Ceritasilat Novel Online

Pedang Kayu Harum 48


Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo Bagian 48



"Sahabat-sahabat di depan harap membiarkan aku lewat. Aku adalah orang utusan dari Cia-taihiap di Cin-ling-san, dan aku tidak mempunyai sesuatu yang cukup berharga. Biarlah kelak kulaporkan kepada taihiap agar memberi ganjaran kepada kalian!"

   Lima orang itu dipimpin oleh seorang setengah tua yang berpakaian mewah sekali seperti seorang bangsawan. Ketika lima orang itu tertawa-tawa geli menyaksikan sikap A-liok, orang itu membentak,

   "Mengapa tertawa-tawa? Keparat, hayo tangkap dia!"

   Seketika lima orang itu berhenti tertawa dan sambil menyeringai mereka menghampiri A-liok yang masih duduk di atas kuda. Seorang diantara mereka berkata,

   "Petani busuk, turun kau!"

   Tangannya meraih utuk menyeret kaki A-liok, akan tetapi A-liok menggerakan kakinya menendang.

   "Crottt! Waduhhhhhhh!!"

   Orang itu terkena tendangan ujung kaki A-liok, tepat pada hidungnya sehingga kontan hidung itu mengucurkan kecap! A-liok sendiri terpental karena tendangan itu dan karena kudanya kaget meringkik dan mengangkat kaki depan ke atas, tak dapat dicegahnya lagi A-liok terbanting ke belakang. Namun dengan gerakan seperti seorang hati silat kelas satu benar-benar, dia sudah meloncat bangun lagi, tidak mempedulikan pinggulnya yang terbanting dan terasa nyeri. Ia melangkah maju, mengangkat dadanya dan tidak merasa bahwa jalannya agak terpincang. Dengan keras dia membentak,

   "Apakah kalian buta? Berani menyerang utusan dan murid Cia Keng Hong taihiap, pendekar sakti di Cin-ling-san?"

   Akan tetapi orang yang hidungnya kena tendangan ujung sepatu yang kotor dan bau itu dengan gerengan keras sudah menerjang maju dan memukul dadanya. A-liok baru belajar dasar-dasar ilmu silat selama beberapa bulan, akan tetapi karena yang mengajarnya adalah seorang sakti seperti Ci Keng Hong, dasar ini sudah cukup baginya untuk dapat memasang kuda-kuda yang kokoh dan sekali menggeser kaki dan dia sudah berhasil mengelak, sedangkan tangan kirinya meluncur ke depan menghantam ke arah kepala si penyerang.

   "Blukkk........auuuuwwwwww!"

   Orang itu terkena pukulan kepalanya, terguling dan setengah pingsan karena matanya berkunang kepala berdenyut-denyut, sedangkan yang berteriak kesakitan adalah A-liok sendiri karena tangannya terasa sakit bukan main ketika kepalan tangannya bertemu dengan batok kepala yang keras! Ia menyeringai dan menghelus-elus tangan krinya. Orang setengah tua berpakaian mewah yang memimpin lima orang itu menjadi marah. Dia menggerakan tangannya menampar ke arah A-liok yang kebetulan berada di dekatnya. A-liok kembali berusaha mengelak, akan tetapi tangan itu seperti mengikuti dan cepat mengenai dadanya.

   "Plakkk!"

   Tubuh A-liok terlempar dan bergulingan. Ia meloncat bangun, terhuyung dan terengah-engah. Napasnya sesak dan dadanya nyeri bukan main. Kedua matanya menjadi merah saking marahnya.

   "kau......! Berani kau memukul A-liok, jago muda dari Cin-ling-san murid Cia-taihiap?"

   Pemuda dusun ini maklum bahwa orang berpakaian mewah itu lihai, maka dengan kemarahan meluap dia lalu menerjang maju lalu menyerang, bukan menggunakan pukulan atau tendangan, melainkan menyeruduk dengan kepalanya seperti seekor kerbau gila mengamuk, menyeruduk ke arah perut laki-laki setengah tua berpakaian mewah itu. Laki-laki itu yang bukan lain adalah Mo-kiam Siauw-ong "Raja Muda"

   Semua bajak sepanjang sungai Fen-ho, tersenyum mengejek. Menghadapi seorang muda dusun tolol seperti, dia mana sudi mengelak? Melihat serudukan itu, dia sama sekali tidak menangkis atau mengelak, malah memasang perutnya yang agak gendut menerima serudukan kepala pemuda itu.

   "Dukkk!!"

   Tubuh Mo-kiam Siauw-ong sama sekali tidak bergoyang terkena serudukan yang keras itu, sebaliknya, tubuh A-liok terlempar ke belakang sampai beberapa meter.

   Pemuda itu berputar-putar seperti menari-nari di atas kedua kakinya yang terhuyung, kedua tangannya memegangi kepalanya yang seperti pecah rasanya, kedua matanya menjuling dan dunia menjadi gelap penuh bintang-bintang gemerlapan sebelum dia roboh dan tidak tahu apa-apa lagi, pingsan! Akan tetapi tidak lama A-liok pingsan. Tubuhnya yang sudah biasa bekerja berat setiap hari, mencangkul di bawah terik panas matahari, membuat tubuhnya kuat dan daya tahannya besar. Ketika dia membuka mata dan mengeluh, ternyata kedua tangannya sudah terikat, demikian pula kedua kakinya. Ia miringkan tubuh memandang dan melihat betapa laki-laki berpakaian mewah yang lihai sekali tadi kini sedang memegangi sampul surat yang tadi berada di saku bajunya, tersenyum-senyum dan mengangguk-angguk.

   "Aha, Sianli tentu akan girang sekali melihat surat ini."

   Mo-kiam Siauw-ong berkata.

   "Seret dia, kita bawa menghadap Sianli!"

   Seorang penjahat menyambar kuncir rambut A-liok dan menyeretnya. A-liok berteriak-teriak, memaki-maki, bukan hanya rasa nyeri karena rambutnya ditarik, akan tetapi melihat suratnya dirampas dan bahkan uang bekalnya dipakai main-main di tangan seorang penjahat.

   "Perampok rendah! Keparat hina! Hayo kembalikan surat itu, kembalikan uangku, dan lepaskan aku. Kalau tidak, kalian tentu akan dibasmi semua oleh Cia-taihiap! Kembalikan surat dan uangku, kalian maling-maling busuk, perampok, bajak!"

   Akan tetapi mereka tidak mempedulikannya, dan sebuah hantaman pada belakang telinganya membuat A-liok roboh pingsan lagi. Dia tidak tahu betapa tubuhnya disampirkan ke atas punggung kuda, kemudian dibawa pergi cepat oleh enam orang yang menunggang kuda-kuda besar.

   Kebencian membuat manusia menjadi seperti gila karena kebencian itu sendiri sebelum merugikan orang lain telah menjadi racun di hati sendiri. Kebencian Cui Im terhadap empat orang muda, Keng Hong, Biauw Eng, Cong San dan Yan Cu, membuat wanita ini setiap detik merasa tersiksa hatinya. Belum akan reda dendam dan bencinya kalau dia belum berhasil mencelakakan musuh-musuhnya itu. Dan selama ini Cui Im tidak pernah diam. Di samping memperhebat ilmunya di bawah pimpinan Go-bi Thai-houw yang tinggal di Sun-ke-bun yang diperlakukan seperti seorang Thai-houw (permaisuri) benar-benar, atau lebih tepat seperti Ibu suri, Cui Im juga tidak pernah berhenti untuk melakukan pengintaian terhadap empat orang musuhnya dan mempelajari keadaan mereka.

   Dapat dibayangkan betapa menghebat iri hati, dendam dan bencinya ketika ia mendengar bahwa dua pasang suami isteri itu hidup penuh kebahagiaan, bahkan kini menanti lahirnya seorang anak masing-masing! Dia maklum bahwa untuk turun tangan secara kasar, menggunakan kekerasan, amat berbahaya. Selain dua pasang suami isteri itu, terutama sekali Keng Hong dan Biauw Eng yang tinggal di Cin-ling-san, memiliki kepandaian tinggi, juga kini pemerintah sedang bersikap keras dan akan membasmi setiap gerombolan penjahat yang berani mengacau. Kalau dia membawa anak buah bajak menyerbu ke Cin-ling-san, ia khawatir gagal menghadapi kelihaian Keng Hong dan Biauw Eng, biarpun dia dibantu oleh Go-bi Thai-houw yang akhir-akhir ini saking tuanya menjadi malas meninggalkan kamarnya yang indah dan lengkap.

