Ceritasilat Novel Online

Petualang Asmara 16


Petualang Asmara Karya Kho Ping Hoo Bagian 16



"Huhh!"

   Giok Keng menampar pundak Kun Liong, tamparan main-main, akan tetapi Kun Liong yang kena ditampar pundaknya mengaduh-aduh.

   "Aduhhh... aduhhh...!"

   "Ehhh?"

   Giok Keng khawatir dan terbelalak.

   "Aku tidak menggunakan sin-kang, masa sakit?"

   Kun Liong menghentikan aksinya kesakitan.

   "Untung kau tidak mengerahkan tenaga, kalau demikian, bukankah aku akan menderita nyeri sekali?"

   Giok Keng merasa dipermainkan dan mendongkol.

   "Dasar sinting!"

   Kun Liong tertawa.

   "Entah mengapa, biasanya aku tidak begini, Moi-moi. Berada di dekatmu aku merasa gembira sekali dan ingin bersendau-gurau saja. Rasanya aku seperti mau bernyanyi-nyanyi, mau menari-nari!"

   "Engkau bisa gila kalau terus begini. Eh, Kun Liong... Koko! Mengapa sih kau suka sekali disebut Koko olehku?"

   "Tentu saja. Engkau anak tunggal, aku pun juga. Engkau tidak punya kakak, aku tidak punya adik, sudah sepatutnya..."

   "Ngawur! Aku bukan anak tunggal! Aku mempunyai seorang adik laki-laki bernama Cia Bun Houw, sekarang sudah empat tahun usianya."

   "Benarkah? Mana dia?"

   "Di rumah. Di Cin-ling-san. Hemm, aku sampai lupa menceritakan kepadamu keadaan kami seperti dipesan ibu tadi."

   Gadis itu bersama Kun Liong duduk di atas bangku dan mulailah dia menceritakan keadaan keluarga Cia itu dengan singkat. Mendengar penuturan ini, teringatlah Kun Liong akan keadaan keluarganya sendiri. Seketika lenyaplah kegembiraannya seperti awan tipis ditiup angin. Wajahnya menjadi muram, matanya sayu dan dia mendadak menjadi pendiam. Perubahan sembilan puluh derajat (bumi langit) ini mengherankan Giok Keng yang telah selesai bercerita.

   "Ihh, kau kenapa? Kok suram muram seperti lampu kehabisan minyak?"

   Kelakar Giok Keng yang juga memiliki watak lincah gembira itu tidak membuyarkan kedukaan hati Kun Liong.

   "Aku teringat akan ayah bundaku. Sudah sepuluh tahun tidak berjumpa. Harapan terakhir di sini, akan tetapi mereka tidak juga muncul. Aku khawatir sekali, jangan-jangan ada malapetaka menimpa mereka."

   Giok Keng mengerutkan alisnya, seketika dia pun tidak nafsu main-main lagi karena merasa ikut khawatir dan berduka. Entah mengapa, menghadapi sikap Kun Liong yang tidak pura-pura, wajar dan seadanya itu dia mudah terseret. Kini dia merasa kasihan sekali dan tanpa disadarinya, tangannya memegang lengan Kun Liong sambil berkata,

   "Ayah bundamu adalah orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, malapetaka apa yang dapat menimpa mereka? Tidak perlu khawatir, Liong-ko."

   "Aihhh, kau tidak tabu, Moi-moi. Baru berurusan dengan pembesar rendah Ma-taijin saja mereka sudah terpaksa harus menjadi pelarian. Dunia sudah kotor dengan polah tingkah manusia-manusia yang menyalahgunakan kedudukan atau kekuatannya."

   Sampai lama mereka terdiam dan sama sekali tidak sadar bahwa tangan kiri Giok Keng memegang lengan kanan Kun Liong dan ketika menjawab tadi Kun Liong menumpangkan tangan kirinya di atas punggung tangan kiri dara itu!

   "Ihhh...!"

   Tiba-tiba Giok Keng merenggutkan tangannya dan meloncat berdiri, memandang Kun Liong dengan muka kemerahan.

   "Lho, kenapa?"

   Kun Liong juga kaget, seketika kedukaannya buyar.

   "Kenapa kau memegang tanganku?"

   "Hehh...?"

   Kun Liong bengong, lalu teringat dan setelah kedukaannya membuyar, dia tertawa geli dan kembali sifatnya suka menggoda timbul.

   "Kau juga memegang lenganku sejak tadi tidak apa-apa, kalau aku memegang tanganmu sebentar saja, kau sudah mencak-mencak. Apakah tanganku kotor? Apakah bau?"

   Kun Liong mencium telapak tangannya sendiri, lalu mengangguk-angguk dan berkata.

   "Memang bau...!"

   "Huh! Pantas! Menjijikkan, tangannya bau...!"

   "Wangi! Bau wangi kataku! Tentu saja pantas, dan sama sekali tidak menjijikkan."

   "Bohong! Masa tanganmu bau wangi?"

   "Eh, tidak percaya? Boleh cium sesukamu!"

   Dia mengulur tangannya.

   "Tidak sudi! Eh, kenapa kau kaya orang sinting menggoda aku? Bukankah kau mau memperlihatkan kuil ini dan Ruang Kesadaran kepadaku?"

   "Wah, sampai lupa kita! Bukan aku saja yang lupa, kau juga, jadi sama-sama. Mari...!"

   Mereka berjalan menuju ke bagian belakang kuil. Sunyi di situ karena semua hwesio berkumpul di tempat upacara sembahyang, dan siap-siap untuk melakukan upacara memperabukan jenazah di tempat yang sudah khusus disediakan di sebuah puncak bukit.

   Mereka berjalan perlahan dan Kun Liong membawa gadis itu melihat-lihat ruangan perpustakaan, ruangan sembahyang dan lain-lain bagian di dalam kuil besar itu yang memang amat megah dan indah, juga aneh bagi Giok Keng yang belum pernah melihatnya. Setelah mereka meninjau Ruang Kesadaran yang kini terbuka dan bukan menjadi tempat larangan lagi, hati Kun Liong terharu. Melihat kamar di mana dia hidup selama lima tahun bersama Tiang Pek Hosiang menimbulkan kenangan yang menggores kalbu. Giok Keng merasa ngeri mengenangkan betapa Kun Liong harus tinggal di dalam kamar itu selama lima tahun, apalagi Tiang Pek Hosiang yang telah bertapa di kamar itu selama dua puluh tahun! Seperti orang hukuman saja! Dia bergidik dan mengajak Kun Liong meninjau tempat lain. Asap tampak mengebul di atas bukit di belakang kuil.

   "Pembakaran jenazah telah dimulai,"

   Kata Kun Liong.

   "Apakah kau tidak ingin menonton? Ayah bundamu dan semua tamu tentu ikut pergi ke tempat pembakaran."

   Giok Keng menggelengkan kepalanya.

   "Apakah itu tontonan? Aku tidak suka melihat hal yang mengerikan itu. Lebih baik kita menunggu saja di sini."

   Kun Liong tidak berani memaksa biarpun hatinya ingin sekali ikut menonton jenazah sukongnya diperabukan, takut kalau-kalau gadis ini marah. Dia merasa senang sekali berdekatan dan bercakap-cakap dengan dara ini. Hatinya terasa tenang dan sejuk nyaman. Mengapa ma-nusia tidak bisa saling mengasihi seperti dia dan gadis itu dalam saat ini? Meng-apa di mana-mana timbul permusuhan dan kebencian, menyebabkan maut seperti yang dialami oleh Thian Lee Hwesio?

   "Baiklah kalau begitu. Memang benar pendapatmu bahwa pembakaran jenazah bukan tontonan, akan tetapi soalnya manusia selalu ingin melihat dan menonton hal-hal yang tidak bisa mereka lihat. Mari kita ke kebun belakang itu, di sanalah para hwesio menanam sayur dan bercocok tanam."

   Ladang itu luas sekali dan dengan kagum Giok Keng melihat segala macam sayur yang hidup subur gemuk berkat rawatan yang teliti. Mereka duduk di atas sebuah batu besar sambil menyegarkan mata dengan memandang sayur-sayuran yang kehijau-hijauan sedap dipandang mata.

   "Keng-moi, berapakah usiamu sekarang?"

   "Hemm, menanyakan usia orang mau apa sih?"

