Ceritasilat Novel Online

Pedang Kayu Harum 49


Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo Bagian 49



Cong San menyiksa hati sendiri. Sejauh ini, yang terbukti hanyalah penyelewengan di fihak Keng Hong yang jelas telah menulis surat kepada Yan Cu dan surat itu selalu berada di saku bajunya. Tidak ada bukti sama sekali bahwa isterinya masih mencinta Keng Hong. Akan tetapi pandangannya yang sudah dicengkeram nafsu cemburu, melihat gerak-gerik dan kata-kata Yan Cu seolah-olah merupakan gambaran isterinya itu mencinta Keng Hong dan rindu kepada bekas kekasihnya itu. Hal ini mendorong khayal dibenaknya, khayal yang memanaskan dadanya, membayangkan betapa dahulu isterinya berkasih-kasihan dengan Keng Hong, betapa isterinya itu sebetulnya lebih mencinta Keng Hong daripada dia.

   Dan yang lebih menyakitkan hatinya lagi adalah dugaan yang tak dapat dia tekan-tekan dan dilenyapkan bahwa anak mereka, Kun Liong, belum tentu keturunannya, mungkin keturunan Keng Hong! Kalau teringat akan hal yang satu ini, sering kali Cong San menangis di tepi telaga. Bagi orang yang belum pernah merasakan betapa hebat kekuasaan nafsu cemburu, tentu akan mencela kelemahan hati Cong San dan akan menyalahkannya. Akan tetapi, patut dikasihani orang muda ini. Cemburu memang merupakan siksaan hebat, dan bagaimana Cong San tidak akan merasa cemburu setelah segala yang dia hadapi semenjak dia menikah dengan Yan cu? Dia mencinta Yan Cu lahir batin, mencinta sampai di setiap detik darah dan peluhnya, sampai menempel di setiap helai bulu badannya. Akan tetapi, kenyataan yang menyolok matanya sungguh hebat!

   Ucapan-ucapan keji dari Cui Im dan Go-bi Thai-houw, kemudian kenyataan bahwa isterinya bukan perawan lagi, ditambah pula surat dari Keng Hong, dan tadi isterinya merengek minta pergi mengunjungi Cin-ling-san karena rindu! Setelah kenyataan semua itu, betapa mungkin dia dapat bertemu muka dengan Keng Hong? Kalau dia tidak ingat bahwa di fihak isterinya belum ada bukti penyelewengan dan mencinta Keng Hong, tentu surat dari Keng Hong itu sudah cukup baginya untuk datang ke Cin-ling-san dan menantang Keng Hong bertanding mengadu nyawa! Dia tidak pernah menegur isterinya, tidak pernah membencinya, melainkan berkorban diri dengan menyiksa hati sendiri. Hal ini dia lakukan karena dia tidak ingin menyinggung hati isterinya yang dia cinta, sama sekali dia tidak sadar bahwa sikapnya ini bahkan menimbulkan kegelisahan dan kedukan di hati isterinya.

   "Ya Tuhan, apa yang harus hamba lakukan?"

   Berkali-kali Cong San mengeluh di dalam hatinya ketika dia duduk seperti arca memandang air telaga tanpa melihat apa yang dipandangnya. Tekanan batin ini membuat dia seperti buta dan tuli, sehingga dia yang telah memiliki pendengaran tajam terlatih tidak tahu bahwa ada orang menghampirinya dan kini berdiri antara tiga meter di belakangnya. barulah dia kaget dan meloncat bangun dan membalikkan diri ketika terdengar suara orang itu tertawa,

   "Hi-hi-hik, orang muda yang tampan dan bodoh! Apakah baru sekarang engkau melihat kebodohanmu?"

   "Iblis betina!"

   Cong San memaki ketika mengenal bahwa yang berdiri di depannya adalah Cui Im, orang yang dibencinya!

   "Tahan!"

   Cui Im mengangkat tangan ke atas ketika melihat Cong San sudah akan menyerangnya.

   "Aku datang bukan untuk bertanding denganmu. Engkau tidak tahu betapa aku kasihan kepadamu, melihat engkau dipermainkan orang! Engkau seperti buta, tidak tahu betapa engkau dipermainkan isterimu dan Keng Hong!"

   "Mulut busuk!"

   Cong San menerjang dan mengirim pukulan keras ke arah dada Cui Im. Dengan gerakan lincah Cui Im meloncat ke samping lalu mundur.

   "Tahan, dengar dulu omonganku! Aku hanya ingin menolongmu, membuka matamu yang buta. kalau kau menghadapi Keng Hong, mana kau mampu menangkan dia? Aku akan membantumu membalas penghinaan yang dilakukan olehnya kepadamu."

   "Aku tidak percaya mulutmu yang beracun, iblis betina!"

   Cong San menyerang lagi. Cui Im meloncat jauh, lalu melemparkan sehelai kertas.

   "Nah, bacalah ini dan apakah kau tidak mengenal tulisan isterimu sendiri? Hi-hi-hik! Selama engkau menyiksa hati di pinggir telaga setiap hari, apakah kerjanya istrimu? Bertemu dengan kekasihnya di hutan sebelah utara telaga. Sekarang pun aku berani bertaruh mereka sedang berkasih-kasihan di sana. Sumoi tolol!"

   "Keparat, kubunuh engkau!"

   Cong San menerjang lagi, akan tetapi Cui Im sudah menggerakan kaki tangannya melawan dengan jurus In-keng-hong-wi (Awan menggetarkan angin dan hujan). Jurus ini hebat sekali karena inilah ilmu Silat San-in-kun-hoat peninggalan Sin-jiu Kiam-ong yang sudah dipelajarinya. Angin pukulan yang dahsyat ini takkan dapat dihadapi orang yang tingkatnya setinggi Cong San sekalipun sehingga orang muda itu terhuyung ke belakang. Kalau Cui Im menghendaki, tentu dia telah roboh oleh hantaman ini, namun Cui Im tidak menghendaki demikian dan ketika Cong San meloncat lagi, wanita itu telah lenyap, cepat bukan main gerakannya. Cong San mengejar, akan tetapi kehilangan jejak musuhnya.

   Dengan alis berkerut dia kembali ke tempat tadi, memandang kertas yang menggeletak di atas tanah. hari telah mulai senja, cuaca sudah agak gelap maka dari tempat dia berdiri, dia hanya melihat kertas yang ada tulisannya. Hatinya berkeras tidak mau percaya Cui Im, akan tetapi nafsu cemburu membuat dia membungkuk dan seperti di luar kehendaknya, tangannya menyambar kertas. Begitu melihat huruf-huruf itu, jantungnya berdebar dan kepalanya pening. Tidak dapat disangkal lagi, itulah huruf-huruf tulisan Yan Cu! Betapa dia tidak mengenal tulisan isterinya yang setiap hari sering kali membuat resep obat, huruf-huruf yang indah dan kecil, rapi seperti bunga-bunga diatur dalam sebuah taman! Matanya terbelalak dan entah beberapa kali dia membaca isi surat itu.

   Suheng, kekasihku.

   Suheng, harap temui aku sore ini di tempat biasa. Aku tidak tahan lagi. Dia agaknya mulai curiga. Suheng, tolonglah aku, mati hidup aku ikut bersamamu, Suheng, kekasihku.

   Baru membaca dua baris kalimat ini saja naik hawa kemarahan dari perut Cong san dan matanya berkunang-kunang. Setelah dia menggosok matanya, baru dia dapat melanjutkan, keringatnya memenuhi muka dan lehernya, kedua tangannya menggigil. Cong San roboh lemas, surat dikepalnya, napas terengah-engah. Di tempat biasa! Ah, iblis betina itu sengaja hendak menghancurkan kehidupannya, akan tetapi tidak membohong! Isterinya masih melanjutkan hubungan terkutuk itu bersama Keng Hong. Di tempat biasa! Di hutan sebelah utara telaga!