   Menyerbu ke Leng-kok lebih banyak harapan karena dia dapat mengatasi kepandaian Cong San dan Yan Cu, akan tetapi hal itu berarti dia mendatangkan kekacauan di kota itu dan kalau sampai pemerintah turun tangan memusuhinya, dia bisa celaka. Pemerintah Ceng memiliki banyak sekali orang pandai. Apalagi dia sendiri kini mondok di tempat tinggal Coa-taijin, seorang kepala daerah, berarti seorang pegawai negeri pula. Tentu Mo-kiam Siauw-ong sebagai mantu kepala daerah tidak berani mengerahkan anak buahnya membantu. hal itu selain berbahaya, juga akan menyeret dan membahayakan kedudukan mertuanya. Karena inilah maka Cui Im yang dimabuk dendam kebencian itu melakukan siasat dengan penuh kesabaran. Dia menyuruh Mo-kiam Siauw-ong yang sudah menjadi pembantunya yang setia untuk mengirim orang-orang menyelidiki keadaan empat orang musuhnya itu, mengintai dan mengawasi setiap gerak-gerik mereka.

   Demikianlah, ketika para pengintai itu melihat seorang pemuda dusun kenjadi utusan Keng Hong, segera mereka menghadang, bahkan dipimpin sendiri oleh Mo-kiam Siauw-ong yang kebetulan meronda dan melakukan pemeriksaan atas tugas anak buahnya. A-liok tertawan dan betapa girang hati Mo-kiam Siauw-ong ketika mendapatkan sepucuk surat Cia Keng Hong yang ditujukan kepada Yap Cong San di Leng-kok. Penemuan ini merupakan jasa besar dan dia sudah membayang betapa Cui Im akan membalas jasa ini dengan mesra, sedikitnya semalam suntuk dia akan diterbangkan ke sorga oleh wanita yang cantik jelita, pandai merayu pria, berpengalaman dan amat lihai itu! Biarpun diam-diam Mo-kiam Siauw-ong tergila-gila kepada Cui Im, akan tetapi tentu saja dia tidak berani mengambil langkah lebih dulu, selain sungkan kepada Coa kun,

   Adik iparnya yang kini menjadi kekasih tetap Cui Im, juga takut kepada ayah mertuanya, dan terutama sekali mana dia berani bersikap kurang ajar kepada Cui Im yang demikian lihai? Kecuali, tentu saja, seperti dahulu setelah menyerbu Cin-ling-san, kalau Cui Im menghendakinya, untuk memberi "hadiah"

   Atas jasanya, tentu dia akan menerima dan meneguk cawan anggur manis memabukan itu sampai tiada tertinggal setetes pun! Benar saja seperti dugaan Mo-kiam Siauw-ong Cui Im yang cantik dan kemerahan pipinya itu menjadi berseri. Wanita yang sudah berusia tiga puluh tahun lebih ini masih nampak cantik sekali, cantik dengan tubuh yang matang dan padat menggairahkan, ditambah lagi karena gerak-geriknya memang menarik, setiap lekuk-lengkung tubuhnya dimanfaatkan dalam gerak-gerik terlatih dan teratur itu.

   "Bagus....... bagus........ Coa-kongcu, saatnya tiba aku dapat membalas mereka dan kepandaianmulah yang kubutuhkan untuk ini!"

   Katanya sambil menarik tangan pemuda tampan yang kini mukanya menjadi agak pucat karena setiap malam harus melayani iblis betina yang tak mengenal puas dengan nafsu berahinya itu, masuk ke dalam kamar meninggalkan Mo-kaim Siauw-ong yang bengong terlongong dan kecewa! Dua hari kemudian, seorang anggauta anak buah Mo-kiam Siauw-ong yang muda dan perawakannya mirip A-liok, memakai pakaian yang dipakai A-liok dan menunggang kuda dari Cin-ling-san itu, meninggalkan Sun-ke-bun di malam hari bersama Mo-kiam Siauw-ong dan beberapa orang anak buahnya yang membawa pula tubuh A-liok yang terbelenggu. Setelah tiba di sebuah hutan pegunungan, A-liok yang dibuka sumbatan mulutnya segera memaki-maki,

   "Mau diapakan aku? Eh, orang itu mengapa memakai pakaianku dan menunggang kudaku? Mana suratku dan uang bekalku? hayo kembalikan!"

   Mo-kiam Siauw-ong memberi isyarat dan sambil tertawa-tawa anak buahnya menyeret tubuh A-liok yangmeronta-ronta turun dari kuda, terus menyeretnya ke tepi jurang dan tak lama kemudian terdengar pekik mengerikan ketika tubuh A-liok dibacok kemudian dilempar ke dalam jurang yang amat dalam. Mereka tertawa-tawa dan berangkat menuju ke Leng-kok.

   Mo-kiam Siauw-ong dan anak buahnya menanti di luar kota, sedangkan anak buahnya yang menunggang kuda Ci-ling-san itu memasuki kota Leng-kok, langsung menuju ke rumah yap Cong San. Dia meloncat turun dari atas punggung kuda, lalu berindap-indap mendekati toko obat yang sudah tutup karena hari telah malam. Seperti seorang pencuri, orang ini beberapa kali jalan mondar-madir di depan toko, bahkan beberapa kali menengok ke dalam. Sebagai seorang yang akan melakukan sesuatu yang tidak baik, sikapnya itu selain mencurigakan juga amat ceroboh, karena tentu saja Cong San yang sedang duduk di dalam toko yang hanya di buka pintunya itu menjadi curiga ketika melihat orang yang mengikat kudanya tak jauh dari situ kini berjalan mondar-madir dan melongok-longok ke dalam. Cong San mencelat keluar dan membentak,

   "Engkau mau apakah? Apakah ada orang sakit? Atau hendak membeli obat?"

   Akan tetapi orang itu tidak menjawab malah cepat pergi dengan langkah lebar dan tergesa-gesa seperti hendak melarikan diri dan menghampiri kudanya. Tentu saja Cong San menjadi makin curiga. Dengan beberapa loncatan saja dia sudah dapat memegang pundak orang itu dari belakang dan sekali menggerakan tenaga, orang itu dipaksa membalikkan tubuh menghadapinya.

   "Hemmmm, kau mencurigakan sekali! Engkau siapa dan mau apakah?"

   Orang itu merasa betapa jari-jarin tanganyang mencengkeram pundaknya luar biasa kuatnya, diam-diam ia menggigil dan dengan suara terputus-putus dia berkata,

   "Hamba..... A-liok dan....... hamba tidak berniat buruk......hamba........hamba utusan Cia-taihiap dari Cin-ling-san......"

   Cong San terkejut sekali, cepat melepaskan cengkeraman tangannya dan berkata dengan suara halus,

   "Ahhh, kalau benar begitu mengapa engkau tidak masuk saja ke toko mondar-madir, longak-longok mencurigakan? Marilah masuk, apakah engkau diutus oleh Cia Keng Hong taihaip?"

   Akan tetapi orang itu menggeleng kepala dan suaranya gemetar,

   "Hamba..... tidak usahlah, hamba mau kembali saja. Lain kali hamba datang....."

   Cong San mengerutkan kening dan kembali timbul kecurigaannya.

   "Eh, kenapa begitu? Aku adalah Yap Cong San, tentu Cia-taihiap mengutus engkau untuk menemuiku."

   "Tidak..... tidak...... bukan...... hamba harus pergi......!"

   Orang itu hendak lari akan tetapi Cong San kembali memegang lengannya.

   "Tunggu! hayo katakan, engkau diutus untuk menemui siapa dan menyampaikan apa?"

   Orang itu meronta-ronta, tubuhnya menggigil dan suaranya gemetar,

   "Hamba tidak berani........ tidak berani, lepaskan hamba........"

