Ceritasilat Novel Online

Pedang Kayu Harum 43


Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo Bagian 43



Biauw Eng meragu, memandang kepada Keng Hong kemudian kepada Cui Im yang sudah merangkak bangun dengan wajah kerut-kerut menahan sakit.

   "Akan tetapi, andaikata dia tidak kubunuh, kurasa banyak saudara di sini yang tentu akan membunuhnya!"

   "Aku tidak percaya mereka mau melakukannya, Biauw Eng. Setelah begini banyak manusia terbunuh...?"

   Dengan gerakan kedua lengan dikembangkan ke arah tumpukan mayat, Keng Hong memandang sedih.

   "Cia-taihiap benar! Tiba-tiba terdengar suara keras dan Thian Kek Hwesio yang masih memegangi jubahnya yang penuh darah lawan, berkata dan melangkah maju.

   "Pinceng memang bersakit hati atas tewasnya suheng Thian Ti Hwesio di tangan iblis betina itu, akan tetapi setelah mendengar kata-kata Cia-taihiap tadi pinceng... merasa malu untuk membunuh lawan yang sudah tidak berdaya. Pinceng membebaskan dia!"

   "Pinto juga tidak akan membunuhnya, mengingat dia itu bekas suci Nona, dan masih sumoi dari Cia-taihiap. Pinto tidak akan membunuh orang yang sudah tidak mampu melawan,"

   Kata Coa Kiu tokoh Hoa-san-pai.

   "Biarlah dia pergi, biarlah iblis betina terkutuk itu pergi!"

   Berkata Kok Sian-cu mewakili saudara-saudaranya dari Kong-thong-pai. Biauw Eng menunduk dan tidak membantah lagi.

   "Cui Im, kau dengarlah pendirian orang-orang sedunia! Mudah-mudahan ucapan mereka itu akan membikin engkau bertobat dan menebus kejahatan-kejahatanmu dengan perbuatan baik, dengan demikian, tidak percuma mendiang suhu meninggalkan pusaka-pusaka yang kau pelajari pula,"

   Kata Keng Hong. Cui Im bangkit berdiri, tubuhnya bergoyang-goyang, rambutnya riap-riapan, wajahnya pucat.

   "Keng Hong, keparat busuk! Ucapan-ucapan itu lebih hebat dari pembunuhan. Hayo, kau bunuh saja aku... Hi-hi-hik... kau bunuh aku atau kelak engkau yang akan kubunuh...!"

   Kemudian Cui Im pergi terhuyung-huyung sambil terkekeh-kekeh, akan tetapi suara ketawanya menyeramkan semua orang karena di dalam suara ketawa itu terkandung isak tangis! Setelah bayangan wanita itu lenyap ke bawah puncak, Keng Hong menarik napas panjang, kemudian dia mengeluarkan semua pusaka yang disimpan di kantungnya, menyerahkan pedang pusaka Hoa-san-pai kepada Coa Kiu, kemudian berkata kepada semua orang,

   "Setelah semua pusaka suhu kuambil dan sebagian sudah kuserahkan kepada yang berhak, maka kumohon para Locinapwe sudilah memaafkan semua perbuatan suhu dahulu. Hanya sebuah kitab dari Go-bi-pai yang masih berada padaku dan kelak pasti akan kukembalikan kepada yang berhak."

   Coa Kiu dan Cou Bu girang sekali menerima pusaka Hoa-san-pai itu dan menyatakan terima kasihnya dan semua orang gagah merasa kagum terhadap Keng Hong yang mereka saksikan sepak terjangnya tadi. Mereka lalu mulai mengurus semua korban tewas, baik fihak sendiri maupun fihak lawan, menguburkan mereka di puncak Tai-hang-san. Hanya Kiang tojin seorang yang menjadi amat kagum kepada Keng Hong dan ketika pemuda ini berlutut menghampirinya untuk memeriksa lukanya bersama Biauw Eng, Kiang Tojin menggeleng kepala dan memegang pundak pemuda itu,

   "Pinto tidak apa-apa, Keng Hong. Betapa gembira hati pinto menyaksikan engkau, bukan hanya karena kepandaianmu, terutama sekali karena sikapmu terhadap Ang-kiam Bu-tek. Sikapmu tepat sekali, Keng Hong dan pinto menyatakan tunduk kepadamu. Memang semua manusia ini dan pada dasarnya sama, hanya ada yang sedang menderita sakit seperti Cui Im dan yang lain-lain dan mengakibatkan. Ah, semua pembunuhan antar manusia ini..."

   Tosu itu kelihatan menyesal sekali.

   Tiba-tiba Biauw Eng mengeluh dan meloncat berdiri lari ke sebelah kiri kemudian berlutut dan menangis di depan mayat Tan Hun Bwee. Melihat ini, Keng Hong menarik napas panjang dan membiarkan saja gadis itu menumpahkan kesedihannya, karena memang nasib Hun Bwee amat menyedihkan. Melihat kesibukan semua orang dan dia hanya berada dengan Kiang Tojin, Keng Hong tak dapat menahan keinginan tahu hatinya untuk bertanya kepada kakek yang dia kenal sebagai seorang yang arif bijaksana itu.

   "Totiang, mengapa manusia saling berbunuhan karena terbagi menjadi dua golongan? Mengapa ada yang baik dan ada yang buruk? Apakah yang menyebabkan terjadinya dosa?"

   Kiang Tojin memejamkan mata, akan tetapi mulutnya berkata dengan lirih namun jelas, seperti orang berbisik dan yang terdengar oleh Keng Hong seperti suara yang datang dari angkasa,

   "Perbuatan yang dianggap jahat dan berdosa tercipta dari pengetahuan manusia tentang baik dan buruk itulah! Karena manusia membagi perbuatan menjadi dua, baik dan buruk, maka terciptalah pantangan-pantangan atau larangan-larangan yang menjadi hukum. Manusia menciptakan hukum dan karena pengetahuan tentang baik dan buruk ini sudah mengisi hati, maka setiap pelanggaran hukum menjadi perbuatan jahat dan berdosa. Kalau di dunia ini tidak ada hukum, di dunia ini tidak ada pengetahuan tentang baik dan buruk, maka tidak akan ada pula pemisahan perbuatan yang baik atau jahat."

   "Mohon penjelasan, Totiang, teecu masih kurang mengerti."

   "Anak-anak kecil yang hati dan pikirannya belum mengenal pengetahuan antara baik dan buruk, yang belum menerima hukum pantangan dan larangan, adalah manusia yang bersih, tidak baik dan juga tidak jahat. Dia akan mengambil barang orang lain, akan tetapi karena dia belum tahu akan hukum yang menentukan bahwa perbutan itu terlarang dan disebut pencuri, maka dia tidak merasa mencuri. Kalau orang tidak mengenal kata-kata mencuri, bagaimana dia bisa menjadi pencuri? Karena anak itu belum mengenal pengetahuan antara baik dan buruk, maka perbuatannya mengambil barang orang lain itu pun baginya tidak baik tidak buruk, hanya wajar dan tidak bisa kita katakan dia mencuri atau berdosa. Setelah dia nanti tahu dan mengenal hukum itu, tahu bahwa perbuatan seperti itu terlarang, kemudian dia melanggar, barulah dia melakukan perbuatan dosa. Jadi yang berdosa bukanlah perbuatannya melainkan pelanggarannya terhadap hukum yang sudah dikenalnya. Di dalam hati sudah tahu bahwa perbuatan itu termasuk tidak baik namun tetap di lakukannya, maka berdosalah dia. Manusia terbelenggu oleh pengetahuan antara baik dan buruk, terkurung oleh hukum-hukum yang yang diciptakannya sendiri, maka penuhlah dunia ini oleh dosa. Sungguh menyedihkan..."
Keng Hong mengangguk-angguk.

   "Kalau begitu, kita yang hidup di dalam dunia yang penuh dengan larangan-larangan yang timbul dari pengatahuan antara baik dan buruk ini, apa yang harus kita lakukan, Totiang?"

   "Kita sudah terlanjur mengenal baik dan buruk, tentu saja kita harus selalu mengabdi kebaikan, hanya dengan hati besar kita harus dapat mengampuni mereka yang kita angap melakukan perbuatan jahat setelah kita tahu bahwa perbuatannya itu merupakan pelanggaran bagi hukum yang sudah dikenalnya, berarti bahwa dia itu lemah, atau sedang sakit, terdorong oleh nafsunya sendiri sehingga melakukan hal-hal yang sebenarnya berlawanan dengan pengenalan hukum dalam sanubarinya sendiri."
(Lanjut ke Jilid 40)
Pedang Kayu Harum (Seri ke 01- Serial Pedang Kayu Harum)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 40
"Terima kasih atas petunjuk Totiang yang bijaksana."

