Ceritasilat Novel Online

Petualang Asmara 30


Petualang Asmara Karya Kho Ping Hoo Bagian 30



"Huah-ha-ha, mukamu yang halus akan kugurat-gurat malang melintang, tubuhmu yang montok akan kurobek dengan senjataku, huah-ha-ha!"

   Kakek itu agaknya girang sekali dapat mendesak Hwi Sian yang merupakan makanan empuk baginya. Namun Hwi Sian menggigit bibir dan tak pernah mau menyerah, bahkan memutar pedangnya dengan gerakan nekat.

   "Wirrrr...!"

   Senjata gergaji itu menyambar dengan gerakan berputar. Hwi Sian menangkis.

   "Plak... krekkk!"

   Hwi Sian mengeluh karena hampir saja telapak tangannya terkupas kulitnya ketika dia hendak mempertahankan pedangnya yang kena dikait dan diputar oleh senjata lawan sehingga akhirnya patah-patah. Tangan kiri kakek itu menyambar ke arah kepala Hwi Sian, ketika dara itu mengelak, tiba-tiba saja tangan itu menghantam ke bawah.

   "Plakkk!"

   Telapak tangan kiri kakek itu telah menampar paha kanan Hwi Sian dengan sikap kurang ajar sekali, akan tetapi karena tamparan itu mengandung hawa sin-kang yang beracun, akibatnya Hwi Sian terpelanting.

   "Huah-ha-ha!"

   Kakek itu maju dengan senjatanya digerakkan ke arah muka Hwi Sian.

   "Plak! Bukkk...! Aadouuuhhh...!"

   Kakek raksasa itu terhuyung mundur. Tadi lengannya yang memegang senjata kena ditampar tangan Kun Liong kemudian pinggangnya dihantam pemuda itu. Untung bahwa Hwi Sian terancam maut, Kun Liong melihatnya maka pemuda ini cepat meninggalkan Kwi-eng Niocu yang sebetulnya sudah terdesak untuk menolong nyawa Hwi Sian dan dia berhasil.

   "Kun Liong, aku... terluka... ahhh..."

   Hwi Sian mengeluh tak dapat bangkit kembali, pahanya terasa panas dan kakinya lumpuh.

   "Jangan khawatir, aku melindungimu!"

   Kini Kun Liong menyambar pedang buntung bekas milik Hwi Sian dan dengan senjata ini, dia mainkan ilmu Silat Siang-liong-pang, diimbangi tangan kirinya yang dipergunakan sebagai tongkat.

   Hebat bukan main permainan ini sehingga biarpun kakek raksasa dan Kwi-eng Niocu mengeroyoknya, dia tetap dapat mempertahankan diri dan sekaligus juga melindungi tubuh Hwi Sian yang rebah miring. Tiba-tiba terdengar sorak-sorai dan muncullah pasukan yang dipimpin oleh Tio Hok Gwan! Jumlah mereka banyak sekali dan terjadilah perang campuh yang seru dan kacau balau di mana anak buah Kwi-eng-pang mengalami himpitan yang luar biasa sehingga mereka menjadi panik. Adapun Tio Hok Gwan ketika melihat Kun Liong dikeroyok dan Hwi Sian menggeletak dilindungi oleh Kun Liong, segera menerjang maju. Di tangannya terpegang sabuk pecut, yaitu senjata joan-pian (ruyung lemas) yang amat lihai. Ketika dia menggerakkan pecutnya, terdengar bunyi ledakan-ledakan keras dan terdengar dia berseru,

   "Tua bangka Thian-ong Lo-mo, tak tahu malu melakukan pengeroyokan, Akulah lawanmu!"

   Jelas nampak betapa kakek raksasa ini jerih ketika melihat kakek tinggi kurus yang seperti orang pengantuk itu. Dia sudah mengenal Tio Hok Gwan, mengenal pengawal nomor satu dari Panglima The Hoo yang berjuluk Ban-kin-kwi (Iblis Bertenaga Selaksa Kati) dan amat lihai ini. Namun dia juga menggereng keras, dan senjatanya juga berupa sabuk akan tetapi berbentuk gergaji, digerakkan dengan cepat. Terjadilah pertandingan antara dua orang sakti ini. Kini Kun Liong kembali menyerang Kwi-eng Niocu yang menjadi makin panik.

   "Kun Liong... kuserahkan pusaka Siauw-lim-pai... tetapi engkau bebaskan aku dari sini..."

   Nenek itu memohon, akan tetapi Kun Liong tidak menjawab, melainkan mendesak terus dengan pedang buntungnya.

   "Cring-trak-trakkk... aihhh...!"

   Kwi-eng Niocu memekik ngeri ketika kuku jari tangan kanannya semua buntung terbabat pedang buntung! Dengan nekat dia lalu menghantamkan kebutannya ke arah kepala Kun Liong. Pemuda ini menggerakkan pedang buntungnya dan segera bulu kebutan melibat pedangnya sehingga tak dapat ditarik kembali, sedangkan tangan kiri nenek itu sudah mencengkeram ke arah ubun-ubun kepalanya. Kun Liong juga menggerakkan tangan kiri, menyambut. Dia merasa sakit sekali ketika kuku-kuku runcing mencengkeram telapak tangannya, namun segera nenek itu menjerit dan jatuh berlutut, ketika tenaga sin-kangnya membanjir keluar disedot melalui telapak tangan pemuda yang dicengkeramnya.

   "Auuughhh... celaka...!"

   Dia berseru dan berusaha untuk menarik kembali tangannya. Celakanya kebutannya melibat pedang buntung dan tak dapet digerakkan pula dan ketika dia mengerahkan seluruh tenaga sin-kang untuk menarik tangannya yang melekat, makin banyak sin-kangnya memberobot keluar. Makin dia mengerahkan sin-kang, makin banyak pula tenaga saktinya keluar.

   "Oughhh... lepaskan aku... ampunkan aku..."

   Tanpa malu-malu lagi nenek itu memohon. Kun Liong mengeraskan hatinya dan tidak mau menghentikan Thi-khi-i-beng sambil membayangkan kematian ayah dan ibunya di tangan nenek ini dan datuk-datuk hitam lain yang telah tewas. Wajah nenek itu menjadi pucat sekali dan dia merasa betapa tenaga sin-kangnya makin lama makin habis membanjir keluar melalui tangannya yang melekat pada telapak tangan pemuda itu. Tahulah dia apa artinya ini. Dia maklum pula bahwa pemuda ini tak mungkin mau mengampuninya,

   Karena sudah tahu bahwa ayah bundanya dibunuh oleh dia dan teman-temannya ketika itu. Maka sebagai seorang yang berkedudukan tinggi, sebagai Ketua Kwi-eng-pang, sebagai seorang di antara para datuk kaum sesat, Kwi-eng Niocu tidak mau terbunuh oleh lawan seorang pemuda seperti ini. Lebih baik bunuh diri! Dilepasnya gagang kebutannya dan secepat kilat dia mengerahkan seluruh tenaga yang masih ada, menggunakan tangan kanan yang sudah tidak ada kukunya itu mencengkeram ke arah kepalanya sendiri. Pada saat itu, Kun Liong sudah melepaskan Ilmu Thi-khi-i-beng karena di dalam hatinya timbul perasaan tidak tega untuk membunuh nenek itu. Tepat pada saat dia melepaskan tangan nenek yang menempel pada telapak tangannya, nenek itu telah mencengkeram ubun-ubun kepalanya sendiri dengan tangan kanan.

   "Crottt.. aughhh...!"

   Nenek itu roboh, kepalanya pecah dan otak serta darahnya berhamburan, matanya melotot memandang ke arah Kun Liong! Kun Liong berdiri seperti arca, matanya terbelalak memandang mayat Kwi-eng Niocu, hatinya merasa ngeri dan menyesal sekali. Dia tahu bahwa nenek itu membunuh diri sendiri, akan tetapi dia merasa bahwa dialah yang membunuh nenek ini. Dia membunuh karena nenek ini telah membunuh ayah bundanya. Kalau dia menganggap nenek ini jahat karena membunuh ayah bundanya, lalu apa bedanya dengan dia sendiri kalau dia sekarang membunuh nenek itu? Baik nenek itu, maupun dia, apa pun alasannya, keduanya adalah sama-sama pembunuh! Kun Liong menutupi muka dengan kedua tangannya.

