Petualang Asmara 24
Petualang Asmara Karya Kho Ping Hoo Bagian 24
"Perempuan hina ini pun harus mampus!"
Rajid yang seperti kemasukan setan karena dendam dan cemburu, mengangkat goloknya membacok ke arah tubuh isterinya yang biasanya merupakan sebuah benda hidup yang paling disayangnya di dunia ini.
"Singg... tringggg!"
Golok itu terlempar ketika terbentur oleh sebuah batu kecil yang dilemparkan oleh tangan Ouw-yang Bouw. Melihat ini, Li Hwa menjadi kagum dan maklumlah dia bahwa pemuda itu merupakan lawan yang tak lemah!
"Ehhh... Ouwyang-kongcu... mengapa...?"
Rajid memandang pemuda itu dengan mata penuh penasaran.
"He-heh, sabarlah, Rajid. Memang dia harus dihukum, akan tetapi hukuman seperti yang hendak kau lakukan itu kurang menarik. Pokoknya kau menghendaki dia mati, bukan? Nah, biarlah dia dihukum dengan caraku dan panggil semua wanita ke sini agar mereka menyaksikan pula betapa berat hukuman bagi mereka yang berani melanggar hukum kami di sini!"
Rajid mengangguk-angguk dan beberapa orang laki-laki sudah berlari memanggil semua wanita yang berada di pulau itu. Hanya ada dua puluh orang wanita tua muda yang datang ke situ dengan muka pucat. Para suami girang, dengan hal ini, mengharap isteri-isteri mereka takut dan tidak berani berjina dengan laki-laki lain. Akan tetapi, para wanita yang memandang dengan muka pucat itu mempunyai pengertian lain ketika mendengar kata-kata Ouwyang-kongcu.
"Kalian lihatlah. Begini nasib wanita yang berani melanggar hukum kami di sini!"
Kata Ouwyang-kongcu setelah menyuruh Rajid mengikat tubuh telanjang Madhula kepada sebuah tiang, diikat kaki dan tangannya pada tiang itu sehingga tubuh bagian depannya tampak nyata, sedikit pun tidak terlindung, kecuali rambut hitam panjang terurai yang sebagian menggantung ke depan. Para wanita itu mengerti bahwa yang dimaksudkan oleh Ouwyang-kongcu, hukuman ini akan jatuh menimpa wanita yang berani menolak majikan muda itu! Ouwyang Bouw yang agak miring otaknya itu memang mempunyai kegemaran yang aneh dan mengerikan.
Dia sudah tergila-gila oleh wanita cantik maupun tidak cantik. Bahkan pernah dia tergila-gila oleh seorang wanita nenek-nenek, dan pernah pula tergila-gila kepada seorang anak perempuan yang masih kecil! Dan mereka semua harus menyerahkan diri kepadanya! Dia sama sekali tidak pemah memperkosa, dia tidak mau memperkosa wanita. Akan tetapi dia mempunyai cara lain untuk membuat setiap orang wanita tunduk kepadanya dan mau menyerahkan diri, yaitu dengan ancaman dan bayangan penyiksaan yang mengerikan. Hampir semua wanita, besar kecil, tua muda yang menyerah kepadanya tentu didorong oleh rasa takut dan ngeri, bukan karena sukarela karena sikap pemuda ini, biarpun wajahnya tampan dan tubuhnya menarik, jelas menunjukkan gejala otak miring yang mendatangkan rasa ngeri dan menjijikkan!
Madhula masih pingsan ketika Ouwyang-kongcu mengeluarkan sebatang suling kecil yang panjangnya hanya dua jengkal. Mulailah pemuda itu menyuling. Suara suling yang melengking dengan nada tinggi membuat Li Hwa terkejut karena dia maklum bahwa suara melengking yang menggetar itu mengandung tenaga khi-kang yang kuat sekali. Dia melihat betape semua penonton kini berkumpul di belakeng Ouwyang-kongcu, seolah-olah menanti sesuatu dengan penuh ketegangan. Adapun tubuh Madhula yang diikat pada tiang itu pun menghadap kepada mereka, sedangkan mayat Sanghida yang berlumuran darah menggeletak tak jauh diri kaki Madhula. Sebelum ular itu tiba, Li Hwa sudah dapat menduga dengan hati diliputi penuh kengerian bahwa suara suling dari pemuda iblis itu tentulah merupakan tanda panggilan kepada ular-ularnya.
Hal ini mudah saja diduga karena pertama, pemuda itu adalah putera Si Raja Ular! Ke dua, mereka berada di Pulau Ular, dan memang biasanya pada ahli ular mengundang ular-ular mereka dengan suara melengking tinggi, biasanya suara suling. Memang tepat dugaan Li Hwa. Akan tetapi ketika ular-ular itu datang, biarpun dia sudah menduganya, dia menjadi kaget bukan main karena tidak menyangka bahwa yang datang demikian banyaknya! Rombongan demi rombongan ular berdatangan dari empat penjuru, dan warna kulit mereka pun berbeda-beda, ada yang hijau, ada yang hitam kemerah-merahan, kuning, dan ada yang belang-belang. Biarpun Li Hwa tidak mengenal banyak ular, namun dia dapat menduga bahwa ular-ular itu tentulah ular berbisa yang amat berbahaya. Ular-ular yang lewat di dekat Ouwyang-kongcu dan anak buahnya,
Seperti takut menghadapi api, dan binatang yang merayap dekat cepat menyingkir dan mengambil jalan memutar. Setelah ular-ular itu tiba di tempat itu, Li Hwa hampir tidak kuat melihat lebih lama lagi. Ular-ular yang mendesis-desis itu kini berebutan menyerang mayat Sanghida, melahap dan merobek-robek mayat itu sehingga mayat itu seperti hidup kembali karena bergerak-gerak ke sana-sini, seperti berkelojotan. Dalam waktu sebentar saja, habislah semua kulit, daging dan isi perut mayat itu, tinggal rangka yang kering, tidak ada setetes pun darah yang tampak karena semua telah dijilat habis! Kini ular-ular itu mulai merayap, ke arah Madhula dan wanita ini pun baru siuman dari pingsannya. Dengan mata terbelalak ia tadi melihat betapa potongan-potongan daging terakhir dari Sanghida dibuat perebutan ular-ular itu.
Dia maklum akan nasibnya, akan tetapi betapapun dia berusaha untuk memejamkan kedua matanya menerima maut, kedua mata itu malah selalu terbelalak kembali memandang ke arah ular-ular yang merayap-rayap di sekelilingnya. Ular-ular itu adalah ular-ular kecil, paling besar dua kaki panjangnya dan jumiahnya ada empat puluh ekor lebih, menggeliat-geliat seperti sekumpulan cacing, akan tetapi tidak ada yang berani menyerang Madhula, agaknya menanti "perintah"
Suara suling yang masih terus melengking sejak tadi. Memang benar demikian. Ular-ular itu seolah-olah bergerak menurut getaran suara suling dan tiba-tiba suara suling itu berubah merendah. Ular-ular itu kelihatan gelisah, kemudiah seekor demi seekor, ular-ular itu meninggalkan tempat itu, membuat semua penonton menjadi heran.
"Mengapa dia tidak dihukum?"
Rajid membanting kaki dan memandang penasaran. Ouwyang Bouw sudah melepas sulingnya dan sambil memandang ke arah tubuh Madhula dia berkata,
"Kurang menarik, kalau disuruh mengeroyok ular-ular kecil yang sudah kenyang itu. Dia yang sudah mau berjina dengan Sanghida, tentu tidak puas dengan ular-ular kecil itu. Kaulihatlah saja."
Sambil berkata dia lalu menempelkan lubang suling di depan bibirnya dan kini terdengarlah lengking suara suling yang berbeda dari tadi. Suaranya naik turun dengan nada rendah, namun mengandung getaran yang amat kuat sehingga para penonton ada yang kelihatan menggigil kedua kakinya.
