Ceritasilat Novel Online

Si Bangau Merah 11


Si Bangau Merah Karya Kho Ping Hoo Bagian 11



Wajah kakek itu memandang kagum dan beberapa kali matanya terbelalak. Kemudian dia menghela napas panjang.

   "Bagus, bagus! Tuhan Maha Sempurna, Maha Bijaksana, Maha Kasih Sayang sekali, manusia lebih sering menjadi hamba nafsu sehingga lupa akan adanya To, adanya Kekuasaan Tuhan yang menjadi Hukum Alam, sehingga ulah manusia membuat Im dan Yang menjadi tidak seimbang dan menimbulkan kekacauan-kekacauan di dunia ini. Eh, benarkah engkau ini seorang manusia yang masih muda? Ataukah seorang manusia ajaib yang kelihatannya saja masih muda akan tetapi usianya sudah seratus tahun?"

   Yo Han tersenyum.

   "Harap Locianpwe tidak terlalu memuji. Pengertian seperti itu dapat dimiliki siapapun juga asal dia mau belajar. Dan usiaku baru lima belas tahun."

   "Lima belas tahun? Dan engkau sudah dapat menahan tubrukanku tadi? Padahal, seorang jago silat yang kenamaan di dunia kang-ouw saja belum tentu akan dapat hidup setelah menerima tabrakan tubuhku tadi. Dan engkau bahkan pandai mengurai tentang Im-yang dan To? Ha-ha-ha, agaknya Tuhan sengaja mengirimkan engkau ke sini untuk menjadi murid dan ahli warisku! Siapakah namamu, orang muda?"

   Yo Han mengerutkan alisnya.

   "Locianpwe, namaku Yo Han, akan tetapi aku tidak ingin menjadi murid dan ahli warismu."

   "Ehhh? Apa katamu? Seluruh jagoan silat di permukaan bumi sana akan berlomba untuk menjadi muridku, dan engkau menolak menjadi murid dan ahli warisku? Wah, wah, aku Ciu Lam Hok bisa mati karena keheranan!"

   Kepala dengan tubuh yang buntung itu kini berloncatan dan terdengar suara dak-duk-dak-duk seperti orang menumbuk sesuatu dengan amat kuatnya. Yo Han dapat menduga bahwa kakek buntung kaki tangannya ini tentu menguasai ilmu silat karena tadi beberapa kali menyebut tentang ilmu silat dan jagoan di dunia kang-ouw.

   "Ketahuilah, Locianpwe. Aku tidak ingin berguru kepada Locianpwe karena aku sudah mempunyai guru."

   "Ehhh? Engkau kira gurumu akan mampu menandingi aku, ya? Coba katakan, siapa gurumu yang tidak becus, itu!"

   "Guruku adalah Thian-te Tok-ong...."

   "Uhhhh...!"

   Tiba-tiba tubuh itu "terbang"

   Ke atas dan berputar-putar dari dinding kanan ke dinding kiri. Kiranya tubuh itu membentur dinding kiri, terpental ke dinding kanan dan bolak balik begitu seperti beterbangan saja, kurang lebih lima meter dari lantai. Akhirnya tubuh itu turun kembali dan berdiri tanpa kaki di depan Yo Han.

   "Kiranya engkau datang atas perintah Thian-te Tok-ong untuk membunuh aku, ya?"

   "Ah, sama sekali tidak, Locianpwe! Aku tidak mau menyerang orang, apalagi membunuh. Aku benci ilmu silat, aku benci kekerasan. Maka aku tidak mau menjadi murid Locianpwe, tidak mau belajar ilmu silat dari Locianpwe!"

   Sepasang mata itu terbelalak, mulutnya ternganga sehingga dalam cuaca yang remang-remang itu dapat kelihatan oleh Yo Han betapa rongga mulut itu tidak mempunyai sebuah pun gigi lagi.

   "Engkau? Yang dapat menahan tabrakanku, tidak mau belajar silat? Membenci ilmu silat dan membenci kekerasan? Engkau yang mengaku murid Thian-te Tok-ong? Ha-ha-ha, engkau boleh membohongi orang lain akan tetapi jangan coba-coba untuk membohongi Ciu Lam Hok!"

   "Aku tidak pernah berbohong dan tidak akan suka berbohong, Locianpwe."

   "Orang muda, omongan apa yang kau keluarkan ini? Engkau mengaku murid Thian-te Tok-ong dan mengatakan tidak suka belajar silat? Lalu, apakah Thian-te Tok-ong mengajar engkau menari?"

   "Ha-ha-ha...."

   "Benar, Locianpwe. Suhu mengajar aku menari dan bersenam."

   Kembali sepasang mata itu terbelalak, lalu pecahlah suara ketawanya tergelak-gelak dan tubuh itu pun bergulingan di atas lantai yang kotor. Tubuh itu berhenti di ujung ruangan itu dan tiba-tiba mulutnya meniup-niup. Ada benda kecil menyambar ke arah leher Yo Han. Pemuda ini cepat menggerakkan tubuhnya karena kini banyak benda yang menyambar ke arahnya dan yang menjadi sasaran adalah jalan-jalan darah. Dia segera menggerakkan tubuh, menari seperti monyet yang bergerak dengan cepat dan lincah sekali sehingga dia mampu mengelak dari sambaran benda-benda kecil yang ditiupkan oleh mulut kakek itu.

   "Ha! Engkau pandai ilmu silat Monyet dan Lutung Hitam! Dan kau bilang tidak pernah belajar silat?"

   Kakek itu berseru, suaranya mengandung kemarahan.

   "Dan kau bilang tidak berbohong, tidak pernah berbohong? Hemm, engkau setan cilik, tentu curang dan licik seperti gurumu!"

   "Locian-pwe, harap jangan menuduh sembarangan saja! Aku tidak bersilat, melainkan menari dan memang tarian ini disebut tarian monyet dan lutung hitam!"

   Tiba-tiba sebuah benda kecil menyambar lagi dan sekali ini Yo Han kurang cepat mengelak sehingga lehernya terkena sambaran benda kecil itu. Dia merasa bagian yang terkena benda itu perih dan agak nyeri, akan tetapi baginya tidak berapa mengganggu.

   "Yang licik dan curang bukan aku, melainkan engkau, Locianpwe. Engkau menyerangku secara membokong sehingga leherku terkena tiupan benda rahasiamu,"

   Tangan Yo Han memijat bagian leher yang terluka dan keluarlah sebatang jarum kecil. Dia mencabut jarum itu dan melemparkannya ke lantai dengan sikap acuh. Kini kakek itu melongo. Dia kini tahu bahwa pemuda itu tidak main-main atau mencoba untuk membohonginya. Agaknya pemuda itu memang mengira bahwa ilmu silat yang dikuasainya itu adalah ilmu menari! Dan yang membuat dia terkesima adalah cara orang muda itu menyambut jarumnya yang telah melukai lehernya.

   Orang lain, betapa pun lihainya, sekali terluka jarumnya, apalagi di leher, tentu sudah roboh dan tewas! Akan tetapi orang muda itu dapat menarik keluar jarum itu dari lehernya, membuangnya ke tanah dan masih sempat menegurnya dan jangankan mati, roboh pun tidak, bahkan mengeluh pun tidak! Hampir dia tidak mau percaya akan kenyataan yang dilihatnya. Tiba-tiba, kakek itu mengeluarkan seruan aneh, melengking seperti lolong srigala, dan tubuhnya sudah bergulingan kini rambutnya yang panjang itu menyambar-nyambar ke arah tubuh Yo Han. Pemuda ini terkejut dan kembali dia "menari", akan tetapi sekali ini, gerakan rambut kakek itu yang menyerangnya terlalu cepat dan aneh. Dia hanya berhasil meloncat dan mengelak empat lima kali saja, lalu tiba-tiba kedua kakinya terkena totokan ujung rambut dan dia pun terpelanting jatuh!

