Ceritasilat Novel Online

Si Bangau Merah 3


Si Bangau Merah Karya Kho Ping Hoo Bagian 3



Yo Han menggeleng kepalanya.

   "Tidak Suhu. Teecu akan ikut dengan wanita itu seperti telah teecu janjikan. Teecu akan berangkat sekarang juga agar ia tidak terlalu lama menunggu."

   Dia lalu pergi ke dalam kamarnya, mengambil buntalan pakaian yang memang telah, dia persiapkan semalam. Memang semalam dia sudah merencanakan untuk pergi meninggalkan rumah itu, akan tetapi karena hatinya terasa berat meninggalkan Sian Li, pagi itu ia ingin menyenangkan Sian Li dengan mengajaknya bermain-main di tepi sungai sebelum dia pergi. Suami isteri itu juga merasa heran melihat demikian cepatnya Yo Han mengumpulkan pakaiannya karena sebentar saja anak itu sudah menghadap mereka kembali. Yo Han menjatuhkan diri berlutut di depan kedua orang gurunya.

   "Suhu dan Subo, teecu menghaturkan terima kasih atas segala budi kebaikan yang telah dilimpahkan kepada teecu, terima kasih atas kasih sayang yang telah dicurahkan kepada teecu. Dan teecu mohon maaf apabila selama ini teecu melakukan banyak kesalahan dan membuat Suhu dan Subo menjadi kecewa. Teecu mohon diri, Suhu dan Subo"

   Suaranya tegas dan sikapnya tenang, sama sekali tidak nampak dia berduka, tidak hanyut oleh perasaan haru.

   "Baiklah, Yo Han. Kalau memang ini kehendakmu. Dan berhati-hatilah engkau menjaga dirimu,"

   Kata Sin Hong.

   "Setiap waktu kalau engkau menghendaki, kami akan menerimamu kembali dengan hati dan tangan terbuka, Yo Han,"

   Kata pula Kao Hong Li, dengan hati terharu. Terasa benar ia betapa ia menya-yang murid itu seperti kepada adik atau anak sendiri.

   "Terima kasih, Suhu dan Subo"

   Yo Han membalik-kan tubuhnya dan hendak pergi.

   "Suheng, aku ikut....!"

   Tiba-tiba Sian Li yang sejak tadi melihat dan mendengarkan saja tanpa mengerti benar apa yang mereka bicarakan, kini turun dari pangkuan ibunya dan berlari menghampiri Yo Han. Yo Han memondong anak itu dan mencium kedua pipi dan dahinya, lalu menurunkannya kembali.

   "Sian Li, aku mau pergi dulu, engkau tidak boleh ikut. Engkau bersama ayah dan ibumu di sini. Kelak kita akan bertemu kembali, adikku."

   Dan dengan cepat Yo Han lari meninggalkan anak itu, tidak tega mendengar ratap tangisnya dan melihat wajahnya.

   "Suheng! Aku ikut...., aku ikut....!"

   Anak itu merengek walaupun tidak menangis, dan terpaksa Sin Hong memondong-nya karena anak itu hendak lari mengejar Yo Han.

   "Hemm, aku mau melihat siapa iblis betina itu!"

   Hong Li sudah meloncat keluar dan Sin Hong yang memondong anaknya hanya menggeleng kepala, lalu melangkah keluar pula dengan Sian Li di pondongannya. Yo Han berlari-lari menuju sungai. Dia tidak ingin wanita berpakaian merah itu mengira dia melanggar janji. Dan benar saja, ketika dia tiba di tepi sungai, wanita itu tidak lagi berada di dalam perahu, melainkan sudah duduk di tepi sungai dengan wajah tidak sabar. Perahunya berada di tepi sungai pula, agaknya sudah ditariknya ke darat. Melihat Yo Han datang berlari membawa buntalan, wajah yang tadinya cemberut itu tersenyum.

   "Hemm, kusangka engkau membohongiku! Kiranya engkau datang pula!"

   Yo Han juga cemberut ketika dia sudah berdiri di depan wanita itu.

   "Sudah kukatakan, aku bukan seorang yang suka melanggar janji. Aku harus berpamit dulu kepada Suhu dan Suboku, dan mengambil pakaianku ini."

   "Andaikata engkau menipuku sekalipun engkau tidak akan terlepas dari tanganku Hayo kita berangkat!"

   Kata Ang I Moli Tee Kui Cu.

   "Tahan dulu...!"

   Bentakan merdu dan nyaring ini mengandung getaran dan wibawa yang amat kuat sehingga Ang I Moli terkejut sekali dan cepat ia membalikkan tubuh. Kiranya di depannya telah berdiri seorang wanita cantik dan gagah, berusia kurang lebih dua puluh enam tahun. Wajahnya bulat telur, matanya lebar dan indah jeli, sinarnya tajam menembus.

   "Subo....!"

   Yo Han berseru melihat wanita cantik itu.

   "Diam kau!"

   Kao Hong Li membentak muridnya, matanya tidak pernah melepaskan wajah wanita berpakaian merah. Ia belum pernah melihat wanita itu dan memperhatikannya dengan seksama. Wajah yang cantik itu putih oleh bantuan bedak tebal, nampak cantik seperti gambar oleh bantuan pemerah bibir dan pipi, dan penghitam alis. Pakaiannya yang serba merah ketat itu menempel tubuh yang ramping dan seksi, dengan pinggulnya yang bulat besar. Mendengar Yo Han menyebut subo kepada wanita muda ini. Ang I Moli terkejut. Tak disangkanya subo dari anak itu masih demikian mudanya. Jadi inikah cucu dari Naga Sakti Gurun Pasir, pikirnya.
(Lanjut ke Jilid 03)

   Si Bangau Merah (Seri ke 15 - Serial Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 03
"Hemmm, siapakah engkau dan mengapa engkau menahan kami?"

   Ang I Moli bertanya, senyumnya mengandung ejekan dan memandang rendah.

   "Aku Kao Hong Li, ibu dari anak perempuan yang kau culik!"

   Jawab Hong Li, juga sikapnya tenang, akan tetapi sepasang mata yang tajam itu bersinar marah

   "Siapakah engkau ini iblis betina yang berani mencoba-coba untuk menculik anakku kemudian membujuk murid kami untuk ikut denganmu? Jawab, dan jangan mati tanpa nama!"

   Sikap garang Kao Hong Li sedikit banyak menguncupkan hati Ang I Moli. Ia seorang tokoh sesat yang tidak mengenal takut dan memandang rendah orang lain, akan tetapi ia teringat akan ancaman Yo Han tadi bahwa wanita ini adalah cucu Naga Sakti Gurun Pasir, bahkan suaminya adalah Si Bangau Putih yang namanya amat terkenal itu.

   "Hemm, bocah sombong. Jangan mengira bahwa aku Ang I Moli takut mendengar gertakanmu."

   Ia membesarkan hatinya sendiri.

   "Aku tidak menculik, puterimu, hanya mengajaknya bermain-main. Dan tentang bocah ini, dia sendiri yang ingin ikut aku menjadi muridku. Kalau, tidak percaya tanya saja kepada anak itu."

   "Subo, memang teecu sendiri yang ingin ikut dengan Bibi ini. Harap Subo jangan mengganggunya!"

   Hong Li menarik napas panjang. Kalau sudah begitu, memang tidak ada alasan baginya untuk menghajar wanita berpakaian merah itu, apalagi membunuhnya. Anaknya sendiri tadi pun mengatakan bahwa wanita ini bersikap baik kepada Sian Li, dan kini Yo Han mengatakan bahwa memang dia sendiri yang ingin menjadi muridnya.

   "Baiklah, aku tidak akan membunuhnya. Akan tetapi, setidaknya aku harus tahu apakah ia cukup pantas untuk menjadi gurumu, Yo Han. Aku tidak rela menyerahkan muridku dalam asuhan orang yang tidak berkepandaian, apalagi kalau orang itu pengecut. Kuharap saja engkau tidak terlalu pengecut untuk menolak tantanganku menguji ilmu kepandaianmu, Ang I Moli."