Tak lama kemudian terdengarlah suara mendesis-desis. Li Hwa terkejut dan memandang ke bawah. Seekor ular yang amat besar sedang merayap lewat dibawah pohon. Dia menggigil jijik. Ulat ini berkulit hitam kehijauan, sepasang matanya seperti mata manusia, lidahnya merah menjilat-jilat keluar, besar tubuhnya sama dengan pahanya dan panjangnya ada sepuluh kaki! Madhula juga sudah melihat ular itu dan wanita ini mengeluarkan rintihan panjang, mukanya makin pucat dan matanya terbelalak, penuh kengerian. Suara suling menuntun ular itu mendekat dan terdengarlah suara berbisik orang-orang yang menonton karena tegang dan tertarik ketika melihat betapa dengan perlahan ular besar itu mendekati tiang di mana tubuh Madhula terikat.
Ular itu mendesis-desis, lidahnya yang merah makin sering menjilat-jilat. Melihat bentuk mulutnya yang besar agaknya dia akah sanggup menelan tubuh wanita Nepal itu! Suara suling makin meninggi dan kini moncong ular mulai naik dan lidah itu mulai menjilati kaki yang telanjang. Madhula mengeluarkan suara rintihan ketika merasa betapa ular mulai merayap naik melalui betisnya! Semua penonton menahan napas, mata mereka memandang melotot seperti hendak meloncat keluar dari pelupuknya. Ketika suara rintihan Madhula makin sering dan ular itu mentaati suara suling, kini merayapi seluruh tubuh telanjang itu, membelit-belit dan tampak seolah-olah ular itu membelai-belai tubuh Madhula seperti hendak mengajak wanita itu bermain cinta, para penonton menelan ludah penuh nafsu birahi dan gairah. Makin hebat suara suling yang ditiup Ouwyang Bouw,
Makin cepat ular itu bergerak-gerak, mengeliat-geliat menyelusuri seluruh tubuh Madhula yang kini sudah memejamkan mata dan merapatkan kedua bibirnya, sama sekali tidak bersuara lagi. Li Hwa menanti saat baik dan ketika kepala ular itu kebetulan merayap naik dan lebih tinggi dari kepada Madhula, tangan kirinya bergerak dan tampaklah sinar perak meluncur ke arah kepala ular itu. Ular itu menggerakkan kepala seperti gila, berkelojotan dan tanpa disengaja dia mempererat belitannya pada tubuh Madhula. Kembali ada sinar perak menyambar dan kepala ular yang sudah ditembusi dua batang jarum perak itu terkulai, tubuhnya perlahan-lahan melepaskan belitan. Akan tetapi betapa kagetnya hati Li Hwa ketika dia melihat darah bertetesan dari kedua bibir Ma-dhula yang dirapatkan. Dia cepat meloncat turun dari atas pohon sambil berteriak,
"Ouwyang Bouw manusia iblis yang kejam!"
Ouwyang Bouw sudah meloncat bangun, dan semua pembantunya yang tadi terheran-heran melihat ular itu menghentikan permainannya bahkan berkelojotan di bawah, kini juga marah dan siap untuk mengeroyok orang yang menjadi pengacau.
Akan tetapi ketika mereka melihat seerang dara yang amat cantik jelita melayang turun dari atas pohon, mencabut pedang dan membabat putus belenggu kaki tangan Madhula mereka tercengang dan memandang kagum! Madhula membuka mata, membuka mulut akan tetapi tidak ada kata-kata yang keluar karena begitu mulutnya dibuka, darah menyembur keluar dan dengan penuh kengerian Li Hwa maklum bahwa wanita itu telah menggigit putus lidahnya sendiri! Dalam keadaan ngeri dan tersiksa, Madhula mengambil keputusan nekat, membunuh diri dengan menggigit lidahnya. Lidah itu putus di tengahnya, dan tidak mungkin nyawanya dapat tertolong lagi, apalagi karena dia telah mengeluarkan banyak sekali darah yang tadi dia paksa menelan darahnya sendiri agar jangan sampai Ouwyang-kongcu menyelamatkan nyawanya.
Melihat keadaan wanita itu, Li Hwa yang tadi memeluk tubuh yang terguling setelah belenggunya terlepas, perlahan-lahan menurunkan tubuh Madhula. Tubuh itu lemas dan orangnya sudah tidak ingat apa-apa lagi, darah terus mengalir keluar dari lidah yang buntung. Madhula dalam sekarat, seperti juga tubuh ular yang sekarat, hanya bedanya, kalau tubuh Madhula sama sekali tidak bergerak, tubuh ular itu berkelojotan, menggeliat-geliat dan darah mengalir keluar dari dua lubang kecil di antara kedua matanya. Ouwyang Bouw tadi juga terkejut sekali. Gadis cantik itu telah dapat menyclundup ke dalam pulau tanpa ada yang tahu, bahkan telah berada di atas pohon tanpa dia sendiri mengetahuinya. Hal ini saja sudah membuktikan bahwa dara itu tentu memiliki ilmu kepandaian tinggi.
Apalagi ketika dibuktikannya dengan membunuh ularnya menggunakan jarum, ini menjadi tanda pula bahwa dalam hal penggunaan senjata rahasia jarum dara itu belum tentu kalah lihai olehnya yang juga mahir menggunakan senjata rahasia jarum kecil merah yang berbisa. Akan tetapi, kini Ouwyang Bouw telah dapat menguasai rasa kagetnya, matanya terputar-putar menggerayangi seturuh tubuh Li Hwa dan dia tertegun penuh kekaguman. Seorang dara yang masih muda, seorang perawan yang amat jelita, akan tetapi juga amat gagah perkasa! Begitu melihat Li Hwa, sekaligus hati Ouwyang Bouw telah jatuh! Selama petualangannya dengan wanita dari segala macam bentuk dan usia, dia merasa belum pernah dia memperoleh seorang dara muda seperti yang kini berdiri di depannya dengan sikap gagah perkasa itu! Dan dia harus memperolehnya, dengan cara bagaimanapun juga!
"Aihhh, harap Nona sudi memaafkan kami yang tidak tahu akan kedatangan seorang tamu agung seperti Nona sehingga tidak mengadakan penyambutan selayaknya!"
Ouwyang Bouw berkata sambil melangkah maju dan memberi hormat dengan menjura dan mengangkat kedua tangan di depan dada. Diam-diam Li Hwa terkejut dan terheran. Tak disangkanya bahwa pemuda yang disohorkan sebagai seorang iblis muda yang kejam dan gila ini ternyata pandai bersikap demikian sopan-santun seperti seorang terpelajar dan bersusila! Terseret oleh sikap yang begitu hormat, otomatis dia pun mengangkat kedua tangan, membalas penghormatan. Teringat akan hal ini, dia terkejut dan cepat menurunkan lagi tangannya, diam-diam dia maklum betapa berbahaya dan lihainya pemuda ini yang dengan gerak dan kata-kata sudah dapat menyeretnya!
"Aku Souw Li Hwa bukan tamu dan tidak mengharap sambutan. Akan tetapi menyaksikan kekejaman yang biadab tadi, aku tak mungkin mendiamkannya saja. Bukankah engkau yang disebut Ouwyang Bouw, pemuda iblis yang gila?"
Biarpun anak buahnya sudah mengeluarkan suara marah, Ouwyang Bouw tersenyum saja mendengar makian ini, bahkan memandang makin kagum dan sesaat kedua bola matanya seperti lupa untuk berputaran seperti biasa.
"Dugaanmu benar, Nona Souw Li Hwa. Aku adalah Ouwyang Bouw, majikan muda dari Pulau Ular ini, dan aku merasa senang sekali dapat berkenalan denganmu. Bolehkah aku mengetahui apa sesungguhnya kehendak Nona memberi kehormatan kepada kami dengan mengunjungi pulau ini?"
Ditanya demikian, barulah Li Hwa teringat dan terkejut. Celaka! Rusaklah usahanya menyelidiki bokor emas yang katanya dibawa ke pulau itu! Akan tetapi karena sudah terlanjur, maka dia membentak,
"Cih! Siapa sudi berkenalan denganmu? Aku datang hendak membunuhmu dan membersihkan pulau ini dari iblis-iblis macam kalian dan ular-ular jahat!"