   "Kun Liong... aduh... kakiku...!"

   Keluhan suara Hwi Sian ini menyadarkan Kun Liong. Dia menurunkan kedua tangannya, membalik dan tidak melihat lagi kepada mayat Kwi-eng Niocu. Ketika melihat betapa Tio Hok Gwan mendesak hebat kakek brewok tinggi besar yang lihai itu dan para perajurit kerajaan juga mendesak anak buah Kwi-eng-pang, dia lalu membungkuk dan membangunkan Hwi Sian. Dilihatnya paha kanan dara itu terluka parah dan matang biru, tahulan dia bahwa Hwi Sian telah menderita pukulan beracun, maka dipondongnya tubuh dara itu.

   "Ke mana Nona Cia Giok Keng?"

   Tanyanya sambil menoleh ke kanan kiri karena dia tidak melihat gadis itu.

   "Dia... tadi kulihat dia mengejar Liong Bu Kong ke sana... aduh..."

   Hwi Sian merintih dan merangkul leher Kun Liong.

   "Hemmm, jangan-jangan dia terjebak musuh. Mari kita kejar!"

   Kun Liong berlari cepat menuju ke arah yang ditunjuk Hwi Sian sambil memondong tubuh dara ini. Akan tetapi sampai di pantai pulau, mereka tidak melihat bayangan Giok Keng dan Bu Kong yang dikejar gadis itu.

   "Mereka tentu telah menyeberang ke darat, sebaiknya kita kejar mereka!"

   Kun Liong merebahkan tubuh Hwi Sian ke dalam sebuah perahu kecil, kemudian mendayung perahu itu dengan cepat dengan harapan akan dapat menyusul Cia Giok Keng yang dikhawatirkannya. Melihat kegelisahan Kun Liong, Hwi Sian yang merasa makin lemah, tubuhnya panas semua itu berkata,

   "Kun Liong... jangan takut... dia... dia memiliki ilmu kepandaian tinggi... takkan kalah oleh Liong Bu Kong... aku... aku... ahhh..."

   Dara ini tak dapat bertahan lagi dan pingsan.

   Barulah Kun Liong terkejut. Cepat dia memeriksa dan diam-diam dia memaki kakek raksasa yang memukul gadis ini. Paha itu matang biru dan menghitam, dan seluruh tubuh Hwi Sian panas sekali. Kalau dia tidak cepat mendapatkan obat pemunah tentu akan berbahaya sekali keadaannya. Maka dia menghentikan usahanya mencari Giok Keng dan mendayung perahunya menuju ke sebuah hutan di seberang. Kemudian setelah perahunya mendarat, dia memondong tubuh Hwi Sian dan meloncat ke darat, terus membawa dara itu memasuki hutan karena dia harus cepat-cepat berusaha mengobatinya sebelum terlambat. Hwi Sian merintih lirih, membuka matanya. Pertama-tama yang menarik pandang matanya adalah nyala api unggun di sebelah kanannya,

   Api unggun yang bukan hanya mendatangkan hawa hangat nyaman, akan tetapi juga mendatangkan penerangan sehingga dia dapat melihat bahwa dia berada di dalam sebuah kamar kuil tua, di atas lantai yang agaknya baru saja disapu bersih. Dan Kun Liong duduk di atas lantai, dekat dia, memeriksa dan mengobati paha kanannya dengan cara menempelkan telapak tangannya ke atas paha. Hwi Sian merasa heran sekali. Dia dapat merasakan betapa dari telapak tangan pemuda itu keluar hawa yang menyedot pahanya, dan dia merasa betapa panas yang tadi menyerangnya telah menurun, kepalanya tidak pening lagi, rasa nyeri pada pahanya sudah mengurang. Ketika Kun Liong menghentikan pengobatannya menyedot hawa beracun dari paha dara itu, dia lalu memandang Hwi Sian, tersenyum dan berkata,

   "Tenanglah, Hwi Sian. Hawa beracun telah lenyap dan untung tidak ada tulang dan urat yang rusak oleh pukulan keji itu."

   Sejenak Hwi Sian tidak menjawab, hanya memandang wajah pemuda berkepala gundul itu, bibirnya tersenyum akan tetapi dari matanya keluar dua titik air mata. Mula-mula Kun Liong juga hanya memandang. Mereka saling pandang di bawah cahaya nyala api unggun yang kemerahan dan yang membuat wajah mereka nampak indah dan aneh. Kemudian pemuda itu melihat keluarnya dua titik air mata, maka dia berseru,

   "Heiii! Ada apa lagi ini? Mengapa kau sekarang berubah menjadi cengeng (mudah menangis)?"

   Ditanya dengan suara sendau gurau ini, makin bertambah air mata mengalir di atas sepasang pipi yang halus itu, bahkan kini Hwi Sian terisak.

   "Eh-eh...! Kau kenapakah?"

   Kun Liong mengangkat bangun dara itu sehingga terduduk, dan menggunakan tangannya menghapus air mata yang membasahi pipi. Tak disangkanya bahwa perbuatannya ini bahkan membuat Hwi Sian tersedu-sedu dan dara itu menjatuhkan mukanya di atas dada Kun Liong. Kun Liong bingung dan bengong, tak tahu dia apa yang berada di dalam hati dara ini dan tak tahu pula apa yang harus dilakukannya. Maka dia diam saja, hanya mengelus rambut yang halus dan harum itu.

   "Kun Liong..."

   Akhirnya Hwi Sian dapat juga bicara setelah tangisnya mereda.

   "Hemmm...?"

   Kun Liong tidak berani bicara banyak, khawatir kalau kata-katanya akan mendatangkan lebih banyak air mata lagi.

   "Kau terlampau baik kepadaku..."

   "Ehh...? Masa...?"

   Dia masih belum berani bicara banyak, karena belum tahu kata-kata bagaimana yang harus dia keluarkan agar tidak mendatangkan tangis lagi.

   "Berkali-kali kau menolongku, menyelamatkan aku dari malapetaka, seolah-olah memberikan kembali nyawaku yang sudah terancam maut, dan aku... aku hanya menghinamu..."

   Kun Liong tersenyum di balik rambut-rambut yang harum itu. Kini lega hatinya. Kiranya itu yang membuat Hwi Sian menangis. Dara ini diserang perasaan terharu! Untuk membuyarkan perasaan haru, satu?satunya jalan adalah sendau- gurau.

   "Ah? Masa? Kan engkau sudah memberi upah berkali-kali kepadaku! Engkau pernah memberi upah cium, ingatkah?"

   Seketika Kun Liong merasa betapa tubuh yang merapat di dadanya itu menggigil, kemudian terdengar suara Hwi Sian dari dadanya.

   "Itulah... dan aku menganggapmu... ahhh..."

   Kembali dara itu menangis! Celaka, pikir Kun Liong. Dibawa sendau gurau, malah menangis lagi. Apa akalnya? Bagaimana kalau dipancing biar dara ini marah saja? Kemarahan dapat menghilangkan haru dan duka, biasanya begitu.

   "Eh, Hwi Sian! Kau menangis lagi?"

   "Aku... berhutang budi terlalu banyak kepadamu..."

   "Budi apa? Sudah lunas? Dan sekarang juga akan lunas kalau kau mau memberi upah cium kepadaku!"

   Ucapan ini sengaja dikeluarkan oleh Kun Liong, bukan hanya karena setiap kali melihat Hwi Sian, melihat mulut dara ini yang luar biasa manisnya membuat dia ingin menciumnya, akan tetapi juga dia keluarkan dengan maksud agar dara itu menjadi marah kepadanya. Benar saja. Tubuh itu meregang dalam pelukannya, akan tetapi Kun Liong yang sudah mengharapkan gadis itu marah dan menampar atau memakinya, merasa betapa tubuh itu lemah kembali dan terdengar suara halus menggetar,

   "Kalau begitu... kau... kau ciumlah aku, Kun Liong..."