   Kiang Tojin membuka matanya dan tersenyum kepada pemuda itu.

   "Semua orang bijaksana, orang muda yang baik. Di dunia tidak ada orang pandai atau bodoh. Yang sudah mengerti disebut pandai. Padahal yang sudah mengerti itu pun tadinya tidak mengerti, sebaliknya yang belum mengerti itu pun kelak akan mengerti. Karena itu, adalah menjadi, kewajiban kita untuk belajar mengerti, setelah mengerti lalu sadar, setelah sadar lalu menjadikan pengertian sebagai dasar setiap perbuatan."

   Demikianlah, menggunakan kesempatan itu Keng Hong menerima wejangan-wejangan dari ketua Kun-lun-pai itu, sedangkan orang-orang kang-ouw yang lain bersama pasukan dari Tai-goan mengadakan pembersihan terhadap mayat-mayat yang berserakan. Pembicaraan Keng Hong dan Kiang Tojin terhenti Sian Ti Sengjin datang berlutut di depan ketua Kun-lun-pai sambil berkata,

   "Suheng..., Sute yang penuh dosa datang menghadap."

   Kiang tojin memandang, sejenak pandang matanya penuh teguran dan keren, akan tetapi kemudian melunak dan dia berkata,

   "Sute, jauh lebih baik seorang yang sadar dan bertobat, menyesali dan mencuci kekotorannya daripada seorang yang menyombongkan kebersihannya. Pinto telah mendengar semua tentang dirimu dan merasa berbahagia dapat menerimamu kembali sebagai seorang murid Kun-lun-pai yang baik."

   Keng Hong lalu meninggalkan kedua kakak beradik seperguruan yang sudah rujuk kembali untuk membantu orang-orang lain mengurus mayat-mayat yang amat banyak. Kembali dia bersama Biauw Eng, Cong San dan Yan Cu mengubur mayat Tan Hun Bwee di tempat terpisah.

   Pada keesokan harinya, barulah pasukan pemerintah kembali ke Tai-goan dan para rokoh kang-ouw meninggalkan puncak Tai-hang-san. Biauw Eng tidak mau meninggalkan tempat itu karena dia hendak berkabung selama tiga hari di situ. Keng Hong menemaninya dan Cong San juga berpamit kepada suhengnya, Thian Kek Hwesio, untuk menemani Keng Hong dan Biauw Eng. Tentu saja Yan Cu tidak mau ketinggalan menemani Biauw Eng di puncak yang menyeramkan itu. Setelah semua orang pergi, sunyilah puncak Tai-hang-san, sunyi menyeramkan. Di tempat bekas pertempuran tampak banyak sekali gundukan tanah kuburan baru, dan untuk memudahkan pekerjaan, ada satu lubang yang diisi sampai lima mayat manusia. Hanya kuburan para tokoh besar saja yang dipisahkan, termasuk kuburan Pak-san Kwi-ong dan Pat-jiu Sian-ong.

   Biauw Eng merasa kasihan dan terharu sekali mengenang nasib sucinya, Tan Hun Bwee, yang pada akhir hidupnya mengorbankan nyawa dan berusaha untuk menolong mereka, duduk bersila di depan makam sucinya dengan wajah berduka. Keng Hong tidak mau mengganggunya, malah pemuda ini lalu mengukir nama-nama para tokoh di atas batu-batu dan memasang batu nisan sederhana ini kuburan masing-masing. Juga Cong San dan Yan Cu tidak berani mengganggu Biauw Eng. Sepasang orang muda ini tampak rukun dan sering kali bicara bisik-bisik sehingga diam-diam Keng Hong merasa girang sekali hatinya, mengharapkan agar sekali ini Yan Cu yang lincah itu benar-benar dapat menemukan cintanya! Tak seorang pun di antara orang muda ini mengira bahwa urusan di puncak itu belumlah habis sampai di situ saja. masih ada bahaya besar mengancam mereka.

   Bahaya yang merupakan diri seorang nenek tua renta, yang berlari cepat seperti terbang sambil kadang-kadang tertawa atau menangis tanda bahwa otaknya tidak waras. Nenek ini adalah Go-bi Thai-houw! Secara kebetulan saja Go-bi Thai-houw yang melakukan perjalanan mencari kedua orang muridnya, bertemu dengan Cui Im di kaki Gunung Tai-hang-san. Andaikata tidak bertemu dengan Cui Im, tentu nenek ini tidak akan mendaki puncak sambil berlari secepat terbang. Dia sedang berjalan seenaknya ketika mendengar suara rintihan dicampur isak tangis. Ketika melihat bahwa yang merintih-rintih dan menangis itu adalah seorang wanita muda cantik yang pundaknya terluka besar, nenek ini menghampiri, berdiri di depan Cui Im kemudian tertawa terkekeh-kekeh sambil menudingkan telunjuknya kepada Cui Im!

   "Ha-ha-ha, heh-heh, sungguh bocah lucu engkau! Lelah, setengah mati dan terluka, kenapa malah menangis?"

   Nenek itu lalu meletakkan telunjuk ke depan dahinya yang penuh keriput dan bertanya.

   "Eh, bocah lucu, apakah engkau begini?"

   Cui Im mengangkat mukanya dan biar pun dia sudah terluka lahir batin, kemarahannnya memuncak ketika ia diejek dan dianggap gila. Cepat ia meloncat dan memukul dada nenek itu.

   "Dessssss!"

   Cui Im terkejut karena dada yang dipukulnya itu lunak seperti kapas, maka maklumlah ia bahwa tentu nenek ini seorang yang lihai luar biasa.

   "Nenek gila! Siapa kau...?"

   Tiba-tiba ia teringat. Nenek yang gila dan amat lihai. Siapa lagi kalau bukan Go-bi Thai-houw? "Engkau... engkau Go-bi Thai-houw?"

   "Hi-hi-he-he-heh! Engkau benar gila tapi matamu tajam. Benar aku Go-bi Thai-houw, dan mengapa engkau menangis di sini?"

   Tiba-tiba Cui Im tertawa, tertawa didorong kecerdikannya yang pada saat seperti itu masih mempunyai akal untuk membalas kekalahannya.

   "Hi-hi-hik, nenek gila. Sekarang kau boleh mentertawakan aku yang menangis, akan tetapi engkau takkan bisa tertawa lagi kalau mendengar penuturanku tentang muridmu!"

   Biarpun otaknya miring, mendengar tentang muridnya, nenek itu cepat bertanya nafsu,

   "Di mana murid-muridku?"

   "Muridmu bernama Tan Hun Bwee dan Sie Biauw Eng, bukan? Muridmu Tan Hun Bwee itu pun gila seperti engkau?"

   "Setan kau! Muridku keduanya waras seperti aku, tidak gila seperti engkau?"

   Cui Im tidak mau berbantahan dengan seorang gila, cepat ia berkata,

   "Percuma saja kau mencari. Muridmu Tan Hun Bwee sudah dibunuh oleh Cia Keng Hong, tuh mayatnya masih menggeletak di atas puncak!"

   Cui Im sengaja berkata demikian padahal sudah sehari semalam ia sampai di kaki gunung ini dalam perjalanannya setengah merangkak.

   "Bedebah!"

   Tanpa bertanya lagi Go-bi Thai-houw lalu melompat dan lari seperti terbang cepatnya menuju ke puncak Tai-hang-san. Cui Im tertawa-tawa dan melanjutkan perjalanannya dengan terhuyung-huyung. Demikianlah, pada siang hari itu secara tiba-tiba Go-bi Thai-houw muncul di puncak dan begitu melihat Biauw Eng bersama tiga orang berada di situ, cepat ia berseru,

   "Mana Hun Bwee? Mana yang bernama Cia Keng Hong?"

   Semua orang terkejut dan menengok karena kedatangan nenek itu tidak mereka ketahui sama sekali, tahu-tahu nenek itu telah berada di situ!

   "Subo...!"

   Biauw Eng lari dan berlutut di depan Go-bi Thai-houw sambil menangis.

   "Subo... suci telah tewas...!"