"Hayaaa...! Dari mana datangnya nona cantik yang sombong ini?"
Tiba--tiba terdengar seruan orang dan muncullah dua orang kakek yang dipandang oleh Li Hwa dengan penuh perhatian. Yang berseru tadi adalah seorang kakek tua berusia enam puluhan tahun, tubuhnya tinggi sekali, tinggi kurus dengan leher panjang sehingga kalau dia bergerak-gerak, tubuhnya seperti seekor ular.
Matanya sipit memandang tajam penuh selidik dan melihat kakek kurus tidak ragu lagi hati Li Hwa menduganya bahwa tentu kakek inilah Si Raja Ular Ban-tok Coa-ong Ouwyang Kok. Adapun kakek ke dua adalah seorang kakek yang lebih tua lagi, tujuh puluh tahun lebih usianya, juga tubuhnya tinggi kurus dan dia tidak berkata-kata, hanya terbatuk-batuk, rambutnya tidak terpelihara, panjang penuh uban, juga jenggot dan kumisnya tidak terpelihara. Karena pakaiannya sederhana, kakek ini makin kelihatan jorok (kotor). Diam-diam Li Hwa menduga dengan hati penuh ketegangan bahwa tentu kakek ini yang disebut datuk sesat nomor satu Toat-beng Hoat-su. Tahulah dia bahwa dia telah dikurung oleh orang-orang jahat yang berlimu tinggi, namun sedikit pun hatinya tidak merasa takut, bahkan dia tidak mau berpura-pura lagi, dengan sikap gagah dan suara lantang dia bertanya,
"Apakah kalian berdua orang tua Ban-tok Coa-ong dan Toat-beng Hoat-su?"
"Hemm, bocah sombong. Engkau telah mengenal kami. Siapakah engkau dan engkau yang masih amat muda dan cantik ini mengapa ingin membunuh diri dengan lancang memasuki Pulau Ular tanpa ijin?"
Ban-tok Coa-ong berkata, suaranya mengandung ancaman karena kakek ini telah menjadi marah sekali. Kalau ada orang luar berani memasuki pulaunya tanpa ijin, hal itu selain merupakan pelanggaran yang harus dihukum mati, juga merupakan penghinaan kepadanya karena menunjukkan bahwa Si Pelanggar itu memandang rendah kepadanya.
"Ayah, Nona ini bernama Souw Li Hwa, cantik jelita dan gagah perkasa. Ayah, sekarang aku mengambil keputusan untuk menikah. Bukankah Ayah sering mengatakan bahwa aku sudah cukup dewasa untuk menikah dan bahwa Ayah ingin sekali menimang cucu? Ayah, dia itulah calon isteriku!"
Mendengar kata-kata yang jelas membayangkan kegilaan ini, Li Hwa menjadi marah bukan main. Dia melangkah maju menudingkan telunjuk kirinya kepada Toat-beng Hoat-su dan Ban-tok Coa-ong lalu membentak,
"Ban-tok Coa-ong, aku mondengar bahwa engkau dan Toat-beng Hoat-su sudah merampas bokor emas, maka aku datang untuk minta kembali bokor emas itu. Mungkin saja Suhu akan suka mengampuni kalian kalau kalian mengembalikan pusaka itu secara baik-baik kepadaku. Kalian tahu, kalau Suhu marah dan mendengar kalian tidak mau mengembalikan benda pusaka milik Suhu itu, kemana pun kalian melarikan diri dan bersembunyi, akhirnya kalian tentu akan menerima hukuman dari Suhu."
Mula-mula Ban-tok Coa-ong marah sekali mendengar ucapan nona itu yang dianggapnya sombong. Akan tetapi ketika mendengar kalimat-kalimat selanjutnya, dia dan Toat-beng Hoat-su terkejut.
"Kau... kau murid The Hoo?"
Toat-beng Hoat-su bertanya dengan alis berkerut dan hati masih ragu-ragu. The Hoo adalah seorang panglima besar yang amat terkenal sebagai seorang yang memiliki kesaktian hebat. Benarkah dara jelita yang muda ini muridnya?
"Panglima Besar The Hoo adalah guruku dan aku menerima tugas dari Suhu untuk minta kembali bokor emas yang terjatuh ke tangan kalian."
Li Hwa menjawab dengan suara lantang. Muka Ban-tok Coa-ong berubah merah.
"Bagus, kaukira aku mudah menyerah begitu saja? Bocah lancang sombong, jangan kau mempergunakan nama The Hoo untuk menakut-nakuti Ban-tok Coa-ong!"
"Wuuuuttt...!"
Angin keras yang dahsyat menerjang ke arah Li Hwa ketika kakek bertubuh ular itu tahu-tahu telah menyerangnya. Kedua kakinya masih tidak bergeser, akan tetapi tubuh atasnya melengkung dan kedua tangannya dengan jari terbuka mencengkeram ke arah dara itu. Panjang tubuh disambung lengan cukup untuk menjangkau dan mencapai tubuh Li Hwa.
"Ayah, jangan lukai calon isteriku!"
Ouwyang Bouw berseru. Akan tetapi, betapapun lihai serangan itu, dengan mudah saja Li Hwa mengelak dengan gerakan cekatan sekali, dan lengannya bergerak, tangannya mengebut ke samping mengenai lengan tangan kanan kakek itu.
"Plakkk!"
Biarpun Li Hwa harus meloncat ke belakang karena pertemuan tenaga itu membuat lengannya tergetar, akan tetapi juga kakek Raja Ular itu merasa betapa kulit lengannya panas, tanda bahwa dara muda itu benar-benar memiliki kepandaian hebat dan tenaga sin-kang yang kuat! Dengan marah dan penasaran, tanpa mempedulikan seruan puteranya, Ouwyang Kok sudah hendak menerjang lagi, akan tetapi Toat-beng Hoat-su mendekatinya dan membisikkan siasatnya,
"Tunggu... dia merupakan sandera yang baik dan berharga sekali... mungkin dapat ditukar dengan bokor...!"
Mendengar ini, Ban-tok Coa-ong menghentikan gerakannya hendak menyerang dan dengan wajah berseri kakek ini menghadapi Li Hwa dan berkata lantang
"Nona Souw Li Hwa. Engkau dapat menghindarkan seranganku, hal ini saja sudah membuat engkau cukup berharga untuk bicara denganku. Engkau mengaku murid The Hoo, dan puteraku jatuh cinta kepadamu. Semua itu baik-baik saia, akan tetapi engkau harus diuji lebih dulu apakah benar engkau murid The Hoo dan apakah engkau cukup berharga untuk menjadi mantuku, ha-ha-ha!"
Kakek Raja Ular itu menggapai kepada seorang Nepal yang tubuhnya tinggi besar seperu raksasa dan kumis jenggotnya lebat sekali hampir menutupi seluruh mukanya, sambil berkata,
"Maju dan lawanlah nona ini!"
Orang Nepal itu menyeringai sehingga tampaklah giginya yang besar-besar, dan dengan sikap jumawa sekali dia melangkah ke dalam lapangan itu menghadapi Li Hwa. Sengaja dia mengerahkan tenaga pada kedua kakinya sehingga langkahnya seperti langkah gajah, membuat tanah tergetar setiap kali dia membanting kakinya! Dapat dibayangkan betapa marahnya hati Li Hwa mendengar ucapan Ban-tok Coa-ong tadi.
