Ceritasilat Novel Online

Si Bangau Merah 23


Si Bangau Merah Karya Kho Ping Hoo Bagian 23



"Ah, jadi mereka akan datang kepuncak ini?"

   Tanya Ciang Hun.

   "Benar,Toako. Han-koko memilih puncak ini untuk tempat mengadu kepandaian, tentu saja kami tidak tahu bahwa Bibi dan Toako berada di sini. Dan untukmenghadapi Ketua Hek I Lama, Han-koko akan menyamar sebagai Sin-ciang Tai-hiap."

   "Kapan pertandingan itu di adakan?"

   Tanya Nonya Gak.

   "Hari ini juga. Kami sengaja mendahului mereka untuk melihat keadaan disini, jangan sampai kami terjebak dan terkepung."

   Nyonya Gak bangkit dari bangkunya dan ia nampak penuh gairah dan semangat, seolah lenyap semua bayangan duka dan kemuraman dari wajahnya, bagaikan seorang pemimpin mengatur siasat. Ia berkata kepada puteranya yang juga sudah bangkit berdiri dan siap siaga.

   "Ciang Hun, cepat kau periksa keadaan sekeliling puncak dan persiapkan tangga tali yang kita buat itu di tepi jurang! Kau tahu apa yang harus kau lakukan!"

   "Baik, Ibu!"

   Kata Ciang Hun dan pemuda tinggi besar itu sekali melompat sudah keluar dari dalam pondok untuk melaksanakan perintah ibunya.

   "Kita harus siap siaga, bukan hanya bagaimana harus melawan mereka, akan tetapi juga mempersiapkan diri agar dapat terhindar dari bahaya. Ciang Hun sudah membuat persiapan sehingga sewaktu-waktu kita dapat meloloskan diri dari bahaya,"

   Wanita gagah itu menerangkan.

   "Aih, Bibi Gak, kenapa begitu? Han-ko dan aku tidak akan melarikan diri! Memalukan sekali kalau harus melarikandiri, apalagi kita sudah berjanji bahwa ini sebuah pertandingan dengan taruhan. Yang ada bagi kami hanyalah kalah atau menang. Kalau menang, suheng akan di bebaskan dan mutiara hitam diberikan kepada Han-ko, kalau kalah, terpaksa kami harus memenuhi atau membayar kekalahan kita dengan menepati janji untukmembantu perjuangan melawan pemerintah penjajah Mancu."

   Wanita itu terbelalak.

   "Akan tetapi mana mungkin itu? Kalian adalah keturunan atau murid-murid pendekar sakti, kalian adalah pendekar yang harus menentang kejahatan. Bagaimana mungkin kalian akan bekerja sama dengan orang- orang jahat dan sesat itu? Bukankah hal itu berarti kalian akan mencemarkan nama baik leluhur dan guru-guru kalian?"

   Sian Limenoleh kepada Yo Han.

   "Bibi, Kakak Yo Han yang sudah menentukan syarat atau taruhan itu."

   "Memang benar, Bibi yang baik. Akan tetapi taruhan saya adalah kalau saya kalah, saya akan membantu perjuangan melawan atau menentang penjajah Mancu bukan bekerjasama dalam hal melakukan kejahatan! Kalau mereka melakukan kejahatan dan saya mengetahuinya, tentu akan saya tentang kejahatan mereka itu! Dan saya kira, berjuang melawan penjajah Mancu bukanlah perbuatan jahat. Karena itulah saya menerima taruhan itu. Mereka hanya mengatakan membantu perjuangan menentang penjajah, bukan bekerja sama melakukan kejahatan."

   Sian Li tersenyum.

   "Bagus! Akupun memang berpendapat demikian, maka aku menyetujui taruhan itu. Nah, Bibi Gak, tidak ada permasalahan lagi dan tidak perlu lagi kita mempersiapkan diri untuk lari,bukan?"

   "Hemm, kalian memang cerdik, akan tetapi kalian masih kurang pengalaman dan tidak cukup berhati-hati maka suhengmu sampai dapat tertawan. Di dalam dunia kang-ouw, kalian akan bertemu dengan orang-orang yang bukan saja lihai ilmu silatnya, akan tetapi juga cerdik dan licik bukan main, penuh tipu muslihat dan kecurangan. Menghadapi orang-orang macam ini, tidak dapat kalian hadapi hanya dengan mengandalkan ilmu silat saja. Harus kita hadapi dengan siasat pula."

   "Akan tetapi, Bibi, bukankah pendapat itu bertentangan dengan kehormatan seorang pendekar yang menjunjung tinggi kebenaran, keadilan dan kegagahan? Seorang pendekar lebih baik tewas sebagai seekor harimau yang melawan dengan gagah berani daripada hidup sebagai se ekor babi yang menguik-nguik melarikan diri dengan pengecut! Kami akan menghadapi lawan sampai kalah atau mati, tidak akan melarikan diri. Bukankah begitu, Han-ko?"

   "Memang benar begitu, Li-moi, akan tetapi sebaiknya dengarkan pendapat Bibi Gak yang terhormat ini,"

   Kata Yo Han yang melihat betapa nyonya setengah tua itu memandang dengan sinar mata berkilat.

   "Pendapatmu itu memang benar. Apa kau kira aku tidak memiliki kegagahan dan sudi melarikan diri seperti seekor anjing di gebuk atau, seekor babi yang hendak di sembelih? Engkau salah sangka, Sian Li. Kalau bertanding secara jantan dan gagah, memang seorang pendekar pantang melarikan diri dan akan melawan sampai kalah atau tewas. Akan tetapi, kalau pihak lawan menggunakan kecurangan, misalnya menjebakmu atau mengeroyokmu dengan jumlah yang besar dan tak mungkin kau tandingi, maka berlaku nekat melawan sampai mati hanya merupakan perbuatan tolol, akan mati konyol dan sama sekali bukan perbuatan gagah! Menyelamatkan diri dari ancaman lawan yang menggunakan kecurangan, bukan pertandingan jantan, menandakan kecerdikan, bukan ketakutan atau sikap pengecut. Engkau harus dapat membedakan kedua hal itu!"

   Sian Li mengerutkan alisnya. Ia seorang gadis yang cerdik, maka tentu saja ia dapat mengerti, dan ia pun mengangguk-angguk.

   "Ah, benar sekali pendapat Bibi itu. Menghadapi kecurangan musuh dengan nekat sampai mati, hanya menunjukkan ketololan dan juga kesombonganyang sia-sia belaka. Baiklah Bibi, terimakasih atas persiapan itu. Mudah-mudahan saja Ketua Hek I Lama tidak menggunakan kecurangan agar kita tidak perlu melarikan diri."

   Sian Li teringat bahwa Yo Han juga mengajaknya melarikan diri ketika dikeroyok oleh gerombolan itu dan Yo Han terluka. Andaikata mereka gagah-gagahan dan nekat melawan terus sampai mati, maka akan sia-sialah kegagahan mereka itu, mereka akan mati konyol dan suhengnya tentu tidak ada yang akan menolongnya lagi. Tiba-tiba Ciang Hun masuk ke pondok dan wajahnya nampak tegang.

   "Ibu, mereka sudah naik ke puncak!"

   "Apa yang kau lihat?"

   Tanya nyonya itu.

   "Ada dua orang pendeta jubah hitam bersama seorang pemuda naik ke sini melalui jalan depan."

   "Hanya itu? Kau tidak menyelidiki kemungkinan lain?"

   "Dari jalan kiri dan jalan kanan nampak puluhan orang naik secara sembunyi dan menyusup-nyusup."

   "Jahanam!"

   Sian Li mengepal tinju.

   "Ternyata mereka memang hendak melakukan kecurangan!"

   Nyonya Gak bersikap tenang.