   "Aih, jangan terlalu galak, Moi-moi. Kita adalah kakak adik misan seperguruan, aku adalah piauw-suhengmu (kakak misan seperguruan) dan engkau adalah piauw-sumoiku (adik misan seperguruan), malah oleh ibumu lebih didekatkan lagi sehingga aku menyebutmu adik dan engkau menyebutku kakak. Ape salahnya bagi seorang kakak mengetahui usia adiknya? Aku berusia hampir dua puluh tahun, dan engkau tentu tidak lebih tua dari aku, biarpun dahulu aku ingat ibuku mengatakan bahwa puteri Cia-supek lebih muda beberapa bulan dariku."

   "Kalau sudah tahu begitu, mengapa bertanya lagi? Usiaku hanya lebih muda beberapa bulan, nah, berarti sembilan belas tahun."

   "Wah, sudah sembilan belas tahun! Keng-moi, mengapa engkau belum menikah? Tentu sudah mempunyai tunangan, ya?"

   "Wuuuttt... plakkk!"

   Kun Liong tidak mau mengelak dan pipinya kena ditampar sampai terasa panas dan ada tanda merah-merah bekas tamparan itu di pipi kirinya. Ia mengelus pipinya dan berkata sambil tersenyum.

   "Wah, engkau marah benar agaknya. Tamparanmu tidak seperti lima tahun yang lalu."

   Agaknya Giok Keng menyesal juga setelah menampar pemuda yang same sekali tidak melawan atau mengelak itu, padahal sebagai seorang ahli silat, dia mengerti bahwa tamparannya yang biasa tadi tentu akan dapat mudah dielakkan kalau Kun Liong mau. Dia cemberut, memandang tajam penuh selidik lalu bertanya,

   "Agaknya engkau disuruh Ayah dan Ibu untuk membujukku, ya?"

   "Eh, Keng-moi, apa artinya ini? Kau melihat sendiri bahwa mereka tidak berkata apa-apa kepadaku, dan apa yang harus dibujuk? Pertanyaanku adalah wajar, keluar dari hatiku sendiri, apa sih salahnya bertanya begitu?"

   Dan tiba-tiba Giok Keng menutupi muka dengan kedua tangan, menangis! Bingunglah Kun Liong. Sejenak dipandangnya muka yang bersembunyi di balik kedua tangan itu, kemudian tanpa disadarinya dia menggaruk-garuk kepala gundulnya karena tidak dapat menemukan jawaban atas keanehan ini di dalam kepalanya.

   "Adik Cia Giok Keng, mari kau tampar lagi aku, malah kau boleh pukul kepalaku akan tetapi jangan menangis! Maafkanlah kalau aku bermulut lancang. Memang aku seorang yang tolol dan kasar dan kurang ajar! Nah, ini, pukullah!"

   Kun Liong sudah mengulur leher mendekatkan kepalanya yang gundul. Giok Keng bukan seorang dara cengeng. Sama sekali bukan. Dia memiliki kekerasan hati luar biasa, berani dan galak seperti ibunya di waktu muda, akan tetapi dia pun lincah gembira dan pandai bicara seperti ayahnya di waktu muda. Sebentar saja dia sudah dapat menguasai dirinya menghapus air matanya dan ketika memandang kepala gundul yang dijulurkan seperti seekor kura-kura menjulurkan kepala itu, dan sikap Kun Liong yang minta maaf dan menyerahkan kepala untuk dipukul, kejengkelannya lenyap dan dia tersenyum, menggunakan telapak tangan dengan halus mendorong kepala Kun Liong.

   "Tidak! Satu kali saja menampar kepalamu aku sudah kapok (jera)!"

   Mendengar suara yang bening dan hangat itu Kun Liong mengangkat muka dan betapa girangnya melihat wajah itu sudah tersenyum lagi biarpun kedua pipinya masih basah air mata. Benar-benar dia bingung dan tidak mengerti kini. Giok Keng tersenyum lebar sebagai jawaban, kemudian berkata setelah menghela napas panjang.

   "Tadi aku memang menangis. Habis pertanyaanmu membuat aku jengkel sekali sih! Ayah dan Ibu selalu membujuk-bujukku untuk menikah. Betapa menjengkelkan! Mereka marah karena pinangan yang puluhan kali datangnya selama beberapa tahun ini, semua kutolak mentah-mentah!"

   Kun Liong mengerutkan alisnya.

   "Hemm... kalau boleh aku bertanya, mengapa kau lakukan itu, Keng-moi? Tentu saja menolak pinangan adelah hakmu, akan tetapi kalau berlarut-latut, bukankah engkau menyakitkan hati ayah-bundamu?"

   "Yang mau kawin itu aku ataukah mereka?"

   Tiba-tiba Giok Keng bertanya dengan nada keras dan pandang mata penuh tantangan, membuat Kun Liong terkesiap dan khawatir kalau-kalau membikin marah lagi.

   "Eh, tentu saja engkau!"

   "Kalau sudah jelas begitu, berarti ini urusanku dan aku sendiri yang akan menentukan."

   "Engkau benar, Moi-moi. Akan tetapi sampai kapan?"

   "Sampai aku mau dan... dan cocok."

   "Apakah belum juga ada yang cocok?"

   Giok Keng menunduk dengan muka merah, kemudian mengangkat muka tiba-tiba dan cemberut.

   "Sudahlah, perlu apa bicara hal yang bukan-bukan? Kalau kau bisa menyerangku dengan pertanyaan tentang itu, agaknya engkau sendiri sudah kawin atau setidaknya tentu sudah bertunangan."

   "Aku?"

   Kun Liong terbelalak dan menggaruk kepalanya di belakang telinga kanan, sebuah kebiasaan yang tak disadarinya.

   "Siapa orangnya yang sudi kepada seorang gundul macam aku?"

   "Hemmm... sssttt, Koko, lihat sana itu...!"

   Kun Liong mengangkat muka memandang ke arah kuil yang ditunjuk oleh Giok Keng. Tampak olehnya berkelebatnya bayangan beberapa orang di atas atap kuil!

   "Ah, tentu bukan orang baik-baik kalau datang melalui atap. Aku harus menyelidik ke sana!"

   Setelah berkata demikian, Kun Liong meloncat dan berlari cepat sekali. Giok Keng terkejut, bukan terkejut karena adanya orang-orang yang disangka buruk itu, melainkan kaget menyaksikan gerakan Kun Liong yang demikian cepatnya!

   "Liong-ko, tunggu!"

   Akan tetapi Kun Liong tidak memperlambat larinya karena dia teringat akan peristiwa lima tahun yang lalu ketika maling-maling menyerbu Siauw-lim-si dan berhasil melarikan dua buah benda pusaka. Saat itu, para tokoh Siauw-lim-pai sedang sibuk menghadiri upacara pembakaran jenazah, demikian pula para tamu yang terdiri dari tokoh-tokoh besar. Kuil menjadi kosong, hanya tinggal beberapa orang hwesio pelayan dan kacung-kacung yang hanya mempunyai kepandaian rendah. Agaknya, kekosongan kuil yang sudah diperhitungkan oleh orang-orang jahat itu kini dijadikan kesempatan oleh mereka untuk melaksanakan niat buruk mereka.

   Dugaan Kun Liong tidak meleset sama sekali. Memang demikianlah, di antara para tamu itu terdapat serombongan orang-orang dari golongan hitam yang menyelundup, dan mereka ini terdiri dari sepuluh orang yang merupakan orang-orang berkepandaian tinggi yang tergabung dalam persekutuan Pek-lian-kauw dan para anggauta Kwi-eng-pang. Karena telah diperhitungkan oleh para pimpinan persekutuan gelap itu bahwa amat sukar untuk menyerbu Siauw-lim-si yang kuat, apalagi pada saat sekarang setelah Siauw-lim-si pernah diseribu oleh orang-orang Kwi-eng-pang lima tahun yang lalu. Maka kaum sesat yang cerdik itu menggunakan siasat yang amat berani ini. Mereka bahkan mengutus orang-orang yang dipercaya, mereka yang berkepandaian tinggi akan tetapi yang belum dikenal oleh tokoh-tokoh kang-ouw, untuk menggunakan kesempatan selagi banyak tamu datang ke Siauw-lim-si untuk melakukan aksi mereka. Tentu saja mereka tidak berani berterang.