   Kulit muka yang ditutup kulit tebal itu masih nampak berubah kemerahan. Tentu saja Ang I Moli marah sekali dikatakan bahwa ia seorang pengecut.

   "Kao Hong Li, engkau bocah sombong. Kau kira aku takut kepadamu?"

   "Bagus kalau tidak takut! Nah, kau sambutlah seranganku ini. Haiiittt!"

   Hong Li sudah menerjang maju setelah memberi peringatan, dan karena ia memang ingin menguji sampai di mana kelihaian wanita baju merah itu, begitu menyerang ia sudah memainkan jurus dari ilmu silat Sin-liong Ciang-hoat (Ilmu Silat Naga Sakti) yang amat dahsyat, apalagi karena dalam memainkan ilmu silat ini ia menggunakan tenaga Hui-yang Sin-kang (Tenaga Sakti Inti Api) dari ibunya. Hong Li telah menggabung dua ilmu yang hebat itu. Sin-liong Ciang-hoat adalah ilmu yang berasal dari Istana Gurun Pasir, sedangkan tenaga Hui-yang Sin-kang adalah ilmu yang berasal dari Istana Pulau Es, yang ia pelajari dari ayah dan ibunya.

   "Wuuuuttt.... plak! Plak!"

   Tubuh Ang I Moli terhuyung ke belakang dan ia terkejut bukan main. Ketika tadi ia menangkis sampai beberapa kali, lengannya bertemu dengan hawa panas yang luar biasa kuatnya sehingga kalau ia tidak membiarkan dirinya mundur, tentu ia akan celaka. Sebagai seorang tokoh sesat yang telah mengangkat diri menjadi seorang pangcu (ketua) tentu saja Ang I Moli merasa penasaran sekali. Ia lalu membalas dengan serangan ampuh. Setelah mengerahkan tenaga dalam yang telah dilatihnya dari para pimpinan Pek-lian-kauw, ia mengeluarkan suara melengking dan ketika dua tangannya menyerang,

   Dari kedua telapak tangan itu mengepul uap atau asap hitam dan angin pukulannya membawa asap hitam itu menyambar ke arah muka Kao Hong Li. Pendekar wanita ini mengenal pukulan beracun yang ampuh, maka ia pun melangkah mundur dan mengerahkan tenaga sin-kang mendorong dengan kedua tangan terbuka pula. Dua tenaga dahsyat bertemu di udara dan akibatnya, asap hitam itu membalik dan Ang I Moli kini merasakan hawa yang amat dingin sehingga kembali ia terkejut. Itulah tenaga Swat-im Sin-kang (Tenaga Inti Salju), juga ilmu yang berasal dari Istana Pulau Es! Ang I Moli terpaksa mundur kembali dan kemarahannya memuncak. Dua kali mengadu tenaga itu membuat ia sadar bahwa lawannya memang lihai bukan main. Dalam hal tenaga sin-kang, jelas ia kalah kuat.

   "Manusia sombong, kau sambut pedangku!"

   Bentaknya, lalu mulutnya berkemak-kemik dan ia berseru sambil membuat gerakan seperti melontarkan sesuatu ke udara,

   "Pedang terbangku menyambar lehermu!"

   Kao Hong Li terbelalak ketika ia melihat sinar terang dan bayangan sebatang pedang meluncur dari udara ke arah dirinya! Padahal ia tidak melihat wanita itu mencabut pedang. Inilah ilmu sihir, pikirnya dan ia pun cepat mencabut pedangnya dan melindungi dirinya dengan putaran pedang.

   "Hentikan perkelahian! Hentikan....!"

   Terdengar Yo Han berseru dan begitu anak ini melangkah ke depan, sinar pedang itu pun lenyap secara tiba-tiba dan Hong Li mendapat kenyataan bahwa ia tadi "bertempur"

   Melawan bayang-bayang. Sementara itu, Ang I Moli juga terkejut karena tiba-tiba pengaruh sihirnya lenyap begitu saja.

   Pada saat itu, ia melihat pula munculnya seorang laki-laki berusia dua puluh tujuh tahun yang memiliki sinar mata lembut namun mencorong memondong anak perempuan baju merah tadi. Tahulah ia bahwa tentu laki-laki gagah perkasa ini ayah Sian Li yang berjuluk Si Bangau Putih. Ang I Moli menduga bahwa tentu pendekar ini yang melenyapkan pengaruh sihirnya, maka ia menjadi semakin jerih. Memang tadinya ia merasa suka sekali kepada Sian Li, kemudian melihat bakat yang luar biasa pada diri Yo Han, ia pun rela menukarkan Sian Li yang suka rewel dan tidak mau ikut dengan suka rela itu dengan Yo Han yang suka ikut dengannya. Akan tetapi melihat betapa suami isteri yang amat lihai itu kini berada di depannya dan ia tahu bahwa melawan mereka berdua sama dengan mencari penyakit, Ang I Moli lalu meloncat ke arah perahunya sambil memaki Yo Han,

   "Anak pengkhianat!"

   Ia mendorong perahunya ke air, kemudian perahu itu diluncur-kannya ke tengah sungai.

   "Tunggu kau, iblis betina!"

   Hong Li yang masih marah itu berteriak dan kini ia pun sudah mengamangkan pedangnya. Akan tetapi Yo Han cepat berdiri di depan subonya.

   "Subo, harap jangan kejar dan serang lagi! Ia adalah guruku yang baru!"

   Setelah berkata demikian, Yo Han lalu meloncat ke air, dan berenang mengejar perahu itu.

   "Bibi.... eh, Subo (Ibu Guru), tunggulah aku....!"

   Melihat ini, Ang I Moli memandang heran. Anak itu ternyata sama sekali bukan pengkhianat, bukan pelanggar janji! Ia pun terkekeh senang dan menahan perahunya. Ketika Yo Han telah tiba di pinggir perahu, ia mengulurkan tangan dan menarik anak itu naik ke dalam perahunya.

   "Anak baik, ternyata engkau setia kepadaku. Hi-hik, aku senang sekali!"

   Dari pantai, Hong Li masih mengamangkan pedangnya.

   "Yo Han, kembali ke sini engkau! Engkau akan rusak dan celaka kalau engkau ikut dengan perempuan iblis itu!"

   "Subo, maafkan teecu. Teecu sudah berjanji kepada Bibi ini, dan pula, teecu harus meninggalkan Suhu dan Subo, teecu harus meninggal-kan.... adik Sian Li. Bukankah itu yang Subo kehendaki? Teecu harus dipisahkan dari adik Sian Li. Nah, setelah sekarang teecu menentukan jalan sendiri, kenapa Subo hendak menghalangi? Sudahlah, Subo, maafkan teecu dan selamat tinggal."

   Yo Han lalu mengambil dayung dan mendayung perahu itu. Hong Li masih penasaran dan hendak mengejar, akan tetapi ada sentuhan lembut tangan suaminya pada lengan-nya. Ia menoleh dan melihat suaminya tersenyum dan menggeleng kepalanya.

   "Suheng aku ikut....!"

   Tiba-tiba Sian Li yang melihat Yo Han mendayung perahu, berteriak dan meronta dalam pondongan ayahnya. Hong Li menyimpan kembali pedangnya dan memondong puterinya.

   "Jangan ikut, Sian Li. Suhengmu sedang pergi menuntut ilmu. Kelak engkau akan bertemu kembali dengan dia."

   Ia memeluk anaknya dan menciuminya, menghibur sehingga Sian Li tidak berteriak-teriak lagi. Suami isteri itu berdiri di tepi sungai dan mengikuti perahu yang menjauh itu dengan pandang mata mereka.

   "Aku tetap khawatir,"

   Bisik Hong Li.

   "Wanita itu jelas tokoh sesat. Julukannya Ang I Moli. Aku khawatir Yo Han akan menjadi tersesat kelak."

   Suaminya menggeleng kepala.

   "Jangan khawatir. Yo Han bukanlah anak yang berbakat jahat. Aku melihat hal yang aneh lagi tadi. Ketika engkau diserang dengan sihir, kulihat engkau terkejut dan wanita itu berdiri mengacungkan tangan dan berkemak-kemik, ada sinar menyambar ke arahmu...."