Ucapan itu dianggap amat menghinanya, akan tetapi karena dia pun cukup maklum bahwa dia berada di sarang harimau dan menghadapi banyak lawan pandai, dia tidak mau terseret oleh kemarahannya. Gurunya pernah mengatakan kepadanya bahwa dalam menghadapi lawan tangguh, yang terpenting sekali adalah sikap tenang dan sikap tenang ini akan rusak apabila membiarkan diri dikuasai pikiran yang mendatangkan kemarahan, ketakutan, atau kesombongan. Maka kini menghadapi raksasa Nepal itu, dia bersikap tenang, sedikit pun tidak merasa takut, juga tidak memandang rendah dan sama sekali bebas dari kemarahan. Dengan sikapnya yang tenang, dia dapat memandang tajam dan segera dapat melihat bahwa lawannya adalah seorang yang memiliki tenaga kasar yang amat kuat dan otot-otot yang menggembung di seluruh tubuh raksasa ini telah terlatih,
Namun, sekilas pandang saja Li Hwa sudah dapat menduga kelemahan lawan ini yaitu kelambanan gerak sehingga dia sudah tahu bahwa untuk mengalahkannya dia harus mengandalkan kecepatannya. Dengan pikiran ini, tanpa memberi kesempatan kepada lawan untuk menyerangnya Li Hwa sudah menerjang maju dan mengirim dua kali pukulan beruntun ke arah dada dan lambung. Gerakannya cepat bukan main karena dara ini telah mempergunakan jurus Ilmu Silat Jit-goat--sin-ciang-hoat. Dua pukulan yang dilakukan kedua tangan itu pun mengandung dua macam tenaga keras dan lembut, akan tetapi keduanya amat berbahaya karena yang keras dapat meremukkan tulang, dan yang lembut dapat merusak urat syaraf!
"Plakk! Blukk!"
Li Hwa terkejut bukan main karena kedua pukulannya, baik yang mengandung tenaga Yang-kang (keras) maupun Im-kang (lembut) bertemu dengan kulit dada dan kulit lambung yang kerasnya seperti baja! Tak disangkanya sama sekali bahwa raksasa itu memiliki tubuh yang kebal dan kuat bukan main. Dan lebih-lebih kagetnya ketika tiba-tiba kedua lengannya telah ditangkap oleh raksasa itu dan dengan tenaga yang seperti tarikan gajah, tubuh Li Hwa telah diangkat ke atas!
"Jangan bunuh dia...!"
Bentakan Ouwyang Bouw itu dijawab dengan suara tertawa bergelak oleh raksasa Nepal itu yang cepat melontarkan tubuh Li Hwa ke atas dan sambil bertolak pinggang dia tertawa-tawa menanti turunnya tubuh itu. Dia jelas bendak mempermainkan tubuh dara itu seperti sebuah bola yang dilempar-lemparkan ke atas! Li Hwa sudah mempergunakan gin-kangnya, ketika tubuhnya meluncur ke atas seperti anak panah meluncur, cepat dia berjungkir balik sampai lima kali untuk mematahkan tenaga luncuran itu, kemudian melayang turun.
Dari atas dia melihat betapa lawannya sudah siap menyambutnya dengan kedua lengannya yang
(Lanjut ke Jilid 24)
Petualang Asmara (Seri ke 02 - Serial Pedang Kayu Harum)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 24
berbulu dan kuat sekali itu, kedua lengan yang sudah dikembangkan dan diacungkan ke atas. Sudah terdengar suara lawannya tertawa bergelak. Li Hwa maklum bahwa kalau dia tidak dapat merobohkan lawan dari atas, dia akan tak berdaya sama sekali begitu tubuhnya tertangkap oleh kedua tangan yang kuat itu. Untuk mempergunakan jarum peraknya, dia tidak sudi karena hal itu berarti bahwa dia jerih menghadapi lawan dengan terbuka. Pula, dengan kehadiran dua orang datuk kaum sesat itu, menggunakan senjata rahasia pun takkan ada gunanya. Maka dia lalu menggunakan akal dan sengaja membuat tubuhnya melayang turun seperti seorang yang tidak berdaya dan ketakutan.
"Ha-ha-ha, Nona manis, marilah kita main-main!"
Orang Nepal itu berkata dengan logat bicaranya yang kaku. Ketika tubuhnya sudah meluncur dekat, tiba-tiba Li Hwa membalik, kepalanya di bawah dan kedua tangannya seperti seorang yang kebingungan hendak mencari pegangan, akan tetapi begitu kedua tangan raksasa itu menangkap pinggang dan pundaknya, Li Hwa sudah menggerakkan kedua jari telunjuknya untuk menotok ke arah pundak dan tengkuk.
"Cusss! Cusss!"
"Auggghhh...!"
Tubuh raksasa itu terguling dan cengkeraman kedua tangannya terlepas. Dia telah terkena serangan Ilmu Menotok Jalan Darah It-ci-san yang amat lihai. Biarpun tubuhnya kebal, namun totokan satu jari yang amat hebat itu dengan tepat mengenai jalan darahnya sehingga untuk sesaat tubuhnya seperti lumpuh yang menyebabkan tubuhnya terguling. Kesempatan ini tidak dibiarkan lewat begitu saja oleh Li Hwa. Jari tangan kirinya menjambak rambut panjang lawannya dan dengan pengerahan tenaganya, ditariknya tubuh itu ke atas dan kemudian tangan kanannya yang dimiringkan menghantam ke arah tengkuk.
"Krekkkk!"
Tubuh itu terkulal dan raksasa Nepal itu roboh pingsan! Semua orang yang menonton pertandingan itu terbelalak, sama sekali tidak mengira bahwa raksasa Nepal yang terkenal hebat dan amat kuat itu roboh hanya dalam dua tiga gebrakan saja!
"Tidak salah lagi, dia murid The Hoo...!"
Toat-beng Hoat-su berkata lirih. Ban-tok Coa-ong mengangguk.
"Benar, tadi tentu It-ci-san yang terkenal dari The Hoo..."
Ban-tok Coa-ong kini menggapai kepada seorang Han yang tubuhnya pendek kecil, amat kurus seperti rangka hidup, mukanya pucat dan sepasang matanya yang cekung itu mengerikan sekali.
"Pek-mo (Iblis Putih), tangkap dia!"
Laki-laki bermuka pucat yang usianya tentu sudah lima puluh tahun lebih itu mengangguk, mengeluarkan suara rintihan panjang seperti orang menangis dan tiba-tiba, tubuhnya sudah mencelat ke depan Li Hwa, matanya yang cekung bersinar mengerikan dan ketika mulutnya meringis, ternyata di dalam mulutnya tidak terdapat gigi sepotong pun!
Li Hwa memandang penuh perhatian. Keadaan tubuh orang ini sungguh merupakan kebalikan dari keadaan raksasa Nepal tadi. Kalau raksasa Nepal tadi membayangkan kekuatan dahsyat, orang ini sebaliknya kelihatan seperti seorang berpenyakitan yang sudah berdiri di ambang kuburan. Kelihatan lemah dan agaknya hembusan angin yang agak besar saja sudah akan cukup untuk merobohkannya. Akan tetapi Li Hwa tidak tertipu oleh keadaan luar, dan dia sudah dapat menduga bahwa orang yang kecil seperti mayat hidup ini tentulah memiliki kepandaian yang tinggi dan memiliki tenaga sin-kang yang kuat. Baru caranya meloncat ke depan tadi saja sudah membuktikan betapa Si Mayat Hidup ini mempunyai kegesitan yang tak boleh dipandang ringan!
Maka tanpa menanti gerakan lawan, tanpa sungkan-sungkan lagi dia sudah menerjang ke depan dan menyerang Si Mayat Hidup itu dengan totokan-totokan maut! Orang kurus kecil itu mengeluarkan pekik menyeramkan, kemudian tubuhnya bergerak dan bersilat dengan cara yang aneh namun gesit sekali. Bagaikan gerakan seekor monyet, orang itu dapat menghindarkan totokan-totokan Li Hwa dan membalas dengan serangan yang berupa cengkeraman-cengkeraman. Yang hebat, kalau tadi jari tangannya kelihatan biasa, kini jari tangan itu menjadi bertambah panjang oleh kuku-kukunya! Ternyata orang itu mempunyai kuku-kuku jari yang aneh, yang dapat digulung dan kalau perlu, dengan kekuatan sin-kangnya, kuku yang tadinya bergulung itu dapat menegang dan panjangnya setiap kuku tidak kurang dari sepuluh senti!
"Brettt...!"
"Aihhh...!"