   Menghadapi para hwesio Siauw-lim-pai secara terang-terangan saja mereka merasa jerih, apalagi yang di kuil itu berkumpul banyak sekali tokoh--tokoh besar dunia persilatan! Akan tetapi mereka ini cerdik sekali, menggunakan selagi semua hwesio dan para tamu me-lakukan upacara pembakaran jenazah di bukit sebelah belakang kuil yang makan waktu sedikitnya dua jam, mereka me-ninggalkan rombongan tamu dan berpencar lalu menyelundup ke dalam kuil. Jumlah mereka sepuluh orang, dan yang menjadi pemimpin penyerbuan ini adalah seorang pemuda berusia kurang lebih dua puluh tiga tahun, tampan dan bermata liar, sikapnya seperti orang yang tidak waras otaknya. Akan tetapi, dia ini bukanlah orang sembarangan, karena dia bukan lain adalah Ouwyang Bou, putera tung-gal dari Ban-tok Coa-ong Ouwyang Kok, seorang di antara Lima Datuk!

   Yang menjadi sasaran mereka adalah kamar pusaka. Bukan semata-mata untuk mencuri pusaka-pusaka Siauw-lim-si, melainkan terutama sekali untuk mencari bokor emas milik Panglima The Hoo yang dijadikan perebutan. Menurut perhitungan para datuk, setelah mereka berunding, kemungkinan besar sekali bahwa bokor emas itu berada di gedung pusaka Siauw-lim-si, karena yang diketahui terakhir oleh Bu Leng Ci adalah bahwa bokor emas itu dibawa oleh seorang bocah yang ternyata adalah putera Yap Cong San, sedangkan Yap Cong San yang mereka bunuh tiga tahun yang lalu itu adalah seorang tokoh Siauw-lim-pai. Besar kemungkinarmya bokor emas itu terjatuh ke tangan Yap Cong San, dan sebagai seorang tokoh Siauw-lim-pai mungkin saja bokor itu diserahkan kepada Siauw-lim-pai untuk disimpan di Siauw-lim-si. Inilah yang membuat rombongan kaum sesat yang dipimpin Ouwyang Bouw itu menggunakan kesempatan pelayatan itu untuk turun tangan!

   Ketika Kun Liong yang berlari cepat tiba di dalam kuil, dia sudah melihat apa yang dikhawatirkannya. Empat orang hwesio pelayan rebah di sudut dalam keadaan lemas tak mampu bergerak karena telah tertotok! Kun Liong tidak membuang waktu lagi, cepat meloncat ke dalam lorong yang menuju ke bagian belakang dan langsung dia lari ke gudang pusaka. Akan tetapi baru saja dia tiba di ruangan tengah, tiba-tiba sinar merah menyambar dari kiri. Kun Liong cepat merendahkan diri berjongkok dan jarum-jarum merah yang kecil halus itu menyambar lewat di atas kepalanya. Ada sesuatu yang mengingatkannya ketika melihat sambaran-sambaran jarum merah itu. Cepat dia meloncat lagi, membalik ke kiri dan berhadapan dengan seorang pemuda menyeringai kepadanya.

   "Kau...!"

   Kun Liong teringat ketika melihat wajah tampan dengan mata liar berputaran itu.

   "Kau Ouwyang Bouw anak Ban-tok Coa-ong!"

   Akan tetapi tentu saja Ouwyang Bouw tidak mengenal Kun Liong. Dahulu ketika dia dan ayahnya bertemu dengan Kun Liong, pemuda gundul ini baru berusia sepuluh tahun dan pada waktu itu belum gundul. Adapun Kun Liong dapat mengenal Ouwyang Bouw karena peristiwa itu menyebabkan kepalanya menjadi gundul, maka tentu saja wajah Ouwyang Bouw dan ayahnya selalu teringat olehnya. Jarum-jarum merah tadi menambah keyakinannya, karena justeru jarum-jarum merah itulah yang menjadi sebagian sebab mengapa kepalanya tidak mau tumbuh rambut.

   "Mau apa kau datang ke dalam kuil?"

   Kun Liong membentak Akan tetapi pemuda bermata liar itu berteriak,

   "Bunuh dia!"

   Dan dari belakangnya muncullah enam orang laki-laki yang serta-merta maju menerjang, mengepung dan mengeroyok Kun Liong dengan senjata pedang dan golok.

   "Eh-eh, kalian orang-orang jahat!"

   Kun Liong menggunakan kegesitan gerak tubuhnya mengelak ke kanan kiri. Dia tidak merasa khawatir menghadapi pe-ngeroyokan enam orang itu yang biarpun semua mempergunakan senjata, namun dia dapat melihat bahwa gerakan mereka itu masih terlalu lambat baginya dan dia akan dapat mengatasi mereka.

   Akan tetapi dia terkejut melihat bayangan Ouwyang Bouw melesat dan lenyap dari situ melalui lorong yang menuju ke gudang pusaka! Dia hendak mengejar, namun enam orang itu mengurungnya ketat dan menghujankan serangan ke tubuhnya. Semenjak mempelajari ilmu dari Bun Hoat Tosu dan Tiang Pek Hosiang, Kun Liong belum pernah mempergunakan ilmu-ilmunya itu dalam perkelahian sungguh-sungguh. Ketika dahulu sebelum digembleng sukongnya di Ruang Kesadaran, dia pernah menggunakan ilmu yang dipelajarinya dari Bun Hoat Tosu melawan Cia Giok Keng, akan tetapi dalam pertandingan yang dianggapnya main-main saja karena dia tidak menganggap Giok Keng sebagai orang jahat. Ketika beberapa hari yang lalu dia mengadu tenaga dengan utusan Panglima The Hoo, juga pertandingan itu bukan sungguh-sungguh,

   Apalagi ketika melawan Tio Hok Gwan, hanya sekedar mengadu tenaga saja dan keburu dilerai oleh Thian Kek Hwesio. Sekarang dia merasa ragu-ragu. Kalau dia mau, banyak sudah dia melihat lowongan untuk merobohkan enam orang itu. Akan tetapi, dia sebetulnya paling tidak suka memukul orang, bahkan agak benci akan permusuhan dan perkelahian yang dianggapnya tidak menyenangkan dan hanya dilakukan oleh orang-orang kejam. Akan tetapi kini dia diserang oleh empat batang pedang dan dua buah golok yang semuanya menyerang untuk mencabut nyawanya. Tentu saja harus mempertahankan dan melindungi tubuhnya dari bahaya terkena bacokan atau tusukan. Dia masih ragu-ragu bagaimana dapat menghentikan enam orang pengeroyoknya itu tanpa membuat mereka menderita luka berat.

   "Kalian orang-orang tolol, kalau ketahuan para suhu, kalian akan celaka. Lebih baik lekas pergi melarikan diri sebelum terlambat!"

   Dia mencoba mengusir mereka dengan kata-kata nasihat! Tentu saja dia malah ditertawakan karena enam orang itu memandang ringan kepadanya. Pemuda gundul itu hanya mengelak ke sana-sini, biarpun gerakannya cepat sekali sukar diserang, namun hal itu hanya menandakan bahwa pemuda gundul atau yang mereka sangka hwesio muda ini ketakutan. Serangan mereka makin gencar dan menghebat sehingga enam batang senjata tajam itu menjadi sinar yang bergulung-gulung menyilaukan mata, menyambar-nyambar ke arah bayangan Kun Liong yang berloncatan ke sana-sini.

   "Aihhh! Liong-ko...!"

   Jeritan Giok Keng! Pucat wajah Kun Liong mendengar jeritan itu karena dia tahu bahwa dara itu tentu terancam bahaya.
(Lanjut ke Jilid 16)

   Petualang Asmara (Seri ke 02 - Serial Pedang Kayu Harum)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 16
Jeritan itu terdengar dari arah belakang, dan teringatlah dia bahwa ketika tadi mengajak gadis itu berkeliling, dia tidak memberitahu bahwa di dalam kuil itu banyak dipasangi jebakan-jebakan rahasia untuk menjaga keamanan kamanan kuil kalau-kalau dimasuki orang jahat! Karena mengkhawatirkan Giok Keng, Kun Liong tidak peduli lagi. Kaki tangannya bergerak dan enam batang senjata itu terlempar beterbangan disusul robohnya enam orang itu yang mengaduh-aduh karena sedikitnya mereka menderita tulang patah terkena ketukan jari tangan Kun Liong dan perut mulas oleh ujung kaki pemuda gundul itu! Kun Liong tidak mempedulikan mereka, langsung meloncat dan lari melalui lorong ke arah Giok Keng tadi. Suara Giok Keng terdengar lagi, kini dari dalam kamar perpustakaan.