   Kun Liong terkejut dan menunduk. Inilah salahnya. Begitu menunduk, dia melihat wajah gadis itu yang diangkat sehingga dia melihat mulut yang bibirnya merah membasah, terbuka sedikit dan seperti menantang itu. Tidak kuat dia bertahan lagi, apalagi ciuman ini disetujui dan diminta oleh Hwi Sian! Dan dia memang suka menciumnya. Apa salahnya? Tanpa bicara lagi, dia menunduk dan bertemulah dua buah mulut itu dalam ciuman yang mesra dan lama. Kun Liong merasa betapa mulut dara itu menggetar, kemudian mengeluarkan rintihan dan kedua lengan Hwi Sian merangkulnya ketat sehingga ciuman mereka makin melekat. Setelah mereka menghentikan ciuman dengan napas terengah-engah, Hwi Sian merangkul Kun Liong dan berkata dengan suara merintih, dengan tubuh panas dan mata terpejam,

   "Kun Liong... Kun Liong... aku cinta padamu..."

   "Aih, Hwi Sian, jangan bicara tentang cinta. Kau sudah tahu..."

   "Memang, aku sudah tahu. Kau tidak cinta padaku. Kau hanya suka menciumku. Bukankah begitu?"

   "Maafkan aku..."

   "Kun Liong, aku... aku akan membunuh diri saja..."

   "Heiii! Gila kau...!"

   "Ketahuilah, aku... telah ditunangkan dengan Ji?suheng (Kakak Seperguruan ke dua)..."

   "Ah, dengan Tan Swi Bu? Bagus sekali! Tan-enghiong itu seorang laki-laki yang gagah perkasa!"

   Ucepan ini keluar dengan setulus hatinya.

   "Tidak, setelah ini, aku tidak mungkin dapat menjadi isterinya atau isteri siapagun juga. Aku... aku akan membunuh diri saja!"

   "Hushh, jangan bicara ugal-ugalan kau!"

   Kun Liong menegur setengah menggoda.

   "Aku takkan membiarkan engkau membunuh diri."

   "Dengan kepandaianmu, kau tentu bisa mencegahku, akan tetapi apakah selamanya engkau akan menjagaku? Tidak, Kun Liong. Engkau takkan dapat mencegahku, dan aku bukan bicara main-main, aku benar-benar akan membunuh diri. Aku cinta kepadamu, aku diam-diam telah menyerahkan jiwa ragaku kepadamu, akan tetapi kalau aku terpaksa harus berpisah darimu dan menjadi isteri orang lain yang tidak kucinta, biarlah aku membunuh diri saja daripada membikin susah hati orang lain."

   "Wah-wah, kaubikin aku bingung, Hwi Sian. Kau tahu aku tidak mencintamu, tidak mencinta siapa-siapa dan aku jujur dalam hal ini. Aku suka kepadamu, akan tetapi tidak mencinta seperti yang kaumaksudkan, cinta yang membawa pernikahan antara pria dan wanita. Aku... aku... wah, aku jadi bingung karena khawatir. Jangan kau bunuh diri, Hwi Sian. Berjanjilah, bersumpahlah bahwa kau tidak akan membunuh diri. Kalau tidak, selamanya aku takkan dapat nyenyak tidur dan enak makan!"

   "Kun Liong, keputusanku sudah bulat. Aku akan membunuh diri begitu kita saling berpisah, kecuali... kecuali kalau kau menaruh kasihan kepadaku."

   "Lho! Kau ini benar-benar aneh! Ataukah iblis penjaga hutan dan kuil tua ini yang sudah menggoda pikiranmu? Tentu saja aku menaruh kasihan kepadamu, Sayang."

   "Benarkah? Kau kasihan kepadaku dan mau melakukan apa saja untuk menolong diriku dari kenekatan membunuh diri?"

   Hwi Sian memandang wajah itu. Kun Liong juga memandang tajam penuh selidik, hendak menjenguk isi hati yang tersembunyi di balik wajah yang basah oleh air mata itu. Dia tahu bahwa Hwi Sian tidak main-main bahkan belum pernah dia melihat dara yang berwatak jenaka dan periang itu bersikap serius seperti saat ini. Akan tetapi dia harus cerdik, tidak boleh membiarkan diri diakali.

   "Aku memang kasihan kepadamu, suka kepadamu, dan tentu saja aku suka melakukan apa saja untuk menolongmu dari kenekatan gila itu, asal saja bukan untuk... untuk menikah denganmu!"

   Bangga hati Kun Liong karena dia sudah dapat mendahului gadis itu sehingga menutup jalan bagi Hwi Sian untuk mengakalinya. Akan tetapi dia kecele ketika mendengar dara itu berkata.

   "Tidak, aku pun tahu bahwa tak mungkin aku menikah denganmu, karena selain engkau tidak mencintaku, juga aku sudah ditunangkan dengan orang lain. Aku hanya minta tolong kepadamu agar engkau suka menjadikan aku sebagai isterimu..."

   "Heiii! Gila kau! Tidak ingin menikah denganku tapi ingin menjadi isteriku, apa artinya ini?"

   "Kun Liqng, hanya... hanya untuk malam ini... kau penuhilah hasrat hatiku, aku hanya dapat menyerahkan hati dan tubuhku kepadamu. Kalau kau sudi memenuhi permintaanku, aku... aku bersumpah tidak akan membunuh diri... bahkan aku akan rela menjadi isteri Ji-suheng..."

   "Wah, apa-apaan ini? Aku..."

   Hwi Sian sudah merangkulnya lagi.

   "Kau suka kepadaku, bukan? Kau suka menciumku, bukan? Kun Liong..."

   Dara itu mendekap dan menciuminya. Gairah yang membuat Hwi Slan seperti berkobar-kobar itu akhirnya membakar Kun Liong juga. Pemuda yang pada dasarnya memang romantis ini, tak dapat menahan gelombang dahsyat yang menyerangnya, yang datang dari dara yang mencintanya lahir batin itu. Tak mampu dia menahan diri dan sebentar saja keduanya sudah dikuasai oleh birahi yang amat kuat dan tidak ada seorang pun manusia yang kuat bertahan apabila sudah diamuk birahi. Sekali nafsu mencengkeram manusia, akan mendatangkan keadaan yang tidak mengenal puas. Diberi sejengkal ingin sedepa.

   Belaian dan dekapan, ciuman mesra sudah tidak memuaskan lagi, ingin lebih, ingin yang terakhir, bagaikan mabuk, dan memang sudah mabuk oleh nafsu yang membuatnya buta akan segala hal, lupa akan segala hal, dengan mata seolah-olah terselubung, Kun Liong menciumi seluruh tubuh Hwi Sian, dari ubun-ubun kepala sampai ke telapak kakinya bahkan mereka berdua sudah tidak merasa atau melihat lagi betapa api unggun menjadi padam, keadaan di dalam kuil menjadi gelap sama sekali, seolah-olah sang api sengaja melarikan diri karena tidak tahan menyaksikan peristiwa yang amat mengharukan itu, peristiwa di mana dua insan hanyut oleh dorongan hasrat dan nafsu, yang membuat mereka lupa akan diri... lupa akan segala sehingga lenyaplah sang aku, lenyaplah segala pikiran, segala ingatan, segala keruwetan dan lenyap pula batas antara suka dan duka.

   Di dalam kegelapan kuil dalam hutan itu, tidak tampak apa-apa. Hutan itu pun sunyi tidak disentuh angin. Namun terdengar suara-suara di dalam hutan. Suara malam yang penuh rahasia, suara mahluk-mahluk kecil yang tak tampak, kutu-kutu belalang dan jengkerik, burung malam dan segala macam binatang. Suara yang bersatu padu tanpa diatur, yang menciptakan suara yang aneh penuh rahasia, kadang-kadang terdengar seperti rintihan lirih dan desah napas manusia dalam derita dan siksa, kadang-kadang terdengar seperti jerit kemenangan, jerit kesukaan dan penuh kegembiraan. Sukar menentukan garis pemisah antara kecewa dan kepuasan, antara derita dan nikmat kesenangan!

   Pada keesokan harinya, setelah cahaya matahari pertama memasuki kuil, tampak Kun Liong duduk bersandar dinding, dan Hwi Sian rebah terlentang di atas lantai. Keduanya tidak mengeluarkan kata-kata, dan Kun Liong membelai rambut Hwi Sian yang kusut masai itu. Wajah keduanya agak pucat, namun di balik kepucatan wajah Hwi Sian, terbayang kepuasan dan kebahagiaan yang membuat bibirnya tersenyum, mata yang masih kelihatan mengantuk itu mengeluarkan cahaya berseri, biarpun ada air mata di pipinya. Kun Liong kelihatan tidak sebahagia Hwi Sian, biarpun dia kelihatan masib terpesona oleh pengalaman luar biasa yang baru pertama kali dialaminya selama hidupnya, namun terbayang kekhawatiran dan keraguan pada wajahnya yang agak pucat.

