam. Kalau dia melakukan dosa biarlah dia yang akan memikul hukumannya yang pasti akan ia rasakan sendiri. Kekalahannya yang berkali-kali pun merupakan peringatan dan hukuman baginya. Biauw Eng, kuharap engkau suka memenuhi permintaanku, yaitu kita bebaskan lawan yang sudah kalah, jangan membunuh orang yang sudah tidak mampu melawan lagi."

   

Si Bangau Merah Eps 23 Si Tangan Sakti Eps 16 Si Bangau Merah Eps 13

Cari Blog Ini