   Cong San makin penasaran. Ia menggerakan jari tangannya dan seketika orang itu tertotok lumpuh dan tidak dapat mengeluarkan suara. Dengan mudah dia mencengkeram leher baju orang itu dan dibawanya masuk ke dalam tokonya, lalu menutupkan pintu dan mendudukan orang yang lemas itu ke atas kursi. Kemudian dia menggeledah orang itu dan menemukan sesampul surat dalam saku bajunya.

   Tangan Cong San gemetar ketika dia membaca tulisan Keng Hong di atas sampul itu, sebuah surat pribadi dari Cia Keng Hong yang ditujukan ke pada Gui Yan Cu! Apa artinya ini? Ia sudah membuka mulut hendak berteriak memanggil isterinya dan kakinya sudah bergerak hendak lari masuk. Akan tetapi dia teringat sesuatu dan ditahannya mulut dan kakinya. Isterinya sedang beristirahat seperti biasa. Memang setelah mengandung tua, dia tidak memperbolehkan isterinya bekerja dan mengharuskan banyak mengaso. dibacanya. Mukanya mendadak menjadi pucat dan berubah merah sekali, matanya terbelalak, cuping hidungnya berkembang-kempis, bibirnya menggigil seperti tangan dan kakinya. hampir dia tak percaya akan pandang matanya sendiri dan dibacanya surat itu sekali lagi, perlahan-lahan, namun tetap saja tidak berubah posisinya.

   Yan Cu sumoi yang tercinta,

   Setengah tahun kita saling berpisah.

   Aku mengharapkan beritamu dengan hati penuh rindu. Kuharap engkau hidup bahagia dengan suamimu. Kami tinggal di Cin-ling-san dan berhasil membangun kembali rumah mendiang subo, dan kini tempat kami menjadi sebuah dusun yang ditinggali petani-petani Pegunungan Cin-ling-san.

   Sumoi, betapa rinduku kepadamu. Kini aku yakin bahwa hanya engkaulah yang kucinta. Bilakah kita dapat berjumpa kembali berdua seperti dahulu memadu kasih?

   Sampai jumpa, sumoi yang tercinta, dan balaslah, karena kalau tidak aku akan selalu menyuratimu.

   Penuh cinta dan rindu dari,
Cia Keng Hong.

   Cong San merasa betapa dadanya menjadi sesak dan panas, seolah-olah dada api membara membakarnya dari dalam. Si keparat Cia Keng Hong! Kiranya betul! Hampir dia lari masuk untuk melontarkan surat itu ke muka isterinya. Akan tetapi untungnya dia teringat akan keadaan isterinya. Isterinya mengandung tua, amat berbahaya bagi kandungannya kalau sampai batinnya terpukul. Jelas, isterinya dahulu adalah kekasih Keng Hong! Jelas sekali dari bunyi surat itu. Akan tetapi, hal itu sudah disangkanya dahulu, dan bukanlah dia sudah memaafkan? Sekarang surat ini datangnya dari Keng Hong. Si keparat Keng Hong laki-laki mata keranjang yang tak juga mau mengubah wataknya yang rendah dan kotor! Isterinya tidak bersalah dan amat kejamlah kalau menyalahkan isterinya dengan datangnya surat ini. Hanya Keng Hong yang bersalah, si keparat hina itu. Sudah menikah dengan Biauw Eng masih berani menurati Yan Cu yang telah menjadi isterinya.

   Makin diingat makin panas hatinya dan kalau saja pada saat itu Keng Hong berada di depannya, tanpa bicara apa-apa lagi tentu akan diserangnya dan diajak mengadu nyawa! Dengan segala kekuatan batinya Cong San menekan hatinya yang panas dan diamuk cemburu, kemudian mengambil kertas dan pit-nya, memegang pit yang juga biasa menjadi senjatanya yang ampuh itu, ingin sekali dia mengunakan pit ini untuk menyerang Keng Hong daripada untuk menulis surat! Sampai tiga kali dia merobek-robek suratnya yang memaki-maki Keng Hong. Ah, dia harus berhati-hati. Urusan ini menyangkut nama dan kehormatan isterinya sendiri yang tidak berdosa, tidak tahu apa-apa. Dia boleh marah, boleh memaki Keng Hong, akan tetapi kalau dia sebut-sebut dalam surat urusan itu dan sampai surat itu dibaca orang lain, bukankah nama isterinya akan cemar?

   Cia Keng Hong,

   Aku masih cukup bersabar, akan tetapi sekali lagi engkau berani menulis surat atau melakukan perbuatan yang hina, aku Yap Cong San bersumpah untuk membunuhmu!

   Tertanda : Yap Cong San.

   Setalah memasukkan surat dalam sampul dan memasukan sampai ke dalam saku orang yang tertotok itu, dia lalu membebaskan totokannya, mencengkeram pundak orang itu dan melemparkan tubuhnya ke luar toko setelah dia membuka daun pintunya.

   "Lekas minggat sebelum kuhancurkan kepalamu!"

   Bentaknya.

   "Baik, Taihiap...... baik......!"

   Orang itu berlari terhuyung-huyung, menghampiri kudanya, meloncat ke atas pungung kuda dan membalapkan kudanya ke luar kota Leng-kok. Cong San menjatuhkan dirinya duduk di atas kursi, surat dari Cin-ling-san itu seolah-olah terasa panas membakar di saku bajunya. Tiba-tiba dia meluruskan tubuhnya ketika mendengar langkah kaki Yan Cu keluar dari ruangan dalam.

   "Apakah ribut-ribut tadi? Aku seperti mendengar ada tamu!"

   Yan Cu bertanya sambil memandang suaminya.

   "Memang ada tamu, seorang dari luar kota membutuhkan obat untuk isterinya yang sakit demam."

   "Ahhh, pantas aku mendengar derap kaki kudanya. Eh, apakah itu?"

   Cong San cepat membungkuk dan mengambil tiga robekan kertas yang sudah dikepal-kepalnya tadi, surat-surat yang bernada keras terhadap Keng Hong. Ia merasa lega bahwa isterinya dengan perutnya yang besar itu tidak dapat membungkuk. kalau tidak sedang mengandung, tentu Yan Cu sudah membungkuk dan menyambar kertas-kertas itu.

   "Ah, bukan apa-apa. tadi kutulis catatan obat untuknya, akan tetapi sampai tiga kali keliru saja."

   Ia merobek-robek kertas itu sampai hancur, kemudian melemparkannya ke keranjang di sudut.

   "Suamiku, kau kelihatan lelah sekali. Mengasolah."

   Akan tetapi, Cong San yang rebah di samping isterinya, tak dapat tidur. Yan Cu telah tidur nyenyak dan malam itu sunyi sekali. Namun Cong San yang rebah tak bergerak itu merasa gelisah dan sama sekali tak pernah dapat tidur sekejap mata pun. Dadanya terasa panas bukan main. Sekarang dia mendapatkan bukti bahwa antara Yan Cu dan Keng Hong memang pernah ada hubungan cinta. Hal itu tidak menyakitkan hatinya karena memang sudah diduganya dan sudah dia lupakan. Akan tetapi, sekarang Keng Hong datang dengan suratnya yang jelas menyatakan bahwa laki-laki tak tahu aturan itu masih mencintai Yan Cu! Cong San juga tidak marah mendapat kenyataan bahwa isterinya dicinta laki-laki lain. Tidak ada seorang pun suami di dunia ini yang akan marah kalau isterinya dicinta laki-laki lain, biar laki-laki sedunia jatuh cinta,
(Lanjut ke Jilid 44)
Pedang Kayu Harum (Seri ke 01- Serial Pedang Kayu Harum)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 44
Malah akan mendatangkan kebanggaan bahwa wanita yang dicinta orang-orang lain itu menjatuhkan pilihan kepada dirinya! Tidak dia tidak akan peduli kalau tahu bahwa Keng Hong masih mencinta isterinya. Akan tetapi, melihat Keng Hong masih berani melanjutkan hubungan, berani mengirim surat, hal itu sudah melanggar batas kesopanan, seolah-olah sengaja menghinanya! Di samping ini, timbul perasaan tidak enak yang makin memanaskan hatinya, yaitu perasaan cemburu yang sudah berhasil dia padamkan sampai dua kali. Pertama, ketika cemburu mulai meracuni hatinya setelah mendengar fitnah yang dilontarkan dari mulut Cui Im sehingga dia menjadi cemburu sekali kepada Yan Cu. Cemburu yang pertama itu dapat dia atasi dan tundukan dengan keyakinan bahwa dia tidak perlu mempercaya mulut seorang iblis betina seperti Bhe Cui Im.