   Baru teringat olehnya sekarang betapa mereka berdua telah menjadi seperti orang mabuk, tidak ingat akan sesuatu kecuali pencurahan gairah hati, menuruti nafsu birahi tak kunjung berhenti sampai semalam suntuk. Barulah dia meragukan apakah yang diperbuatnya bersama Hwi Sian itu bukan merupakan suatu perbuatan yang amat kotor dan jahat? Dengan keras dia menggeleng kepalanya! Dia tidak melakukan sesuatu paksaan! Dan bahkan lebih dari itu, dia terpaksa oleh Hwi Sian yang mengancam akan membunuh dirl! Dan bagi Hwi Sion sendiri? Berdosakah dia? Kotorkah perbuatannya itu? Hinakah wanita ini yang ingin menyerahkan tubuhnya dengan suka rela kepada pria yang dikasihinya sebelum dia terpaksa menyerahkan diri kepada pria lain yang tak dicintanya akan tetapi yang harus menjadi suaminya? Entahlah, Kun Liong tak mampu menjawabnya.

   "Kun Liong..."

   Suara Hwi Sian lirih dan serak, suara orang yang kurang tidur dan kelelahan.

   "Hemm..."

   "Aku... aku tidak bisa berpisah darimu lagi...!"

   "Heiii!"

   Kun Liong melepaskan pelukannya, menjauhkan diri dan membereskan pakaiannya.

   "Jangan begitu kau, Hwi Sian! Betapapun aku masih percaya bahwa kau adalah seorang wanita gagah yang takkan melanggar janji!"

   Hwi Sian tersenyum masam, membereskan pakaiannya dan duduk berhadapan dengan Kun Liong mengangkat kedua tangan membereskan rambutnya. Melihat gadis itu mengangkat kedua lengan membereskan rambut, melihat wajah kusut yang agak pucat, melihat mulut yang membayangkan kepahitan, merupakan penglihatan yang amat mesra dan hampir meluluhkan hati Kun Liong. Ingin dia mendekap Hwi Sian, menciuminya dan menghiburnya, mengatakan bahwa dia selamanya takkan meninggalkannya. Akan tetapi dia tahu bahwa hal ini hanyalah seretan perasaan sejenak saja, maka dia tidak membuka mulut.

   "Kun Liong,"

   Kata Hwi Sian setelah selesai menyanggul rambutnya sehingga kelihatan manis sekali.

   "Aku tadinya mengharap, setelah peristiwa semalam, kalau-kalau engkau akan jatun cinta kepadaku. Akan tetapi aku lupa bahwa engkau adalah seorang pria yang luar biasa, yang jujur dan tidak pernah mengingkari kata-kata sendiri. Akan tetapi aku.... ahhh, betapa makin mendalamnya perasaan cintaku mengukir di dalam hatiku. Betapa mungkin aku dapat berpisah darimu, Kun Liong?"

   "Hwi Sian!"

   Kun Liong berkata agak keras.

   "Ingatlah bahwa engkau yang minta sehingga terjadi peristiwa semalam. Engkau tahu bahwa aku melakukannya, bukan semata-mata karena aku memang suka kepadamu, bahwa aku memang suka melakukannya, akan tetapi terutama sekali karena hendak menolongmu terhindar dari kenekatanmu. Sekarang, berjanjilah bahwa engkau takkan membunuh diri dan akan baik-baik menjadi isteri Tan-enghion."

   Mata itu terpejam dan air matanya tertumpah keluar seperti diperas oleh bulu-bulu mata yang panjang itu. Kepalanya mengangguk dan bibirnya berbisik,

   "Aku berjanji."

   "Kau bersumpah?"

   "Aku bersumpah."

   "Nah, begitulah baru Hwi Sian seperti yang kukenal dan kupercaya! Kau yakinlah bahwa selamanya aku tidak akan lupa kepadamu, Hwi Sian dan dengan sepenuh hatiku aku doakan semoga kau dapat menemukan bahagia bersama Tan-enghiong. Percayalah bahwa cinta yang kaukira terukir dalam hatimu terhadap aku itu akan mudah terhapus oleh ukiran cinta lain yang mungkin kautemukan bersama Tan-enghiong..."

   "Tidak mungkin!"

   Hwi Sian berseru dengan suara merintih dan dia menangis!

   "Jangan bilang tidak mungkin. Cinta seperti ini, yaitu mencintai sesuatu akan tertutup oleh cinta kepada sesuatu yang lain lagi. Cinta seperti yang kaurasakan terhadap diriku hanyalah nafsu birahi yang didorong oleh rasa suka dan kecocokan, yang kita sebut cinta dan cinta seperti itu takkan kekal. Hari ini cinta, besok bisa berubah menjadi benci. Aku tidak cinta kepadamu, aku hanya suka dan kasihan kepadamu, karena itu apa pun yang terjadi, aku tidak akan bisa benci kepadamu. Cinta yang bersifat memiliki bukanlah cinta, karena memiliki berarti kehilangan, memiliki berarti kecewa dan sengsara apalagi menjadi benci. Nah, lebih baik kita berpisah di sini, Hwi Sian. Selamat tinggal."

   "Kun Liong...!"

   Kun Liong yang sudah melangkah itu terhenti di pintu bekas kamar kuil itu dan menoleh sambil tersenyum.

   "Sudahlah, Hwi Sian. Ingat, engkau akan jauh lebih bahagia hidup di samping Tan-enghiong daripada di sampingku. Mencinta tanpa balasan merupakan siksaan jauh lebih berat daripada dicinta tanpa membalas. Selamat tinggal!"

   
Petualang Asmara Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Kun Liong meloncat jauh dan cepat lari meninggalkan tempat itu.

   "Kun Liong...!"

   Hwi Sian mengeluh dan menangis. Tak lama kemudian dia sudah terjun ke dalam sungai tak jauh dari kuil itu, merendam tuhuhnya sebatas dada dan masih terus menangis sampai matanya menjadi merah.

   Setelah berlari cepat keluar masuk beberapa buah hutan, baru legalah hati Kun Liong, tidak khawatir kalau-kalau Hwi Siap mengejarnya. Dia lalu berjalan seenaknya dalam hutan yang sunyi itu. Pikirannya melayang, mengenangkan peristiwa semalam. Peristiwa luar biasa yang merupakan pengalaman pertamanya, demikian pula bagi Hwi Sian dan seribu satu macam pikiran mengaduk diotaknya. Berdosakah dia dengan perbuatannya itu? Bagaimana kalau kelak Tan-enghiong, calon suami Hwi Sian, mengetahuinya? Bagaimana kalau sampai peristiwa semalam bersama Hwi Sian itu berbuah menjadi anak? Bagaimana kalau... kalau... kalau... makin dibayangkan, makin khawatirlah hati Kun Liong dan mulailah dia menyesali kelemahannya sehingga dia membiarkan dirinya terseret.

   Itu bukan cinta! Itu hanyalah nafsu birahi yang menyeret dia dan Hwi Sian. Berdosakah kalau dia menikmati akibat dorongan nafsu birahi? Dengan suka rela Hwi Sian mengajaknya, menyerahkan dirinya. Kalau dia menolak dan gadis itu benar-benar membunuh diri, apakah penolakannya itu bukan merupakan dosa pula? Kalau diterima dosa, ditolak dosa, lalu bagaimana? Dia bergidik. Bergidik dan merasa ngeri membayangkan kembali perbuatan dia dan Hwi Sian semalam. Celaka dia dan Hwi Sian telah seperti gila semalam, menikmati bujukan nafsu birahi tak kenal puas. Akan dapatkah dia menahan diri kalau kelak berhadapan dengan wanita cantik? Jangan-jangan dia memang mata keranjang, menjadi hamba nafsu birahi, jangan-jangan dia kelak akan menjadi jai-hoa-cat (penjahat pemerkosa)! Memperkosa wanita? Tidak sudi!

   "Dessss! Kraaaakkkk!"

   Suara hatinya "tidak sudi"

   Tadi disuarakan melalui mulutnya dan diikuti dengan meninju sebatang pohon di dekatnya sehingga pohon itu patah dan tumbang!