   "Maling keparat!"

   Akan tetapi disusul suara terbatuk-batuk dara itu. Ketika Kun Liong tiba di dalam kamar perpustakaan, dia melihat bayangan Ouwyang Bouw berlari ke luar. Bukan main kagetnya hati Kun Liong ketika dia meloncat ke dalam karena hidungnya segera bertemu dengan bau yang harum aneh menyesakkan napas! Tanulah dia bahwa di situ ada hawa beracun dan tampak olehnya asap hitam mengepul dari lubang di tengah ruang perpustakaan itu. Lubang jebakan! Sudah terbuka dan dari dalam lubang mengepul asap beracun.

   Celaka, tentu Giok Keng yang terjebak oleh alat rahasia di situ dan... dia tidak mau berpikir lagi, lang-sung dia meloncat turun ke dalam lubang yang gelap itu dari mana keluar asap hitam. Dengan memahan napas seperti yang diajarkan oleh mendiang Tiang Pek Hosiang, Kun Liong menggunakan gin-kang sehingga dengan ringan dia melayang turun ke dalam jebakan yang berupa sumur sedalam empat meter tertutup oleh lantai yang dipasangi jebakan. Samar-samar dia melihat bayangan tubuh rebah miring. Melihat rambut yang panjang terurai itu, dia tidak ragu-ragu lagi. Diangkatnya tubuh Giok Keng yang tak dapat bergerak itu, dipondongnya kemudian dia meloncat ke atas sambil mengerahkan sin-kangnya. Tanpa pengerahan sin-kang yang kuat, sukarlah meloncati sumur sedalam empat meter, sempit dan masih memondong tubuh scorang gadis lagi! Pada saat dia melayang naik, terdengar di atas sumur,

   "Bakar saja! Dan semua berkumpul di gudang pusaka!"

   Ketika tubuh Kun Liong sudah tiba di dalam kamar perpustakaan, dengan marah dia melihat api membakar meja dan pintu. Ditendangnya meja itu, dan dua orang yang sedang membakar-bakar kertas dia robohkan dengan tendangan-tendangan kakinya sehingga mereka terlempar dan apinya padam. Melihat scorang penjahat lain lari melalui pintu belakang, dia tidak mengejar melainkan meloncat ke depan di mana seorang penjahat lain sedang berusaha membakar pintu. Daun pintu itu sudah terbakar dan didorong menutup dari luar.

   "Brakkk! Augghh...!"

   Kun Liong sambil memondong tubuh Giok Keng menerjang daun pintu itu. Daun pintu bobol dan terlepas, menimpa penjahat yang berdiri di luar sehingga penjahat itu herteriak-teriak karena rambut dan sebagian pakaiannya terbakar! Kun Liong berlari terus. Tubuh Giok Keng masih dipondongnya, hatinya gelisah melihat gadis itu seperti orang mati, akan tetapi dia juga gelisah memikirkan betapa penjahat-penjahat itu tentu merampok gudang pusaka. Maka sambil memondong Glok Keng, larilah dia ke arah gedung pusaka! Hatinya lega karana dia mendengar teriakan-teriakan dari atas bukit di belakang kuil, tanda bahwa peristiwa itu telah ketahuan dan sebentar lagi tentu bala bantuan datang. Agaknya hal ini diketahui pula oleh kawanan penjahat. Buktinya ketika Kun Liong tiba di gudang pusaka yang daun pintunya sudah terbuka besar,

   Dia melihat bayangan-bayangan para penjahat itu berkelebatan melarikan diri sambil menggendong teman-teman mereka yang terluka. Dia tidak mempedulikan mereka lagi karena dia sibuk memeriksa Giok Keng yang dibawanya ke dalam taman. Direbahkannya tubuh Giok Keng ke atas bangku taman. Wajah dara itu pucat dan matanya terpejam napasnya terhenti! Kun Liong cepat memeriksa nadi pergelangan tangan. Ketukan nadi lemah sekali, seolah-olah sebentar lagi terhenti. Ditempatkannya telinga di dada gadis itu, disentuhnya bibir dan cuping hidung. Tidak ada pernapasan. Celaka, kalau gadis itu tidak cepat-cepat dapat bernapas kembali, tentu takkan tertolong lagi. Soal keracunan, mudah dapat diobati kelak, yang terpenting sekarang haruslah diusahakan agar Giok Keng dapat bernapas lagi. Tidak ada cara lain kecuali yang diketahuinya dari pelajaran yang diterima darl ibunya dahulu.

   Tanpa ragu-ragu lagi Kun Liong menggunakan jari tangannya, memaksa mulut Giok Keng terbuka, kemudian menjilat dan menutupi kedua lubang hidung yang kecil itu dan dia menunduk. Ditutupnya mulut yang sudah dibukanya itu dengan mulutnya sendiri lalu ditiupnya, mengerahkan hawa murni sehingga tiupannya kuat. Terasa olehnya betapa dada dara itu membusung. Dilepasnya mulutnya dan dilepaskannya pula hidung dara itu untuk memberi jalan agar hawa yang sudah ditiupkannya itu mengalir keluar. Kemudian diulanginya lagi sampai berkali-kali. Kun Liong sama sekali tidak tahu saking gelisahnya dan karena seluruh perhatiannya dicurahkan kepada Giok Keng, bahwa pada saat itu, dua sosok bayangan berkelebat dan ayah bunda dara itu telah berdiri tak jauh di sebelah belakangnya!

   Biauw Eng terbelalak, tubuhnya sudah bergerak hendak mendorong pergi Kun Liong akan tetapi Keng Hong memegang lengannya dan menaruh telunjuk di bibir. Biauw Eng yang mengira bahwa pemuda gundul itu melakukan penghinaan dan perbuatan kotor atas diri puterinya, menjadi heran dan dengan mata terbelalak memandang. Sekali lagi Kun Liong menempelkan mulutnya pada mulut Giok Keng, penuh harapan karena biarpun tersengal-sengal, dara itu sudah mulai bernapas. Ditiupkannya hawa murni ke dalam dada Giok Keng, lalu dilepaskannya mulutnya. Giok Keng bernapas terengah-engah, kemudian mengeluh dan tubuhnya bergerak. Bukan main girangnya hati Kun Liong!

   "Keng-moi... Keng-moi... sadarlah...! Ahhh, kau... kau tentu keracunan. Bedebah-bedebah itu...!"

   Giok Keng membuka matanya merasa pening dan menutupkannya kembali,

   "Liong-ko, mana maling-maling itu...?"

   "Mereka sudah melarikan diri. Sayang aku tidak..."

   Petualang Asmara Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Dia membalikkan tubuh dan terkejut melihat Keng Hong dan Biauw Eng telah berdiri di situ! Otak di dalam kepala gundul yang dapat bekerja cepat itu segera teringat cara dia menolong gadis itu dan seketika mukanya berubah merah, jantungnya berdebar tegang karena tentu orang tua gadis itu akan marah sekali. Akan tetapi Biauw Eng segera menghampiri puterinya dan membangunkannya.

   "Kau telah menyedot banyak hawa beracun."

   "Aku tadi mengejar Liong-koko ketika kami melihat berkelebatnya orang-orang jahat. Aku masuk ke kamar perpustakaan, akan tetapi begitu meloncat ke tengah kamar itu, lantainya terjeblos dan aku terguling ke dalam sumur. Sebelum sempat meloncat ke luar, ada yang melempar sesuatu ke dalam sumur, baunya wangi dan aku tidak ingat apa-apa lagi."

   "Untung Kun Liong menolongmu. Sudahlah, mari kubantu engkau membersihkan paru-parumu,"

   Biauw Eng berkata. Ibu dan anak itu lalu duduk bersila. Biauw Eng di belakang anaknya, menempelkan kedua telapak tangan di punggung gadis itu yang mengatur napasnya, menyedot hawa murni untuk mengusir sisa-sisa hawa beracun dari dalam dadanya. Keng Hong dan Kun Liong segera menghampiri para hwesio yang mengadakan pemeriksaan. Thian Kek Hwesio menarik napas panjang.

   "Untung kebakaran di ruang perpustakaan tidak melenyapkan kitab-kitab penting, dan heran sekali. Tidak ada pusaka yang lenyap biarpun keadaannya kacau-balau. Agaknya mereka mencari sesuatu, dan tidak mereka temukan yang mereka cari. Betapapun juga, untuk kedua kalinya,sahabat muda Yap Kun Liong telah menyelamatkan Siauw-lim-si."