Li Hwa menjerit kaget ketika ujung bajunya kena dicakar dan robek. Hal ini adalah karena dia tidak mengira bahwa kuku jari itu dapat memanjang maka ketika cengkeraman lawan dapat dielakkan, kuku-kuku yang memanjang itu masih dapat mencakar ujung bajunya. Untung bukan kulit lambungnya yang kena dicakar! Marahlah Li Hwa. Dia tahu sekarang bahayanya lawan ini, maka dia cepat menggerakkan tubuhnya mainkan jurus-jurus pilihan dari Jit-goat-sin-ciang-hoat, yang sukar dicari tandingannya itu. Gerakan kedua tangannya yang menyerang terisi dengan tenaga Im-yang-sin-kang, dan kadang-kadang pukulannya dicampur dengan It-ci-sian mengarah jalan darah yang berbahaya. Ternyata bagi Li Hwa bahwa lawannya ini hanya kelihatannya saja menyeramkan dan berbahaya.
Padahal ilmu silatnya hainyalah ilmu silat golongan hitam yang hanya berbahaya tampaknya dan tidak memiliki dasar yang kuat. Kalau berhadapan dengan ahli silat biasa, tentu Si Mayat Hidup ini merupakan lawan yang berbahaya sekali dan setiap serangannya dapat mendatangkan maut. Akan tetapi terhadap dia yang sudah menerima gemblengan seorang sakti seperti The Hoo, segera dara ini dapat melihat kelemahannya. Setelah bertanding selama tiga puluh jurus, tiba-tiba Li Hwa mengerahkan khi-kang, membentak keras sekali, kedua kakinya seperti kitiran angin melakukan tendangan Soan-hong-twi (Tendangan Angin Puyuh) sehingga lawannya merintih panjang dan terpaksa mengelak ke kanan kiri untuk menghindarkan tendangan bertubi-tubi yang amat berbahaya itu. Tiba-tiba tangan kiri Li Hwa bergerak dari atas, dikebutkan ke arah pundak lawan.
"Krekk!"
Si Mayat Hidup mengeluh dan sebuah tendangan tepat mengenai pinggulnya sehingga tubuh yang ringan itu terlempar sampai empat meter dan terbanting roboh. Di situ dia merintih karena tulang pundaknya terlepas dan pinggul yang tidak berdaging itu menjadi biru! Terdengar orang bersorak. Kiranya Ouwyang Bouw yang bersorak
"Hidup calon isteriku yang perkasa!"
Dia berlari menghampiri Li Hwa dan menjura dengan hormat.
"Terimalah rasa kagum dan hormatku, Nona Souw calon isteriku yang cantik dan gagah perkasa!"
Biarpun dia sudah menjaga diri agar tidak terserang marah, menghadapi pemuda ini, naik juga darah Li Hwa. Mukanya menjadi merah, matanya mendelik mengeluarkan sinar berapi dan dia membentak.
"Orang gila menjemukan! Mampuslah!"
Tamparan tangan kiri Li Hwa itu sama sekali tidak ditangkis oleh Ouwyang Bouw yang hanya mengangkat sedikit kepalanya ke atas sehingga telapak tangan Li Hwa yang menampar kepala itu mengenal pipinya.
"Plakk...!"
"Wah, terima kasih, Nona. Telapak tanganmu sungguh halus, hangat, dan harum sekali!"
Kata Ouwyang Bouw sambil mengelus-elus pipinya yang kena tampar. Bukan main marahnya hati Li Hwa, apalagi mendengar suara ketawa anak buah Pulau Ular yang tertawa-tawa. Dia maklum bahwa pemuda gila ini tidak beleh disamakan dengan jagoan Nepal dan Si Mayat Hidup tadi, dan dia pun maklum bahwa dia tidak dapat mundur lagi. Melarikan diri tak mungkin, maka jalan satu-satunya hanya mengadu kepandaian untuk menuntut dikembalikannya bokor emas atau kalau perlu berkorban nyawa.
"Srattt...!"
Li Hwa sudah mencabut pedangnya. Dengan sikap gagah dia lalu berkata kepada Ban-tok Coa-ong.
"Ban-tok Coa-ong, engkau sebagai tuan rumah di pulau ini, majulah. Mari kita tentukan siapa yang herhak membawa bokor emas di ujung pedang. Jangan mengajukan anakmu yang gila!"
"Ha-ha, Nona Souw yang manis, calon isteriku yang cantik. Jangan begitu, ah! Menggodaku beleh saja, tapi jangan keterlaluan. Aku memang gila, siapa tidak akan tergila-gila memandang wajahmu yang cantik manis? Engkau ingin main-main dengan pedang? Baik, mari kulayani. Memang calon suami isteri harus mengenal kelihaian masing-masing!"
Pemuda sinting itu menggerakkan tangan kanannya dan sebatang pedang yang berbentuk tubuh ular telah tercabut keluar. Sambil melintangkan pedang ular yang mengerikan itu di depan dada, Ouwyang Bouw memasang kuda-kuda dengan lagak yang dibuat gagah sehingga kelihatan lucu namun menjemukan bagi Li Hwa karena pemuda itu tersenyum-senyum dan melirik-lirik kepadanya!
"Iblis bermulut busuk!"
Dia memaki dengan marah, pedangnya sudah bergerak menerjang dengan kecepatan laksana kilat.
"Trang-trang-cringgg...!"
Bunga api berpijar ketika kedua senjata itu bertemu berkali-kali. Merasa betapa pedangya tergetar oleh tangkisan pemuda itu, Li Hwa maklum bahwa tenaga sin-kang lawannya tidak lemah, maka cepat dia menggunakan tenaga lawan ketika menangkis lagi untuk mencelat ke atas, berjungkir balik dan dari atas tangan kirinya diayun. Sinar putih berkeredepan menyambar ke arah Ouwyang Bouw. Itulah gin-ciam (jarum perak), senjata rahasia Li Hwa yang amat lihai.
"Aihhh... engkau pandai main jarum. Bagus...!"
Ouwyang Bouw menggerakkan tangan kirinya dan lengan bajunya menerima jarum-jarum perak yang menancap dan berjajar rapi di ujung lengan bajunya! Sambil tersenyum dia menggerakkan lengan baju itu dan sinar perak menyambar ke arah kaki Li Hwa yang masih belum turun ke atas tanah. Dara ini cepat menggerakkan pedangnya, diputar sedemikian rupa sehingga gulungan sinar pedang menggulung jarum-jarum peraknya sendiri itu, kemudian dia menggerakkan pedang dan jarum-jarum itu kembali melesat ke arah Ouwyang Bouw.
"Cuiiitttt... trakkk...!"
Sinar perak itu bertemu dengan sinar merah dan runtuhlah jarum-jarum perak itu bertemu dengan jarum-jarum merah yang dilepaskan oleh Ouwyang Bouw. Li Hwa terkejut. Kiranya dalam kepandaian melemparkan jarum, pemuda sinting itu tidak kalah pandai olehnya. Maka dia lalu berteriak nyaring dan menerjang maju, memutar pedangnya dengan hebat karena dara ini telah mengambil keputusan untuk merobohkan lawannya.
"Kau hebat... kau cantik menarik, kau gagah perkasa... heeeiiitttt!"
Ouwyang Bouw terpaksa melempar tubuh ke belakang dan bergulingan. Karena dia tadi bicara dan menggoda, maka hampir saja dia celaka oleh sinar pedang dara itu yang amat hebat. Dia cepat meloncat lagi melihat pedang lawan terus mengejarnya, menangkis dan terpaksa balas menyerang ketika mendapat kenyataan bahwa ilmu pedang dara itu benar-benar amat lihai dan sama sekali tidak boleh dia lawan sambil bersendau-gurau!
Pertandingan itu berlangsung dengan seru sekali dan ternyata oleh kedua pihak bahwa tingkat kepandaian mereka seimbang, baik mengenai kecepatan maupun tenaga sin-kang. Hanya bedanya, kalau ilmu pedang Li Hwa mengandung dasar yang amat kuat dan aseli, mempunyai daya tahan yang kokoh dan daya serang langsung dan menekan, sebaliknya ilmu pedang yang dimainkan oleh Ouwyang Bouw mengandung perkembangan yang penuh tipu muslihat, banyak gerakan pancingan dan pura-pura yang amat curang. Akan tetapi, karena Li Hwa selalu menyerang dengan niat membunuh lawan sedangkan sebaliknya pemuda yang tergila-gila itu tidak ingin melukai apalagi membunuh lawan, perlahan-lahan pemuda itu terdesak dan gulungan sinar pedangnya makin tertekan.