   "Aku sudah gila!"

   Katanya sambil menjatuhkan diri duduk di atas rumput.

   Mengangkat kedua lutut ke atas dan menunjang dagunya dengan telapak tangan kanan, termenung seperti patung. Harus diakuinya, sejak dulu dia suka berdekatan dengan wanita, suka menyentuh, mendekap dan mencium wanita. Sekarang, setelah dia mengalaminya semalam, dia harus mengakui pula bahwa dia suka bermain cinta dengan wanita! Akan tetapi semua itu harus terjadi dengan suka rela dan dia tidak akan sudi memaksa siapapun juga, betapa pun cantiknya, betapa pun menariknya! Salahkah ini? Inikah yang dikatakan mata keranjang? Gila wanita? Salahkah dia kalau dia suka memandang yang indah-indah diantaranya wajah dara yang cantik dan bentuk tubuhnya yang menggairahkan? Salahkah dia kalau dia suka mencium yang harum-harum dan sedap, diantaranya mencium bunga dan mencium bibir seorang dara?

   Salahkah dia kalau dia suka mendengar yang merdu-merdu, diantaranya suara seorang gadis manis? Salahkah kalau dia merasakan yang lezat-lezat, salahkah kalau dia menikmati hidup? Salah siapa? Semua itu sudah ada padanya, dan dia sama sekali tidak mengada-ada, tidak mencari-cari! Rasa suka akan semua itu memang sudah ada padanya! Kalau tidak ada dara yang suka kepadanya, tentu semua itu tidak akan terjadi. Semua pengalamamya dengan Yuanita, dengan Nina, dengan Li Hwa, Giok Keng, Hwi Sian dan Bi Kiok, sungguhpun semua itu tidaklah sejauh dengan Yuanita, atau terutama sekali dengan Hwi Sian. Kalau dara-dara itu tidak suka kepadanya, tentu dia pun tidak akan berani mendekati mereka! Betapa pun cantik menariknya, kalau tidak suka kepadanya dia tidak akan memaksa! Memperkosa?

   "Tidak sudi! Desss... pyuuuurr...!"

   Sebuah batu besar yang berada di sampingnya pecah berantakan terkena hantaman kepalan tangannya! Dan setelah debu yang mengepul tebal karena pecahan batu itu menghilang, muncul seorang dara jelita yang langsung menegur.

   "Apakah engkau sudah menjadi gila? Pohon dan batu dipukuli sampai tumbang dan pecah!"

   Tadinya Kun Liong terkejut sekali, mengira bahwa Hwi Sian yang menyusulnya. Dia tidak ingin berkepanjangan dengan dara itu, setelah apa yang mereka perbuat bersama semalam. Akan tetapi setelah melihat bahwa yang muncul adalah Cia Giok Keng, dia menjadi gugup dan wajahnya berubah merah!

   "Ah, tidak... Nona. Saya... sudah latihan... dan... eh, bagaimana Nona dapat tiba di sini? Saya sudah mengkhawatirkan dirimu..."

   Giok Keng meragu untuk menjawab. Bagairnana dia dapat menjawab setelah apa yang terjadi kemarin? Seperti diketahui, dara perkasa ini mengejar Liong Bu Kong yang melarikan diri. Bu Kong sengaja melarikan diri menjauh, akhirnya berhasil memancing Giok Keng mengejarnya dengan perahu meninggalkan pulau di Telaga Kwi-ouw dan mendarat memasuki hutan. Giok Keng terus mengejarnya. Hati gadis ini merasa penasaran sekali kalau dia tidak dapat merobohkan atau menawan pemuda putera Ketua Kwi-eng-pang itu. Hari telah menjadi senja ketika akhirnya Giok Keng dapat menyusul Liong Bu Kong di dalam sebuah hutan lebat. Pemuda itu sengaja menantinya dan begitu Giok Keng muncul, pemuda itu menjura dan berkata,

   "Nona Cia Giok Keng, mengapa Nona mengejarku terus? Apakah Nona begitu benci kepadaku? Padahal, aku cinta padamu, Nona. Sampai kini pun belum pernah lenyap harapan hatiku untuk dapat berjodoh dengan seorang dara jelita dan perkasa seperti Nona. Aku cinta kepadamu dengan sepenuh jiwa ragaku, apakah Nona tega untuk mengejarku dan hendak membunuhku?"

   Wajah Giok Keng menjadi merah sekali. Entah mengapa, semenjak pemuda ini datang ke Cin-ling-san dahulu itu untuk meminangnya, dia tidak pernah dapat melupakan pemuda ini yang sekarang kelihatan lebih matang dan lebih gagah daripada dahulu! Dia sendiri heran mengapa segala gerak-gerik pemuda itu, gerak mulutnya, gerak matanya, dan suaranya, semua amat menyenangkan hatinya. Apalagi pengakuan cinta pemuda itu, membuat jantungnya berdebar tidak karuan dan diam-diam hatinya telah terpikat! Akan tetapi, sebagai puteri pendekar sakti ketua dari Cin-ling-pai, tentu saja dia tidak sudi tunduk begitu saja, maka dia pura-pura marah dan membentak,

   "Manusia jahat! Siapa sudi bicara denganmu? Engkau adalah anak dari datuk sesat Kwi-eng Niocu, dan aku adalah puteri dari Ketua Cin-ling-pai yang selalu bertugas membasmi kaum sesat. Antara engkau dan aku terdapat jurang yang amat dalam, dan kita hanya dapat berhadapan sebagai musuh!"

   "Aku memusuhimu? Demi Tuhan, tidak! Aku cinta padamu, bagaimana aku tega untuk mengangkat senjata melawanmu? Jangankan kepandaianku tidak mungkin menandingi ilmu kepandaian puteri Pendekar Sakti Cia Keng Hong, andaikata kepandaianku lebih tinggi sekalipun, aku tidak akan tega untuk melawanmu, Nona."

   "Singggg...!"

   Giok Keng sudah mencabut pedangnya dan tampak sinar putih berkilau ketika Gin-hwa-kiam (Pedang Bunga Perak) terhunus.

   "Hayo cabut pedangmu, tak perlu banyak bicara!"

   Dara itu membentak.

   "Srettt...!"

   Liong Bu Kong mencabut pedangnya yang mengeluarkan sinar kilat, akan tetapi dia melemparkan pedang Lui-kong-kiam yang ampuh itu ke atas tanah.

   "Lihat, aku telah membuang pedangku, Nona. Aku tidak akan melawan seorang dara yang kucintai sepenuh jiwa ragaku."

   Giok Keng terkejut bukan main. Tadinya dia masih meragukan ketulusan hati pemuda putera datuk sesat ini, maka dia masih mempertahankan hatinya dan menekan perasaan. Kini melihat pemuda itu benar-benar tidak mau melawannya dan membuang pedang, hatinya terguncang. Namun dia bukanlah seorang dara yang bodoh dan mudah dibujuk orang. Biarpun hatinya terguncang, dia masih membentak.

   "Ambil pedangmu dan lawanlah, kalau tidak... hemmm, aku akan membunuhmu!"

   Liong Bu Kong tersenyum dan memang pemuda ini tampan dan gagah sehingga senyumnya menambah ketampanan wajahnya.

   "Silakan serang dan bunuh aku, Nona. Mati di tangan seorang dara yang kucinta merupakan kematian yang amat bahagia."

   "Siapa percaya bujukanmu? Mampuslah!"

   Giok Keng sudah menerjang maju, menggerakkan pedangnya menyerang dahsyat dengan tusukan ke arah leher pemuda itu. Dapat dibayangkan betapa kaget hati Giok Keng melihat betapa pemuda itu sama sekali tidak mengelak, hanya memandang kepadanya dengan senyum di bibir.

   "Aihhh...!"

   Giok Keng yang terkejut itu berusaha menyelewengkan tusukannya karena tentu saja dia sebagai seorang dara perkasa tidak mau membunuh orang yang tidak melawan, namun usahanya itu tidak berhasil sepenuhnya dan pedangnya sudah menembus pundak kiri Bu Kong! Ketika Gin-hwa-kiam dicabutnya dan ditariknya kembali, darah mengucur dari pundak pemuda itu yang berdiri dengan tubuh bergoyang menahan rasa nyeri yang hebat akan tetapi yang masih memandang Giok Keng dengan pandang mata mesra penuh cinta dan mulut tetap tersenyum.