   "Memang benar. Aku pun terkejut akan tetapi tiba-tiba sinar itu menghilang."

   "Itulah! Begitu Yo Han melompat ke depan dan menghentikan perkelahian, sinar itu lenyap dan kulihat wanita berpakaian merah itu terkejut dan ketakutan. Aku menduga bahwa kekuatan sihirnya itu punah dan lenyap oleh teriakan Yo Han! Nah, karena itu, biarkanlah dia pergi. Aku yakin dia tidak akan dapat terseret ke dalam jalan sesat."

   Mereka lalu pulang membawa Sian Li yang sudah tidur di dalam pondongan ibunya. Berbagai perasaan mengaduk hati kedua orang suami isteri itu. Ada perasaan menyesal dan mereka merasa kehilangan Yo Han,

   Ada pula perasaan lega karena kini puteri mereka dapat dipisahkan dari Yo Han tanpa mereka harus memaksa Yo Han keluar dari rumah mereka, ada pula perasaan khawatir akan nasib Yo Han yang dibawa pergi seorang tokoh sesat. Segala macam perasaan duka, khawatir dan sebagainya tidak terbawa datang bersama peristiwa yang terjadi menimpa diri kita, melainkan timbul sebagai akibat dari cara kita menerima dan menghadapi segala peristiwa itu. Pikiran yang penuh dengan ingatan pengalaman masa lalu membentuk sebuah sumber dalam diri, sumber berupa bayangan tentang diri pribadi yang disebut aku, dan dari sumber inilah segala kegiatan hidup terdorong. Karena si-aku ini diciptakan pikiran yang bergelimang nafsu daya rendah, maka segala kegiatan, segala perbuatan pun selalu didasari kepentingan si-aku.

   Kalau sang aku dirugikan, timbullah kecewa, timbullah iba diri dan duka. Kalau sang aku terancam dirugikan, timbullah rasa takut dan khawatir. Si-aku ini selalu menghendaki jaminan keamanan menghendaki kesenangan dan menghindari kesusahan. Si-aku ini mendatangkan penilaian baik buruk, tentu saja didasari untung-rugi bagi diri sendiri. Baik buruk timbul karena adanya penilaian, dan penilaian adalah pilihan si-aku, karenanya penilaian selalu didasari nafsu daya rendah yang selalu mementingkan diri sendiri. Kalau sesuatu menguntungkan, maka dinilai baik, sebaliknya kalau merugikan, dinilai buruk. Sebagai contoh, kita mengambil hujan. Baik atau burukkah hujan turun? Hujan adalah suatu kewajaran, suatu kenyataan dan setiap kenyataan adalah wajar karena hal itu sudah menjadi kodrat, menjadi kehendak Tuhan Yang Maha Kuasa.

   Hujan baru disebut baik atau buruk kalau sudah ada penilaian. Yang menilai adalah kita, didasari nafsu daya rendah yang mengaku diri sebagai sang-aku. Bagi orang yang membutuhkan air hujan, maka hujan di sambut dengan gembira dan dianggap baik, karena menguntungkan, misalnya bagi para petani yang sedang membutuhkan air untuk sawah ladangnya. Sebaliknya, bagi mereka yang merasa dirugikan dengan turunnya hujan, maka hujan itu tentu saja dianggap buruk! Padahal, hujan tetap hujan, wajar, tidak baik tidak buruk. Demikian pula dengan segala macam peristiwa atau segala macam yang kita hadapi. Selalu kita nilai, tanpa kita sadari penilaian itu berdasarkan nafsu mementingkan diri sendiri. Kalau ada seseorang berbuat menguntungkan kepada kita,

   Kita menilai dia sebagai orang baik, sebaliknya kalau merugikan, kita menilainya sebagai orang jahat. Jelas bahwa penilaian adalah suatu hal yang pada hakekatnya menyimpanq dari kebenaran. Yang kita nilai baik belum tentu baik bagi orang lain, dan sebaliknya. Penilaian mendatangkan reaksi, mempe-ngaruhi sikap dan perbuatan kita selanjutnya. Dan perbuatan yang didasari hasil penilaian ini jelas tidak sehat. Dapatkah kita menghadapi segala sesuatu tanpa menilai? Melainkan menghadapi seperti apa adanya. Kalau tindakan kita tidak lagi dipengaruhi hasil penilaian, maka tindakan itu terjadi dengan spontan dipimpin kebijaksanaan. Permainan pikiran yang mengingat masa lalu dan membayangkan masa depan hanya mendatangkan duka dan khawatir, seperti yang pada saat itu dialami oleh Tan Sin Hong dan isterinya, Kao Hong Li.

   "Jangan bohong kau!"

   Ang I Moli membentak. Yo Han yang berdiri di depannya memandang dengan sinar mata marah.

   "Subo sudah berulang kali kukatakan bahwa aku tidak pernah dan tidak akan mau berbohong!"

   Jawabnya dengan tegas. Mereka berada di dalam sebuah ruangan kuil tua di lereng bukit. Kuil ini belum rusak benar. Baru setahun ditinggalkan penghuninya, yaitu seorang pertapa tosu dan agaknya tidak ada yang mau mengurus kuil yang berada di tempat terpencil ini. Hanya kuil yang berada di daerah pedusunan yang makmurlah dapat berkembang dengan baik. Banyak pengunjung datang bersembahyang dan banyak dana pula datang membanjir sehingga berlebihan untuk pembiayaan kuil. Akan tetapi sebuah kuil tua di lereng bukit yang sunyi? Jauh dari dusun jauh dari masyarakat? Siapa yang mau hidup sengsara dan serba kekurangan di situ? Kuil itu kini kosong dan dalam perjalanannya pulang,

   Ketika melewati tempat ini dan kemalaman, Ang I Moli mengajak Yo Han untuk melewatkan malam di tempat sunyi itu. Wanita itu masih terkenang akan kelihaian Kao Hong Li. Wanita cucu Naga Sakti Gurun Pasir itu demikian lihainya, dan suaminya, Si Bangau Putih, tentu lebih lihai pula. Ia sendiri yang ditakuti banyak orang di dunia kang-ouw, kini merasa ngeri kalau membayangkan bahaya maut yang mengancamnya ketika ia berhadapan dengan suami isteri pendekar itu. Kalau suhu dan subonya sedemikian saktinya, tentu muridnya juga telah mewarisi ilmu-ilmu yang tinggi, demikian pendapatnya. Oleh karena itu, ketika ia bertanya kepada Yo Han tentang ilmu silat, berapa banyak ilmu kedua orang gurunya yang telah dikuasainya, Yo Han menjawab bahwa dia tidak pandai ilmu silat dan tentu saja Ang I Moli menduga dia berbohong.

   "Bagaimana mungkin, sebagai murid suami isteri yang lihai itu engkau tidak menguasai sedikit pun ilmu silat? Sudah berapa lama engkau menjadi murid mereka, Yo Han?"

   "Sudah lima tahun, Subo."

   "Hemm, apalagi sudah begitu lama. Bagaimana mungkin engkau tidak pandai ilmu silat? Bukankah engkau menerima pelajaran ilmu silat dari mereka?"

   "Aku tidak pernah berlatih, Subo. Aku tidak suka ilmu silat."

   Wanita cantik itu terbelalak, lalu ia memandang penuh perhatian kepada Yo Han dengan alis berkerut.

   "Engkau tidak suka ilmu silat?"

   Ang I Moli tertawa terkekeh-kekeh karena merasa geli hatinya.

   "Kao Hong Li dan Tan Sin Hong merupakan sepasang suami isteri pendekar yang sakti, dan murid tunggalnya tidak pandai dan tidak suka ilmu silat?"

   Ia tertawa-tawa lagi sampai keluar air matanya.

   "Habis, apa saja yang kau pelajari dari mereka selama lima tahun itu?"

   "Subo, kenapa Subo mentertawakan hal itu? Aku memang tidak suka ilmu silat, dan yang kupelajari dari Suhu dan Suboku itu adalah ilmu membaca dan menulis, membuat sajak, bernyanyi dan meniup suling, penge-tahuan tentang kebudayaan dan filsafat hidup, mempelajari kitab-kitab sejarah kuno...."