   "Ah, Locianpwe harap jangan bersikap sungkan. Bukankah teecu adalah orang sendiri? Bahkan dua buah benda pusaka yang dahulu tercuri belum dapat teecu cari. Teecu sendiri tidak mengerti mengapa mereka tadi datang membikin ribut dan tidak tahu apa yang dicari, akan tetapi teecu mengenal yang memimpin para perampok tadi."

   Semua orang memandang kepada Kun Liong.

   "Benarkah itu, Liong-ji (Anak Liong)? Kau mengenal pemimpin mereka?"

   Keng Hong bertanya, kagum, bangga dan heran melihat putera sahabat baiknya ini yang selain ujudnya aneh karena kepala gundulnya, ternyata banyak mengalami hal aneh-aneh. Pertama diambil murid Bun Hoat Tosu, ke dua digembleng sukongnya sendiri, dan kini mengenal pimpinan para perusuh itu, pada saat tidak ada orang lain yang dapat mengenalnya.

   "Teecu pernah berjumpa dengan dia sepuluh tahun yang lalu, Supek. Dia itulah yang dahulu menyerang teecu dengan jarum merah sehingga kepala teecu tidak mau tumbuh rambut lagi. Dia adalah Ouwyang Bouw, putera dari Ban-tok Coa-ong Ouwyang Kok."

   Tentu saja semua orang terkejut mendengar ini.

   "Omitohud...! Kaum sesat sudah berani memusuhi Siauw-lim-pai!"

   Thian Kek Hwesio berkata nyaring.

   "Sute Thian Lee Hwesio terbunuh, dan kini kuil Siauw-lim-si diserbu perampok. Kita harus memperslarpkan diri!"

   Kalimat terakhir ini ditujukan kepada para anak murid Siauw-lim-pai. Kun Liong segera melangkah maju dan berkata,

   "Locianpwe, teecu sudah menyanggupi tugas untuk mencari dan mengembalikan dua buah pusaka yang dahulu tercuri. Juga teecu sudah menyanggupi untuk menyelidiki tentang kematian Thian Lee Losuhu. Biarlah sekarang teecu berjanji akan mencari Ouwyang Bouw dan menyelidiki apa yang dicarinya di kuil itu sehingga dia dan kaki tangannya menimbulkan kekacauan."

   "Omitohud... tidak percuma mendiang Suhu mengangkatmu menjadi ahli waris tunggal, Yap-sicu. Siauw-lim-pai telah banyak menerima budi dan tidak akan melupakan budi itu."

   "Teecu tidak mau menganggapnya sebagai budi, karena bukankah teecu juga menerima kebaikan dari mendiang sukong? Pula, teecu tidak mempunyai pekerjaan tertentu dan akan berkelana mencari Ayah dan Ibu, maka sekalian teecu dapat melakukan semua tugas itu."

   Para hwesio Siauw-lim-si sibuk membereskan dan memperbaiki kerusakan yang ditimbulkan oleh kebakaran itu, para tamu sudah mengundurkan diri dan berpamit. Kun Liong juga berangkat menunaikan tugasnya, ditemani oleh Cia Keng Hong!

   "Engkau pulanglah bersama Giok Keng."

   Pendekar sakti ini berkata kepada isterinya.

   "Aku akan membantu Kun Liong mencari orang tuanya."

   Demikianlah, Kun Liong dan Keng Hong meninggalkan kuil Siauw-lim-si, sedangkan Biauw Eng mengajak Giok Keng pulang ke Cin-ling-san karena dara itu masih perlu beristirahat dan minum obat. Cia Giok Keng masih penasaran sekali karena dia tidak diberi kesempatan memperlihatkan kepandaiannya di kuil Siauw-lim-si itu, karena sebelum dia dapat menyerang para penjahat, dia telah terjeblos ke dalam perangkap rahasia dan dipaksa pingsan oleh lemparan benda meledak yang mengandung hawa beracun oleh seorang di antara penjahat.

   "Liong-ko, kalau kau bertemu dengan Ouwyang... siapa tadi namanya?"

   "Ouwyang Bouw,"

   Jawab Kun Liong.

   "Kalau kau, bertemu dengan dia, jangan kau bunuh dia."

   "Mengapa?"

   Kun Liong bertanya heran.

   "Aku tidak berniat membunuh siapa-siapa, hanya ingin bertanya mengapa dia mengacau Siauw-lim-si dan apa yang dicarinya."

   "Bagiankulah untuk membunuhnya!"

   Kata dara itu.

   "Sebaiknya kita pergi ke Ceng-to untuk melakukan penyelidikan,"

   Di tengah jalan Keng Hong berkata kepada Kun Liong. Kun Liong menoleh dan memandang wajah tampan dan berwibawa itu. Maka bertanyalah dia, pertanyaan yang sudah ditahannya sejak mereka meninggalkan Siauw-lim-si.

   "Supek, kalau boleh teecu bertanya, dalam menemani teecu dalam perjalanan ini, apakah yang Supek kehendaki?"

   Cia Keng Hong menoleh, memandang dan mengangkat alisnya yang tebal.

   "Maaf, Supek. Teecu merasa yakin bahwa ada sesuatu yang hendak Supek sampaikan kepada teecu."

   Kini pandang mata pendekar sakti itu menjadi terheran-heran dan bertanyalah dia dengan kekaguman yang tidak disembunyikan.

   "Kun Liong, bagaimana engkau bisa menduga demikian?"

   "Supek dan Supek-bo pernah mencari Ayah dan Ibu tanpa hasil, demikian pula teecu. Sekarang pun, teecu mencari dengan mengawur karena memang tidak ada yang mengetahui di mana adanya mereka. Kalau memang Supek hendak mencari mereka, karena kita sama-sama tidak tahu, tentu lebih baik kalau berpencar. Akan tetapi Supek menemani teecu, berarti bahwa Supek menyembunyikan niat lain. Dugaan ini akan selalu membayangi teecu kalau belum Supek jelaskan."

   Keng Hong tersenyum dan mengangguk-angguk.

   "Engkau cerdik, dan jujur. Memang sesungguhnyalah. Mendengar betapa mungkin pencuri pusaka Siauw-lim-si adalah orang-orang Kwi-eng-pang, dan kini mendengar pula bahwa penyerbu kuil itu adalah putera Ban-tok Coa-ong, maka engkau yang bertugas mencarinya berarti akan berhadapan dengan datuk-datuk kaum sesat yang kabarnya memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali. Sedangkan ayah bundamu pun belum diketahui ke mana perginya, kalau engkau sebagai putera tunggalnya terancam bahaya, bagaimana aku dapat mendiamkannya saja? Aku akan menghadapi mereka dan membantumu, itulah tujuanku menemanimu sekarang. Dan kalau kau beruntung bertemu dengan orang tuamu, aku pun ingin sekali bicara dengan mereka."

   Tentu saja Keng Hong tidak mengaku bahwa dia akan bicara tentang perjodohan puterinya! Kun Liong segera membungkuk dengan hormat.

   "Terima kasih banyak atas perhatian dan pembelaan Supek kepada teecu. Akan tetapi, Supek. Tugas ini sudah teecu sanggupi, bagaimana teecu berani membawa-bawa Supek dan melibatkan diri Supek? Supek adalah seorang ketua yang terhormat dan terkenal, kalau sampai pusaka-pusaka Siauw-lim-pai itu didapatkan kembali mengandalkan tenaga bantuan Supek. bukankah hal itu akan membuat Siauw-lim-pai menjadi tertawaan orang? Tentu Siauw-lim-pai dianggap lemah dan hanya berani minta bantuan seorang sakti seperti Supek. Berbeda lagi dengan teecu. Teecu sama sekali tidak terkenal, dan teecu juga murid dari Sukong, apalagi ayah teecu pun murid Siauw-lim-pai. Sudah sepatutnya kalau teecu mewakili Siauw-lim-pai menghadapi para pencuri."

   Keng Hong memandang dengan mata bersinar dan wajah berseri. Dia kagum kepada pemuda gundul itu. Biarpun belum dia saksikan, namun agaknya kepandaian Kun Liong tentu tinggi. Wajahnya tampan biarpun kepalanya gundul, dan pandangannya jauh dan luas, wataknya pemberani, cerdik dan jujur sehingga terhadap dia berani bicara terang-terangan seperti itu tanpa takut menyinggung perasaan.

