Ceritasilat Novel Online

Pedang Kayu Harum 5


Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo Bagian 5



"Aku tidak menerima warisan pusaka-pusaka yang kau maksudkan, dan aku pun tidak tahu rahasianya."

   "Kau masih berani menyangkal dan menolak permintaanku? Kau murid tunggalnya, tak mungkin kau tidak mewarisi pusaka-pusaka itu, apalagi Siang-bhok-kiam diberikan kepadamu. Ingat, nyaawamu berada di tanganku, tahu? Andaikata engkau memberontak, engkau pun tidak akan mampu menandingi pedangku. Andaikata kau mempergunakan ilmu mujizatmu dan berhasil melarikan diri, dalam waktu sehari semalam ususmu sudah hancur berantakan dan nyawamu pun takkan tertolong. Jangan bodoh, Keng Hong. Lebih baik engkau menuruti permintaanku agar engkau tetap hidup dan menikmati kesenangan bersama aku."

   "Cui Im, engkaulah yang bodoh dan mengecewakan hati. Mengapa engkau menurutkan nafsu buruk hendak menginginkan barang orang lain? Kalau engkau suka menurut nasehatku, insyaflah dan sadarlah bahwa engkau terseret oleh nafsumu menuju ke jurang kesesatan. Urungkan niatmu yang buruk itu karena sesungguhnya aku benar-benar tidak pernah melihat di mana adanya pusaka-pusaka peninggalan suhu. Aku tidak berhasil mencarinya dan aku tidak berbohong."

   "Kalau begitu, biar aku melihat engkau mampus dengan isi perut berantakan!"

   Bentak Cui Im dengan suara marah dan kecewa sekali. Tiba-tiba terdengar suara bentakan keras

   "Tidak boleh dibunuh begitu saja, Tok-sian-li (Dewi Beracun)!"

   Dan tampak bayangan orang berkelebat.

   "Benar sekali, tidak boleh dibunuh sebelum menyerahkan pusaka peninggalan Kiam-ong kepadaku!"

   Berkelebat pula bayangan lain. Kiranya yang muncul ini adalah dua orang tua yang pernah dilihat Keng Hong pada lima tahun yang lalu. Mereka berdua itu adalah dua di antara sembilan orang sakti yang pernah menyerbu Sin-jiu Kiam-ong. Yang pertama adalah nenek tua renta yang dia ingat bernama Lu Sian Cu dan berjuluk Kiu-bwe Toanio. Gurunya pernah bercerita kepadanya tentang nenek ini. Menurut cerita itu, Kiu-bwe Toanio dahulunya adalah seorang pendekar wanita yang cantik jelita dan lihai, namun yang jatuh cinta kepada gurunya yang tampan dan gagah. akan tetapi ternyata wanita ini di kecewakan oleh Sin-jiu Kiam-ong. Kiam-ong tidak pernah membiarkan hatinya jatuh cinta dan perhubungannya dengan Lu Sian Cu hanya dianggapnya sebagai permainan cinta petualangan biasa saja.

   sebaliknya, cinta kasih wanita itu mendalam sehingga hatinya menjadi hancur dan patah ketika Kiam-ong meninggalkannya. Adapun orang ke dua adalah si kakek tua Sin-to Gi-hiap. Pendekar Budiman bergolok sakti yang juga menaruh dendam sakit hati terhadap Kiam-ong untuk urusan pribadi. Isterinya yang sesungguhnya adalah hasil rampasan dari seorang kepala rampok, isteri yang cantik jelita dan amat dicintanya, telah "dicuri"

   Oleh Kiam-ong yang terkenal pandai merayu wanita sehingga di antara isterinya dan Kiam-ong terjadi perhubungan rahasia. Melihat dua orang tua yang datang ini, Bhe Cui Im tersenyum mengejek, lalu membalikkan tubuh menghadapi mereka sambil memandang tajam dan melintangkan pedang merah itu di depan dadanya, sedangkan tangan kirinya bertolak pinggang.

   "Hemmm, Kiu-bwe Toanio dan Sinto Gi-hiap, bukan? Kalian sudah lari terkencing-kencing diusir oleh tosu-tosu bau Kun-lun-pai, sekarang muncul lagi di depanku dengan niat apakah?"

   Keng Hong memandang dengan heran. Makin tidak mengertilah dia akan keadaan Cui Im. Gadis cantik jelita yang amat menarik hati ini, yang tadinya amat galak dan kadang-kadang juga amat halus memikat, kemudian terbukti berhati palsu dan keji, kini menghadapi dua orang tokoh kang-ouw yang tua seperti menghadapi dua orang biasa saja! Tokoh macam apakah gadis ini di dalam dunia persilatan? Sampai-sampai dua orang locianpwe (orang tua tingkat tinggi) tidak dipandang mata olehnya, dan yang lebih mengherankan lagi, dua orang tua itu pun agaknya tidak menganggapnya sebagai gadis muda.

   "Ang-kiam Tok-sian-li (Dewi Racun Berpedang Merah), lekas keluarkan pil pemunah racun. Orang muda ini tidak boleh dibunuh,"

   Kata sin-to Gi-hiap.

   "Benar sekali, Tok-sian-li. Siang-bhok-kiam sudah terampas Kun-lun-pai, kalau pemuda ini dibunuh, sungguh sayang sekali. Kasihan murid Sin-jiu Kiam-ong yang tidak bersalah apa-apa...."

   Sambung Kiu-bwe Toanio. Tiba-tiba Cui Im tertawa bergelak, tanpa menutupi mulutnya, sikapnya kasar sekali. Keng Hong makin terheran-heran. Kiranya Bhe Cui Kim mempunyai julukan yang demikian menyeramkan. Ang-kiam Tok-sian-li (Dewi Beracun Berpedang Merah)! Tentu seorang tokoh besar dari golongan sesat! Pantas saja Kiang Tojin menyatakan bahwa gadis cantik itu dari dunia hitam, seorang tokoh kaum sesat. Akan tetapi masih begitu muda! Masa memiliki tingkat kedudukan yang sejajar dengan Kiu-bwe Toanio dan Sin-to Gi-hiap?

   "Hi-hi-hik! Kiu-bwe Toanio, alangkah lucunya melihat lagakmu. Engkau terkenal sebagai pendekar wanita sejak muda, akan tetapi kiranya engkau pun hanya seorang yang pada lahirnya saja pendekar padahal sebenarnya di dalam hatimu mengandung maksud-maksud yang tidak lebih bersih daripada maksud hatiku. Kau pura-pura merasa kasihan dan ingin menolong pemuda ini, padahal yang kau inginkan adalah benda-benda pusaka peninggalan Sin-jiu Kiam-ong. Aku pun menghendaki benda-benda itu dan aku berterus terang, tidak pura-pura seperti engkau!"

   "Hemmmm, Tok-sian-li. Hanya karena mengingat akan nama gurumu maka aku seorang tua masih berlaku hormat kepadamu. Jangan engkau membuka mulut sembarangan saja! Memang aku menghendaki barang-barang pusaka Sin-jiu Kiam-ong, akan tetapi hal itu adalah karena dosa-dosa Kiam-ong kepadaku yang harus dia bayar lunas dengan benda-benda pusaka peninggalannya! Tidak seperti engkau yang hendak merampok begitu saja dengan menekan muridnya."

   "Hi-hi-hik, nenek tua yang tak tahu malu! Engkau sendiri yang dahulu tergila-gila kepada Kiam-ong, engkau sendiri yang mengejar-ngejarnya, ingin selalu berada dalam pelukannya, menikmati cumbu rayu dan belaiannya! Kiam-ong tidak sudi menjadi suamimu, kenapa kau katakan hal ini dosa? Hi-hi-hik, sungguh menjemukan!"

   "Tok-sian-li, biar engkau menggunakan nama besar gurumu, penghinaanmu harus dibayar dengan nyawa!"

   Kiu-bwe Toanio marah sekali dan ia menggerakkan pecutnya yang berekor sembilan itu di udara sehingga terdengar suara ledakan-ledakan "Tar-tar-tar....!!"

   "Huh, pecutmu itu hanya dapat untuk menakut-nakuti anjing dan anak-anak kecil!"