   "Ahhh... apa yang kau lakukan...? Mengapa kau tidak mengelak? Mengapa tidak menangkis? Mengapa...?"

   Giok Keng terbelalak, melepaskan pedangnya jatuh ke atas tanah dan bagaikan dalam mimpi dia menghampiri pemuda itu, merobek baju di bagian pundak yang terluka dan ternyata pedangnya telah mengakibatkan luka yang cukup hebat karena pedang yang runcing tajam itu telah menembus pundak kiri pemuda itu!

   "Celaka... kau... kau membiarkan aku melukai seorang yang tidak melawan... darahnya mengucur deras, kalau tidak dihentikan, bisa berbahaya..."

   "Hemm, biarlah, Nona. Kalau kau memang benci kepadaku, apa artinya luka ini? Kaubunuh pun aku akan rela, karena biarpun kau benci, aku tetap cinta padamu..."

   Giok Keng sudah mengeluarkan saputangannya.

   "Bodoh! Siapa benci padamu?"

   Katanya dan tanpa bicara lagi dia membalut luka di pundak itu dengan saputangannya. Mula-mula ditaruhnya obat luka yang dibawanya ke atas luka di depan dan belakang pundak, kemudian dia menggunakan saputangannya yang bersih menutupi luka itu, dan membalutnya dengan robekan baju pemuda itu sendiri sampai erat sekali sehingga darahnya berhenti mengucur.

   "Nona... nona... Giok Keng... benarkah itu? Benarkah kau tidak membenciku?"

   Kedua tangan Bu Kong menekan kedua pundak dara itu dengan gemetar semua jari tangannya, suaranya juga menggetar penuh perasaan.

   "Kalau begitu... kalau begitu engkau pun... cinta kepadaku seperti aku cinta padamu...?"

   Wajah Giok Keng menjadi pucat, kemudian merah sekali. Dia telah selesai membalut dan menghadapi pertanyaan itu, dia menundukkan mukanya.

   "Entahlah..."

   Jari-jari tangan yang gemetar itu memegang muka dara itu, dipaksanya dengan halus muka itu tengadah.

   "Giok Keng... Moi-moi... kaupandanglah aku... kau... kau... kau juga cinta padaku? Benarkah ini? Demi Tuhan... kau juga cinta padaku seperti aku cinta padamu...?"

   Sejenak mereka berpandangan, dan Giok Keng lalu memejamkan matanya, dan dua butir air mata bertitik turun.

   "Moi-moi...!"

   Bu Kong mengecup kedua pipi, mengecup air mata itu, kemudian dia mencium bibir Giok Keng.

   Kalau hati sudah tertarik memang membuat orang atau tepatnya seorang dara muda gampang sekali jatuh! Giok Keng menggigil, seluruh tubuhnya menggigil ketika mula-mula merasa betapa air mata di pipinya dikecup pemuda itu, kemudian bumi serasa goyah seperti ada gempa bumi hebat, dunia seperti berputar ketika dia merasa betapa mulutnya dicium oleh pemuda itu, dicium dengan mesra sekali. Hampir dia pingsan dan sejenak dia menyerah, menyerah bulat-bulat dengan setulusnya hati, dengan hati yang penuh kebahagiaan, merasa dicinta dan mencinta. Akan tetapi dia segera teringat, meronta dan melangkah mundur. Dengan muka pucat dipandangnya pemuda itu yang kini menunduk, dengan kedua lengan tergantung lepas di kanan kiri tubuh, lalu berkata dengan suara penuh penyerahan.

   "Ampunkan aku, Giok Keng. Aku... aku cinta padamu... dan kalau kau anggap perbuatanku tadi terlalu kurang ajar, ambillah pedangmu, jangan berlaku kepalang. Kalau kau tidak membalas cintaku, bunuhlah aku. Tusuklah tembus dada ini agar berakhir penderitaanku...!"

   Wajah yang pucat itu menjadi merah lagi. Giok Keng cepat menyambar pedang Gin-hwa-kiam, disarungkannya dan dia memaksa hatinya untuk dapat bicara, suaranya gemetar,

   "Aku... aku tidak benci padamu... aku tidak tahu apakah cinta... akan tetapi aku sudah ditunangkan dengan orang lain. Selamat tinggal...!"

   Giok Keng lalu melarikan diri secepatnya. Dia mendengar suara pemuda itu memanggilnya, dan hampir saja dia berlari kembali, akan tetapi ditahannya hatinya dan ditulikannya telinganya. Air matanya bercucuran dan dia mempercepat larinya sehingga tak lama kemudian panggilan pemuda itu lenyap, tak terdengar lagi olehnya. Semalam suntuk dia melanjutkan perjalanannya dan pada keesokan harinya dia mendengar suara tangis di dalam sungai dekat kuil tua. Ketika dia menghampiri sungai itu, dilihatnya Hwi Sian sedang merendam tubuh di dalam air yang jernih sambil menangis!

   "Hwi Sian...! Mengapa kau? Mengapa pula menangis?"

   Giok Keng menegur penuh keheranan, dan seketika dia lupa akan urusannya sendiri yang selama semalam telah mengganggu pikirannya. Hwi Sian terkejut, menengok dan melihat Giok Keng, dia merasa makin berduka sehingga tangisnya mengguguk, dari mulutnya hanya terdengar suara tangis dan kata-kata yang tak dapat dimengerti oleh Giok Keng.

   "Hwi Sian, ada apakah?"

   Kembali dara ini mendesak penuh keheranan.

   "...Aku cinta padanya... hu-hu-huuh, Aku cinta padanya..."

   Akhirnya Hwi Sian dapat menjawab, akan tetapi jawabannya hanya "Aku cinta padanya"

   Yang dikatakan berkali-kali. Ucapan ini merupakan ujung pedang yang menusuk hati Giok Keng karena seolah-olah merupakan sindiran akan cintanya kepada Liong Bu Kong! Akan tetapi melihat bahwa Hwi Sian menangis benar-benar, dia lalu memutar otak dan menduga-duga siapakah gerangan yang dicinta oleh gadis itu!

   "Siapa? Siapa yang kau cinta itu?"

   "Aku cinta padanya... aaahhh, Aku cinta padanya!"

   Hwi Sian berkata lagi. Giok Keng menjadi tidak sabar.

   "Ke mana dia sekarang?"

   "Dia pergi... meninggalkan aku... huhuuhhh, aku cinta padanya tapi dia pergi..."

   "Ke mana?"

   Hwi Sian seperti seorang anak kecil, hanya menudingkan telunjuknya ke depan dan Giok Keng segera meloncat dan berlari cepat, menuju ke arah yang ditunjuk oleh gadis itu. Tak lama kemudian, di dalam sebuah hutan, dia mendengar suara keras disusul robohnya sebatang pohon. Dia cepat menghampiri dan melihat Kun Liong yang merobohkan dengan pukulannya tadi. Kemudian dia melihat pemuda itu menjatuhkan diri duduk di atas tanah, termenung-menung, kemudian berteriak.
(Lanjut ke Jilid 30)

   Petualang Asmara (Seri ke 02 - Serial Pedang Kayu Harum)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 30
"Tidak sudi!"

   Dan memukul hancur sebuah batu besar di dekatnya. Maka muncullah Giok Keng sambil menegur karena perbuatan Kun Liong itu amat mengherankan hatinya. Demikianlah, Kun Liong yang ditegur menjadi gugup dan menjawab bahwa dia memukul pohon dan batu untuk latihan! Akan tetapi, betapa kagetnya ketika dia mendengar dara itu berkata dengan suara bernada penuh teguran,

   "Yap Kun Liong, engkau sungguh seorang yang berhati kejam!"

   "Cia Giok Keng, apa maksudmu?"

   Kun Liong bertanya dan memandang heran.

   "Mengapa engkau begitu kejam terhadap Hwi Sian!"

   Seketika pucat wajah Kun Liong mendengar ini. Celaka, pikirnya. Temyata Hwi Sian seorang yang tidak bisa dipercaya! Betapa mudahnya Hwi Sian menceritakan peristiwa itu kepada orang lain begitu saja! Saking kaget dan bingungnya, dia tidak mampu menjawab, hanya memandang dengan mata terbelalak.