   Soal kepandaian, dapat dia selidiki kelak, biarpun agaknya tak mungkin kalau murid Bun Hoat Tosu dan Tiang Pek Hosiang tidak lihai. Hanya ada dua hal yang masih meragukan hati pendekar sakti ini apakah pemuda ini sudah patut menjadi jodoh puterinya, yaitu pertama sikap lunak Kun Liong yang tidak hanya dinyatakan dengan mulut bahwa dia tidak suka melukai orang, juga dinyatakan dalam peristiwa keributan di Siauw-lim-si, Kun Liong berhasil menolong Giok Keng dari dalam sumur, mengapa dia tidak dapat menangkap seorang pun dari para perampok itu? Hal ke dua adalah cara pengobatan yang dilakukan Kun Liong terhadap Giok Keng. Biarpun meniupkan hawa dari mulut ke mulut merupakan pertolongan darurat, akan tetapi mengapa berani lancang melakukannya dan tidak memberi tahu kepada dia atau isterinya lebih dulu?

   "Pandanganmu memang tepat, Kun Liong. Aku hanya bertindak karena kekhawatiranku terhadap tugasmu yang berat. Akan tetapi sedikitnya aku harus melihat dulu sampai di mana tingkat kepandaianmu, apakah kiranya sudah cukup kuat untuk menghadapi datuk-datuk kaum sesat seperti mereka? Kalau perlu, aku dapat melatihmu beberapa macam ilmu sebagai bekal."

   "Terima kasih atas kebaikan Supek. Teecu bukan bermaksud untuk menghadapi para datuk itu dalam pertandingan atau permusuhan. Teecu hanya akan minta kembali pusaka dan mereka tentu akan melihat muka para pimpinan Siauw-lim-pai untuk membalikkan pusaka-pusaka dengan baik. Adapun Ouwyang Bouw akan teccu tanya, apa yang dicari di Siauw-lim-si."

   Berkerut alis pendekar sakti itu. Kembali pemuda yang mengagumkan hatinya itu mengemukakan pendapatnya yang mengecewakan, yang dianggapnya sebagai pencerminan watak penakut.

   "Hemm, Kun Liong. Engkau bersusah payah mempelajari ilmu silat, terutama sekali lima tahun di Ruang Kesadaran bersama mendiang sukongmu, sebetulnya hendak kaupergunakan untuk apakah ilmu-ilmu itu?"

   "Tentu saja untuk... untuk kesehatan, dan untuk menjaga diri, Supek."

   "Menjaga diri dari apa?"

   "Dari kesukaran-kesukaran yang menimpa tubuh teecu ini. Dari serangan binatang buas, manusia-manusia yang suka menggunakan ilmu untuk menindas dan lain-lain."

   "Dan kau tidak akan memukul orang, biarpun orang itu jahat terhadapmu?"

   "Kalau bisa... sedapat mungkin teecu tidak akan menggunakan ilmu silat untuk menyerang orang lain, hanya untuk mempertahankan diri."

   "Bukan karena kau takut?"

   "Tidak, Supek."

   "Nah, kalau begitu aku hendak menyerangmu. Hendak kulihat sampai di mana engkau dapat mempertahankan dirimu!"

   Bukan main kagetnya Kun Liong mendengar ini.

   "Tapi... Supek..."

   "Awas!"

   Keng Hong sudah berseru nyaring dan menyerang dengan tamparan ke arah kepala yang gundul ini. Kun Liong merasa betapa ada angin dahsyat menyambar, biarpun tangan itu masih jauh, sudah terasa angin pukulannya, membuat kulit kepala yang kena sambar terasa dingin. Cepat dia secara otomatis menundukkan kepalanya dan menyelinap ke kiri.

   Keng Hong sudah melanjutkan serangannya dengan pukulan-pukulan dahsyat yang datangnya bertubi-tubi dan setiap pukulan mengeluarkan angin dahsyat. Bukan main kagum dan kagetnya hati Kun Liong. Belum pernah selamanya dia melihat gerakan serangan yang demikian dahsyatnya. Namun dia tidak diberi kesempatan untuk berpikir karena serangan itu terus datang bertubi-tubi. Kun Liong mengerahkan gin-kangnya dan mengelak ke sana ke mari dengan kecepatan laksana seekor burung walet. Tubuhnya mencuat ke sana-sini untuk menghindarkan diri. Akan tetapi ternyata kecepatan gerakannya dapat diimbangi oleh Keng Hong sehingga akhirnya, mau tidak mau Kun Liong dipaksa untuk menangkis, karena kalau hanya mengandalkan kecepatan mengelak saja tidak cukup dan tentu dia akan kena dipukul.

   "Duk! Plak! Dukkk!"

   Tiga kali berturut-turut Kun Liong menangkis dan karena dia maklum bahwa pukulan-pukulan yang membawa angin dahsyat itu tentu mengandung sin-kang yang amat kuat, maka dia pun mengerahkan sin-kangnya dan menggunakan ilmu Pek-in-ciang (Tangan Awan Putih) yang dipelajarinya dari Tiang Pek Hosiang. Ketika kedua tangan bertemu, dari tangan Kun Liong mengepul uap putih dan benturan tangan itu hanya membuat Kun Liong tergoyang-goyang tubuhnya, akan tetapi Keng Hong juga merasa betapa tangannya tergetar.

   "Bagus!"

   Dia memuji dengan kagum dan kini ilmu silatnya berubah. Tadi pendekar sakti itu telah mainkan San-in-kun-hoat yang ampuh, akan tetapi karena ilmu silat ini hanya delapan jurus, biarpun merupakan ilmu silat tinggi namun masih kurang dapat untuk dipakai mendesak agar pemuda itu balas menyerang! Inilah yang dikehendaki Keng Hong. Dia masih tidak percaya apakah Kun Liong akan sanggup mempertahankan pen-diriannya, tidak akan menyerang orang! Maka dia berusaha memaksa pemuda itu untuk mengeluarkan kepandaian, selain bertahan, juga balas menyerang. Dan ternyata San-in-kun-hoat tidak berhasil memaksa pemuda itu membalas.

   "Aihhh...!"

   Kun Liong terkesiap ketika melihat perubahan gerakan supeknya. Ilmu silat yang dimainkan supeknya ini aneh sekali, gerakannya sederhana, akan tetapi daya serangnya ampuh dan dahsyat sekali. Kadang-kadang gerakan supeknya lambat saja, namun angin pukulan yang datang lebih dahsyat daripada tadi. Itulah Thai -kek-sin-kun!

   Namun Keng Hong benar-benar dibuat kaget. Pemuda itu masih mampu mem-pertahankan diri dan dia mengenal dasar-dasar Pat-hong-sin-kun dari Bun Hoat Tosu, kemudian Im-yang Sin-kun yang hanya dia kenal dasarnya saja karena kedua ilmu itu agaknya telah diubah dan diperbaiki oleh kedua orang kakek sakti itu sehingga menjadi ilmu yang amat hebat. Hawa yang kuat sekali berputaran di sekitar diri Kun Liong ketika pemuda itu mainkan ilmu-ilmu itu dengan kedua tangan selalu diisi dengan sin-kang Pek--in-ciang. Selama seratus jurus Keng Hong menyerang, dan uap putih yang tadi hanya mengepul dari kedua tangan Kun Liong, kini mengepul dari tubuh dan kepalanya yang gundul, mendatangkan kekuatan yang makin dahsyat. Hebatnya, sampai seratus jurus lebih, belum pernah satu kali pun Kun Liong membalas!

   Keng Hong maklum bahwa kalau dia menggunakan gerakan maut, tentu pemuda itu terpaksa akan membalas untuk mempertahankan diri, akan tetapi percobaan ini terlalu berbahaya bagi pemuda itu. Maka dia menggunakan akal terakhir, yaitu Ilmu Thi-khi-i-beng! Sebagai seorang ahli yang memiliki kesaktian, tentu saja tidak ada bahayanya lagi bagi pendekar ini menggunakan Thi-khi-i-beng. Dahulu, sebelum dia menjadi ahli, ilmu ini amat mengerikan. Siapa saja yang terkena betotan ilmu Thi-khi-i-beng, sin-kangnya akan tersedot dan Keng Hong sendiri tidak mampu menghentikannya sampai lawan tersedot habis tenaganya dan tewas! Kini tentu saja dia dapat menggunakan sesuka hatinya dan mengaturnya sehingga sewaktu-waktu dapat menghentikan daya sedot ilmu itu.

