Petualang Asmara 36
Petualang Asmara Karya Kho Ping Hoo Bagian 36
"Kun Liong..."
"Hemm...?"
Dia mengangkat muka dan hatinya menjadi lega melihat wajah dara itu sudah berseri kembali, sama sekali tidak ada tanda-tanda kemarahan atau kedukaan.
"Benarkah Giok Keng tidak mencintamu?"
Sebenarnya di dalam hatinya Kun Liong merasa tidak senang sekali diajak bicara urusan ini, akan tetapi karena dia tidak ingin melihat dara itu marah-marah lagi, dia terpaksa menjawab,
"Tentu saja dia tidak cinta padaku, dia sendiri yang menyatakan ini dan memutuskan tali perjodohan kami."
"Mengapa tidak cinta padamu?"
"Eh, apa anehnya itu, Hong Ing? Mana mungkin seorang seperti dia mencinta seorang gundul seperti aku? Mana ada di dunia ini seorang dara cantik yang bisa jatuh cinta kepada seorang laki-laki gundul tak berharga seperti aku ini? Paling-paling yang jatuh cinta kepadaku hanyalah orang-orang macam Kim Seng Siocia..."
Kun Liong mencoba berkelakar akan tetapi terdengar masam dan hambar.
"Kasihan kau, Kun Liong..."
"Tak perlu kaukasihani, aku sudah menyadari keadaanku yang buruk,"
Kata Kun Liong sambil cemberut. Kau tidak tahu, katanya dalam hati, betapa banyaknya gadis yang jatuh cinta kepadanya! Terbayanglah wajah Bi Kiok, Li Hwa, dan terutama sekali wajah Hwi Sian! Biarpun dia tak berani memastikan bahwa Bi Kiok dan Li Hwa mencintanya, akan tetapi yang jelas, Hwi Sian benar-benar mencintanya sehingga dara itu rela menyerahkan kehormatan dan tubuhnya kepadanya!
"Benar-benarkah tidak ada wanita yang mencintamu?"
Kun Liong menggeleng kepalanya.
"Yang jelas hanya seorang..."
"Siapa?"
Hong Ing kelihatan bernafsu dan ingin tahu sekali ketika mengajukan pertanyaan ini.
"Mendiang ibuku..."
"Hemmm... kasihan engkau. Giok Keng memutuskan perjodohan karena tidak mencintamu, padahal engkau tentu cinta sekali padanya..."
"Tidak sama sekali."
"Heiii?"
"Aku tidak cinta padanya! Dan aku tidak mencinta siapa pun! Aku tidak percaya kepada cinta!"
"Ehhh...?"
"Cinta adalah palsu belaka! Cinta hanyalah dipergunakan untuk memenuhi keinginan hati sendiri, untuk memuaskan hati sendiri. Betapa tololnya pria yang jatuh cinta! Semua wanita sama saja, mereka itu mempesolek diri, membuat dirinya cantik menarik seperti kembang yang memancing datangnya kumbang, dengan pernyataan cinta palsunya wanita hanya ingin agar pria tunduk kepadanya, menuruti segala kehendaknya, menyenangkan hatinya! Pria pun berlumba menarik perhatian wanita dengan segala cinta palsu di mulut, hanya untuk menjadikan wanita sebagai pemuas nafsu birahinya! Aku muak! Aku tidak cinta siapapun dan tidak akan mencinta siapapun!"
Mata Hong Ing terbelalak, napasnya terengah, dan sukar sekali kata-kata yang keluar dari mulutnya,
"Jadi kau... tidak suka kepada wanita?"
"Aku suka! Tapi aku tidak cinta! Aku suka kepada wanita cantik seperti aku suka kepada bunga yang indah dan harum, suka membelai dan menciumnya, akan tetapi untuk jatuh cinta, nanti dulu! Cinta adalah perasaan yang palsu, hanya indah dalam lamunan... seperti mimpi... tapi kenyataannya, tahu-tahu diri terikat dan tak bergerak lagi, kehilangan kebebasan, dan selama hidupnya menjadi hamba dari ikatan cinta yang menjadi pernikahan, suka atau tidak. Betapa bodohnya pria yang jatuh cinta!"
"Dan engkau tentu tidak sebodoh itu, bukan?"
"Tidak!"
"Dan semua pengetahuanmu tentang cinta ini kaupelajari dari kitab?"