   Yo Han meloncat bangkit kembali dan kembali kakek itu menyerangnya dengan rambut. Suara rambut itu yang menyambar-nyambar sampai mengeluarkan bunyi bercuitan aneh. Yo Han kini menggunakan ilmu "senam", berdiri kokoh, mengerahkan tenaga yang dapat membuat tubuhnya keluar semacam tonjolan besar, kemudian dia menghadapi kakek itu dengan dorongan kedua tangannya dengan senam yang disebut mendorong bukit. Pada saat itu, kakek tadi sedang menggelundung dan kembali rambut-nya menyambar. Yo Han mendorong dan tenaganya bertemu dengan tenaga yang luar biasa kuatnya, keluar dari kepala atau rambut-rambut itu dan Yo Han merasa kepalanya seperti meledak, tubuhnya terpental ke belakang dan kembali dia roboh! Kakek itu pun terguling-guling ke belakang dan ketika dia sudah bangkit lagi, dia berseru kagum.

   "Siancai....! Engkau ini manusia ataukah setan? Heii, Yo Han, katakan sejujurnya, siapa engkau dan apa pula maksudmu menuruni sumur ini?"

   Yo Han yang sudah bangkit berdiri, memandang kepada kakek itu penuh takjub. Tahulah dia bahwa dia berhadapan dengan seorang manusia aneh, yang biarpun tak bertangan-kaki lagi, namun memiliki ilmu kepandaian yang hebat sekali. Ang I Moli, Si Iblis Betina yang amat lihai itu saja tidak mampu merobohkannya sampai dua puluh jurus ketika dia mainkan tarian monyet dan lutung hitam, bahkan pukulan iblis betina itu dapat dia tahan dengan ilmu senam mendorong bukit. Akan tetapi, dalam beberapa gebrakan saja dia roboh oleh kakek yang tidak mempunyai tangan dan kaki ini. Tarian dan senam, yang dikuasainya tidak mampu menolongnya. Jelas bahwa kakek ini jauh lebih lihai dibandingkan Ang I Moli!

   "Locianpwe, sudah kukatakan bahwa namaku Yo Han dan aku adalah murid Suhu Thian-te Tok-ong, mempelajari ilmu menari dan bersenam dari Suhu. Sudah tiga tahun aku menjadi muridnya. Aku pula yang diberi tugas oleh Suhu untuk menurunkan makanan ke dalam sumur. Sudah lama aku amat tertarik oleh suara tangisan dari dalam sumur maka hari ini aku tidak mampu lagi menahan keinginan tahuku, aku turun ke dalam sumur untuk melihat siapa yang menangis dan kalau perlu aku akan menolongnya. Tahukah engkau, Locianpwe, siapa yang suka meraung-raung itu?"

   "Ah.... aahhh.... sungguh aneh sekali. Memang sungguh ini pasti kehendak Tuhan.... yang mengirim engkau masuk ke sini. Dan bagaimana engkau dapat masuk ke sini?"

   "Dengan merayap, Locianpwe. Di antara tarian-tarian yang diajarkan Suhu, terdapat tarian gerakan cecak merayap dan aku sudah mempelajarinya."

   "Ah-ahhhh...., engkau ini anak tolol ataukah anak yang luar biasa? Yo Han, mendekatlah, nak. Aku ingin mengenalmu lebih dekat lagi."

   Yo Han maklum bahwa jauh atau dekat, bagi kakek sakti ini sama saja. Kalau kakek ini hendak membunuhnya, biarpun dia menjauh pun tidak ada gunanya. Maka dengan tabah dia pun melangkah dan menghampiri kakek itu.

   "Diamlah, Yo Han, aku hendak memeriksa keadaan tubuhmu,"

   Kata kakek itu dan tiba-tiba rambut kepalanya bergerak, seperti ular-ular kecil dan tahu-tahu rambut itu sudah melibat-libat seluruh tubuh Yo Han. Pemuda remaja ini bergidik. Dia dapat merasakan betapa rambut-rambut itu bukan hanya membelit akan tetapi juga memijit-mijit, menotok sana sini. Rambut itu hidup! Yo Han memejamkan matanya dan seluruh jiwa raganya memuji kebesaran Tuhan. Bukan main! Agaknya karena kakek ini kehilangan kaki dan tangan, maka rambutnya menjadi hidup dan dapat menggantikan tangan untuk meraba-raba memijit dan menekan-nekannya. Berulang-ulang kakek itu mengeluarkan seruan kaget dan heran. Kemudian, ketika dia menggerakkan kepala dan hidungnya yang menjadi keras itu menotok-notok ke arah pusar Yo Han, dia terlempar dan bergulingan.

   "Locianpwe....! Engkau tidak apa-apa....? Yo Han cepat menghampiri. Kakek itu menarik napas panjang dan menggelengkan kepala, lalu menenga-dah.

   "Ya Tuhan, inilah.... inilah...."

   Dan tiba-tiba dia pun menangis! Tangis yang sering didengar Yo Han! Tentu saja Yo Han menjadi heran bukan main.

   "Locianpwe, ada apakah? Maafkan kalau aku bersalah."

   Yo Han memandang terharu.

   "Jadi.... kiranya Locianpwe yang suka meraung dan menangis itu?"

   Kakek itu menghentikan tangisnya dan sungguh mengharukan. Rambut itu kini bergerak mengusap air mata dari mukanya! Melihat ini, Yo Han merasa tidak tega, karena bagaimanapun juga, gerakan rambut itu canggung sekali.

   "Yo Han, bocah ajaib. Setelah engkau tiba di sini dan melihat bahwa akulah orangnya yang suka meraung dan menangis, lalu apa yang akan kau lakukan?"

   "Locianpwe, entah siapa yang begitu kejam membuangmu ke sini. Aku akan mencoba untuk menolongmu dan membawamu keluar dari sumur ini,"

   Dalam suara pemuda itu terkandung ketegasan. Kakek itu kini tertawa! Baru saja menangis, kini sudah tertawa. Memang luar biasa sekali kakek itu.

   "Dan begitu keluar dari sini, engkau dan aku akan dibunuh oleh Thian-te Tok-ong? Tidak, Yo Han. Kalau engkau dibunuhnya, itu masih belum hebat. Akan tetapi kalau aku yang dibunuhnya, apakah pengorbananku ini akan menjadi sia-sia?"

   "Apa maksudmu, Locianpwe?"

   "Engkau duduklah, biar agak kotor tempat ini, akan tetapi aku akan bercerita, dan agaknya Tuhan sengaja mengirimkan engkau ke sini untuk mendengarkan ceritaku."

   "Aku pun yakin bahwa tentu kekuasaan Tuhan yang mendorongku untuk menuruni sumur ini dan bertemu denganmu. Ceritakanlah, Locianpwe."

   Kakek yang kakinya buntung mulai dari pangkal pahanya, dan lengannya buntung sampai hanya tinggal kedua pundaknya saja itu berdiri di atas pinggulnya sambil bersandarkan dinding sumur, dan dengan suara lembut dan lirih dia pun mulai bercerita, didengarkan dengan penuh perhatian oleh Yo Han yang merasa amat tertarik. Delapan tahun lebih yang lalu, kakek itu masih belum berada di dasar sumur itu, Juga kaki dan tangannya masih lengkap dan utuh.

   Dia ber-nama Ciu Lam Hok dan merupakan tiga serangkai kakak beradik seperguruan dengan Thian-te Tok-ong dan Ban-tok Mo-ko, Ciu Lam Hok adalah yang termuda. Akan tetapi, dalam hal ilmu silat, tingkat kepandaian Ciu Lam Hok lebih tinggi daripada tingkat kedua orang suhengnya itu. Hal ini adalah karena dia memang suka merantau dan bertualang, menjelajah di seluruh daratan Tiongkok dan selalu mempe-lajari ilmu-ilmu silat baru sehingga dia semakin maju dalam ilmu silat. Ketika Thian-li-pang didirikan, pendirinya adalah tiga serangkai bersaudara itu, dan Thian-li-pang didirikan untuk menghimpun orang-orang gagah, menjadi sebuah perkumpulan yang kuat. Kemudian, Ciu Lam Hok meninggalkan Thian-li-pang. untuk bertualang. Kurang lebih sembilan tahun yang lalu ketika dia mendengar akan sepak terjang Thian-li-pang yang mengarah kepada kesesatan,

   Dia terkejut dan lebih lagi ketika mendengar betapa dua orang suhengnya telah memperdalam ilmu mereka dengan ilmu tentang racun sehingga mereka dijuluki Ban-tok Mo-ko (Iblis Selaksa Racun) dan Thian-te Tok-ong (Raja Racun Langit Bumi), hatinya merasa khawatir sekali dan dia pun cepat pulang untuk membuktikan kebenaran berita itu. Betapa kagetnya ketika dia tiba di Thian-li-pang melihat bahwa berita yang didengarnya memang benar! Thian-li-pang memang masih merupakan perkumpulan yang menentang penjajah Mancu, akan tetapi di samping itu, Thian-li-pang bergaul dengan golongan sesat, bahkan bekerja sama dengan Pek-lian-kauw dan tidak segan melakukan berbagai kejahatan dan kekejaman. Demi perjuangan, mereka sanggup melakukan apapun juga, menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan!