   Cui Im mengejek dan tiba-tiba tangan kirinya bergerak. Sinar-sinar merah yang kecil-kecil menyambar ke arah nenek itu dengan kecepatan laksana kilat menyambar. Itulah Ang-tok-ciam (Jarum Racun Merah) yang amat berbahaya, sekali sambit secara beruntun ada dua puluh satu buah jarum halus menyambar lawan. Setiap batang jarum merupakan tangan maut karena racun yang dikandungnya cukup untuk merenggut nyawa orang. Kini dua puluh satu buah jarum menyambar dan mengarah jalan-jalan darah yang penting, dapat dibayangkan betapa hebatnya!

   "Perempuan keji!"

   Kiu-bwe Toanio memaki, akan tetapi dia sibuk juga memutar senjata cambuknya untuk melindungi tubuh. Hanya dengan memutar cambuk itu cepat-cepat maka ia dapat menghindarkan jarum-jarum yang tak berani ia anggap ringan itu.

   "Nenek tua mampuslah!"

   Cui Im telah melesat ke depan dan pedangnya berubah menjadi sinar merah yang bergulung-gulung ketika ia menerjang lawannya sebagai serangan lanjutan daripada jarum-jarumnya. Gadis ini ternyata selain pandai melepas jarum, juga amat cerdik. Ia maklum bahwa Kiu-bwe Toanio tak mungkin dapat mudah dirobohkan dengan jarum-jarumnya, maka serangan jarumnya tadi hanyalah untuk mengacau lawan, dan kini selagi lawannya memutar cambuk menghindarkan diri daripada ancaman jarum-jarum, ia telah menerjang dengan pedangnya yang gerakannya amat cepat dan kuat. Keng Hong yang melihat gerakan gadis ini diam-diam kagum dan juga terkejut sekali. Dilihat gerakannya, ilmu pedang gadis itu benar-benar lihai bukan main dan agaknya tidak berada di sebelah bawah tingkat kesembilan orang sakti yang pernah menyerbu suhunya.

   "Tar-tar-tar.... wuuuuutttttt..... trang-trang....!"

   Sembilan ekor ujung cambuk itu dimainkan di tangan Kiu-bwe Toanio seolah-olah menjadi sembilan ekor ular yang bergerak hidup, sebagian lagi membalas dengan totokan-totokan kilat yang disusul dengan gerakan mengait! Betapapun hebat gerakan pedang di tangan Cui Im, namun dihadapi sembilan ujung cambuk yang menangkis dan balas menyerang itu dia terkejut sekali.

   Pedangnya diputar dan ia mengeluarkan pekik nyaring, disusul jerit kaget Kiu-bwe Toanio. Sejenak kedua orang ini lenyap menjadi bayangan yang berputaran di antara sinar merah dan sinar hitam cambuk itu, kemudian keduanya mencelat ke belakang didahului Cui Im yang terpaksa melompat jauh untuk menghindarkan serangan enam buah kaitan. Ia turun dan melintangkan pedangnya dengan wajah agak berubah karena ia kini maklum betapa lihai nenek itu dan yang ternyata merupakan lawan yang berat juga. Di lain pihak, nenek itu mengeluarkan suara gerengan marah karena tiga buah kaitan berikut tiga ujung cambuknya telah buntung oleh pedang yang amat lihai di tangan Cui Im. Pada saat itu, Sin-to Gi-hiap yang melihat kesempatan baik, sudah meloncat mendekati Keng Hong dan berkata,

   "Orang muda, kau harus ikut bersamaku sebagai wakil suhumu!"

   Kakek itu dengan golok telanjang di tangan kanan menyambar Keng Hong dengan tangan kirinya, hendak mencengkram pundak pemuda itu. Sebelum Keng Hong sempat mengelak, sinar merah berkelebat dan kakek itu cepat menarik kembali tangannya karena kalau dilanjutkan, tentu akan buntung terbabat pedang yang dibacokan Cu Im.

   "Kakek tua bangka, jangan sentuh pemuda ini!"

   Sin-to Gi-hiap menghela napas panjang.

   "Nona, mengingat gurumu, biarlah kami orang tua mengalah. Marilah kita berunding baik-baik. Benda-benda pusaka peninggalan Sin-jiu Kiam-ong amatlah banyaknya, kalau kita bertiga membagi rata, masih amat banyak bagian kita masing-masing. Kurasa Kiu-bwe Toanio juga tidak keberatan."

   Kiu-bwe Toanio menggerak-gerakkan cambuknya. Ia maklum bahwa gadis itu amat lihai ilmu pedangnya, apalagi kalau ia mengingat guru gadis itu, benar-benar tak boleh dijadikan lawan dan jauh lebih baik dijadikan kawan. Maka ia mengangguk dan menggumam,

   "Asal orang muda tidak kurang ajar terhadap orang tua, aku pun bukan seorang serakah yang ingin memiliki seluruh pusaka."

   Cu Im melangkah maju mendekati Keng Hong lalu memegang tangan pemuda itu dengan tangan kanannya yang menyembunyikan pedang di balik lengan.

   "Uh, kalian mau enaknya saja! Siapa yang lebih dulu mendapatkan murid Sin-jiu Kiam-ong ini? Aku! Kalau kalian semua lari terbirit-birit diusir tosu-tosu Kun-lun-pai, aku malah membiarkan diriku dijadikan seorang tawanan! Setelah aku berhasil mendapatkan pemuda ini, kalian masing-masing mau minta bagian! Benar-benar tak tahu malu!"

   Tiba-tiba gadis itu menggerakan tangan kiri, membanting sesuatu di depan dua orang lawan itu dan terdengarlah ledakan keras diikuti asap hitam mengebul. Dua orang tua itu adalah orang-orang sakti yang sudah berpengalaman. Cepat mereka melompat mundur menjauhkan diri, maklum betapa berbahaya asap hitam yang timbul dari ledakan itu. Dan memang tepat sekali dugaan mereka karena kalau keduanya tidak menjauhkan diri dan sampai menghisap asap hitam itu, nyawa mereka terancam maut yang disebar oleh asap hitam yang amat beracun itu! Ketika mereka meloncat dengan jalan memutari asap itu, ternyata Cui Im dan Keng Hong sudah tidak kelihatan lagi bayangannya.

   "Kurang ajar! Mari kita kejar!"

   Kiu-bwe Toanio berseru dan menggerak-gerakan cambuknya yang tinggal berekor enam itu.

   "Tar-tar-tar!"

   Dua orang tokoh lihai ini lalu melesat dan melakukan pengejaran akan tetapi karena mereka berdua tidak melihat ke jurusan mana larinya Cui Im, mereka mengejar secara ngawur dan ternyata mereka menuju ke jurusan yang berlawanan. Kalau Cui Im yang mengempit tubuh Keng Hong lari ke selatan, mereka mengejar ke barat!

   "Keng Hong, kita beristirahat dan bermalam di sini!"

   Kata Cui Im sambil melempar tubuh Keng Hong di atas rumput hijau dalam sebuah hutan. Senja telah berlalu dan keadaan cuaca di dalam hutan sudah remang-remang. Cui Im lalu menyalakan api dan membuat api unggun sehingga di situ selain hangat dan tidak diganggu nyamuk, juga agak terang. Kemudian gadis cantik itu duduk mendekati Keng Hong yang bersandar pada batang pohon.

   "Keng Hong, waktumu sudah terlewat sehari, tinggal malam ini. Kalau kau tidak kuberi obat penawar, besok pagi engkau mampus."

   Keng Hong menarik napas panjang memperlihatkan muka duka padahal di dalam hatinya dia menjadi geli.

   "Mampus ya biarlah, malah tidak repot menjadi rebutan seperti sekarang ini!"

   "Eh, eh, eh! engkau masih muda remaja, baru tujuh belas tahun usiamu, belum mengecap kenikmatan hidup, mengapa ingin mati?"

   "Ingin mati sih tidak, akan tetapi kalau engkau meracuniku sampai mati, aku bisa berbuat apakah?"

   "Engkau tidak ngeri? Tidak takut mati?"

   "Mengapa takut? Apakah engkau takut mati, Cui Im?"

   Gadis itu mengangguk, memandang wajah tampan itu dengan heran dan kagum.