"Hemmm... mungkin! Banyak kitab lama menceritakan tentang kejatuhan kaisar dan orang-orang besar hanya karena cinta kepada wanita. Pertapa-pertapa gagal juga karena cinta kepada wanita. Wanita seperti kembang..."
"Seperti syair kata-katamu... teruskan..."
"Wanita seperti kembang, hanya boleh dipandang, boleh dijamah dan dicium, akan tetapi sekali dipetik, akan menjadi layu dan menjemukan... harumnya hilang berubah menjadi bau yang tidak enak, keindahannya mengeriput dan melayu sehingga berubah buruk..."
Kun Liong menghentikan kata-katanya karena pandang matanya bertemu dengan pandang mata Hong Ing yang membuatnya terkejut setengah mati. Pandang mata Hong Ing seperti ujung pedang runcing yang menusuk matanya! Teringatlah dia sekarang betapa tadi dia bicara mengeluarkan isi hatinya seperti bicara kepada diri sendiri, membicarakan dan mencela wanita di depan Hong Ing, seorang wanita pula, bahkan seorang wanita remaja yang amat cantik jelita! Baru dia teringat betapa dia telah kelepasan bicara, telah melepaskan kata-kata keras yang terdorong oleh rasa penasaran di hatinya terhadap Giok Keng puteri supeknya yang selain telah bersama-sama Liong Bu Kong, juga telah mengeroyoknya tadi.
"Yap Kun Liong..."
Panggilan nama lengkapnya ini membuat hati Kun Liong berdebar, namanya disebut lengkap dengan suara yang begitu dingin! Dari dada Hong Ing keluar isak tertahan dan tiba-tiba dara itu membuang muka, mengalihkan pandang matanya ke air di luar perahu, kemudian kedua tangannya menyapu-nyapu air laut seolah-olah dia bicara dengan lautan.
"Yap Kun Liong pemuda yang gagah perkasa dan terpelajar itu bicara seperti seorang kakek tua renta tentang wanita... padahal segala ilmu silatnya dia dapat dari guru-gurunya, segala ilmu sastranya dia dapat dari kitab-kitab, semua itu dia hanya menjiplak saja dan sekarang... dengan kesombongan yang melebihi halilintar dia mengutuk wanita, seolah-olah wanita disamakannya dengan isi keranjang sampah!"
"Hong Ing..."
Kun Liong mengeluh, menyesali kata-katanya tadi.
"Seolah-olah dialah satu-satunya pria yang paling hebat... yang terlampau tinggi bagi mahluk wanita yang lemah dan hina..."
"Hong Ing... aku tidak bermaksud begitu..."
"Yap Kun Liong pemuda pongah, pemuda sombong itu... pantasnya berada di kahyangan tanpa wanita... dan baginya, agaknya hanya neraka sajalah tempat tinggal wanita... begitu hebat dia memandang rendah wanita sampai dia lupa bahwa neneknya dan ibunya pun seorang wanita..."
"Hong Ing...!"
Kun Liong membentak, mukanya menjadi pucat. Mengapa dara itu begitu berlebih-lebihan menambah-nambah ucapannya tadi?
Akan tetapi Hong Ing sudah memalingkan muka, membelakanginya dan dara itu merapikan kain putih penutup kepalanya yang terbuka oleh angin, kemudian gadis ini bersenandung!
Kun Liong tenganga bengong. Suara Hong Ing amat merdunya, jernih melebihi air di luar perahu peti mati dan halus mengimbangi hembusan angin, nyanyiannya lirih namun kata-katanya terdengar jelas, diiringi suara air laut memercik pada peti yang mendatangkan irama kacau namun pada saat itu merupakan latar belakang nyanyian yang menambah keindahan nyanyiannya itu.
Mula-mula Kun Liong terpesona oleh suara yang merdu sekali itu, menjadi istimewa karena dinyanyikan di tempat seperti itu, di saat seperti itu pula. Akan tetapi, alisnya berkerut dan matanya terbelalak ketika dia mulai memperhatikan kata-kata yang diucapkan dalam nyanyian itu. Hong Ing bernyanyi tentang... cinta! Dan setelah dia mengikuti isi nyanyian, teringatlah dia bahwa yang dinyanyikan itu merupakan sajak kuno yang ditulis oleh seorang sastrawan di jaman Kerajaan Han, ratusan tahun yang lalu. Dia merasa kagum sekali, kagum dan heran. Kagum karena tidak disangkanya dara ini selain memiliki suara merdu juga mengenal sajak itu, dan heran mengapa dara murid Go-bi Sin-kouw yang sejak kecil berada di puncak gunung ini demikian pandai bernyanyi.