   Ciu Lam Hok dengan berani menemui dua orang suhengnya, lalu menegur mereka yang dia anggap menyeleweng. Dua orang suhengnya menjadi marah.Terjadi pertengkaran yang berakhir dengan perkelahian. Akan tetapi bukan hanya Ban-tok Mo-ko yang kalah, bahkan Thian-te Tok-ong juga kalah oleh Ciu Lam Hok! Dua orang kakek yang kini sudah condong ke arah kesesatan dan tidak pantang melakukan kecurangan itu, berpura-pura menyesal dan bertaubat, dan tentu saja Ciu Lam Hok mau memaafkan kedua orang suhengnya asal mereka itu mengubah haluan Thian-li-pang yang menyeleweng, kembali ke jalan benar yang biasa ditempuh perkumpulan para pendekar. Setelah akur kembali, Ban-tok Mo-ko dan Thian-te Tok-ong membujuk sute mereka itu untuk menceritakan, ilmu aneh dan hebat apa yang membuat sute mereka itu demikian lihai sekarang.

   "Aku terbujuk oleh mereka,"

   Kakek buntung itu melanjutkan ceritanya yang amat menarik hati Yo Han.

   "Kuceritakan bahwa aku telah menemukan kitab ilmu Bu-kek-hoat-keng yang pernah diperebutkan para datuk. Itulah kesalahanku. Aku lupa bahwa amat sukar bagi seorang yang telah menjadi hamba nafsunya untuk kembali ke jalan benar. Mereka dapat berpura-pura, akan tetapi sukarlah bagi seseorang untuk benar-benar bertaubat. Biasanya, pernyataan bertaubat itu hanya terjadi karena mereka menderita sebagai akibat perbuatan mereka. Kalau penderitaan itu telah lewat, maka mereka lupa lagi akan pernyataan mereka untuk bertaubat, bahkan melakukan kejahatan lebih besar lagi untuk menebus kekalahan mereka."

   Yo Han mengangguk-angguk.

   "Kalau saja mereka itu memiliki iman kepada Tuhan sampai ke tulang sumsum mereka, tentu mereka akan menyerah kepada Tuhan dan kalau sudah begitu, maka kekuasaan Tuhan yang akan mampu menuntun mereka kembali ke jalan benar. Hanya kekuasaan Tuhan yang mampu mengendalikan nafsu yang selalu ingin meliar."

   "Heh-heh, engkau memang anak aneh!"

   Kata kakek itu.

   "Nah, karena kelengahanku, pada suatu hari, aku menjadi korban perangkap mereka. Aku keracunan dan tidak mampu lagi menandingi mereka. Dalam keadaan terluka dan keracunan itu, mereka mendesakku untuk menyerahkan kitab ilmu Bu-kek-hoat-keng. Akan tetapi, kitab itu telah kubakar, hanya isinya telah kupindahkan ke dalam kepalaku, tercatat dalam ingatan. Karena aku berkeras tidak mau membuka rahasia Bu-kek-hoat-keng, mereka menjadi marah. Mereka menyiksaku, bahkan membuntungi kaki tanganku dan melemparku ke dalam sumur ini, delapan tahun lebih yang lalu. Akan tetapi, mereka tidak tahu bahwa ilmu Bu-kek-hoat-keng dapat kupergunakan untuk menyelamatkan nyawaku, bahkan membersihkan tubuhku dari pengaruh luka dan racun mereka, ha-ha-ha!"

   Yo Han mendengarkan dengan hati ngeri.

   "Betapa kejam mereka!"

   Katanya penasaran.

   "Ah, tentu Locianpwe telah mengalami penderitaan hebat selama delapan tahun di dalam sumur ini. Akan tetapi, Locianpwe berilmu tinggi, mengapa tidak berusaha keluar dari sini?"

   Kakek itu menghela napas panjang.

   "Betapapun hebatnya ilmu Bu-kek-hoat-keng, akan tetapi tentu saja tanpa kaki dan tangan, bagaimana aku dapat merayap naik? Loncatanku pun tidak akan mencapai tinggi sumur ini yang sekitar dua puluh meter. Dan andaikata aku berhasil naik, kalau di sana aku diserang oleh dua orang suhengku, dalam keadaan tak bertangan tak berkaki ini, aku pun pasti kalah."

   "Sungguh mereka itu kejam sekali, tega melakukan perbuatan yang begini keji terhadap adik seperguruan sendiri. Akan tetapi, Locianpwe, kalau mereka sudah melempar Locianpwe ke sini, berarti mereka, menghendaki kematianmu. Kenapa mereka tidak langsung saja membunuhmu, bahkan setelah melempar Locianpwe ke sini, setiap hari mereka masih mengirim makanan untukmu?"

   "Yo Han, apakah engkau tidak dapat menduganya?"

   Pemuda remaja itu mengerutkan alisnya, kemudian mengangguk.

   "Aku mengerti sekarang. Bukankah mereka itu sengaja tidak membunuh Locianpwe, hanya membuat Locianpwe tidak berdaya, dengan maksud agar Locianpwe akhirnya menyerah dan memberikan rahasia-rahasia Bu-kek-hoat-keng kepada mereka?"

   "Engkau benar, Yo Han. Akan tetapi, aku tak pernah mau menyerah. Biarpun siksaan ini kadang membuat aku menjadi hampir gila, membuat aku meraung dan menangis. Akan tetapi aku tidak mau menyerahkan ilmu itu, sampai mati pun aku tidak mau. Aku hanya menanti sampai Tuhan mengirim seseorang untuk mewarisi ilmuku, bukan untuk menolongku. Setelah ilmuku ada yang mewarisinya aku lebih suka mati. Apa artinya hidup bagiku dalam keadaan seperti ini? Kalau selama ini aku bertahan hidup, hanya agar ilmu-ilmuku jangan sampai lenyap dengan sia-sia. Dan terima kasih kepada Tuhan! Engkau dikirim Tuhan ke sini, Yo Han! Engkaulah yang akan menjadi muridku, menjadi ahli warisku!"

   "Tapi, Locianpwe, aku.... aku tidak mau belajar silat. Aku tidak mau menggunakan kekerasan, tidak mau berkelahi...."

   "Heh-heh-heh, anak tolol. Siapa bilang aku hendak mengajarkan silat kepadamu?"

   "Tapi, ilmu apakah Bu-kek-hoat-keng itu?"

   "Ya, semacam ilmu menyehatkan badan, tidak bedanya dengan ilmu tari dan senam yang kau pelajari dari Thian-te Tok-ong, hanya jauh lebih tinggi tingkatnya. Yo Han, engkau mau menjadi murid seorang yang jahat dan kejam seperti Thian-te Tok-ong, dan engkau menolak menjadi muridku? Engkau memilih menjadi muridnya?"

   "Bukan begitu, Locianpwe. Akan tetapi, mengajak Locianpwe naik, tentu akan diserang oleh dua orang suheng Locianpwe itu. Kalau di sini, bagaimana mungkin aku tinggal di sini bersamamu?"

   "Heh-heh, soal itu mudah dibicarakan nanti. Yang terpenting, Yo Han, katakanlah. Maukah engkau menjadi muridku? Ingat, sisa hidupku hanya kupertahankan untuk menanti saat seperti ini! Kalau engkau tidak mau menjadi muridku, sudahlah, aku tidak mau hidup lebih lama lagi, biar untuk semenit pun. Sekali meng-hempaskan diri ke dinding, kepalaku akan pecah dan nyawaku akan melayang!"