   "Eh, Biauw Eng, apakah kau mendadak telah menjadi gila? Ha-ha-ha, Hun Bwee mati, kenapa engkau malah menangis?"

   Tentu saja Keng Hong, Cong San dan Yan Cu terkejut dan terheran-heran mendengar ucapan yang aneh ini. Biauw eng tahu bahwa bagi nenek ini, orang berduka harus tertawa, kalau senang barulah menangis. Betapa selama dia menjadi murid nenek itu dia dan Hun Bwee selalu harus ikut menggila. Akan tetapi kini dia tidak bernafsu untuk bermain sandiwara dan tangisnya mengguguk.

   "Subo... dia... Tewas...

   "Aku sudah tahu?"

   Nenek itu membentak.

   "Mana murid Sin-jiu Kiam-ong? Mana dia yang bernama Cia Keng Hong yang membunuh Hun Bwee?"

   Keng Hong terkejut. Dia sudah mendengar bahwa nenek sakti ini miring otaknya, maka cepat dia menghampiri, memberi hormat dan berkata,

   "Locianpwe, sayalah yang bernama Cia Keng Hong, murid Sin-jiu Kiam-ong dan tentang nona Tan..."

   "Wuuuuuttttt!"

   Nenek itu telah menghantamnya dengan gerakan yang cepat bukan main. Keng Hong terkejut, mengelak sambil menangkis, akan tetapi dia masih terpelanting. Nenek itu memiliki kekuatan yang mujijat!

   "Bagus, murid Sie Cun Hong engkau mampuslah!"

   Nenek itu menyerang lagi lebih hebat daripada tadi. Keng Hong kembali mengelak.

   "Locianpwe, tunggu dulu...! Bukan saya yang membunuhnya..."

   "Cerewet! Membunuh atau tidak, murid Sie Cun Hong harus mampus!"

   Kini serangan Go-bi Thai-houw benar-benar hebat dan gerangannya membingungkan Keng Hong yang terpaksa harus mengerahkan kecepatannya untuk mengelak sambil meloncat ke sana-sini.

   "Heh-heh-heh, engkau pandai juga, keparat!"

   Kini nenek itu mengeluarkan serangan dengan gerakan aneh dan lucu tampaknya kacau-balau akan tetapi setiap gerak tangannya mengeluarkan angin yang menyambar-nyambar seperti badai mengamuk. Keng Hong terkejut, maklum bahwa membantah pun percuma saja terhadap nenek gila yang amat lihai ini. Dia cepat mainkan Thai Kek Sin-kun dan menjaga dirinya rapat-rapat, mengelak sambil menangkis dengan kedua tangan, namun dalam belasan jurus saja dia sudah terdesak hebat dan dipaksa mundur terus.

   "Subo...!"

   Biauw Eng meloncat ke depan nenek itu menghalangi nenek itu menyerang Keng Hong.

   "Subo, jangan menyerang Keng Hong...!"

   "Apa kau bilang? Kau sudah gila? Dia murid Sie Cun Hong, hayo kau bantu aku membunuhnya!"

   Nenek itu membentak-bentak.

   "Tidak, Subo! Aku tidak akan menyerangnya, aku cinta kepadanya!"

   Nenek itu tertawa.

   "He-he-heh, justeru kalau cinta harus membunuhnya, tolol!"

   Keng Hong memandang penuh keharuan kepada Biauw Eng, penuh kemesraan. Terbayanglah dia dahulu ketika dia hendak dibunuh Lam-hai Sin-ni, gadis itu pun membelanya dan seperti juga sekarang, secara terang-terangan penuh ketulusan hati, gadis ini mengaku cinta kepadanya! Ah, Biauw Eng... hatinya menjerit.

   "Tidak Subo. Engkau tidak boleh menyerangnya, dan dia tidak membunuh suci Tan Hun Bwee!"

   "Apa? Engkau hendak membela Cia Keng Hong? Hendak membela murid Sin-jiu Kiam-ong? Engkau tidak mau membantu memusuhi Sie Cun Hong?"

   "Tidak mungkin, Subo, Sie Cun Hong itu adalah mendiang ayahku."

   "Heh...???"

   Agaknya untuk detik itu, kegilaan meninggalkan hati dan pikiran nenek itu dan ia memandang terbelalak.

   "Bukankah kau puteri Lam-hai Sin-ni?"

   "Ibuku memang Lam-hai Sin-ni, akan tetapi ayahku Sie Cun Hong yang berjuluk Sin-jiu Kiam-ong, karena itu tidak mungkin aku memusuhinya dan apalagi aku cinta kepada murid ayahku..."

   "Iblis!"

   Nenek itu menendang dan tubuh Biauw Eng mencelat sampai lima meter jauhnya. Gadis itu roboh berguling-guling akan tetapi cepat meloncat bangun lagi.

   "Keparat, kau puteri Sie Cun Hong, he-he-heh! Kalau begitu engkau pun harus mampus. Kau puterinya, dan Lam-hai Sin-ni sainganku, ha-ha-ha!"

   Nenek itu meloncat maju hendak menyerang Biauw Eng, akan tetapi Keng Hong sudah menghadangnya.

   "Locianpwe, harap sabar...!"

   "Mampus kau!"

   Go-bi Thai-houw menghantam kedua tangannya dan tampaklah uap hitam menyambar dari sepasang telapak tangannya. Keng Hong terkejut bukan main dan cepat dia membuang diri ke belakang, namun tetap saja dia masih merasa hawa yang amat dahsyat menyerempet pundaknya sehingga biarpun dia sudah berjungkir balik, tetap saja dia terbanting jatuh. Biauw Eng yang menyaksikan ini, cepat meloncat dan mengirim pukulan dari samping ke arah lambung nenek itu. Go-bi Thai-houw berusaha mengelak, namun kepalan tangan Biauw Eng masih masih menyerempet pinggulnya sehingga kuda-kudanya tergempur dan ia meloncat ke belakang sambil memasuki.

   "Aku tidak mengaku engkau sebagai murid, engkau musuhku!"

   "Terserah! Aku hanya berhutang budi setahun lamanya padamu, akan tetapi aku telah berhutang budi selamanya terhadap orang tuaku, terutama ibuku. Tak mungkin aku mendiamkan saja engkau memaki-maki orang tuaku, terutama ibuku!"

   Biauw Eng juga membentak arah dan kembali ia menyerang. Hampir saja lengannya dapat ditangkap oleh nenek yang lihai itu kalau saja Keng Hong tidak cepat menyambar tubuh Biauw Eng ke samping dan mengirim tendangan yang dapat ditangkis oleh Go-bi Thai-houw. Pada saat itu, Cong San dan Yan Cu juga maju membantu dan mengeroyok nenek itu. Dikeroyok empat orang muda yang memiliki ilmu silat tinggi, nenek itu kewalahan juga, memaki-maki dan menyeling tangis dan tawa. Menyaksikan kehebatan si nenek gila, Cong San dan Yan Cu mencabut pedang, juga Biauw Eng telah melolos sabuk suteranya, akan tetapi Keng Hong berseru,

   "Jangan pergunakan senjata!"

   Cong San dan Yan Cu segera menyimpan pedang mereka kembali, akan tetapi Biauw Eng memandang penasaran.

   "Kenapa, Keng Hong? Dia gila dan jahat!"

   "Justeru karena dia tidak waras pikirannya kita harus dapat memaafkannya Biauw Eng. Pula, sedikitnya dia adalah gurumu. Kau tidak boleh membunuhnya."

   Nenek itu mengamuk dengan hebat dan karena Keng Hong melarang teman-temannya membunuh, mereka berempat menjadi bulan-bulanan pukulan dan tendangan nenek itu sehingga berganti-ganti empat orang muda itu terpelanting dan terlempar.

   Pukulan-pukulan empat orang muda itu jika mengenai tubuh si nenek hanya membuat nenek itu bergoyang tubuhnya. Hanya pukulan Keng Hong yang membuat ia terhuyung dan hampir roboh. Kalau saja Keng Hong menggunakan seluruh tenaganya, agaknya dibantu tiga orang muda yang lihai itu tentu dia dapat memukul tewas lawannya. Namun pemuda yang bijaksana ini tidak menghendaki demikian. Untuk ke sekian kalinya, ketika nenek itu sibuk menangkis serangan Biauw Eng, Cong San dan Yan Cu, Keng Hong dapat menampar punggungnya dari belakang. Nenek itu menggeluarkan keluhan dan tubuhnya terpelanting, akan tetapi sambil bergulingan ia berhasil menyambar pinggang Yan Cu, terus mengempit tubuh dara ini dan mengayun tangan memukul ke arah ubun-ubun Yan Cu!