   Dia terpaksa berhenti bicara karena Ang I Moli sudah tertawa lagi terkekeh-kekeh. Yo Han hanya berdiri memandang dengan alis berkerut dan mata bersinar-sinar marah. Setelah menghentikan tawanya, wanita itu mengusap air mata dari kedua matanya, lalu memandang kepada pemuda remaja itu.

   "Anak baik, aku mengambilmu sebagai murid dan aku akan mengajarkan ilmu silat pula kepadamu. Bagaimana?"

   Yo Han menggeleng kepalanya.

   "Percuma saja, Subo. Aku tidak akan menolak segala yang kau ajarkan kepada-ku, akan tetapi aku tidak akan suka berlatih silat sehingga semua pengertian ilmu silat yang kau berikan kepadaku tidak akan ada gunanya."

   Ang I Moli teringat sesuatu.

   "Yo Han, kalau engkau memang sama sekali tidak pandai ilmu silat, kenapa engkau begini tabah dan berani? Padahal engkau tidak memiliki kemampuan untuk membela diri apabila diserang lawan. Bagaimana engkau menjadi begini berani?"

   "Aku tidak suka akan kekerasan, kenapa mesti takut, Subo? Orang yang tidak melakukan kejahatan, tidak merugikan orang lain, tidak membenci orang lain, kenapa mesti takut? Aku tidak pernah takut, Subo, karena tidak pernah membenci orang lain."

   "Yo Han, kalau engkau tidak mau belajar ilmu silat dariku, lalu kenapa engkau mau ikut dengan aku?"

   Wanita itu akhirnya bertanya heran.

   "Subo lupa. Bukan aku yang ingin ikut Subo, melainkan Subo yang mengajakku dan aku ikut Subo sebagai penukaran atas diri Sian Li."

   Wanita itu menarik napas panjang, menggeleng-geleng kepala dan memandang dengan heran. Sungguh seorang anak laki-laki yang aneh sekali. Begitu tabah, sedikit pun tak mengenal takut, begitu teguh memegang janji, sikapnya demikian gagah perkasa seperti seorang pendekar tulen, akan tetapi, sedikit pun tidak pandai ilmu silat bahkan tidak suka ilmu silat! Akan tetapi, melihat wajah yang tampan gagah itu ia teringat akan keadaan tubuh pemuda remaja itu dan wajah Ang I Moli berseri, mulutnya tersenyum dan pandang matanya menjadi genit sekali.

   "Tidak suka berlatih silat pun tidak mengapalah, Yo Han, asal engkau mentaati semua perintahku menuruti semua permintaanku."

   Ia lalu menggapai.

   "Engkau duduklah di sini, dekat aku, Yo Han,"

   Tanpa prasangka buruk, Yo Han mendekat, lalu duduk di atas lantai yang tadi sudah dia bersihkan dan diberi tilam rumput kering yang dicarinya di ruangan belakang kuil tua itu, sebagai persiapan tempat mereka nanti tidur melewatkan malam. Akan tetapi, suaranya tegas ketika dia berkata,

   "Subo, aku akan selalu mentaati perintahmu selama perintah itu tidak menyimpang dari kebenaran. Kalau Subo memerintahkan aku melakukan hal yang tidak benar, maaf, terpaksa akan kutolak!"

   "Hi-hik, tidak ada yang tidak benar, muridku yang baik. Engkau tahu, aku amat sayang padamu, Yo Han. Engkau anak yang amat baik, dan aku senang sekali mempunyai murid seperti engkau."

   Wanita itu memegang tangan Yo Han dan membelai tangan itu. Merasa betapa jari-jari tangan yang berkulit halus itu dengan lembut membelai tangannya, kemudian bagaikan laba-laba jari-jari tangan itu merayap naik di sepanjang lengannya, Yo Han merasa geli dan juga aneh. Jantungnya berdebar tegang dan dengan gerakan lembut dia pun menarik lengannya yang dibelai itu.

   "Subo, apakah Subo tidak lapar?"

   Tiba tiba dia bertanya dan pertanyaan itu sudah cukup untuk membuyarkan gairah yang mulai membayang di dalam benak Ang I Moli. Ia pun terkekeh genit.

   "Hi-hik, bilang saja perutmu lapar, sayang. Nah, buka buntalanku itu, di situ masih ada roti kering dan daging kering, juga seguci arak."

   Mendapatkan kesempatan untuk melepaskan diri dari belaian gurunya yang baru itu, Yo Han lalu bangkit dan mengambil buntalan pakaian gurunya, dan mengeluarkan bungkusan roti dan daging kering, juga seguci arak yang baunya keras sekali. Dia menaruh semua itu di depan Ang I Moli dan ketika merasakan betapa roti dan daging kering itu keras dan dingin, dia pun berkata,

   Si Bangau Merah Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Subo, aku hendak mencari kayu bakar dan air."

   "Eh? Untuk apa? Makanan sudah ada, minuman juga sudah ada."

   "Akan tetapi roti dan daging itu keras dan dingin, Subo. Kalau dipanaskan dengan uap air tentu akan menjadi hangat dan lunak. Juga aku lebih suka minum air daripada arak. Ini aku membawa panci untuk masak air, Subo,"

   Katanya sambil mengeluarkan sebuah panci dari dalam buntalan pakaiannya. Ang I Moli memandang dan tersenyum. Ia semakin tertarik kepada Yo Han dan ia harus bersikap manis untuk menundukkan hati perjaka remaja itu. Pemuda ini tidak mau menjadi muridnya dalam arti yang sesungguhnya.

   Maka ia harus dapat memanfaatkan pemuda itu bagi kesenangan dan keuntungan dirinya sendiri. Seorang perjaka remaja yang memiliki tubuh sebaik itu akan menguntungkan sekali bagi kewanitaannya. Akan membuat ia awet muda dan kuat, juga hawa murni di tubuh muda itu akan dapat dihisapnya dan dapat menambah kekuatan tenaga dalam di tubuhnya. Selain itu, cita-citanya untuk menguasai sebuah ilmu rahasia yang selama ini ditunda-tundanya, kini akan dapat diraihnya dengan mudah! Untuk dapat menguasai ilmu rahasia itu, ia harus dapat menghisap darah murni selosin orang perjaka yang memiliki darah yang bersih dan badan yang sempurna. Kini ia telah mendapatkan Yo Han dan anak ini sudah lebih dari cukup, bahkan lebih kuat dibandingkan selosin orang pemuda remaja biasa!

   "Baiklah, engkau boleh pergi mencari air dan kayu bakar. Akan tetapi cepat kembali. Hari telah sore dan sebentar lagi akan gelap,"

   Katanya halus dan ramah.

   "Baik, Subo."

   Yo Han berlari keluar dari kuil itu. Dia tidak tahu bahwa Ang I Moli membayanginya dari jauh. Wanita ini tidak ingin kehilangan Yo Han, maka begitu anak itu berlari keluar,

   Ia pun mempergunakan ilmu kepandaiannya dan mengikutinya tanpa diketahui oleh Yo Han. Bagi seorang seperti Ang I Moli Tee Kui Cu, tidak mungkin ada orang di dunia ini yang benar-benar jujur dan setia dan dapat dipercaya sepenuhnya! Sejak kecil wanita ini hidup di dalam lingkungan dunia hitam, berkecimpung di dalam kesesatan, di dalam suatu masyarakat di mana kata jujur dan setia sudah tidak dikenal lagi, di mana segala cara dihalalkan demi keuntungan dan kepentingan diri sendiri. Oleh karena itu, ia pun tidak dapat percaya sepenuhnya kepada Yo Han. Ia tidak ingin kehilangan Yo Han yang baginya kini menjadi amat penting. Ia takut kehilangan pemuda itu, takut pemuda itu melarikan diri atau dilindungi orang lain. Juga ia ingin menguji sampai di mana pemuda itu dapat mempertahankan kejujuran dan kesetiaannya.