"Cinta adalah Kehidupan
tanpa cinta hidup sama dengan mati
Cinta adalah Cahaya
tanpa cinta hidup gelap gulita
Cinta adalah Suci
tanpa cinta hidup bergelimang dosa
Hanya orang bijaksana saja mengenal Cinta
si dungu hanya mengejar nafsu!"
"Suaramu indah sekali!"
Akan tetapi Hong Ing tidak menjawab, menoleh pun tidak, hanya mengulang lagi nyanyiannya. Kun Liong merasa seolah-olah disindir hebat oleh nyanyian itu, terutama sekali baris terakhir yang mengatakan bahwa si dungu hanya mengejar nafsu, maka dia menjadi mendongkol juga. Karena pujiannya tidak dipedulikan, dia lalu mencari bahan untuk menggoda dara itu. Akhirnya dia memperoleh akal dan berteriak keras melawan angin, agar mengatasi suara nyanyian dara itu.
"Hai lucunya! Ada nikouw kok menyanyi!"
Pancingannya berhasil. Hong Ing menoleh dan dengan mata berkilat penuh penasaran dia menjawab,
"Nikouw juga manusia yang mempunyai mulut dan suara! Apa salahnya nikouw menyanyi?"
Girang hati Kun Liong melihat bahwa dia telah berhasil memancing kemarahan Hong Ing itu sehingga membantahnya. Lebih baik melihat dara ini marah-marah dan memaki-makinya sekali daripada melihat dia didiamkan dan tidak diacuhkan seperti patung. Kun Liong tertawa.
"Tentu saja semua nikouw boleh bernyanyi, akan tetapi biasanya nikouw hanya menyanyikan lagu doa untuk liam-keng, bukan menyanyikan lagu tentang cinta!"
Sepasang mata yang bening itu makin mendelik marah.
"Aku bukan nikouw! Aku bukan nikouw aseli, melainkan nikouw palsu, nikouw terpaksa! Sekarang aku bukan nikouw lagi!"
Berkata demikian, Hong Ing lalu merenggut lepas kain putih penutup kepalanya sehingga tampaklah kepalanya yang gundul dan licin mengkilap, bersih dan bentuknya bulat. Melihat kepala ini, tak dapat ditahan lagi Kun Liong tersenyum lebar dan matanya memandang kepala itu. Melihat betapa mata pemuda itu ditujukan kepada kepalanya, baru Hong Ing teringat bahwa kepalanya gundul pelontos. Mukanya menjadi merah sekali, dia merasa seolah-olah kepalanya berada dalam keadaan "telanjang", maka dengan tergesa-gesa ditutupkannya kembali kain putih ke atas kepalanya. Tentu saja gerakan dan sikap dara ini membuat Kun Liong menjadi makin geli dan dia mencela,
"Heii, mengapa ditutup kembali?"
In Hong tentu saja tidak mau mengatakan malu karena kepalanya "telanjang", dan dengan cemberut dia berkata,
"Siapa melarang aku menutupi kepalaku? Matahari amat teriknya, kepalaku menjadi panas terkena sinar matahari."
Kun Liong tidak mau menggoda lebih jauh lagi. Dia sudah merasa girang bahwa Hong Ing sudah mau bicara dengan dia. Maka dia berkata,
"Hong Ing, kaumaafkanlah semua kata-kataku yang tidak karuan. Harap kau tidak marah lagi kepadaku."
Hong Ing menjawab tidak acuh,
"Siapa marah? Aku tidak marah."
"Ahh, kau tadi mengatakan aku pongah dan sombong..."
"Kau juga mengatakan bahwa wanita amat buruk dan hinanya...!"
Kun Liong makin tidak mengerti akan sikap wanita pada umumnya dan dara ini pada khususnya. Akan tetapi karena dia tidak mau bermusuhan dengan satu-satunya kawan seperahu yang senasib sependeritaan dengannya di saat itu, dia diam saja. Dia murung dan betapapun dia menekan perasaannya, tetap saja mulutnya cemberut. Sampai lama mereka berdiam diri. Kun Liong mengatur arah perahu, terus ke timur dan kemudian membelok ke utara. Dia sengaja tidak mau bicara dan tidak memandang kepada Hong Ing, khawatir kalau-kalau mendatangkan keributan lagi. Heran dia mengapa setelah terlepas dari bencana dan menghadapi bencana baru yang tidak berketentuan ini, dia dan Hong Ing selalu berbantahan. Tiba-tiba terdengat suara dara itu,
"Kun Liong..."