   Yo Han terkejut. Dia tahu bahwa kakek ini selain amat lihai, juga memiliki watak yang aneh, maka tentu ancaman itu bukan gertak sambal belaka. Mengingat akan pengalaman kakek ini, maka dia tentu tidak berbohong. Bagaimanapun juga, dia tidak boleh membiarkan kakek ini membunuh diri. Kalau dia menolak dan kakek ini benar-benar membunuh diri, berarti bahwa dialah penanggung jawabnya, dialah yang, membunuh atau menyebabkan kematian kakek itu! Dia pun lalu menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu.

   "Suhu, teecu akan mentaati petunjuk Suhu."

   Tiba-tiba rambut kepala yang panjang itu menyambar, melibat-libat tubuh Yo Han seperti pengganti kedua lengan, merangkul dan mendekap, dan kakek itu tertawa-tawa bergelak. Akan tetapi, tak lama kemudian, rambut itu terlepas dan kakek itu pun menangis sesenggukan!

   "Ah, engkau kenapakah, Suhu?"

   Yo Han bertanya, kaget dan khawatir. Kakek itu tertawa kembali.

   "Ha-ha-ha, tidak apa, muridku. Aku hanya merasa girang dan terharu. Tuhan sungguh Maha Adil, akhirnya permohonanku dikabulkan! Mari, Yo Han, kita harus cepat menyingkir. Kalau terlambat, jangan-jangan kegembiraan hatiku akan berakhir dengan kematian kita berdua."

   "Eh, kenapa begitu, Suhu?"

   "Sudah, tidak ada waktu untuk bicara sekarang. Kita harus bertindak. Lihat di sudut itu."

   Yo Han menoleh dan dia melihat bahwa di sudut, dindingnya merupakan sebuah batu sebesar gajah yang menutupi dinding batu padas. Dia melihat kakek ia meloncat-lancat mendekati batu dari dia pun mengikuti.

   "Batu ini kutarik lepas dari tanah, menggunakan rambut dan hidungku saja. Pekerjaan itu berhasil setelah aku berusaha selama satu tahun! Dan tahun-tahun berikutnya kupergunakan untuk membuat terowonan yang menembus ke sumur lain, sumur alam. Batu ini menjadi pintunya. Sekarang, sebelum bahaya menimpa kita, kita harus pindah ke sumur ke dua itu melalui terowongan. Mari bantu aku menggeser batu ini ke samping, Yo Han."

   Sebelum Yo Han mentaati perintah itu, tiba-tiba terdengar suara dari atas lubang sumur. Suara itu nyaring dan memasuki sumur dengan kuatnya seperti akan membikin pecah anak telinga, dan mendatangkan gema sehingga suara itu terdengar aneh dan menyeramkan, bukan seperti suara manusia lagi.

   "Ciu Sute....!"

   Panggilan ini terdengar berulang sampai tiga kali.

   "Yo Han....!"

   Kini suara itu, suara Thian-te Tok-ong, memanggil muridnya. Sebelum Yo Han menjawab, kakek Ciu Lam Hok mendahului.

   "Ha-ha-ha, Thian-te Tok-ong iblis busuk! Engkau mencari muridmu?"

   "Sute Ciu Lam Hok! Engkau hendak murtad kepada suhengmu sendiri?"

   "Ha-ha-ha, sejak kau lempar aku ke sini, sudah tidak ada hubungan persaudaraan lagi antara kita, Tok-ong! Engkau hendak mencari muridmu yang kau suruh turun membunuhku itu? Ha-ha-ha, engkau sungguh tolol. Jangankan anak ingusan itu, biar engkau sendiri yang turun, engkau akan mampus olehku. Anak itu sudah kubunuh!"

   Mendengar suara ini, di atas sana menjadi sunyi. Lalu terdengar percakapan yang dapat terdengar dari bawah. Suara Ban-tok Mo-ko terdengar jelas.

   "Suheng, muridmu tentu telah dibunuhnya. Biar aku masuk ke sana. Dia tentu hanya menggertak saja! Akan kusiksa dia supaya mengaku dan membuka rahasia Bu-kek-hoat-keng!"

   "Jangan, Sute. Dia bukan pembual, kalau dia mengancam demikian, berarti dia sudah siap siaga. Siapa tahu dia memasang perangkap."

   "Tapi, dia sudah tidak mempunyai kaki tangan, Suheng! Takut apa?"

   "Hemm, jangan pandang rendah, Sute. Dia memiliki ilmu yang amat tinggi. Dan di bawah sana gelap, kita tidak mengenal tempat itu. Kita menggunakan cara lain untuk membunuhnya."

   Selagi mereka bercakap-cakap tadi, Yo Han diam saja karena kini dia tahu, bahwa gurunya yang baru tidak berbohong dan memang Thian-te Tok-ong dan Ban-tok Mo-ko amat keji dan jahat. Maka, dia pun hendak membela Ciu Lam Hok, dan dia tidak mengeluarkan suara. Ciu Lam Hok memberi isarat dengan anggukan kepala agar dia membantu mendorong batu itu, dia pun mengerahkan tenaga mendorong batu sebesar gajah itu ke kiri. Dia tentu tidak akan kuat mendorongnya kalau tidak ada Ciu Lam Hok yang mendorongnya pula dengan pundak yang tidak berlengan. Batu itu perlahan-lahan bergeser dan nampaklah lubang sebesar tubuh orang. Ciu Lam Hok memberi isarat berhenti, kemudian dia tertawa.

   "Ha-ha-ha, Ban-tok Mo-ko dan Thian-te Tok-ong! Kalau takut, mengapa tidak kalian berdua saja turun ke sini agar kalian dapat menemani nyawa murid kalian?"

   Dalam suaranya terkandung ejekan dan tantangan. Ban-tok Mo-ko sudah marah sekali. Kalau tidak ditahan oleh suhengnya, tentu dia sudah merayap turun untuk membunuh bekas sutenya itu. Dahulu memang dia harus mengaku kalah terhadap sutenya itu, bahkan dia dan suhengnya ketika mengeroyok pun tidak akan menang. Akan tetapi, sutenya itu telah menjadi manusia tapa-daksa, sudah kehilangan kedua kaki tangannya. Perlu apa ditakuti lagi?

   "Tenang-lah, Sute,"

   Kata Thian-te Tok-ong.

   "Daripada membahayakan diri sendiri lebih baik kita bunuh saja Si Buntung itu dengan racun."

   "Tapi, bagaimana dengan muridmu, Suheng?"

   "Yo Han? Ah, tentu dia telah dibunuh Ciu Lam Hok yang mengira bahwa Yo Han kusuruh turun untuk membunuhnya. Dan pula, setelah tiga tahun menjadi muridku, aku semakin putus asa melihat Yo Han. Dia memang dapat kuakali dan mempelajari ilmu dengan tekun, akan tetapi apa artinya semua itu kalau kelak tidak dia pergunakan untuk kepentingan Thian-li-pang? Biarlah dia mampus bersama Si Buntung."

   Tak lama kemudian dua orang tokoh besar Thian-li-pang itu sudah menghujankan jarum-jarum beracun ke dalam sumur, kemudian melemparkan banyak ular dan kalajengking dan segala macam binatang beracun.

   Bahkan yang terakhir mereka menyiramkan air yang kehitaman, air yang beracun ke dalam sumur! Yo Han dan Ciu Lam Hok sudah cepat menyelinap ke dalam lubang. Kemudian mereka kembali menggeser kembali batu sebesar gajah menutupi lubang sehingga semua benda dan binatang beracun itu tidak mampu mengganggu mereka. Ketika Thian-te Tok-ong dan Ban-tok Mo-ko berteriak-teriak dari atas, memanggil dan memaki-maki, tidak ada jawaban lagi dari bawah. Tentu saja demikian karena dua orang yang berada di dalam sumur itu sudah pergi, dan mereka pun tidak lagi dapat mendengar suara setelah lubang itu tertutup batu besar rapat sekali. Karena tidak lagi terdengar Ciu Lam Hok menjawab, dua orang manusia iblis itu mengira bahwa bekas sute mereka tentu sudah tewas, maka mereka berdua tertawa gembira.

   "Sute, cepat perintahkan Ouw Ban untuk menyuruh anak buahnya menutup sumur itu dengan batu-batu besar!"