   Kemudian dia hampir gila ketika cemburu yang kedua kalinya menerkamnya, yaitu setelah pada malam pertama di tepi telaga dia mendapat kenyataan bahwa Yan Cu bukan perawan lagi. Ras cemburu membuat dia hampir melakukan hal yang bukan-bukan, bahkan membuat dia ingin membunuh diri. Namun, akhirnya dia dapat juga menundukan cemburu yang kedua kalinya itu berkat wejangan-wejangan suhengnya, Thian Kek Hwesio yang kini menjadi ketua Siauw-lim-pai. Sekarang, kembali cemburu menggerogoti hatinya, sedikit demi sedikit, dengan giginya yang beracun sehingga terasalah panas membakar yang membuat dadanya seperti meledak. Rasa cemburu yang timbul dengan pertanyaan-pertanyaan di dalam hatinya,

   "Keng Hongamat mencinta Yan Cu, sampai sebesar apakah cinta Yan Cu kepada Keng Hong? Melihat bunyi surat yang menyatakan betapa besar kasih sayang Keng Hong kepada Yan Cu, mungkinkah sekarang Yan Cu dapat menghilangkan rasa cintanya terhadap Keng Hong? Tidakkah diam-diam isterinya yang kini tidur di sampingnya itu masih mencinta Keng Hong?"

   Pertanyaan-pertanyaan yang terdengar seperti bisikan halus itu seperti menusuk-nusuk jantungnya, dan betapapun Cong San berusaha mengusirnya, tetap saja bisikan-bisikan itu terus mengikuti hati dan pikirannya.

   "Yan Cu menjadi isterimu hanya karena terpaksa! Sebetulnya dia mencinta Keng Hong!"

   Bisikan yang tadi bertanya-tanya itu kini berubah menjadi ejekan-ejekan yang menyakitkan hati dan tenaga. Cong San miring ke kanan kemudian ke kiri menelungkup, telentang, namun suara itu tetap terdengar olehnya. Dia menjadi makin gelisah, suara terngiang-ngiang melengking memenuhi kedua telinganya dan dia tahu bahwa kalau dia tidak dapat menekan ini, dia bisa menjadi gila. Maka dia cepat bangkit perlahan, duduk dan menatap wajah Yan Cu yang tidur dengan nyenyak disampingnya.

   Yan Cu tidur dengan nyenyak sekali, bibirnya agak terbuka dan kelihatah tersenyum penuh ketenangan. Sanggul rambutnya terlepas dan rambut itu terurai indah, sebagian menutup pipi dan lehernya, sebagian terurai di atas bantal putih. tangan kirinya terletak di atas bantal dengan lengan terangkat dan bajunya yang longgar tersingkap memperlihatkan sebagian pundak dan rambut halus di bawah pangkal lengan. Lengan kananya memeluk perutnya yang gendut seperti melindungi anak yang dikandungnya. Betapa cantiknya, betapa suci bersih dari dosa wajah yang jelita itu. Melihat isterinya, perlahan-lahan rasa haru membuat dada Cong San yang tadinya panas itu menjadi hangat nyaman, napasnya yang sesak menjadi tenang dan bisikan jahat tadi kini hanya terdengar lapat-lapat seolah-olah setan yang berbisik-bisik menjadi ketakutan dan lari menjauh sambil memaki-maki.

   Dengan penuh rasa cinta kasih mendalam, Cong San memnunduk dan mengecup dahi Yan Cu, perlahan-lahan sekali karena dia tidak ingin mengganggu isterinya yang tidur demikian pulasnya. Kemudian pandang matanya merayap ke bawah, mengagumi kulit leher dan pundak yang putih mulus, mengagumu bulu rambut halus di bawah pangkal lengan, terus menurun dengan rasa bangga memandang dada yang kini makin membesar mengikuti pertumbuhan kandungannya. Akhirnya matanya terhenti pada perut isterinya, memandang perut yang menggembung itu dan keharuan membuat dia hampir menitikkan air mata ketika dia melihat secara kebetulan perut di bagian kanan isterinya bergerak-gerak perlahan seolah-olah anak yang berada di kandungan menggerak-gerakan tubuhnya agar tampak oleh ayahnya!

   "Yan Cu......!"

   Cong San berbisik dan mengelus perut yang bergerak perlahan itu.

   "Apa kau yakin dia anakmu?"

   Cong San tersentak kaget dan menarik tangannya seolah-olah akan di kandungan itu menggigit jari tangannya.

   "Siapa tahu dia telah mengandung ketika menikah denganmu. Siapa tahu engkau bukan ayahnya, melainkan Keng Hong......!"

   Suara itu berbisik makin jelas di dalam telinganya.

   "Tidaaaaaakkk!! Setean iblis keparat!!"

   Cong San membalik, tangannya terayun seolah-olah hendak memukul yang berbisik di belakangnya.

   "Brakkk!!"

   Tiang kelambu di belakangnya patah oleh hantaman telapak tangannya. Yan Cu bangkit duduk, terbelalak memandang suaminya,

   "Ehhh...... San-ko, apa yang terjadi.....?"

   Ia masih nanar karena baru bangun tidur, berkedip-kedip memandang suaminya dan menoleh ke arah tiang kelambu yang patah, membuat kelambu di bagian itu turun menutup suaminya. Cong San menjambak-jambak rambutnya, lalu memeluk isterinya dan berkata,

   "Ahhh, aku...... aku mimpi..... bertempur melawan setan dan tak kusadari aku memukul tiang kelambu sampai patah."

   "Ihhh....., apakah yang mengganggu hatimu, Koko? Mengapa engkau sampai mimpi yang tidak-tidak? Untung bukan aku yang kau pukul. Biar kuambilkan minum, engkau pucat sekali....."

   "Tak usah, tidurlah, isteriku dan maafkan aku. Biar kusambung tiang ini."

   Setelah membetulkan tiang yang patah, Cong San lalu rebah miring dan merangkul isterinya. Yan Cu membalik menghadapi suaminya, menggeser tubuh makin dekat, menyembunyikan muka di dada suaminya.

   "Kau..... kau tidak sedang gelisah, bukan?"

   Ia berbisik.

   "Tidak tidurlah, sayang."

   Yan Cu menarik napas lega dan Cong San mempererat pelukannya. Iblis itu tidak berbisik lagi dan dia tidak berani melepaskan pelukannya. hawa yang hangat dari tubuh Yan Cu seolah-olah mempunyai daya mujijat mengusir iblis itu dan akhirnya, menjelang pagi itu, dia dapat tertidur dengan Yan Cu dalam pelukannya. Cong San sama sekali tidak tahu betapa laki-laki muda yang mengaku bernama A-liok tadi yang mengaku sebagai utusan Cia Keng Hong mengantar surat rahasia telah menghadap Cui Im bersama Mo-kiam Siauw-ong menyampaikan laporannya. Cui Im dengan hati-hati membuka sampul surat balasan Cong San kepada Keng Hong dan dia tertawa terpingkal-pingkal, wajahnya berseri-seri dan pandang matanya membayangkan kepuasan.

   "Bagus sekali! Siasat pertama berhasil baik! Kalau Cong San masih belum terbakar, benar-benar dia seorang yang tolol! Engkau telah melakukan pekerjaan baik sekali, sekarang engkau harus terus pergi ke Cin-ling-san menyampaikan surat ini kepada Cia Keng Hong."

   A-liok palsu itu menjadi pucat mukannya.

   "Akan tetapi.... tentu dia akan mengenal bahwa saya bukan A-liok dan celakalah saya....."

   "Bodoh!"

   Cui Im membentak.

   "

   Kau tidak perlu ke tempat tinggalnya, cukup kau berhenti malam-malam di depan rumah seorang petani di kaki Gunung Cin-ling-san, teriaki supaya dia keluar, berikan surat dengan pesan agar disampaikan kepada Cia-taihiap dan kautambahkan bahwa engkau yang mengaku A-liok tidak akan kembali ke lereng Cin-ling-san. Dalam gelap takkan ada orang mengenalmu, dan petani bodoh itu tentu hanya akan mengenal pakaian dan kudamu, terutama nama palsumu."