   "Hemmm, alangkah anehnya kalau ada orang takut mati. Mati itu apa sih? Siapa yang pernah mengalaminya? Siapa yang mengetahuinya bagaimana kalau sudah mati? Apakah menakutkan? Kalau belum tahu, perlu apa takut? Aku tidak takut mati karena aku tidak tahu apa yang akan terjadi di sana, seperti juga dahulu aku tidak takut lahir karena ketika itupun aku tidak tahu bagaimana itu yang disebut hidup!"

   "Wah, engkau ini selain tolol dan bandel, juga aneh!"

   "Engkau lebih aneh lagi. Ketika berada di Kun-lun-san, engkau membiarkan dirimu menjadi tawanan, berpura-pura seperti orang yang tidak memiliki kepandaian, padahal tadi ketika menghadapi Kiu-bwe Toanio, engkau lihai sekali."

   Cui Im tertawa, giginya berkilauan disentuh sinar api unggun.

   "Kalau tosu-tosu bau dari Kun-lun-pai itu mengetahui bahwa aku adalah aku, tentu mereka tidak akan mudah melepaskan aku pergi, biarpun engkau yang memintanya."

   "Engkau siapa sih? Aku dengar tadi mereka menyebutmu Ang-kiam Tok-sian-li. Julukan yang bagus dan juga mengerikan! Ang-kiam (Pedang Merah) dan Sian-li (Bidadari) memang bagus, akan tetapi terselip kata-kata Tok (Racun), sayang sekali. Dan buktinya engkau memang tukang meracuni orang! Mengapa seorang gadis muda jelita macam engkau begini ganas, sungguh sukar dimengerti."

   Cui Im tertawa lagi dan memegang lengan pemuda itu dengan sikap mesra.

   "Kau bilang aku jelita? Benarkah?"

   "Kalau aku tidak bilang kau jelita, berarti aku membohongi diri sendiri. Engkau memang jelita, Cui Im."

   Gadis itu makin girang hatinya.

   "Aduh, kalau kau selalu bersikap manis kepadaku, aku menjadi tidak tega membunuhmu, Keng Hong. Kau tampan sekali, dan banyak gadis akan kehilangan hatinya kelak kalau berhadapan denganmu."

   Jantung Keng Hong berdebar, dia selamanya belum pernah berdekatan dengan wanita muda dan cantik, belum pernah dipuji dan di rayu. Cepat dia menekan perasaannya dan mengalihkan percakapan.

   "Kiu-bwe Toanio dan Sin-to Gi-hiap adalah dua orang locianpwe yang berilmu tinggi, akan tetapi terhadapmu seperti orang jerih, dan selalu menyebut-nyebut gurumu. Siapa sih gurumu yang agaknya amat mereka takuti itu, Cui Im?"

   "Guruku adalah orang yang terpandai di kolong langit ini! Agaknya hanya Sin-jiu Kiam-ong saja yang dapat menandinginya, akan tetapi setelah Kiam-ong meninggal, guruku menjadi jago nomer satu di dunia! Dia adalah orang pertama dari Bu-tek Su-kwi (Empat Iblis Tanpa Tanding) yang menguasai daerah selatan dan berjuluk Lam-hai Sin-ni (Dewi Laut Selatan). Akan tetapi..... ah, Keng Hong, marilah bawa aku ketempat rahasia penyimpanan kitab-kitab rahasia suhumu, kita mempelajari bersama dan..... kita berdua akan menjadi sepasang jago nomer satu di dunia. Guruku sendiri takan mampu melawan kita. Marilah, kekasih.....!"

   Cui Im merangkul leher Keng Hong. Tercium keharuman yang amat sedap dari muka dan rambut gadis itu, membuat Keng Hong menjadi makin berdebar jantungnya dan terpaksa dia memejamkan matanya.

   "Bagaimana, Keng Hong? kuberi obat pemunah, ya? Kemudian.... kemudian kita bersenang-senang malam ini besok kita pergi ke Kun-lun-san, ke Kiam-kok-san dan mengambil semua pusaka peninggalan suhumu.... ya??"

   Keng Hong sudah memejamkan mata dan sudah mengumpulkan seluruh panca indra untuk menekan batinnya yang bagaikan air yang tenang mulai diguncang nafsu. Ia menggeleng kepala dan berbisik,

   "Aku tidak tahu di mana tempatnya itu."

   Cui Im melepaskan rangkulanya dan lenyap pula kemesraanya. Ia mendengus dan menjauhkan diri, duduk merenung di depan api unggun. Keng Hong membuka matanya dan memandang punggung gadis itu yang menggunakan sepuluh jari tanganya menekuk-nekuk batang rumput, berkali-kali menarik napas panjang dan kelihatanya jengkel sekali. Keng Hong terheran mengapa ada seorang gadis secantik itu, sehalus itu, berhati kejam dan jahat, mengejar kepandaian secara membuta. Ia merasa sayang sekali. Kalua dia terbayang akan belaian dan bujuk rayu tadi, kakinya menggigil. Apa yang akan diperbuat gurunya, andaikata Sin-jiu Kiam-ong yang menjadi dia? Dia tidak takut akan racun yang memasuki perutnya tadi. Selama dia berguru kepada Sin-jiu Kiam-ong, gurunya itu setiap hari memberinya minum segala macam racun, sedikit demi sedikit!

   "Kaki tangan seorang lawan dapat kau hadapi dengan kaki tangan pula, muridku,"

   Demikian gurunya memberi keterangan.

   "akan tetapi lawan yang licik suka mempergunakan racun yang dicampur dalam makanan atau minuman. Banyak terdapat racun yang jahat sekali dan yang tidak berbau apa-apa, tidak terasa apa-apa. Namun dengan kebiasaan minum sedikit racun setiap hari, lidahmu akan menjadi biasa dan dapat mengenal setiap racun yang dicampur makanan atau minuman. Juga, dengan cara sedikit demi sedikit, makin lama makin tambah takarannya masukan racun-racun itu ke perut, engkau akan menjadi kebal terhadap segala macam racun."

   Demikianlah, ketika dia minum air yang dicampur racun, dia segera mengenal racun itu, akan tetapi mengandalkan kekebalan perutnya dia tidak khawatir dan minum terus sampai habis. Dengan sinkang yang disalurkan ke perut, dia tadi telah mengumpulkan racun di perutnya dan dalam perjalanan tadi ketika dia dipanggul Cui Im, diam-diam dia telah memuntahkan kembali racun itu sehingga kini perutnya bersih daripada racun. Kembali Keng Hong memperhatikan Cui Im. Kini gadis itu agak miring duduknya sehingga tampak dari samping wajah yang cantik itu. Wajah yang disinari api merah, sedikit tertutup juntaian rambut hitam, benar-benar amat mempesonakan. Ketika tiba-tiba gadis itu menoleh ke arahnya, seolah-olah terasa pandang matanya, Keng Hong cepat meramkan matanya. Dia memang lelah dan mengantuk, maka kini dia mengambil ketetapan hati untuk meram terus dan tidur, tidak lagi mempedulikan gadis itu.

   "Keng Hong....!"

   Pemuda itu membuka matanya dan memandang gadis yang bersimpuh di depannya.

   "Enak saja kau tidur!"

   "Habis mau apa lagi? Mengapa kau mengganggu orang tidur?"

   Gadis itu makin gemas. Orang ini sudah terkena racun, sudah menghadapi kematian, namun masih enak-enak saja. Biarpun seorang di antara tokoh-tokoh besar di dunia kang-ouw macam mereka yang disebut locianpwe, kiranya akan menjadi gelisah dan akan berdaya sedapat mungkin untuk menyelamatkan nyawanya. Akan tetapi pemuda ini enak-enak saja tidur. Selain heran dan penasaran, juga dia menjadi kagum dan makin tertarik karena sukarlah mencari seorang pemuda setenang ini. Ataukah memang karena tololnya? Dia tidak menghendaki kematian Keng Hong, karena kematian pemuda ini tidak saja akan membuyarkan cita-citanya mendapatkan kitab-kitab simpanan Kiam-ong, juga gurunya akan menjadi marah sekali kepadanya. Apa yang ia harus lakukan untuk dapat membujuk pemuda ini?