   Ang I Moli tidak tahu bahwa sesungguhnya ia telah menemukan seorang pemuda yang luar biasa, yang berbeda dengan pemuda-pemuda lain. Di dalam batin Yo Han belum pernah terdapat pamrih yang bermacam-macam, bahkan dia tidak mengenal itu. Dia menghadapi segala sesuatu yang terjadi sebagai apa adanya, tidak pernah dia membuat gagasan atau rekaan macam-macam. Dia hanya melihat kenyataan yang ada untuk dihadapi secara spontan, tidak pernah membuat rencana dan akal demi kepentingan diri sendiri. Dia melihat kenyataan bahwa suhu dan subonya tidak menghendaki dia di rumah mereka, dengan alasan agar puteri mereka kelak tidak sampai meniru sikap dan pendiriannya. Dia tahu bahwa demi kebaikan keluarga suhunya, dia harus menyingkir, menjauhkan diri dari mereka. Karena itulah dia mengambil keputusan untuk pergi meninggalkan mereka yang sesungguhnya amat dia sayangi.

   Kemudian, dia telah berjanji kepada Ang I Moli untuk mengikuti wanita itu sebagai muridnya, karena dia harus menyelamatkan Sian Li. Janjinya itu akan dipegangnya dengan teguh. Dia tidak akan melarikan diri karena dia pun sama sekali tidak pernah merasa takut kepada Ang I Moli. Dia belum mengenal benar orang macam apa adanya Ang I Moli, gurunya yang baru itu. Bukan main senang dan lega rasa hati Ang I Moli yang membayangi Yo Han, ketika melihat bahwa sedikit pun anak itu tidak memperlihatkan sikap ingin melarikan diri. Dia mengumpulkan kayu bakar, kemudian menemukan sumber air dan mengisi pancinya penuh air, setelah itu dia kembali ke kuil tanpa ragu-ragu. Ketika Yo Han memasuki kuil, Ang I Moli tentu saja sudah lebih dahulu berada di tempat semula, duduk bersila sambil tersenyum manis.

   "Aih, cepat juga engkau mendapatkan air dan mengumpulkan kayu kering, Yo Han,"

   Pujinya, kemudian ia membantu muridnya membuat api unggun dan memasak air di panci.

   Setelah roti dan daging kering dipanasi dengan uap air, mereka lalu makan roti dan daging yang sudah menjadi lunak dan juga hangat itu yang memang terasa jauh lebih enak daripada kala"

   Dimakan keras dan dingin. Dengan gembira sekali Ang I Moli makan roti dan daging kering minum arak, sedangkan Yo Han hanya minum air yang sudah dimatangkan. Setelah makan kenyang, mereka duduk di dekat api unggun. Sementara itu, malam telah tiba dan api unggun itu amat menolong mereka mengusir nyamuk dan hawa dingin. Setelah duduk termenung di dekat api unggun, Yo Han mengeluh dan sambil meng-angkat muka memandang wajah subonya yang sejak tadi memperhatikannya tanpa bicara, dia berkata,

   "Subo, sekarang aku merasa betapa aku kehilangan kitab-kitab itu. Biasanya, di waktu malam begini aku tentu membaca kitab. Akan tetapi sekarang, kitab-kitab itu jauh di rumah Suhu dan Subo, dan di sini aku tidak dapat membaca apa-apa."

   Wanita itu tersenyum.

   "Jangan kau khawatir, Yo Han. Setelah tiba di rumah, aku akan mencarikan kitab bacaan untukmu."

   "Subo mempunyai kitab-kitab bacaan?"

   Yo Han memandang dengan sinar mata gembira

   "Akan kucarikan untukmu. Apa sih sukarnya mencari kitab-kitab, itu? Akan kucarikan sebanyaknya untukmu. Aku sayang kepadamu Yo Han, dan kuharap engkau pun sayang kepadaku dan akan menuruti semua keinginanku."

   "Subo baik kepadaku, mengapa aku tidak sayang? Dan tentu saja aku akan me-nuruti semua keinginan Subo. Subo, bolehkah aku tidur dulu? Perjalanan hari ini yang tidak melalui air lagi, berjalan kaki sehari penuh, amat melelahkan badan dan aku ingin tidur."

   Yo Han lalu merebahkan dirinya miring di sudut ruangan itu, di seberang api unggun, terpisah dari subonya. Ang I Moli terse-nyum.

   "Yo Han, jangan lupa lagi. Apa yang harus kau lakukan sebelum tidur?"

   Yo Han juga tersenyum, lalu bangkit dan membawa air ke bagian belakang kuil untuk membersihkan mulutnya. Pada malam pertama mereka melakukan perjalanan, masih berperahu, subonya yang baru ini telah memberi sebuah pelajaran tentang kebersihan kepadanya, yaitu keharusan membersihkan mulut sewaktu akan tidur.

   "Lihat gigiku ini,"

   Demikian kata subonya sambil memperlihatkan deretan giginya yang putih bersih dan rapi.

   "Belum ada sebuah pun yang rusak atau tanggal, padahal banyak orang seusiaku sudah hampir kehabisan giginya. Inilah hasil menjaga kebersihan. Bukan saja hasilnya gigi menjadi bersih dan utuh, juga kesehatanku menjadi baik karena hampir semua penyakit datangnya lewat mulut. Dan cara membersihkan mulut dan gigi yang paling baik adalah membersihkannya setiap kali hendak tidur. Hal ini harus menjadi kebiasaanmu sejak malam ini, Yo Han!"

   Demikianlah Ang I Moli memberi pelajaran tentang kesehatan dan kalau dia terlupa, seperti pada malam ini, Ang I Moli selalu memperingatkannya. Pelajaran kesehatan yang agaknya amat sederhana ini sesungguhnya menguntungkan sekali dan amat baiknya bagi Yo Han.

   Biasanya orang meremehkannya. Padahal, kebiasaan membersihkan mulut di waktu hendak tidur merupakan satu di antara usaha penjagaan kesehatan yang paling baik dan paling mudah! Tak lama kemudian, Yo Han sudah tidur pulas di atas rumput kering. Dia tidak tahu bahwa sejak tadi Ang I Moli sudah berpindah tempat di dekatnya dan kini wanita itu duduk bersila di sebelahnya, tiada hentinya mengamati wajahnya yang tidur nyenyak, di bawah sinar api unggun yang membuat wajahnya menjadi kemerahan. Aku harus mulai sekarang juga, pikir wanita itu. Lebih cepat ia dapat menguasai Yo Han, lebih baik. Dengan lembut tangannya meraba wajah pemuda itu, membelai dagu dan leher, lalu membelai semua tubuh Yo Han. Pemuda remaja itu menggeliat dalam tidurnya dan Ang I Moli menarik tangannya.

   Anak ini amat luar biasa, pikirnya sambil menahan gairah yang sudah mulai membakar dirinya. Mungkin saja dia akan meholak keras, bahkan melawan dan tidak mau menyerah biar diancam bagaimanapun juga. Keberaniannya memang luar biasa. Kalau terjadi hal seperti itu, tentu amat merugikan dirinya. Kalau ia menggunakan paksaan, anak ini akan dapat mati sebelum ia memperoleh hasil yang memuaskan. Ia harus dapat menghisap kemurnian anak ini sedikit demi sedikit, tidak terasa oleh Yo Han. Ia akan memberi makanan dan minuman yang mengandung obat penguat badan dan akhirnya, semua hawa murni dan darah murni itu akan berpindah ke tubuhnya tanpa diketahui oleh pemuda remaja itu, atau kelak diketahui kalau sudah terlambat dan pemuda yang kehabisan darah dan hawa murni itu akan tewas pula.

   Dan ia akan mampu melatih diri dengan ilmu rahasia itu! Ia akan menjadi seorang yang sukar dicari tandingnya! Ia akan dapat merajai dunia persilatan dengan ilmunya itu. Kembali ia mengamati wajah Yo Han yang masih tidur nyenyak. Ah, mengapa ia begitu bodoh? Kalau membujuk anak ini, agaknya ia akan gagal total. Anak ini bukan seorang anak yang mudah dibodohi atau dibujuk halus, atau pun yang mudah ditundukkan dengan ancaman atau siksaan. Padahal, ia menghendaki agar dia menyerahkan diri dengan suka rela! Dengan demikian maka hasilnya akan lebih baik lagi bagi dirinya. Dan satu-satunya jalan adalah menggunakan kekuatan sihirnya! Mengapa ia lupa akan kepandaiannya itu? Ia pernah mempelajari ilmu sihir dari Pek-lian-kauw dan ilmu sihirnya sudah lebih dari kuat untuk mempengaruhi seorang bocah!