   Cui Im memberi hadiah beberapa potong uang perak kepada orang itu yang dengan girang sekali dan segera berangkat ke Cin-ling-san. Mo-kiam Siauw-ong lalu memerintahkan pelayannya menyediakan hidangan dan arak untuk merayakan hasil baik siasat mengacau kehidupan musuh-musuhnya itu.

   "Siasat Sianli benar-benar hebat dan kepandaian menulis adik iparku benar-benar mengagumkan. Aku harus memberi selamat kepada kalian dengan secawan arak!"

   Kata Mo-kiam Siauw-ong. Mereka minum sambil tersenyum-senyum gembira. Go-bi Thai-houw yang dipersilahkan makan minum pula, mendengarkan dengan sikap malas-malasan. Kemudian terdengar ia berkata,

   "Tanpa akal bulus surat itu pun akan Tung Sun Nio itu takkan dapat hidup rukun dengan suaminya. Tendanganku tentu telah berhasil baik, menghilangkan tanda keperawanan dan dengan itu sajasudah cukup untuk merusak kebahagiaan mereka."

   Cui Im yang pandai menjilat itu segera mengangkat cawan araknya dan berkata,

   "Semua siasat teecu mengandalkan kelihaian Subo seorang. harap Subo suka selalu membantu teecu menghancurkan mereka yang telah menggagalkan semua usaha kita, terutama Cia Keng Hong. Sebelum dia mampus, bagaimana Subo dapat mengangkat diri menjadi yang terlihai di seluruh dunia kang-ouw?"

   "Hemmm, bocah itu mudah saja kukalahkan. Akan tetapi aku sekarang sudah merasa malas untuk bertempur, sudah enak sekali hidup di sini. Orang setua aku ini tinggal menanti mati, harus menghabiskan sisa hidup yang tak lama lagi dengan bersenang-senang."

   Cui Im tidak berani mendesak, dan biarpun subonya berkata demikian, di dalam hatinya dia masih sangsi apakah benar subonya akan daapt mengalahkan Keng Hong dengan mudah. Apalagi kalau di samping musuh besarnya itu terdapat Biauw Eng yang tidak boleh dipandang ringan pula, karena selain Biauw Eng memang telah memiliki kepandaian tinggi, bekas sumoinya itu pernah menerima ilmu-ilmu aneh dari go-bi Thai-houw sendiri dan kini tentu saja menerima bimbingan Keng Hong yang menjadi suaminya.

   "Sianli, setelah siasat pertama berhasil baik, kapan akan dilakukan siaat ke dua dan bagaimanakan siasat itu?"

   Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Mendengar pertanyaan Mo-kiam Siauw-ong ini, Cui Im tersenyum.

   "Masih belum tiba waktunya untuk melakukan siasat ke dua itu. Aku harus menunggu sampai Yan Cu melahirkan bayinya. Dalam keadaan mengandung seperti sekarang ini, siasat itu tidak akan dapat dijalankan."

   "Wah, tentu masih lama sekali!"

   Coa Kun mencela.

   "Apa artinya bebeerapa bulan lagi? Aku telah menanti setengah tahun untuk siasat pertama. Untuk dapat membalas dendam dengan berhasil baik, orang harus memiliki kesabaran dan menggunakan prhitungan yang seksama dan tepat agar tidak sampai ggal sehingga tidak sia-sialah kesabaran yang berbulan-bulan menindih hati."

   "Sianli memang luar biasa sekali, sabar dan cerdik. Memang, orang perlu sekali memiliki kesabaran, karena kesabaran akan mendatangkan hadiah, biarpun lambat."

   Mendengar ucapan Mo-kiam Siauw-ong ini, Cui Im melirik ke arah laki-laki tingi besar itu dan ia tersenyum lebar.

   "Siasat pertama ini hanya berhasil baik karena jasa Siauw-ong. Jasa besar harus diberi imbalan pahala, dan selanjutnya aku pun mengharapkan bantuan Siauw-ong dengan anak buahnya. harap malam nanti kau suka mengadakan waktu karena aku akan datang dan merundingkan siasat-siasat selanjutnya denganmu."

   Mo-kiam Siauw-ong dapat menangkap maksud yang tersembunyi di balik kata-kata itu, apalagi ketika mereka bertemu pandang. jantungnya berdebar saking girangnya dan dia mengangkat cawan, menenggak habis araknya sambil berkata,

   "Aku selalu siap sedia membantu Sianli, dan aku menanti kedatangan Sianli setiap saat."

   Malam itu Coa Kun terbebas dari gangguan Cui Im dan tidur dengan nyenyaknya di bawah pengaruh hawa arak yang terlalu banyak diminumnya. Di dalam kamar lain, di sebelah belakang bangunan besar itu, Cui Im memenuhi janjinya kepada Mo-kiam Siauw-ong, menyelinap ke kamar laki-laki setengah tua yang bertubuh tinggi besar ini yang menyambut kedatangannya dengan pelukan dan ciuman penuh nafsu berahi yang bernyala-nyala. Mo-kiam Siauw-ong menikmati pahalanya sampai malam suntuk dan Cui Im pun menanggapi ini sebagai sebuah selingan yang bukan tidak menyenangkan. Sementara itu, beberapa hari kemudian, pagi-pagi sekali Keng Hong dan Biauw Eng menerima kedatangan seorang petani yang tinggal di kaki bukit, yang datang menghadap membawa sampul surat sambil berkata,

   "Malam tadi saya menerima surat ini untuk disampaikan kepada Cia-taihiap. Karena malam gelap, saya tidak berani mengganggu Taihiap dan baru pagi ini saya sampaikan."

   Keng Hong cepat menerima surat itu dan ketika membaca sampulnya, dia saling pandang dengan isterinya.

   "Dari mereka?"

   Tanya Biauw Eng. Keng Hong mengangguk, lalu bertanya kepada petani ini,

   "Siapakah yang memberikan surat ini kepadamu, Lopek?"

   "Seorang penunggang kuda, katanya bernama A-liok. Selain minta agar supaya surat itu disampaikan kepada Taihiap, juga dia berpesan bahwa dia tidak akan kembali ke sini, Taihiap. Lalu dia pergi membalapkan kudanya."

   "Aneh sekali, mengapa A-liok tidak pulang?"

   Biauw Eng berkata, alisnya berkerut karena ia merasa curiga.

   "Bagaimana rupanya orang itu, Lopek? Apakah Lopek sudah mengenal A-liok?"

   Petani tua itu menggeleng kepala.

   "Saya tidak dapat melihat wajahnya Taihiap. Malam gelap dan dia duduk di atas kuda. Hanya kudanya berbulu hitam dihias putih di dada dan keempat kakinya, dan pakaian orang itu berwarna biru, dengan topi bunder warna kuning. Dia masih muda, melihat bentuk badan dan suaranya."

   "A-liok, tak salah lagi,"

   Kata Keng Hong.

   "Terima kasih, Lopek."

   Dia memberi hadiah uang kepada kakek itu yang ditolaknya.

   "Melakukan sesuatu untuk taihiap merupakan kesenangan, mengapa harus memberi hadiah? Sudah cukup, Taihiap, saya mau turun."

   Kakek itu lalu berjalan terbongkok-bongkok menuruni lereng. Keng Hong mengajak isterinya masuk ke dalam kamar dan di situlah, di luar tahunya orang lain, mereka bicara serius.

   "Heran sekali, mengapa A-liok tidak langsung saja pulang dan menyerahkan surat balasan itu kepada kita?"

   Biauw Eng berkata.

   "Benar-benar mencurigakan urusan ini."

   "Hemmm, agaknya aku salah mempercaya orang. A-liok pernah tinggal bertahun-tahun di kota. Begitu mendapatkan kuda baik dan sedikit uang, agaknya dia tidak mau kembali ke gunung dan akan merantau ke kota lagi. Sudahlah, yang penting, surat kita sudah diberikan dan malah dia sudah membawa balasannya, ini sudah cukup baik."

   Keng Hong merobek pinggir sampul dan menarik keluar suratnya. Dibukanya lipatan surat dan begitu matanya melihat beberapa buah huruf yang ditulis dengan goresan penuh amarah itu, wajahnya berubah marah, matanya terbelalak dan dia terjatuh duduk di atas kursi, kedua tangan masih tetap memegangi surat seolah-olah kedua lengannya kaku dan dia tidak percaya akan apa yang dibacanya.