"Jelas dia murid The Hoo dan kalau dia bisa dijadikan tawanan sebagai sandera, tentu The Hoo tidak berani mengganggu kita!"
Toat-beng Hoat-su barkata.
"Benar sekali,"
Jawah Ban-tok Coa--ong sambil memperhatikan pertandingan antara dara itu dengan puteranya.
"Bouw-ji (Anak Bouw) tidak tega melukainya, keadaannya amat berbahaya. Kalau sampai dia terluka, tentu dia akan lupa diri dan jangan-jangan dia akan membunuh dara itu. Sebaiknya kita turun tangan menangkapnya."
Toat-beng Hoat-su tidak percaya bahwa pemuda itu akan dapat mengalahkan Li Hwa, akan tetapi dia diam saja, hanya mengangguk dan kedua kakek ini lalu bergerak maju ke medan pertandingan. Pada saat itu, pedang di tangan Li Hwa sedang bertemu dengan pedang ular di tangan Ouwyang Bouw. Kesempatan ini dipergunakan oleh dua orang datuk yang lihai itu untuk turun tangan, Ban-tok Coa-ong mengetuk pergelangan tangan kanan Li Hwa sehingga pedangnya terlepas sedangkan Toat-beng Hoat-su menepuk pundaknya. Li Hwa mengeluh dan roboh, tubuhnya disambar oleh pelukan Ouwyang Bouw. Dara itu yang lumpuh kedua tangannya, menggerakkan kaki menendang pusar, akan tetapi pemuda itu menangkap kakinya dan menotok punggungnya sehingga kini kedua kakinya lumpuh pula. Sambil tertawa-tawa Ouwyang Bouw memondong tubuh dara itu dan tangan kanannya masih memegang pedang ular, lalu membawa dara itu lari.
"Bouw-ji... awas jangan kau sampai membunuhnya!"
Teriak Ban-tok Coa-ong. Ouwyang Bouw menoleh sambil tertawa.
Petualang Asmara Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Apakah Ayah telah menjadi gila? Aku cinta kepadanya, mana mungkin membunuhnya? Ha-ha-ha!"
"Ha-ha-ha, engkau memang sudah pantas kawin, Anakku!"
"Setahun lagi Ayah akan memondong cucu!"
Pemuda gila itu tertawa-tawa sambil lari memhawa Li Hwa memasuki pondok yang menjadi tempat kediamannya. Ban-tok Coa-ong menyuruh anak buahnya menyingkirkan mayat Madhula dan mayat Sanghida yang tinggal tulang kemudian bersama Toat-beng Hoat-su dia kembali ke dalam pondok besar.
"Harus dicegah agar puteramu jangan sampai membunuh tawanan penting itu,"
Kata Toat-beng Hoat-su, khawatir juga menyaksikan kelakuan pemuda yang edan-edanan itu.
"Jangan khawatir. Agaknya anakku sekali ini benar-benar jatuh cinta. Alangkah baiknya kalau aku dapat berbesan dengan The Hoo. Tentu soal bokor emas bukan hal yang perlu dia ributkan lagi."
"Lebih penting lagi, dia tentu akan mau membuka rahasia bokor itu. Sungguh menjengkelkan. Susah-payah dicari dan diperebutkan, setelah berada di tangan kita, kita tidak mampu membuka rahasianya."
Kata Toat-beng Hoat-su dengan wajah kesal. Berhari-hari mereka berdua menyelidiki bokor emas, membolak-balik, menekan sana-sini, namun belum juga dapat menemukan rahasianya. Padahal kabarnya bokor itu mengandung petunjuk tempat penyimpanan harta pusaka kitab-kitab pusaka yang amat luar biasa. Tidak takut bokor itu rusak dan rahasianya ikut pula terusak,
Tentu mereka sudah membanting pecah benda pusaka itu! Kini mereka memasuki kamar rahasia dan kembali kedua orang kakek yang menjadi datuk kaum sesat itu melanjutkan penyelidikan mereka tentang bokor emas. Memang ada guratan-guratan aneh di sebelah dalam bokor, akan tetapi mereka tidak dapat memecahkan rahasia guratan-guratan ini karena guratan-guratan itu bukan merupakan huruf-huruf yang dapat terbaca, juga bukan merupakan peta yang dapat dimengerti. Sementara itu, Li Hwa yang sadar akan tetapi tidak mampu menggerakkan kaki tangannya itu dipondong oleh Ouw-yang Bouw dan dibawa masuk ke dalam pondoknya, terus memasuki kamarnya dan dengan hati-hati, bahkan dengan lemah-lembut dan mesra dibaringkannya tubuh dara itu di atas pembaringannya yang mewah, bersih dan harum baunya.
Namun diam-diam Li Hwa bergidik melihat betapa di dalam kamar itu penuh dengan belasan ekor ular-ular berbisa yang melingkar di sana-sini, merayap di sana-sini dalam keadaan jinak seolah-olah ular berbisa itu adalah binatang peliharaan dan kesayangan! Diam-diam dia mengambil keputusan bahwa kalau dia sempat dia akan memukul mati pemuda ini, kemudian mengamuk dan kalau perlu mengadu nyawa karena dia pun mengerti bahwa keselamatannya terancam hebat, bukan karena nyawanya yang terancam, juga kehormatannya! Setelah merebahkan tubuh Li Hwa, Ouwyang Bouw duduk di pinggir pembaringan itu, menatap wajah yang cantik itu penuh kagum, penuh kasih sayang, bahkan dengan pandang mata mesra. Pandang mata yang membuat Li Hwa bergidik karena pandang mata itu seolah-olah dapat dia rasakan menyelusuri seluruh tubuhnya, seolah-olah pandang mata itu mampu menelanjanginya!
"Moi-moi yang manis... kau menurutlah menjadi isteriku, hidup dengan makmur dan mulia di pulau ini, sebagai ratu! Ya, aku akan memuliakanmu sebagai seorang ratu... adikku yang tercinta...!"
Namun Li Hwa memandang dengan mata mendelik penuh kebencian biarpun di dalam hatinya dia merasa khawatir sekali. Dia maklum bahwa jika pemuda gila itu pada saat dia lumpuh kaki tangannya melakukan segala kekejian terhadap dirinya, dia tidak akan mampu mempertahankan kehormatannya, tidak akan mampu membela diri. Hampir dia pingsan memikirkan kemungkinan yang mengerikan ini.
Akan tetapi untung baginya pemuda itu memang tidak suka memperkosa wanita dan biarpun dia ingin sekali menguasai tubuh Li Hwa, namun dia mempunyai perasaan lain terhadap dara ini, tidak seperti perasaannya terhadap wanita-wanita lain yang telah menjadi korbannya. Dia sudah jatuh cinta kepada Li Hwa dan ingin mengambil Li Hwa ini sebagai isterinya! Karena itu, dia tidak akan menggunakan cara-cara yang keji untuk sementara waktu ini, hanya ingin mengandalkan bujukan dan rayuannya. Setelah dia menggunakan tali kain sutera yang halus akan tetapi kuat sekali untuk membelenggu kaki tangan dara itu, dia membebaskan totokan pada tubuh Li Hwa sehingga dara itu tidak terlalu tersiksa, dapat menggerakkan kaki tangannya sungguhpun tidak berdaya melawan karena kaki dan tangannya dibelenggu di belakang tubuhnya.
"Adikku sayang, kalau menurut, engkau akan kubebaskan dan kita akan merayakan pesta pernikahan kita di pulau ini"
"Huh, lebih baik aku mati!"
Li Hwa menjawab sambil membuang muka. Ouwyang Bouw tersenyum.