   "Celaka...!"

   Cong San berseru kaget dan dengan nekat dia menubruk nenek itu, menangkap tangannya dan menelikung ke belakang.

   Juga Biauw Eng sudah menubruk dan menarik tangan satunya yang mengempit pinggang Yan Cu, sedangkan Keng Hong maju pula menotok pundak untuk membuat nenek itu roboh lemas. Akan tetapi, betapa kaget hati Keng Hong ketika jari tangannya menotok jalan darah yang seolah-olah kering dan kaku seperti kawat baja! Nenek itu tertawa, tubuhnya bergoyang seperti seekor anjing mengeringkan bulu dan... tubuh Yan Cu, Cong San dan Biauw Eng terlempar dan terbanting keras ke kanan kiri! Tiga orang muda ini bergulingan dan meloncat bangun, tidak terluka akan tetapi amat kaget dan sedikitnya kulit tangan kaki mereka babak-bundas! Nenek itu mendengus-dengus, tertawa-tawa bercampur isak, dikurung seperti seekor anjing gila digoda empat orang anak nakal. Tiba-tiba terdengar suara halus namun nyaring berwibawa,

   "Hian Wi...!"

   Apa yang kau lakukan ini...??"

   Go-bi Thai-houw kelihatan terkejut sekali, wajahnya pucat, matanya terbelalak dan tubuhnya cepat membalik ke arah suara halus itu. Ketika ia melihat seorang nenek tua lain berdiri tak jauh dari situ dengan sikap agung dan angkuh memandangnya, Go-bi Thai-houw menjadi makin ketakutan, tubuhnya gemetar dan ia lalu menjatuhkan diri berlutut!

   "Ahhhhh... Nyonya... am... Ampunkan hamba.. hamba tidak apa-apa...!"

   Nenek yang berdiri dengan sikap angkuh dan agung bukan lain adalah Tung Sun Nio. Sejenak ia memandang nenek gila itu, kemudian berkata dengan suara dingin,

   "Hemmm... kalau begitu, pergilah, Hian Wi!"

   "Baik.. baik... Nyonya!"

   Nenek gila itu memberi hormat dengan berlutut, kemudian sekali tubuhnya bergerak, ia sudah mencelat dan lari turun dari puncak seperti dikejar setan!

   "Subo...!"

   Keng Hong dan Yan Cu lari menghampiri dan menjatuhkan diri berlutut di depan Tung Sun Nio yang masih menengok ke arah larinya Go-bi Thai-houw.

   Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Subo, sungguh menakjubkan! Go-bi Thai-houw itu lihai bukan main, kepandaiannya seperti iblis, akan tetapi dia begitu takut kepada Subo. Mengapakah?"

   Yan Cu yang memang berwatak jenaka bertemu gurunya sudah bertanya dengan ramah. Agaknya pertemuannya dengan Go-bi Thai-houw itu menimbulkan kenang-kenangan yang amat mempengaruhi batin Tung Sun Nio sehingga sejenak ia seperti lupa akan segala urusan yang dihadapi, melainkan terbayang kembali semua pengalaman masa dahulu. Seperti orang mimpi ia menjawab pertanyaan Yan Cu.

   "Mengapa? Dia bernama Oh Hian Wi, semenjak kecil menjadi pelayan ibuku, bahkan setelah aku menikah dengan Sie Cun Hong, dia lalu ikut bersamaku, menjadi pelayanku. Biarpun pelayan, dia kami perlakukan dengan baik, malah diberi pelajaran ilmu silat sesuai dengan pelayan keluarga ahli silat. Akan tetapi... Nenek itu menarik napas panjang.

   "dia tergila-gila kepada suamiku, ketahuan olehku, merasa bersalah dan melarikan diri. Sungguh tidak nyana dia sekarang menjadi Go-bi Thai-houw yang gila, ilmu kepandaiannya jauh melebihi aku, akan tetapi rasa bersalah masih menggores hatinya maka dia ketakutan berjumpa denganku..."

   Keterangan ini membuat Keng Hong, Biauw Eng, Cong San dan Yan Cu tercengang. Pantas saja nenek gila itu lari seperti seekor anjing diancam penggebuk! Dan untung nenek itu lari karena sesungguhnya nenek itu memiliki ilmu kepandaian yang tidak lumrah manusia! Tung Sun Nio agaknya masih terharu dan perjumpaannya dengan bekas pelayan itu membuat ia termenung, tenggelam dalam lamunan sehingga keadaan menjadi sunyi sejenak. Tiba-tiba nenek itu sadar kembali dan kini pandang matanya ditujukan kepada Yan Cu dan Keng Hong, kemudian terdengar suaranya dingin dan keras,

   "Keng Hong! Yan Cu! Apa yang telah kalian lakukan? Mengapa kalian melarikan diri?"

   "Subo, teecu ingin mencari pengalaman, maka teecu mengajak suheng untuk pergi merantau,"

   Kata Yan Cu.

   "Maaf, Subo. Teeculah yang mengajak Sumoi pergi untuk meluaskan pengalaman, teecu yang bersalah dalam hal ini."

   "Tidak, Subo, Suheng tidak bersalah, teecu yang bersalah dan kalau Subo hendak menjatuhkan hukuman, teecu siap menerimanya,"

   Bantah Yan Cu.

   "Sumoi tidak bersalah, teecu yang harus dihukum."

   Keng Hong tidak mau mengalah. Tung Sun Nio yang biasanya berwajah dingin dan ura itu tersenyum.

   "Bagus, agaknya sekarang kalian sudah saling membela dan saling melindungi. Itu artinya kalian saling mencinta! Anak-anak nakal, aku memaafkan kalian. Mari kita pulang dan akan kurayakan pernikahan kalian!"

   "Tidak...!"

   Teriakan ini terdengar hampir berbarengan dari mulut Keng Hong dan Yan Cu sehingga mengejutkan hati Tung Sun Nio. Nenek ini seketika kehilangan senyum dan seri wajahnya, memandang tajam penuh kemarahan.

   "Apa kalian bilang? Sekarang juga kalian harus ikut aku pulang dan menikah. Hayo jawab!"

   "Tidak, Subo!"

   Kembali kedua orang muda itu menjawab serempak dan wajah nenek itu menjadi merah. Cong San dan Biauw Eng hanya mendengarkan sambil menonton dengan hati tegang.

   "Keng Hong! Mengapa kau berani membangkang?"

   "Maaf, Subo. Teecu tidak mungkin dapat menikah dengan Yan Cu Suoi karena teecu mencinta gadis itu!"

   Keng Hong menunjuk ke arah Biauw Eng yang tiba-tiba menundukkan mukanya dengan wajah kemerahan.

   "Setan! Engkau mewarisi watak gurumu! Siapa gadis ini?"

   "Dia bernama Sie Biauw Eng dan dia... Dia... dia adalah puteri suhu sendiri."

   "Apa??"

   Mata nenek itu terbelalak memandang ke arah Biauw Eng.

   "Puteri ... Sie Cun Hong?"

   "Benar, Subo. Ibunya adalah mendiang Lam-hai Sin-ni. Teecu dan dia sudah saling mencinta semenjak dahulu, mengharapkan kebijaksanaan Subo."

   Wajah nenek yang masih cantik itu kerut-merut tanda bahwa hatiya terguncang. Kemudian ia menunduk, memandang Yan Cu membentak,

   "Dan engkau, Yan Cu?"

   "Teecu tidak dapat menikah dengan Suheng karena... karena... Dara itu tiba-tiba menjadi merah mukanya dan melirik ke arah Cong San, kemudian menggigit bibir seolah-olah hendak menambah ketabahannya dan berkata lantang.

   "Karena teecu mencinta pemuda lain..."

   "Siapa dia?"

   Bentak gurunya, tercengang mendengar semua ini.

   "Dia itulah...!"

   Yan Cu menuding ke arah Cong San dan pemuda ini memandang dengan wajah berseri penuh kebahagiaan. Baru sekarang Yan Cu menyatakan cinta kasih dengan kata-kata, bahkan pengakuan ini dilakukan di depan banyak orang! Hampir Cong San menari-nari kegirangan dan tiba-tiba sinar matahari makin gemilang baginya, dunia tampak seperti sorga! Seperti tadi, nenek itu memandang Cong San dengan sinar mata penuh selidik bercampur kemarahan.

