Ceritasilat Novel Online

Petualang Asmara 2


Petualang Asmara Karya Kho Ping Hoo Bagian 2



Petualang Asmara (Seri ke 02 - Serial Pedang Kayu Harum)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 02
paling cepat setengah bulan dan tadinya aku tidak mempunyai harapan untuk menolong mereka. Akan tetapi, kalau engkau ada obat penawar selama sebulan, bagus sekali, isteriku!"

   "Inilah obatnya, sudah kusediakan sejak tadi. Berikan kepada mereka, dimasak dengan air lalu diminumkan, kemudian cepat-cepat berangkat ke Siauw-lim-si, tentu urusan ini akan dapat diatasi dengan baik."

   Yap Cong San memandang isterinya dengan wajah berseri dan penuh rasa sukur.

   "Engkau memang bijaksana sekali, isteriku."

   Dia hendak merangkul, akan tetapi isterinya melirik ke arah Kun Liong, tersenyum dengan kedua pipi kemerahan sambil meruncingkan mulut, persis seperti kebiasaan Kun Liong.

   "Husshhh...!"

   Suaminya teringat, mengurungkan niatnya dan Kun Liong berkata,

   "Ayah, aku ikut ke Siauw-lim-si!"

   "Wah, kau kira ayahmu pergi melancong ya? Keperluan ini penting sekali, bukan waktunya melancong."

   Melihat puteranya menunduk dan kecewa, Yan Cu berkata,

   "Kun Liong, ayahmu betul. Perjalanan ini amat jauh dan perlu cepat-cepat. Kelak kalau tidak ada sesuatu kepentingan, engkau akan kuajak melancong ke Telaga Barat yang indah!"

   Hiburan ini tidak meringankan hati Kun Liong yang berkata.

   "Ibu selalu membenarkan ayah!"

   Kemudian dia berlari ke luar. Suami isteri yang saling mencinta itu kini tidak malu-malu lagi untuk saling berpelukan dan berciuman mesra.

   "Dia tidak tahu betapa engkau mencintaku, tentu saja selalu membenarkan aku!"

   Yap Cong San berbisik sambil mengelus rambut kepala isterinya.

   "Ah, dan kau jangan terlalu keras kepadanya. Kasihan dia, tidak punya saudara""

   "Aihh, apakah engkau ingin sekali dia mempunyai adik?"

   Si suami menggoda, akan tetapi si isteri berkata sungguh-sungguh,

   "Siapa yang tidak ingin mempunyai seorang anak perempuan yang mungil sebagai adik Kun Liong?"

   "Mudah-mudahan Kwan Im Pouw-sat (Dewi Welas Asih) akan memberkahi kita dengan seorang anak perempuan. Kalau urusan ini sudah selesai, mari kita bersembahyang di Kuil Kwan Im Bio, kemudian kita menyewa perahu di telaga semalam suntuk kita berdua berpengantin baru di perahu, siapa tahu Kwan Im Pouwsat akan kebetulan bersenang hati memberi anugerah""

   "Husshhh, tak tahu malu! Sudah berapa umur kita, masih mau berpengantin baru! Kau lekas berangkatlah. Urusan antara kita baru akan terlaksana kalau urusan Ma-taijin sudah beres dan berhasil baik. Berangkatlah, dan hati-hatilah di jalan, suamiku. Sampaikan hormatku kepada para suhu di Siauw-lim-si, terutama sekali kepada locianpwe (orang tua gagah) Thian Kek Hwesio ketua Siauw-lim-pai."

   Thian Kek Hwesio adalah ketua Siauw-lim-pai yang baru, menggantikan kedudukan Tiang Pek Hosiang yang telah mengundurkan diri karena merasa bahwa dia telah melakukan perbuatan sesat di waktu mudanya sehingga dia tidak ingin mengotori nama Siauw-lim-pai (baca ceritaPedang Kayu Harum ). Yap Cong San dan isterinya amat menghormat dan menjunjung tinggi hwesio tua ini, bukan hanya karena Cong San bekas anak murid Siauw-lim-pai dan karena hwesio itu adalah ketua Siauw-lim-pai, akan tetapi terutama sekali karena hwesio itulah yang telah berjasa mengingatkan Cong San dengan nasihat-nasihat yang amat berharga ketika pendekar ini hampir mengalami keretakan rumah tangganya akibat cemburu sehingga dia sadar akan kekeliruannya.

   Hal itu telah dijelaskan oleh Cong San kepada isterinya sehingga Yan Cu juga merasa berhutang budi kepada hwesio tua yang dianggapnya telah memiliki jasa besar akan kebahagiaan rumah tangganya, berarti kebahagiaan hidupnya pula. (Baca ceritaPedang Kayu Harum). Berangkatlah Cong San pada hari itu juga menuju ke Kuil Siauw-lim-pai setelah dia mengobati tiga orang perwira dengan obat penawar buatan isterinya. Dengan menunggang kuda, dia dapat melakukan perjalanan cepat dan seperti yang dia harapkan Thian Kek Hwesio menyambut bekas sute (adik seperguruan) itu dengan ramah sekali dan segera memberikan obat yang dibutuhkan Cong San setelah mendengar penuturan bekas sutenya.

   "Yap-sicu, engkau telah bersikap benar sekali. Pinceng (aku) merasa berterima kasih bahwa sicu masih menjaga akan nama Siauw-lim-pai sehingga tidak melibatkan diri dalam pertentangan yang buruk itu."

   "Ahh, suheng mengapa berkata demikian? Ah, maaf, Losuhu (sebutan pendeta), teecu (murid) sampai lupa menyebutmu suheng (kakak seperguruan). Mengapa Losuhu bersikap sungkan? Sudah tentu sekali teecu menjaga nama Siauw-lim-pai, bukan hanya karena teecu adalah bekas anak muridnya, melainkan terutama sekali karena Siauw-lim-pai adalah sebuah perkumpulan besar dan mulia, tidak selayaknya kalau sampai terseret ke dalam pemberontakan Pek-lian-kauw."

   Setelah bermalam satu malam dan melewatkan waktu semalam unuk melepaskan rindu terhadap bekas saudara-saudara seperguruannya, dan mendengar bahwa sudah bertahun-tahun bekas gurunya, Tiang Pek Hosiang, tidak pernah keluar dari Ruang Kesadaran, pada keesokan harinya Cong San berpamit dan kembali secepatnya ke Leng-kok.

   Kun Liong duduk dengan tenang di dalam kamarnya, tekun membaca kitab kitab kuno (lama) yang bertumpuk di atas mejanya. Seperti sudah lajim di jaman itu, setiap orang pelajar sastra yang sesungguhnya mempelajari membaca dan menulis, diharuskan menghafal isi kitab-kitab lama. Kitab-kitab itu adalah kitab-kitab filsafat yang berat-berat dan sama sekali bukan "makanan"

   Otak seorang anak laki-laki berusia sepuluh tahun seperti Kun Liong! Bukan hanya kitab-kitab Su-si Ngo-keng, kitab yang, mengandung pelajaran Nabi Khong Cu, akan tetapi bahkan oleh ayahnya dia disuguhi kitab Agama Buddha dan kitab To Tik Khing dari Agama To!

   Karena sudah hampir hafal semua akan isi kitab-kitab itu, maka Kun Liong membalik-balik lembaran kitab itu dengan acuh tak acuh. Dia diharuskan berdiam di kamar karena ayah bundanya sedang sibuk membuatkan obat untuk tiga orang perwira yang keracunan. Obat Siauw-lim-si yang katanya dicampur dengan ramuan lain. Agar jangan mengganggu, maka dia diharuskan membaca kitab-kitab itu seorang diri di dalam kamarnya. Kun Liong merasa kesal hatinya karena bosan. Hampir saja dibantingnya kitab-kitab itu. Apa perlunya menghafal semua isi kitab lama itu? Apa perlunya mengasah otak mencari-cari dan menafsirkan makna dari segala kata-kata yang diucapkan dan dituliskan manusia jaman dahulu kala? Apa gunanya mengerti akan isi hati manusia kuno kalau tidak mengerti akan isi hati sendiri?

   "Apa gunanya?"

   Kun Liong mengeluh dan melemparkan kitab-kitab itu ke atas meja.