   "Tapi, Suheng. Bukankah mereka sudah tewas?"

   Thian-te Tok-ong menghela napas panjang.

   "Mereka berdua adalah manusia-manusia aneh, Sute. Engkau tahu betapa lihainya Ciu Lam Hok. Biarpun kaki tangannya buntung, akan tetapi dengan Bu-kek-hoat-keng, kita tidak tahu apa saja yang dapat dia lakukan. Dan anak itu pun seorang anak yang luar biasa. Siapa tahu dia belum mati dan dapat keluar. Kalau sumur itu ditutup dengan batu-batu besar, biar bagaimanapun juga mereka tidak akan mungkin dapat hidup lagi."

   Ban-tok Mo-ko mengangguk. Diam-diam dia pun seperti suhengnya ini, merasa ngeri dan takut terhadap bekas sute mereka, dan dia pun akan merasa tenang kalau sumur itu sudah ditutup batu-batu besar. Maka dia pun keluar untuk memberi perintah itu kepada Ouw Ban, Ketua Thian-li-pang. Dan puluhan orang anggauta Thian-li-pang, sekali ini mendapat perkenan untuk memasuki guha sambil membawa batu-batu besar.

   Mereka melemparkan batu-batu besar ke dalam sumur itu. Jatuhnya batu-batu besar itu mendatangkan suara hiruk-pikuk. Mereka, puluhan orang banyaknya dan kesemuanya adalah murid-murid Thian-li-pang yang bertenaga kuat, harus bekerja sehari penuh, baru sumur itu dapat ditutup seluruhnya. Biar orang memiliki kepandaian seperti dewa sekalipun, kalau berada di dalam sumur kemudian sumur yang dalamnya dua puluh lima meter itu ditimbun batu-batu besar sampai penuh, pasti tidak akan mampu lolos lagi. Yo Han mengikuti kakek buntung merangkak melalui terowongan kecil dan ternyata terowongan itu hanya sepanjang belasan meter saja. Yo Han merasa kagum bukan main dan tidak mampu membayangkan bagaimana caranya seorang yang tidak mempunyai kaki tangan dapat membuat terowongan sepanjang itu dalam waktu bertahun-tahun!

   Akhir terowongan itu merupakan sebuah ruangan yang cukup luas, menjadi dasar dari sebuah sumur yang mirip sumur pertama. Sumur ini dilihat dari bawah, atasnya tertutup oleh batu-batu dan untungnya, di antara batu besar yang menutup permukaan sumur, ada yang retak-retak yang lebarnya sejengkal sehingga dari retakan-retakan batu inilah sinar matahari dapat masuk walaupun tidak banyak dan tidak lama hanya untuk tiga empat jam saja setiap harinya. Keadaan dalam ruangan dasar sumur ini bahkan lebih baik daripada dasar sumur pertama, karena dasar sumur ini lebih kering. Ketika tiba-tiba tempat itu tergetar seperti ada gempa dan terdengar suara hiruk-pikuk, Yo Han sempat terkejut sekali.

   "Ah, apakah itu, Suhu?"

   
Si Bangau Merah Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Ha-ha-ha, mereka menutup sumur kita yang tadi, Yo Han. Dengan batu-batu besar tentu saja. Sungguh berbahaya sekali! Kalau aku tidak membuat terowongan dan tidak mempunyai sumur ini, tentu kita berdua sudah tergencet dan terkubur hidup-hidup di sana."

   Yo Han bergidik. Bagaimana ada orang yang sedemikian kejamnya terhadap adik seperguruan sendiri, bahkan juga terhadap murid sendiri? Tadinya dia mengira bahwa Ang I Moli merupakan satu-satunya orang yang paling jahat dan kejam di dunia ini. Siapa kira, orang yang pernah menjadi gurunya selama tiga tahun, yang dapat bersikap ramah dan lembut kepadanya, ternyata lebih kejam lagi!

   "Nah, sekarang kita harus mengatur tempat tinggal kita ini, Yo Han. Ingat, mulai sekarang kita tidak akan ada yang memberi makan lagi dan kalau kita tinggal di sini tanpa makan, dalam waktu beberapa minggu saja kita akan mati kelaparan. Sekarang, pergilah engkau merayap naik dan lakukan dengan hati-hati jangan sampai engkau ketahuan orang Thian-li-pang. Engkau carilah bahan makanan untuk kita makan, sedapat mungkin makanan kering untuk ransum kita selama beberapa hari agar tidak perlu engkau setiap hari pergi mencari makan. Untuk minum mudah saja. Kalau kita gali sedikit saja, tentu akan bisa mendapatkan air di sini. Kita tidak boleh masak, karena asapnya akan ketahuan orang di atas."

   "Suhu, kenapa susah-susah amat? Biar kubantu Suhu merayap naik, dan di sana kita bisa mencari tempat tinggal yang baik sehingga lebih enak dan lebih mudah mencari makan."

   "Yo Han, sebelum berhasil mengajarkan ilmu-ilmuku kepadamu, aku tidak akan mau keluar dari sini. Tidak ada tempat yang lebih aman daripada di sini. Ketahuilah bahwa sekali aku keluar, seluruh
(Lanjut ke Jilid 11)
Si Bangau Merah (Seri ke 15 - Serial Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 11
datuk dunia kang-ouw akan mencariku dan kita akan menghadapi bahaya yang tiada hentinya! Akan tetapi di sini, siapa yang akan mengetahui tempat ini? Baru sumur yang pertama saja, yang mengetahuinya hanya Thian-te Tok-ong dan Ban-tok Mo-ko. Apalagi di sini, tak seorang pun tahu kecuali kita berdua. Nah, kau pergilah, Yo Han."

   Pemuda remaja itu nampak ragu-ragu.

   "Akan tetapi, ke mana aku harus mencari makanan itu, Suhu?"

   "Aiiihh! Tentu saja ke atas sana, ke rumah-rumah orang yang memilikinya!"

   "Tapi.... mana mereka mau memberi banyak makanan kepadaku?"

   "Hushh! Siapa suruh engkau minta makanan? Kalau engkau minta makanan tentu semua orang mengenalmu. Engkau tidak boleh memperlihatkan diri kepada siapapun juga. Mengerti? Sekali engkau memperlihatkan diri, celakalah. Tempat ini tentu dapat diketahui, atau engkau akan ditangkap lebih dulu."

   "Habis, bagaimana kalau tidak boleh minta, Suhu? Andaikata membeli pun, mereka akan melihatku. Apalagi aku tidak mempunyai uang sama sekali, bagaimana dapat membeli makanan?"

   "Hemm, mengapa engkau tidak bisa mencari akal, Yo Han? Dengan kepandaianmu itu, engkau dapat mencuri makanan dengan amat mudahnya dan membawanya ke sini tanpa diketahui orang."

   Sepasang mata Yo Han terbelalak.

   "Mencuri? Wahhh.... aku tidak sanggup, Suhu. Aku tidak mau mencuri! Itu bahkan lebih jahat daripada minta-minta. Heran, mengapa Suhu dapat menyuruh aku untuk melakukan pencurian? Kita bukan maling, Suhu...."

   Kalau saja kakek itu masih mempunyai tangan kaki, tentu tangannya akan menampar kepala sendiri dan kakinya akan dibanting ke tanah saking jengkelnya.

   "Waduhhh! Engkau ini sungguh aneh. Apa engkau ingin menjadi dewa? Dewa pun masih suka mencuri kalau terpaksa. Nah, baiklah kalau begitu. Engkau mengambil makanan, pakaian dan apa saja yang kau perlukan dari sebuah toko dan rumah makan, dan kau tinggal-kan uang di tempat engkau mengambil barang-barang itu. Ini bukan mencuri namanya! Coba kau dekati dinding sebelah kiri itu. Dengan hidungnya, kakek itu menunjuk ke dinding kiri. Yo Han menghampiri dinding itu.

   "Kau lihat bagian yang mengkilat itu? Nah, cokel keluar dua buah batu, pilih yang kecil saja, yang sebesar ibu jari tanganmu!"

   Sinar matahari yang mendatangkan penerangan dalam guha itu memang terpantul oleh beberapa buah batu di dinding itu. Yo Han memilih yang kecil-kecil dan mencokel lepas dua buah batu sebesar ibu jari tangannya.