   "Sudah kuduga demikian. Ingat, kalau mereka mulai memperlihatkan kecurangan, hendak mengeroyok dengan jumlah besar, kalian harus lari ke belakang pondok, lurus saja dan kalian akan tiba di tepi jurang. Di sana sudah terpasang tangga tali dan kita dapat melarikan diri dari situ tanpa dapat dikejar musuh. Sekarang biar Sin-ciang Tai-hiap yang keluar menandingi Ketua Hek I Lama sesuai dengan perjanjian. Kita bertiga akan turun tangan apabila mereka bersikap curang. Kita bersembunyi dalam pondok untuk membuat mereka terkejut dan kacau kalau kita muncul tiba-tiba nanti. Yo Han, kausambut mereka di pekarangan pondok di mana engkau tidak mungkin diserang secara menggelap."

   Yo Han dan Sian Li kagum. Nyonya Gak memang seorang kang-ouw yang berpengalaman. Bersikap tenang dan dapat mengatur segalanya dengan teliti dan tegas. Sementara itu, Yo Han sudah cepat mengurai rambut, mengenakan capingnya yang bertirai dan dia pun keluar dari pondok dengan langkah tenang, diikuti pandang mata penuh kagum dari ibu dan anak itu yang baru sekarang melihat kenyataan yang tadi membuat mereka hampir tidak dapat percaya.

   Inilah Sin-ciang Tai-hiap yang namanya menggetarkan dunia perbatasan itu! Yang datang menuju ke pondok itu dari arah depan adalah Dobhin Lama yang berjalan dibantu tongkatnya, Lulung Lama, dan Cu Ki Bok. Biarpun Dobhin Lama berjalan dibantu tongkatnya yang panjang, namun ternyata mereka bertiga dapat tiba di pekarangan itu dengan cepat seolah mereka berlari saja! Dengan sikap tenang,Yo Han yang kini telah menjadi Sin-ciang Tai-hiap berdiri di tengah pekarangan, menanti kedatangan tiga orang itu. Biarpun dia sudah menyamar sebagai Sin-ciang Tai-hiap, Yo Han tidak melupakan sikapnya yang selalu sopan dan menghormati orang lain. Apalagi yang muncul di depannya adalah Ketua Hek I Lama dan wakilnya, dua orang pendeta Lama yang sudah tua. Dia menyambut dengan kedua tangan depan dada, mem beri hormat dan membungkuk.

   "Selamat datang, Jiwi Locianpwe."

   Dia hanya memberi hormat kepada dua orang pendeta tua itu, tidak kepada Cu Ki Bok yang berdiri dengan sikapnya yang angkuh! Pemuda itu memandang ke arah pondok dan pandang matanya mencari-cari. Yo Han tahu bahwa pemuda itu mencari Sian Li dan dirinya, karena tentu mengira bahwa dia adalah Sin-ciang Tai-hiap! Lulung Lama yang memegang dua buah gelang atau rada besar bersirip dengan tangan kirinya, tertawa bergelak dan dialah yang mewakili suhengnya bicara.

   "Ha-ha-ha-ha! Omitohud, kiranya Sin-ciang Tai-hiap, selain lihai ilmu silatnya, juga mengenal aturan. Kami akan merasa bangga dan senang sekali kalau dapat bekerja sama denganmu!"

   "Nanti saja kita bicara tentang kerja sama, Locianpwe. Sekarang, kita bicara tentang tantangan Ketua Hek I Lama kepadaku. Siapakah yang akan maju memberi pelajaran kepada saya?"

   Dia menatap ke arah wajah Dobhin Lama yang sudah tua itu. Kakek tinggi kurus yang usianya sudah tujuh puluh lima tahun ini nampaknya saja lemah,

   Akan tetapi Yo Han dapat menduga bahwa diantara mereka semua, Ketua Hek I Lama inilah yang paling lihai sehingga dia harus berhati-hati kalau bertanding melawan kakek tua ini. Dan yang paling licik tentu saja Lulung Lama dan muridnya itu. Pandang mata Sin-ciang Tai-hiap yang nampak di balik tirai itu mencorong dan jelas kelihatan betapa Cu Ki Bok menjadi gentar. Bahkan Lulung Lama yang sakti itu pun kelihatan tegang karena tokoh ini maklum bahwa menghadapi pendekar yang satu ini, dia tidak boleh memandang rendah sama sekali. Andaikata dia tidak kalah sekalipun, kiranya tidak akan mudah baginya untuk mengalahkan pendekar itu, maka dia diam saja menanti perintah suhengnya. Dobhin Lama yang tua ini memang ingin sekali menguji ilmu kepandaian Sin-ciang Tai-hiap.

   Tantangan ini merupakan siasat dari Lulung Ma, dan dia menyetujui pertandingan itu, bahkan memesan agar sutenya itu jangan melakukan apa-apa sebelum dia berkesempatan menguji kepandaian Sin-ciang Tai-hiap. Kini dia sudah berhadapan dengan pendekar aneh itu, dan timbul kegembiraannya. Sudah bertahun-tahun, Dobhin Lama tidak pernah bertemu lawan yang dianggapnya cukup tangguh dan pantas menjadi lawannya. Bertahun-tahun dia tidak pernah turun tangan sendiri, merasa dirinya terlalu pandai dan terlalu tinggi untuk melawan orang-orang yang dianggapnya tidak patut menjadi lawannya. Dan kini, dia merasa gembira dan timbul semangatnya. Pertandingan seperti ini, melawan musuh yang tangguh dan terkenal, membuat latihannya selama ini tidak sia-sia.

   "Omitohud....!"

   Dobhin Lama berseru, suaranya lirih dan gemetar seperti suara seorang kakek tua pikun yang lemah.

   "Pinceng (Aku) yang menantangmu, Sin-ciang Tai-hiap. Nah, majulah dan mari kita main-main sebentar."

   Yo Han melangkah maju mengha-dapi kakek bertongkat panjang itu dan dia pun memberi hormat.

   "Merupakan suatu kehormatan besar sekali bagi saya, Locianpwe, untuk dapat menerima pelajaran darimu. Akan tetapi sebelum kita mulai, saya ingin mendengar dulu janji Locianpwe bahwa kalau saya berhasil menang dalam adu kepandaian ini, Locianpwe akan membebaskan Liem Sian Lun dan menyerahkan kembali mutiara hitam yang Locianpwe terima dari Thong Nam itu kepada saya."

   "Heh-heh, tentu saja. Akan tetapi bagaimana kalau engkau yang kalah, orang muda?"

   "Sesuai dengan janji, kalau saya kalah saya akan membantu perjuang-an menentang penjajah Mancu!"

   "Bagus, janji seorang pendekar pasti dapat dipegang teguh dan diper-caya. Nah sekarang majulah, Sin-ciang Tai-hiap, pinceng ingin sekali membuktikan apakah kepandaian-mu sama tingginya dengan nama besarmu.."

   Kakek itu berdiri tegak, tangan kiri tegak lurus dengan jari terbuka menempel miring di depan dahi,

   Lengan kanan menjepit tongkat panjangnya di bawah ketiak. Yo Han tidak berani memandang rendah lawan. Pernah dia mendengar dari Kakek Ciu Lam Hok bahwa tokoh-tokoh dari Tibet dapat menjadi lawan yang amat berbahaya karena kekuatan sihir mereka. Dalam hal ilmu silat, tokoh-tokoh Tibet hanya mengandalkan tenaga sakti yang mengandung kekuatan sihir, sedangkan mengenai gerakan silatnya, tidak berapa hebat. Gerakan tokoh Tibet tidaklah selincah ilmu silat dari timur. Akan tetapi karena setiap gerakan mengandalkan sin-kang yang diperkuat oleh ilmu sihir, maka gerakan itu menjadi amat kuat dan berbahaya sekali. Oleh karena itu, diam-diam dia pun menghimpun tenaga sakti yang pernah dipelajarinya dari ilmu Bu-kek-hoat-keng, yaitu ilmu kesaktian yang menjadi andalan mendiang gurunya.