   "Siapa pemuda ini?"

   "Dia bernama Yap Cong San, murid ketua Siauw-lim-pai. Kami sudah saling mencinta, Subo, maka hanya dengan dialah teecu mau menikah."

   Hening sejenak, keheningan yang mencekam hati empat orang muda penuh ketegangan. Tiba-tiba nenek itu membanting kakinya dan menjerit,

   "Tidak...!! Kalian tunduk kepadaku. Kalian harus pulang sekarang juga dan melangsungkan pernikahan!"

   "Teecu tidak mau, Subo!"

   Yan Cu berkata dengan isak tertahan.

   "Murid celaka!"

   Tung Sun Nio menggerakkan kakinya menendang.

   "Desss!"

   Tubuh Yan Cu terlempar jauh dan bergulingan.

   "Moi-moi...!"

   Cong San menubruk dan memeluk gadis itu, membantunya bangun.

   "Subo, jangan...!"

   "Kau pun murid celaka!"

   Kakinya menendang lagi. Kalau Keng Hong menghendaki, tentu saja akan mudah baginya untuk mengelak atau menangkis, akan tetapi dia tidak berani melakukan perlawanan.

   "Desss!"

   Tubuhnya pun terlempar.

   "Keng Hong...!"

   Biauw Eng menubruknya. Dua pasang orang muda itu berpelukan dan memandang kepada nenek itu yang menjadi makin marah.

   "Keparat, kubunuh kalian kalau tidak mau menurut!"

   Bentaknya dan sekali ia sudah mendekati Keng Hong yang berpelukan dengan Biauw Eng, menendang lagi. Biauw Eng menggerakkan tangan menangkis, akan tetapi tangannya cepat dipegang Keng Hong yang membiarkan dirinya ditendang.

   "Desss!!"

   Kini tubuh Keng Hong dan Biauw Eng keduanya terpental dalam keadaan masih berangkulan dan bergulingan di atas rumput. Nenek yang sudah marah itu meloncat dan menendang Yan Cu dan Cong San yang juga terlempar dalam keadaan saling berpelukan. Sungguh sial empat orang muda itu. Baru saja mereka dihajar oleh Go-bi Thai-houw si nenek gila sampai babak bundas, kini dihajar oleh Tung Sun Nio sampai dua kali terguling-guling dan kulit mereka bertambah lecet-lecet!

   "Subo, pernikahan tak dapat dipaksakan!"

   Keng Hong berseru.

   "Apa artinya perjodohan tanpa cinta kasih? Apakah Subo hendak mengulang kembali peristiwa antara Subo dengan mendiang Suhu?"

   Nenek itu tiba-tiba berhenti dan tubuhnya seperti kaku mendengar seruan Keng Hong ini. Wajahnya menjadi makin merah dan matanya seperti mengeluarkan api yang akan membakar empat orang muda itu. Bibirnya menggigil dan sukar sekali ia mengeluarkan kata-kata, kemudian ia menjerit,

   "Apa...??"

   Tangannya meraba gagang pedang dan sinar maut membayangi pandang matanya!

   "Omitohud...! Tepat sekali ucapan orang muda ini. Sun Nio, mengapa engkau belum insyaf?"

   Tiba-tiba terdengar suara yang halus. Nenek itu terpekik dan membalikkan tubuhnya. Sejenak ia berdiri terbelalak memandang hwesio tua yang berdiri di situ dengan wajah tenang dan sinar mata penuh kebijaksanaan. Nenek itu seolah-olah telah berubah menjadi arca, menatap hwesio itu dengan mata terbelalak dan mulut ternganga.

   "Suhu...!"

   Cong San yang masih memeluk Yan Cu melepaskan gadis itu dan menjatuhkan diri berlutut di tempatnya memberi hormat kepada hwesio yang bukan lain adalah gurunya sendiri, Tiong Pek Hosiang ketua Siauw-lim-pai! Kalau Tung Sun Nio dapat tiba di puncak Tai-hang-san untuk mencari dan menyusul dua orang muridnya, adalah ketua Siauw-lim-pai ini yang merasa tidak tenteram hatinya ingin menghadiri pertemuan puncak menyusul murid-muridnya yang mewakilinya.

   "Tiong-koko...!"

   Nenek itu akhirnya menjerit, lari menghampiri hwesio itu dan berlutut di depannya, merangkul kedua kakinya dan menangis terisak-isak.

   "Tiong-koko... Puluhan tahun aku mencarimu... Betapa kejam hatimu meninggalkan aku. Siapa kira... Ketua Siauw-lim-pai adalah engkau... Hu-hu-huuuk... Kiranya engkau menjadi hwesio..."

   "Omitohud.. tenangkan hatimu, Sun Nio. Aku menjadi hwesio untuk menebus dosaku yang amat besar terhadap mendiang suamimu, Sie Cun Hong Taihiap. Dan untuk melupakanmu."

   Nenek itu menangis makin mengguguk di depan kaki Tiong Pek Hosiang, sedangkan empat orang muda itu memandang dengan melongo. Kembali mereka disuguhi pemandangan yang aneh dan tidak terduga-duga.

   "Kalian dengarlah penuturan pinceng, orang-orang muda, agar dapat kalian jadikan contoh. Memang tadi pinceng kagum mendengar bantahan orang muda murid Sin-jiu Kiam-ong dan memanglah, jodoh yang dipaksakan tanpa cinta kasih hanya akan mengakibatkan hal-hal yang tidak menyenangkan. Contohnya adalah Tung Sun Nio ini sendiri. Tanpa cinta kasih dijodohkan orang tuanya dengan Sie Cun Hong, padahal dia mencinta Ouw-yang Tiong, yaitu pinceng sendiri! Kalau saja Sie Cun Hong bersikap bijaksana dalam hubungan suami isteri, agaknya Sun Nio perlahan-lahan akan dapat melupakan pinceng. Akan tetapi sayang, Sie Cun Hong mempunyai watak romantis, suka berenang dalam lautan nafsu sehingga Sun Nio menderita batin dan makin condong hatinya terhadap pinceng! Malapetaka menimpa ketika pinceng yang memang sejak dahulu bersahabat dengan Sie-taihiap, mengunjungi mereka. Cinta kasih lama kambuh, getaran perasaan meluap sehingga Sun Nio dan pinceng lupa diri, menjadi hamba nafsu melakukan pelanggaran!"

   Hwesio tua itu menghela napas panjang.

   "Menyesal pun sudah kasep, pinceng melarikan diri dan tekun menjadi hwesio di Siauw-lim-si sehingga akhirnya terangkat menjadi ketua. Sungguh menyesal sekali bahwa rumah tangga Sie-taihiap menjadi berantakan, Sie-taihiap makin menggila dan Sun Nio.. Ah, sungguh kasihan dia...!"

   "Tiong-koko.. hu-huuuuukkkk...!"

   Nenek itu menangis tersedu-sedu dan hati empat orang muda yang mendengarkan penuturan ini menjadi terharu sekali. Bahkan Biauw Eng dan Yan Cu tak dapat menahan mengalirnya air matanya. Yan Cu terisak dan menubruk subonya, menangis berpelukan dengan gurunya yang bernasib malang menjadi korban cinta kasih.

   "Demikiankahlah, anak-anak. Cinta adalah perasaan yang suci dan gaib, kekuasaannya besar sekali mempengaruhi kehidupan manusia. Cinta yang murni membutuhkan kesadaran dan kebijaksaan karena memiliki cabang-cabang yang dapat membingungkan manusia dan kalau tidak hati-hati dapat dikotori nafsu berahi semata sehingga menyeret manusia menjadi hamba nafsu. Cinta bukan hanya meminta, melainkan lebih banyak memberi, tidak hanya menuntut disenangkan, melainkan terutama sekali harus menyenangkan orang dicintanya. Cinta suci telah diberikan oleh Thian kepada manusia, tengoklah sekelilingmu, sedemikian besar dan suci cinta kasih dari Thian Yang Maha Kasih, menciptakan alam dan memberikan seluruhnya kepada manusia tanpa menuntut sesuatu! Ingatlah akan cinta orang tua terhadap terhadap anaknya, terutama cinta seorang ibu kepada anaknya, hanya memberi, memberi dan memberi! Kalau cinta antara pria dan wanita, yang dibahayakan oleh nafsu yang menjadi cabangnya, mencontoh cinta kasih murni itu, memberi, menyenangkan, pinceng kira cinta kasih itu akan menjadi sumber kebahagiaan suami isteri."