   Cong San seperti gila. Melompat berdiri, memaksa kedua kakinya yang menggigil untuk berlari cepat menuju ke utara. Matahari telah tenggelam di barat, dia mempercepat kedua kakinya berlari, takut terlambat untuk memergoki isterinya. Menangkap basah! Ya Tuhan, mengapa sampai terjadi begini? Surat dimasukan ke dalam saku baju, menjadi satu dengan surat dari Keng Hong dahulu, giginya berkerot dan dia tidak tahu apa yang akan dilakukan kalau berjumpa dengan Keng Hong dan isterinya. Setelah memasuki hutan yang agak gelap, dia melihat dua bayangan manusia dan otomatis dia menghentikan larinya, lalu menyelinap di antara pohon-pohon, mendekati dengan hati-hati. Jantungnya berdebar sehingga kedua telinganya mendengar denyut jantungnya seperti tambur dipukul.

   Tak salah lagi. laki-laki itu tentu Keng Hong! Dia mengenal bentuk tubuh dan potongan wajahnya, biarpun agak gelap. pakaiannya, gerakannya, siapa lagi kalau bukan Keng Hong si keparat? Dan wanita itu, masa dia tidak mengenal isterinya? Memang mereka membelakanginya, akan tetapi sanggul rambut itu, pakaian itu, dia mengenal betul. Isterinya! Berjalan perlahan, berbisik-bisik dengan Keng Hong yang merangkul pinggang isterinya! Kemudian mereka berhenti melangkah sebentar dan....... hampir Cong San pingsan menyaksikan betapa Keng Hong mencium bibir isterinya. Mereka berciuman, bibir dengan bibir, lama sekali dan melihat betapa lengan isterinya merayap naik dan melingkari leher Keng Hong, melihat betapa kedua tangan Keng Hong mendekap pinggang dan pinggul isterinya!

   "Ya Tuhan......!"

   Keluhnya dan agaknya kedua orang terkutuk itu mendengar suaranya karena mereka itu menengok dan tiba-tiba mereka berkelebat lari dari tempat itu, cepat sekali.

   "Keng Hong, manusia hina, tunggu!!"

   Cong San meloncat, mengejar, akan tetapi karena gerakan kedua orang itu cepat sekali dan hutan itu pun gelap, dia tidak dapat menyusul dan kehilangan mereka.

   Dengan marah seperti gila dia berteriak-teriak, memaki-maki dan mencari ubek-ubekan di dalam hutan itu sampai akhirnya dia menjatuhkan diri di atas tanah, memegangi kepala dengan kedua tangan, terengah-engah seperti akan putus napasnya, bukan karena lelah berlari-lari sejak tadi, melainkan terengah-engah karena kemarahannya. Kemudian dia teringat. Apapun yang akan dia lakukan terhadap Keng Hong, dia harus berjumpa dengan isterinya lebih dulu! Dia harus membikin perhitungan dengan isterinya, membereskan persoalan ini. Maka dia lalu meloncat lagi, berlari menuju ke rumahnya. Tokonya masih tutup dan kedatangannya disambut oleh Chie-ma yang menggendong Kun liong. Ketika pelayan itu melihat wajah Cong San, hampir dia berteriak kaget. Wajah itu menakutkan, matanya merah dan melotot, rambu awut-awutan, pakaiannya kotor terkena lumpur dan debu, giginya berkerot, napasnya terengah.

   "Di mana Toanio?"

   Cong San bertanya dan kalau saja pelayan ini tidak mengenal betul wajah majikannya, tentu dia akan mengira bahwa yang bicara ini adalah orang lain. Suara majikannya demikian berubah!

   "Toanio....... baru saja pergi, tergesa-gesa, entah ke mana akan tetapi kelihatannya bingung......"

   "Lekas siapkan pakaian Kun Liong, bantal yang baik dan siapkan di kamar!"

   Menyaksikan sikap majikannya dan mendengar suaranya, pelayan itu tidak berani banyak cakap lagi, dan biarpun terheran-heran namun dia melakukan perintah itu. Cong San menyalakan lampu besar di toko, tidak membuka tokonya lalu duduk terhenyak di kursi, menanti kedatangan isterinya. Ke manakah perginya Yan Cu kalau tidak mengadakan pertemuan hina dan berzinah dengan Keng Hong, pikirnya. Keparat, wanita berhati palsu dan berkelakuan hina dan rendah!

   "Brakkkkk.....!"

   Pintu terbuka dari luar dan muncullah Yan Cu dengan muka pucat. Ketika melihat Cong San duduk di atas kursi, Yan Cu berseru,

   "San-koko.....!"

   Ia menubruk dan memeluk suaminya.

   "Jangan sentuh aku!!"

   Cong San menangkis dan Yan Cu hampir roboh terguling kalau dia tidak cepat meloncat ke kiri, berdiri memandang suaminya dengan mata terbelalak kaget seperti melihat setan.

   "Kau...... kau...... ada apakah.......? Apakah terluka? Apakah yang terjadi.........?"

   Yan Cu bertanya gugup dan bingung. Cong San mendelik.

   "Perempuan........"

   Dia tidak melanjutkan makiannya dan naik sedu-sedan dari dadanya yang mencekik kerongkongannya. Tidak, dia tidak mungkin dapat mengutuk isterinya, tidak dapat dia memaki isterinya. Melihat wajah itu, wajah yang terbelalak pucat membayangkan ketakutan hebat, dia merasa kasihan. Ahhhh, dia mencinta isterinya betapa mungkin dia menyakitinya, baik tubuh maupun jiwanya.

   "Yan Cu, engkau masih bertanya apa yang terjadi? Aihhh, begitu kejamkah hatimu? Begitu palsukah? Apa yang terjadi? Sepatutnya engkau yang menceritakan kepadaku, apa yang terjadi......."

   Ia terisak dan memejamkan matanya. Yan Cu berlutut.

   "Suamiku......... apa yang terjadi? Aku diberitahu orang, entah siapa, bahwa engkau bertanding dengan seorang wanita...... aku khawatir sekali, menduga bahwa tentu iblis betina Cui Im yang menyerangmu. Aku berlari cepat menyusulmu ke telaga, akan tetapi tidak ada siapa-siapa di sana. Aku cepat pulang dan....."

   "Cukuplah!"

   Cong San berteriak, menjerit karena suara itu adalah jeritan hatinya. Kalau isterinya menangis dan menyatakan penyesalannya, minta ampun dan menceritakan dengan terus terang, agaknya dia akan dapat memaafkan isterinya yang dia cinta. Ia siap melakukan pengorbanan apa pun juga. Akan tetapi isterinya malah membohong! Isterinya yang dia lihat tadi berciuman mesra dengan Keng Hong....... pakaian itu, rambut itu...... tidak, tidak salah lagi, kini malah membohong seolah-olah matanya buta!

   "Yan Cu, tidak perlu membohong dan tidak perlu kiranya bicara lebih panjang kalau hal itu menyakitkan hatimu. Kalau engkau memang mencintanya, biarlah aku mengalah, aku mundur....."

   "Suamiku! Ucapan apa yang kau keluarkan ini? Apa..... apa maksudmu? Demi Tuhan, apa maksudmu?"

   Yan Cu berteriak-teriak, tidak peduli apakah teriakannya akan terdengar tetangga. Cong San hampir hilang kesabarannya. Yan Cu masih bermain sandiwara! Ini melampaui batas! Mengapa tidak berterus terang saja? Bukti-bukti sudah cukup. Ia bangkit berdiri, merogoh sakunya mengeluarkan dua buah surat yang selama ini mengganjal hatinya.

   "Tulisan siapa ini?"

   Ia membeberkan surat kecil yang diterimanya dari Cui Im tadi. Yan Cu memandang pucat, dari tempat ia berlutut ia tidak dapat membaca isi surat, akan tetapi ia mengenal tulisannya sendiri.

   "Seperti tulisanku...... surat apakah itu?"

   Cong San membanting kakinya dengan pengerahan sinkang sehingga kakinya amblas sampai beberapa senti meter di lantai. Tangannya bergerak dan surat Keng Hong melayang ke bawah.

   "Lihat surat kekasihmu ini! Utusannya datang untuk memberikannya kepadamu, akan tetapi aku merampasnya. Apakah masih perlu banyak membohong lagi?"