   "Apakah ini, Suhu?"

   "Emas."

   "Emas? Benarkah?"

   Yo Han terbelelak memandang kepada gurunya, lalu kepada dua buah batu yang mengkilap di tangannya, lalu menoleh ke arah dinding.

   "Benar. Aku tidak sudi menipu orang, apalagi engkau. Dinding itu mengandung batu-batu emas, dan dua buah di tanganmu itu sudah cukup untuk memborong barang apa saja yang kau kehendaki. Jangan khawatir, apa pun yang dapat kau bawa dari sebuah toko, tidak cukup berharga untuk ditukar sebuah batu emas itu. Kau tinggalkan saja sebuah di tempat engkau mengambil barang dan pemiliknya akan bersorak kegirangan karena dia mendapat keuntungan besar. Berarti engkau tidak mencuri, kan?"

   Yo Han mengangguk-angguk. Senang hatinya. Dia tidak sudi kalau harus mencuri, maka dengan adanya dua buah batu emas ini, dia boleh mengambil milik orang tanpa diketahui dan meninggalkan batu itu di tempat barang yang diambilnya.

   "Kalau begitu, biar aku berangkat sekarang, Suhu."

   "Baik, pergilah. Akan tetapi hati-hati, jangan sampai engkau dilihat siapa pun pergunakan kelincahan gerakanmu. Dan ingat baik-baik, Yo Han. Aku akan selalu menunggumu di sini sampai engkau kembali, menunggumu dengan lapar dan haus, menunggumu sampai aku mati kalau engkau tidak kembali. Nah, pergilah."

   Yo Han memberi hormat, mengantungi dua potong batu itu, lalu menggunakan gerakan cecak merayap, dia menanggalkan sepatu yang dia selipkan di ikat pinggang belakang, lalu mulailah dia merayap naik, menggunakan telapak tangan dan kaki. Tenaga sin-kang di tubuhnya dapat dia atur sehingga telapak tangan dan kakinya dapat menyedot ke permukaan dinding sumur dan melekat di situ! Perlahan-lahan dan dengan hati-hati dia merayap naik. Sekali saja keliru mengatur tenaga pada telapak tangan dan kakinya, tentu dia akan terjatuh kembali ke bawah!

   Akan tetapi, Yo Han telah melatih ilmu yang oleh Thian-te Tok-ong dinamakan "tari cecak"

   Ini dengan baik sehingga dia dapat terus merayap ke atas, dilihat dari bawah oleh kakek Ciu Lam Hok yang mengangguk-angguk senang. Anak muda itu seorang yang memiliki bakat luar biasa, pikirnya. Bahkan di tubuh anak itu terdapat tenaga sakti yang mujijat. Dia tidak merasa khawatir kalau anak itu tidak akan kembali. Anak itu bersih, polos dan jujur, tidak mungkin meninggalkannya begitu saja, apalagi sudah dia bekali pesan bahwa dia akan menanti setiap saat sampai ia mati kelaparan. Itu saja pasti akan membuat hati anak itu tidak tega meninggalkannya. Ketika tiba di permukaan sumur, ternyata mulut sumur itu tidak tertutup batu-batu retak. Batu-batu itu masih di atas mulut sumur, ada tiga meter tingginya dan ternyata mulut sumur berada di dalam sebuah guha yang kecil.

   Mulut guha nampak di depan sana, akan tetapi melalui terowongan yang hanya dapat dilalui dengan merangkak oleh orang yang tidak terlalu besar tubuhnya. Melihat ini, Yo Han merasa girang. Sungguh amat baik tempat sembunyi gurunya di dalam sumur itu. Tak mungkin ada orang memasuki terowongan guha yang demikian sempitnya, dan andaikata ada juga yang mencoba merangkak memasukinya, orang itu tentu akan kembali keluar setelah melihat bahwa guha terowongan itu berakhir pada mulut sebuah sumur yang amat dalam dan gelap menghitam! Lebih baik lagi, mulut guha kecil itu tertutup semak belukar dan alang-alang. Dia mengintai dari mulut guha, di balik semak belukar dan ternyata dia berada di lereng sebuah bukit. Tentu masih termasuk daerah Thian-li-pang, pikirnya. Dia harus berhati-hati.

   Tempat itu sunyi sekali, tidak nampak seorang pun manusia. Dia mengamati tempat itu agar tidak lupa kalau akan kembali ke sumur. Kemudian, berindap-indap dia keluar dari balik semak belukar, lalu berlari cepat sambil menyusup-nyusup di antara pohon dan semak, menuruni lereng itu, menuju ke sebuah dusun yang telah dapat dilihatnya dari atas, nampak genteng banyak rumah. Setelah kini mendapatkan kesempatan, baru Yo Han menyadari bahwa semua latihan yang diberikan Thian-te Tok-ong kepadanya, yang dikatakannya latihan ilmu menari dan bersenam, sungguh amat berguna baginya. Kini dia dapat bergerak dengan lincah dan ringan sekali sehingga dia dapat bergerak menuju ke dusun di bawah itu tanpa dilihat orang. Dan giranglah dia ketika dia melihat sebuah rumah makan di dusun itu.

   Dia menyelinap ke belakang, menuju dapur ketika dalam intaiannya dia melihat pekerja restoran itu mengambil guci-guci arak dan bahan-bahan masakan dari dalam gudang dekat dapur, dia pun menyelinap dan setelah orang itu keluar, dia masuk ke dalam gudang. Ternyata apa yang dibutuhkannya berada di dalam gudang itu. Cepat dia mengambil karung dan menyambar guci berisi kecap, asinan, daging kering, roti kering, telur asin dan bermacam makanan kering sampai guci terisi penuh. Dia mengambil pula mangkok piring dan panci. Setelah merasa cukup, dia meninggalkan sepotong batu emas di atas meja, dan pergilah dia dengan cepat. Di sebuah toko kecil yang menjual pakaian, dia pun masuk dari belakang dan berhasil mengambil pakaian, gunting, jarum dan benang, sepatu, kaos kaki, dan segala macam perkakas seperti catut, kapak, martil dan sebagainya. Dia kembali ke dalam guha kecil membawa dua buah karung.

   Dia membayangkan betapa akan senangnya pemilik rumah makan dan pemilik toko yang akan menemukan potongan batu emas. Seperti juga di rumah makan, dia meninggalkan potongan batu emas, di meja di mana dia mengambil pakaian. Kini dia merangkak di dalam terowongan sempit sambil menyeret dua karung itu, kemudian setelah tiba di mulut sumur, dia merayap turun. Sempat pula dia terlongong sejenak di mulut sumur. Apakah dia harus kembali ke tempat yang seperti neraka itu? Akan tetapi, bagaimana dia dapat tega meninggalkan kakek yang tak berdaya itu, yang buntung kaki tangannya dan yang menantinya setiap saat di dasar sumur dengan perut lapar dan yang pasti akan mati kelaparan kalau dia tidak kembali? Tidak, dia tidak boleh sekejam itu. Apalagi kakek itu telah dia angkat sebagai guru.

   "Ha-ha-ha, sudah yakin hatiku bahwa engkau memang seorang anak yang dikirim Tuhan kepadaku, Yo Han. Sedikit pun tidak ada keraguan di hatiku bahwa engkau pasti akan kembali ke sini!"

   Kakek itu tertawa gembira dan menyuruh muridnya mengeluarkan semua isi dua buah karung itu agar dia dapat melihat apa saja yang dibawa turun oleh muridnya. Ketika dia melihat guci arak, dia menggerakkan kepalanya. Rambutnya menyambar ke arah sebuah guci dan seperti hidup saja, rambut itu melibat sebuah guci arak, mencabut penutupnya, membawa ke depan mulut dan dia pun minum dengan lahap. Yo Han memandang kagum. Gurunya itu memang seorang manusia hebat. Biarpun kaki tangannya sudah tidak ada, namun dia dapat melayani semua kebutuhan hidupnya dengan rambutnya, mulut, bahkan hidungnya sebagai pengganti tangan, dan tubuh yang tak berkaki itu agaknya sama sekali tidak canggung untuk bergerak ke sana sini dengan cara berloncatan seperti katak yang lincah.