   "Keng Hong, apakah kau tidak merasa sakit?"

   Keng Hong menggeleng kepala.

   "Perutmu tidak mulas? Racun itu tentu telah mulai bekerja."

   Kembali pemuda itu hanya menggeleng.

   "Kau memang aneh. Karena umurmu tinggal malam ini, biarlah kuhadiahi engkau arak wangi yang kubawa. Jarang ada orang kuberi arak ini, kalau bukan orang yang kusenangi."

   "Hemmm, engkau senang kepadaku?"

   Cui Im memandang dan melempar kerling memikat, senyumnya kini manis sekali.

   "Ah, betapa bodohnya engkau Keng Hong. Aku senang kepadamu, aku cinta kepadamu, masih butakah matamu? Aku tidak ingin melihat engkau mati besok."

   "Engkau ingin memaksa aku mencari pusaka suhu, bukan tidak ingin melihat aku mati."

   "Betul juga, akan tetapi aku cinta padamu. Kau seorang pemuda yang jantan, tabah dan luar biasa. Mari, kuhadiahi engkau arak wangi."

   Cui Im mengeluarkan sebuah guci arak kecil dari balik bajunya, membuka tutupnya dan terciumlah bau yang amat wangi, seperti puluhan macam bunga wangi dikumpulkan dalam guci arak itu. Keng Hong tidak banyak cakap lagi, namun dia haus dan bau arak itu amat sedap. Ia menerima guci itu dan menodongkan ke mulutnya.
(Lanjut ke Jilid 05)
Pedang Kayu Harum (Seri ke 01- Serial Pedang Kayu Harum)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 05
"Racun atau obat penawar?"

   Tanyanya sebelum minum. Cui Im makin kagum. Di dunia ini tak mungkin menjumpai orang seperti pemuda ini, yang begitu tenang dan dingin menghadapi ancaman racun, padahal pemuda itu sudah mengenal namanya sebagai Tok-sianli (Dewi Beracun)! Hebat bukan main!

   "Kalau arak ini beracun, bagaimana?"

   Ia bertanya, memancing.

   "Racun pun boleh, asal enak diminum. Aku sudah diracuni, ditambah lagi sedikit atau banyak apa bedanya?"

   Jawab Keng Hong lalu meminum arak itu dari guci. Lidahnya segera dapat merasa bahwa di dalam arak ada racunnya, akan tetapi racun ini berbeda dengan racun tadi. Racun yang berada di dalam arak ini racun yang amat halus, bahkan bukan racun cair karena begitu diminum, racun itu menjadi segumpal hawa yang harum. Dia tidak tahu racun apa ini, akan tetapi dia mengerahkan sinkangnya menerima racun itu dan membiarkan gumpalan hawa wangi itu berkumpul di dalam dadanya. Setelah guci kecil itu kosong, baru dia mengembalikannya kepada Cui Im, dan mengusap mulut dengan ujung lengan bajunya.

   Cui Im memandang dengan mata terbelalak, kemudian dia tersenyum-senyum ketika melihat pemuda itu menyandarkan diri di batang pohon dan meramkan mata seperti orang mengantuk. Ia percaya penuh akan kemanjuran racun araknya dan mengharapkan hasil sekali ini. Arak yang dicampur racun itu amatlah kuatnya dan merupakan arak buatan gurunya yang ampuh sekali. Bukan racun untuk membunuh, melainkan racun untuk pembangkit berahi, racun perangsang yang dibuat dari beberapa macam lalat dan semut dicampur sari bunga-bunga wangi. Penduduk kepulauan di selatan mempergunakan sebagian kecil saja dengan cara pembuatan sederhana untuk meracuni kuda yang hendak dikawinkan. Tanpa racun ini, sukar mengawinkan kuda betina. Kini, yang diminumkan oleh Cui Im kepada Keng Hong merupakan sarinya, kerasnya bukan main dan kiranya cukup untuk pembangkit nafsu berahi dua puluh ekor kuda!

   Keng Hong yang meramkan mata itu sesungguhnya tidak tidur. Dia mendengarkan gerak-gerik Cui Im yang menurut pendengaranya seperti orang gelisah. Akan tetapi dia tidak perduli dan meramkan mata, mengheningkan cipta dan mengerahkan sinkang untuk menahan gumpalan hawa beracun yang aneh itu. Ia tahu bahwa racun ini amat berbahaya, sungguhpun dia tidak tahu bagaimana bahayanya. Tubuhnya menjadi panas, padahal racun itu masih tertahan olehnya. Ia menanti saat baik untuk menghembuskan keluar racun itu di luar tahu Cui Im, karena dia pun hanya ingin melihat apa yang akan dilakukan gadis itu selanjutnya. Akan tetapi, apa yang akan dihadapinya sungguh di luar dugaannya sama sekali. Lewat tengah malam, Keng Hong yang mengantuk itu tiba-tiba mendengar panggilan yang mesra dan halus, dibisikan dekat telinganya.

   "Keng Hong....., ah, Keng Hong.....!"

   Ia membuka matanya. Api unggun masih menyala dan di antara sinar merah api itu, dia melihat Cui Im merangkul dan membelainya, lengan yang telanjang membelit lehernya seperti ular, dada yang tak ditutupi apa-apa membusung dan menekan dadanya sendiri. Gadis itu memeluk dan membelainya dalam keadaan telanjang bulat. Keng Hong membelalakan matanya, mulutnya ternganga dan dapat dibayangkan betapa gagetnya ketika pada saat itu Cui Im mencium mulutnya yang sedang ternganga itu sehingga mulut mereka bertemu seperti guci arak dengan sumbatnya. Karena kaget, Keng Hong mengeluarkan suara "ahhh!"

   Dari dadanya dan.... segumpal hawa racun wangi yang dia kumpulkan dan tahan dengan kekuatan sinkang telah terhembus keluar, memasuki mulut Cui Im yang terbuka dan langsung ke dalam dada gadis itu.

   "Aiiihhhh.....!"

   Cui Im menjerit dan terjengkang ke belakang. Ia terbatuk-batuk, memegangi leher yang serasa tercekik, tubuhnya mengeliat-geliat seperti seekor ular terkena api.

   Keng Hong memandang dengan mata terbelalak, setengah kasihan, setengah geli bahwa tanpa disengaja racun itu meracuni Cui Im sendiri, juga setengah kagum menyaksikan betapa tubuh yang indah itu mengeliat-geliat seperti itu. Harus dia akui bahwa selama hidupnya belum pernah dia menyaksikan keindahan tubuh seperti tubuh Cui Im. Dalam mimpi pun tak pernah. Kini barulah dia mengerti mengapa mendiang Sin-jiu Kiam-ong, suhunya, dikatakan mata keranjang dan tukang memikat wanita. Kiranya tubuh indah dan wajah cantik seperti yang dimiliki Cui Im inilah yang membuat suhunya seperti itu. Hati pria mana takkan tertarik? Bukankah keindahan wanita memang khusus diciptakan untuk menarik hati pria? Kerbau, kuda, burung dan segala macam binatang tentu akan tertarik akan keindahan wajah dan tubuh seorang wanita!

   "Tamasya alam yang indah memang minta kita pandang dan kagumi. Bunga-bunga cantik wangi memang minta kita pandang dan ciumi. Wanita-wanita cantik jelita memang minta kita cinta dengan kasih mesra. Engkau bahagia dalam hidupmu kalau tidak terjerat cinta kasih yang mendalam, muridku. Sekali terjerat, engkau akan menikah, dan sekali kau menikah, berarti engkau memberikan kaki tanganmu untuk diikat selama-lamanya dengan kewajiban-kewajiban! Karena itu jauhkan diri daripada ikatan cinta kasih yang mendalam, sungguhpun engkau telah berhubungan dengan banyak wanita. Kalau memang engkau suka, jangan menolak cinta wanita, hanya jangan berikan hatimu, jangan berikan cinta kasihmu, cukup kau berikan tubuhmu."

   Demikianlah pernah dia mendengar wejangan gurunya yang terkenal sebagai seorang pemikat wanita!