   Dengan muka pucat dan mata terbelalak Yan Cu mengambil dua surat itu, membacanya dan wanita itu demikian heran, bingung, dan marahnya sehingga ia mengeluarkan jerit aneh dan terkulai lemas, roboh pingsan! Hampir saja Cong San menubruk dan memeluk isterinya. Melihat wanita yang dicintainya itu roboh pingsan, hatinya tidak kuat. Akan tetapi, dia tahu bahwa tanpa sepatah pun kata Yan Cu telah mengaku, maka isterinya itu pingsan. Ia menguatkan hatinya, meloncat bangun dan lari ke dalam menyambar Kun Liong dari gendongan Chie-ma yang berdiri menggigil dan memandang dengan mata terbelalak, menyambar buntalan pakaian anaknya lalu melesat keluar dari kamar. Chie-ma menjerit dan lari keluar, hampir menginjak tubuh Yan Cu yang menggeletak di lantai.

   "Toanio......! Aihhhh..... Toanio, apa yang terjadi ini........?"

   Chie-ma memeluk tubuh majikannya yang pingsan dan melolong-lolong, merasa seolah-olah dunia kiamat karena dia tidak tahu apa yang menyebabkan semua kejadian hebat ini. Yan Cu siuman, mengeluh dan teringat. Cepat ia meloncat bangun sehingga Chie-ma terpelanting.

   "Mana suamiku.......?"

   "Ahhhh, Toanio...... dia....... dia membawa Kun liong, lari......"

   "San-koko........! Suamiku......! Ini semua fitnah.......!"

   Ia menjerit-jerit, lari masuk ke kamar, mencari-cari, lari keluar sehingga para tetangga yang kaget mendengar jeritan-jeritan itu keluar rumah. Mereka melihat Yan Cu berlari-larian cepat sekali, ke sana ke mari, tidak tahu hendak mengejar ke mana, kemudian nyonya muda itu terguling roboh, pingsan lagi di pinggir jalan! Dengan bantuan para tetangga, Chie-ma menggotong tubuh Yan Cu memasuki toko. Setelah siuman, Yan Cu menangis, mengguguk. Kemudian ia turun, mengambil dua surat dan menyimpannya. Ia masih bercucuran air mata, akan tetapi tidak menangis lagi, wajahnya membayangkan sikap dingin yang mengerikan.

   "Chie-ma, kau jaga baik-baik rumahku. Aku harus pergi mengejar suamiku,"

   Katanya dan tanpa banyak cakap lagi malam-malam itu Yan Cu lari keluar, mencari dan mengejar suaminya. Chie-ma yang dikerumuni para tetangga hanya melolong-lolong, tidak mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka karena sesungguhnya dia sendiri pun tidak mengerti apa yang telah terjadi. Setelah para tetangga pulang, Chie-ma masih menangis. Cemburu! Tentu itu sebabnya. Cemburu.

   "Ya Tuhan, lindungilah mereka...... aduhhh, kebahagiaan mereka hancur oleh cemburu....."

   Ia menangis lagi semalam suntuk.

   "Nih, kau pondong Giok Keng....."

   Biauw Eng cemberut, cemberut buatan, menerima bayi yang baru berusia sebulan itu dari pondongan suaminya.

   "Ihhh, baru sebentar saja sudah diberikan kepadaku. Apakah kau kecewa mempunyai anak perempuan? Kau mengharapkan anak laki-laki, ya?"

   "Wah-wah-wah, omongan apa itu?"

   Keng Hong mencium pipi anaknya yang montok kemerahan di pondongan Biauw Eng.

   "Biauw Eng isteriku yang jelita, aku bukanlah seperti ayah berpendirian usang yang mengutamakan anak laki-laki saja yang kelak akan dapat menjamin kehidupan orang tua di hari tuanya, hanya anak laki-laki saja yang dapat menyenangkan hati orang tua. Pendirian macam itu amat pandir dan picik, menilai anak seperti orang menilai barang dagangan saja, diperhitungkan rugi untung dalam soal benda! Betapa keji pandangan itu. Tidak, isteriku, aku sayang kepada anak kita, tiada bedanya andaikata dia laki-laki. Dan aku tidak ingin anak laki-laki saja!"

   "Akan tetapi, semua orang tua mengharapkan anak laki-laki, bukan hanya karena dianggap sebagai jaminan di hari tua, melainkan juga sebagai penyambung keturunan!"

   Biauw Eng memancing, untuk yakin akan pendirian suaminya yang sudah ia kenal kebijaksanaannya itu.

   "Phuhhh! Apa artinya keturunan? Apakah keturunan anak perempuan bukan menjadi keturunan kita pula? pandangan orang yang pikirannya picik itu terlalu melekat soal she (nama keturunan). Bagiku, sama saja. laki-laki atau perempuan tetap anak kita, bukan kelaminnya yang membahagiakan orang tua, melainkan kelakuan anak itu sendiri. Biar perempuan kalau menjadi seorang manusia utama yang mengutamakan kebijaksanan, tentu akan menjunjung tinggi nama orang tua dan mendatangkan kebahagiaan lahir batin, sebaliknya biarpun anak laki-laki kalau menjadi orang rendah (siauw-jin) hanya akan menyeret nama orang tua ke dalam lumpur kehinaan!"

   "Wah, wah, wah, kau bicara begitu karena kebetulan anakmu perempuan! Apakah kau tidak ingin mempunyai anak laki-laki?"

   "Wah, tentu saja! Akan tetapi, kita masih muda dan engkau...... hemmm, begini cantik, makin jelita setelah mempunyai anak!"

   Keng Hong merangkul dan mencium bibir isterinya yang dibalas dengan mesra dan bangga oleh Biauw Eng.

   "Kalau benar begitu, mengapa kau tidak pernah lama memondongnya?"

   Keng Hong memegang dan mempermainkan tangan-tangan kecil anaknya penuh rasa sayang.

   "Ahhh, aku...... takut dan ngeri."

   "Hah? Apa maksudmu?"

   "Dia begini kecil, kelihatannya begini....... ah, aku gemetar kalau memondongnya, takut kalau-kalau dekapanku akan menyakitkannya, takut kalau-kalau dia jatuh."

   Biauw Eng tertawa.

   "Engkau cangung sekali dan kaku kalau memondong."

   "Lihat, dia tersenyum! Ahhhh, senyumnya sudah memikat seperti senyum ibunya. Mulutnya seperti mulutmu, Eng-moi, dan hidungnya juga, dagunya juga, persis kau!"

   "Akan tetapi matanya seperti matamu, Hong-ko dan lihat jari-jari tangannya, dan jari-jari kakinya, hi-hi-hik, pendek-pendek seperti jari-jarimu!"

   "Wah, sejak kapan kau memperhatikan jari-jari kakiku?"

   Keng Hong melotot.

   "Sejak...... ihhh, sejak......"

   Mereka tertawa penuh bahagia.

   "Eng-moi, berjanjilah."

   "Janji apa?"

   "Janji bahwa engkau akan memberiku tiga lagi! Tiga orang adik Giok Keng, dua laki-laki dan seorang perempuan lagi, jadi dua laki-laki dua perempuan. Cukup, bukan?"

   Biauw Eng menggeleng kepala.

   "Tidak cukup. Biar selosin!"

   "Hushhh.....!"

   "Biar kau repot kelak kalau mereka semua merengek minta baju baru dan sepatu baru. Baru tahu rasa kau!"

   Tiba-tiba Keng Hong menjatuhkan diri di atas bangku di taman belakang rumah mereka, lengan kiri menekan siku di atas lutut, tangan kiri menunjang dagu, tangan kanan memijit-mijit pelipis, alisnya berkerut.
(Lanjut ke Jilid 45)
Pedang Kayu Harum (Seri ke 01- Serial Pedang Kayu Harum)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 45
"Waduh, anak selosin....... dan aku hanya menjadi petani di gunung ini. Mana cukup? Dan mereka perlu pendidikan semua. Kalau kita tidak tinggal di kota, dan aku mempunyai penghasilan cukup besar, wah, kasihan sekali mereka.......! Aihhh, kita harus berusaha, isteriku, kalau tidak, kasihan dong mereka."

   Biauw Eng memandang dengan mata terbelalak, mulutnya menahan tawa.

   "Benar, suamiku, tidak sedikit biayanya."

   "Dua belas pasang sepatu baru, dua belas pasang pakaian, selosin perut di tambah kita berdua yang setiap hari harus diberi makan, wahh, kalau aku tidak bekerja keras, aduhhh, kasihan sekali mereka......!"

   "Stop! Mereka siapa yang kau kasihani itu?"

   "Siapa lagi? Anak-anak kita yang selosin itu......."

   "Eh, mabuk atau mimpi kau? Anak kita cuman satu!"