   Orang dewasa pun kalau tidak memiliki sin-kang yang kuat akan mudah ia tundukkan dengan kekuatan sihirnya. Apalagi pemuda remaja yang lemah ini! Ang I Moli yang duduk bersila menghadapi Yo Han itu lalu membuat guratan-guratan dengan telunjuk kanannya, kemudian mulutnya berkemak-kemik, matanya terpejam. Ia membaca semacam mantra untuk mulai mempergu-nakan ilmu sihirnya untuk menyihir dan menguasai semangat Yo Han yang masih tidur nyenyak. Setelah membaca mantra, ia lalu membuka kedua matanya yang mengeluarkan sinar aneh menatap wajah Yo Han, juga kedua tangannya kini digerakkan dengan aneh, jari tangannya terbuka seperti cakar, dan jari-jari tangan itu bergerak-gerak, kedua tangan itu diputar-putar sekitar kepala dan tubuh Yo Han. Kembali mulutnya berkemak-kemik, kini mengeluarkan bisikan yang mendesis-desis.

   "Yo Han, engkau sudah berada dalam kekuasaanku, seluruh semangat dan kemauanmu tunduk kepadaku. Kalau nanti engkau kusuruh bangun, engkau akan tunduk dan menyerah kepadaku penuh kepasrahan, engkau akan menganggap aku sebagai wanita paling cantik yang kau kasihi, engkau akan dibakar gairah berahi dan engkau akan menuruti segala kehendakku dengan gembira. Kemauanmu akan lemah dan lembut seperti domba, gairah berahimu akan bangkit setangkas harimau, engkau akan selalu berusaha untuk menyenangkan hatiku, dengan mentaati semua perintahku, hanya aku satu-satunya orang yang kau kasihi, kau taati...."

   Ia lalu menutup bisikan mendesis itu dengan tiupan dari mulutnya ke arah muka Yo Han tiga kali.

   "Yo Han.... Yo Han.... Yo Han.... bangunlah engkau, sayang!"

   Ia mengguncang pundak pemuda itu, menggugahnya. Yo Han adalah seorang anak yang memiliki kepekaan luar biasa.

   Sejak kecil, di waktu dia tidur, kalau ada sesuatu yang tidak wajar, sedikit suara saja sudah cukup meng-gugahnya dari tidur pulas. Begitu Ang I Moli menyentuh pundaknya dia pun terbangun, membuka kedua matanya, akan tetapi tidak seperti biasanya, dia tidak segera bangkit duduk, melainkan memandang ke depan kosong, seperti orang melamun seperti melihat sesuatu yang amat menarik hati. Dan memang dia merasa melihat sesuatu yang amat aneh. Dia merasa seolah kaki tangannya terbelenggu, suaranya lenyap menjadi gagu, dan dirinya hanyut oleh gelombang samudera, semakin ke tengah dalam keadaan tidak berdaya sama sekali. Kemudian, dia merasa ada kekuatan yang menariknya ke tepi, bahkan dia seperti menunggang gelombang, makin dekat ke tepi, lalu kaki tangannya yang seperti terbelenggu itu terlepas bebas, mulutnya dapat bersuara lagi. Dia berenang sekuat tenaga ke tepi, dan berhasil mendarat di pantai.

   "Apa.... apa yang terjadi padaku? Ya Tuhan, apa yang terjadi....?"

   Suara ini pun seperti keluar dengan sendirinya, dari balik perasaan hatinya yang diliputi keheranan. Dan begitu dia menyebut nama Tuhan. Semua itu pun lenyap dan seperti orang bangkit dari mimpi buruk, dia kini duduk dan melihat bahwa di depannya duduk Ang I Moli yang bersila. Melihat pemuda remaja itu telah bangun duduk, Ang I Moli tersenyum manis merasa yakin bahwa sihirnya telah mengena dan telah menguasai anak itu, walaupun ketika Yo Han menyebut Tuhan tadi hatinya merasa amat tidak enak.

   "Yo Han, engkau sayang padaku, bukan?"

   Ia menguji. Yo Han memandang wajah subonya dengan heran, lalu menjawab lirih,

   "Tentu saja aku sayang padamu, Subo. Kenapa Subo menanyakan hal itu dan membangunkan aku?"

   "Hemm, anak tampan. Aku ingin engkau membuktikan kasih sayangmu padaku Nah, kesinilah, Yo Han, peluklah aku, ciumlah aku,"

   Katanya dengan senyum memikat dan nada suara memerintah. Akan tetapi, kini terjadi hal yang mengejutkan dan mengherankan hatinya! Anak itu tidak bergerak menuruti perintahnya, bahkan memandang kepadanya dengan alis berkerut dan mata bersinar marah!

   "Subo, apa artinya ini? Subo menyuruh aku melakukan sesuatu yang tidak patut!"

   Tentu saja Ang I Moli terkejut. Bukankah sihirnya tadi amat kuat dan anak ini sudah berada di dalam cengkeraman ilmu sihirnya? Kenapa sekarang dia berani membantah dan menolak perintahnya

   "Yo Han! Aku sayang padamu dan engkau pun sayang padaku. Apa salahnya kalau engkau memelukku dan menciumku untuk menyatakan kasih sayangmu itu?"

   "Tapi aku bukan anak kecil lagi yang pantas dipeluk cium, Subo! Aku seorang pemuda yang sudah berusia dua belas tahun, menuju ke masa remaja!"

   Kini Ang I Moli merasa penasaran bukan main. Semua ucapan Yo Han itu tidak menunjukkan bahwa dia berada di bawah pengaruh sihir! Semua jawabannya itu mengandung perlawanan, bukan ketaatan. Ia pun menguji lagi dan dengan suara nyaring mengandung perintah ia berseru,

   "Yo Han, bangkitlah berdiri!"

   Dan anak itu pun segera bangkit berdiri. Begitu taat!

   "Tambahkan kayu pada api unggun!"

   Perintahnya pula. Tanpa menjawab sedikit pun tidak membantah, Yo Han menghampiri api unggun, memilih beberapa potong kayu bakar dan menambahkannya kepada api unggun sehingga api kini. membesar.

   "Yo Han, sekarang duduklah kembali ke sini, di depanku!"

   Sekali lagi, Yo Han mentaati perintah itu dan menghampiri subonya lalu duduk di depan subonya. Begitu taat dan sedikit pun tidak membantah. Mereka duduk bersila, berhadapan, dekat sekali sehingga Yo Han dapat mencium bau harum minyak bunga yang semerbak dari pakaian dan rambut wanita itu. Melihat betapa Yo Han selalu taat, Ang I Moli menjadi semakin heran dan penasaran. Kenapa sekarang anak itu begitu taat seolah sihirnya termakan olehnya?

   "Yo Han, kau rabalah kedua pipiku dan daguku dengan kedua tanganmu,"

   Kembali ia memerintah. Yo Han hanya memandang heran saja, akan tetapi kedua tangannya bergerak dan dia pun meraba-raba kedua pipi yang halus dan dagu meruncing itu.

   "Teruskan, raba leher dan dadaku...."

   Kata pula Ang I Moli, kini suaranya mulai gemetar oleh bangkitnya, kembali gairahnya. Akan tetapi sekarang, kedua tangan itu bukan turun ke leher dan dadanya melainkan turun kembali ke atas pangkuan Yo Han. Anak itu sama sekali tidak melaksanakan perintahnya.

   "Yo Han, aku perintahkan, cepat kau raba dan belai leher dan dadaku dengan kedua tanganmu!"

   Ia mombentak, mengisi suaranya dengan kekuatan sihir sepenuhnya. Namun, jangankan anak itu melaksanakan perintahnya, bahkan kini Yo Han memandang kepadanya dengan sinar mata yang aneh, heran dan juga penasaran.