   Tadinya, wejangan seperti itu hanya lewat saja di hatinya karena belum terpikirkan olehnya bahwa dia akan menghadapi hal-hal seperti itu, tidak terpikirkan olehnya bahwa dia akan bertemu dengan wanita-wanita sehingga timbul persoalan cinta kasih. Akan tetapi sekarang, baru saja dia turun dari Kiam-kok-san, dia telah bertemu dengan hal yang dikatakan suhunya itu! Kini Cui Im tidak menggeliat-geliat lagi seperti cacing kepanasan. Gadis itu masih terengah-engah dan memegangi lehernya, kemudian mengangkat mukanya memandang Keng Hong. Rambutnya yang terurai itu sebagian menutupi mukanya. Mukanya merah sekali, bibir dan rongga mulutnya yang agak terbuka lebih merah lagi, matanya memandang penuh gairah, hidungnya berkembang-kempis seakan-akan terlalu sempit liangnya untuk jalan keluar pernapasan.

   "Keng Hong..... Ah-hah..... Keng Hong........"

   Cui Im yang tadinya berlutut itu kini merangkak maju menghampiri Keng Hong, kemudian menubruk pemuda itu, merangkul dan menciumi sambil membisikan kata-kata yang tidak ada artinya, kemudian tangannya meraba-raba ke arah kancing pakaian Keng Hong. Keng Hong Menjadi geli hatinya dan di luar kesadaranya sendiri, dia membiarkan semua perbuatan Cui Im. Ia teringat akan gurunya, teringat akan nasihat gurunya, dan timbul watak petualang yang memang terdapat dalam sudut hati setiapa orang manusia, yang membuat dia ingin mengalami segala macam hal. Keng Hong tidak menolak segala keinginan Cui Im, dan membiarkan diri sendiri menjadi murid yang melayani segala kehendak Cui Im yang sedang diamuk nafsu berahi yang dirangsang oleh hawa racunnya sendiri. Cui Im sama sekali tidak mengira bahwa akan menjadi begini urusannya.

   Bukan hanya dia sendiri menjadi korban racunnya, bahkan tanpa diketahui olehnya atau oleh Keng Hong sendiri, di dalam hubungan mereka itu pun timbul pula daya sedot mujijat dalam tubuh Keng Hong sehingga setelah lewat malam itu, Cui Im terkulai seperti orang kehabisan tenaga, setengah pingsan di atas rumput. Adapun Keng Hong yang sudah membereskan pakaiannya sendiri, enak-enak saja nongkrong di bawah pohon dan membesarkan api unggun. Hanya wajahnya yang tampak kemerahan dan segar, pandang matanya berbeda dari kemarin karena ini pandang matanya menjadi "masak". Keng Hong mulai lewat tengah malam tadi telah berubah dari kanak-kanak menjadi seorang laki-laki dewasa. Agaknya benar seperti diramalkan Thian Seng Cinjin ketua Kun-lun-pai bahwa bocah ini akan lebih hebat dari Sin-jiu Kiam-ong!

   "Keng Hong....!"

   Suara itu terdengar lemah namun penuh rayuan, penuh cinta kasih, keluar dari mulut Cui Im yang menggeliat seperti seekor kucing kekenyangan. Kemudian dia bergidik, merasa betapa dinginnya hawa pagi dan agaknya baru disadarinya bahwa ia bertelanjang. Dengan malas Cui Im menyambar pakaiannya, mengenakan sejadinya, kemudian tiba-tiba ia meloncat dengan pakaian kusut dan rambut masih terurai lepas, meloncat ke dekat Keng Hong yang masih enak-enak membesarkan api unggun.

   "Keng Hong! Kau..... kau..... ah, lekas, kau telan pil pemunah racun itu.....! Ah, sudah pagi... celaka, terlambat sudah.... aduh, Keng Hong, Keng Hong kekasihku.....!"

   Cui Im menangis tersedu-sedu dan merangkul leher Keng Hong.

   "Kau ini kenapa sih?"

   Keng Hong bertanya tak acuh.

   "Kenapa? Kau masih enak-enakan saja? Racun itu..... engkau berada di ambang maut dan obat pemunah tidak ada gunanya lagi. Kau akan mati, Keng Hong!"

   Pemuda itu menoleh dan tampak olehnya betapa wajah itu tidaklah sejelita malam tadi! Ia tidak tertarik oleh kecantikan Cui Im, bahkan merasa tidak senang. Padahal wajah itu masih sama, dan mengertilah dia akan keterangan suhunya tentang perbedaan antara cinta sejati dan cinta nafsu. Cinta sejati tidak mengenal cantik atau tidak, tidak mengenal bosan karena cintanya mendalam dan ada kontak serta getaran antara jiwa dan batin kedua fihak. Sebaliknya, cinta nafsu hanyalah cinta yang timbul karena dorongan nafsu, karena kecantikan yang amat dangkal, hanya sedalam kulit sehingga cinta nafsu ini sekali terpuaskan akan menjadi bosan.

   "Aku tidak akan mati."

   "Apa? Dan racun itu.....? Racun ganas sekali!"

   
Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Sudah kutumpahkan kembali. Aku tidak akan mati oleh racunmu, Cui Im."

   Gadis itu terbelalak dan tidak senang melihat sikap Keng Hong yang begitu dingin, seolah-olah lenyap cinta kasihnya kepadanya, padahal baru saja, setengah malam penuh, mereka bercinta kasih tak mengenal batas. Ia menggelung rambutnya, memandang dengan kagum. Pemuda ini hebat! Hebat segala-galanya, pikirnya. Diracuni tidak mati, dan dari pengalamannya semalam harus ia akui bahwa belum pernah selamanya ia bertemu dengan seorang pria seperti Keng Hong ini. Ia segera menghampiri dan merangkul pundak Keng Hong.

   "Syukurlah kalau begitu, kekasihku. Keng Hong, kita telah.... telah menjadi suami isteri yang tidak syah! Engkau patut menjadi murid Sin-jiu Kiam-ong. Aaahhhhh, kekasihku, kita saling mencintai, hidup berdua mati bersama, bukan? Mari kita pergi mencari peninggalan suhumu yang sakti....."

   "Tidak! Kau pergilah, Cui Im. Sudah cukup agaknya aku mengalah terus dan menuruti semua perintahmu. Aku tidak menyesal karena terus terang saja, aku senang padamu. Akan tetapi jangan harap untuk dapat membujuk atau memaksa aku mencari pusaka guruku karena selain aku tidak tahu tempatnya, juga aku tidak mau. Pergilah!"

   "Ihhhh....! keparat!"

   Cui Im meloncat tinggi melepaskan pelukannya dan dia jatuh berdebuk di atas tanah.

   "Heeeee.....? Ke.... kenapa....?"

   Gadis itu terbelalak matanya dan terheran-heran, juga menjadi gelisah sekali. Mengapa dia seolah-olah kehilangan tenaga sinkangnya? Meloncat begitu saja ia terbanting roboh! Akan tetap kemarahannya membuat ia melupakan keadaan yang aneh ini dan ia sudah bangkit berdiri, lalu memaki.

   "Kau laki-laki tak berbudi! Kau laki-laki pemikat! Setelah menikmati tubuhku, kau mengusir aku pergi begitu saja!"

   "Ingat, bukan aku yang memikat, melainkan kau sendiri. Pergilah!"

   "Jahanam.....!"

   Cui Im melompat maju dan mengirim pukulan ke arah punggung Keng Hong.

   "Bukkk! Aiiihhh....!"

   Keng Hong masih duduk enak-enak, nongkrong di depan api unggun, sebaliknya tubuh Cui Im terlempar ke belakang dan gadis itu mengelus-elus tangan kanannya yang dipakai memukul tadi, matanya terbelalak. Ia tadi merasa dalam pukulannya betapa tangannya mendadak lemah sekali, sebaliknya punggung pemuda itu seperti dilindungi hawa yang amat kuat.

   "Aku.... aku.... kenapa....?"

   Kembali Cui Im berseru heran dan penuh kengerian.

   "Keng Hong.... kau apakan aku.....?"

   Keng Hong bangkit berdiri dan membalikan tubuh menghadapi gadis itu.

   "Cui Im, kau tahu aku tidak melakukan apa-apa. Semenjak kemarin, adalah engkau yang selalu menggangguku."