   Sesuai dengan wataknya, Yo Han tidak pernah mau mempergunakan senjata dari baja, karena dia tidak mau melukai orang, bahkan dia pantang membunuh orang. Senjata pelindung diri hanya kaki tangan dan ilmu-ilmunya. Namun, dengan menguasai Bu-kek-hoat-keng, memang dia tidak membutuhkan lagi segala macam senjata. Tenaga sin-kang yang ditimbulkan oleh ilmu itu membuat tubuhnya, terutama kedua lengannya, menjadi kebal dan dapat menangkis senjata tajam yang bagaimana ampuh pun. Tentu saja kekebalan ini hanya pada bagian tubuh di mana dia menyalurkan sin-kangnya. Bagian yang tidak dilindungi sin-kang yang dia salurkan, tentu saja tidak kebal. Kekebalannya bukan karena ilmu hitam, melainkan karena lindungan tenaga sakti dari dalam yang dikerahkan ke bagian tubuh itu.

   "Locianpwe, saya sudah siap,"

   Katanya dan dia pun berdiri dengan sikap tenang, kedua kaki terpentang dan tubuhnya agak miring menghadapi lawan, kedua tangan dirangkap seperti menyembah di depan dada kiri. Inilah jurus yang oleh gurunya dinamakan jurus

   "Menyembah Tuhan dengan Hati Tulus".

   "Sin-ciang Tai-hiap, pinceng hendak mempergunakan tongkat. Keluarkan senjatamu!"

   Yo Han menggeleng kepala.

   "Locian-pwe, senjata dibuat hanya untuk membunuh orang. Saya tidak ingin membunuh siapapun, dan untuk melindungi diri, Tuhan telah melengkapi tubuh saya ini dengan lengkap dan sempurna. Saya sudah siap, silakan Locianpwe."

   "Omitohud, engkau seorang pendekar yang hebat, ataukah yang tinggi hati? Nah, pinceng telah mendengar ucapanmu. Sambut serangan pinceng ini!"

   Kakek berjubah hitam itu mulai menggerakkan tongkat yang tadinya dijepit di bawah ketiak dan terdengarlah sambaran angin yang terdengung seperti ada ratusan ekor kumbang terbang menyerang! Yo Han sudah menduga bahwa kakek itu tentu mengandalkan tenaga dan kekuatan sihir untuk menyerangnya, maka dia pun sudah siap siaga. Tubuhnya bergerak ke kiri ketika kakinya digeser dan sambaran tongkat itu lewat dan luput, namun angin pukulannya yang menyambar terasa olehnya amat kuat dan mengandung hawa panas. Dia harus menghormati lawannya yang sudah tua, yang pantas menjadi kakeknya Maka, Yo Han membiarkan Dobhin Lama menyerangnya sampai tiga kali tanpa membalas.

   Serangan itu datang bertubi, makin lama semakin kuat dan berbahaya sekali. Namun, Yo Han tetap hanya menggunakan kelincahan tubuhnya untuk mengelak. Sambaran tongkat yang ke tiga kalinya hampir saja membuat dia terpelanting, karena hawa pukulan tongkat itu sedemikian kuatnya, membuat rambutnya yang panjang berkibar dan hampir saja capingnya yang lebar itu diterbangkan! Dengan terhuyung Yo Han masih sempat memegang capingnya sehingga tidak sampai terbuka dan memperlihat-kan mukanya. Setelah tiga kali serangannya dapat dielakkan lawan tanpa membalas, Dobhin Lama mengerutkan alisnya yang putih dan dia merasa penasaran. Apakah pendekar muda ini berani meman-dang rendah kepadanya sehingga hanya mengalah saja, tidak membalas?

   "Sin-ciang Tai-hiap, balaslah serangan pinceng! Apakah engkau menganggap pinceng seorang lawan yang terlalu lemah bagimu?"

   "Sama sekali tidak, Locianpwe. Kalau saya selama tiga jurus tidak melawan, hal itu saya lakukan untuk menghormati Locianpwe yang merupakan golongan jauh lebih tua dari pada saya. Sekarang saya akan membalas, Locianpwe."

   "Bagus! Nah, sambutlah ini!"

   Kakek itu kembali menyerang, tongkatnya mem-buat gerakan terputar, ujungnya membentuk lingkaran lebar, makin lama semakin cepat dan mengecil lalu ujung itu meluncur ke arah dada Yo Han! Sekali ini Yo Han tidak mengelak, melainkan menggunakan ilmu Bu-kek-hoat-keng untuk memutar lengan kanan dan menangkis luncuran tongkat ke arah dadanya itu, ilmu ini adalah ilmu kesaktian yang amat hebat. Satu diantara keampuhannya adalah hadirnya tenaga mujijat yang menolak semua hawa kebencian yang datang dari lawan, terkandung dalam sera-ngan lawan. Betapa kuat dan tinggi ilmu lawan, kalau lawan menyerang dengan kandungan hati mem-benci, maka serangannya itu akan membalik dan mungkin mengenai diri sendiri!

   "Plakkk!"

   Tangkisan yang disertai tenaga sin-kang amat kuat itu ternyata tidak membuat tongkat itu membalik dan menye-rang pemiliknya sendiri dan ini merupakan bukti bahwa tidak ada kebencian terkandung dalam serangan itu! Akan tetapi, akibat benturan kedua tenaga sakti membuat Yo Han terhuyung ke belakang, dan Dobhin Lama juga terdorong ke belakang beberapa langkah!

   Keduanya saling pandang dengan kagum. Bagi Dhobin Lama, baru sekarang ada seorang muda yang mampu menangkis tusukan tongkatnya tadi, dan bagi Yo Han, juga pendeta itu merupakan lawan yang paling tangguh yang pernah dilawannya. Tangguh dan tidak ada kebencian di hatinya! Diam-diam dia merasa girang dan diapun mengerahkan seluruh tenaga, mengeluarkan semua kepandaiannya untuk menandingi lawan yang hebat itu. Pertandingan itu memang hebat bukan main. Kadang berjalan cepat, kadang lambat. Bumi di pekarangan itu tergetar, daun-daun pohon yang berada di dekat situ rontok. Lulung Lama dan muridnya, Cu Ki Bok, menonton dengan mata terbelalak dan penuh kagum. Mereka merasa beruntung bahwa mereka tadi tidak maju melawan Sin-ciang Tai-hiap, karena kalau hal itu terjadi, mereka pasti kalah. Apalagi Cu Ki Bok, bahkan gurunya, Lulung Lama,

   Setelah menyaksikan pertandingan itu, maklum bahwa dia takkan menang melawan pendekar aneh yang amat lihai itu. Makin lama, kedua orang yang bertanding itu menjadi semakin kagum kepada lawan. Yo Han juga kagum bukan main. Biarpun lawannya sudah tua sekali, akan tetapi semua serangan balasannya seperti membentur tembok baja yang amat kuat, yang sukar ditembus. Mereka saling serang dan saling desak, namun tidak pernah dapat membobolkan benteng pertahanan lawan sehingga tanpa terasa lagi, seratus jurus lebih telah terlewat! Dan selama itu, keduanya tidak pernah mengendurkan tenaga, karena siapa yang mengendur pasti akan kalah. Karena semua jurus yang mereka mainkan tidak mampu menembus benteng pertahanan lawan, maka mereka kini tidak lagi mengandalkan jurus silat, melainkan lebih mengandalkan kekuatan sin-kang.

   Akhirnya, keadaan usia menguntungkan Yo Han. Kalau dia hanya merasa lelah saja, lawannya kini sudah mandi keringat dan napasnya agak terengah saking kehabisan tenaga. Bahkan dari kepala yang tidak berambut itu sudah mengepul uap putih yang agak tebal, tanda bahwa tubuhnya telah menjadi panas sekali. Maklum bahwa dirinya berada dalam bahaya kalau dilanjutkan, maka Dobhin Lama lalu mengeluarkan jurusnya yang paling hebat, yaitu Jurus Gunung Runtuh! Dia mengeluarkan pekik yang dahsyat, tongkat-nya menyambar dari atas ke arah kepala Yo Han dengan tenaga sepenuhnya yang masih tersisa. Melihat ini, Yo Han juga mengerahkan seluruh tenaganya, menangkis dengan kedua lengannya, mendorong ke atas. Bertemulah tongkat dengan kedua lengan pendekar itu.

   "Brakkkk....!"

   Yo Han terhuyung, akan tetapi tongkat di tangan Dobhin Lama patah menjadi tiga potong! Kakek itu nampak pucat dan dia menghela napas panjang sambil melempar potongan tongkatnya ke atas tanah.