"Kita sama lihat saja apakah engkau akan dapat terus berkeras kepala, Adikku. Engkau menolak orang seperti aku? Ha-ha, hendak memilih yang macam bagaimana? Lihat baik-baik, bukankan aku seorang pemuda yang tampan dan gagah?"
Melihat betapa Li Hwa tidak mau menoleh, Ouwyang Bouw lalu meloncat dekat dan sekali menotok, dia membuat Li Hwa tak mampu menggerakkan lehernya lagi sehingga ketika mukanya dihadapkan kepada pemuda itu, dia tidak dapat membuang muka. Terpaksa dia melihat pemuda itu bergaya di depannya, dengan senyum dibuat-buat dan dada diangkat. Bahkan kemudian pemuda itu menyelinap ke kamar lain dan ketika muncul kembali, dia telah mengenakan pakaian lain yang lebih mewah. Sampai tiga kali pemuda itu bertukar pakaian dan bergaya di depan Li Hwa seperti lagak seorang peragawan memamerkan pakaian.
"Lihat, bukankah aku tidak kalah tampan oleh para pangeran di istana? Banyak wanita tergila-gila kepadaku, akan tetapi aku hanya memilih engkau, Li Hwa! Aku cinta kepadamu dan kau sudah tahu akan kelihaian ilmuku."
Li Hwa mencibirkan bibirnya, sengaja memperilhatkan muka dan sinar mata mengejek dan memandang rendah.
"Apa engkau belum puas? Bukan hanya pakaianku saja yang membuat aku kelihatan tampan dan gagah, bahkan seluruh tubuhku pun tidak ada cacadnya! Nah, kau lihat baik-baik!"
Pemuda yang sinting itu kini menanggalkan pakaiannya satu demi satu! Tadinya Li Hwa mengira pemuda itu memamerkan bentuk tubuhnya yang memang tegap berotot, akan tetapi matanya yang terbelalak itu kemudian dipejamkan ketika tenyata bahwa pemuda itu menanggalkan seluruh pakaiannya, termasuk pakaian dalamnya sehingga pemuda itu berdiri telanjang bulat di depannya, hanya mengenakan sepatunya!
"Ha-ha-ha, engkau tidak tahan melihatku dan memejamkan mata? Bagus, kalau kau tidak memejamkan mata, engkau tentu akan tergila-gila, kepadaku!"
Dapat dibayangkan betapa ngeri dan jijik rasa hati Li Hwa menghadapi pemuda gila ini. Ketika tadi dia melihat pemuda itu menanggalkan baju dalamnya, sebelum dia memejamkan mata, dia melihat dada yang telanjang dan aneh, begitu dia memejamkan mata, tampaklah dada telanjang dari Yuan de Gama! Lebih aneh lagi, muncul rasa rindu hatinya kepada Yuan, pemuda yang bersikap sopan santun kepadanya, menjadi kebalikan dari pemuda sinting ini. Tanpa disadarinya, dalam keadaan terancam seperti itu, dia membayangkan wajah Yuan dan hatinya menjeritkan nama pemuda asing itu! Sambil tertawa-tawa Ouwyang Bouw mengenakan lagi pakaiannya kemudian meninggalkan kamar setelah menyuruh beberapa orang penjaga melakukan penjagaan di luar kamarnya. Li Hwa ditinggalkan seorang diri di dalam kamar itu dan dia termenung, memutar otaknya mencari akal untuk dapat meloloskan diri dari tempat berbahaya ini.
Satu-satunya harapannya adalah gurunya. Gurunya tahu akan bokor emas, telah menerima laporan pengawal Tio Hok Gwan dan gurunya tahu pula bahwa dia sendirian melakukan penyelidikan. Gurunya tentu mengirim orang-orang pandai, mungkin Tio Hok Gwan sendiri, mungkin pula Pendekar Sakti Cia Keng Hong, untuk menyerbu Pulau Ular dan saat inilah yang ditunggu-tunggunya karena hanya itu yang mungkin akan memberi harapan baginya untuk lolos dari bahaya ini. Maka Li Hwa juga tidak mengambil keputusan pendek setelah dengan jelas dia melihat gelagat bahwa Ouwyang Bouw tidak akan memperkosanya, melainkan hendak membujuknya agar dia suka tunduk dan menyerahkan diri. Kini dia dipindahkan ke dalam sebuah kamar tahanan. Belenggu kaki tangannya dilepaskan,
Akan tetapi kedua kakinya diikat dengan rantai baja yang panjang, yang memungkinkan untuk bergerak dan berjalan di dalam kamar tahanan itu, akan tetapi tidak memungkinkan dia untuk melarikan diri. Juga kedua tangannya dibelenggu dengan rantai baja yang panjang. Hanya rantai itu yang menyatakan bahwa dia menjadi tawanan. Akan tetapi selain dari rantai itu dia diperlakukan dengan baik, diberi kesempatan untuk mandi dan makan, bahkan para penjaga bersikap hormat kepadanya karena dia dianggap sebagai calon isteri Ouwyang Bouw! Sampai berhari-hari lamanya, Li Hwa tetap tidak mau tunduk dan selalu menyambut kedatangan Ouwyang Bouw ke kamarnya dengan caci maki. Di samping ini, dia berlaku hati-hati sekali, selalu menggunakan jarum peraknya untuk memeriksa setiap makanan dan minuman agar jangan sampai dia dipengaruhi racun.
Akan tetapi, ternyata bahwa Ouwyang Bouw belum sampai sejauh itu usahanya untuk menguasainya. Ouwyang Bouw menghendaki agar wanita yang membuatnya tergila-gila itu benar-benar tunduk bukan karena terpaksa oleh pengaruh racun atau karena dia perkosa. Dan kesabaran seorang glia seperti dia memang luar biasa sekali! Tiga hari kemudian sejak Li Hwa ditangkap, sebuah perahu kecil meluncur cepat menuju ke Pulau Ular dari daratan Teluk Pohai. Di dalam perahu itu hanya ada seorang pemuda berkepala gundul yang bukan lain adalah Kun Liong. Pemuda ini mulai dengan penyelidikannya untuk membantu Li Hwa yang dikabarkan telah lebih dahulu melakukan penyelidikan. Kun Liong maklum betapa berbahayanya tempat tinggal orang-orang seperti Toat-beng Hoat-su dan Ban-tok Coa-ong maka dia sangat mengkhawatirkan keselamatan Li Hwa.
Dia mulai mencari Pulau Ular dan hari telah malam ketika dia melihat bayangan pulau yang bentuknya seperti ular melingkar di atas batok di sebelah selatan itu, presis seperti penjelasan dan gambaran yang didapatkannya dari keterangan Cia Keng Hong sebelum dia berangkat. Tiba-tiba Kun Liong terkejut. Hampir perahunya terguling ketika ombak tiba-tiba datang bergelombang! Dan malam itu mendadak saja menjadi gelap, bintang-bintang yang tadi menghias angkasa kini lenyap tertutup awan hitam. Wah, celaka! Benarkah datuk-datuk kaum sesat itu menggunakan ilmu hitam seperti yang didongengkan orang, sehingga setelah perahunya mendekati Pulau Ular dia diserang badai? Ilmu hitam atau bukan, dia harus berjuang melawan ombak yang datang bergulung-gulung! Dia memegang dayungnya dan sejenak pemuda yang biasanya tabah ini menjadi bingung juga.
Tidak tampak lagi pulau tadi, tidak tampak pula deratan. Di sekelilingnya air menghitam dengan suara menderu-deru. Perahunya diombang-ambingkan ombak, tak tentu lagi arahnya. Betapapun tabahnya, Kun Liong menjadi gelisah. Selama ini, pengalamannya dengan air hanya di sepanjang Sungai Huang-ho, dan betapa pun lebar Sungai Huang-ho, dibandingkan dengan laut ini bukan apa-apa. Bagaimana kalau perahunya terguling? Dahulu dia pernah hanyut di sungai. Baru hanyut di sungai saja sudah sukar baginya untuk berenang ke tepi. Apalagi sampai hanyut di laut! Tiba-tiba tampak otehnya sinar api di depan. Terlambat dia mengetahui bahwa sinar itu adalah sinar lampu yang bergantungan di sebuah perahu yang besar. Tahu-tahu di depannya muncul tubuh perahu besar sekali, seperti iblis lautan hendak melawannya.