   Keng Hong bengong dan akhirnya tertawa, menampar kepalanya sendiri.

   "Aihhh, aku tidak merasa seolah-olah kita telah mempunyai selosin orang anak! Wah-wah-wah, kalau begitu jangan membalap, isteriku."

   "Membalap apa?"

   "Produksi anak itu lho! Lambat-lambat saja."

   "Hushhh! Cabul kau, ya?"

   Kembali mereka tertawa-tawa. Memang, tiada kebahagiaan yang melebihi kebahagiaan dalam hubungan suami isteri yang penuh kasih sayang, penuh pengertian, penuh kepercayaan dan kesetiaan. Apalagi kalau suami isteri itu sudah dikaruniai anak!

   "Cia Keng Hong!"

   Keng Hong dan isterinya yang sedang bersendau gurau dan menimang-nimang anak mereka itu terkejut dan menoleh.

   "Cong San.......!!"

   Keng Hong melompat dan lari menghampiri Cong San dengan kedua tangan dilonjorkan untuk memeluk sahabat baiknya itu, wajahnya berseri dan hatinya girang bukan main. Tiba-tiba dia berhenti dan memandang keadaan sahabatnya dengan mata terbelalak. Wajah Cong San pucat sekali, matanya merah, rambutnya mawut dan pakaiannya tidak karuan.

   "Cong San...... apa....... yang terjadi?"

   Saking marahnya, sukar bagi Cong San untuk mengeluarkan kata-kata. Kemudian dia membentak,

   "Manusia berhati palsu! Aku datang untuk mengadu nyawa denganmu!"

   Setelah berkata demikian, tiba-tiba Cong San menerjang dengan pukulan hebat ke arah Keng Hong. Pendekar ini terkejut bukan main. Gerak reflex dari tubuhnya yang sudah memiliki ilmu kepandaian tinggi itu membuat dia otomatis menangkis, akan tetapi karena dia tidak merasa berhadapan dengan musuh, tangkisannya itu dilakukan tanpa pengerahan tenaga.

   "Desss!!"

   
Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Tubuh Keng Hong terlempar dan dia jatuh menggulingkan diri, lalu meloncat bangun sambil berseru,

   "Heiiiiii! Cong San, mengapa.......?"

   Akan tetapi Cong San terlah menerjang lagi, kini dengan tendangan ke arah bawah pusar, tendangan maut! Keng Hong yang masih bingung itu cepat mengelak, akan tetapi kembali dadanya kena dihantam.

   "Bukkk!"

   Tubuhnya terguling-guling untuk kedua kalinya.

   "Engkau atau aku yang harus mampus!!"

   Cong San membentak dan meloncat ke depan, mengirim pukulan hebat yang dimaksudkan untuk membunuh.

   "Plak-plak-plak-plak-plak!!"

   Bertubi-tubi datangnya pukulan Cong San yang selalu ditangkis oleh Keng Hong. Kalau Keng Hong menggunakan sinkangnya, tentu tangkisan itu sudah cukup membuat penyerangannya terjengkang. Akan tetapi Keng Hong tidak mau melakukan hal itu, maka biarpun dia bergerak cepat menangkis terus, karena tidak sungguh-sungguh melawan, kembali sebuah tendangan Cong San mengenai perutnya.

   "Desss!!"

   Tendangan ini hebat bukan main karena yang dimainkan adalah ilmu menendang dari Siauw-lim-pai yang amat kuat dan cepat. kalau orang lain yang terkena tendangan ini, andaikata orang itu memiliki kekebalan juga,

   Tentu isi perutnya mengalami getaran hebat dan akan menderita luka di sebelah dalam. Akan tetapi Keng Hong hanya terlempar dan terbanting lalu bergulingan tanpa menderita luka, luar maupun dalam. Pada detik berikutnya, tubuh Cong San sudah meloncat ke depan dan kakinya siap menginjak kepala Keng Hong dengan pengerahan tenaga sinkang sekuatnya. Apalagi hanya kepala orang, batu pun akan pecah terkena injakan dahsyat ini. Dan biarpun Keng Hong seorang yang memiliki kepandaian tinggi sekali, jauh lebih tinggi daripada tingkat kepandaian Cong San, namun dia tidak berani menerima injakan pada kepalanya itu. Dia menjadi penasaran, cepat tangannya menyambar, menangkap kaki Cong San dan sekali dia mengerahkan tenaga mendorong tubuh Cong San terlempar dan terbanting ke atas tanah!

   "Cong San sahabatku yang baik, apakah engkau telah gila?"

   Keng Hong melompat bangun. Cong San sudah bangkit lagi dan mencabut senjatanya, sepasang Im-yang-pit hitam dan putih.

   "Memang aku telah gila! Aku tahu, kepandaianku masih terlalu rendah untuk melawanmu, akan tetapi aku tidak takut. Engkau atau aku yang harus mampus!"

   Setelah berkata demikian, Cong San menerjang maju lagi dengan sepasang senjatanya, menotok ke arah jalan darah yang mematikan. Keng Hong cepat mengelak dan dia terhuyung-huyung ke belakang. Peristiwa ini amat mengejutkan dan mendukakan hatinya sehingga dia tidak begitu mementingkan keselamatan dirinya sendiri. Desakan Cong San yang sudah amat marah sekali itu membuatnya membuatnya terhuyung dan melihat ini, Cong San makin beringas, mengirim serangan maut tanpa memperhatikan penjagaan diri sendiri.

   "Cong San......!"

   Keng Hong berteriak, kaget bukan main karena maklum bahwa jurus serangan itu tak mungkin dielakan lagi, juga amat berbahaya dan satu-satunya jalan baginya hanya "mendahului"

   Lawan dengan pukulan atau tendangan. Akan tetapi dia tidak mau melakukan hal ini. Keadaannya amat berbahaya dan biarpun dia memiliki sinkang kuat, namun masih diragukan apakah kekebalannya akan dapat menahan sepasang Im-yang-pit yang amat lihai itu. Cong San yang wajahnya seperti berubah menjadi iblis itu menggerakan sepasang Im-yang-pit, yang kanan menusuk ke arah mata, yang kiri menusuk ke arah ulu hati.

   "Trang-trangggggg......!!"

   Cong San terhuyung ke belakang, sepasang Im-yang-pitnya terpental dan hampir terlepas dari tangannya. Ternyata Biauw Eng telah berdiri di depannya dengan muka merah dan mata terbelalak seperti menyinarkan api. Dua buah senjata rahasianya, bola-bola berduri, tadi telah menyambar dan menangkis sepasang Im-yang-pit, dan kini sabuk suteranya yang putih sudah bergerak melayang-layang di atas kepala penuh ancaman.

   "Yap Cong San! Kalau engkau sudah gila, aku masih bisa mengampunimu, akan tetapi kalau kau tidak gila, jangan kira engkau boleh menghina suamiku begitu saja! Apakah engkau sudah demikian jagoan sehingga hendak menjual laga di sini?"

   Sikap Biauw Eng seperti seekor singa betina diganggu anaknya, wajahnya yang cantik itu mangar-mangar kemerahan dan sinar matanya berapi-api. Cong San masih memandang Keng Hong penuh kebencian. Tanpa menoleh ke arah Biauw Eng dia berkata suaranya dingin,

   "Sie Biauw Eng, aku tidak memusuhimu, tidak ada urusan sesuatu denganmu. Aku malah kasihan kepadamu. Akan tetapi, aku harus membunuh manusia hina Cia Keng Hong ini, atau aku sendiri yang akan mati di tangannya!"

   Kembali dia menerjang ke depan, menyerang Keng Hong dengan senjatanya yang digerakkan cepat, menggunakan jurus nekat yang hendak mengadu nyawa.

   "Kalau begitu, engkaulah yang mampus!"

   Bentak Biauw Eng dan begitu tangannya bergerak, tampak sinar putih menyambar dan tahu-tahu sepasang Im-yang-pit telah terbang terlepas dari kedua tangan Cong San, terampas oleh ujung sabuk yang amat lihai. Dalam kemarahanya, Biauw Eng kembali menggerakan tangan dan kedua batang pit yang terlilit ujung sabuknya itu kini meluncur seperti dua batang anak panah ke arah tubuh Cong San!

   "Eng-moi..... jangan......!!"