   "Omitohud....pinceng mengaku kalah....!"

   Dia lalu duduk bersila di atas tanah, berkata kepada Lulung Lama.

   "Sute.... bebaskan pemuda itu...."

   Dia mengeluarkan sebuah kalung dari saku jubahnya kalung dengan mainan sebuah mutiara hitam dan melemparkan benda itu kepada Yo Han.

   "Nah, terimalah mutiara hitam ini!"

   Yo Han menerima sambaran mutiara hitam itu dan dia pun memberi hormat, hatinya merasa terharu dan juga kagum.

   "Banyak terima kasih bahwa Locianpwe telah mengalah dan menepati janji."

   Lulung Lama bertepuk tangan dan dari lereng bukit itu muncullah Sian Lun yang diiringkan dua orang pendeta Lama jubah hitam. SianLun agaknya dalam keadaan tertotok dan dia dibimbing dua orang pendeta itu. Lulung Lama lalu mendorong tubuh Sian Lun sehingga pemuda ini roboh tertelungkup. Dari dalam pondok, muncul Sian Li yang dengan sekali lompatan berada didekat Yo Han. Melihat munculnya sumoinya, Sian Lun berkata lirih,

   "Sumoi, tolonglah aku...."

   Sian Li menghampiri Sian Lun, berlutut dan meraba pundak suhengnya itu untuk memulihkan kesehatannya, membebaskannya dari totokan. Akan tetapi pada saat itu, Sian Lun tiba-tiba saja menggerakkan tangan dan menotok jalan darah di punggung sumoinya! Gerakkannya ini sama sekali tidak terduga oleh Sian Li sehingga gadis itu sama sekali tidak dapat menjaga dirinya. Tahu-tahu ia sudah tertotok dan lemas, dan Sian Lun sudah merangkul pinggangnya dan membawanya meloncat ke belakang Lulung Lama dan Cu Ki Bok! Dari dalam pondok, Nyonya Gak dan puteranya, Gak Ciang Hun, sejak tadi mengintai dan begitu melihat Sian Li ditangkap oleh suhengnya sendiri, seperti juga Yo Han, mereka tertegun heran. Akan tetapi Nyonya Gak lalu meloncat keluar, diikuti puteranya.

   "Sin-ciang Tai-hiap, mereka bertindak curang!"

   Teriak nyonya itu. Yo Han memang tertegun dan bingung melihat betapa Sian Lun tiba-tiba malah menangkap sumoinya. Akan tetapi pada saat itu,muncullah puluhan orang dari depan, kanan dan kiri. Mereka adalah para pendeta Lama Jubah hitam, dibantu oleh para anggauta pengemis tongkat hitam dan beberapa orang Nepal. Bahkan nampak pula Badhu dan Sagha, dua orang Nepal yang kuat itu, bahkan muncul pula tiga orang
(Lanjut ke Jilid 22)
Si Bangau Merah (Seri ke 15 - Serial Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 22
wanita cantik dari Pek-lian-kauw, yaitu Pek-lian Sam-li yang lihai.

   "Lulung Lama, kalian curang! Bebaskan mereka berdua itu!"

   Yo Han berseru dan tubuhnya sudah berkelebat ke depan untuk menolong Sian Li dan Sian Lun, karena dia masih bingung dan mengira bahwa Sian Lun tentu dipaksa oleh mereka. Akan tetapi, betapa kagetnya ketika dia melihat Sian Lun membawa Sian Li meloncat ke belakang para penyerbu dan lenyap. Terpaksa dia menyambut pengeroyokan banyak orang itu, dibantu oleh Nyonya Gak dan Gak Ciang Bun yang sudah mengamuk.

   "Locianpwe Dobhin Lama, apakah Locianpwe hendak melanggar janji sendiri?"

   Teriak Yo Han penasaran. Akan tetapi, Dobhin Lama yang duduk bersila dan memejamkan mata itu tidak menjawab, juga tidak bergerak. Terpaksa Yo Han mengamuk, namun dia tidak membiarkan diri dikuasai dendam dan kemarahan. Dia tetap hanya merobohkan para pengeroyok tanpa membunuh mereka. Tidak seperti Nyonya Gak dan puteranya yang mengamuk dengan pedang mereka, menewaskan beberapa orang pengeroyok. Akan tetapi, di pihak lawan terdapat banyak orang pandai, dan jumlah mereka semakin bertambah banyak sehingga bagaimanapun juga, tiga orang itu mulai terdesak.

   "Mari kita pergi!"

   Tiba-tiba Nyonya Gak berseru kepada puteranya dan Yo Han. Yo Han maklum bahwa melanjutkan perkelahian tidak ada gunanya, bahkan amat berbahaya. Padahal, dia harus dalam keadaan sehat dan selamat untuk dapat menolong Sian Li kemudian. Kalau sekarang dia nekat sekalipun, belum tentu dia akan dapat menemukan Sian Li yang telah dilarikan Sian Lun. Pula, dia belum tahu apa yang telah terjadi, dan mengapa Sian Lun bersikap seperti itu. Siapa tahu itu merupakan siasat pemuda itu untuk menolong sumoinya. Yang penting, dia harus menyelamatkan diri.

   "Baik, Bibi Gak!"

   Katanya dan dia pun membuka jalan dengan berkelebatan diantara para pengeroyok yang roboh satu demi satu. Nyonya Gak dan puteranya juga memutar pedang sedemikian rupa sehingga tidak ada pengeroyok berani mendekati mereka. Mereka berlari ke belakang pondok, dipimpin oleh Nyonya Gak dan benar seperti keterangannya tadi, mereka tiba di tepi jurang yang amat dalam sehingga tidak dapat dilihat dasarnya. Nyonya Gak dan puteranya telah mengambil tangga-tangga tali dari balik semak belukar dan cepat memasang tangga-tangga tali itu, mengikatkan pada akar pohon di belakang semak di tepi jurang.

   "Mari, kita lari melalui tangga ini! Yo Han, kau ikutilah aku!"

   Kata Nyonya Gak, sedangkan Ciang Hun sudah menuruni tangga tali yang lain.Yo Han tidak mempunyai pilihan lain kecuali mengikuti Nyonya Gak menuruni tangga tali menuruni tebing jurang yang amat terjal dan dalam itu. Tangga tali itu panjangnya ada dua puluh meter dan ternyata mereka mendarat di sebuah guha besar. Setelah mereka bertiga tiba di guha, ibu dan anak itu segera menarik tangga-tangga tali itu dengan sentakan tiba-tiba yang membuat kaitan di ujung tangga pada akar pohon terlepas.

   "Tidak ada seorang pun manusia yang dapat menuruni tebing ini tanpa tangga tali, kecuali kalau dia mampu terbang seperti burung,"

   Kata Nyonya Gak.

   "Dari guha ini terdapat jalan setapak melalui tepi tebing menuju ke lereng bukit. Jalan ini kami temukan dan kami buatkan lorong menembus guha sehingga kecuali kami berdua, tidak ada yang mengetahuinya."

   Yo Han duduk di atas batu dalam guha, termenung.

   "Akan tetapi, mereka menawan adik Tan Sian Li,"

   Suaranya mengandung kekhawatiran. Ciang Hun berkata dengan suara marah.

   "Tentu kita akan berusaha sekuat tenaga untuk menolongnya! Yang kuherankan, kenapa suheng dari adik Sian Li bersikap seperti itu? Jelas bahwa dia tadi berpura-pura ketika didorong dan tersungkur. Ketika adik Sian Li hendak menolongnya, dia malah menotoknya, dan menawannya. Apa artinya ini?"

   Nyonya Gak juga berkata,

   "Pemuda itu tidak dapat dipercaya! Yo Han, bagaimana sih hubungan Sian Li dengan suhengnya dan orang macam apa suheng nya itu?"

   Yo Han menggeleng kepalanya.