   "Aku.... tenaga sinkangku..... kosong dan kering.... tenagaku amat lemah....."

   Keng Hong juga tidak mengerti mengapa, dan dia tidak peduli karena bukan dia yang menyebabkan gadis itu demikian. Keng Hong tidak tahu, seperti dahulu di Kun-lun-san dia juga tidak sadar bahwa dia telah menyedot tenaga Kiang Tojin dan para tosu lain, semalam pun tanpa disadarinya, sebagian besar sinkang ditubuh Cui Im telah berpindah ke dalam dirinya. Keanehan yang terjadi dalam tubuh Keng Hong adalah bahwa setiap kali dia menghadapi serangan sinkang yang kuat,

   Secara otomatis tenaga sedotan itu bekerja tanpa disengaja dan tanpa dapat dia dicegah. Karena sinkang dari Cui Im tidaklah sekuat sinkang-sinkang Tojin dan tosu-tosu lainnya, maka Keng Hong tidak terlalu merasakan perbedaannya, tidak seperti ketika berada di Kun-lun-san itu. Kini dia hanya merasa tubuhnya segar dan sehat, sama sekali tidak merasa lelah. Sementara itu, Cui Im juga sudah menekan keguncangan hatinya. Ia menghilangkan kebingungannya dengan anggapan bahwa sinkangnya sebagian besar lenyap karena pengaruh hawa beracun, yaitu racun perangsang yang entah bagaimana telah berpindah ke dalam dadanya ketika ia mencium mulut Keng Hong semalam. Ia kni menjadi tenang kembali dan tidak menggunakan sinkang, tidak mengerahkan hawa dari pusar, melainkan mencabut pedang merahnya lalu menodong dan mengancam.

   "Keng Hong, sungguhpun racun itu tidak dapat membunuhmu, pedangku ini masih dapat mengirim nyawamu ke neraka kalau kau menolak permintaanku!"

   Keng Hong memandang ujung pedang yang menodong dadanya, lalu menghela napas panjang.

   "Sayang sekali, Cui Im. Engkau seorang gadis cantik jelita dan berkepandaian tinggi, namun semua itu tidak ada artinya kalau hatimu sekotor ini. Kulihat sinkangmu sudah lemah, kalau aku mempergunakan tenaga mana mungkin pedangmu dapat mengusikku? Akan tetapi aku tidak akan menggunakan tenaga, dan biarlah kujadikan engkau sebagai penguji karena selama turun gunung aku belum pernah menggunakan kiam-sut yang kupelajari dari suhu."

   Cui Im membuat gerakan menusukan pedangnya, akan tetapi dengan tangan miring, jari-jari tangan Keng Hong yang disaluri tenaga sakti yang hebat itu dapat menangkis dan mengibas sehingga pedang merah itu hampir terlepas dari pegangan tangan Cui Im. Keng Hong lalu membungkuk dan memunggut sebuah ranting kayu, sisa yang dijadikan umpan api unggun tadi, kemudian dia sudah siap dengan ranting ini di tangannya, memasang kuda-kuda Ilmu Pedang Siang-bhok Kiam-sut. Tentu saja ilmu pedang ini baru sempurna kalau dimainkan dengan pedang Siang-bhok-kiam, akan tetapi karena pedang itu tidak ada, ranting ini pun cukup baik, lebih baik daripada dia menggunakan pedang logam karena sifat kayi ini dan ringannya agak cocok dengan Pedang Kayu Harum.

   "Nah, mari kita berlatih ilmu pedang,"

   Katanya, ranting dilonjorkan lurus ke atas seperti menuding langit, kemudian perlahan-lahan turun ke bawah melingkari lehernya sendiri terus turun ditudingkan ke atas tanah. Inilah kuda-kuda atau gerakan pembukaan Siang-bhok Kiam-sut, dengan kedua kakinya tegak di kanan kiri,

   Tangan kirinya mengikuti gerakan pedang membentuk lingkaran di depan dada yang berhenti di depan hulu hati dalam keadaan miring seperti orang menyembah dengan satu tangan. Cui Im maklum akan kelihaiannya dalam tenaga sinkang yang dapat menyedot tenaga lawan. Dia sendiri telah menyaksikan betapa Keng Hong merobohkan Kiang Tojin yang lihai bersama beberapa orang tosu Kun-lun-pai yang lain, merasa ngeri dan jerih untuk beradu kekuatan sinkang. Akan tetapi ia pun telah melihat gerak-gerik Keng Hong yang masih kaku dalam ilmu silat, maka ia pikir bahwa kalau bermain pedang, apalagi pemuda itu hanya bersenjata ranting, pasti ia akan menang. Ia sudah menggunakan racun, sudah pula menggunakan rayuan bahkan menyerahkan raganya, namun semua itu tidak berhasil menundukan hati Keng Hong. Jalan satu-satunya hanya membunuhnya!

   Berpikir demikian, Cui Im lalu berteriak keras dan menerjang maju dengan dahsyat sekalli, mengirim jurus serangan mematikan. Harus diakui bahwa tingkat ilmu kepandaian Cui Im sudah amat tinggi, apalagi ilmu pedangnya, karena merupakan murid terkasih dari Lam-hai Sin-ni, datuk nomer satu dalam si empat besar Bu-tek Su-kwi. Selain memiliki ginkang yang amat cepat, sungguhpun sekarang tidak dapat dipergunakan karena sinkangnya sebagian besar telah "pindah"

   Ke tubuh Keng Hong, ia juga memilliki ilmu pedang yang amat ganas. Keng Hong bersikap berhati-hati sekali. Tadi ia sudah menyaksikan kelihaian gadis ini bermain pedang ketika melawan Kiu-bwe Toanio, maka kini ia cepat menggerakan rantingnya, digetarkan ujungnya dan menangkis dengan jurus-jurus ilmu silat pedang Siang-bhok Kiam-sut.

   "Ayaaaa.....!"

   Cui Im terkejut sekali karena begitu pedangnya bertemu dengan ujung ranting yang menggetar, pedangnya ikut tergetar dan getaran itu terus menjalar ke tangan dan lengannya, membuat lengannya kesemutan dan hampir saja ia melepaskan pedangnya kalau tidak cepat-cepat ia memutar pergelangan tangannya dan melangkah mundur. Keng Hong tidak mengejar atau mendesak lawannya, hanya berdiri siap menghadapi serangan gadis itu. Sikapnya tenang dan timbul kepercayaan pada diri sendiri. Mungkin dalam hal ilmu silat dia kalah pandai, akan tetapi ilmu pedangnya Siang-bhok-kiam adalah ciptaan gurunya, dan dalam kekuatan sinkang dia menang jauh. Asal dia dapat menjaga diri jangan sampai termakan pedang, dia tidak akan kalah.

   "Kau.... kau laki-laki keji!"

   Cui Im berteriak gemas lalu tubuhnya menerjang maju lagi mengirim tusukan dan bacokan bertubi-tubi. Hebat sekali gerakan pedang gadis ini, amat sukar diduga perubahannya sehingga pandang mata Keng Hong berkunang-kunang dan silau dibuatnya. Sinar pedang merah itu bergulung-gulung dan membentuk lingkaran-lingkaran panjang dan luas seperti seekor naga hendak membelit tubuhnya. Terpaksa Keng Hong menyalurkan sinkang pada rantingnya dan memutar ranting itu melindungi tubuhnya.

   Hawa sinkang yang disalurkan itu hebat sekali sehingga pedang yang ujungnya berubah menjadi puluhan banyak saking cepat dan tak terduga gerakannya itu selalu tertumbuk dan mental kembali, kalau tidak tertangkis ranting tentu membalik oleh hawa pukulan yang amat dahsyat. Namun, biarpun serangan Cui Im gagal semua, Keng Hong sama sekali tidak ada kesempatan untuk membalasnya. Hal ini adalah karena latihannya belum sempurna sama sekali, gerakannya masih kaku dan pedang Siang-bhok Kiam tidak berada ditangannya. Kalau ilmu pedang Siang-bhok Kiam-sut sudah dilatih baik dan pada saat itu dia memegang pedang pusaka itu, kirannya dalam beberapa jurus saja Cui Im yang lihai itu tentu tidak mampu bertahan terhadapnya! Cui Im makin lama makin marah. Dari mulut gadis ini keluar lengking panjang yang amat nyaring dan dengan nekat ia memutar pedang lebih cepat lagi.