Suaranya begitu merdu dan ketika dia menengok, dia melihat wajah dara itu berseri. Bukan main manisnya!
"Hemmm...?"
Kun Liong juga tersenyum, terseret oleh senyum dara itu.
"Lihat ini..."
Tangan kanan dara itu memegang seekor ikan sebesar betis, ikan segar yang masih menggelepar dan berusaha meronta terlepas dari pegangan tangan kecil yang amat kuat itu.
"Aku menyambarnya ketika dia berenang dekat perahu. Kupanggang dia, ya?"
"Wah, tentu enak sekali!"
Kata Kun Liong dan mereka tertawa-tawa gembira, lupa akan percekcokan mereka tadi.
Karena di situ tidak terdapat bahan bakar, terpaksa Hong Ing menggunakan tenaganya untuk mematahkan sedikit ujung tiang layar dan mengambil sedikit kayu dengan menghancurkan pinggir tutup peti, kemudian dengan menggosok-gosokkan kayu kering dia berhasil membuat api dan memanggang ikan itu. Akan tetapi setelah mereka makan daging ikan yang lezat itu, mereka bingung karena mereka tidak dapat minum. Mereka merasa haus sekali dan memandang sedih ke arah air laut. Demikian banyaknya air di sekeliling mereka, terlampau banyak, namun mereka tidak dapat minum sama sekali! Air laut berlimpah tinggal ambil namun tiada gunanya, yang mereka butuhkan hanyalah seteguk air tawar! Setelah mengalami hal ini, barulah dengan amat terkejut keduanya sadar bahwa mereka terancam bahaya maut yang mengerikan di tengah laut! Dan mereka tadi sempat bercekcok!
"Hong Ing, kita harus segera dapat mendarat di sebuah pulau yang ada airnya. Kalau tidak, celakalah kita."
Hong Ing mengangguk dan dara ini lalu membantu Kun Liong memegang tali-temali layar. Angin bertiup kencang dan keduanya melihat-lihat ke empat jurusan, mencari-cari dengan pandang mata disertai penuh harapan akan melihat bayangan sebuah pulau dari jauh. Akan tetapi, di empat penjuru yang tampak hanya air dan air sampai ke kaki langit, air yang tiada tepinya! Menjelang senja, perahu peti itu sudah berlayar jauh sekali. Angin makin kencang dan tiba-tiba dari langit yang tertutup awan hitam itu turunlah air bertitik-titik besar. Kedua orang muda itu dengan girang dan lega memuaskan dahaga mereka dengan air hujan. Akan tetapi hujan segera turun dengan lebatnya, angin bertiup amat kencangnya sehingga mereka cepat-cepat menurunkan layar. Angin badai mengamuk!
"Celaka...! Kita tutup peti ini...!"
Kun Liong berkata dan dengan cepat mereka berdua menutupkan peti setelah membuang air keluar dari peti. Peti itu mulai diombang-ambingkan gelombang yang dahsyat dan tak lama kemudian, Kun Liong dan Hong Ing terbanting-banting dan saling berpelukan di dalam peti yang kini tidak hanya diombang-ambingkan, melainkan dilempar ke atas dan diguling-gulingkan! Di dalam peti yang gelap itu, Kun Liong mendengar suara dahsyat dari badai dan di antara suara dahsyat ini, terdengar tangis Hong Ing yang lemah, tangis ketakutan. Dia memeluk tubuh dara itu, mendekapnya dan dengan seluruh jiwa raganya dia berniat melindunginya. Akan tetapi apa dayanya? Mereka berada di dalam sebuah peti mati tertutup,
Peti yang kecil sehingga mereka tidak mampu bergerak, peti yang dipermainkan oleh badai dan setiap saat dapat saja peti itu ditenggelamkan atau dihempaskan hancur lebur di batu karang sehingga riwayat mereka akan habis sampai di situ saja. Hong Ing menangis dan merintih-rintih saking takutnya, sedangkan Kun Liong sendiri yang selama ini tidak pernah mengenal takut, kini merasa ngeri juga sehingga tanpa disadarinya, timbul kembali pengalaman di waktu dia masih kanak-kanak dan tak terasa lagi dia meneriakkan panggilan kepada ayah bundanya seperti seorang anak kecil yang menderita ketakutan. Tiba-tiba Kun Liong merasa terguncang hebat dan berbareng dengan suara keras sekali tubuhnya terlempar dan keadaan menjadi gelap. Ketika terlempar itu dia seperti mendengar suara wanita memanggil namanya,
"Kun Liong...!"