   Keng Hong berseru, namun terlambat karena sudah tampak sinar hitam dan putih sepasang pit itu meluncur cepat sekali ke arah Cong San. Keng Hong melempar diri ke depan, berhasil menyambar pit hitam, akan tetapi karena jaraknya amat dekat dan posisinya juga miring, pula dia tidak mengira isterinya akan membunuh Cong San, pendekar ini tak dapat meloloskan diri dari pit putih yang menyambar dan menancap di pundaknya. Keng Hong berdiri tenang, mencabut pit putih dari pundaknya, membiarkan darah muncrat dari lukanya dan menyerahkan sepasang pit itu kepada Cong San sambil berkata,

   "Cong San, ada persoalan dapat dibicarakan, kalau memang aku bersalah, setelah kita bicara, masih belum terlambat bagimu untuk membunuhku. Dan percayalah, kalau aku bersalah, aku akan menyerahkan nyawa dengan suka rela."

   Cong San menyambar sepasang pitnya dan membentak,

   "Mau bicara apa lagi? Kepura-puraanmu ini saja sudah menjadi jawaban, sudah menjadi bukti akan kerendahan budi dan kekotoran watakmu. Hayo, kau bunuh saja aku!"

   Biauw Eng menarik tangan suaminya dengan kasar kebelakang, kemudian dia sendiri melangkah maju menghadapi Cong San sampai dekat sekali. Telunjuk kirinya menuding hampir menyentuh hidung Cong San dan suaranya melengking nyaring tanda bahwa nyonya muda ini sudah kehilangan kesabarannya.

   "Yap Cong San, tak usah banyak bicara kalau begitu! Aku pun muak mendengarkan omonganmu. Kalau engkau tidak gila, tentu engkau sudah buta oleh cemburu, engkau manusia tolol. Memang tidak perlu bicara lagi, aku Sie Biauw Eng, saat ini menantangmu untuk mengadu nyawa! Hayo, keluarkan semua kepandaianmu, dan kalau aku tidak bisa membunuh engkau yang telah menghina suamiku, jangan sebut aku Sie Biauw Eng,"

   Dadanya bergelombang dan tangannya yang memegang sabuk sutera menggigil, kakinya melakukan gerakan dibanting-banting ke arah tanah dan Keng Hong menjadi pucat wajahnya. Celaka, pikirnya, kalau isterinya sudah seperti itu, biar setan pun takkan mampu menahannya dan kalau Cong San melawan, dia sendiri belum tentu akan dapat menyelamatkan Cong San dari tangan maut isterinya. Akan tetapi Cong San tidak marah, malah menggeleng kepalanya dan suaranya penuh duka,

   "Sie Biauw Eng, sudah kukatakan tadi, aku tidak memusuhimu, aku bahkan kasihan kepadamu. Kita berdua menjadi korban, menderita nasib yang sama, bagaimana aku dapat memusuhimu? Aku pun tidak dapat bicara karena aku tidak mau merusak kebahagiaanmu. Biarlah sekali ini, memandang mukamu, aku mengundurkan diri. Akan tetapi jagalah engkau, Cia Keng Hong, sekali waktu aku akan menjumpaimu sendiri, tanpa campur tangan isterimu, dan saat itulah aku akan membunuhmu atau engkau terpaksa harus membunuhku. Sampai jumpa!"

   Cong San membalikkan tubuhnya dan lari dari situ. Keng Hong dan Biauw Eng mendengar suara sesenggukan keluar dari mulut orang yang lari itu.

   "Kasihan dia...... sungguh heran, apakah yang terjadi........?"

   Keng Hong berkata lirih. Biauw Eng membalikan tubuh menghadapi suaminya, matanya masih merah sekali dan ia berkata keras,

   "Cia Keng Hong, mengapa engkau begini pengecut?"

   Keng Hong terbelalak memandang isterinya.

   "Ahhhhh??? Aku....... pengecut? Apa maksudmu?"

   Biauw Eng membanting-banting kakinya.

   "Sungguh memalukan sekali, mempunyai suami seorang yang lemah, seorang pengecut! Engkau dihina orang, engkau diserang, engkau dimaki, dan engkau tidak membalas malah menaruh kasihan kepadanya! Di mana kegagahanmu?"

   Keng Hong menghela napas.

   "Isteriku yang manis, sabarlah......."

   Keng Hong melangkah maju dan hendak merangkul isterinya, akan tetapi Biauw Eng menggerakan pundaknya mengelak dan mulutnya cemberut.

   "Sabar apa? Aku dapat menduga bahwa dia itu tentulah cemburu kepadamu!"

   "Dia menjadi marah karena mengira yang tidak-tidak, dia menuduh dan hatinya dikacau oleh dugaan yang keliru."

   "Akan tetapi engkau yang dituduh, engkau difitnah. Kalau orang tidak bersalah, harus melawan! Kalau engkau diam saja dan mengalah, rela dihina, dimaki dan dipukul, hal itu berarti engkau memang bersalah!"

   "Wah-wah-wah, apakah engkau pun menuduh aku pula?"

   "Sikapmu sendiri yang membuat orang curiga! Kalau memang engkau bersih, mengapa engkau membiarkan dirimu dihina oleh Cong San?"

   "Eng-moi, isteriku yang manis........"

   "Bukan saatnya merayu! Hatiku sedang panas, tahu? Bicara seperlunya saja!"

   Pada saat itu terdengar suara anak menangis dan Biauw Eng sadar dari keadaan marah luar biasa itu. Dia cepat membalik, meloncat dan memondong anaknya yang tadi ia letakkan di atas rumput ketika ia turun tangan membela suaminya. Sambil memondong anaknya, dia membalik menghadapi suaminya dan biarpun sikapnya masih marah, namun matanya tidak lagi berapi-api, kedua lengannya menimang-nimang anaknya yang segera berhenti menangis. Melihat ini Keng Hong menjadi terharu dan terasa benar olehnya betapa isterinya amat mencintainya, membelanya dan tadi bahkan ingin mengadu nyawa dengan Cong San untuk membelanya.

   "Eng-moi, maafkan aku kalau aku mendatangkan penasaran di hatimu. Ketahuilah, aku tadi memang mengalah. Akan tetapi bukan mengalah karena kalah, bukan mengalah karena salah bukan pula mengalah karena takut, melainkan mengalah karena sadar, isteriku. Engkau sendiri tahu bahwa dia dalam keadaan tidak normal, seperti gila oleh kemarahannya, mungkin oleh cemburu yang tak berdasar. Nah, setelah aku sadar bahwa dia itu seperti gila, apakah aku pun harus menjadi gila seperti dia dan melayaninya?"

   Mata Biauw Eng melotot, dan mata itu bertambah indah dalam pandangan Keng Hong yang tahu bahwa akan ada badai mengamuk dari mata melotot itu.

   "Apa??"

   Badai itu mulai menyerangnya.

   "Engkau.........! Engkau menganggap aku gila.......?"

   "Lhohhh! Ehhhh..... apa lagi ini.........?"

   "Masih pura-pura lagi! Kau bilang dia gila, yang melawannya sama gilanya, dan aku tadi melawannya, jadi kau memaki aku gila? Ceraikan saja kalau begitu!"

   Biauw Eng mengusap air matanya yang menetes turun. Pucat wajah Keng Hong. Belum pernah dia melihat isterinya menitikkan air mata seperti ini, apalagi menantang dicerai! Dia menyesal sekali dan maklum bahwa urusan tidaklah sekecil yang dianggapnya semula. Cepat dia menjatuhkan diri berlutut dan berkata penuh penyesalan dan permohonan.

   "Eng-moi, isteriku yang terkasih, ibu anakku yang tersayang. Ampunkanlah mulut suamimu yang lancang dan pandangan yang dangkal ini......."

   Tiba-tiba Biauw Eng juga berlutut, menggunakan lengan kiri merangkul pundak dan ia terisak di atas pundak suaminya.

   "Engkau yang harus mengampuniku, suamiku........"

   Bukan main besar dan bahagianya rasa hati Keng Hong, akan tetapi juga dia terheran-heran.

   "Biauw Eng, aku tadi gelisah sekali. Bayangkan saja, engkau begitu marah dan minta cerai!"

   "Aku hanya main-mainan, mengancam karena hatiku jengkel sekali melihat Cong San yang menghinamu. Engkau benar, suamiku. Dia gila dan aku pun tadi hampir gila telah melayani seorang gila."