   Namun, makin cepat ia mengerakan pedang, makin banyak ia menambah tenaga, makin lelah dia dan pedangnya juga setiap kali terbentur ranting membalik dan seperti akan menyerang tubuhnya sendiri. Hal ini membuat Cui Im penasaran dan gemas sekali. Dia memekik keras, mencabut keluar sehelai saputangan merah dan menggunakan saputangan itu menyeling serangan pedangnya, mengebutkannya ke arah Keng Hong. Keng Hong maklum akan bahayanya saputangan merah yang berbau harum ini. Teringat ia akan hawa racun yang tercampur pada arak. Menghadapi minuman, dia masih dapat bertahan karena lima tahun dia setiap hari diberi minuman racun. Akan tetapi terhadap racun yang berupa asap atau uap benar-benar amat berbahaya. Melihat berkelebatnya saputangan merah yang wangi.

   Keng Hong cepat menghindarkan diri dengan menggeser kaki ke kiri dan memukulkan rantingnya pada saputangan itu. Ia berhasil merobek saputangan dengan ujung rantingnya, akan tetapi dia tidak tahu bahwa serangan saputangan itu hanya pancingan belaka karena pada detik berikutnya, Cui Im sudah membanting sebuah benda seperti bola yang tadi disembunyikan dibalik saputangan. Bola itu mengeluarkan suara ledakan dan asap hitam mengelilingi Keng Hong. Pemuda itu terkejut sekali dan melompat, namun terlambat. Ia telah menghisap asap hitam yang berbau hamis, kepalanya pening, pandang matanya berkunang. Ia terhuyung-huyung dan di dalam kegelapan asap itu pedang Cui Im menyambar, menusuk lambungnya. Keng Hong masih sempat menangkis sambil mengerahkan tenaga.

   "Tranggg.....!"

   Pedang merah terlepas dari tangan Cui Im, akan tetapi pada saat itu Keng Hong terguling karena sebuah tendangan gadis itu tepat mengenai lutut kananya. Keng Hong terguling roboh, pandang matanya gelap, napasnya terengah-engah sehingga makin banyak asap hitam tersedot olehnya!

   Cui Im menjadi girang sekali dan ia sudah menubruk ke depan setelah menyambar pedang merahnya, disabetkan ke arah leher pemuda yang sudah tak berdaya lagi itu.

   "Singgggg..... tranggg....!"

   Cui Im menahan jeritnya ketika pedangnya yang sudah meluncur itu tiba-tiba tertahan di tengah udara, hanya beberapa senti meter lagi dari leher Keng Hong, dan terlepas dari tangannya kemudian terbang ke atas, terampas oleh segulung sinar putih yang datang menyambar secepat kilat.

   "Suci (kakak perempuan seperguruan) apa yang hendak kau lakukan itu?"

   Terdengar teguran halus dan ternyata di situ telah berdiri seorang gadis yang usianya paling banyak delapan belas tahun, berpakaian sutra putih dengan garis-garis pinggir biru, memegang sehelai sabuk sutra putih panjang yang tadi dipergunakan secara luar biasa untuk merampas pedang di tangan Cui Im.

   "Sumoi (adik perempuan seperguruan).....! Engkau.....??"

   Teriak Cui Im dengan suara kaget dan jerih. Memang aneh kelihatanya. Mengapa Cui Im seorang kakak seperguruan takut terhadap adik seperguruannya? Namun kenyataannya begitulah.

   "Nih, kukembalikan pedangmu, Suci!"

   Kata pula gadis baju putih itu dan sekali menggerakan pergelangan tangan yang memegang sabuk sutera putih, pedang merah itu meluncur ke arah Cui Im yang cepat menyambutnya dan menyimpannya. Gadis baju putih itu lalu menggerakan sabuknya yang menyambar ke arah Keng Hong bagaikan seekor ular hidup, melibat-libat tubuh pemuda yang masih pening dan mabuk itu dan sekali betot, tubuh Keng Hong melayang ke dekat gadis itu! Cui Im memandang dengan muka berubah merah penasaran ketika sumoinya mengeluarkan segulung sutera hitam dan mengikat kedua pergelangan tangan Keng Hong yang masih rebah terlentang kebingungan. Setelah mengikat kedua tangan pemuda itu secara hali, gadis baju putih ini lalu memakai kembali sabuknya, dilibat-libatkan di pinggangnya yang ramping.

   "Sumoi kenapa kau tawan dia? Dia itu....., punyaku! Aku yang menangkap dia, dan aku yang berhak atas dirinya. Dia itu kekasihku!"

   Teriak Cui Im dengan nada penasaran dan marah, namun ia tetap tidak berani mengeluarkan ucapan kasar terhadap sumoinya ini.

   "Hemmm, kulihat kau tadi hendak membunuhnya,"

   Kata si gadis baju putih dengan suara halus dan tenang.

   "Karena dia punyaku, aku berhak melakukan apa saja terhadapnya. Aku hendak membunuhnya karena dia tidak memenuhi permintaanku untuk mencari pusaka peninggalan Sin-jiu Kiam-ong."

   "Aku tahu semua itu, Suci. Hanya aku tak senang melihat engkau hendak membunuhnya. Ibu sendiri yang menyuruh aku menyusulmu dan mengawasi gerak-gerikmu. Dan harus kukatakan bahwa apa yang kulihat semalam tadi dan sekarang ini, sungguh mengecewakan. Kau terlalu menurutkan nafsu, nafsu berahi dan nafsu kemarahanmu. Yang dicari belum didapat mengapa hendak membunuh dia? Ibu yang menyuruh aku menangkapnya dan membawanya kepada ibu."

   "Aaahhhh....!"

   Cui Im mengeluh dengan nada kecewa sekali.

   "Dahulu subo tidak tertarik akan peninggalan Sin-jiu Kiam-ong.... dan membiarkan aku pergi untuk merampasnya, untukku sendiri....."

   "Sudahlah, Suci. Mari kita pergi menghadap ibu dan kau boleh bicara sendiri kepada ibu."

   "Tapi subo (ibu guru)....."

   "Sudahlah!"

   Gadis baju putih itu membentak dan sucinya terdiam. Kemudian gadis baju putih itu mengerakan bibir diruncingkan dan terdengarlah suara suitan melengking yang amat nyaring. Tak lama kemudian terdengar suara roda gerobak yang dilarikan kuda cepat sekali menuju ke tempat itu. Ternyata kemudian bahwa gerobak itu ditarik oleh empat ekor kuda besar, dikusiri seorang wanita muda yang cantik dan di belakang gerobak itu masih ada tiga orang wanita setengah tua yang cantik-cantik dan bersikap garang. Keempat wanita yang datang ini kesemuanya memakaian pakaian kuning dan di punggung mereka tampak gagang pedang.

   "Masukkan dia ke dalam kereta, aku sendiri yang akan menjaganya bersama suci,"

   Kata gadis itu memberi perintahnya kepada tiga orang wanita setengah tua yang sudah melompat turun dari kuda. Tanpa bicara sesuatu, mereka lalu mengangkat tubuh Keng Hong dan memasukannya ke dalam kereta, didudukan di atas bangku menghadap ke belakang. Keng Hong masih pening kepalanya, menyadarkan diri dan meramkan mata, mulai mengumpulkan hawa sakti untuk mengusir hawa beracun yang mengotorkan dada dan kepalanya.

   "Kalian berempat berangkatlah lebih dulu memberi laporan kepada ibu bahwa orang yang dikehendaki sudah tertawan. Biar suci yang menggantikan menjadi kusir dan aku yang mengawal orang ini. Berangkatlah!"