Akan tetapi dia tidak tahu pasti apakah itu suara ibunya, ataukah suara Hong Ing karena dia sudah tidak ingat apa-apa lagi. Ketika Kun Liong membuka kedua matanya, dia mendapatkan dirinya sudah rebah menggeletak di atas pasir. Seluruh tubuhnya terasa nyeri, setiap gerakan kaki atau tangan mendatangkan rasa nyeri sekali. Dia mengeluh, akan tetapi begitu teringat akan Hong Ing, dia cepat bangkit dan duduk, sama sekali tidak lagi merasakan rasa nyeri-nyeri tubuhnya. Malam masih gelap dan suara badai masib menggelora. Akan tetapi dia selamat! Dia telah berada di daratan. Dengan tangan kaki meraba-raba dia bangkit berdiri, melangkah maju. Kiranya dia berada di pantai yang penuh dengan batu-batu karang dan pasir. Untung dia terhempas di pasir, kalau terhempas di batu-batu, tentu tubuhnya sudah hancur lebur. Kembali dia teringat kepada Hong Ing!
"Hong Ing...!"
Dia memanggil dengan pengerahan khi-kangnya. Suaranya dihembus pergi oleh angin badai, akan tetapi dia terus memanggil-manggil sambil meraba ke kanan kiri dalam kegelapan. Tidak ada yang menjawabnya! Dia berteriak lagi, melangkah maju tersaruk-saruk, kadang-kadang jatuh, bangkit lagi dan memanggil lagi. Akhirnya, setelah suaranya habis dan serak, setelah untuk berjam-jam dia memanggil tanpa ada jawaban, dia menjatuhkan diri berlutut di atas pasir, berpegang kepada batu karang dan menangis! Baru sekali ini Kun Liong menangis seperti itu, menangis sesenggukan karena terbayang di depan matanya betapa tubuh dara itu tentu hancur lebur dihempaskan di atas batu-batu karang.
Baru sekali ini dia merasakan kedukaan yang amat hebat. Merasakan kebimbangan yang membuat hidupnya sekaligus terasa sunyi dan hampa. Sambil menangis dia akhirnya duduk bersandarkan batu karang. Hatinya mengutuk badai, mengutuk batu karang, mengutuk lautan, mengutuk Kok Beng Lama yang melontarkan mereka ke laut, mengutuk semua orang yang mengeroyok mereka, mengutuk dunia dan mengutuk alam! Dia tidak merasakan lagi tubuhnya yang sakit-sakit. Namun dia masih belum hilang harapan. Sekali-kali dia memekik memanggil nama Hong Ing tanpa ada jawaban. Dia terus duduk di situ, menanti sampai pagi. Dia menanti sampai cuaca menjadi terang agar dia dapat mencari Hong Ing, hidup atau mati. Sambil menanti, telinganya dibuka lebar-lebar, mendengarkan kalau-kalau ada suara Hong Ing memanggilnya.
Akan tetapi yang terdengar hanyalah lengking panjang suara badai yang mengiuk-ngiuk, diseling suara air berdeburan dan adakalanya air meledak bergemuruh ketika menghantam batu karang, didasari suara air laut yang mendidih dan mengerikan hati. Di dalam semua keributan suara badai, seolah-olah terdengar suara segala macam hantu dan setan yang muncrat dari dalam lautan, suara mereka yang tertawa-tawa dan menangis melolong-lolong bercampur aduk menjadi satu. Menjelang pagi, badai berhenti, akan tetapi cuaca masih gelap. Betapapun juga, Kun Liong sudah merangkak-rangkak di antara batu karang, telinganya dibuka lebar dan matanya terbelalak dalam usahanya menembus kegelapan malam, mencari-cari Hong Ing. Mulutnya mulai lagi memekikkan nama dara ini dengan pengerahan khi-kang sekuatnya.
"Hong Ing...!"