   "Apa gunanya kalau setelah orang hafal akan seribu satu macam ujar-ujar kebatinan namun tidak ada seorang pun melaksanakan sebuah pun dalam kehidupan sehari-hari?"

   Ucapan Kun Liong ini timbul dari lubuk hatinya karena hampir setiap hari ia menyaksikan kenyataan-kenyataan akan adanya pertentangan dan perlawanan antara isi ujar-ujar dari sikap serta perbuatan manusia. Biarpun ucapan ini keluar dari mulut seorang kanak-kanak yang mungkin bukan menjadi hasil pemikiran mendalam, namun membuat kita termenung.

   Memang sebenarnyalah, apa gunanya semua itu kalau kita melihat betapa semua pelajaran kebatinan dihafal orang sedunia semenjak kebudayaan berkembang? Ribuan tahun orang mengikuti dan menghafalnya, berlumba keras dan bagus ketika menyanyikan ujar-ujar kuno itu. Semua orang hafal akan ujar-ujar yang berbunyi bahwa "Di empat penjuru lautan, semua manusia adalah saudara,"

   Akan tetapi apa gunanya ujar-ujar yang hanya menjadi kata-kata hampa ini kalau sehari-hari tampak kenyataan hidup yang berlawanan? Dalam kenyataannya, yang dianggap "saudara"

   Hanyalah orang-orang yang menguntungkan kita, yang segolongan dengan kita, sealiran kepercayaan, seperkumpulan, sesuku, sebangsa dengan kita! Apa artinya menghafal ujar-ujar itu kalau kita melihat bahwa si pembesar dijilat, si hartawan dihormat, si pandai dipuji, sedangkan si kecil ditekan, si miskin dihina dan si bodoh dimaki?

   Makin banyaknya tentang pelajaran tentang kebaikan dan contoh-contoh manusia budiman, makin banyaklah timbul orang-orang munafik yang ingin disebut baik, ingin dirinya dianggap seperti manusia budiman. Kita selalu melupakan bahwa kebaikan bukanlah sesuatu yang dapat dipelajari! Melakukan kebaikan untuk mentaati pelajaran adalah kelakuan yang palsu, dipaksakan, dan berpamrih (mengandung keinginan tertentu demi diri pribadi), karenanya munafik! Kebaikan harus, keluar dari dalam hati, tanpa paksaan, tanpa kekhawatiran, tanpa keinginan di baliknya, tanpa pamrih, bahkan tanpi disadari bahwa kita berbuat baik! Dapatkah rasa kasihan dipelajari dan dilatih? Dapatkah kita mempelajari rasa haru? Dapatkah orang belajar mencinta? Kalau dipelajari maka palsulah itu!

   Kalau kita berbuat kebaikan agar dipuji, baikkah itu? Kalau kita berbuat kebaikan agar dibalas dengan bunganya, baikkah itu? Kalau kita berbuat kebaikan agar jangan dihukum, baikkah itu? Yang dua pertama dasarnya menginginkan sesuatu, yang terakhir dasarnya takut. Ketiganya palsu! Segala sesuatu, termasuk perbuatan, haruslah wajar dan aseli. Yang aseli dan wajar itu selalu benar dan indah. Kalau diperkosa, dirubah dengan paksa, maka akan timbul kepalsuan, pertentangan dan keburukan. Menginsyafi, dan menyadari akan keburukan diri sendiri berarti merintis jalan ke arah lenyapnya keburukan itu, dan hanya dengan tidak adanya keburukan maka keindahan tercipta. Perbuatan buruk timbul dari rasa sayang diri. Mengusahakan agar dirinya baik dengan jalan pengekangan, tapa brata, menyiksa diri, dan lain sebagainya takkan membawa hasil,

   Karena usaha ini pun merupakan kembang dari rasa sayang diri, jadi tiada bedanya dengan keburukan. Di mana-mana ada keburukan, di sana kebenaran, kebaikan atau keindahan takkan muncul. Yang terpenting adalah rnengenal diri pribadi, mengenal sifat-sifatnya, keburukan-keburukannya, cacat-cacatnya, menginsyafi, menyadari dengan kesungguhan bukan pura-pura, dan keburukan akan tiada! Kalau keburukan tiada, dengan sendirinya yang ada hanyalah kebenaran, dan keindahan. Kun Liong bersungut-sungut. Sudah dua hari ayah bundanya sibuk mempersiapkan obat untuk perwira yang terluka. Kenapa ayah ibunya demikian sibuk mengurus tiga orang perwira sehingga tidak mempedulikannya, bahkan beberapa kali menolak undangan orang-orang untuk memeriksa keluarga yang sakit?

   "Ayah dan lbu pilih kasih! Apakah karena yang memerintahkan Ma-taijin, seorang pembesar? Karena itu, undangan orang-orang kampung tidak dihiraukan? Apakah ayah dan ibu sudah menjadi orang-orang mata duitan? Ihhh... bodoh kau!"

   Ia menampar dahi sendiri, merasa betapa tidak baik jalan pikirannya terhadap ayah bundanya. Seekor anjing berbulu putih memasuki kamarnya. Wajah Kun Liong yang tadinya muram itu berseri. Anjing itu bagus sekali, tubuhnya kecil seperti kucing, bulunya tebal putih seperti kapas, ekornya pendek dan ujungnya mekar, sepasang matanya kuning bergerak-gerak dan mulutnya yang kecil mengeluarkan salak lucu.

   "Pek-pek (Si Putih) ke sinilah...!"

   Akan tetapi anjing kecil itu seperti menggodanya, mendekat akan tetapi kalau hendak ditangkap, meloncat dan lari menjauh. Beberapa kali Kun Liong berusaha menangkapnya, akan tetapi anjing itu gesit sekali dan selalu dapat mengelak dengan loncatan-loncatan lucu, melarikan diri ke kolong meja, bangku dan ranjang membuat Kun Liong payah mengejarnya dan kehabisan akal. Kalau anjing yang bertubuh kecil itu menyusup-nyusup ke bawah kolong, mana bisa dia mengejar dan menangkapnya?

   "Pek-pek, lihat ini kuberi roti!"

   Anjing itu mendengus-dengus, menggerak-gerakkan ekornya yang pendek dan segera menghampiri Kun Liong, menerima sepotong roti kering itu dengan mulutnya, lalu memakannya dengan ekor bergoyang tidak lari lagi ketika Kun Liong merangkulnya.

   "Kau memang nakal! Kalau tidak diberi hadiah tidak mau dekat!"

   Kun Liong berkata, lalu membelitkan kain tilam mejanya ke pinggang anjingi itu.

   "Nah, pergilah dan larilah sekarang kalau bisa!"

   Dia memegangi ujung kain dan tentu saja anjing kecil itu tidak bisa lari lagi. Akan tetapi dia pun agaknya sudah tidak ingin lari lagi setelah diberi roti, mengeluarkan bunyi ngak-nguk minta lagi karena sepotong tadi sudah habis.

   Karena merasa kesepian dan bosan, timbul kenakalan Kun Liong untuk mempermainkan anjing peliharaan keluarga itu. Sisa rotinya dia berikan semua kepada Si Putih dan dia lalu mengambil kaleng-kaleng kosong dan sebuah kelenengan diikatkan pada ekor dan leher anjingnya. Setelah anjing itu menghabiskan semua sisa roti, Kun Liong mengajaknya bermain-main. Dia lari ke sana-sini sambil memanggil-manggil. Anjing itu mengeiarnya dan tentu saja kaleng-kaleng kosong dan kelenengan yang bergantungan di eker dan lehernya mengeluarkan bunyi gaduh. Kun Liong tertawa dan anjing itu menjadi bingung dan ketakutan. Agaknya dia mengira bahwa ada sesuatu mengejarnya dari belakang, sesuatu yang menakutkan karena mengeluarkan suara gaduh.