   Yan Cu memandang kepada hwaseio itu dengan terharu dan wajah berseri. Kini dia telah mendapatkan cinta yang dicari-carinya, dalam diri... Cong San!

   "Sun Nio. Engkau telah banyak menderita karena cinta. Apakah engkau sekarang ingin melihat muridmu menderita pula seperti engkau karena cinta? Muridmu mencinta muridku Cong San. Nah, sekarang pinceng mempergunakan kesempatan ini untuk mengajukan pinangan atas diri muridmu yang menjadi jodoh muridku. Bukankah ini pemecahan yang amat baik, Sun Nio? Sewaktu kita berdua masih berada di ambang pintu kematian, sudah sama-sama tua, kita masih dapat melanjutkan ikatan di antara kita, menjadi besan! Muridmu menjadi isteri muridku, bukankah hal ini amat membahagiakan?"

   Nenek itu menyusut air matanya, lalu perlahan bangkit berdiri, masih merangkul Yan Cu. Ia menganggung-angguk, kemudian dengan suara serak bertanya,

   "Yan Cu, engkau kusayang seperti anakku sendiri. Benarkah engkau mencinta Cong San?"

   "Benar, Subo."

   "Baiklah, Tiong-koko.. Eh, bukankah sekarang namamu Tiong Pek Hosiang? Aku menerima pinanganmu, akan tetapi pernikahan harus dirayakan di tempatku."

   Tiba-tiba Keng Hong yang masih berlutut,

   "Subo, teecu sudah tidak mempunyai orang tua, tidak mempunyai wali. Subo sebagai isteri mendiang Suhu merupakan satu-satunya orang yang dapat teecu anggap sebagai wali. Sudikah Subo memberi ijin kepada teecu untuk berjodoh dengan Sie Biauw Eng?"

   Biauw Eng yang cerdik cepat pula berkata,

   "Locianpwe adalah isteri pertama dari ayahku, maka Locianpwe juga merupakan ibu tiriku, maka aku mohon doa restu Locianpwe."

   "Ha-ha-ha-ha-ha...!"

   Tiong Pek Hosiang tertawa.

   "Omitohud...!"

   Betapa besar berkah yang dilimpahkan oleh Thian kepada kita semua! Sun Nio, tidak dapatkah kau melihat betapa membahagiakan peristiwa ini? Cia Keng Hong adalah murid Sie Cun Hong, Sie Biauw Eng adalah puterinya dan anak tirimu. Gui Yan Cu adalah muridmu, dan Yap Cong San adalah murid pinceng. Dahulu, cinta segi tiga antara kita orang-orang tua menimbulkan derita, kini keturunan kita mengakhiri derita itu dengan penggabungan kembali keturunan kita bertiga, menjadi satu! Terima kasih kepada Thian yang memberi kebahagiaan ini kepada kita!"

   Tung Sun Nio tersenyum dan sinar terang membuat wajahnya yang dahulu selalu muram itu menjadi berseri. Ia mengangguk-angguk memandang Biauw Eng, bulu matanya basah dan air matanya mengalir turun ketika Biauw Eng bangkit dan memelukya sambil menangis.

   "Kita rayakan bersama! Bagus sekali, dua pasang pengantin kita rayakan pernikahannya secara besar-besaran!"

   Kata Tiong Pek Hosiang.

   "Akan pinceng undang semua sahabat kang-ouw! Bukan pernikahan kecil-kecilan karena yang menikah adalah puteri Sie Cun Hong, murid Tung Sun Nio, dan murid Ouwyang Tiong. Ha-ha-ha-ha-ha! Marilah, Sun Nio, dan kalian anak-anak yang baik, mari kita turun dari puncak ini."

   Maka turunlah dua pasang orang muda dan sepasang kakek nenek itu dari puncak Tai-hang-san, meninggalkan gundukan-gundukan tanah yang dalam kebisuan mengajak manusia bahwa segala keributan yang dibuat manusia di dunia sewaktu masih hidup, sebenarnya hanya keributan kosong belaka karena kesemuanya itu akan berakhir dengan tiada dan sunyi tanpa bekas! Bahwa segala macam kesenangan, kedukaan dan permainan perasaan yang menguasai manusia sewaktu hidup, hanya seperti angin lalu yang mempermainkan daun-daun dan bunga-bunga pohon tiada hentinya sampai berakhir dengan gugur dan rontoknya daun-daun dan bunga-bunga itu dari tangkainya. Keng Hong bergandeng tangan dengan Biauw Eng. Cong San bergandeng tangan dengan Yan Cu.

   Dua pasang orang muda ini berjalan di lereng belakang nenek dan kakek. Mereka tersenyum-senyum, kadang-kadang saling pandang dengan sinar mata berseri-seri penuh kebahagian hidup. Mereka bergembira, memang. Hasrat hati yang tercapai menimbulkan kegembiraan, bukan kebahagian. Kebahagian sejati tidak dapat di capai dengan jangkauan, hanya kesenangan yang dapat dicari dan didapatkan. Kebahagiaan sejati, tidak dapat dicapai dengan jangkauan, hanya kesenangan yang dapat dicari dan didapatkan. Kebahagiaan sejati sudah ada dalam diri setiap orang manusia. tenggela di dasar telaga hati, tergantung pada tali kesadaran. Kalau air telaga menjadi keruh karena getaran gelombang nafsu, maka takkan tampaklah dia. Hanya hati yang hening jernih saja yang akan membuat dia tampak melalui kesadaran.

   Kota kecil Sun-ke-bun terletak di tepi Sungai Fen-ho di sebelah selatan kota besar Tai-goan dan masih termasuk wilayah kaki Gunung Tai-hang-san. Pagi hari itu kota kecil Sun-ke-bun diselimuti kabut dingin yang bergerak perlahan turun dari arah lereng-lereng Gunung Tai-hang-san, akan tetapi Sungai Fen-ho sendiri mengepulkan kabut yang hangat. Perang saudara yang berkobar karena perebutan kekuasaan antara Raja muda Yung Lo dan keponakannya yang menjadi kaisar Kerajaan Beng telah padam. Perang selesai dengan kemenangan di fihak Raja Muda Yung Lo yang kemudian naik tahta Kerajaan Beng di tahun 1403. Setelah memindahkan pusat pemerintahan di Peking yang dijadikan ibu kota. Pemerintah yang baru ini masih sibuk membangun kerusakan-kerusakan akibat perang sehingga belum sempat mengatur daerah-daerah yang jauh dari ibu kota.

   Seperti lajin terjadi di dunia ini, kalau kedudukan pemerintah belum teratur, maka keamanan pun belum dapat terjamin penuh dan muncullan kekuasaan-kekuasaan liar sehingga terjadi hukum rimba. Siapa kuat dia menang dan berkuasa. Dalam keadaan sekacau itu, rakyat yang tinggal di dusun-dusun dan di kota-kota kecil yang jauh dari ibu kota, di cekam rasa ketakutan dan terpaksa tunduk kepada kekuasaan liar yang merajalela. Bajak, rampok dan golongan hitam (penjahat) berpesta-pora, melakukan segala macam perbuatan maksiat tanpa ada yang berani melarangnya. Bahkan para pembesar setempat yang masih belum tentu keadaannya dan kedudukannya berhubung dengan peralihan kekuasaan di pemerintah pusat, terpaksa lunak dan mengalah terhadap orang-prang golongan hitam.

   Kota Sun-ke-bun tidak terkecuali dari keadaan itu. Kota kecil ini seakan-akan dikuasai dan diperintah oleh para pembesar lemah bersama kaum hitam! Betapa pun juga, rakyat yang selalu tunduk akan keadaan karena terpaksa itu dapat menyesuaikan diri dengan keadaan kota itu tetap ramai dan seolah-olah di situ tidak terdapat penindasan dan kekacauan. Pagi hari itu toko-toko dan warung-warung makan belum buka, bahkan pintu-pintu rumah penduduk banyak yang belum buka karena mereka sibuk dengan pekerjaan di dalam dan di belakang rumah. Hawa amat dinginnya, membuat orang segan keluar rumah. Jalan-jalan rumah-rumah penduduk masih sunyi sekali. Orang-orang segan bermandi kabut dingin di luar rumah. Akan tetapi, sesosok bayangan orang yang hampir tak tampak ditelan kabut dingin, berjalan memasuki kota Sun-ke-bun dari pintu timur.