   "Subo, kenapa Subo mengeluarkan. perintah yang aneh-aneh? Maaf, aku tidak dapat memenuhi perintah itu."

   Barulah kini Ang I Moli terkejut. Jelas bahwa anak ini tidak berada di bawah pengaruh sihirnya! Tidak pernah! Kalau tadi nampak mentaati hanya karena taat yang wajar, bukan pengaruh sihir sama sekali. Ia pun menjadi marah.

   "Yo Han, bukankah engkau sudah berjanji akan semua perintahku? Kenapa sekarang engkau membantah dan tidak memenuhi perintahku yang sederhana dan mudah ini?"

   "Subo, sudah kukatakan bahwa semua perintah Subo akan kutaati, kecuali kalau perintah itu untuk melakukan sesuatu yang jahat dan tidak benar. Perintah Subo itu tidak baik,karenanya aku tidak mau melaksanakannya. Perintahkan aku mengerjakan yang pantas, betapa berat pun pasti akan kutaati, Subo."

   "Yo Han,"

   Kini Ang I Moli ingin mendapatkan kepastian dan ia tidak mau membuang waktu sia-sia dengan membawa anak itu jauh-jauh ke tempat tinggalnya untuk kelak tidak tercapai pula maksudnya.

   "Engkau harus mentaati semua perintahku, kalau tidak, untuk apa aku mempunyai murid yang membandel dan membantah?"

   "Untuk perintah yang tidak pantas, terpaksa aku menolak, Subo."

   Wanita itu yang sudah terbakar oleh gairah nafsunya sendiri, sama sekali tidak tahu bahwa Yo Han adalah seorang anak yang aneh, memiliki sesuatu dalam dirinya yang oleh manusia pada umumnya akan dianggap aneh. Dia tidak pernah mempelajari silat dengan latihan, kecuali hanya menghafal semua teorinya saja, dan dia tidak pernah belajar ilmu sihir. Namun, kekuatan sihir yang digunakan Ang I Moli terhadap dirinya, sama sekali tidak mempan, sama sekali tidak mempengaruhinya, hanya mendatangkan mimpi bahwa dia hampir dihanyutkan ombak samudera.

   Kekuatan sihir Ang I Moli bagaikan arus air sungai yang menerjang batu, mengguncang sedikit saja lalu lewat tanpa mampu menghanyutkan batu itu. Karena kini merasa yakin bahwa anak itu tidak lagi dapat dipengaruhinya dengan sihir, Ang I Moli menjadi penasaran dan tidak sabar lagi. Ia lalu menanggalkan pakaian luarnya, begitu saja di depan mata Yo Han. Anak ini mula-mula memandang dengan mata terbelalak heran, akan tetapi pandang matanya lalu menunduk. ketika ia melihat tubuh subonya terbungkus pakaian dalam yang tipis dan tembus pandang. Melihat betapa agaknya anak itu tidak dapat dipengaruhi oleh kecantikan dan keindahan tubuhnya, maklum karena usianya pun baru dua belas tahun, belum dewasa, Ang I Moli lalu merangkul dan menciumi Yo Han. Diterkamnya anak itu bagaikan seekor harimau menerkam kelinci!

   "Subo, apa, yang Subo lakukan ini? Subo, lepaskan aku! Ini tidak boleh, tidak benar, tidak baik...."

   Akan tetapi betapa pun dia meronta, tetap saja dia tidak berdaya menghindarkan diri. Yo Han kalah tenaga dan tidak mampu bergerak lagi ketika wanita itu menerkamnya sehingga dia terguling dan dia lalu ditindih, digeluti, didekap dan diciumi. Yo Han hanya dapat memejamkan matanya dan mulutnya berkemak-kemik dengan sendirinya.

   "Ya Tuhan.... ya Allah.... ya Tuhan...."

   Dia hanya menyebut Tuhan berulang-ulang. Semenjak Yo Han mengenal akan kekuasaan Yang Maha Kuasa melalui bacaan kitab-kitab, dia yakin benar bahwa sumber segala kekuatan dan kekuasaan adalah SATU, TUNGGAL dan Maha Kuasa. Keyakinan ini yang membuat Yo Han secara otomatis menyebut Tuhan setiap kali terjadi sesuatu menimpa dirinya. Hal ini mungkin karena dia sudah tidak mempunyai ayah ibu lagi sehingga dia dapat menyerahkan diri sepenuhnya dan seikhlasnya kepada Tuhan. Ang I Moli menjadi penasaran dan marah bukan main. Anak laki-laki itu sama sekali tidak melawan lagi, sama sekali tidak bergerak sehingga seolah-olah sedang menggumuli sebuah batu saja. Dan bisikan-bisikan yang menyebut Tuhan berulang-ulang itu amat mengganggunya, bahan api gairah berahi yang tadi membakar dirinya, perlahan-lahan menjadi dingin. Api gairah itu hampir padam.

   "Engkau.... engkau tidak mau melayani hasratku....?"

   Ang I Moli bertanya, suaranya terengah-engah. Yo Han tidak menjawab, dalam keadaan tubuhnya telentang dan pakaiannya awut-awutan, dia menggeleng dengan tegas.

   "Biarpun dengan ancaman mati? Engkau tetap tidak mau?"

   "Mati di tangan Tuhan. Aku tidak mau melakukan hal yang tidak benar!"

   Jawab Yo Han, suaranya lirih namun tegas dan sepasang matanya bersinar-sinar.

   "Plak! Plak!"

   Dua kali Ang I Moli menampar kedua pipi Yo Han sehingga kepala anak itu terdorong ke kanan kiri dan kedua pipinya menjadi merah. Ang I Moli tidak ingin membunuhnya maka tamparan tadi pun menggunakan tenaga biasa saja, namun cukup mendatangkan rasa nyeri dan panas. Namun Yo Han tetap memandang dengan tabah, sedikit pun tidak memperlihatkan perasaan takut.

   "Hemm, hendak kulihat sekarang! Karena engkau harus dipaksa, maka engkau akan menderita. Salahmu sendiri! Nah, sekali lagi aku memberi kesempatan. Kalau engkau menuruti kehendakku, engkau akan hidup senang. Sebaliknya, kalau engkau tetap menolak, aku dapat memaksamu dengan obat perangsang dan racun, dan akhirnya engkau pun akan menyerahkan diri kepadaku, hanya saja, engkau akan menderita dan mati!"

   "Subo, dengan ancaman siksaan apa pun Subo tidak dapat memaksaku melakukan hal yang tidak benar. Aku tidak takut mati karena kematian berada di tangan Tuhan. Kalau Tuhan menghendaki aku harus mati, aku pun akan menyerah dengan rela...."

   "Cukup! Tidak perlu berkhotbah! Engkau mau atau tidak?"

   "Subo, kuperingatkan Subo. Perbuatan Subo ini tidak benar dan berdosa. Subo akan menerima hukuman dari Tuhan!"

   "Tutup mulutmu!"

   Tangan Ang I Moli bergerak, jari tangannya menotok jalan darah di pundak dan pinggang dan tubuh Yo Han terkulai, tidak mampu bergerak lagi. Hanya kedua matanya yang masih terbelalak memandang wajah wanita itu dengan penuh teguran.

   "Subo dan aku adalah guru dan murid, tidak sepatutnya...."

   "Tukkk!"

   Kembali wanita itu menotok leher dan suara Yo Han menghilang. Dia tidak mampu lagi mengeluarkan suara.

   "Hi-hik, bocah cerewet!"

   Wanita itu kini terkekeh-kekeh dan dalam pandangan Yo Han wanita itu telah berubah sama sekali. Tadinya dia melihat wanita itu sebagai seorang wanita yang berwajah cantik, bersuara lembut dan peramah. Akan tetapi kini, sepasang mata itu berubah seperti mata iblis, juga senyumnya menyeringai mengerikan, suaranya agak parau dan mendesis, wajahnya yang berbedak tebal itu seperti topeng.