   Beberapa kali dia menoleh dan berusaha menggigit ekornya yang diganduli kaleng-kaleng kosong, akan tetapi gerakannya membuat kaleng-kaleng itu terseret dan mengeluarkan suara sehingga anjing itu terkejut dan melompat ke depan. Tentu saja setiap lompatannya membuat kaleng-kaleng itu terbanting dan makin gaduh suaranya. Dengan ketakutan anjing itu meloncat dan berlari, keluar dari kamar Kun Liong diikuti suara ketawa anak itu yang segera mengejar. Makin kencang lari anjing itu, makin keras pula suara kelenengan dan kaleng-kaleng yang ikut terseret itu, dan makin takutlah binatang itu yang mengeluarkan suara "ngak-nguk"

   Dan berlari menabrak sana-sini. Mula-mula Kun Liong merasa gembira sekali, mengejar sambil tertawa-tawa, akan tetapi ketika dia melihat anjing itu memasuki kamar obat di ruangan belakang, dia terkejut.

   "Heiii! Pek-pek... tidak boleh ke situ...! Hayo keluar kau...!"

   Dia mengejar ke dalam kamar yang pintunya terbuka, siap menerima omelan ayahnya yang tentu akan marah-marah. Akan tetapi kamar itu kosong, agaknya ayah bundanya sedang beristirahat di ruangan depan setelah dua hari sibuk di dalam kamar obat itu.

   "Pek-pek... mari sini"!!"

   "Pranggg"

   Prakk...!"

   Anjing itu meloncat ke atas meja, menabrak dua buah guci yang terletak di atas meja sehingga dua buah guci itu jatuh dan pecah, isinya tumpah.

   "Aduh, celaka"!"

   Kun Liong berseru dengan mata terbelalak dan muka berubah pucat.

   "Haiii, suara apa itu...?"

   Mendenear seruan suara ayahnya, Kun Liong cepat menyelinap dan bersembunyi di belakang gulungan tirai. Yap Cong San berlari masuk dari kamar yang menembus ruangan tengah.

   "Wah... sungguh celaka... obatnya tumpah semua...!"

   Pendekar itu cepat mengambil dua buah guci dan dengan hati-hati dan menampung isinya yang tinggal sedikit. Sedangkan Pek-pek sudah keluar dari kamar itu melalui jendela. Setelah menaruh obat yang tinggal sedikit itu ke dalam guci lain, Cong San lalu menjenguk ke luar jendela.

   "Hemmm... Pek-cu yang menumpahkannya. Dia ketakutan diganduli kaleng kosong dan kelenengan. Haiii"

   Kun Liong""

   Dia memanggil dan meloncat keluar dari jendela untuk menangkap Pek-pek. Kun Liong menggigil. Tak mungkin dia menyangkal lagi. Tentu ayahnya mengerti siapa yang menjadi biang keladi tumpahnya obat itu dan tentu sekali ini ayahnya tidak hanya mengomel saja, melainkan telapak tangan ayahnya akan ikut pula beraksi. Entah telinganya atau pantatnya, yang jelas dia akan menjadi korban hukuman, bahkan sekali ini ibunya pun akan marah kepadanya! Ngeri menghadapi semua itu, terutama sekali menghadapi kemarahan ibunya yang tentu akan menyakitkan hatinya, Kun Liong berindap-indap keluar dari kamar obat, melalui pintu samping dan melarikan diri keluar dari rumah, terus berlari ke luar kota dan memasuki hutan!

   Selama dua hari dua malam Kun Liong melarikan diri, hanya berhenti kalau sudah tidak kuat lagi kakinya berlari. Dia melarikan diri dengan tergesa-gesa, dibayangi rasa takut kalau-kalau ayahnya melakukan pengejaran. Karena sekali ini dia melakukan perjalanan dibayangi rasa takut, maka jauh bedanya dengan perjalanannya masuk keluar hutan di waktu dia pergi mencari bambu kuning dahulu. Kini dia tidak lagi dapat menikmati segala keindahan yang terbentang di hadapannya. Perutnya hanya diisi kalau sudah tak dapat menahan lapar, diisi apa saja yang dapat ditemukan dalam hutan. Buah-buah, daun-daun muda, akar-akaran dan kadang-kadang kalau dia berhasil menangkap kelinci dengan sambitan batu, dapat juga dia makan daging kelinci. Untung baginya bahwa pada waktu itu pemerintah dikendalikan oleh tangan Kaisar Yung Lo yang amat keras. Kaisar ini berusaha memperbaiki keadaan negara dan rakyat, dengan memberantas kejahatan,

   Membasmi perampok-perampok sehingga pada waktu itu tidak ada perampok yang berani muncul. Kalau tidak demikian keadaannya, sudah pasti sebelum lewat sehari menjelajahi hutan-hutan itu, Kun Liong akan bertemu dengan perampok. Harus diakui bahwa Kaisar Yung Lo yang berhasil merebut kedudukan Kaisar dari tangan keponakannya sendiri, yaitu Kaisar Hui Ti, telah melakukan banyak usaha keras untuk mendatangkan kemakmuran bagi rakyatnya. Pertama-tama, untuk menghindarkan pemerintah yang dipimpinnya dari pengaruh para pembesar korup sebagai sisa kaki tangan pemerintah yang lalu, ibu kota yang tadinya berada di Nan-king dipindahkannya ke Peking. Di kota itu oleh Kaisar Yung Lo didirikan bangunan-bangunan yang luar biasa besar dan indahnya, yang gilang-gemilang sehingga menurut sejarah tidak ada taranya di jaman itu.

   Selain pembangunan yang mengandung seni bangunan megah itu dia pun menyuruh susun, perbaiki dan perkuat bangunan Tembok Besar di sebelah utara. Tembok besar ini dimulai pembangunannya dalam abad ke dua sebelum tarikh Masehi oleh Kaisar Chin She dari Kerajaan Cin yang kemudian mengalami perbaikan-perbaikan selama sejarah berkembang. Maksud pertama dari pembangunan Tembok Besar ini adalah untuk mencegah serbuan-serbuan bangsa asing dari utara yang sejak dahulu merupakan ancaman. Selain memerintah untuk memperbaiki dan memperkuat Tembok Besar, yang panjangnya lebih dari tiga ribu lima ratus kilometer itu, juga Kaisar Yung Lo melanjutkan pekerjaan besar membuat Terusan Besar yang dimulai penggaliannya oleh para kaisar Mongol di jaman Kerajaan Goan-tiauw yang lalu.

   Terusan ini menghubungkan Sungai Yang-ce dan Sungai Huang-ho, terus ke utara sampai dekat kota raja Peking. Tentu saja untuk pembangunan-pembangunan hebat itu dibutuhkan banyak sekali biaya-biaya dan tenaga manusia, namun dengan kekerasan, pekerjaan raksasa itu dapat juga diteruskan. Bukan pembangunan-pembangunan saja yang diusahakan kemajuannya oleh Kaisar Yung Lo, akan tetapi juga perdagangan dengan luar negeri. Untuk keperluan ini, perlu dicari hubungan dengan negara-negara baru di luar lautan dan dia memerintahkan kepada seorang laksamana yang amat terkenal sakti dan pandai, yaitu The Hoo. Pada tahun 1405 mulailah The Hoo dengan pelayarannya yang terkenal, dengan armada yang kuat dan didampingi pembantu-pembantu yang sakti Ma Huan,

   Tokoh Islam yang amat pandai dan sakti, Tio Hok Gwan, pengawal pribadinya yang lihai bukan main, dan masih banyak lagi jago-jago silat yang ahli. Armada ini menjelajah sampai ke Indocina, Sumatera, Jawa, India, Sailan dan sampai ke pantai Arab! Tentu saja tidak semua usaha Kaisar ini berhasil, bahkan usahanya memperkembangkan kebudayaan dan kesusastraan menimbulkan banyak kesempatan untuk korupsi. Akan tetapi harus diakui bahwa banyak pula hasilnya, di antaranya Tembok Besar dan juga Terusan Besar yang selesai dalam waktu sepuluh tahun, dan bangunan-bangunan lain di samping hubungan dengan negara-negara asing baru di sebelah selatan. Keamanan perjalanan Kun Liong melalui hutan-hutan pun merupakan hasil dari usaha pemerintah menekan kejahatan.