   "Awassss...!"

   Serunya lagi sambil memukul dengan kecepatan yang tidak memungkinkan Kun Liong mengelak, kecuali menangkis.

   "Plakkk! Hyaaaat!"

   Kun Liong mengeluarkan teriakan melengking ketika merasa betapa lengannya menempel pada lengan lawan dan tenaga sin-kanghya molos keluar. Sambil melengking itu dia menggunakan sin-kang yang dipelajarinya dari Bun Hoat Tosu dahulu, yaitu yang mempunyai tenaga membotot dan yang oleh kakek sakti itu sengaja diciptakan untuk menghadapi Thi-khi-i-beng yang kabarnya tidak ada lawannya di dunia ini.

   "Eiiihhhh...!!"

   Kini Keng Hong yang berteriak saking kaget dan herannya. Pemuda itu mampu membebaskan lengannya dari sedotan Thi-khi-i-beng! Bukan main! Sukar untuk dapat dipercaya! Saking kaget dan herannya, dia menghentikan serangannya dan meloncat mundur. Kun Liong merasa lega sekali. Napasnya sudah senin kemis, dan dia harus mengakui bahwa kalau saja yang menyerangnya seperti itu bukan supeknya, sudah sejak tadi dia terpaksa balas menyerang untuk menyelamatkan diri. Dia cepat menjatuhkan diri berlutut di depan supeknya dan berkata,

   "Terima kasih atas kemurahan Supek dan maafkan teecu."

   Dengan sinar mata penuh selidik Keng Hong bertanya,

   "Siapakah yang mengajarkan kepadamu cara membetot seperti tadi? Apakah mendiang Tiang Pek Ho-siang?"

   Kun Liong menggeleng kepala.

   "Bun Hwat Totiang-locianpwe yang mengajar teecu."

   Keng Hong mengangguk-angguk dan hatinya lega. Kakek sakti bekas Ketua Hoa-san-pai itu memang seorang yang berilmu tinggi sekali, dan agaknya kakek itu dalam usia tuanya masih merasa penasaran akan keampuhan Thi-khi-i-beng yang tidak ada lawannya maka diam-diam telah menciptakan sin-kang untuk menghadapi Thi-khi-i-beng dan menurun-kan ilmu mujijat itu kepada Kun Liong! Untung kepada Kun Liong!

   "Pernahkah dia menyebut tentang Ilmu Thi-khi-i-beng kepadamu?"

   Kun Liong tidak berani membohong.

   "Pernah, Supek, dan memang sin-kang tadi dimaksudkan oleh beliau untuk menghadapi Thi-khi-i-beng."

   Keng Hong tertawa.

   "Orang tua itu benar-benar tidak mau mengalah! Kun Liong, ilmu yang kaumiliki itu memang hebat, akan tetapi tenagamu masih belum cukup untuk melawan aku jika aku benar-benar mengerahkan seluruh tenaga dalam ilmu Thi-khi-i-beng. Akan tetapi engkau telah berhasil memiliki dasar ilmu itu, berarti engkau memang berbakat baik sekali dan sekarang aku mengerti siapa yang dapat kuberi ilmu Thi-khi-i-beng, yaitu engkau sendiri!"

   Kun Liong serkejut. Dia mendengar bahwa ilmu Thi-khi-i-beng adalah ilmu mujijat yang hanya dikuasai oleh supeknya ini dan tiada taranya di seluruh dunia persilatan. Dan kini supeknya hendak menurunkannya kepadanya!

   "Terima kasih atas kepercayaan dan kebaikan Supek. Akan tetapi... bukankah semestinya ilmu ini supek berikan kepada Adik Giok Keng?"

   Kembali di dalam hatinya, Keng Hong kagum. Ucapan itu saja sudah membuktikan behwa pemuda gundul itu benar-benar berani dan jujur. Berani karena ucapan itu dapat diartikan menolak! Dan jujur karena penolakan itu berdasarkan perasaaan tidak adil terhadap Giok Keng.

   "Tidak, dia masih kurang berbakat dan tidak akan kuat menerimanya. Ilmu Thi-khi-i-beng bukan sembarangan ilmu. Akan membahayakan dunia, dan membahayakan orang itu sendiri kalau pemiliknya tidak memiliki dasar yang amat kuat, dan tidak memiliki watak pendekar sejati!"

   Kun Liong merasa makin jerih.

   "Supek... bukan teecu menolak, hanya teecu... teecu takut kalau-kalau teecu bukan pendekar sejati seperti yang Supek maksudkan... dan teecu tidak berani kelak menyia-nyiakan ilmu itu. Harap Supek pertimbangkan baik-baik."

   Keng Hong tertawa. Bocah ini memiliki bakat dan watak yang baik sekali, sayang sekali kurang kepercayaan kepada diri sendiri. Sikap ini memang baik, membuat orang tidak menyombongkan diri dan selalu rendah hati, akan tetapi juga menjadikannya seorang yang kurang tegas dan berani. Betapapun juga, dia tidak mempunyai pandangan orang lain dan agaknya memang tepat kalau dia menurunkan ilmunya kepada putera sumoinya dan sahabat baiknya ini.

   "Bersiaplah engkau menerima ilmu Thi-khi-i-beng. Engkaulah pewaris satu-satunya karena ilmu ini tidak boleh dimiliki orang lain kecuali engkau dan kelak pun kalau engkau menurunkan ilmu ini tidak boleh kepada lebih dari satu orang saja."

   Kun Liong bertutut dan tidak membantah ketika disuruh duduk bersila di depannya. Di dalam hutan yang sunyi itu, Keng Hong memberikan ilmu yang mujijat itu kepada Kun Liong. Selain cara untuk mengemudikan hawa mujijat di dalam tubuh ini, Keng Hong harus mengoperkan sebagian dari hawa mujijat itu ke dalam tubuh Kun Liong, seperti yang dahulu dilakukan oleh gurunya kepadanya (baca ceritaPedang Kayu Harum ).

   Dia menyuruh pemuda itu "membuka"

   Tubuh-nya, yaitu siap menerima dan sedikit pun tidak boleh melawan, kemudian dia meletakkan kedua tangan di atas ubun-ubun kepala yang gundul dan mengerahkan sin-kang dan bagaikan air bah membanjir memasuki tubuh Kun Liong. Pemuda gundul ini sampai roboh pingsan ketika pertama kali Keng Hong mengoperkan sin-kangnya. Kemudian sedikit demi sedikit dia dilatih mengemudikan hawa mujijat yang bergerak-gerak di dalam tubuhnya sampai dia dapat menguasainya dan mengurung hawa ini ke dalam pusarnya, membangkitkannya sewaktu-waktu. Juga dia dilatih cara bersamadhi untuk mengumpulkan hawa murni sebagai penambah kekuatan tenaga mujijat Thi--khi-i-beng di tubuhnya.

   Sampai dua pekan lamanya dia berlatih di dalam hutan, sedangkan Keng Hong juga bersamadhi terus menerus untuk mengisi kembali tenaga mujijat yang sebagian dia "operkan"

   Kepada Kun Liong. Dua pekan kemudian, dua orang itu melanjutkan perjalanannya. Kun Liong masih agak pening oleh pengaruh kekuatan mujijat yang dimilikinya, mukanya agak kemerahan, sedangkan Keng Hong kelihatan agak pucat.

   "Supek, mengapa kita pergi ke kota Ceng-to? Ada apakah di sana?"

   Di tengah perjalanan Kun Liong bertanya.

   "Kota Ceng-to berada di tepi Laut Timur, dan tempat itu kabarnya adalah menjadi tempat tinggal seorang di antara datuk-datuk kaum sesat vang menguasai bagian timur, yaitu Hek-bin Thian-sin Louw Ek Bu. Mengingat betapa Siauw--lim-si diganggu dua kali, pertama oleh orang Kwi-eng-pang dan kedua kalinya oleh putera Ban-tok Coa-ong, sangat boleh jadi kalau Lima Datuk kaum sesat yang tersohor itu sekarang mengadakan persekutuan. Hek-bin Thian-sin seorang di antara mereka, maka kiranya dia akan dapat memberi keterangan, karena tempatnya yang terdekat dari sini. Kedua kalinya, di Ceng-to terdapat banyak tokoh persilatan golongan putih maupun hitam, dan menjadi cabang besar dari Pek-lian-kauw, maka tepatlah kalau kita menyelidiki orang tuamu di sana. Di antara mereka agaknya tentu ada yang mendengar tentang ayah bundamu."