Sampai matahari terbit, Kun Liong berkeliaran di pantai, merangkak-rangkak melalui pasir dan batu karang yang tajam, mencari-cari. Akhirnya, di bawah batu karang yang menonjol, dia melihat peti mati yang menjadi perahu mereka itu. Sudah hancur dan pecah berantakan! Cepat dia merangkak mendekati, menuruni batu karang, tidak merasa lagi betapa tangan kakinya yang telanjang itu pecah-pecah kulitnya tertusuk batu karang. Akan tetapi setelah dekat, yang ada hanya pecahan-pecahan peti mati itu saja, berikut layar yang sudah robek-robek. Tidak ada Hong Ing di sekitar tempat itu. Bekasnya pun tidak ada! Kun Liong lemas dan kembali air matanya bercucuran. Tentu Hong Ing telah dimakan ikan! Betapa ngerinya!
"Hong Ing...!"
Dia mengeluh dan seperti orang gila, kembali dia merangkak ke sana-sini, memanggil-manggil. Tiba-tiba matanya terbelalak memandang ke depan. Ada sebuah benda putih terapung di air! Cepat dia menghampiri dan lari ke pantai yang sedalam lutut. Dia menyambar benda itu dan memandang dengan mata terbelalak. Kain penutup kepala Hong Ing!
"Hong Ing...!"
Kun Liong menjerit, kain itu dipeluknya, ditangisi dan diciuminya, terhuyung-huyung dia kembali ke darat sambil menangis, kemudian dia terguling roboh di atas pasir dan pingsan! Kain itu masih dicengkeramnya!
Kita tinggalkan dulu Kun Liong yang pingsan dan marilah kita menengok keadaan di Cin-ling-san. Di pegunungan ini, Pendekar Sakti Cia Keng Hong dan isterinya, Sie Biauw Eng, dengan hidup tenteram, aman dan penuh kebahagiaan di samping kedua orang anak mereka, yaitu Cia Giok Keng dan Cia Bun Houw. Sebagai seorang ketua perkumpulan Cin-ling-pai yang sudah mulai terkenal itu, tentu saja pendekar ini hidup serba cukup dan terjamin, dilayani para anggauta yang juga menjadi murid-muridnya.
Giok Keng telah menjadi seorang dara remaja yang sudah mereka tunangkan dengan Yap Kun Liong, dan Bun Houw sudah berusia hampir lima tahun, merupakan seorang anak laki-laki yang tampan dan bertubuh sehat. Apalagi yang dikehendaki? Cia Keng Hong adalah seorang pendekar besar yang dihormati dan disegani orang, bahkan namanya dihormati sampai ke kota raja, dianggap sebagai orang yang berjasa terhadap pemerintah, hidup serba cukup, dan keluarganya sehat sejahtera. Tentu akan dianggap sebagai seorang yang berbahagia hidupnya. Akan tetapi benarkah demikian? Benarkah Cia Keng Hong merasa dirinya berbahagia? Biasanya hanya orang lain sajalah yang menganggap seseorang itu bahagia. Orang yang tidak mempunyai uang akan menganggap bahwa si pemilik uang berbahagia.
Orang yang sedang sakit menganggap bahwa si sehat itu berbahagia. Orang yang sedang cekcok dengan isterinya menganggap bahwa suami isteri yang rukun itu berbahagia. Dan demikian selanjutnya. Akan tetapi benarkah bahwa semua itu dapat dijadikan ukuran seseorang apakah dia hidup bahagia atau tidak? Selama orang masih memiliki keinginan untuk mendapatkan sesuatu, mungkinkah dia berbahagia? Selama orang masih melakukan perbandingan, tentu akan timbul iri dan kecewa yang melahirkan pertentangan-pertentangan dalam batin yang kemudian meledak keluar. Mungkinkah orang berbahagia kalau masih ada pertentangan, baik lahir maupun batin? Bahagia tidak terletak pada harta, kedudukan, kewarasan, kesenangan, kehormatan. Bahagia haruslah lengkap dan bulat, tidak terpecah-pecah.
Bahagia tidak mungkin dapat dikejar dan dijangkau, tidak mungkin dapat dicari dan dipaksakan untuk memiliki! Bahagia adalah suatu keadaan yang datang sendiri tanpa dipanggil, tanpa dikehendaki, tanpa dirasakan! Bahagia tidak mengenal susah senang, suka duka, puas kecewa dan segala macam keadaan berkebalikan yang memenuhi kehidupan manusia dan karenanya mendatangkan segala pertentangan itu. Kebahagiaan berada di atas segala itu. Demikianlah, maka hanya menjadi harapan dan mimpi setiap orang saja jika kita bicara tentang bahagia yang seolah-olah ada dan nampak namun selalu hampa kalau diraih. Semua orang mencari jalan menuju kebahagiaan, seolah-olah kebahagiaan merupakan suatu tujuan yang tertentu dan mati sehingga kita tersesat tanpa obor, seperti orang yang mencari sumbernya angin, mencari ujungnya piring!