   Apakah lenyapnya para perampok dan maling itu benar-benar dapat dianggap sebagai hasil baik? Sukar untuk dikatakan dengan pasti, karena lenyapnya kejahatan-kejahatan kasar itu terganti korupsi yang merajalela di kota. Apakah bedanya itu? Hanya cara yang kasar diganti oleh cara yang halus! Semua perbuatan itu, baik yang kasar maupun yang halus, terdorong oleh rasa takut. Takut kehilangan sesuatu yang menyenangkan, dan takut akan mendapatkan sesuatu yang tidak menyenangkan. Pada hari ke tiga Kun Liong keluar dari hutan terakhir, menuruni lembah gunung dan tiba di luar sebuah dusun. Perutnya terasa lapar sekali dan timbul harapannya di dalam dusun itu. Akan tetapi ketika melihat dua orang anak laki-laki pengemis berkelahi memperebutkan sepotong roti kering yang kotor, Kun Liong berhenti dan cepat melerai.

   "Eh, eh, kenapa berkelahi hanya untuk sepotong roti kering yang kotor?"

   Dia mencela. Dua orang anak laki-laki berpakaian kotor dan lapuk itu berhenti berkelahi ketika tiba-tiba roti itu sudah terampas oteh Kun Liong. Mereka itu sebaya dengan Kun Liong, pakaian dan sepatu mereka sudah koyak-koyak. Yang seorang berkepala gundul sedangkan yang ke dua amat kurus dan pucat. Kini keduanya menghadapi Kun Liong dengan mata melotot marah.

   "Kembalikan rotiku!"

   Si Gundul berteriak.

   "Tidak, itu rotiku, hasilku mengemis di dusun, dia mau merampasnya!"

   Teriak Si Kurus.

   "Dia mendapatkan dua potong, sudah makan sepotong, sepantasnya yang sepotong itu diberikan kepadaku!"

   Si Gundul membantah.

   "Perutku masih lapar!"

   Kun Liong memandang roti di tangannya. Hanya roti kering yang sudah tengik sebesar kepalan tangannya dan sudah kotor pula. Roti begini diperebutkan. Tadinya ia ingitn membuang roti itu, akan tetapi mendengar keluhan mereka bahwa mereka lapar sekali dan sejak kemarin belum makan dia merasa kasihan sekali.

   "Dia mau merampas sendiri rotinya!"

   Si Kurus berseru.

   "Kurang ajar. Hayo pukul anak ini!"

   Teriak Si Gundul dan mereka berdua yang tadinya berkelahi memperebutkan roti kering, kini maju mengerojok Kun Liong dengan nekat! Kun Liong adalah anak suami isteri pendekar, sejak kecil sudah menerima gemblengan ilmu silat, maka dengan mudah dia mengelak dan dua kali kakinya bergerak, membabat kaki mereka dan robohkan dua orang anak itu. Mereka mengaduh, akan tetapi bangkit lagi dan makin marah.

   "Sabarlah, siapa yang ingin merampas roti tengik ini? Aku hanya melerai, dan agar kalian berdua tidak berkelani. Roti sekecil ini tidak akan mengenyangkan perut, perlu apa diributkan dan dijadikan sebab perkelahian antara teman sendiri? Nah, kubagi dua. Makanlah dan tak perlu berkelahi!"

   Kun Liong membagi roti menjadi dua potong dan memberikan kepada mereka, seorang sepotong. Mereka memandang dengan mata terbuka lebar, akan tetapi menerima potongan roti itu dan memakannya dengan lahap. Tentu saja sekali telan sepotong kecil roti itu lenyap ke dalam perutnya yang kosong.

   "Kau siapa?"

   Tanya Si Gundul dengan mulut bergerak-gerak, agaknya masih terasa sedapnya roti tadi dan masih ingin lagi.

   "Kau tentu bukan anak sini, dan bukan jembel,"

   Kata Si Kurus, memandang Kun Liong dengan sepasang matanya yang lebar. Anak ini begitu kurusnya sehingga matanya kelihatan besar sekali.

   "Aku seorang pelancong,"

   Kata Kun Liong yang enggan memperkenalkan diri karena kalau dia memperkenalkan namanya, tentu akan mudah bagi ayahnya untuk mencarinya.

   "Akan tetapi aku pun lapar sekali, mungkin lebih lapar daripada kalian."

   Dua orang anak yang tadi berkelahi itu saling pandang.

   "Kalau begitu, kenapa kau tidak makan roti tadi? Engkau sudah dapat merampasnya dari kami."

   "Uhhh, siapa sudi makan roti rampasan? Lebih baik mati kelaparan!"

   Kun Liong berkata cepat. Akan tetapi dua orang anak itu tentu saja tidak pernah mendengar tentang kebijaksanaan seperti itu.

   "Bodoh sekali! Kenapa lebih baik mati kelaparan?"

   Si Kurus bertanya.

   "Perut lapar sungguh amat menyiksa, seperti sekarang ini,"

   Si Gundul juga berkata sebagai tanggapan yang menentang pendapat Kun Liong tadi.

   "Kalau yang dirampas itu kelebihan makanan, masih tidak mengapa. Akan tetapi merampas roti dari orang yang kelaparan juga, benar-benar amat rendah dan hina! Di antara teman senasib seharusnya tolong-menolong, kalau mendapat rejeki seharusnya saling memberi dan membagi."

   Kembali dua orang anak itu saling pandang, agaknya mereka dapat membenarkan pendapat ini dan keduanya mengangguk-angguk.

   "Lapar benarkan engkau?"

   Si Kurus bertanya, memandang Kun Liong dengan iba karena dia sudah terlalu sering merasakan betapa perih dan nyerinya perut kalau lapar.

   "Tentu saja aku lapar, sejak kemarin hanya mendapatkan daun-daun muda di dalam hutan itu, sedikit pun tidak ada buahnya, dan seekor pun tidak ku melihat binatang di dalam hutan itu. Sialan benar!"

   "Kalau begitu, mari kita mengemis makanan di dusun. Agaknya engkau tidak biasa kelaparan, bisa jatuh sakit. Kalau perut kami sudah kebal""

   Kata si Gundul. Kun Liong mengangkat hidungnya dan meruncingkan mulutnya.

   "Uhhh, tidak sudi aku mengemis! Mengemis tanda malas!"

   "Malas"?"

   Hampir berbareng dua orang anak itu bertanya.

   "Ya, malas. Dan kalian ini malas sekali. Untuk mengisi perut, harus dicari, bukan cukup dengan minta-minta saja."

   "Bagaimana mencarinya?"

   Mereka bertanya lagi.

   "Bodohnya! Mencari, bekerja membantu orang lain dengan upah pembeli nasi."

   "Kalau tidak ada yang suka mempekerjakan kami?"

   "Mencari sendiri, mengumpulkan kayu kering untuk dijual, menangkap binatang hutan. Eh, benar-benar kalian bodoh."

   "Bagaimana caranya menangkap binatang hutan? Mengejar seekor kelinci pun amat sukar dan tak mungkin bisa ditangkap."

   Kata Si Kurus. Wajah Kun Liong bersinar mendengar kata-kata "kelinci".

   "Di mana ada kelinci? Tahukah kalian daerah yang banyak binatangnya? Hayo kuperlihatkan kalian bagaimana menangkapnya dan kita makan daging kelinci panggang! Atau kijang, atau apa saja yang ada."

   
Petualang Asmara Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Binatang di hutan-hutan sudah habis diburu orang-orang dewasa. Yang kulihat hanya tinggal ular-ular saja di hutan sebelah timur itu,"

   Kata Si Gundul.

   "Ular? Daging ular pun enak sekali!"

   Kata Kun Liong gembira.

   "Hah?"

   Kedua orang anak itu terbelalak, akan tetapi Kun Liong sudah menyambar tangan mereka, diajak lari sambil berkata.

   "Hayo tunjukkan aku di mana ada ular!"

   Tiga orang anak laki-laki itu berlarian memasuki sebuah hutan yang pohonnya jarang. Tak lama kemudian mereka melihat seekor ular yang kulitnya berwarna hijau, membelit dahan pohon yang rendah. Melihat ular ini, Kun Liong menjadi girang sekali.

   "Wah ular itu beracun dan dagingnya enak sekali, hangat di perut dan rasanya gurih manis kalau dipanggang!"