   "Mengapa engkau pergi meninggalkan Hwi Sian begitu saja, padahal dia sanget mencintamu? Aku melihat dia menangis dan seperti orang kehilangan ingatan, hanya bilang bahwa dia mencintaimu berkali-kali dan bahwa engkau pergi meninggalkan dia. Apakah itu tidak kejam?"

   Lega hati Kun Liong dan dia merasa kasihan sekali kepada Hwi Sian. Kiranya dara itu tidak menceritakan peristiwa semalam, hanya mengatakan cinta kepadanya dan ditinggal pergi karena ketahuan menangis oleh Giok Keng. Dia menarik napas panjang lalu berkata,

   "Giok Keng, betapa cinta kasih dapat dipaksakan? Betapa mungkin cinta kasih dapat memilih orangnya? Memang Hwi Sian menyatakan cinta kepadaku, akan tetapi kalau tidak ada perasaan seperti itu di dalam hatiku kepadanya, salahkah aku?"

   "Kun Liong, Hwi Sian adalah seorang dara yang cantik dan gagah, seorang wanita yang baik. Bagaimana mungkin engkau tak dapat membalas cintanya?"

   "Dia sudah bertunangan dengan Ji-suhengnya..."

   "Pertunangan bisa saja diputuskan! Ikatan jodoh haruslah diadakan oleh dua orang yang bersangkutan, oleh pria dan wanita itu sendiri karena hal itu menyangkut kehidupan mereka selamanya! Mereka berdualah yang akan menghadapinya, yang akan berdampingan selama hidupnya, bukan orang tua atau guru yang menjodohkan!"

   Ucapan ini dikeluarkan dengan penuh semangat oleh Giok Keng sehingga mengherankan hati Kun Liong.

   "Apalagi, engkau sendiri pun sudah bertunangan. Sebaliknya engkau dan dia, kalau memang saling mencinta, membatalkan pertunangan masing-masing dan..."

   "Giok Keng, apa maksudnya ucapan ini? Aku bertunangan? Bagaimana ini, aku tidak mengerti."

   Giok Keng menarik napas panjang.

   "Tentu saja kau tidak mengerti. Nah, kau bacalah ini dulu."

   Dia mengeluarkan sesampul surat dari saku bajunya, menyerahkannya kepada Kun Liong kemudian meninggalkan pemuda itu, duduk di atas sebuah batu besar tak jauh dari situ, termenung dan membelakangi Kun Liong. Pemuda gundul ini menjadi makin heran. Dengan hati berdebar dan merasa tidak heran. Dengan hati berdebar dan merasa tidak enak dia membuka sampul dan membaca surat yang ditulis dengan gaya coretan yang indah dan gagah. Tulisan Pendekar Sakti Cia Keng Hong, ditujukan kepadanya! Membaca kalimat-kalimat terakhir, mukanya berubah menjadi merah sekali, dan matanya terbelalak.

   "Karena ayah ibumu telah meniggal dunia, sebagai supekmu boleh dibilang aku adalah walimu. Karena itulah, maka kuharap kau datang ke Cin-ling-san bersama Giok Keng, dan kita dapat membicarakan tentang perjodohan antara kau dan Giok Keng."

   Dia dijodohkan dengan Giok Keng! Otomatis dia memandang ke arah punggung dara yang duduk termenung di atas batu besar itu. Sepatutnya dia bersyukur! Sepatutnya dia menerima berita ini dengan girang. Cia Giok Keng adalah seorang dara yang cantik jelita, berkepandaian tinggi, dan puteri pendekar sakti yang terkenal.

   Dan dia harus mengakui bahwa dia suka kepada Giok Keng, terutama sekali kepada hidung dara itu yang bentuknya amat manis! Tapi, membayangkan betapa selamanya dia akan hidup berdampingan dengan Giok Keng sebagai suami isteri, tidak bebas lagi, terikat dan diancam bahaya pertengkaran karena cemburu dan kesalahpahaman yang lain, dia merasa ngeri juga! Kemudian teringatlah dia akan bujukan Giok Keng agar supaya dia membatalkan perjodohan ini dan membalas cinta Hwi Sian! Apa artinya ini? Hanya satu, ialah bahwa Giok Keng sendiri di dalam hatinya menentang perjodohan ini! Cepat dia menghampiri Giok Keng dan duduk pula di atas batu, di depan dara itu, setelah menyimpan surat di sakunya. Mereka saling berhadapan, saling berpandangan sejenak, kemudian Kun Liong bertanya,

   "Engkau sudah tahu tentang ini?"

   Dia menepuk saku bajunya. Giok Keng mengangguk.

   "Dan bagaimana pendapatmu?"

   Giok Keng menggeleng kepala.

   "Aku tidak tahu."

   "Engkau agaknya tidak setuju."

   "Memang, mana bisa hal perjodohan diatur orang lain? Pula, engkau dicinta oleh Hwi Sian yang mengaku sendiri kepadaku. Mana mungkin aku merampas orang yang sudah dicinta oleh dara lain?"

   "Giok Keng, aku sudah menjawab bahwa aku tidak membalas cinta Hwi Sian."

   "Dan kau... kau... eh, bagaimana pendapatmu dengan surat ayah?"

   "Tidak tahulah. Aku menjadi bingung, urusan ini dikemukakan begini tiba-tiba."

   Sepasang mata dara itu yang amat jernih dan tajam kini memandang penuh selidik seolah-olah hendak menembus dan menjenguk isi hati Kun Liong, kemudian terdengar pertanyaannya yang terang-terangan,

   "Kun Liong, apakah engkau cinta kepadaku?"

   Kun Liong cepat menggelengkan kepalanya yang gundul.

   "Aku tidak mencinta siapa-siapa, Giok Keng. Hati dan pikiranku jauh daripada cinta seperti yang kumaksudkan itu. Tidak, aku rasa aku tidak cinta padamu, sungguhpun hal ini bukan berarti bahwa aku tidak suka kepadamu, terutama kalau aku memandang... hidungmu. Aku suka padamu, akan tetapi cinta? Entahlah, kukira tidak!"

   Sepasang mata itu makin tajam pandangnya ketika Giok Keng bertanya lagi,

   "Kalau begitu, mengapa dahulu itu di Siauw-lim-si engkau... menciumku?"

   Bukan main kaget hati Kun Liong mendengar ini.

   "Kau... bagaimana kau bisa tahu? Kau pingsan dan..."

   "Aku telah siuman ketika engkau menciumku, karena terlampau kaget melihat perbuatanmu dan melihat pula Ayah datang, aku diam saja, pura-pura masih pingsan. Kenapa engkau dahulu menciumku seperti itu dan sekarang kau bilang tidak cinta padaku?"

   "Aihh, harap jangan salah paham, Giok Keng. Kau pingsan dan aku melihat bahwa pernapasanmu terhenti oleh serangan asap, maka jalan satu-satunya pada saat itu adalah pernapasan bantuan. Aku tidak menciummu, melainkan meniupkan hawa melalui mulutmu untuk jalankan kembali paru-parumu yang berbenti bekerja. Mengertikah kau?"

   Giok Keng mengangguk, di dalam hatinya timbul dua macam perasaa. Lega dan kecewa! Dia merasa lega karena ternyata bahwa Kun Liong tidak mencintanya sehingga perjodohan itu dapat dibatalkan, karena dia harus mengaku bahwa dia jatuh cinta kepada Liong Bu Kong. Akan tetapi pada saat itu pula dia kecewa karena ternyata Kun Liong yang disangkanya menciumnya karena cinta kepadanya, ternyata tidak! Wanita memang ingin sekali digilai dan dicinta oleh semua pria di dunia ini, walaupun dia hanya akan menjatuhkan hatinya kepada seorang saja di antara mereka!

   "Kun Liong, aku ingin sekali tahu. Apakah engkau suka menciumku?"

   Mata Kun Liong terbelalak. Betapa anehnya dara ini! Begitu terus terang, maka dia pun harus bersikap jujur dan dia mengangguk.

   "Tentu saja aku suka!"

   Mata Giok Keng mengeluarkan sinar marah.

   "Kau bilang tidak cinta kepadaku akan tetapi mengapa kau suka menciumku?"

   "Mengapa tidak?"

   Kun Liong menjawab dengan terus terang pula.