   Ia berjalan terseok-seok terhuyung-huyung dan keadaannya seperti orang kehabisan tenaga, kadang-kadang berhenti dan menyandarkan diri di luar dinding rumah orang untuk mengatur napas. Diselimuti kabut yang tebal, sukar menentukan siapa orang itu, laki-laki atau wanita, tua atau muda, hanya yang sudah pasti orang itu tentu dalam keadaan menderita kelelahan atau mungkin dalam keadaan sakit. Tiba-tiba kesunyian dipecahkan suara derap kaki kuda yang datang dari selatan. Serombongan orang berkuda lewat di jalan itu, akan tetapi mereka tidak melihat orang yang bersandar pada dinding rumah di pinggir jalan. Mereka terdiri dari tujuh orang laki-laki yang berpakaian seperti orang-orang kang-ouw, dengan senjata di pinggang atau punggung. Sikap mereka kasar dan mereka kini menjalankan kuda perlahan sambil tertawa-tawa dan bercakap-cakap.

   "Setan! Malas-malas benar penduduk kota ini, seperti babi!"

   "Kalau kita bakar rumah-rumah mereka, hendak kulihat apakah mereka akan tetap berpelukan dengan isteri mereka di bawah selimut. Ha-ha-ha!"

   "Sialan! Semua masih tutup dan perutku sudah lapar sekali! Seekor lembu pun bisa habis kuganyang pada saat ini!"

   "Itu ada rumah makan. Gedor saja, paksa pemiliknya suruh buka melayani kita!"

   "Bagaimana kalau dia belum membeli daging?"

   "Ha-ha-ha! Koki restoran mesti gemuk, kita sembelih saja dia dan masak dagingnya!"

   Mereka tertawa-tawa dan menghentikan kuda di depan sebuah rumah makan "Arak Merah"

   Yang masih tertutup daun pintunya, berloncatan turun, mengikatkan kendali kuda pada tempat yang disediakan untuk itu di luar, kemudian sambil tertawa-tawa mereka berteriak-teriak kasar dan parau sambil menggedor pintu rumah makan "Arak Merah".

   "Duk-duk-brukkk! Buka pintu, babi malas! Cepat... kalau tidak kuhancurkan pintu ini!"

   Dari dalam terdengar suara bakiak terdaruk-saruk dan terdengar suara orang tergesa-gesa,

   "Baik...baik...! Harap sabarlah...akan saya buka pintunya!"

   Tujuh orang laki-laki itu tertawa bergelak dan daun pintu terbuka lebar-lebar oleh seorang laki-laki setengah tua yang bertubuh gemuk sekali, pakaiannya masih tidak karuan, bercelana akan tetapi tidak berbaju sehingga daging dadanya yang bulat seperti buah dada wanita dan perutnya yang berlipat lima itu tampak. Munculnya pemilik restoran yang amat gemuk ini memancing ketawa tujuh orang tadi.

   "Ha-ha-ha-ha-ha! Benar-benar babi gemuk yang sudah sepatutnya disembelih!"

   "Tentu tebal gajihnya!"

   "Wah, Sam-can (potongan daging lemak kulit) yang lezat nih, apalagi kalau dipanggang setengah matang!"

   "Akan tetapi harus banyak jahe dan mericanya, kalau tidak... wah minta ampun bau keringatnya! Ha-ha-ha!"

   "Buntutnya untuk aku saja..."

   "Bodoh, makin besar babinya, makin kecil buntutnya,ha-ha-ha!"

   Pemilik restoran itu sudah terbiasa akan sikap kasar orang-orang seperti ini, maka dia tidak menjadi takut. Dia maklum bahwa orang-orang kang-ouw yang kasar ini tidak akan mengganggunya, hanya suka menggodanya, dan paling-paling mereka ini datang karena membutuhkan makan dan minum. Maka dia tertawa lebar, menyeringai seperti babi menguap dan berkata,

   "Wah, wah, tentu Chit-wi Taihiap (Ketujuh Pendekar Besar) hanya main-main saja. Babi gemuk yang tua seperti saya ini tentu alot dan nyinyir!"

   Seorang di antara ketujuh orang yang tertawa-tawa mendengar ini, yang jenggotnya dipotong pendek sehingga merupakan sikat kawat dan bermata bundar, melotot sambil membentak,

   
Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Kami boleh main-main, akan tetapi perut kami yang lapar dan golok kami yang haus darah tidak main-main. Lekas sediakan masakan yang paling lengkap, arak merah yang paling keras dan wangi. Kalau tidak ada kayu bakar, kami akan cabut daun pintu restoranmu untuk kayu bakar, kalau tidak ada air, darahmu pun boleh dibuat pengganti dan kalau tidak ada daging... hemmm..."

   Si brewok menusukkan telunjuknya perlahan ke perut pemilik restoran.

   "...biar alot, dagingmu pun boleh kau panggang untuk kami!"

   Pemilik restorang bergelak bersama mereka sambil mengangguk-angguk,

   "Ada, semua siap. Chit-wi tunggu sebentar, akan saya masakan sop buntut naga, kuah telinga harimau, dan panggang paha burung hong!"

   "Babi tua penipu! Nama masakanmu selalu sepeti dewa, siapa tidak tahu bahwa nagamu itu hanya ular sawah, harimaumu hanya kelinci dan burung hong itu hanya ayam!"

   "Hayo cepat, kami sudah lapar sekali, jangan-jangan kawan-kawanku tidak sabar lagi dan mengganyang dagingmu hidup-hidup! Ha-ha-ha!"

   Si pemilik restoran yang gendut itu berlari anjing ke dalam sambil berteriak-teriak nyaring,

   "Heh, kucing betina! Hayo cepat berpakaian dan masak air, panaskan arak. Tidur saja kerjanya!"

   Tujuh orang itu yang sudah melepaskan pedang dan golok di atas meja dan menyeret-nyeret kursi, tertawa.

   "Babi tua, kalau binimu itu sudah mogok tidur, engkau yang berkaok-kaok ketagihan, ha-ha-ha!"

   Tak lama kemudian muncullah isteri si pemilik restoran yang tubuhnya kurus sekali, berlawanan dengan suaminya, disusul pula oleh dua orang kacung pelayan restoran yang masih menggosok-gosok mata yang penuh tahi mata.

   "Kalian semua cuci muka dulu dan mencuci tangan bersih-bersih!"

   Teriak si brewok yang agaknya menjadi pemimpin tujuh orang berkuda itu. Selagi si pemilik restoran dibantu isteri dan dua orang kacungnya sibuk di dapur untuk menyiapkan masakan dan arak, tujuh orang itu bercakap-cakap. Mereka duduk seenaknya di tempat yang masih kosong itu. Ada yang menaruh kedua kakinya di atas meja dan menyandarkan leher di sandaran kursi sambil melenggut karena lelah dan mengantuk, ada yang duduk metongkrong di atas meja. Si brewok mengeluarkan sebatang huncwe dan mulailah mengisap tembakau yang baunya memenuhi ruangan restoran yang cukup luas itu.

   "Twako, apakah kantung itu tidak perlu dibawa ke sini?"

   Seorang di antara mereka yang termuda, usianya tiga puluhan tahun, bertubuh tinggi tegap dan berwajah tampan, berbeda dengan enam orang kawannya yang lebih tua dan yang semua berwajah kasar buruk, bertanya kepada si brewok. Si brewok menghembuskan asap tembakaunya dan mendengus sambil membuang kerling keluar restoran di mana tampak kuda mereka tertambat.

   "Phuah Siapa berani mengganggu milik kita? Biar saja di sana. Siauw-ong tentu belum bangun sepagi ini, nanti dari sini kita langsung ke gedungnya dan menyerahkan hasil kita semalam."

   "Wah, sungguh menjemukan. Hanya perhiasan dan benda mati yang kita dapat! Tiga orang perempuan yang di kapal itu hanya nenek-nenek. Sialan! Biasanya tentu ada gadis-gadis cantik di kapal pesiar itu!"

   Berkata seorang yang dahinya codet bekas goresan senjata tajam.

   "Boan-te, mengapa mengomel? Setelah selesai menghadapi Siauw-ong, apa sukarnya mencari perempuan cantik di kota ini? Tentu banyak persediaan untuk kita, dan Siauw-ong tentu takkan melupakan jasa kita semalam. Ha-ha-ha!"