   Dua orang temannya terbelalak dan tidak berani maju mendekat ketika mendengar bahwa ular itu beracun. Kun Liong mangambil sebatang ranting, memegangnya dengan tangan kiri, menghampiri ular itu dan menggunakan rantingnya untuk mengusirnya. Ular itu mendesis marah, apalagi ketika perutnya disogok-sogok oleh ranting dan tiba-tiba kepalanya bergerak meluncur dan menggigit ranting yang dipegang tangan kiri Kun Liong. Anak ini cepat menggerakkan tangan kanan, menyambar ke arah kepala ular dan menangkap lehernya, mencengkeram dengan cara ahli sehingga ular itu tidak mampu melepaskan diri. Tubuh ular itu berkelojotan menggeliat dan mulai membelit lengan Kun Liong, akan tetapi jari-jari tangan kiri Kun Liong sudah mengetuk tengkuk ular itu beberapa kali dan tiba-tiba ular itu menjadi lemas tak berdaya sama sekali.

   "Nah, sudah jinak. Ada yang membawa pisau?"

   "Aku mempunyai pisau kecil,"

   Si Gundul berkata, mengeluarkan sebatang pisau kecil dari saku bajunya yang rombeng.

   "Lekas kuliti dia. Aku mau mencari beberapa ekor lagi."

   "Ihhh, aku... aku tidak berani!"

   Si Gundul berkata.

   "Aku takut digigit,"

   Si Kurus menyambung.

   "Bodoh. Dia sudah tidak dapat menggigit lagi. Penggal lehernya di belakang warna hitam itu. Racunnya berkumpul di sana dan dari tempat itu ke bawah tidak ada racunnya. Buka kulitnya bagian perut ke belakang, kemudian tarik ekornya, tentu kulitnya terlepas."

   "Kau saja yang mengulitinya,"

   Kata Si Gundul ragu-ragu.

   "Dan kau yang mencari ular lain?"

   "Aih, siapa berani? Seekor ini pun cukuplah, untuk kau sendiri."

   "Dalam keadaan kelaparan seperti ini, tiga ekor pun akan habis olehku sendiri, belum untuk kalian berdua!"

   Kata Kun Liong.

   "Lekas kerjakan, aku akan pergi mencari lagi."

   Dia lalu pergi memasuki semak-semak belukar, meninggalkan dua orang anak jembel yang masih saling pandang itu. Ketika Kun Liong kembali ke tempat itu dan membawa empat ekor ular lagi, ada yang hijau seperti ular pertama, ada yang hitam, ada yang belang dan kemerahan, kesemuanya masih, hidup akan tetapi sudah lemas seperti ular pertama. Dua orang anak itu terbelalak keheranan dan juga penuh kagum. Mereka sendiri dengan penuh rasa takut memaksakan diri dan akhirnya setelah dengan susah payah berhasil. juga menguliti ular pertama. Melihat betapa daging ular banyak yang terpotong, Kun Lion menjadi tidak sabar, minta pisau itu dan menguliti ular-ular itu dengan cepat dan mudah.

   Mula-mula dipenggalkan leher ular, kemudian kulit di bagian leher dibuka sedikit, dengan pisau dia menusuk daging setelah menyingkap kulitnya bagian leher, terus menancapkan ujung pisau pada batang pohon sehigga tubuh ular tergantung. Setelah itu, dia "melepaskan"

   Kulit ular itu dari tubuh ular, seperti orang melepas kaos kaki dari kakinya saja! Sibuklah dua orang anak jembel itu membuat api dengan batu api. Biarpun mereka tadi merasa jijik melihat ular-ular itu, setelah dikuliti dan tampak dagingnya yang putih bersih, melihat pula cara Kun Liong menguliti ular demikian mudah dan biasa, timbul keinginan tahu mereka untuk mencicipi daging ular panggang. Setelah daging ular masak dan dua orang anak itu mencoba mencicipinya, mereka tercengang dan menjadi girang sekali, menyerbu daging ular dengan lahapnya, terutama sekali Si Gundul.

   "Wah, benar gurih dan manis!"

   Serunya girang.

   "Lezat sekali, belum pernah aku makan daging seenak ini!"

   Kata Si Kurus. Diam-diam hati Kun Liong merasa terharu menyaksikan dua orang anak itu. Semuda dan sekecil itu sudah harus mengalami hidup kelaparan dan menderita sengsara!

   "Mengapa kalian menjadi pengemis? Orang tua kalian di mana?"

   "Orang tua kami sudah mati semua, menjadi korban ketika terjadi perang, ketika pemerintah melakukan pembersihan dan membasmi penjahat-penjahat,"

   Jawab Si Kurus.

   "Eh, apakah orang tua kalian penjahat?"

   Si Gundul menggeleng kepalanya.

   "Sama sekali bukan. Aku dan dia tetangga di sebuah dusun di seberang, di balik gunung itu. Ketika terjadi perang antara gerombolan perampok melawan pemerintah, kami menjadi korban. Tidak membantu perampok dan menyembunyikan mereka, kami dibunuh perampok. Membantu perampok kami dibunuh tentara pemerintah. Orang tua kami dicurigai karena ada perampok yang bersembunyi di rumah kami, maka mereka dibunuh semua. Kami yang masih kecil tidak dibunuhnya, dibiarkan hidup."

   Hemm, dibiarkan hidup untuk menjadi pengemis yang terlantar, pikir Kun Liong dan hatinya yang pada dasarnya memang tidak suka akan kekerasan itu kini makin membenci perang dan pertempuran!

   "Mari, kalian kuajari cara menangkap ular agar kalian dapat mencari penghasilan. Ular-ular berbisa itu kalau kalian bawa ke kota dalam keadaan hidup dan menjualnya kepada rumah makan, tentu akan menghasilkan uang lumayan. Juga rumah-rumah obat membutuhkan racunnya untuk obat."

   Dua orang anak itu girang sekali. Sehari itu Kun Liong menghabiskan waktunya di dalam hutan yang banyak ularnya untuk mengajari dua orang teman barunya cara menangkap ular.

   Karena kedua orang anak itu belum cekatan dan masih kurang berani, maka dia mengajarinya untuk pertama-tama sebelum mereka tangkas menggunakan tangan, menangkap ular dengan kayu yang ujungnya bercabang, menjepit leher ular dengan kayu bercabang itu. Dia memberi tahu akan obat daun-daun dan akar-akar yang harus diminum airnya dan digosok-gosokkan kepada kedua lengan agar dapat kebal terhadap gigitan ular berbisa yang biasa. Akhirnya, dengan bantuan kayu yang ujungnya bercabang, kedua orang anak itu berhasil juga menangkap masing-masing seekor ular hijau, dan atas petunjuk Kun Liong mereka berhasil pyla "melumpuhkan"

   Ular dengan menekan dan mengetuk tengkuk ular itu. Bukan main senangnya hati mereka. Mereka tidak takut kelaparan lagi, biarpun kalau terpaksa setiap hari makan daging ular!

   "Kalau makan daging ular terus-menerus kalian bisa celaka, bisa sakit."

   Kata Kun Liong.

   "Daging ular mengandung obat dan panas, boleh dimakan sekali waktu, bukan menjadi makanan utama seperti ayam hutan saja?"

   "Mengapa ayam hutan?"

   "Ayam hutan paling suka makan ular dan kelabang!"

   Jawah Kun Liong.

   "Malam ini kau tidur di mana?"

   Tanya Si Gundul sambil mempermainkan ularnya yang sudah lumpuh.

   "Entah, apakah bisa bermalam di rumahmu?"

   "Wah, dia mana punya rumah!"

   Kata Si Kurus.

   "Orang-orang seperti kami ini, boleh tidur di emper orang saja sudah untung, kadang-kadang diusir dan ditendang bersama makian."

   "Eh, kita nonton saja, ayoh! Di dusun ada keramaian, ada pesta. Siapa tahu kita kebagian rezeki sisa masakan-masakan yang enak!"

   Kata Si Gundul.

   "Ihhh! Dasar kau ini tulang jembel!"

   Kun Liong mencela.

   "Sudah diajari bekerja menangkap ular masih mengharapkan sisa makanan orang!"

   Ditegur demikian, Si Gundul menunduk, tidak berani melawan karena dia sudah menganggap Kun Liong sebagai "gurunya", guru menangkap ular. Si Kurus membela temannya.