   Begitu girangnya hati Keng Hong sehingga dia menghadiahkan ciuman mesra pada mulut yang mengeluarkan kata-kata itu, kemudian dia menciumi kepala puterinya.

   "Kalau aku tadi ketularan kegilaanmu dan aku membalas, benar-benar menceraikanmu bagaimana?"

   "Aku akan mati!"

   Jawab Biauw Eng tegas.

   "Aku hanya mau bercerai darimu kalau mati!"

   "Isteriku.......!"

   Keng Hong merangkul isteri dan puterinya dengan kedua lengan, kegelisahannya mengenai Cong San lenyap terselubung kebahagiaan yang dirasakan di saat itu.

   "Eh, pundakmu....... harus segera diobati."

   Keng Hong menjamah pundaknya yang tadi tertusuk pit.

   "Tidak apa-apa, lukanya hanya kecil, darahnya sudah mengering, sebentar pun sembuh. Pit dari Cong San tidak beracun, tidak berbahaya."

   Disebutnya nama ini membuat mereka termenung, teringat kembali. Keng Hong mengerutkan keningnya, teringat dia akan Yan Cu.

   "Sungguh heran aku, apakah yang telah menimpa keluarga Cong San dan sumoi?"

   Biauw Eng juga termenung.

   "Cong San telah menjadi seperti gila. bagaimana dengan yan Cu? Aihhh, aku pun khawatir sekali, suamiku. Tentu terjadi hal yang amat hebat menimpa mereka, dan aku khawatir........ hemmmmmm...... siapa lagi kalau bukan dia yang mengacau........"

   Keng Hong mengerti karena dugaannya pun menuju ke sana,

   "Cui Im?"

   Isterinya mengangguk dan mereka berpandangan. Melihat pandang mata isterinya, Keng Hong maklum bahwa isterinya menyesalkan pengampunannya terhadap Cui Im, maka dia berkata perlahan,

   "Aku tidak akan sudi mengampuninya lagi kalau benar dia masih belum bertobat dan masih mengacau dan merusak kebahagiaan sumoi dan suaminya."

   "Suheng.......!!"

   Keng Hong dan Biauw Eng meloncat dan membalikkan tubuh, memandang terbelalak kepada Yan Cu yang datang berlari-lari. Kalau saja Yan Cu tidak mengeluarkan suara memanggil tadi, tentu mereka berdua akan pangling. Wajah yang dahulunya seperti sekuntum bunga yang sedang mekar, cantik jelita dan selalu riang gembira, berseri-seri itu kini kotor dan muram, matanya membendul dan merah kebanyakan menangis, air mata di pipi tidak dibersihkan, terkena debu membuat wajah itu cemang-cemong, rambutnya kusut tak disisir, pakaiannya pun kusut dan matanya membayangkan kedukaan hebat.

   "Yan Cu.......!"

   Biauw Eng berkata lirih, penuh iba dan kaget.

   "Sumoi, kau kenapakah........??"

   Keng Hong cepat melangkah maju menyambut.

   "Jangan dekat! Jangan sentuh aku!!"

   Yan Cu tiba-tiba berhenti ketika melihat Keng Hong melangkah maju menyambutnya. Keng Hong terkejut sekali dan sejenak timbul kekhawatirannya bahwa jangan-jangan sumoinya ini pun menjadi gila!

   "Sumoi, ada apakah? Engkau seperti marah dan membenciku, apakah salahku?"

   "Suheng, engkau satu-satunya orang yang kumuliakan, satu-satunya orang yang kucinta seperti kakak, seperti pengganti orang tuaku. Mengapa engkau begitu kejam? Mengapa engkau merusak kebahagiaan hidupku? Mengapa engkau menceraikan aku dari suami dan anakku? Suheng, jawablah. Di depan enci Biauw Eng. Katakan terus terang, siapakah yang kau cinta dengan cinta kasih pria terhadap wanita, aku ataukah enci Biauw Eng?"

   Kalau ada halilintar menyambarnya di saat itu, belum tentu Keng Hong akan sekaget ketika mendengar kata-kata sumoinya ini.

   "Sumoi........, yan Cu...... apa artinya semua ini? Aku sungguh tidak mengerti!"

   Biauw Eng yang memondong anaknya sudah pula mendekat dan berkata, suaranya tegas, dingin dan berwibawa,

   "Yan Cu, tenanglah sebentar, tekan perasaanmu yang meluap-luap dan dilanda kedukaan itu. Kami dapat menduga bahwa tentu telah terjadi malapetaka hebat menimpa keluargamu, akan tetapi kami sama sekali tidak tahu maka ceritakanlah yang jelas. Atau, marilah kita masuk ke rumah di mana kita dapat bicara dengan tenang."

   Yan Cu memandang Biauw Eng dan sungguh heran sekali hati Biauw Eng mengapa sinar mata wanita itu penuh iba ketika memandangnya.

   "Enci Biauw Eng, maafkan aku yang terpaksa melukai hatimu. Aku tidak bisa bicara banyak, akan tetapi karena perbuatan Suheng yang ternyata dia tidak ada bedanya dengan watak gurunya, mendatangkan malapetaka hebat kepada diriku dan terpaksa aku menghancurkan hatimu. Enci Biauw Eng, kau ampunkanlah aku!"

   "Sumoi, katakanlah, tidak perlu disembunyikan. Katakan semua, apa yang telah terjadi? Dosa hebat apakah yang telah kulakukan sehingga malapetaka menimpa keluargamu?"

   Keng Hong yang biasanya dapat menahan kesabaran itu, kini berseru keras karena dia gelisah sekali, menduga-duga apa gerangan yang terjadi sehingga dia dibenci Cong San dan kini dipersalahkan sumoinya sendiri. Dengan muka pucat dan mulut terisak menahan tangis, Yan Cu mengeluarkan dua buah surat dari balik bajunya, dua buah surat yang dahulu dilemparkan suaminya kepadanya. Kini dia melemparkan dua buah surat itu kepada Keng Hong sambil berkata penuh duka,

   "Mengapa engkau menulis surat macam itu kepadaku? Dan apa pula artinya pemalsuan surat dariku itu?"

   Yan Cu lalu menangis tersedu-sedu, kedua kakinya terasa lemas dan ia terjatuh, duduk di atas tanah sambil menangis. Keng Hong menyambar dua buah surat itu. Matanya segera tertarik oleh tulisannya sendiri dan cepat dibacanya. Biauw Eng yang melihat betapa mata suaminya terbelalak dan mukanya berubah merah penuh kemarahan, cepat menghampiri dan ikut membaca. Matanya pun terbelalak ketika bibirnya bergerak-gerak membaca surat itu.

   Yan Cu sumoi yang tercinta,

   Setengah tahun kita saling berpisah. Aku mengharapkan beritamu dengan hati penuh rindu.

   Kuharap engkau hidup bahagia dengan suamimu. kami tinggal di Cin-ling-san dan berhasil membangun kembali rumah mendiang subo, dan kini tempat kami menjadi sebuah dusun yang ditinggali petani-petani Pegunungan Cin-Ling-san.

   Sumoi, betapa rinduku kepadamu. Kini aku yakin bahwa hanya engkaulah yang kucinta. Bilakah kita dapat berjumpa kembali, berdua seperti dahulu memadu kasih?

   Sampai jumpa, sumoi yang tercinta, dan balaslah, karena kalau tidak aku akan selalu menyuratimu.

   Penuh cinta dan rindu dari,
Cia Keng Hong.

   Sampai beberapa kali Keng Hong dan Biauw Eng membaca surat itu. Sekilat terasa bahwa amarah yang amat hebat membakar dada Biauw Eng karena dia mengenal betul tulisan suaminya! Akan tetapi melihat sikap suaminya, dia dapat menekan kemarahannya dan mengerti bahwa ada sesatu yang tidak wajar. Tidak cocoklah isi surat dengan sikap suaminya. kalau suaminya menulis seperti itu dan kini suratnya terbaca olehnya, tidak mungkin suaminya akan bersikap seperti itu, penuh rasa penasaran, kemarahan, kekagetan dan juga keheranan. Kalau benar-benar menulis seperti itu tentu berusaha agar jangan terbaca olehnya.