Kehidupan Cia Keng Hong bersama keluarganya di Cin-ling-san juga hanya kelihatannya saja hidup bahagia dalam pandang mata orang-orang tertentu. Untuk melihat apakah benar-benar mereka berbahagia, mari kita mengikuti pengalaman mereka selanjutnya dalam menghadapi peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam kehidupan mereka. Bukankah hidup ini merupakan perubahan setiap saat, merupakan pergerakan yang terus-menerus dan tidak pernah sama? Pada pagi hari itu, setelah melakukan latihan pagi, Cia Keng Hong dan isterinya, Sie Biauw Eng, duduk bercakap-cakap menghadapi sarapan pagi di dalam taman bunga mereka yang cukup indah dan luas di sebelah belakang rumah. Bun Houw yang berusia empat tahun lebih dan tak pernah mau diam itu berada di taman pula, mengejar-ngejar kupu-kupu yang banyak beterbangan di sekeliling bunga-bunga yang sedang mekar mengharum.
"Giok Keng sudah cukup dewasa,"
Terdengar Pendekar Cia Keng Hong berkata kepada isterinya.
"Bahkan sudah agak terlambat untuk menikah, maka sekembalinya nanti, kita harus cepat-cepat membuat persiapan untuk merayakan pernikahannya dengan Kun Liong. Karena puteri kita hanya seorang itu, maka kita harus mengundang semua dan biarlah perayaan itu diadakan sebesarnya sesuai dengan kemampuan kita."
Berkata demikian, wajah pendekar itu berseri dan hatinya gembira membayangkan betapa dia akan menjadi ayah mertua yang berbahagia, menerima ucapan selamat dari sahabat-sahabatnya, para tokoh besar di kota raja dan di dunia kang-ouw. Sie Biauw Eng mengerutkan alisnya. Biarpun usianya sendiri sudah empat puluh tahun lebih, nyonya ini masih kelihatan muda dan cantik sekali.
"Aku pun gembira dapat memperoleh mantu putera mendiang Yap Cong San dan Gui Yan Cu yang bernasib malang itu. Akan tetapi... apakah keputusan ini sudah kaupikir dengan matang? Apakah sudah cukup bijaksana? Kita tahu bahwa pernikahan baru akan berhasil apabila dua orang yang bersangkutan sudah menyetujuinya. Mengapa kau tidak menanyakan dulu kepada Keng-ji untuk mengetahui isi hatinya?"
"Ahhh, kurasa tidak perlu, dan Keng-ji sendiri juga sudah tahu siapa dan orang macam apa adanya Kun Liong! Adakah pemuda lain yang lebih hebat dan lebih memuaskan daripada dia? Dia keturunan orang baik-baik, bahkan masih sahabat baik kita sendiri, ibunya masih sumoiku sendiri. Dia memiliki ilmu kepandaian tinggi, bahkan Thi-khi-i-beng hanya diberikan kepada dia seorang. Juga melihat sepak terjangnya, dia memiliki watak yang gagah perkasa dan budiman, biarpun agak lemah dan terlalu mudah memaafkan orang, terlalu mengalah. Pula kalau dipikir secara mendalam, perjodohan atas pilihan orang tua belum tentu selamanya buruk."
"Hemmm, mengapa kau tidak ingat akan keadaan kita sendiri? Perjodohan harus didasari cinta kasih kedua pihak yang bersangkutan. Hanya kasih sayang kedua pihaklah yang penting, selebihnya tidak ada artinya lagi. Orang tua hanyalah melaksanakan saja."
"Hemm, ucapanmu memang benar. Akan tetapi kupikir, bagi orang muda yang belum berpengalaman, pilihan jodoh mereka bisa saja meleset dan gagal! Orang muda yang masih hijau hanyalah melihat keindahan muka dan mendengar kemanisan kata-kata! Banyak terjadi ketika saling mengenal, mereka bersumpah saling menyatakan cinta, akan tetapi setelah menikah, timbul perpecahan karena tidak cocok watak mereka. Bagaikan membeli barang, orang muda hanya memperhatikan keindahan lahirnya saja, sama sekali tidak memperhatikan mutu dalamnya, hanya melihat kulit tidak mempedulikan isi. Maka setelah menikah, baru menyesal..."