   "Dia tidak bisa disalahkan, karena selama ini, dari manakah kami dapat makan kalau bukan dari sisa orang? Pula, kalau ada pesta, banyak sekali masakan yang tidak habis dimakan, biasanya pelayan-pelayan yang baik hati suka membagi sedikit sisa-sisa makanan kepada kami."

   "Hemm, kalau ada pesta mengapa kita tidak masuk saja dan ikut berpesta?"

   Tiba-tiba Kun Liong berkata karena hatinya sudah merasa penasaran sekali mengapa ada orang berpesta pora sedangkan di sini ada anak-anak yang kelaparan!

   "Wah, mana boleh masuk? Kita akan dipukul!"

   Kata Si Kurus. Dua orang anak itu kini percaya sepenuhnya kepada Kun Liong yang dianggapnya anak dari "kota"

   Dan amat pandai.

   Otomatis mereka menganggap Kun Liong sebagai pemimpin mereka, maka dengan gembira mereka pun lari di belakang Kun Liong sambil memegang ular masing-masing. Si Kurus dan Si Gundul masing-masing telah menangkap seekor ular, adapun Kun Liong sendiri membawa dua ekor ular yang cukup besar dan menyeramkan, seekor berkulit hitam bermata merah, yang seekor lagi adalah ular belang yang terkenal jahat racunnya. Benar saja, di sebelah dusun tak jauh dari situ, tampak kesibukan yang menggembirakan di runah kepala dusun. Hari telah mulai gelap ketika tiga orang anak itu tiba di depan rumah kepala daerah dan mereka menonton dari luar. Rumah itu penuh tamu yang memakai pakaian serba baru dan suasana amat gembira dengan senda-gurau mereka. Tuan rumah nampak menyambut tamu-tamunya sambil mengelus jenggotnya yang panjang.

   Pesta ini adalah pesta ulang tahunnya yang ke lima puluh dan biarpun kelihatannya pesta itu meriah, banyak tamu dan dengan sendirinya banyak hidangan yang dikeluarkan, namun sesungguhnya kepala dusun ini sama sekali tidak menderita rugi karenanya. Besarnya sumbangan yang masuk dari mereka yang menyumbang karena ingin menjilat, sebagian besar yang kurang mampu, menyumbang karena takut dianggap kurang menghormat, jumlahnya lima kali lipat lebih besar daripada jumlah pengeluaran untuk pesta itu. Tentu saja dia merasa gembira sekali. Pertama, wibawa dan kehormatannya sekaligus terangkat naik dengan adanya pesta itu, ke dua dia sekeluarga merasa gembira sekali dan bangga karena dapat mengadakan pesta besar-besaran ketiga keuntungan yang masuk sekali ini melampaui penghasilannya selama beberapa bulan!

   "Wah, berbahaya ini""

   Si Gundul berbisik.

   "Yang berpesta adalah kepala dusun, mari kita menyingkir sebelum ditendang oleh para pengawal."

   Kun Liong melihat bahwa di bagian depan berjajar belasan orang tinggi besar yang sikapnya seperti anjing-anjing penjaga yang siap menggonggong dan menggigit, maka rasa penasaran di hatinya pun meningkat.

   "Mereka belum mulai makan, hidangan belum dikeluarkan, baru minuman. Mari menyelinap dan ke belakang saja,"

   Kata Kun Liong.

   "Eh, ke belakang mau apa?"

   Si Kurus berbisik.

   "Ke dapur. Cepat sebelum masakan dihidangkan!"

   Tiga orang anak itu menyelinap ke kegelapan malam terlindung bayangan-bayangan pohon, menuju ke belakang, ke dapur rumah besar itu di mana terdapat kesibukan-kesibukan yang tidak segembira di bagian depan. Para koki dan pelayan sibuk mempersiapkan hidangan yang beraneka macam, siap untuk segera menghidangkan ke luar apabila ada perintah dan tanda dari depan. Yang paling sibuk adalah koki gendut yang menjadi koki kepala. Karena gemuknya dan keadaan hawa di dapur itu panas oleh api, ditambah lagi dia harus mondar-mandir ke sana-sini untuk memeriksa pekerjaan para pembantunya, maka mukanya yang gemuk itu basah oleh peluh, bahkan pakaiannya juga basah. Dengan wajah bersungut-sungut karena tegang dan repot, dia menghapus peluh berkali-kali dari muka dan leher, menggunakan sehelai kain putih yang tergantung di depan dada dan perutnya.

   "Hah! Mau apa kalian berkeliaran di sini?"

   Tiba-tiba koki gendut itu membentak ketika dia berdiri di pintu dapur untuk mencari angin dan hawa sejuk, agar panas yang menyiksa itu berkurang, dan melihat Kun Liong dan dua orang temannya, Si Kurus dan Si Gendut sudah ketakutan dan menggigil, tidak berani bergerak. Akan tetapi Kun Liong yang menyembunyikan kedua ekor ular di tangannya itu ke belakang tubuh, membungkuk dan berkata,

   "Lopek (Paman Tua) yang baik, kami adalah tiga orang anak yang menderita lapar. Melihat banyaknya masakan yang tentu akan berlebihan, berlakulah baik kepada kami dan berikan sedikit masakan-masakan itu."

   Sepasang mata yang kecil sipit, hampir tak tampak karena mukanya yang gemuk, makin menyipit dalam usahanya memperlebar, dan sejenak mulut yang juga terlalu kecil bagi muka selebar itu, ternganga tak dapat menjawab. Selamanya belum pernah koki gendut ini melihat kekurangajaran seperti ini, juga belum pernah mendengar ucapan pengemis serapi itu. Kalau anak jembel minta sisa makanan yang sudah tidak terpakai lagi, hal itu adalah lumrah dan sudah biasa dia memberikan sisa makanan yang sudah hampir bau kepada anjing-anjing atau jembel-jembel kelaparan. Akan tetapi anak ini, dengan gaya bahasanya yang sopan seperti seorang bangsawan saja layaknya, minta "sedikit makanan"

   Yang masih segar, masih mengepul panas dan belum dihidangkan kepada para tamu. Mana ada aturan macam ini?

   "Keparat cilik! Jembel busuk. Pergi kalian! Kalau tidak kusiram kalian dengan air mendidih!"

   Teriaknya. Peistiwa ini menambah panas tubuhnya yang sudah berpeluh karena dia merasa terganggu dan jengkel, bahkan merasa dipermainkan oleh anak kecil.

   "Babi gendut yang pelit!"

   Tiba-tiba Si Gundul memaki dari tempat yang gelap.

   "Apa? Bocab gembel ingin mampus"!"

   Koki itu marah dan mengulur tangan hendak menangkap, akan tetapi Kun Liong dan dua orang temannya sudah lari menyelinap ke dalam gelap dan lenyap. Makin penasaran dan mendongkol hati Kun Liong apalagi ketika ditegur oleh Si Kurus,

   "Apa kata kami tadi? Percuma saja, untung kita belum sampai disiram air panas atau dipukuli mereka."

   "Sudah, lebih baik kita menanti sampai pesta bubar dan minta sisanya, tentu berlimpah-limpah dan banyak yang dibuang,"

   Kata Si Gundul.

   "Tentu masih ada beberapa butir bakso, beberapa potong tulang berdaging dan beberapa helai bakmi."

   Ingin Kun Liong menampar muka Si Gundul itu kalau tidak ingat bahwa memang kedua orang anak ini adalah pengemis-pengemis yang sejak kecil secara terpaksa harus puas dengan makanan sisa, maka dia menahan kemendongkolan hatinya. Akan tetapi dia makin penasaran kepada penghuni rumah dan para tamu-tamunya yang berpesta pora, sama sekali tidak mempedulikan orang-orang yang kelaparan di luar rumah itu.

   "Dengar baik-baik, kita kacaukan dapur itu. Dari jendela di sana itu, dari kanan kiri, kita lemparkan ular-ular ini ke dalam. Tentu mereka akan lari dan pada saat itu, kalian masuk dan mengambil sepanci masakan yang paling enak, bawa lari ke luar. Aku akan melempar ular dari jendela kiri, Si Gundul dari jendela kanan, dan engkau yang bertugas menyambar masakan dalam panci."