   Mendengar ucapan ini, giranglah hati Kun Liong dan ia makin kagum dan suka kepada supeknya. Tahulah dia bahwa supeknya adalah seorang yang budiman, gagah perkasa dan mulia. Pantas kalau ayah dan ibunya menjunjung tinggi supeknya ini! Di dalam perjalanan, berkali-kaii Keng Hong mengajak Kun Liong berlatih dan dia girang sekali ketika mendapat kenyataan bahwa pemuda itu telah dapat menguasai Thi-khi-i-beng, sungguhpun tenaga menyedot itu belum sekuat dia. Melihat bakat pemuda itu, banyak harapan kelak pemuda ini akan lebih kuat daripada dia sendiri! Apalagi pemuda itu telah memiliki ilmu-ilmu tinggi dan pilihan dari dua orang kakek sakti.

   "Kun Liong, apakah dahulu ayah bundamu tidak pernah bicara denganmu tentang perjodohan?"

   "Perjodohan siapa, Supek?"

   "Perjodohanmu, siapa lagi."

   "Ah, belum pernah, Supek."

   Muka Kun Liong menjadi merah sampai ke kulit kepalanya.

   "Jadi jelas bahwa engkau belum ditunangkan?"

   "Belum."

   "Dan engkau sendiri, apakah telah mempunyai pilihan seorang dara untuk kelak menjadi jodohmu?"

   Diberondong oleh pertanyaan-pertanyaan yang terus terang ini, Kun Liong menjadi gugup dan malu sekali.

   "Be... belum, Supek. Teecu sama sekali tidak memikirkan tentang jodoh."

   "Hemm, usiamu sudah dua puluh tahun, sudah waktunya memikirkan soal jodoh,"

   Kata Keng Hong dan pendekar ini tidak melanjutkan percakapan tentang jodoh itu sehingga membikin lega hati Kun Liong. Diam-diam pemuda yang cerdik ini menduga-duga. Mengapa supeknya bicara tentang jodoh? Dan menurut Giok Keng, dara itu pun belum ada jodohnya dan orang tuanya selalu mendesak dan membujuknya.

   Ah, agaknya ada udang di balik batu, pikirnya, ada maksud di balik pertanyaan-pertanyaan supeknya itu. Dia membayangkan wajah Giok Keng. Cantik jelita, manis dan menggairahkan. Teringat dia akan mulut yang berkali-kali bertemu dengan mulutnya ketika dia menolong Giok Keng. Betapa bibir yang lunak dan halus itu bertemu dengan bibirnya. Baru sekarang dia dapat membayangkan kenikmatan yang luar biasa mengingat pengalaman dahulu itu, padahal ketika dia melakukan hal itu, sama sekali dia tidak ingat apa-apa! Kini ter-bayanglah kesemuanya itu. Bahkan teringat akan hal-hal yang sekecil-kecilnya. Akan lidah kecil meruncing, ingat akan betapa giginya beradu dengan gigi Giok Keng dalam usahanya yang tergesa-gesa dan gugup waktu itu. Jantungnya berdebar, tubuhnya seperti kemasukan getaran panas. Nafsu birahinya terusik oleh kenangan dan bayangan ini.

   "Hemmm..."

   "Ada apa, Liong-ji?"

   Keng Hong menoleh. Kun Liong kaget sekali. Tak disadarinya, mulutnya mengeluarkan suara mengeram tadi!

   "Ohh... ah, tidak apa-apa, Supek."

   Tolol kau, dia memaki diri sendiri. Pikiranmu busuk, kotor! Akan tetapi kotorkah mengenangkan seorang dara jelita bagi seorang pemuda? Mengenangkan seorang dara memang tidak kotor, bantahnya sendiri, akan tetapi kalau sudah berlarut-larut memikirkan hal yang bukan-bukan, bisa berbahaya! Beberapa hari kemudian, tibalah mereka di jalan besar yang menuju ke kota Ceng-to di tepi lautan timur.

   Dari jauh sudah tampak perahu-perahu di tepi pantai, bukan hanya perahu nelayan, akan tetapi juga perahu-perahu besar yang aneh dan asing tampaknya. Kun Liong terpesona melihat laut. Belum pernah dia pergi ke pantai laut. Melihat dari tempat yang agak tinggi ke arah lautan bebas yang tiada bertepi itu, melihat gelombang ombak yang bergerak-gerak tiada hentinya, dia menahan napas saking kagumnya. Akan tetapi telah mereka tiba di pintu gerbang, Kun Liong merasa penasaran dan tidak senang. Pintu gerbang itu dijaga oleh perajurit-perajurit yang bersenjata tombak. Baru sekarang dia melihat keadaan seperti ini. Dan setiap orang yang memasuki kota itu diperiksa, ditanyai dan dicatatkan namanya di atas sehelai kertas! Ketika Keng Hong dan Kun Liong tiba di pintu gerbang, di situ sedang ada rombongan penari silat yang diperiksa, dan terjadi perselisihan kecil.

   
Petualang Asmara Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Kami sudah merantau dan mengadakan pertunjukan silat hampir di seluruh daerah, akan tetapi baru sekarang ini kami diperiksa dan dicurigai!"

   Pemimpin rombongan itu, seorang kakek berusia lima puluh tahun memprotes.

   "Tak perlu banyak cerewet! Di sini berkeliaran banyak mata-mata pemberontak dan orang jahat. Kalau kau tidak diperiksa, apakah kalian ini termasuk orang jahat atau pemberontak?"

   Bentak kepala penjaga. Biarpun sambil mengomel, rombongan penari silat yang terdiri dari tujuh orang itu diperiksa, dicatat nama-nama mereka, bahkan alat-alat permainan mereka diperiksa dan digeledah. Yang membuat Kun Liong penasaran adalah ketika dia melihat dua orang asing yang aneh pakaiannya, aneh pula keadaannya karena matanya biru, kulitnya pucat seperti mayat, rambutnya dipotong sampai di pundak dan ada yang kuning warna rambutnya, memasuki pintu gerbang tanpa diperiksa sama sekali!

   Keng Hong juga melihat hal ini, akan tetapi dia diam saja. Hanya diam-diam dia memperhatikan dua orang itu dan mendapat kenyataan bahwa dua orang itu sebangsa dengan orang asing lihai yang ditemuinya di Leng-kok, di rumah Ma-taijin, hanya mereka ini lebih muda. Benarlah dongeng orang bahwa kini banyak terdapat bangsa asing yang aneh itu, terutama di sepanjang pantai selatan dan timur. Tentu mereka datang dengan perahu-perahu besar itu. Karena mereka memasuki kota berbareng dengan rombongan penari silat, agaknya para penjaga mengira bahwa mereka berdua juga anggauta rombongan, maka setelah pihak penjaga dan pemimpin rombongan selesai berdebat, Keng Hong dan Kun Liong diperkenankan masuk tanpa banyak pemeriksaan. Juga karena sikap dan pakaian Keng Hong tidak mencolok seperti orang biasa,

   Sedangkan Kun Liong yang menarik perhatian karena kepala gundulnya mudah saja lolos, karena dia dianggap seorang badut di antara rombongan penari silat itu! Ternyata di dalam kota pelabuhan Ceng-to itu terdapat banyak orang asing bermata biru! Di sana-sini terdapat rombongan mereka tertawa-tawa dan bicara dalam bahasa yang bagi pendengaran Kun Liong aneh luar biasa. Agaknya iblis-iblis dan setan seperti itulah bicaranya! Mendesis-desis dan mengeluarkan suara tajam-tajam menusuk telinga, kadang-kadang nadanya naik turun seperti orang bernyanyi! Dia merasa geli dan ingin tertawa mendengar mereka itu bercakap-cakap riuh rendah sambil berjalan di tengah jalan, bersikap seolah-olah jalan itu jalan mereka sendiri dan semua orang yang berjalan di kanan kiri jalan itu mereka anggap seperti patung saja!

   

Pedang Kayu Harum Eps 42 Pedang Kayu Harum Eps 23 Pedang Kayu Harum Eps 16

Cari Blog Ini