   "Ibils terkutuk! Tulisanku dipalsu orang. Ini surat palsu, Sumoi!"

   "Tulisannya persis tulisanmu. Aku sendiri pun akan berani bersumpah bahwa itu tulisanmu, Hong-ko,"

   Biauw Eng berkata.

   "Sumoi, telah terjadi hal yang hebat. Aku mengerti sekarang....... hemmm......"

   Kini Keng Hong membuka surat ke dua, tulisan tangan Yan Cu juga dia baca bersama Biauw Eng. Akan tetapi karena mereka kini sudah merasa yakin bahwa ada pemalsuan surat, mereka tidak begitu terkejut lagi membaca tulisan tangan Yan Cu yang membuat Cong San menjadi seperti gila itu.

   Suheng, kekasihku.

   Suheng, harap temui aku sore ini di tempat biasa. Aku tidak tahan lagi. Dia agaknya mulai curiga. Suheng, tolonglah aku, mati hidup aku ikut bersamamu, Suheng, kekasihku.

   "Suheng, jadi engkau tidak menulis suratmu kepadaku itu? Dan......... dan surat dariku ini? Aku tidak menulisnya, akan tetapi huruf-hurufnya....... serupa benar dengan gaya tulisanku......"

   "Tenanglah, Yan Cu. Dan ceritakan sekarang, apakah engkau pernah menerima surat kami beberapa bulan yang lalu, yang diantar oleh seorang pesuruh kami?"

   Yan Cu menggeleng kepala.

   "Tidak pernah ada utusan kalian datang membawa surat."

   
Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Biauw Eng memandang suaminya dan alisnya berkerut. Hemmm, ini cocok dengan keanehan sikap A-liok yang aneh, yang tidak kembali dan hanya berpesan tidak pulang ke kampung.

   "Surat kita agaknya terjatuh ke tangan orang jahat dan tulisanmu dipelajari untuk mereka pakai membuat surat palsu ini. Tak salah lagi. Suratmu itu dipalsu, kemudian surat palsu ini diserahkan kepada Cong San di luar tahu Yan Cu."

   "Akan tetapi A-liok........? Dia amat boleh dipercaya."

   Keng Hong membantah, sungguhpun dia percaya akan kecerdikan isterinya. Biauw Eng menggeleng kepala.

   "Aku mempunyai dugaan bahwa A-liok telah terbunuh orang, surat kita dipalsukan. yang menyampaikan berita tidak pulang ke sini itu tentu bukanlah A-liok, melainkan kaki tangan penjahat. Aku dahulu sudah curiga bahwa tak mungkin A-liok berani berbuat seperti itu, akan tetapi karena tidak ada terjadi sesuatu, aku pun tidak perduli. Sekarang aku baru tahu bahwa kecurigaanku terhadap peristiwa itu benar."

   Keng Hong mengepal tinju dan menghadapi Yan Cu yang mendengarkan dengan penuh perhatian.

   "Sumoi, engkau yakin sekarang bahwa bukan aku yang menuliskan surat beracun ini kepadamu. Akan tetapi, tulisanmu ini........, kau bilang serupa dengan tulisanmu akan tetapi bukan tulisanmu?"

   "Mengapa serupa sekali, akan tetapi engkau mengerti bahwa tidak mungkin aku menulis surat seperti itu, Suheng."

   Keng Hong mengangguk-angguk.

   "Aku mengerti adikku. Engkau bukanlah seorang wanita seperti ini dan engkau amat mencinta suamimu. Akan tetapi bagaimana tulisanmu sampai dapat dipalsukan orang lain?"

   Yan Cu menggigit bibir dan mengepal tinjunya.

   "tadinya tak terpikir olehku, sekarang aku ingat. Orang tua yang minta dituliskan resep baru itu! Hemmmm.......dari resep obat yang kutulis, seorang tentu saja akan dapat menirukannya! Akan tetapi mengapa........?? Mengapa ada pemalsuan-pemalsuan ini? Mengapa sikap suamiku selalu dingin dan murung? Mengapa ada yang hendak menghancurkan rumah tanggaku? Siapa?"

   "Siapa lagi kalau bukan Cui Im!"

   Keng Hong berkata marah.

   "Aku akan mencarinya. Dia harus mempertanggungjawabkan ini. yang kukhawatirkan hanyalah Cong San. Dia pergi dari sini seperti orang yang sudah berubah jiwanya.........."

   "Suheng.......! Dia........... dia ke sini........? Dan bersama Kun Liong.....?"

   "Kun Liong? Siapa dia?"

   "Anak kami! Dia pergi membawa anak kami......, maka aku mengejar ke sini........."

   Keng Hong menggeleng kepala dan memandang sumoinya penuh rasa iba.

   "Dia datang seorang diri dan hendak membunuhku."

   "Karena suhengmu mengalah dan terancam, terpaksa aku turun tangan menandinginya. Dia lari meninggalkan ancaman maut kepada Suhengmu. jadi engkau telah mempunyai seorang putera? Di manakah dia? Dibawa ke mana?"

   Akan tetapi wajah Yan Cu sudah menjadi pucat sekali mendengar betapa suaminya telah datang hendak membunuh Keng Hong dan tidak tampak anaknya bersama suaminya itu.

   "Su....... sudah lamakah dia pergi?"

   "Baru saja, belum ada dua jam, dia berlari ke arah sana..."

   Biauw Eng menjawab dan menunjuk ke utara. Tanpa menjawab dan tanpa pamit Yan Cu meloncat dan berkelebat cepat lari ke utara hendak menyusul suaminya.

   "Sumoi........!"

   Keng Hong hendak mengejar, akan tetapi Biauw Eng memegang lengannya menahan.

   "Suamiku, tenanglah. Dalam keadaan seperti ini kita harus bersikap tenang dan tidak boleh semberono. Kini kita telah mengerti mengapa Cong San menjadi seperti gila dan bersikeras hendak membunuhmu. Kiranya dia memang sudah gila oleh cemburu. Tidak mengherankan kalau dia membaca dua surat ini dan mungkin sekali dia menyaksikan hal-hal yang menambah besar cemburunya. Kalau engkau membantu Yan Cu mencarinya, kemudian bertemu dengannya, bukankah kedatanganmu berdua Yan Cu itu hanya akan menjadi minyak yang disiramkan kepada api yang berkobar? Tidak, hal itu akan menambah ruwet persoalan."

   "Habis, bagaimana baiknya? Mungkinkah kita melihat kesengsaraan mereka dan mendiamkannya saja, melihat rumah tangga mereka hancur berantakan?"

   "Tentu saja tidak, suamiku. Kita bertiga harus menyusul mereka dan kita bereskan urusan itu, kita sadarkan Cong San yang gila oleh cemburu. Terutama sekali, kita mencari biang keladinya yang kurasa bukan lain tentulah Cui Im."

   "Bertiga?"

   "Tentu saja, berasama Giok Keng."

   "Ihhh! Perjalanan ini penuh bahaya, apalagi kalau diingat bahwa besar kemungkinan kita berhadapan dengan iblis betina itu. Mengajak Giok Keng berarti membahayakan keselamatan anak kita."

   "Hemmmm, kalau kita tinggalkan di sini tanpa kita jaga, apakah hal itu tidak lebih berbahaya lagi? Kalau kita mampu menjaga diri sendiri, masa tidak mampu melindungi anak kita? Sebaliknya kalau kita berdua binasa, siapa pula yang akan dapat menjaga anak kita? Kita pergi bertiga, hari ini juga, Hong-ko."

   Mau tak mau Keng Hong terpaksa harus membenarkan ucapan isterinya itu. Pula, menghadapi urusan Cong San benar-benar amat ruwet dan rumit, dia seorang diri belum tentu sanggup memecahkannya. Dia harus mengandalkan kecerdikan isterinya untuk mengatasi perkara itu, maka dia tidak banyak membantah dan berangkatlah suami isteri pendekar sakti itu bersama puteri mereka setelah menyerahkan pengurusan rumah mereka kepada para petani tetangga mereka.