   Si Gundul dan Si Kurus mengangguk-angguk, sepasang mata mereka bersinar-sinar. Setiap orang anak kecil akan merasa "penting"

   Dan gembira sekali kalau diajak melakukan sesuatu yang menegangkan, apalagi yang belum pernah mereka lakukan selamanya.

   Kalau hanya mencuri dan mencopet makanan karena terpaksa oleh desakan perut lapar dan untuk itu menerima gebukan-gebukan, sudah biasalah mereka. Akan tetapi mengacau sebuah pesta, apalagi pesta di rumah kepala dusun, dengan melemparkan ular-ular beracun yang mereka tangkap sendiri ke dalam dapur, benar-benar merupakan hal yang baru yang amat menegangkan hati! Atas isyarat Kun Liong, mereka berpencar. Kun Liong lari ke jendela kiri membawa dua ekor ular, Si Gundul menyelinap ke jendela kanan membawa dua ekor ular pula karena ular Si Kurus diberikan kepadanya sedangkan Si Kurus dengan jantung berdebar menyelinap dekat pintu, siap untuk memasuki dapur mengambil masakan kalau kesempatan terbuka. Dia sudah memilih-milih dengan pandang matanya, masakan di panci yang mana akan disambarnya nanti!

   Si Gundul dari jendela kanan mengintai ke arah jendela kiri, ketika melihat Kun Liong menggerakkan tangan seperti yang telah mereka janjikan, dia lalu melemparkan dua ekor ular dengan kuat dan karena takut ketahuan, dia melempar dengan ngawur lalu menyelinap ke bawah jandela, merangkak dan pergi. Kun Liong lebih tenang dia melemparkan dua ekor ularnya ke bawah, ke tengah-tengah ruangan itu dan dia melihat betapa lemparan Si Gundul tadi secara ngawur ternyata mengakibatkan kekacauan luar biasa, karena seekor dari ular hijau itu tepat mengenai tubuh koki kepala yang gendut, mengalungi leher koki itu! Dapat dibayangkan betapa kagetnya koki itu ketika merasa ada sesuatu membelit lehernya dan ketika kepala ular itu tepat berada di depan hidungnya, sepasang matanya menjuling dan ia berteriak,

   "Ular"! Ular"!"

   Pada saat itu juga, para koki dan beberapa orang pelayan melihat ular-ular berbisa merayap perlahan di dekat kaki mereka. Ular hijau, ular hitam dan ular belang! Mereka segera lari ketakutan dan berteriak-teriak,

   "Ular"! Ular beracun! Berbahaya sekali"!"

   Kasihan sekali koki gendut. Dia tidak berani membuang ular yang membelit lehernya. Ketika mendengar teriakan ular beracun yang berbahaya, dia hampir pingsan dan menjerit-jerit,

   "Tolong"! Ular"! Tolong ini"!"

   Dia lari menabrak sana-sini, menabrak meja dan dengan susah payah akhirnya berhasil lari ke luar, tidak tahu bahwa lampu minyak di atas meja yang ditabraknya tadi terguling! Pengemis kecil kurus sudah menyelinap masuk dan menyambar sepanci masakan lalu berlari ke luar lagi. Terengah-engah dia, akan tetapi tertawa-tawa ketika di tempat gelap yang sudah dijanjikan, dia berkumpul dengan Si Gundul dan Kun Liong.

   "Masakan apa yang kau ambil?"

   Si Gundul segera membuka panci.

   "Waduh, masakan capjai"! Ada baksonya, besar-besar"

   Wah, udangnya pun besar-besar!"

   Tanpa diperintah lagi kedua orang anak jembel itu menyerbu masakan dalam panci. Akan tetapi Kun Liong tidak ikut makan karena dia lebih tertarik oleh teriakan-teriakan yang amat gaduh.

   "Api...! Kebakaran...! Tolong...!"

   "Ada kebakaran. Mari kita bantu...!"

   Kun Liong melompat dan berlari ke dusun yang mereka tinggalkan tadi. Akan tetapi dua orang anak jembel itu tidak mempedulikan karena mereka sedang asyik menikmati capjai, mulut mereka mengeluarkan bunyi berkecap dan mata mereka berkejap-kejap penuh nikmat. Karena sudah banyak orang, termasuk anak laki-laki seperti dia yang membantu untuk memadamkan kebakaran, maka kehadiran Kun Liong tidak menarik perhatian.

   Kun Liong merasa menyesal sekali ketika mendapat kenyataan bahwa yang terbakar adalah rumah kepala dusun dan menurut suara orang-orang di situ, kebakaran dimulai dari dalam dapur. Tadi dia melihat betapa lampu di atas meja terguling ditabrak koki gendut, maka mengertilah dia bahwa kebakaran itu terjadi karena dia dan kedua orang temannya! Di antara kesibukan orang-orang yang berusaha memadamkann api yang mengamuk dan hampir memusnahkan semua bangunan rumah kepala dusun itu, tampak seorang laki-laki gemuk diseret-seret. Kun Liong melihat betapa laki-laki gemuk itu didorong dan jatuh berlutut di depan Si Kepala Dusun yang kini berdiri dengan muka pucat dan sinar mata penuh kemarahan, bertolak pinggang dan memandang Si Gemuk dengan sikap penuh kebencian.

   "Hemmm, keparat jahanam! Engkau berani membakar rumahku, ya?"

   "Ti... tidak... ampunkan hamba, Loya (Tuan Besar)"

   Di dapur tiba-tiba muncul ular-ular beracun... seekor malah membelit leher hamba dan akan menggigit hamba"

   Semua koki dan pelayan melihatnya... hamba"

   Hamba tidak melakukan pembakaran""

   Koki gundul itu menangis.

   "Hemm, aku sudah tahu akan hal itu. Akan tetapi semua orang juga melihat bahwa engkau yang menabrak meja dan lampu minyak terguling mengakibatkan kebakaran. Kau hendak menyangkal?"

   Tubuh yang gendut itu menggigil, suaranya juga menggigil seperti diserang demam ketika dia menjawab,

   "... hamba... ohh... hamba... karena takut... hamba lari... dan andaikata benar hamba menabrak meja... dan lampu terguling... hal itu sama sekali tidak hamba sengaja, Loya... hamba mohon ampun, Loya..."

   "Sengaja atau tidak, yang jelas engkau yang menyebabkan kebakaran! Mengampunkanmu? Hemm, enak saja. Lihat, rumahku habis karena engkau! Dan engkau minta aku memberi ampun!"

   Petualang Asmara Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Kepala dusun itu menendang dengan keras, akan tetapi karena tubuh Si Koki amat gendut dan berat, kakinya terpental sendiri dan hampir dia terguling. Kakinya yang menendang terasa nyeri sekali, akan tetapi dengan meringis menahan nyeri, kepala dusun yang makin marah itu menuding.

   "Pukul dia! Pukul sampai mampus!"

   Para pengawal atau tukang pukul yang sudah siap lalu menghampiri Si Koki gendut. Segera terdengar suara bak-bik-buk dan koki itu meraung-raung menangis.

   "Tahan! Jangan pukul dia!"

   Semua tukang pukul itu, juga Si Kepala Dusun, terheran dan memandang anak laki-laki kecil yang tiba-tiba muncul di depan kepala dusun itu, berdiri tegak dan wajahnya penuh keberanian, matanya bersinar-sinar tertimpa cahaya api yang belum padam sama sekali.

   "Ceritanya tadi benar, dan dia tidak bersalah. Bukan dia yang menyebabkan kebakaran itu, tidak semestinya kalau dia yang dihukum! Menghukum orang yang tidak bersalah merupakan perbuatan yang biadab dan keji!"

   Semua orang terkejut sekali dan banyak orang kini memandang Kun Liong, apalagi karena api yang mengamuk sudah hampir dapat dipadamkan meninggalkan sisa rumah yang tinggal separuh.

   "Hemm, anak kecil yang aneh dan lancang mulut, kalau bukan dia yang bersalah, habis siapa?"