   "Tentu saja aku kembali, Suhu. Bagaimana mungkin aku meninggalkan Suhu seorang diri di sini? Kalau Suhu mau keluar bersamaku, baru aku akan meninggalkan sumur ini."

   "Hemm, terlalu berbahaya, Yo Han. Dalam keadaanmu sekarang, kalau kita keluar dari bertemu lawan, tentu kau akan celaka. Aku sendiri tidak sudi menjadi tontonan orang. Tidak, engkau harus mewarisi semua ilmuku lebih dulu, terutama Bu-kek Hoat-keng, baru engkau boleh meninggalkan sumur ini."

   "Sekali lagi kutekankan, Suhu, bahwa aku tidak mau mempelajari ilmu silat, tidak mau mempelajari ilmu berkelahi dan ilmu memukul dan membunuh orang!"

   Yo Han berkata dan suaranya terdengar tegas dan mantap. Kakek itu menghentikan minumnya, meletakkan kembali guci arak ke atas tanah setelah menutup gucinya, dan dia memandang muridnya dengan mata penuh selidik.

   "Muridku yang baik, apakah yang kau ucapkan itu sudah keluar dari hati nuranimu? Sudah kau pikirkan masak-masak dan engkau tidak akan keliru lagi?"

   "Tentu saja, Suhu. Sejak kecil, mendiang kedua orang tuaku selalu menasihatiku agar aku hidup melewati jalan yang benar, menjauhi segala macam bentuk kekerasan, terutama sekali jangan mempelajari ilmu silat karena kehidupan seorang ahli silat penuh dengan pertentangan, permusuhan, perkelahian dan saling bunuh, saling dendam. Orang tuaku sendiri tewas karena ibuku seorang ahli silat. Andaikata ibuku tidak pandai silat seperti ayahku sejak kecil, tentu mereka kini masih hidup sebagai petani-petani yang bahagia dan aku tidak menjadi yatim piatu. Tidak, Suhu, aku tidak suka ilmu silat, aku benci ilmu silat!"

   "Ha-ha-ha-ha! Sebaliknya, muridku. Kalau ibu dan ayahmu memiliki ilmu kepandaian silat yang tinggi, tidak mungkin mereka akan terbunuh. Kalau mereka tewas, itu adalah karena ilmu silat mereka kurang tinggi, sehingga mereka tidak mampu membela diri dengan baik. Kalau mereka tidak pandai ilmu silat, lalu siapa yang melindungi mereka? Kalau engkau membenci ilmu silat, siapa yang akan melindungimu?"

   Pemuda remaja itu menentang pandang mata gurunya dengan berani dan sungguh-sungguh.

   "Mengapa takut, Suhu? Kita hidup ada yang menghidupkan, mati ada yang mematikan, kita ada karena diciptakan Tuhan. Tuhan merupakan pelindung utama dan kalau Tuhan melindungi kita, siapa yang akan mampu mengganggu kita?"

   "Bagus! Benar sekali itu, Yo Han. Kalau Tuhan tidak menghendaki kita mati, tentu Tuhan akan melindungi kita dan tak seorang pun di dunia ini akan mampu membunuh kita. Akan tetapi bagaimana kalau Tuhan sudah menghendaki kita mati? Punya ilmu silat atau tidak, bisa saja kita mati dibunuh orang kalau memang Tuhan sudah menghendaki kita mati. Bahkan tidak ada yang mengganggu ia pun akan mati sendiri, ha-ha-ha!"

   Yo Han tertegun mendengar ucapan kakek itu. Di dalam hatinya dia tidak mampu membantah kebenaran itu. Ayah ibumu memang tewas dalam perkelahian, akan tetapi tentu mereka itu tewas hanya karena Tuhan sudah menghendaki mereka mati. Andaikata Tuhan tidak menghendaki, mereka tentu tidak akan mati. Hanya Tuhan yang menentukan mati hidupnya seseorang, Tuhan Maha Kuasa! Akan tetapi hanya sebentar dia termangu, lalu dia menggeleng kepala.

   "Bagaimanapun juga, aku tidak suka belajar ilmu silat, Suhu. Ilmu silat adalah jahat!"

   "Jahat? Ha-ha, Yo Han, kau tahu apa tentang jahat dan baik? Lihat, barang-barang yang kau bawa turun itu! Lihat barang-barang itu, kapak, gunting, jarum, pisau, catut dan martil. Apakah semua itu tidak jahat sekali?"

   Yo Han memandang gurunya dengan heran dan menjawab cepat.

   "Tentu saja tidak jahat, Suhu! Barang-barang itu baik dan berguna sekali. Kapak itu dapat kita pergunakan untuk memotong kayu atau menggali tanah padas ini, gunting itu untuk menggunting kain, jarum dan benang untuk menjahit, pisau itu untuk menyayat roti dan daging, catut dan martil untuk membuat prabot dari kayu dan sebagainya."

   Kembali kakek itu tertawa.

   "Dan bagaimana dengan kedua tanganmu itu? Baik atau jahatkah kedua tanganmu itu?"

   Yo Han memandang kedua tangannya dan kembali menatap wajah gurunya.

   "Tentu saja baik, Suhu, karena dengan kedua tangan ini teecu (murid) dapat melakukan semua pekerjaan yang bermanfaat itu."

   "Sekarang dengar baik-baik! Bagaimana kalau kapak itu dipergunakan untuk mengapak kepala orang, gunting itu untuk menusuk perut orang, jarum untuk disambitkan menyerang lawan, pisau untuk menyayat leher orang, juga catut dan martil itu untuk menyerang orang lain. Apakah semua itu masih dapat dinamakan barang yang baik dan berguna?"

   Yo Han terbelalak. Tak pernah tergambar dalam benaknya bahwa benda-benda itu akan ada yang menggunakan untuk kejahatan seperti itu.

   "Tapi.... tapi...."

   "Dan bagaimana pula dengan kedua tanganmu itu, Yo Han? Kalau kedua tanganmu itu kau pergunakan untuk mencekik leher orang lain, untuk memukul dan menyiksa, apakah kedua tangan itu masih kau katakan baik dan tidak jahat?"

   "Wah, wah, itu tidak mungkin, Suhu!"

   Kata Yo Han kaget.

   "Nah, itulah! Yang mengatakan tidak mungkin itulah yang menentukan, Yo Han. Kalau engkau mengatakan tidak mungkin, maka kejahatan itu pun takkan terjadi. Kalau engkau mengatakan mungkin saja, maka kejahatan itu akan terjadi. Jadi yang menentukan bukanlah benda-benda itu, melainkan batin orangnya! Seseorang dapat menggunakan api untuk memasak dan membuat lampu penerangan, akan tetapi dapat pula orang menggunakan api untuk membakar rumah orang lain! Jadi, Si Api itu sendiri tidak baik dan tidak jahat, baru dinamakan jahat atau baik kalau sudah dipergunakan. Yang jahat dan baik itu adalah apa yang tersembunyi di balik perbuatan itu, Yo Han, yaitu pamrih yang mendorong dilakukannya perbuatan itu. Seperti juga tanganmu. Dapat dipergunakan untuk menolong orang dan itu dikatakan baik, dapat dipergunakan untuk membunuh orang, dan itu dinamakan jahat. Tidak benarkah ini?"

   Yo Han mengangguk, tak dapat berbuat lain. Memang demikianlah kenyataannya.

   "Aku mengerti, Suhu. Jadi yang mendatangkan kejahatan atau kebaikan adalah apa yang berada dalam diri manusia, dalam batin manusia itu yang menentukan. Adapun ini hanyalah alat, bukankah demikian, Suhu?"

   "Benar sekali! Karena itu, yang perlu dibersihkan adalah batinnya! Kalau batinnya bersih dan baik, maka alat apa pun yang dipergunakan, tentu demi kebenaran dan kebajikan. Sebaliknya kalau batinnya kotor dan jahat, alat apa pun yang dipergunakan dalam perbuatan, condong ke arah kejahatan."

   "Teecu (murid) mengerti! Dan memang apa yang Suhu katakan itu benar sekali!"