   "Saya sendiri belum mengenalnya dengan baik, Bibi. Ketika Li-moi dan suhengnya itu dikeroyok oleh persekutuan gerombolan itu, saya menolong mereka, akan tetapi hanya dapat melarikan Li-moi, sedangkan suheng-nya yang bernama Liem Sian Lun itu tertawan. Kalau mengingat bahwa pemuda itu adalah suheng Li-moi, murid dari Locianpwe Suma Ceng Liong, rasanya tidak mungkin kalau dia memiliki watak palsu dan jahat."

   Nyonya Gak mengerutkan alisnya.

   "Pasti ada sesuatu yang tidak beres dengan pemuda itu. Para pendeta Lama itu lihai dan di antara mereka banyak yang memiliki ilmu sihir. Siapa tahu pemuda itu berada di bawah pengaruh sihir."

   "Bagaimanapun juga, saya harus cepat melakukan penyelidikan dan menolong mereka, terutama adik Tan Sian Li, Bibi."

   "Yo Han, aku percaya bahwa engkau adalah seorang pendekar sakti yang memiliki kepandaian tinggi. Hal itu sudah kubuktikan tadi ketika engkau berhasil mengalahkan Ketua Hek I Lama,"

   Kata Ciang Hun dengan kagum.

   "Akan tetapi perlu kau ingat bahwa bagaimanapun juga, kepandaianmu ada batasnya. Bagaimana mungkin engkau akan melawan mereka yang memiliki anak buah sebanyak itu? Ibu dan aku akan membantumu, kalau perlu dengan taruhan nyawa, akan tetapi kita harus berhati-hati dan menggunakan siasat yang baik."

   "Benar ucapan anakku, Yo Han. Menghadapi gerombolan yang demikian banyak, kita harus menggunakan siasat. Kalau hanya nekat, kita akhirnya tidak akan berhasil menolong Sian Lun dan Sian Li, sebaliknya malah tertawan atau tewas konyol,"

   Kata Nyonya Gak.

   "Saya akan minta bantuan beberapa tokoh kang-ouw di perbatasan yang telah sadar dan kini menjadi orang baik-baik. Mereka mempunyai banyak kawan dan saya yakin mereka suka membantu saya,"

   Kata Yo Han. Ibu dan anak itu memandang kagum. Mereka sudah mendengarkan sepak terjang Sin-ciang Tai-hiap yang tidak pernah membunuh para penjahat,

   Melainkan menaklukkan mereka dan menasehati, dengan kasar maupun halus berhasil membuat banyak penjahat mengambil cara hidup yang sama sekali berubah, dari jalan sesat ke jalan yang benar. Mereka lalu mengatur siasat, membagi tugas sebelum meninggalkan guha itu, melalui sebuah terowongan bawah tanah pendek yang dibuat oleh ibu dan anak itu. Terowongan ini menembus ke lereng bukit melalui pintu rahasia yang dari luar nampak seperti batu besar biasa. Apakah yang terjadi dengan diri Sian Lun? Kenapa dia yang akan ditolong Sian Li, bersikap seperti itu, berbalik menotok dan menawan Sian Li, dan menghilang di antara para anak buah gerombolan? Liem Sian Lun telah terjatuh ke tangan Pek-lian Sam-li! Tiga orang wanita Pek-lian-kauw ini adalah tiga orang tokoh Pek-lian-kauw yang berwatak cabul.

   
Si Bangau Merah Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Pek-lian Sam-li sudah terkenal sebagai kakak beradik yang genit, mata keranjang dan mesum. Setiap kali bertemu dengan pria tampan mereka tidak pernah melewatkan kesempatan untuk merayunya bahkan kalau pria itu menolak, memaksanya. Mereka selain lihai sekali ilmu silatnya, juga mereka pandai ilmu sihir, ahli racun sehingga dengan berbagai cara tidak ada pria yang akhirnya tidak tunduk kepada mereka. Ketika mereka berhasil menawan Liem Sian Lun, tentu saja sudah terbakar gairah mereka untuk menguasai pemuda tampan dan gagah itu, apalagi mengingat bahwa pemuda itu adalah murid Pulau Es! Mereka akan mendapat banyak keuntungan kalau berhasil menguasai pemuda ini. Pertama, pemuda ini masih muda, baru berusia dua puluh tahun, seorang perjaka tulen, tampan dan bertubuh kuat. Ke dua, dengan menundukkan pemuda itu,

   Berarti mereka dapat membalas semua dendam dan kebencian mereka terhadap musuh besar Pek-lian-kauw, yaitu para pendekar Pulau Es karena pemuda itu merupakan murid Pulau Es. Dan ke tiga, mereka dapat menyenangkan hati sekutu mereka, yaitu para pendeta Lama jubah hitam yang hendak mengumpulkan orang-orang yang memiliki kepandaian silat tinggi seperti pemuda itu, karena setelah menguasai Sian Lun, tentu pemuda itu akan suka menjadi sekutu mereka pula. Sian Lun pada dasarnya bukanlah seorang pemuda yang berhati teguh. Semenjak dewasa, sudah seringkali dia termenung, membayangkan hal-hal yang menimbulkan berahinya. Dia pun sudah seringkali memandang kepada sumoinya, Sian Li, dengan pandang mata penuh gairah berahi. Apalagi setelah dia mendengar percakapan suhu dan subonya, yang ingin menjodohkan dia dengan SianLi,

   Seringkali dia membayangkan betapa senangnya kalau dia bermesraan dengan sumoinya yang cantik itu sebagai suami isteri! Dia jatuh cinta kepada Sian Li, dan makin dibayangkan, semakin dalam dia tenggelam dalam cinta. Bahkan sering kali terbawa dalam mimpi. Ketika mereka melakukan perjalanan bersama, kalau saja dia tidak takut kepada sumoinya yang dalam hal ilmu kepandaian silat lebih tangguh darinya, tentu sudah dinyatakan perasaan hatinya itu dengan perbuatan. Rasanya amat menyiksa baginya, seperti seorang kelaparan melihat makanan lezat tanpa boleh memakannya, atau seorang kehausan melihat air jernih tanpa boleh meminumnya. Berkobarnya nafsu berahi yang sering kali menggodanya itu masih dapat dilawan dengan dua keyakinan, yaitu pertama bahwa menuruti nafsunya itu adalah tidak benar,

   Dan kedua menuruti nafsunya itu tentu dia akan celaka karena sumoinya yang cantik itu amat galak dan lihai! Nafsu berahi, seperti segala macam nafsu yang dimiliki manusia, adalah sesuatu yang wajar, bahkan yang terbawa lahir, merupakan alat bagi manusia hidup di dunia. Nafsu berahi merupakan sesuatu yang teramat penting, bahkan mutlak se bagai pendorong agar manusia tidak akan musna, agar dapat berkembang biak. Segala macam ciptaan Tuhan yang terdapat di dunia ini, disertai nafsu seperti ini, yaitu nafsu yang mendorong bersatunya dua kelamin yang berlawanan untuk bersatu dan dari persatuan ini terciptalah manusia atau mahluk sejenis yang baru, yang dinamakan anak bagi manusia dan hewan, dinamakan buah bagi tumbuh-tumbuhan. Anak menjadi manusia baru dan buah-buah menjadi calon bibit tumbuhan baru.

   Tuhan Maha Kasih! Di dalam nafsu berahi, disertakan rasa nikmat sehingga semua mahluk termasuk manusia terdorong untuk melakukan persatuan itu dengan suka rela. Dan di dalam rasa nikmat inilah setan menyusup! Rasa nikmat ini yang dijadikan alat oleh setan untuk menggoda manusia sehingga manusia menjadi lupa diri. Karena mengejar perasaan nikmat itu maka bukan lagi manusia memperalat nafsu, melainkan terjadi kebalikannya, nafsu yang memperalat manusia! Bukan manusia menjadi majikan daripada nafsu berahi, malah nafsu berahi yang menjadi majikan dan manusia menjadi budak nafsunya sendiri. Dan kalau sudah begini, terjadilah perbuatan sesat atau perbuatan yang sifatnya merusak dan merugikan orang lain atau bahkan yang akibat panjangnya akan merusak dirinya sendiri.