   "Yang salah adalah ular-ular itu, dan karena akulah yang melempar ular-ular itu ke dalam dapur, maka akulah orangnya yang tanpa sengaja menyebabkan kebakaran itu,"

   Kata Kun Liong dengan tenang. Tentu saja dia bukan seorang anak bodoh yang mau mencari malapetaka dengan pegakuan itu, akan tetapi melihat betapa koki gendut yang tidak bersalah digebugi dan terancam kematian, dia tidak dapat menahan diri dan tidak dapat berdiam saja. Muka kepala dusun itu menjadi merah sekali saking marahnya. Akan tetapi rasa herannya lebih besar lagi, maka dia kembali bertanya.

   "Bocah setan! Apa perlunya engkau melemparkan ular-ular beracun ke dalam dapur?"

   "Tadinya aku hanya menghendaki mereka itu pergi ketakutan untuk mengambil sepanci masakan, tak kusangka akan demikian akibatnya. Aku menyesal sekali, akan tetapi harap lepaskan koki gendut itu yang tidak berdosa."

   Koki itu memang sudah dilepaskan dan masih berlutut, kini memandang kepada Kun Liong dengan muka pucat dan matanya yang sipit memandang tanpa berkedip, penuh perasaan heran, kagum dan terharu karena dia mengenal anak yang diusirnya tadi.

   "Tangkap dia!"

   Si Kepala Dusun berteriak penuh kemarahan.

   "Pukul saja bocah setan ini!"

   "Bunuh bocah pengacau!"

   Orang-orang dusun berteriak-teriak, bukan marah karena kepentingan pribadi, melainkan berlomba marah untuk menyenangkan hati kepala dusun! Kun Liong ditangkap, diseret sana-sini, dipukuli. Anak yang memiliki ilmu kepandaian silat lumayan ini, tentu saja tidak mau mandah dan menggunakan kaki tangannya untuk mengelak dan menangkis, sungguhpun dia sama sekali tidak mau memukul orang karena memang merasa bersalah dan pantas dihukum!

   "Bukan hanya dia yang melepas ular, kami juga...!"

   "Ya, kami juga...!"

   Dua orang anak jembel itu, Si Gendut dan Si Kurus, tiba-tiba muncul di situ. Kun Liong kaget sekali. Dia tidak ingin membawa-bawa dua orang anak jembel itu karena sesungguhnya mereka berdua itu takkan berani melakukan pengacauan kalau tidak karena dia! Akan tetapi diam-diam dia merasa kagum juga menyaksikah kesetiakawanan mereka. Kiranya dalam diri bocah-bocah jembel itu terdapat pula kesetiakawanan yang indah dan gagah!

   Akan tetapi kedua orang anak jembel itu tidak didengarkan mereka, dan tenggelam dalam teriakan-teriakan kemarahan mereka yang mengeroyok Kun Liong. Bahkan mereka itu didorong dan ditendang sampai terguling-guling karena dianggap menghalangi mereka yang berlumba memukuli Kun Liong dengan tangan atau kayu penggebuk, apa saja yang dapat dipergunakan untuk memukul! Biarpun Kun Liong menggunakan kepandaiannya untuk menangkis dan mengelak, akan tetapi dalam pengeroyokan demikian banyaknya orang dewasa, akhirnya pakaiannya robek dan tububnya benjol-benjol babak belur. Dia tetap tidak mau membalas, apalagi ketika mendapat kenyataan bahwa yang mengeroyoknya, selain tukang-tukang pukul, juga penduduk dusun. Bahkan ada yang menggendong anaknya di punggung ikut-ikut mengeroyoknya untuk melampiaskan kemarahan hatinya!

   Biarpun Kun Liong sudah menggunakan seluruh kepandaian yang pernah dipelajarinya, namun tanpa membalas dan dikeroyok demikian banyaknya orang, akhirnya dia tertangkap. Seorang tukang pukul memegang tangan kirinya, seorang penduduk dusun yang sudah tua dan marah-marah karena koki yang menjadi korban tadi adalah anaknya, memegang lengan kanan Kun Liong. Seorang tukang pukul lainnya, mencekik lehernya dari depan! Kun Liong yang merasa seluruh tubuhnya sakit-sakit, pakaiannya koyak-koyak, kini dengan sia-sia berusaha meronta. Cekikan pada lehernya makin kuat, dia tidak dapat bernapas lagi dan kedua telinganya mulai terngiang-ngiang, kedua matanya mulai berkunang-kunang, kepalanya berdenyut-denyut. Di antara suara berdengung di telinganya, dia masih mendengar teriakan-teriakan mereka,

   "Bunuh saja bocah setan!"

   "Cekik sampai mampus!"

   "Tidak, aku tidak mau mati. Belum mau! Memang aku telah melakukan kesalahan, akan tetapi aku tidak sengaja membakar rumah orang!"

   Pikiran ini menyelinap di dalam hati Kun Liong, mendatangkan rasa penasaran mengapa untuk perbuatannya tanpa disengaja yang mengakibatkan rumah terbakar itu dia harus menebus dengan nyawa! Ia teringat akan pelajaran Sin-kun-hoat (Ilmu Melepaskan Tulang Melemaskan Diri) dari ayahnya dan dalam latihan dia sudah dapat melepaskan diri dari ikatan. Dia hampir tidak kuat lagi. Kepalanya berdenyut-denyut makin hebat, seperti mau pecah. Dalam detik terakhir itu, dia menggunakan tenaga kedua orang yang memegangi lengannya kanan kiri, menggantungkan tubuhnya dan menggunakan kedua kakinya untuk menendang ke depan, mendorong perut dan dada tukang pukul yang sedang berusaha mencekiknya sampai mati!

   "Bresss... auukhhh...!"

   Tubuh tukang pukul itu terjengkang dan roboh ke atas tanah. Dia memaki-maki sambil berusaha bangun kembali. Kesempatan ini dipergunakan oleh Kun Liong. Dengan Ilmu Sin-kun-hoat, tiba-tiba saja kedua tengannya menjadi lemas dan licin, sekali renggut dia sudah berhasil menarik kedua lengannya terlepas dari pegangan kedua orang yang berteriak kaget dan heran karena tiba-tiba saja seperti belut, lengan anak itu merosot licin dan terlepas!

   "Tangkap...!"

   Kembali Kun Liong dikepung. Dia tahu bahwa orang-orang ini sudah mabok dendam, seperti segerombolan serigala haus darah dan tentu tidak akan mau sudah sebelum melihat dia menggeletak di bawah kaki mereka sebagai mayat dengan tubuh rusak penuh darah! Ini sudah keterlaluan namanya! Dia tadi membiarkan dirinya digebuki, dimaki dan dihukum. Akan tetapi, setelah kesalahannya dia tebus dengan mandah menerima hukuman yang dianggap sudah lebih dari cukup, kalau mereka masih haus darah dan hendak membunuhnya, terpaksa dia harus melindungi dirinya. Seorang yang tidak berani melindungi nyawa dan dirinya sendiri adalah seorang pengecut.

   
"Kalian sudah cukup menghukum aku!"

   Teriaknya dan kini dia menerjang ke kiri menangkap sebatang bambu yang dipergunakan untuk menghantam kepalanya, membetot bambu itu secara tiba-tiba ke kanan sehingga pemegangnya yang tidak menduga-duga tertarik hampir jatuh, disambut oleh tendangan Kun Liong yang mengenai sambungan lututnya.

   "Plakk! Aduhhh...!"

   Biarpun yang menggajul lutut itu hanya seorang anak berusia sepuluh tahun, akan tatapi karena ujung sepatu Kun Liong tepat mengenal sambungan lutut, tentu saja rasanya nyeri bukan main dan membuat orang itu terpelanting tongkatnya terampas oleh Kun Liong! Kini cuaca menjadi gelap kembali setelah kebakaran itu dapat dipadamkan. Hal ini menguntungkan Kun Liong. Dengan tongkat rampasan di tangannya dia mengamuk, kini tidak hanya menangkis atau mengelak, melainkan juga membalas dengan sodokan tongkatnya. Dia berhasil merobohkan empat orang sambil melompat ke sana ke sini mencari lowongan di antara para pengepungnya. Yang roboh mengaduh-aduh memegangi perut yang tersodok sampai terasa mulas, atau kaki yang dihantam sampai bengkak.

   

Pedang Kayu Harum Eps 40 Pedang Kayu Harum Eps 34 Pedang Kayu Harum Eps 34

Cari Blog Ini