   Kata seorang yang matanya juling. Tak lama kemudian pemilik restoran yang gendut dibantu isterinya yang kurus dan dua orang kacungnya keluar membawa hidangan yang masih mengepul panas dan mengeluarkan bau sedap, membuat tujuh orang yang kelaparan itu menitikkan air liur. Si mata juling dengan gerakan kurang ajar mencubit pinggul isteri pemilik restoran yang sudah setengah tua itu sambil berkata,

   "Eh, Gendut, isterimu begini kurus dan engkau begini gendut, bagaimana bisa? Ha-ha-ha!"

   Pemilik restoran itu tertawa bersama para penunggang kuda, sedangkan isterinya tersipu-sipu malu dan lari masuk.

   "Ha-ha-ha! Bodoh engkau!"

   Kata si brewok.

   "Gendut dan kurus itulah yang cocok sekali, betul tidak, Paman Gendut?"

   "Aaaaahhh, Taihiap bisa saja, ha-ha-ha!"

   Si pemilik restoran tertawa, akan tetapi di dalam hatinya dia menyumpah-nyumpah dan memaki orang-orang kurang ajar itu. Tujuh orang itu mulai menyerbu masakan dan si pemilik restoran bersama dua orang kacungnya mulai membereskan meja-meja lain, membersihkannya dan membuka semua pintu restoran.

   Sesosok tubuh orang yang tadi berjalan terhuyung-huyung telah tiba di depan restoran itu. Hidungnya kembang kempis mencium bau masakan sedap dan dia lalu memasuki rumah makan. Begitu orang ini muncul di pintu dan disambut oleh si pemilik restoran dengan pandang terbelalak, tujuh orang yang sedang makan itu menghentikan makan mereka dan semua menoleh ke arah pintu dengan pandang mata terbelalak dan sinar mata liar. Makin lama, sinar mata liar itu menjadi makin mengandung gairah. Mereka adalah sekumpulan laki-laki kasar dan orang yang muncul di pintu restoran itu memang benar-benar dapat membuat setiap mata pria terbelalak penuh gairah. Dia adalah seorang wanita berusia kurang tiga puluh tahun, cantik sekali, amat manis dan mempunyai daya tarik yang luar biasa karena sinar matanya yang penuh tantangan,

   Bibirnya yang setengah terbuka, kemerahan dan seolah-olah mengajak pria yang memandangnya untuk mencumbu! Biarpun wajahnya di saat itu pucat dan menunjukkan tanda kelelahan dan penderitaan, biarpun rambutnya yang hitam halus dan panjang itu terurai lepas, namun kejelitaannya menonjol sekali. Apalagi ketika mata ketujuh orang laki-laki itu menjelajahi ke arah tubuh wanita ini, mereka diam-diam menelan ludah dan si juling menjadi makin juling berkumpul di dekat hidung karena dia mempergunakan semua tenaga matanya untuk menelan tubuh itu! Tubuh yang padat, montok denok dengan kulit yang putih kuning bersih tanpa cacat! Sungguh pun pakaian wanita ini agak kotor berdebu, bahkan di bagian pundaknya terobek dan ternoda banyak darah dari luka di pundaknya,

   Namun bahkan menonjolkan keindahan bentuk tubuhnya, pinggang yang ramping, pinggul dan dada yang penuh membulat dan membusung! Wanita ini maklum akan pandang mata ketujuh orang laki-laki kasar itu, namun dia tidak peduli dan langsung berjalan dengan langkah perlahan ke arah meja di ujung kiri, hanya empat meter jauhnya dari meja kumpulan penunggang kuda itu. Pemilik rumah makan mengikutinya dengan pandang mata meragu, hatinya tidak nyaman karena selain wanita yang terluka ini kelihatannya sakit dan lemah serta belum tentu mempunyai uang, juga dari pandang mata ketujuh orang laki-laki itu dia dapat menduga bahwa tentu akan terjadi hal yang membuatnya tidak enak. Maka dia lalu menghampiri dan membungkuk di depan wanita itu sambil berkata diiringi senyum,

   "Maaf, Toanio. Toanio memerlukan apakah? Sebenarnya, restoran kami belum buka dan belum siap, maka jika Toanio menghendaki sesuatu lebih baik.."

   "Keluarkan arak hangat dan nasi serta masakan seadanya..."

   Wanita itu mengerling ke arah meja tujuh orang laki-laki lalu menyambung.

   "Seperti yang kau hidangkan kepada mereka itu!"

   Biarpun suara wanita ini merdu dan halus, namun mengandung tekanan mengancam dan nadanya keras serta terdengar dingin, membuat pemilik restoran itu menggigil.

   "Akan tetapi... kami..."

   "Brukkkkk!"

   Wanita itu menjatuhkan sebuah pundi-pundi di atas meja, membuka talinya dan mengambil sepotong perak yang besarnya cukup untuk membeli masakan tiga meja penuh! "Apa kau kira aku tidak akan membayar? Nih uangnya, sisanya untukmu!"

   Melihat sepotong perak besar itu, sepasang mata si gendut terbelalak berseri-seri. Cepat dia mengambil uang itu dan tersenyum-senyum sambil membongkok-bongkok,

   "Baik-baik... Toanio... tunggu sebentar, akan saya sediakan masakan paling lezat untuk Toanio."

   Tujuh orang laki-laki itu dengan terang-terangan memandang kepada wanita cantik ini dan mereka kagum bukan main.

   "Aduhhhhh... bukan main... putihnya!"

   Si juling berkata, tidak lirih dan memang dia sengaja bicara agar terdengar oleh wanita itu yang duduk sambil menundukkan mukanya, sikapnya tidak peduli sama sekali.

   "Bukan putihnya yang membuatku terpesona, halusnya kulit itu...! bukan main...!"

   Kata seorang kawannya.

   "Dan harumnya tercium dari sini.. apalagi kalau dekat... waduhhh, mimpi apa kita semalam...?"

   Kata si brewok yang biar pun tidak semata keranjang si codet atau si juling, namun sekali ini dia benar-benar tertarik dan timbul berahinya menyaksikan wanita luar biasa itu.

   "Amboiiiii.. bidadari dari mana gerangan yang muncul menghibur kita?"

   Kata si codet, mengendus-endus dengan hidungnya seperti seekor anjing mencium tahi. Wanita itu tetap diam saja, bergerak pun tidak, melirik pun tidak. Ketika seorang kacung membawa arak hangat, cepat seperti orang kehausan ia menuangkan arak dalam cawan terus diminumnya sekali tenggak. Melihat ini, tujuh orang laki-laki kasar itu menjadi makin berani. Sikap minum arak seperti yang diperlihatkan wanita itu bukanlah sikap seorang nona simpanan, maka si juling segera berkata,

   "Minum arak sendirian mana enak? Kami siap menerima bidadari kesepian untuk bersama-sama minum dan makan sambil mengobrol!"

   Akan tetapi wanita itu tetap tidak peduli, malah sampai tiga kali ia menenggak habis cawan arak sekali teguk. Kemudian ia menarik napas panjang, agaknya merasa lega dan dirabanya pundak yang terluka dengan bibir agak terbuka seperti menahan rasa nyeri.

   "Ssttt, biarkan dia makan dulu,"

   Si brewok berbisik kepada teman-temannya.

   "Dia kelihatan luka, lelah dan kelaparan, mana akan mampu melayani kita bertujuh? Kalau sudah makan kenyang tentu pulih kembali tenaganya..."

   Mendengar bisikan pimpinan mereka ini, mereka tertawa-tawa dan menyatakan setuju, bahkan keenam orang kasar itu mulai mengadu untung dengan jari tangan untuk menentukan siapa yang menang dulu berhak mendapatkan wanita itu setelah sang pemimpin yang tentu saja mempunyai hak pertama! Biar pun mereka itu bicara perlahan, namun karena sikap mereka, wanita yang luka itu mendengar dan mengetahui semua perbuatan mereka, namun ia sama sekali tidak memperlihatkan sikap mengacuhkan, malah ketika hidangan datang ia lalu mulai makan dengan lahapnya. Tujuh orang laki-laki yang sudah selesai lebih dahulu, kini semua memutar kursinya menghadap ke arah si wanita sambil memandang dengan sikap terbuka, terang-terangan menjadikan wanita itu seperti tontonan sampai wanita itu selesai menghabiskan hidangannya dan menenggak arak lagi.

   

Si Bangau Merah Eps 15 Si Bangau Merah Eps 18 Pusaka Pulau Es Eps 8

Cari Blog Ini