   Semua agama dan filsafat yang dicetuskan orang-orang budiman, pelajaran agama yang diwahyukan oleh Tuhan, semua bertujuan untuk mengingatkan manusia agar sadar akan bahayanya pengaruh nafsu sendiri dalam diri. Namun, jarang ada orang yang mampu menguasai nafsunya sendiri, karena hati dan akal pikiran kita pun sudah dicengkeram nafsu sehingga usaha apapun yang klta lakukan, di situ terkandung keinginan nafsu. Kenyataan ini dapat kita lihat buktinya dalam kehidupan ini, kalau kita melihat dan meneliti keadaan dirikita sendiri. Betapa banyaknya kebiasaan-kebiasaan kecil atau besar yang kita lakukan, kita ketahui dan mengerti benar bahwa perbuatan itu tidak benar atau tidak baik, namun kita tidak berdaya untuk mengubahnya! Kita tahu benar bahwa amarah itu tidak benar dan tidak baik, akan tetapi sekali kema-rahan muncul, kita tidak berdaya untuk mengatasinya dan kita terseret oleh kemarahan kita.

   Demikian pula dengan permainan nafsu yang lain, keterikatan kita kepada benda, kepada makanan, kepada orang lain. Semua itu menimbulkan kesenangan yang selalu dikejar-kejar nafsu, yang menjadi pemikat bagi kita sehingga sukarlah bagi kita untuk mengubahnya. Nafsu merupakan pembawaan yang diikutsertakan ketika kita lahir, dan nafsu merupakan alat yang teramat penting bagi kehidupan kita. Tanpa adanya nafsu, kita tidak akan dapat hidup seperti manusia yang wajar. Namun, disamping kepentingannya yang mutlak, nafsu juga merupakan bahaya yang akan menyeret kita ke dalam kesesatan, yang akan men-jauhkan kita dari kewajiban utama manusia, yaitu mendekati Tuhan yang menciptakan kita dan seluruh keadaan di alam maya pada ini. Nafsu penting bagi kita, akan tetapi juga berbahaya bagi kita. Lalu bagaimana? Sudah sejak jaman pra sejarah,

   Manusia sadar akan bahayanya nafsu, dan sejak itu manusia sudah berusaha untuk menalukkan nafsu, mengekang dan mengendalikan nafsu. Ada yang dengan cara bertapa menjauhkan diri dari dunia ramai, ada yang dengan jalan menyiksa diri, dan seribu satu macam cara lagi. Namun, semua cara itu adalah usaha hati dan akal pikiran, maka terjadilah pertentangan sendiri di dalam batin, tarik menarik antara keinginan, bersenang-senang menuruti gejolak nafsu, dan keinginan menolak gejolak nafsu karena sadar akan akibatnya yang akhirnya tidak menyenangkan. Jelaslah bahwa pada dasarnya, di antara kedua keinginan itu sama, timbul dari hati akal pikiran yang sudah bergelimang nafsu, yaitu keinginan mengejar kesenangan, dan keinginan menjauhi kesusahan yang timbul karena pengejaran itu! Dan pertempuran ini tidak ada habisnya selama kita hidup.

   Kadang nafsu yang menang dan berkobar membakar, kadang nafsu dapat ditundukkan untuk sementara, seperti api di dalam sekam yang setiap waktu akan berkobar lagi. Lalu apa yang dapat kita lakukan? Kita tidak mungkin dapat menundukkan nafsu, karena "kita"

   Inilah nafsu itu sendiri. Kita adalah hati akal pikiran yang sudah bergelimang nafsu, maka apa pun yang kita usahakan, pada dasarnya hanya untuk mengabdi kepada nafsu, untuk pemuasan nafsu dengan segala cara, ada yang kasar, ada yang halus, bahkan ada cara yang dipulas seolah-olah cara itu bukan buatan nafsu. Setan memang teramat licik dan pandai, penuh tipu muslihat dan memang sudah menjadi tugasnya untuk menggoda kita. Kalau kita manusia hanya mengandalkan hati akal pikiran saja, takkan mungkin kita dapat mengalahkan setan!

   Jalan satu-satunya hanyalah berpaling kepada Sang Maha Pencipta! Hanya kekuasaan Tuhan sajalah yang akan dapat menundukkan segala yang ada yang nampak dan yang tidak nampak oleh mata kita, termasuk setan. Betapa tidak? Setan dan nafsu pun diciptakan oleh Tuhan! Jalan satu-satunya bagi kita hanyalah menyerah kepada Tuhan Maha Kasih! Menyerah tanpa syarat, menyerah dengan total, mutlak, menyerah dengan sabar, tawakal dan ikhlas. Hanya kekuasaan Tuhan sajalah yang akan mampu membersihkan seluruh batin kita, hanya kekuasaan Tuhan saja yang akan mampu mengembalikan nafsu dalam tugas yang sebenarnya, yaitu menjadi abdi jiwa manusia, membantu kehidupan manusia di dunia dan tidak lagi majikan yang kejam, tidak lagi menjadi pemikat dan pembujuk yang menyeret kita ke dalam kesesatan.

   Menyerah tanpa syarat, bukan "menyerah demi memperoleh sesuatu"

   Karena kalau demikian halnya, maka yang dinamakan penyerahan ini pun hanya tipu muslihat dari nafsu belaka dan kita akan tetap berada dalam lingkaran setan permainan nafsu daya rendah! Menyerah tanpa pamrih, dengan ikhlas dan tawakal saja! Sian Lun yang masih, hijau itu, tidak kuat menghadapi rayuan tiga orang wanita cantik seperti Pek-lian Sam-li. Apalagi tiga orang wanita cabul itu bukan sekedar merayu biasa. Mereka pun mencampurkan racun pembius dan perangsang dalam minuman yang disuguhkan kepada Sian Lun, bahkan ditambah lagi dengan kekuatan sihir mereka! Sian Lun jatuh dalam pelukan mereka. Bahkan Pangeran Gulam Sing yang kini menjadi sahabat baik dan rekan pengumbar nafsu berahi dari tiga orang tokoh Pek-lian-kauw itu,

   Juga membantu dengan ilmu sihirnya, membuat Sian Lun menjadi kehilangan kesadaran sama sekali. Pemuda itu benar benar runtuh dan kalau tadinya dia seperti seekor harimau jantan yang ganas, kini di tangan tiga orang wanita itu dia berubah menjadi seperti seekor domba jinak! Dia merasa seolah-olah dia telah mendapatkan kebahagiaan hidup yang selama ini didambakan dan diimpikannya. Dia percaya bahwa tiga orang wanita kakak beradik itu amat mencintanya dan memanjakannya sehingga dia dengan amat mudahnya melupakan Sian Li, gadis yang biarpun pernah membuatnya tergila-gila namun yang tak terjangkau olehnya itu! Dalam waktu satu malam saja, Sian Lun telah berubah sama sekali. Dia kini telah menyerah, dan di dalam pelukan tiga orang wanita itu,

   Dia bersumpah untuk bekerja sama dengan mereka, mentaati semua keinginan tiga orang wanita yang dianggapnya amat mencintanya dan yang dapat membuat dia seperti terbuai dalam kemesraan dan kenikmatan yang tanpa batas. Dalam keadaan seperti ini, Pangeran Gulam Sing mendekatinya dan menjanjikan kedudukan tinggi, pangkat yang besar di Nepal kalau perjuangannya kelak berhasil! Dan Sian Lun menganggap ini sebagai suatu cita-cita yang teramat besar dan mulia. Demikianlah, ketika dia dalam keadaan terpengaruh sihir, diperintah oleh Pek-lian Sam-li untuk berpura-pura menjadi tawanan dan agar dia menawan sumoinya sendiri, dia melakukannya dengan rela dan senang hati. Dia ingin membuat jasa untuk menyenangkan hati Pek-lian Sam-li dan juga para pimpinan Hek I Lama dan Pangeran Gulam Sing.