   "Nah, sekarang kita kembali kepada ilmu silat. Baik atau jahatkah ilmu silat? Sama seperti semua benda itu tadi, Yo Han. Tidak baik dan tidak jahat. Kalau ilmu silat tidak dipergunakan, maka tidak ada jahat atau baik yang ditimbulkan oleh ilmu itu. Akan tetapi setelah dipergunakan, barulah timbul baik atau jahat, sesuai dengan cara orang itu mempergunakannya. Kalau ilmu silat dipergunakan untuk melakukan kejahatan, merampok, membunuh, memaksakan kehendak sendiri untuk menang, jelas ilmu itu menjadi alat berbuat kejahatan. Akan tetapi kalau Si Orang mempergunakannya seperti yang dilakukan para pendekar, untuk menentang mereka yang jahat, untuk melindungi mereka yang lemah tertindas, untuk membela diri terhadap ancaman bahaya dari luar, apakah kita dapat menamakan ilmu itu jahat? Ingat, muridku. Kau tahu harimau? Mengapa Tuhan menciptakan harimau dengan diberi kuku dan taring? Dan mengapa lembu bertanduk? Ular berbisa? Ulat berbulu gatal? Semua itu merupakan alat bagi mereka untuk bertahan hidup, untuk melindungi diri sendiri. Manusia merupakan makhluk paling lemah, tanpa kuku, tanpa taring, tanpa tanduk untuk menjaga diri. Akan tetapi manusia memiliki kelebihan, yaitu akal budi. Dengan akal budi inilah manusia mengadakan segala macam alat untuk bertahan hidup, untuk melindungi dirinya dari bahaya. Dan ilmu silat termasuk hasil garapan akal budi manusia untuk melindungi diri terhadap ancaman dari luar tubuh, selain untuk menjaga kesehatan dan melepaskan naluri kesenian melalui gerakan silat. Silat merupakan gerakan manusia yang mengandung unsur kesenian kesehatan, dan bela diri, juga untuk membela mereka yang lemah tertindas. Nah, betapa luhur dan indahnya ilmu silat, kalau dikuasai oleh orang yang memiliki batin bersih!"

   Mendengar semua itu, Yo Han termenung sampai lama sekali. Teringat ia akan nasihat ayah ibunya yang melarangnya belajar silat. Terbayang kembali semua peristiwa dan pengalamannya dimana ilmu silat dipergunakan orang jahat untuk melakukan kejahatan.

   Akan tetapi juga ilmu silat dipergunakan oleh para pendekar seperti suhu dan subonya yang pertama kali, yaitu pendekar Tan Sin Hong dan isterinya, Kao Hong Li. Dan teringat pula dia akan Tan Sian Li, puteri suhu dan subonya itu. Suhu dan subonya berkeras hendak mengajarkan ilmu silat kepada Sian Li, dan takut kalau Sian Li sampai terbawa olehnya, membenci ilmu silat. Dia membayangkan Sian Li sebagai seorang gadis lemah yang tentu akan menghadapi banyak ancaman gangguan, lalu membayangkan Sian Li sebagai seorang gadis yang pandai ilmu silat, gagah perkasa, bukan hanya pandai dan kuat membela diri sendiri, akan tetapi juga dapat membela orang lain yang tertindas dan menjadi korban kejahatan, menentang para penjahat dan menjadi seorang pendekar wanita. Tiba-tiba Yo Han menyadari itu semua dan dia pun menjatuhkan diri berlutut di depan kakek buntung itu.

   "Suhu benar, teecu sekarang mengerti bahwa baik buruknya bukan terletak pada ilmu silat, melainkan dalam batin orang yang menguasainya."

   "Bagus sekali, Yo Han. Jadi, mulai sekarang engkau mau belajar ilmu silat dariku, bukan? Terutama sekali Bu-kek-hoat-keng?"

   Yo Han mengangguk.

   "Mudah-mudahan teecu kelak akan mendapatkan bimbingan Tuhan sehingga semua ilmu itu hanya akan teecu pergunakan untuk membela kebenaran dan bukan untuk mencari permusuhan dan membunuh orang."

   "Aku yakin akan hal itu, Yo Han. Engkau bukan seorang calon penjahat. Engkau telah dikaruniai bakat yang amat luar biasa. Tuhan amat mengasihimu, Yo Han."

   Demikianlah, mulai saat itu, Yo Han menerima pelajaran ilmu-ilmu yang tinggi dari kakek Ciu Lam Hok.

   Tentu saja kakek itu tidak dapat memberi contoh gerakan. Dia hanya menerangkan dan minta Yo Han melakukan gerakannya, dan kalau keliru, dia menjelaskan. Untuk melatihnya, dia mengajak Yo Han untuk bertanding dan biarpun dia hanya menggunakan pundak, rambut dan tabrakan tubuhnya, sukar sekali bagi Yo Han untuk dapat bertahan. Namun dia belajar terus dengan penuh semangat di dalam sumur itu sehingga dia memperoleh kemajuan pesat. Apalagi sebelumnya dia telah menguasai ilmu-ilmu "tari"

   Dan "senam"

   Yang sebetulnya mengandung dasar-dasar ilmu silat tinggi dari Thian-te Tok-ong. Juga sebelum itu, dia telah hafal akan dasar-dasar ilmu silat dari suhu dan subonya, Tan Sin Hong dan Kao Hong Li, walaupun pengetahuannya hanya sampai batas teori dan hafalan saja.

   Kita tinggalkan dulu Yo Han yang dengan tekun berlatih ilmu digembleng kakek Ciu Lam Hok dalam sumur dan kita tengok keadaan di luar sumur. Biarpun lenyapnya Yo Han yang mereka sangka tentu sudah mati bersama kakek Ciu Lam Hok di dalam sumur membuat para tokoh Thian-li-pang merasa agak kecewa karena mereka tadinya mengharapkan anak luar biasa itu kelak akan memperkuat Thian-li-pang, namun mereka mempunyai urusan yang lebih penting dan segera melupakan anak dan kakek itu yang mereka anggap sudah mati. Pada saat Yo Han memasuki sumur pertama, para pimpinan Thian-li-pang mengadakan pertemuan penting, bahkan Thian-te Tok-ong dan Ban-tok Mo-ko juga hadir dalam pertemuan puncak itu.

   Terdapat pula wakil dari Pek-lian-kauw, bukan saja Ang I Moli dan dua orang tosu Pek-lian-kauw yang selama ini memang sudah bekerja sama dengannya, yaitu Kwan Thian-cu dan Kui Thian-cu, bahkan ada seorang tosu tingkat tinggi dari Pek-lian-kauw datang pula, yaitu Pek Hong Siansu, seorang tokoh kelas dua dari Pek-lian-kauw yang mewakili pimpinan perkumpulan itu. Mereka membicarakan tentang surat yang mereka terima dari kaki tangan Thian-li-pang yang mereka sebar sebagai mata-mata untuk melihat perkembangan permusuhan antara partai-partai persilatan besar yang sudah mereka adu domba. Bahkan pembunuhan atas diri Thian Kwan Hwesio di kuil Poteng adalah perbuatan para tokoh Thian-li-pang untuk memperuncing permusuhan akibat adu domba itu. Dan surat yang mereka terima adalah surat laporan dari mata-mata mereka.

   Isinya amat mengecewakan hati para pimpinan Thian-li-pang dan Pek-lian-kauw. Laporan itu menyatakan bahwa kini permusuhan antara partai-partai persilatan itu mereda, dan tidak pernah terjadi bentrokan lagi. Semua itu akibat usaha bekas panglima Kao Cin Liong dan keluarga keturunan Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir dan keturunan Pendekar Super Sakti Pulau Es. Kao Cin Liong mengadakan perayaan ulang tahun yang ke enam puluh empat, dan keluarga para pendekar itu mengundang tamu-tamu dari dunia persilatan, termasuk empat partai besar, yaitu Siauw-lim-pai, Bu-tong-pai, Kun-lun-pai dan Go-bi-pai. Dalam pertemuan itu, di mana suasananya ramah karena semua tamu menghormati tuan rumah, Kao Cin Liong dan keluarganya, mengajak empat partai besar yang mengirim wakil-wakitnya untuk bicara secara terbuka dan dari hati ke hati.

   

Kisah Si Bangau Putih Eps 25 Kisah Si Bangau Putih Eps 4 Suling Naga Eps 7

Cari Blog Ini