   
Petualang Asmara Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Aku suka sekali melihat bunga yang indah, aku suka mencium bunga yang harum sungguhpun aku tidak berniat memiliki bunga itu. Aku suka mencium dara yang cantik menarik, apalagi seperti engkau, Giok Keng, akan tetapi kesukaanku itu bukan berarti bahwa aku ingin memilikimu sebagai jodohku. Aku akan bohong kalau aku bilang bahwa aku cinta kepadamu."

   Diam-diam Giok Keng menjadi heran sekali dan juga kagum akan kejujuran Kun Liong. Agaknya, semua pemuda di dunia ini takkan segan-segan mengaku cinta dengan sumpah seribu macam untuk memancing dan mendapatkan sekedar ciuman seorang dara, apalagi kalau untuk mendapatkan tubuhnya! Akan tetapi Kun Liong dengan terang-terangan pula menyatakan tidak cinta! Dia pun mulai bingung dan menduga-duga apakah rasa sukanya kepada Liong Bu Kong itu benar-benar cinta seperti yang diduganya?

   "Kun Liong, bagaimanakah cinta itu? Tadinya kukira bahwa kalau storang pria suka kepada seorang wanita atau sebaliknya adalah cinta. Bagaimanakah sebenarnya dan apakah cinta itu?"

   Kembali kepala yang gundul itu bergerak digelengkan.

   "Aku sendiri pun tidak tahu. Aku hanya tahu bahwa kalau orang ingin selamanya bersanding dengan seorang dara, berarti dia mengundang datangnya penderitaan karena sudah pasti akan timbul kebosanan, pertentangan, cemburu, kemarahan dan mungkin kebencian. Kalau perasaan suka itu cinta, maka aku tidak berani jatuh cinta seperti itu! Tidak, aku tidak akan jatuh cinta. Aku tidak mau mengikatkan diriku kepada seorang wanita. Apalagi menikah. Setahuku, wanita adalah mahluk lemah akan tetapi aneh dan luar biasa sekali. Satu kali aku menikah dan mengikatkan diri, tentu aku akan sengsara, tidak bebas lagi, setiap hari menghadapi kerewelannya, cemburunya, kemanjaannya, dan celakalah aku. Tidak, aku tidak akan mencinta wanita, sungguhpun aku suka sekali kepada mereka, terutama yang cantik seperti kau, Giok Keng."

   Alis Giok Keng berkerut. Betapa tidak menyenangkan ucapan Kun Liong! Betapa meremehkan dan merendahkan wanita. Betapa bedanya dengan ucapan Bu Kong!

   "Kun Liong...!"

   Tegurnya dengan kemarahan ditahan.

   "Hemm..."

   "Kurasa engkau ini seorang yang..."

   "Ya...?"

   "Seorang pemuda yang sombong, memandang rendah wanita, terlalu tinggi hati, merasa suci dan bersih sendiri, dan kepala angin!"

   Makin lebar mata Kun Liong, apalagi mendengar makian terakhir itu.

   "Kepala angin?"

   "Ya! Kepalamu hanya terisi angin kosong belaka! Kau bilang tidak pernah mencinta seorang wanita, akan tetapi kau pandai berceramah tentang cinta, ceramah tolol dan ngawur. Betapa bodohnya Hwi Sian yang menangisi dan jatuh cinta kepada seorang tolol macam engkau. Engkau memualkan perutku! Betapa benci aku kepadamu!"

   "Eh? Benci? Sayang sekali, Giok Keng. Itulah yang tak kusukai tentang cinta. Kalau tidak cinta, lalu benci. Apakah hanya ada dua macam peraaaan itu dalam hati wanita? Kalau tidak cinta, benci? Apakah tidak ada perasaan di antara cinta dan benci? Tidak cinta akan tetapi juga tidak benci?"

   Giok Keng makin bingung dan marah.

   "Sudahlah, dari mana kau mendapatkan kepandaian hebat dan pengertian tentang cinta kalau kau sendiri tidak pernah jatuh cinta?"

   "Eh, dari... dari kitab-kitab dan dari kesadaran..."

   "Huh, kitab! Mempelajari cinta dari kitab! Aku muak dan benci kepadamu!"

   "Benarkah? Sayang sekali."

   "Akan tetapi aku pun berterima kasih kepadamu bahwa kau tidak cinta padaku, Kun Liong."

   "Eh, apa pula ini? Muak dan benci akan tetapi berterima kasih?"

   "Setelah kau menyatakan dengan jujur bahwa kau tidak cinta kepadaku, tentu kita tidak setuju dengan ikatan jodoh di antara kita yang diadakan oleh ayah ibuku."

   "Ya, begitulah."

   "Dan kau tentu suka untuk menyatakan secara terus terang pula kepada ayahku bahwa kau tidak bisa menerima ikatan jodoh ini karena kau tidak cinta padaku, dan aku pun tidak cinta padamu."

   Kun Liong mengangguk-angguk.

   "Sudah sepantasnya begitu. Aku akan menghadap ayahmu dan aku akan minta agar ikatan jodoh kita ini dibatalkan."

   Giok Keng bersorak girang, meloncat dan merangkul Kun Liong, lalu... mencium kepala gundulnya!

   "Terima kasih, Kun Liong. Terima kasih!"

   Dia meloncat pergi dan lari dari tempat itu, sehingga Kun Liong yang termangu-mangu, bengong meringis bingung dan mengusap-usap kepala gundulnya yang dicium tadi. Makin tidak mengertilah dia akan perangai wanita, terutama Giok Keng! Dua orang wanita muda itu beristirahat di bawah sebatang pohon besar di dalam hutan itu. Mereka telah tiba di kaki Pegunungan Go-bi-san yang amat luas, penuh dengan hutan lebat dan amat sunyi itu. Mereka adalah Pek Hong Ing dan sucinya, Lauw Kim In. Keduanya berwajah muram dan Pek Hong Ing masih mengenakan pakaian seorang nikouw. Juga wajah Kim In yang cantik manis itu kelihatan muram sekali dan dia selalu menghindarkan pandang matanya kepada sumoinya. Mereka berdua telah semenjak kecil menjadi murid Go-bi Sin-kouw, tinggal di pegunungan sunyi berdua, rukun dan saling mencinta seperti kakak beradik.

   Maka dapat dibayangkan betapa duka hati Kim In bahwa dia terpaksa harus menangkap sumoinya dan memaksanya menghadap subo mereka, padahal dia tahu benar bahwa sumoinya itu tidak suka dinikahkan dengan Pangeran Han Wi Ong yang usianya sudah lima puluh tahun itu. Sedih hatinya memikirkan nasib sumoinya. Akan tetaph dia pun marah dan penasaran sekali melihat sumoinya yang sudah menjadi nikouw itu bersendau-gurau dengan seorang pemuda tampan berkepala gundul! Andaikata dia tidak melihat mereka dan hatinya yakin bahwa mereka bermain gila, agaknya dia tetap tidak akan tega menangkap sumoinya dan dia akan pulang dengan tangan kosong, nekat membohongi gurunya bahwa dia gagal mencari sumoinya! Akan tetapi, perbuatan sumoinya bermain cinta dengan pemuda gundul aneh yang luar biasa itu membuat hatinya penasaran dan marah sekali.

   "Suci, sudah berkali-kaii kukatakan kepadamu bahwa Kun Liong bukanlah seorang hwesio..."

   Terdengar suara Hong Ing penuh kedukaan. Sucinya tidak menoleh, hanya menghela napas dan diam saja. Hening sekali keadaan di situ dan akhirnya Kim In berkata lirih,

   "Mungkin dia bukan hwesio, mungkin hanya seorang pemuda ugal-ugalan yang sengaja menggunduli kepalanya. Akan tetapi apa bedanya? Tetap saja engkau bermain dengan dia, padahal engkau sudah menjadi nikouw. Betapa memalukan ini, Sumoi. Sebagai encimu, tentu saja hal ini merupakan tamparan hebat dan aku malu sekali. Kalau aku tidak sayang kepadamu, bukankah perbuatan itu cukup bagiku untuk menjadi alasan membunuhmu? Akan tetapi aku tidak tega, dan aku hanya akan membawamu kembali kepada Subo. Selanjutnya terserah kepada Subo, dan aku pun tidak akan menceritakan tentang peristiwa di balik semak-semak itu."

   

Pedang Kayu Harum Eps 2 Pedang Kayu Harum Eps 11 Pusaka Pulau Es Eps 2

Cari Blog Ini