   "Apa isinya?"

   Biauw Eng terkejut melihat suaminya dan ketika suaminya tidak menjawab, ia cepat merampas surat itu dan dibacanya.

   "Manusia jahanam Yap Cong San.....!!"

   Biauw Eng memaki dan merobek kertas itu.

   "Eiiiihhh, sabar, jangan robek-robek surat itu, untuk bukti!"

   Biauw Eng melemparkan surat yang sudah dia robek menjadi dua itu kepada suaminya sambil berkata marah,

   "Sabar, katamu? Si keparat itu berani menghinamu seperti itu dan kau bilang supaya aku sabar? Hemmm, kalau saat ini dia berada di depanku, tentu dia akan merasai hajaran kedua tanganku!!"

   "Nanti dulu, isteriku. Kita harus tidak boleh menurutkan perasaan dan menggunakan akal sehat. Aku tidak percaya kalau Cong San dapat menulis surat seperti ini kepadaku. Tentu ada sebab lain, dan melihat sikap A-liok yang melarikan diri dari aku curiga sekali."

   "Curiga apa lagi? Sebab apa lagi? Dia telah gila, gila oleh cemburu! Masa engkau tidak tahu? Dia telah menjadi gila karena mencemburukan isterinya denganmu! Manusia tolol macam itu apa gunanya diajak berunding? Cis, aku tidak sudi mempunyai sahabat, apalagi saudara, macam itu! Pendeknya, mulai saat ini, kita tidak akan berhubungan dengan manusia itu lagi, dan kalau tanpa disengaja aku bertemu dengannya, aku tidak akan puas sebelum menghajarnya sampai dia minta ampun kepadamu."

   "Ssttt, Biauw Eng isteriku, tenang dan sabarlah. Ingat, engkau sudah menjadi calon ibu anak kita, masa masih begitu pemarah dan ganas? Aku yakin bahwa Cong San tentu tidak sengaja menghinaku, dan di balik semua ini tentu ada rahasia lain. Dia telah menjadi korban racun fitnah yang dihamburkan oleh Go-bi Thai-houw dan Cui Im, tentu dia telah menderita batin hebat sekali kalau dia terkena racun itu, jangan kau tambah dengan sikap bermusuh dan membenci dirinya. Sebaiknya kita harus menolongnya........"

   "Cukup! Memang aku isteri yang galak, wanita yang ganas! Engkau terang-terangan dihina orang, aku membelamu dan kau malah membela orang itu! Sekarang aku bingung sekali, apakah si keparat Cong San yang gila, ataukah engkau yang miring otak, ataukah aku yang edan!"

   "Aihhh, isteriku yang baik, kau maafkanlah aku!"

   Keng Hong merangkul.

   "Kita hentikan saja pembicaraan mengenai Cong San sampai lain kali. Betapapun juga, yang penting adalah kita berdua dan aku tidak ingin kita bertengkar karena dia atau siapapun juga. Kau maafkan aku, kalau perlu, biarlah aku berlutut padamu!"

   Keng Hong bebar-benar menjatuhkan diri berlutut di depan Biauw Eng! Biauw Eng terkejut sekali dan cepat ia pun berlutut, merangkul suaminya dan menangis sesenggukan dalam rangkulan Keng Hong. Keng Hong mengelus rambut isterinya, mengangkatnya bangkit dan menuntunnya duduk di kursi.

   "Aih, aku telah gila, Eng-moi. Masa aku harus membuat engkau marah hanya karena seorang yang gila oleh cemburu. Engkau benar, memang kita tidak perlu lagi memikirkan mereka. Kelak, kalau anak kita sudah besar, kita berdua.......eh, bertiga maksudku, akan menengok Leng-kok dan hendak kulihat apa sebetulnya yang terjadi atas diri Cong San sehingga membuat dia gila dan menulis surat macam ini kepadaku."

   Biauw Eng masih terisak.

   "Aku tak dapat menahan panasnya hati membaca surat yang memaki dan menghinamu, Hong-ko. Apapun yang terjadi, betapapun dia diracuni cemburu, dia tidak boleh menulis penghinaan macam itu. Biarlah aku menurut kata-katamu, suamiku. Kita tinggal diam saja dengan sabar, anggap saja dia gila. Kelak kalau keadaan mengijinkan, kita bersama pergi menjumpainya dan menuntut perbuatannya yang tidak pantas ini!"

   "Baiklah, Eng-moi."

   Biarpun mulutnya berkata demikian, namun di dalam hatinya Keng Hong merasa khawatir sekali, mengkhawatirkan nasib Yan Cu. Kalau benar Cong San menjadi gila oleh cemburu, habis bagaimana nasib sumoinya itu? Kalau saja Biauw Eng tidak sedang mengandung tua, tentu dia sudah lari ke Leng-kok untuk menyelidiki dan membikin terang perkara yang menggelapkan pikiran dan menekan hatinya itu. Dia harus bersabar karena dia mengenal watak Biauw Eng yang masih belum dapat melenyapkan keganasannya,

   Apalagi kalau hal yang menyangkut suaminya yang tercinta. Apapun yang terjadi, yang paling penting adalah keselamatan dan kesehatan isterinya, Biauw Eng dan anak yang dikandungnya. Keng Hong hanya dapat menarik napas panjang dan semenjak saat itu, biarpun hanya diam-diam dan dia menyembunyikan dari isterinya, batinya tertekan dan penuh keperihatinan akan nasib Cong San dan terutama Yan Cu, sumoinya yang amat disayangnya seperti adik sendiri itu. Beberapa bulan lewat tanpa peristiwa yang penting, baik dalam kehidupan Keng Hong dan Biauw Eng maupun dalam kehidupan Cong San dan Yan Cu. Hanya bedanya, suami isteri Cong San dan Yan Cu kini kebahagiannya terselubung awan hitam, dan hal ini dirasai oleh Yan Cu. Sikap suaminya menjadi berubah sama sekali sejak suaminya mimpi buruk itu.

   Sikapnya kadang-kadang dingin, kadang-kadang suaminya kelihatan berduka mengerutkan kening dan tidak pernah mau mengaku, hanya memberi alasan yang tidak masuk akal. Yan Cu maklum bahwa ada sesuatu yang dirahasiakan suaminya, akan tetapi dia hanya menduga bahwa tentu hal itu ada hubungannya dengan Siauw-lim-pai. Agaknya suaminya masih belum dapat menghilangkan rasa penyesalan dan dukanya mengingat akan nasib gurunya, Tiong Pek Hosiang, dan mengingat bahwa dia telah dikeluarkan dari Siauw-lim-pai. Lahirnya seorang anak laki-laki memang membahagiakan Yan Cu dan Cong San. Akan tetapi pandang mata Yan Cu yang awas itu dapat melihat bahwa kadang-kadang Cong San yang memondong dan menimang bayinya itu kelihatan seperti orang melamun dan ada bayangan ragu-ragu di wajahnya yang tampan. Hal ini benar-benar membuat hati Yan Cu prihatin sekali.

   Akhir-akhir ini Cong San tidak mengurus toko obatnya lagi, bahkan sering kali meninggalkan rumah dengan alasan hendak berjalan-jalan ke luar kota mencari hawa segar. Yan Cu yang ingin melihat suaminya terhibur, tidak mencegah dan diam-diam dia prihatin sekali. Dilimpahkan cinta kasihnya lebih daripada yang sudah-sudah dan ada kalanya suaminya menyambutnya dengan kehangatan cintanya, akan tetapi kadang-kadang suaminya menyambutnya dengan dingin dan tidak sewajarnya! Pada suatu hari, Cong San pergi berjalan-jalan. Sehabis menyusui bayinya lalu menyerahkannya kepada Chie-ma, inang pengasuh yang membantunya merawat bayi, yan Cu duduk menjaga toko obat sambil termenung memikirkan suaminya. Jantungnya kadang-kadang berdebar tidak enak. Apakah cinta kasih suaminya sudah luntur bersama lahirnya putera mereka? Aihhh, tidak mungkin!