   Sian Li tentu saja merasa terkejut bukan main, juga merasa heran ketika tiba-tiba suhengnya menotoknya. Karena sama sekali tidak menyangka bahwa suhengnya yang hendak ditolongnya itu malah menotoknya, gadis itu dapat dirobohkan dengan mudah dan Sian Li hanya dapat merasa heran dan penasaran sekali ketika tubuhnya yang sudah lemas tak berdaya itu dipondong dan dilarikan Sian Lun. Makin besar keheranan Sian Li ketika ia dibawa oleh suhengnya ke sarang Hek I Lama! Dalam perjalanan tadi, ketika suhengnya melarikannya, ia masih diam saja karena mengira bahwa suhengnya tentu bermaksud menyelamatkannya, mengira bahwa suhengnya akan melarikannya ke tempat yang aman. Akan tetapi, alangkah heran dan kagetnya ketika ia melihat Sian Lun membawanya masuk ke pintu gerbang sarang perkumpulan pendeta Lama Jubah hitam itu!

   "Suheng, apa yang kau lakukan ini?"

   Tanyanya dengan suara lemah karena totokan itu selain melumpuhkan kaki tangannya, juga membuatnya lemah sehingga untuk mengeluarkan suara pun tidak dapat keras.

   "Diam sajalah, Sumoi. Semua ini kulakukan demi kebaikan kita,"

   Jawab Sian Lun. Anehnya, para pendeta Lama yang berada di situ, ketika melihat Sian Lun masuk memondong tubuh gadis yang lemas itu, hanya menonton saja, bahkan ada di antara mereka yang tersenyum atau menyeringai. Dan agaknya Sian Lun sudah hafal akan tempat di situ. Dia langsung saja membawa sumoinya ke sebuah kamar dan merebahkan tubuh gadis itu ke atas sebuah pembaringan dalam kamar itu. Sian Li membelalakkan matanya ketika melihat suhengnya mengambil sehelai tali sutera dan mulai mengikat pergelangan kaki dan kedua tangannya.

   "Suheng, apa yang kau lakukan ini?"

   Kembali ia bertanya dan kini suaranya mulai menguat, tanda bahwa pengaruh totokan itu mulai mengendur, juga ia mulai dapat menggerakkan kaki tangan walaupun masih lemah. Namun, ikatan tali sutera itu kuat bukan main dan ia pun tidak mampu melepaskan diri. Sian Lun tidak menjawab, melain-kan melanjutkan pekerjaannya. Setelah dia merasa yakin bahwa ikatan kaki tangan sumoinya itu kuat, barulah dia berkata, suaranya datar saja, seperti tanpa perasaan.

   "Sumoi, terpaksa aku mengikat kaki tanganmu agar kalau sudah pulih dari totokan, engkau tidak melakukan kebodohan dan memberontak."

   "Suheng, lepaskan aku! Sudah gilakah engkau? Apa artinya semua ini, Suheng?"

   Pemuda itu menundukkan muka, tidak berani menentang pandang mata sumoinya dengan langsung! Bagaimanapun juga, masih tertinggal kesan lama, dan dia merasa canggung dan salah tingkah, walaupun di dalam hatinya dia membenarkan tindakannya ini.

   "Sumoi, tidak ada pilihan lagi bagi kita. Kita harus membantu perjuangan mereka menentang penjajah Mancu. Tidak percuma kita sejak kecil mempelajari ilmu silat kalau kita pergunakan untuk membela negara dan bangsa."

   Sian Li membelalakkan matanya.

   Kini totokan itu sudah pulih, jalan, darahnya telah normal kembali. Akan tetapi tentu saja ia tidak mampu menggerakkan kaki tangannya yang terbelenggu. Dicobanya mengerahkan tenaga untuk membikin putus belenggu pergelangan kaki tangan itu, namun sia-sia. Sian Lun maklum bagaimana harus membuat sumoinya tidak berdaya. Tali sutera itu lentur, tidak mudah dibikin putus. Andaikata belenggu itu dari rantai baja yang tidak terlalu kuat saja, mungkin Sian Li dapat mematahkannya. Akan tetapi tali sutera yang lentur? Tidak mungkin dibikin putus, kecuali dengan senjata tajam. Dan senjatanya juga sudah dilucuti suhengnya. Pada saat itu, terdengar langkah kaki dan masuklah tiga orang wanita yang bukan lain adalah Pek-lian Sam-li, yaitu tiga kakak beradik tokoh Pek-lian-kauw. Ji Kui yang hitam manis, yang paling tua, tersenyum dan menepuk pundak Sian Lun.

   "Bagus, engkau telah berhasil baik, Sian Lun."

   "Tentu saja berhasil, kalau tidak, percuma dia menjadi kekasihku,"

   Kata pula Ji Hwa yang putih mulus, orang ke dua, dan dengan mesra ia lalu merangkul Sian Lun dan mencium pipi pemuda itu penuh gairah dan dengan sikap genit.

   "Nih upah untuk kekasih yang gagah!"

   Kata pula Ji Kim yang termuda, cantik jelita dan ia pun dengan sikap genit mencium Sian Lun pada bibirnya. Sian Li terbelalak, akan tetapi gadis yang cerdik ini sekarang tahu atau dapat menduga apa yang kiranya telah terjadi. Suhengnya telah jatuh ke tangan tiga orang wanita genit mesum ini. Suhengnya yang selama ini sebagai murid paman kakeknya bagaikan seekor srigala berbulu domba, kini meninggalkan kulit domba dan nampaklah keasliannya! Ia pun memandang kepada Sian Lun dengan mata melotot.

   "Jahanam busuk! Liem Sian Lun, kiranya engkau hanyalah seorang murid murtad, seorang keparat berhati busuk yang selama ini berpura-pura menjadi pendekar! Phuh, muak aku melihat mukamu!"

   Dan Sian Li membuang muka, tidak sudi lagi memandang wajah suhengnya yang merupakan pria pertama yang hampir menjatuhkan hatinya.

   "Sian Lun, sudah jangan pedulikan bocah ingusan ini!"

   Kata Ji Kui sambil menggandeng tangan Sian Lun,

   "Biarkan saja Pangeran Gulam Sing yang menjinakkannya."

   Tiga orang wanita itu terkekeh genit dan mereka bertiga menggandeng Sian Lun, diajak meninggalkan kamar. Ketika Sian Li melirik ke arah pintu, ternyata kini nampak beberapa orang bertubuh tinggi hitam, orang-orang Nepal, berjaga di luar pintu kamar. Sian Li berusaha sekuatnya untuk melepaskan ikatan pada pergelengan tangan dan kakinya, namun hasilnya sia-sia belaka. Akhirnya, ia maklum bahwa usahanya itu hanya akan menghabiskan tenaga, maka ia pun diam saja, bahkan mengatur pernapasan untuk mengumpulkan tenaga dan ia termenung. Hal yang amat menyakitkan hatinya adalah kalau ia teringat kepada Sian Lun. Suhengnya telah menyeleweng! Kalau paman kakeknya mendengar, tentu dia dan isterinya akan marah sekali. Akan tetapi bagaimana mereka akan dapat mendengar akan hal ini?

   Hanya ia seorang yang tahu dan dapat melaporkan, dan untuk itu ia harus dapat membebaskan diri. Akan tetapi bagaimana? Sian Li tidak merasa gentar, tidak merasa putus asa. Sebagai seorang gadis yang cerdik, ia pun tahu bahwa gerombolan itu tidak ingin membunuhnya. Kalau demikian halnya, tentu ia sudah sejak tadi dibunuh. Tidak, mereka tidak akan membunuhnya, dan yang jelas, mereka akan membujuknya agar ia suka membantu mereka, bekerja sama dan menjadi sekutu mereka. Seperti Sian Lun! Akan tetapi ia tidak sudi! Hanya ada satu hal yang membuat hatinya terasa cemas dan ngeri juga, yaitu ucapan tiga orang wanita Pek-lian-kauw tadi bahwa ia akan diserahkan kepada Pangeran Gulam Sing untuk dijinakkan! Bergidik juga ia kalau teringat kepada pangeran Nepal itu. Memang seorang pria yang tinggi besar, brewok dan gagah, nampak jantan.