   Cong San terhuyung-huyung akhirnya roboh di bawah pohon besar dalam hutan. Terdengar menangis mengguguk. Baru sekali ini selama hidupnya pendekar itu menangis, hati dan pikirannya kacau balau, kehilangan pegangan. Ia berduka kehilangan cinta kasih isterinya, dia marah karena merasa tertipu melihat kenyataan bahwa semenjak dahulu isterinya adalah kekasih Keng Hong. Dia kini yakin bahwa isterinya menikah dengannya bukan sebagai seorang perawan lagi, bahkan dia meragukan apakah Kun Liong itu anaknya! Lebih hebat lagi, andaikata dia mau melupakan semua itu, melupakan semua peristiwa yang sudah-sudah, menuruti nasihat Thian Kek Hwesio, semua itu tidak ada gunanya karena sampai sekarang pun isterinya masih melanjutkan hubungan jinah dengan Keng Hong! Dunia serasa hancur lebur bagi Cong San.

   Yang lebih menyakitkan hati, dia tidak mampu membalas, tidak mampu membunuh Keng Hong, bahkan dia menanam permusuhan pula dengan Biauw Eng! Dia tidak mau melawan Biauw Eng, bukan hanya karena wanita itu pun memiliki ilmu kesaktian yang lebih tinggi dari padanya, namun terutama sekali karena dia merasa kasihan kepada Biauw Eng! Di luar kesadarannya, Biauw Eng juga menjadi korban watak kotor suaminya, dan wanita itu sama sekali tidak bersalah. Betapa mungkin dia melawan mati-matian terhadap Biauw Eng? Tidak, dia tidak akan mengangkat senjata terhadap Biauw Eng, akan tetapi, dia harus membunuh Keng Hong! Membunuh manusia busuk itu atau mati dalam usahanya ini!

   "Aihhh....."

   Dia mengeluh, duduk bersandar pohon, mengusap air matanya.

   "bagaimana aku dapat membunuh iblis itu? Ilmunya luar biasa tinggi, dan di sampingnya terdapat Biauw Eng yang membelanya. Aaaaaahhh.., mengapa Thian menyiksaku seperti ini? Di mana ada keadilan?"

   Kalau pohon raksasa tua di mana Cong San bersandar itu dapat bergerak seperti manusia, tentu akan menggeleng kepala mendengar keluhan Cong San ini. Keluhan seorang manusia yang lajim terdengar di mana-mana, di seluruh pelosok dunia ini. Manusia selalu mengeluh kalau tertimpa sesuatu yang tidak berkenan di hatinya, kalau terjadi sesuatu yang berlawanan dengan kehendak hatinya, dengan bayangan dalam pikirannya. Lalu ia merasa menderita, merasa sengsara dan berduka. Lalu timbul rasa penasaran. Lebih celaka lagi, dia lalu mempersekutu Thian di dalam keadaan mabuk oleh iba diri. Cong San lupa akan pelajaran-pelajaran kebatinan yang telah diterimanya sejak kecil.

   Oleh rasa iba diri yang menimbulkan pertentangan mencipta kemarahan dan kebenciaan, dia lupa bahwa dia telah melakukan hal yang amat kotor. Dia ingin menarik Tuhan agar berpihak kepadanya untuk dapat membalas Keng Hong! Dia baru akan merasa puas, baru akan menganggap Tuhan Maha Adil kalau Tuhan suka membantunya membunuh Keng Hong! Betapa piciknya pendapatnya yang melahirkan perbuatan setelah dikuasai oleh rasa sayang diri dan iba diri. Perasaan Ke-akuan ini membuat setiap orang ingin agar segala sesuatu di alam mayapada ini, dari yang tampak sampai yang tidak tampak, dari segala setan iblis, dewa malaikat sampai kepada Tuhan, semua bergerak demi kepentingan dan keuntungan Aku.

   Berbahagialah manusia yang dapat mengenal diri pribadi, dapat menunjukkan pandang mata dan mendengarkan telinga ke dalam, bukan selalu keluar. Dapat mengenal isi pikiran dan melihat betapa pikiran selalu membayangkan hal-hal lalu yang penuh kenikmatan dan kesenangan sehingga timbul keinginan-keinginan, dapat mendengar suara hati yang terdorong oleh nafsu-nafsu yang timbul dari kenangan dan bayangan, dapat berdiri di atas itu semua tanpa penentangan, tanpa pengekangan paksa, melainkan dengan penguasaan sehingga semua itu akan mencair dan musnah dengan sendirinya, tanpa paksaan, tanpa pertentangan, bergulung menjadi satu ke dalam cahaya Cinta Kasih Murni.

   "Yap Cong San, seorang pendekar gagah perkasa seperti engkau, mengapa bersemangat lembek dan lemah!"

   Cong San melompat bangun, membalik dan menghadapi Bhe Cui Im dengan mata berapi penuh kebencian dan kemarahan. wanita yang amat cantik jelita, yang berpakaian mewah dan indah, pakaian yang ketat membungkus tubuh yang mempunyai lekuk-lengkung yang menggairahkan, yang menghamburkan bau harum dari seluruh rambut dan pakaiannya, tersenyum-senyum manis memandangnya. Namun, bagi Cong San, kecantikan itu menyembunyikan bayangan iblis yang mengerikan.

   "Iblis betina!"

   Ia membentak dan cepat dia telah mencabut sepasang Im-yang-pit di tangannya, langsung menubruk dan meyerang ke depan, mengirim totokan-totokan maut secara bertubi-tubi. Namun sambil tersenyum simpul dan dengan gerakan yang indah, Cui Im dapat menghindarkan diri dengan amat mudah sehingga semua totokan itu mengenai angin saja.

   "Cong San, betapa bodohnya engkau. Kalau engkau melawan aku, engkau takkan menang dan betapa mudah bagiku membunuhmu. Akan tetapi aku tidak akan membunuhmu dan engkau pun tidak boleh menyerangku. Aku butuh engkau, dan engkau pun butuh aku, Cong San."

   Dalam keadaan seperti itu, Cong San tak mampu berpikir panjang, maka ucapan ini dia hubungkan dengan sifat mata keranjang dan gila laki-laki dari iblis betina ini. Kemarahannya memuncak dan dia menerjang lagi lebih nekat!

   "Plak-plak...... Cusss!"

   Dua batang pit itu bertemu dengan telapak tangan Cui Im. Cong San merasa seolah-olah dua batang senjatanya berikut tenaga sinkangnya amblas ke dalam benda lunak dan kehilangan tenaganya, kemudian sebuah totokan jari tangan yang halus runcing menyentuh pundak, membuat dia terguling dan seluruh tubuh atasnya menjadi lumpuh. Namun dia sudah mengerahkan tenaga dalamnya, berhasil membuyarkan pengaruh totokan, melompat berdiri dan siap menerjang lagi.

   "Cong San, aku tahu engkau gagah dan tidak takut mati. Akan tetapi, tidak sayangkah engkau mati di tanganku sebelum engkau mampu membunuh Keng Hong yang telah menghancurkan kebahagiaanmu?"

   Cong San tertegun. Dia tidak ingin mati sebelum sempat membalas Keng Hong! Akan tetapi dia pun tidak sudi menyerah terhadap iblis betina ini, maka dia menghardik,

   "Urusanku dengan dia tidak ada sangkut pautnya denganmu!"

   Cui Im tersenyum lebar sehingga tampak deretan giginya yang putih rata seperti mutiara.

   "Tidak ada sangkut pautnya, akan tetapi kita senasib! Keng Hong telah menghancurkan kebahagiaanmu, juga dia telah menghancurkan kebahagiaanku. Engkau mendendam dan hendak membunuhnya, aku pun demikian. Engkau tidak berhasil, aku pun demikian, karena dia memang amat lihai. Karena itu, mengapa kita saling serang sendiri? Tadi kukatakan bahwa kita saling membutuhkan. Kalau kita bekerja sama menghadapi laki-laki mata keranjang itu, tentu kita akan berhasil membalas dendam."

   Cong San meragu, menunduk. Dia tahu bahwa wanita di depannya ini, yang jahat dan keji seperti iblis, memiliki ilmu kepandaian amat tinggi, bahkan wanita ini adalah sumoi dari Keng Hong. Wanita inilah satu-satunya orang yang ikut mempelajari kitab-kitab rahasia peninggalan Sin-jiu Kiam-ong dan tingkat kepandaiannya hanya sedikit di bawah tingkat Keng Hong!

   

Si Bangau Merah Eps 3 Si Bangau Merah Eps 1 Pusaka Pulau Es Eps 3

Cari Blog Ini