   "Hi-hi-hik, kita bukan guru dan murid lagi, melainkan seorang wanita dan seorang pria! Dan engkau, mau tidak mau, harus menyerahkan hawa dan darah murnimu kepadaku. Sampai tetes yang terakhir! Engkau akan menjadi seperti seekor lalat yang dihisap habis oleh laba-laba, sedikit demi sedikit darahmu akan kuhisap sampai tinggal tubuhnya mengering tanpa darah. Heh-heh-heh!"

   Mulutnya berliur membayangkan kenikmatan dan keuntungan yang akan diperolehnya dari anak ini. Kalau saja Yo Han mau menuruti kehendaknya, atau kalau saja anak itu dapat dikuasainya dengan sihir, tentu ia akan dapat memperoleh kenikmatan yang lebih lama. Ia akan menghisap darah murni anak itu sedikit demi sedikit, menikmatinya dari sedikit sampai akhirnya darah murni itu habis.

   Kini, terpaksa ia harus menggunakan paksaan dengan racun perangsang, dan ia akan menghisap darah itu dengan paksa. Mungkin hanya dua tiga hari anak itu akan bertahan. Ia akan menghisapnya sampai habis dan akan tinggal sampai ia menyelesaikan pekerjaan itu di dalam kuil tua ini. Paling lama tiga hari lagi dan ia akan berhasil. Ia akan siap untuk melatih diri dengan ilmu rahasia itu! Melihat api unggun mulai mengecil karena kehabisan kayu bakar Moli lalu menambahkan kayu dan api unggun membesar kembali. Sambil menyeringai dan bersenandung kecil menyatakan kegembiraan hatinya, wanita itu lalu mengambil sebuah bungkusan kain dari dalam buntalan pakaiannya, lalu membuka bungkusan itu dan mengeluarkan tiga butir pel dari dalam botol hijau. Ia duduk di dekat api unggun ketika memilih isi bungkusan.

   Sisa obat itu ia bungkus kembali dan tiga butir pel berada di tangannya. Yo Han mengikuti semua gerakan wanita itu dengan pandang matanya. Dia tahu bahwa dirinya terancam bahaya, maka seperti biasanya dia lakukan, dalam keadaan seperti itu, penyerahan dirinya kepada kekuasaan Tuhan menjadi semakin kuat. Dia merasa yakin bahwa segala sesuatu telah diatur oleh kekuasaan Tuhan! Kalau memang Tuhan menghendaki bahwa dia harus mati di tangan wanita ini, apa boleh buat. Dia hanya dapat menerimanya dengan pasrah karena maklum sedalamnya bahwa segalanya adalah milik Tuhan, berasal dari Tuhan dan kembali kepada Tuhan. Karena kepasrahan yang mutlak ini, sedikit pun tidak ada rasa takut. Rasa takut adalah perkembangah dari si aku yang diciptakan oleh pengalaman masa lalu melalui pikiran. Si aku yang merasa terancam menimbulkan rasa takut.

   Takut kalau kesenangan yang sudah berada di tangan itu terlepas dan hilang. Takut kalau kesusahan akan menimpa dirinya, takut sakit, takut mati. Si-aku ingin selalu di atas, ingin selalu menonjol, ingin selalu menjadi yang terpenting, terbesar, terbaik. Rasa takut timbul kalau si-aku merasa terancam kepentingannya, terancam keadaannya, takut kalau dirinya akan kehilangan arti, takut, kalau dirinya akan lenyap oleh kematian, takut kehilangan segala yang dimilikinya, yang menjadikan dirinya penting dan berarti. Takut kehilangan harta, kedudukan, kehormatan, nama, takut kehilangan orang-orang yang dikasihinya karena mereka yang dikasihinya itu menimbulkan kesenangan. Pada hakekatnya, si-aku yang sesungguhnya hanyalah khayalan sang pikiran yang menimbulkan rasa takut.

   Yo Han dalam keadaan terancam bahaya maut, terancam siksa dan derita, tidak mengenal rasa takut karena dia sudah menyerahkan segalanya, dengan sebulat batinnya, kepada kekuasaan Tuhan! Si aku dalam dirinya tidak memegang peran lagi dan sebagai gantinya, semua diri seutuhnya, badan maupun batin, telah diserahkan kepada Tuhan dan karenanya, kekuasaan Tuhan sajalah yang membibingnya dan menjaganya. Moli memasukkan tiga butir pel kehijauan itu ke dalam cawan araknya, kemudian mengambil guci dan hendak menuangkan isi guci ke dalam cawan itu. Akan tetapi segera ditahannya.

   "Hah-heh, aku lupa! Engkau tidak suka arak. Kalau dicampur arak engkau sukar memasuki perutmu. Sebaiknya dengan air saja. Bukankah begitu, Yo Han? Akan tetapi anak itu tidak menjawab.

   Pada saat itu, semua panca indranya juga bekerja sendiri, tidak lagi dikemudikan oleh hati dan akal pikiran. Karena itu, dia mendengar dan melihat tanpa penilaian, tanpa pendapat. Mendengar dan melihat saja seperti apa adanya, dan karena pikirannya tidak bekerja menimbang-nimbang lagi, maka dia tidak merasa takut. Dia seperti seorang bayi dalam gendongan ibunya, tidak takut apa-apa dan merasa aman! Demikianlah keadaan seorang yang berada dalam "gendongan"

   Kekuasaan Tuhan yang meliputi seluruh alam maya pada ini, meliputi luar dan dalam, segenap penjuru dan di dalam apa saja yang nampak dan tidak nampak, di dalam atau pun di luar dunia, di mana saja yang terjangkau pikiran maupun yang tidak ter-jangkau. Kalau sudah terbimbing oleh kekuasaan seperti itu, berada dalam gendongan kekuasaan seperti itu, apalagi yang dapat menimbulkan rasa takut?

   "Heh-heh-heh-heh!"

   Moli menuangkan air ke dalam cawan, lalu menggunakan sumpit untuk menghancurkan tiga butir pel di dalam cawan, melarut-kannya sampai rata betul. Sambil terkekeh ia lalu mendekati Yo Han yang masih memandang dengan sinar mata yang terang dan tenang.

   "Hi-hik, Yo Han. Dengar baik-baik. Tiga butir ini mengandung tiga macam racun yang amat kuat. Pertama, racun perampas ingatan! Begitu meminumnya, engkau akan lupa segala. Semua ingatan tentang masa lampau akan lenyap dan terlupakan. Enak, bukan? Racun kedua mengandung racun perangsang. Begitu meminumnya, engkau akan menjadi seekor kuda jantan dalam berahi! Hi-hik, menyenangkan aku benar! Engkau akan tak pernah mengenal puas dan engkau harus menyalurkan hasrat kejantananmu itu terus-menerus sampai tubuhmu yang tidak kuat lagi. Dan racun ke tiga adalah obat kuat, agar tubuhmu kuat melakukan penyaluran hasratmu itu, sampai habis, hi-hi-hik! Sampai darah murnimu terhisap habis olehku, hawa murni dalam tubuhmu tersedot habis dan menjadi milikku, hi-hik!"

   Yo Han tidak merasa ngeri mendengar semua itu. Yang ada hanya keheranan mengapa Ang I Moli kini berubah seperti ini! Seperti bukan manusia lagi. Sekarang baru dia tahu mengapa wanita ini dijuluki Ang I Moli (Iblis Betina Berpakaian Merah). Kiranya memang wataknya seperti iblis betina, seperti bukan manusia lagi, penuh kelicikan dan kekejaman luar biasa.

   "Bukalah mulutmu, sayang. Biar kutuangkan minuman sedap ini ke dalam perutmu melalui mulut. Bukalah mulutmu,"

   Kata Moli dengan suara manis merayu. Tentu saja Yo Han tidak mau membuka mulutnya. Dia memang masih dapat menggerakkan mulut karena yang tidak dapat digerakkan hanya kedua kaki dan tangan saja. Akan tetapi dia tidak sudi menuruti perintah manusia yang sudah menjadi iblis itu.

   "Buka mulutmu kataku!"

   Kini Moli membentak marah, akan tetapi Yo Han hanya memandang dengan mata melotot, bahkan dia merapatkan kedua bibirnya.

   

Suling Naga Eps 23 Kisah Si Bangau Putih Eps 29 Suling Naga Eps 36

Cari Blog Ini