   Cong San kelihatan bahagia dan bangga dengan lahirnya anak yang mereka beri nama Yap Kun Liong, seorang bayi yang tangisnya nyaring, mungil dan telah memperlihatkan tanda bahwa anak itu memiliki kesehatan luar biasa dan sepasang matanya bersinar-sinar, seorang calon manusia yang bertulang kuat berdarah bersih. Akan tetapi mengapa suaminya kadang-kadang melamun seperti orang hilang ingatan kadang-kadang melihat bayinya seperti orang ragu-ragu, ada kalanya mengeluh dalam tidurnya seperti orang berduka dan menyesal dan ada kalanya pula seperti orang yang dibakar api kemarahan hebat? Yan Cu menghela napas dan merasa gelisah sendiri. Terkenanglah ia kepada suhengnya, Keng Hong, dan Biauw Eng dan timbul rindunya. Mengapa mereka tidak datang berkunjung atau memberi kabar? Kalau mereka datang berkunjung,

   Agaknya suhengnya yang dianggap seperti kakak kandung sendiri itu tentu akan dapat memecahkan rahasia yang mengganggu perasaannya ini. Ya, terhadap Keng Hong dia tidak akan ragu-ragu untuk menceritakan keadaan suaminya itu, dan tentu Keng Hong akan dapat membantunya. Agaknya mereka itu sibuk! Bagaimana kalau dia mengajak suaminya untuk pergi mengunjungi Keng Hong dan Biauw Eng? Akan tetapi Kun Liong masih terlalu kecil untuk dibawa pergi. Kalau ditinggalkan, ahhh, mana hatinya tega? yan Cu menjadi makin gelisah dan tidak tahu harus berbuat apa. Berkali-kali dia mendesak suaminya, dengan bujuk rayu, dengan halus sampai kasar, agar suaminya suka menceritakan apa yang mengganjal hatinya, namun selalu Cong San menjawab tidak apa-apa! Seorang laki-laki tua yang muncul di pintu toko mengagetkan Yan Cu dan menariknya kembali dari dunia lamunan.

   "Ada keperluan apa, Lopek?"

   Tanyanya halus.

   "Apakah Yap-sinshe ada? Saya hendak berjumpa dengannya."

   "Ah, dia sedang keluar. Ada keperluan apakah? Memeriksa orang sakit? Atau hendak membeli obat? Aku dapat melayani dan membantumu, Lopek."

   "Benarkah Toanio dapat menolong saya? Saya datang dari kota Koan-ciu dan saya pernah diberi resep obat oleh Yap-sinshe untuk dibelikan di kota saya kalau obatnya habis, karena kota saya cukup jauh dari sini. Akan tetapi resep itu hilang! Saya ingin minta dibuatkan resep baru."

   "Hemmmm, obat apa saja yang ditulisnya?"

   "Mana saya tahu, Toanio! Maka saya harus bertemu dengan Yap-sinshe sendiri."

   "Hemmmm, begini saja. Siapa yang sakit dan apa penyakitnya?"

   "Yang sakit isteri saya, kakinya suka pegal-pegal kalau hawa sedang dingin sampai sukar dibuat jalan, kepalanya pening dan pandang matanya kabur. Setelah makan obat Yap-sinshe, agak mendingan, akan tetapi sekarang obatnya habis dan resepnya hilang."

   Penyakit biasa saja, pikir yan Cu.

   "Baiklah, saya akan membuatkan resep untuk isterimu."

   Setelah berkata demikian, Yan Cu mengambil alat tulis dan menuliskan resep di atas kertas dengan huruf-huruf tulisannya yang rapi dan kecil indah. Setelah selesai, ia memberikan resep itu kepada orang tadi sambil berkata,

   "Nah, ini obatnya tiga macam. Aturannya sudah kutulis, tentu toko obat akan memberi tahu. Ataukah engkau hendak membeli obat di sini?"

   "Nanti di kota saya saja, Toanio, karena..... eh, saya tidak membawa uang."

   "Terserah kepadamu, Lopek."

   "Berapa saya harus bayar, Toanio?"

   "Tidak usah, itu hanya pengganti resep yang hilang."

   Kakek itu membungkuk-bungkuk mengucapkan terima kasih lalu pergi dengan wajah girang. Yan Cu sudah melupakan karena telah tenggelam lagi dalam lamunannya.

   Kegelisahan hatinya menjadi keperihan dan kedukaan kalau ia ingat betapa suaminya kini seringkali menghibur diri di telaga tak jauh dari kota, dan pernah ia menyelidikinya sendiri dan melihat suaminya itu duduk menghadapi telaga sambil minum arak dan menulis sajak atau membaca buku! Makin yakinlah hatinya bahwa ada sesuatu yang mengganjal hati suaminya, yang tidak diceritakan kepadanya, bahkan dirahasiakan dan ganjalan hati itu tentu amat hebat sehingga suaminya perlu menghibur hati bersunyi diri di tepi telaga. Apa gerangan rahasia itu? Bagaimana ia akan dapat memecahkannya? Beberapa hari kemudian, ketika wajah suaminya tidak sekeruh biasanya dan mereka berdua menghadapi meja makan siang, yan Su menggunakan kesempatan ini untuk berkata dengan suara halus,

   "San-koko, ingin aku mengatakan sesuatu kepadamu."

   Cong San memandang isterinya, pandang mata yang penuh cinta kasih, akan tetapi juga penuh kedukaan. Sinar mata suaminya itu seakan-akan mencegah Yan Cu bicara tentang sikap suaminya, karena toh takkan dijawabnya.

   "San-koko, aku ingin sekali pergi mengunjungi Cin-ling-san. Sudah hampir setahun....."

   Tiba-tiba Cong San bangkit berdiri, mukanya berubah dan kata-katanya singkat ketus ketika dia memotong,

   "Sudah sangat rindukah engkau?"

   Yan Cu heran menyaksikan sikap suaminya, akan tetapi ia berkata dengan wajah berseri,

   "Benar, suamiku. Aku sudah sangat rindu kepada mereka! Marilah kita pergi berkunjung ke sana, sekalian kita berpesiar. Kita singgah di dalam hutan pek yang ada telaganya, milik Siauw-lim-si itu dan....."

   "Tidak! Aku tidak mau pergi!"

   Tiba-tiba Cong San membalikkan tubuhnya dan keluar dari rumah.

   "San-koko......!!"

   Teriak Yan Cu ini mengandung rasa kaget, heran dan juga marah. Akan tetapi suaminya sudah pergi dan ketika ia mengejar keluar, Cong San sudah lenyap dari depan toko. Yan Cu masuk kembali untuk menyembunyikan air matanya yang bercucuran agar tidak tampak orang lain. Ia menjatuhkan diri di atas kursi, bersembunyi di belakang lemari toko dan menangis terisak-isak. Hanya ketika ia mendengar tangis bayinya saja ia menghentikan tangisnya, mengusap air matanya dan menekan batinnya, kemudian memanggil Chie-ma untuk membawa puteranya. Chie-ma datang menggendong anak kecil itu.

   "Toanio, puteramu lapar, sudah waktunya minum susu."

   Tanpa menjawab karena takut suaranya akan terisak, Yan Cu menerima puteranya yang menangis itu. Tangis anak itu segera berhenti dan mulutnya mulai menghisap susu ibunya. Keadaan menjadi sunyi sekali setelah anak itu berhenti menangis.

   "Toanio....."

   Chie-ma berkata lirih sambil duduk berlutut di atas lantai, di depan nyonya majikannya yang sedang menyusui Kun Liong. Yan Cu mengangkat muka memandang pelayannya.

   "Toanio, maaf, bukan sekali-kali hamba hendak berlancang mulut mencampuri urusan Toanio. Akan tetapi hamba merasa kasihan dan sebagai seorang tua yang lebih berpengalaman dalam hal kekeluargaan, maka hamba ingin memberi nasihat."

   Tak terasa lagi dua titik air mata menitik turun ke atas pipi Yan Cu. Tidak ada gunanya disembunyikan, pelayan tua ini sudah tahu.

   "Bicaralah, Chie-ma."