   Empat orang itu mengangguk, wanita muda yang tadi menjadi kusir diboncengkan oleh seorang di antara mereka dan tiga ekor kuda itu lalu membalap ke sebelah depan. Cui Im menghela napas panjang penuh kekecewaan, akan tetapi ia tidak banyak membantah lalu pindah duduk di depan, menjadi kusir. Adapun gadis baju putih itu kini duduk berhadapa dengan Keng Hong. Dengan gemas Cui Im mencambuk empat ekor kuda itu yang membedal sambil mengeluarkan suara meringkik keras. Roda-roda kereta menderu di atas jalan yang berbatu, dan guncanga-guncanga ini membuat Keng Hong cepat sadar kembali. Keng Hong semenjak tadi tidaklah pingsan, hanya pening dan pandangan matanya berkunang.

   Namun dia masih dapat mengikuti dengan jelas apa yang telah terjadi, dapat mengerti bahwa nyawanya tertolong oleh gadis baju putih yang membelenggunya dan kini duduk di depannya. Kalau tidak ada gadis ini, tentu lehernya telah putus dan nyawanya melayang oleh pedang merah Cui Im. Ia merasa heran sekali mengapa sumoi dari Cui Im ini kelihatannya jauh lebih lihai daripada Cui Im sendiri dan amat ditaati sucinya. Akan tetapi dia mengetahui semua itu sebagian besar hanya dari ketajaman pendengarannya saja karena tadi matanya berkunang dan kabur pandangannya. Sekarang, setelah dia mengusir sisa hawa beracun, dibantu guncangan kereta itu membuat pandangan matanya terang kembali, dia membuka mata memandang nona yang duduk anteng di depannya.

   Mula-mula yang mempesona Keng Hong adalah sepasang mata itu. Sepasang mata yang amat luar biasa indahnya, mengingatkan Keng Hong akan bintang-bintang di langit, dengan cahaya hangat lembut seperti sinar matahari pagi, bening seperti air telaga, tajam melebihi pedang pusaka, akan tetapi di balik semua keindahan itu bersembunyilah sifat dingin yang menyeramkan! Mata itu agaknya dapat menangkap kesadaranya, akan tetapi hanya sekilas saja menyapu wajahnya, kemudian mata itu memandang lagi ke depan, seolah-olah dapat menembus segala yang berada di depannya. Kemudian pandang mata Keng Hong merayapi wajah itu dan dia makin terpesona. Gadis yang jauh lebih muda dari Cui Im ini, yang usianya ditaksir tidak akan lebih tua dari dirinya sendiri, memiliki wajah yang amat cantik jelita.

   Bentuk wajahnya bulat telur, dengan kulit muka yang halus putih kemerahan tanpa bedak dan gincu, rambutnya hitam sekali dan amat halus seperti benang sutera, gemuk subur menghias dahi dan kedua pipi, menyembulkan dua buah telinga yang hanya tampak sedikit dan terhias dua buah anting-anting bermata merah. Alis itu amat hitam dan kecil memanjang seperti dilukis saja padahal tidak ada bekas-bekas goresan pensil dan agaknya alis ini dan bulu mata yang panjang melengkung itulah yang menambah keindahan matanya. Hidungnya kecil mancung dengan ujungnya agak menantang ke atas, diapit-apit sepasang pipi yang kemerahan dan halus seperti buah tomat meranum. Ketika pandang mata Keng Hong menurun lagi, pandang matanya seolah-olah menempel dan melekat pada sepasang bibir itu.

   Sukar dikatakan mana yang lebih indah antara mata dan bibir itu. Bentuknya seperti gendewa dipentang, dan warnanya merah membasah, segar dan membuat Keng Hong tanpa disadarinya sendiri menelan ludah seperti seorang kehausan melihat buah yang segar. Kemudian sinar mata Keng Hong makin liar memandang ke bawah dan apa yang dilihatnya benar-benar membuat dia terpesona. Gadis ini amat cantik jelita, sikapnya agung dan pendiam, dan bentuk tubuhnya.... sukar dilukiskan dengan kata-kata sungguhpun pakaian sutera putih itu membungkusnya. Pendeknya, kalau Cui Im merupakan gadis yang luar biasa cantiknya dan yang tidak pernah sebelumnya dia temukan atau impikan, kini gadis baju putih ini merupakan seorang gadis yang tak pernah dia sangka terdapat di dalam dunia!

   "Hidung belang, sudah puaskah engkau meneliti dan menaksir diriku?"

   Pertanyaan ini halus dan merdu terdengar oleh telinga, namun bagaikan pisau berkarat menggores jantung! Keng Hong belum tentu akan menjadi semerah itu kedua pipinya kalau dia menerima tamparan keras.

   "Eh.... ohhh.... aku...."

   Ia menggagap, berusaha mengelak dari pandangan mata yang begitu halus namun tajam menembus dada.

   "Aku tahu, engkau hidung belang seperti gurumu, akan tetapi perlu kau ketahui bahwa aku bukanlah seorang wanita murah seperti dia itu."

   Dengan dagunya yang meruncing halus, gadis itu menuding ke arah depan, ke arah Cui Im yang mengemudikan kereta. Keng Hong menghela napas panjang dan tak terasa lagi dia mengangkat kedua tangan yang terbelenggu itu untuk mengosok-gosok hidungnya yang dua kali dikatakan belang! Ketika kedua tangannya mengosok-gosok hidung ini, seolah-olah baru tampak olehnya bahwa pergelangan kedua tangannya dibelenggu, terikat oleh sehelai tali sutera hitam yang amat kuat. Ia menaksir-naksir berapa kekuatan belenggu ini.

   "Jangan mencoba untuk mematahkan belenggu,"

   Gadis itu seakan dapat membaca pikirannya.

   "Selain kau takan berhasil, juga kalau kau banyak tingkah, aku akan menyeretmu di belakang kereta."

   Wah-wah, kiranya si jelita ini malah lebih galak daripada Cui Im, pikir Keng Hong. Dia kembali menatap wajah itu dan melihat betapa gadis itu tenang seperti air telaga, dan matanya merenung jauh ke depan. Dia dianggap seperti lalat saja, atau bahkan tidak ada. Keng Hong penasaran. Dia bukanlah seorang yang tidak mengenal budi. Gadis ini telah menyelamatkan nyawanya, tidak mungkin dia yang sudah diselamatkan nyawanya diam saja seperti seorang yang tidak mengenal budi.

   "Nona...."

   Akan tetapi dia tidak melanjutkan karena gadis itu sama sekali tidak bergerak, sama sekali tidak memperhatikan tanda-tanda bahwa dia mendengar panggilannya. Keng Hong bergidik. Gadis ini seperti arca saja. Arca dari batu pualam yang halus dan dingin. Akan tetapi melihat bibirnya yang begitu merah membasah, melihat kemerahan pada rongga mulutnya ketika tadi bicara, kilaatan giginya yang kecil rata dan putih, semua ini membayangkan darah muda yang panas. Setelah kini berdiam diri, sikapnya benar-benar luar biasa dinginnya, sedingin salju di utara!

   "Nona.....!"

   Ia tidak putus asa dan memanggil lagi lebih keras. Namun gadis itu tetap diam, jangankan bergerak melirik pun tidak.

   "Bledak..... dak..... dorrr.....!"

   Kereta melalui jalan yang berbatu, rodanya menumbuk batu-batu yang besar sehingga kereta itu terguncang hebat, bahkan hampir roboh miring.

   "Heiiiii..... eh.....!"

   Keng Hong mengatur keseimbangan tubuhnya dan kaget sekali, akan tetapi kereta berjalan terus dan amatlah kagumnya menyaksikan betapa gadis baju putih di depannya itu masih tetap seperti tadi, tidak bergerak, tidak berguncang, juga tidak kaget. Wah seperti orang mati saja! Keng Hong tertegun sendiri. Jangan-jangan dia ini sudah mati! Matanya terbuka akan tetapi manik mata itu sama sekali tidak bergerak, napasnya pun seolah-olah berhenti.

   "Nona....!"

   Kembali tiada jawaban. Keng Hong mulai khawatir dan mendekatkan kedua tangannya yang terbelenggu itu ke depan hidung kecil mancung itu, hendak menyatakan apakah napas nona itu masih ada. Dan tangannya tidak merasakan sesuatu! Gadis ini telah mati. Ia menjadi panik dan menurunkan tangan hendak menyentuh urat nadi lengan nona itu.

   

Si Bangau Merah Eps 11 Si Tangan Sakti Eps 16 Pusaka Pulau Es Eps 14

Cari Blog Ini