"Heiii... ada perahu.. minggir...!"
Kun Liong menggunakan suara yang didorong oleh tenaga khi-kang yang amat kuat untuk berseru. Suaranya melengking tinggi melawan gemuruh air laut yang bergelombang. Akan tetapi terlambat. Terdengar suara keras, perahunya pecah terguling dan dia sendiri terlempar ke dalam air!
"Heii...! Tolooong, auuupp...!"
Kun Liong gelagapan ketika mulutnya yang menjerit itu kemasukan air yang rasanya sampai pahit saking asinnya! Dia menggerakkan kaki tangan dan terasa betapa tubuhnya ringan sekali dan lebih mudah baginya untuk mengambang di permukaan air.
Ini pengalaman baru baginya karena dia tidak tahu bahwa air yang asin membuat tubuhnya lebih ringan, tidak seperti di air tawar. Teriakan-teriakan Kun Liong yang amat nyaring tadi karena didorong oleh tenaga khi-kang ternyata ada juga gunanya karena terdengar oleh mereka yang berada di atas perahu. Beberapa sosok bayangan orang tampak di langkan pinggir perahu, menjenguk ke bawah dan ada suara orang dalam bahasa asing. Kemudian tampak segulung tambang dilontarkan ke bawah. Melihat ini, Kun Liong cepat menyambar tambang itu dan dengan girang dia merasa betapa tubuhnya diseret. Kemudian ditarik naik ke tubuh perahu. Beberapa pasang tangan membantunya naik. Kun Liong duduk terengah-engah di atas dek perahu, tidak peduli kepada beberapa orang yang datang membawa lampu perahu yang bergoyang-goyang.
Dia mengerahkan hawa di perut untuk mendorong keluar air laut yang membuat perutnya membusung. Beberapa kali dia muntahkan air laut sampai perutnya kosong kembali. Terlalu kosong sampai lapar! Barulah dia memperhatikan muka orang-orang yang merubungnya. Muka-muka yang asing berkulit putih. Mata yang biru! Akan tetapi pandang matanya terpikat dan melekat pada sepasang mata biru indah yang... bukan main! Bulu matanya panjang, alisnya melengkung dan hidungnya mancung sekali di atas sepasang bibir yang... bukan main! Baru sekarang Kun Liong menyaksikan kecantikan seorang wanita yang hebat dan aneh dan... khas. Tahulah dia bahwa wanita muda yang memandangnya dengan mata setengah terpejam itu adalah seorang wanita sebangsa dengan Yuan de Gama, akan tetapi cantik bukan main.
"Engkau siapakah? Mengapa malam-malam begini naik perahu kecil seorang diri? Apakah kau seorang nelayan?"
Bibir yang merah manis itu menghujankan pertanyaan. Kun Liong tidak menjawab, terpesona oleh gerak bibir manis yang kadang-kadang memperlihatkan kilauan gigi putih tertimpa sinar lampu merah.
"Ahh, apakah bahasaku tidak jelas? Aku baru belajar bahasa pribumi, maafkan kalau kaku..."
"Aku mengerti semua, Nona. Bahasamu baik sekali... terima kasih... aku bukan nelayan, aku... aku sedang melancong..."
"Ha-ha-ha, melancong di malam hari di atas perahu kecil di tengah laut! Bukan main anehnya bangsa pribumi!"
Terdengar suara parau besar dan suara tertawa itu bergelak seperti gelora ombak gemuruh tidak terkekang.
Kun Liong menoleh dan melihat seorang laki-laki berusia kurang lebih lima puluh tahun, bertubuh tinggi besar dan berwajah tampan, namun rambutnya yang keemasan sudah mulai memutih di atas kedua telinga. Kumisnya tebal melintang di atas mulut dan sinar matanya lembut. Tiba-tiba terdengar seruan-seruan keras dalam bahasa asing disusul jeritan beberapa orang wanita muda yang berlari mendatangi. Keadaan di atas perahu besar itu menjadi kacau balau. Dara jelita tadi bersama teman-teman perempuan lainnya berlari-larian memasuki bilik perahu, sedangkan laki-laki setengah tua yang gagah tadi mengeluarkan suara memerintah. Anak buah perahu yang terdiri dari belasan orang laki-laki asing yang berkaos loreng, sibuk hilir-mudik di atas perahu.
Kun Liong merasa heran. Kesehatannya telah pulih kembali dan dia bangkit berdiri. Keadaan di atas perahu itu kini terang benderang karena para anak buah perahu menyalakan banyak lampu yang digantungkan di sekeliling perahu. Kiranya di dekat perahu besar itu kini tampak muncul enam buah perahu kecil yang seperti iblis bermunculan dari dalam gelap, dan di atas perahu-perahu kecil itu berdiri orang-orang yang mremegang senjata golok dan pedang. Setiap perahu terdapat tiga orang sehingga semuanya ada delapan belas orang. Setelah perahu-perahu kecil menempel pada perahu besar seperti sekumpulan lintah, tampak tali-tali melayang dari bawah, ujungnya ada kaitannya dan orang-orang itu memanjat ke atas, bahkan ada yang langsung meloncat dari perahu kecil ke atas perahu besar dengan gerakan ringan sekali.
"Hemmm, bajak-bajak laut,"
Pikir Kun Liong dan cepat dia melangkah maju. Cepat sekali para bajak itu sudah berada di atas perahu besar dan terjadilah perkelahian seru antara para bajak laut dan anak buah perahu. Kakek tua gagah perkasa itu pun ikut berkelahi. Dengan kedua tangan terkepal dia mengamuk. Seorang bajak menyerangnya dengan golok, kakek asing itu mengelak, akan tetapi bahu kirinya terserempet golok sehingga terluka. Tanpa mempedulikan lukanya, kakek itu menghantam dada bajak itu dengan kepalan tangan kanannya, membuat bajak itu terjengkang dan terbatuk-batuk.
Bajak ke dua sudah datang menyerbu dengan pedang diputar-putar di atas kepala, langsung membacok, akan tetapi tiba-tiba tubuhnya menjadi kaku karena dari belakang dia telah ditotok oleh Kun Liong. Pemuda ini lalu menarik lengan bajak itu, sekali dia mengayun tangan, tubuh bajak itu terlempar ke luar perahu besar! Kun Liong tidak mempedulikan seruan girang kakek berkumis melintang yang agaknya menjadi pemilik perahu besar itu, terus dia menyerbu ke depan. Seorang bajak menyambutnya dengan bacokan golok. Kun Liong miringkan tubuhnya, menampar lengan yang memegang golok. Orang itu berterlak kesakitan, goloknya terlepas, akan tetapi dia nekat dan menerjang Kun Liong dengan tangan kanan mencengkeram leher, Kun Liong menyambut tangan itu dengan tangkisan, kemudian kakinya menendang.
"Desss!"
Tubuh bajak ini pun terlempar keluar dari perahu besar. Kun Liong tahu bahwa pada saat itu ada golok menusuk dari belakang mengarah punggungnya.
"Saudara muda, hati-hati belakangmu...!"
Kakek itu berseru, akan tetapi Kun Liong yang sudah menangkap seorang bajak lain, tidak mempedulikan tusukan itu melainkan mengerahkan sin-kangnya. Ujung golok itu mengenai punggungnya, merobek bajunya sampai terbuka lebar akan tetapi ketika mengenai kulitnya yang terlindung sin-kang dari dalam, golok itu meleset. Kun Liong melemparkan orang yang ditangkapnya, membalik dan tendangannya membuat orang yang menusuknya tadi terjungkal, kemudian dia pun melemparkan orang ini ke luar perahu. Amukan Kun Liong membuat para bajak yang terdiri dari orang Nepal berambut panjang dan orang-orang Han yang kasar itu menjadi jerih.
Pedang Kayu Harum Eps 27 Pusaka Pulau Es Eps 2 Pedang Kayu Harum Eps 16