   "Tanpa disengaja hamba melihat majikan lari keluar dengan muka penuh kemarahan, dan hamba melihat Toanio habis menangis. Tentu Toanio bertengkar dengan majikan. Aihhh, Toanio, apakah Toanio tidak melihat betapa majikan mengandung penderitaan batin yang amat hebat? kasihan sekali dia, Toanio, dalam keadaan seperti itu, seorang suami amat membutuhkan kebijaksanan isterinya untuk dapat menghiburnya, untuk ikut memikul beban yang memberatkan hatinya. Biarpun hamba tidak tahu apa urusannya, akan tetapi dengan jelas dapat hamba lihat bahwa majikan menderita batin yang menyedihkan."

   "Chie-ma, aku pun bukan seorang yang buta. Aku tahu, akan tetapi ahhh, soalnya dia tidak mau menceritakan apa yang menyusahkan hatinya itu. Kalau aku tidak tahu persoalannya, bagaimana aku bisa membantu? Dia sering berduka, marah-marah, dan setiap hari pergi minum arak di telaga. Aku cinta kepadanya, Chie-ma, dan aku ingin sekali menanggung penderitaannya, akan tetapi dia tidak pernah mau berterus-terang."

   Chie-ma menarik napas panjang.

   "Kalau majikan tidak pernah mau berterus terang, itu hanya berarti bahwa dia sengaja hendak merahasiakan urusan itu, karena khawatir kalau-kalau Toanio menjadi berduka pula. Seorang suami yang mencinta isterinya memang kadang-kadang menyembunyikan hal-hal yang tidak menyenangkan dari isterinya, agar isterinya tidak ikut menderita."

   "Ah, sikap demikian itu salah sama sekali, Chie-ma. Justeru karena diam saja tidak menceritakan persoalannya, membuat hatiku tertindih dan lebih sengsara daripada kalau tahu persoalannya. Menghadapi persoalan, kita dapat mempergunakan akal bagaimana untuk mengatasinya, akan tetapi menghadapi rahasia begini, benar-benar mebuat hati gelisah tidak karuan, menduga yang bukan-bukan."

   "Aihhh..... persoalan orang-orang muda. Dahulu ketika suami hamba masih hidup sering kali hamba cekcok dengannya. Cekcok kecil-kecilan dalam rumah tangga merupakan bumbu penyedap penghidupan suami-isteri, kadang-kadang bahkan dapat menjadi pembangkit cinta. Akan tetapi kalau terjadi pertengkaran besar, hemmm, tidak ada kesengsaraan yang lebih berat dirasa daripada pertengkaran antara suami isteri. Sikap majikan mengingatkan hamba dahulu ketika suami hamba mencemburukan hamba dengan seorang tetangga. Aihhh, gila dia...........!"

   Yan Cu tersentak kaget.

   "Cemburu.......?"

   Dia berkata lirih dan selanjutnya dia tidak mendengar suara Chie-ma yang bercerita tentang cemburu suaminya itu. Otaknya diputar, mengingat-ingat. Itulah yang mengganggu hati suaminya? Cemburu?

   Akan tetapi, apa yang dicemburukan dan mengapa? Tiba-tiba ia teringat percakapan mereka tadi. Cong San marah sekali ketika ia mengajak pergi ke Cin-ling-san. Begitulah kiranya? Mencemburukan dia dengan suhengnya? Tiba-tiba wajah Yan Cu menjadi merah. Tak mungkin. Ini timbul dari hatinya sendiri yang harus mengaku bahwa dahulu, sebelum bertemu dengan Cong San, memang ada perasaan cinta di hatinya terhadap Keng Hong. Akan tetapi cintanya berubah setelah ia bertemu dengan Cong San, berubah menjadi cinta saudara. tak mungkin suaminya cemburu karena Keng Hong yang tak pernah dijumpainya semenjak dia menikah, bahkan tak pernah berkirim berita. Tidak ada alasan sedikit juga bagi Cong San untuk mencemburukan dia dengan Keng Hong atau dengan laki-laki lain yang manapun juga.

   "Laki-laki kalau sudah cemburu memang seperti gila,"

   Dia mendengar lagi omongan Chie-ma,

   "seperti mendiang suami hamba dahulu. Dia hanya menyangka tanpa bukti, dan karena tidak ada bukti dia tidak berani menuduh terang-terangan kepada hamba. Akan tetapi sikapnya sejak itu, minta ampun! kelihatan marah, berduka, dan sinar matanya penuh penghinaan. Kalau malam, ampun, dia manjanya setengah mampus, inginnya hamba bersikap seperti di waktu malam pertama pengantin! Kalau hamba bersikap dingin sedikit saja, seolah-olah hatinya yang dibakar cemburu itu disiram minyak dan dia marah-marah kepada diri sendiri tidak karuan! baru setelah terbukti bahwa cemburunya itu kosong, dia minta-minta ampun sampai berlutut di depan kaki hamba! Coba, siapa tidak mendongkol? Untung tidak ada palang pintu dekat dengan hamba, kalau ada tentu akan hamba gecek kepalanya!"

   Yan Cu tersenyum juga mendengar cerita pelayannya. hatinya agak lega. Setidaknya, ada bahan baru baginya untuk berusaha menyingkap tabir rahasia sikap suaminya. Siapa tahu, mungkin suaminya cemburu kepadanya. Dan kalau hal ini benar, dia akan bertanya terus terang. Sekali suaminya terpancing dan suka bicara terus terang, dia yakin bahwa semua persoalan akan dapat ia atasi dan bereskan, karena suaminya bukanlah seorang yang tidak memiliki kecerdikan dan kebijaksanaan. Sementara itu, dengan dada panas seperti akan meledak dan kepala berdenyut pusing, Cong San lari cepat menuju ke pinggir telaga.

   Tempat ini telah menjadi tempat di mana dia sering kali termenung seorang diri, menumpahkan segala perasaan yang tertekan sambil memandangi air telaga. Air yang bening dan tenang itu dapat menenangkan hatinya. Akan tetapi sekali ini, hatinya tidak dapat tenang, bahkan makin dipikir makin panaslah hatinya. Ucapan isterinya masih terngiang di telinganya dan yang terdengar hanyalah kata-kata "rindu"

   Yang keluar dari mulut Yan Cu. Tentu rindu kepada Keng Hong! Kepada siapa lagi? Tak mungkin isterinya rindu kepada Biauw Eng, dan kalau isterinya menyebut "rindu kepada mereka"

   Tentu yang dimaksudkan rindu kepada Keng Hong!

   "Bresss!"

   Cong San memukul tanah di depannya dengan tinju, giginya berkerot menahan kemarahan. Cemburu merupakan bahaya yang amat besar bagi hati orang mencinta. Seperti tetumbuhan yang hidup di dahan pohon lain, makin lama makin membesar menghisap sari penghidupan pohon itu, makin lama makin mengakar dan berkembang mengancam kebahagiaan hidup orang yang dihinggapi penyakit ini. Cemburu merupakan sebuah penyakit dalam tubuh cinta kasih, menunggangi nafsu berahi dan nafsu mementingkan diri sendiri (egoism). Cinta murni timbul dari perasan hati ke hati, menimbulkan berbagai keinginan untuk memiliki, dimiliki, membela, dibela dan dorongan hasrat untuk bersatu lahir batin.

   Di sinilah nafsu cemburu menyelinap dan mengotorkan cinta dengan menunggang berahi dan mempergunakan sifat ingin mementingkan diri sendiri dari si manusia yang digodakan sehingga menimbulkan lemah kepercayaan terhadap orang yang dicinta. Kalau kekasih yang dicemburukan itu ternyata memang melakukan penyelewangan cinta, maka hal itu segera dapat mengakhiri keadaan dari siksa cemburu dan persoalannya selesai, keputusannya tergantung dari kebijaksanaan kedua fihak. Akan tetapi, amatlah berbahaya kalau tidak ada bukti penyelewengan seperti halnya kecemburuan Cong San terhadap isterinya. hal ini benar-benar menyiksa batin. Makin dipikir, makin dicurigakan dan diragukan, makin menyiksa karena kelemahan kepercayaan terhadap isterinya ini merupakan pupuk yang paling baik bagi nafsu cemburu sehingga tumbuh dengan suburnya, setiap detik mengusik pikiran menggerogoti hati.

   

Pusaka Pulau Es Eps 8 Si Bangau Merah Eps 20 Kisah Si Bangau Putih Eps 30

Cari Blog Ini