   Akan tetapi matanya sungguh menyeramkan, seperti mata seekor harimau kelaparan melihat domba! Sian Li menghela napas panjang. Ia tidak perlu membayangkan hal-hal yang tidak-tidak. Membayangkan hal-hal mengerikan yang belum datang hanya akan menimbulkan rasa cemas saja. Ia masih memiliki kemampuan untuk membela diri, dan di sana masih ada Yo Han! Yo Han dibantu oleh Nyonya Gak dan juga Gak Ciang Hun. Mereka bertiga adalah orang-orang sakti, tidak mungkin kalau sampai tertawan musuh. Bukankah Bibi Gak telah meng-atur pelarian untuk mereka kalau bahaya mengancam? Pula, ia percaya sepenuhnya kepada Yo Han! Dobhin Lama sendiri yang demikian sakti masih tidak mampu menandinginya! Sungguh mangherankan sekali kenyataan itu.

   Yo Han, yang dahulu tidak pernah mau belajat silat, yang membenci kekerasan, kini tiba-tiba saja muncul sebagai Sin-ciang Tai-hiap yang demikian saktinya. Terdengar suara laki-laki di depan pintu bicara dalam bahasa asing yang tidak dimengertinya dan beberapa orang Nepal itu mening-galkan pintu kamar. Jantungnya berdebar tegang. Apakah pangeran itu yang muncul? Ketika orang itu berdiri di ambang pintu, ternyata bukan pangeran Nepal yang datang melainkan Cu Ki Bok, pemuda peranakan Han Tibet, murid Lulung Lama. Pemuda yang tinggi tegap dan tampan itu berdiri di situ memandang kepadanya. Sian Li yang menghadap ke arah pintu juga memandang kepadanya dengan sinar mata penuh kemarahan dan kebencian. Pemuda itu tersenyum, melirik ke kanan kiri lalu melang-kah memasuki kamar dengan ringan dan cepat. Dia duduk di tepi pembaringan lalu berbisik.

   "Nona, dengarkan baik-baik dan jangan membantah. Dengar, engkau telah tertawan dan aku akan melepaskan ikatan tangan kakimu. Akan tetapi, engkau harus bersikap damai, tidak memberontak karena percuma saja kalau engkau hendak melarikan diri. Di sini terjaga kuat dan kami berjumlah banyak. Engkau tidak akan diganggu, dan aku bertugas mengawasimu. Nah, kalau engkau berjanji tidak akan memberontak atau lari, aku akan melepaskan ikatanmu. Maukah engkau berjanji?"

   Sian Li mengerutkan alisnya. Ia tahu akan benarnya ucapan pemuda itu, walaupun ia tidak dapat percaya sepenuhnya karena menduga bahwa sikap dan ucapan ini tentu sebuah tipu muslihat. Ia harus berhati-hati. Akan tetapi, tentu saja lebih baik kalau kaki tangannya tidak terikat. Setidaknya ia dapat leluasa dan dapat membela diri lebih baik kalau terancam bahaya. Melihat keraguan gadis itu, Cu Ki Bok melanjutkan bisikannya.

   "Nona tentu mencurigaiku. Akan tetapi ingatlah, kalau Nona dalam keadaan terbelenggu, bagaimana engkau akan dapat membela diri kalau Pangeran Gulam Sing datang dan mengganggumu? Pula, dalam keadaan terbelenggu, bagaimana mungkin engkau akan membebaskan diri? Berjanjilah bahwa engkau tidak akan memberontak atau lari, dan aku akan melepaskan ikatan tangan kakimu dan kau akan diperlakukan sebagai seorang tamu terhormat."

   Sian Li mengangguk.

   "Aku berjanji, akan tetapi janjiku ini bukan berarti bahwa aku tidak akan membebaskan diri dan lari dari sini kalau ada kesempatan."

   Cu Ki Bok memandang kagum. Gadis ini terlalu gagah untuk berbohong, maka berjanji pun dengan terus terang karena tidak ingin melanggar janjinya sendiri. Bukan main!

   "Tentu saja, Nona. Dan aku sendiri akan membantumu kalau kesempatan itu tiba. Untuk itu engkau harus memperlihatkan sikap lunak agar para pimpinan percaya bahwa kau tidak akan memberontak dan lari."

   Pemuda itu lalu melepaskan ikatan tali sutera dari kaki dan tangan gadis itu. Sian Li bangkit duduk, mengurut-urut pergelangan tangan dan kakinya untuk memperlancar jalan darah sambil mengamati wajah Cu Ki Bok dengan tajam dan penuh selidik. Karena merasa tidak enak bicara dengan pemuda itu selagi ia duduk di atas pembaringan, gadis itu lalu berpindah duduk di atas kursi yang terdapat di kamar itu.

   "Cu Ki Bok, apa artinya ini?, Katakan terus terang, mengapa engkau menolongku? Dengan pamrih apakah? Kalau ini merupakan siasat busukmu, lebih baik aku mengamuk sekarang dan tewas di tangan kalian!"

   "Sabar dan tenanglah, Nona. Percayalah, sekali ini aku tidak bersiasat. Apa perlunya bersiasat dan membebaskanmu dari belenggu kalau tadi engkau sudah tidak berdaya?"

   "Lalu, kenapa engkau membebaskan aku dari ikatan kaki tanganku?"

   Tentu saja Cu Ki Bok tidak berani menyatakan secara terang bahwa sejak pertama kali berjumpa, dia sudah jatuh hati kepada gadis muda perkasa ini. Tak mungkin dia mengaku cinta begitu saja, karena selain hal itu mentertawakan, juga sudah pasti gadis itu tidak akan percaya dan menganggap dia merayu atau bersiasat.

   "Ada dua hal yang memaksa aku tidak dapat membiarkan engkau tertawan dalam keadaan tersiksa dalam belenggu, Nona. Pertama, engkau seorang pendekar gagah perkasa, bukan penjahat, bahkan tenagamu dibutuhkan oleh rakyat untuk membebaskannya dari belenggu penjajahan. Kalau pun menjadi tawanan, engkau patut diperlakukan dengan hormat dan tidak dibelenggu seperti itu. Dan ke dua, terus terang saja aku merasa muak dan tidak suka melihat cara engkau ditawan oleh Liem Sian Lun."

   Bagaimanapun juga, hati Sian Li masih merasa curiga dan ia tetap waspada terhadap pemuda tampan murid Lulung Ma itu.

   "Apa yang terjadi dengan Liem Sian Lun? Kenapa dia bersikap seperti itu, berpihak kepada kalian dan mengkhianatiku?"

   Cu Ki Bok menghela napas panjang.

   "Ia bukan seorang jantan. Dia lemah dan bertekuk lutut terhadap rayuan Pek-lian Sam-li yang bekerja sama dengan Pangeran Gulam Sing. Berjuang menentang penjajah Mancu memang tugas seorang gagah dan boleh saja dia bergabung dengan kami untuk bersama-sama menentang penjajah Mancu. Akan tetapi dia bukan orang gagah, dia menakluk karena terbujuk rayuan tiga orang wanita itu." "Hemmm, kau sendiri, orang baik-baikkah? Kenapa engkau menjadi antek para Lama dan juga bekerja sama dengan Pek-lian-kauw dan orang Nepal?"

   "Aku murid Suhu Lulung Lama, tentu saja aku membantu Suhu. Kami memang pejuang, akan tetapi bukan penjahat. Kerja sama dengan Pek-lian-kauw dan orang Nepal hanya kerja sama di bidang menghadapi musuh, bukan untuk urusan lain. Aku tidak suka cara-cara pengecut dan curang."

   Sian Li mengamati wajah pemuda itu dengan tajam penuh selidik, Ada benarnya pula ucapan pemuda itu. Jujurkah dia dalam usahanya menolongnya? Memang benar juga bahwa tidak ada gunanya mempergunakan muslihat. Ia tadi sudah tidak berdaya. Andaikata terdapat muslihat di balik pertolongan pemuda ini tentu hanya untuk menyenagkan hatinya agar ia mau bekerja sama, membantu mereka dalam perjuangan melawan penjajah Mancu. Dan seperti juga Yo Han, ia tidak melihat sesuatu yang buruk dalam urusan membantu menentag pemerintah Mancu.

   

Suling Naga Eps 29 Kisah Si Bangau Putih Eps 8 Kisah Si Bangau Putih Eps 27

Cari Blog Ini