"Belum tentu! Buktinya kita yang berjodoh karena saling mencinta sampai sekarang berjalan baik. Juga Cong San dan Yan Cui. Orang tua mana bisa disamakan orang muda? Apa yang dianggap baik oleh pandang mata orang tua, belum tentu baik bagi mata orang muda. Pula, yang hendak menikah bukan orang tuanya, melainkan orang mudanya! Merekalah yang akan menanggung akibatnya selama hidup, maka mereka pula yang berhak memilih."
"Siapa bilang orang tua tidak ikut menanggung akibatnya? Kalau anaknya hidup bahagia dengan mantunya, orang tua hanya ikut bersyukur, akan tetapi kalau melihat kehidupan rumah tangga anaknya hancur, orang tua lebih berduka daripada si anak sendiri. Karena itu, kita harus berhati-hati dan menurut pandanganku, pilihanku terhadap Kun Liong sudah tepat."
"Aku tidak mengatakan bahwa pilihanmu tidak tepat, dan aku pun suka kepada pemuda itu. Hanya aku katakan bahwa kita belum bertanya kepada Keng-ji. Kalau memang dia juga mencinta Kun Liong, tentu saja hatiku akan merasa puas dan lega..."
Perdebatan antara suami isteri ini, perdebatan yang merupakan lagu lama antara suami isteri dan antara orang tua dan orang muda, tentu akan berkepanjangan kalau saja pada saat itu tidak tampak datang pembantu utama atau murid kepala mereka yang bernama Kwee Kin Ta. Mereka menghentikan perdebatan itu dan memandang kepada Kin Ta yang berdiri dengan sikap hormat kepada suhu dan subonya.
"Harap Suhu dan Subo memaafkan teecu yang datang menghadap tanpa dipanggil. Teecu hendak melaporkan bahwa teecu melihat Sumoi pulang bersama..."
Sampai di sini murid itu berhenti bicara. Cia Keng Hong dan isterinya yang menjadi gembira mendengar kedatangan puteri mereka itu memandang dengan heran.
"Bersama siapa?"
Keng Hong mendesak karena tidak biasanya murid kepala yang biasa bersikap tenang itu kelihatan bingung dan ragu-ragu.
"Bersama... pemuda yang dahulu pernah datang ke sini dan membikin kacau beberapa waktu yang lalu..."
"Siapa...?"
Biauw Eng membentak marah.
"Putera... putera Kwi-eng Niocu Ketua Kwi-eng-pang..."
"Apa...?"
Keng Hong meloncat bangun, mukanya berubah, akan tetapi dia saling pandang dengan isterinya, menekan perasaannya dan berkata.
Petualang Asmara Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kin Ta, kau ajak Bun Houw bermain-main di luar dan kalau Keng-ji datang, suruh mereka berdua menghadap kami di taman ini."
Kwee Kin Ta mengangguk, lalu mengajak Bun Houw pergi dari situ dengan menjanjikan permainan bagus kepada anak itu. Setelah murid kepala ini membawa putera mereka pergi, Keng Hong dan Biauw Eng duduk kembali saling pandang dan alis mereka berkerut, tidak mengeluarkan kata-kata karena hati mereka penuh dengan dugaan yang tidak-tidak.
"Tenanglah, kita belum tahu apa yang terjadi,"
Akhirnya Biauw Eng berkata kepada suaminya, khawatir kalau-kalau suaminya tidak dapat menahan kesabarannya dan marah kepada puteri mereka. Keng Hong mengangguk.
"Tentu terjadi sesuatu yang aneh dan hebat...."
Katanya, menarik napas panjang.
"Apa pun yang terjadi, agaknya tidak mungkin Keng-ji mau berbaik dengan putera seorang datuk sesat."
"Harap tenang dan bersabar, tentu ada alasannya,"
Isterinya membela puteri mereka. Percakapan terputus karena pada saat itu tampak Giok Keng dan Liong Bu Kong sudah muncul dari pintu dan langsung kedua orang muda itu memasuki taman dan melangkah cepat tanpa ragu-ragu menghampiri mereka. Memang sebelumnya Giok Keng yang cerdik itu telah mengaturnya bersama kekasihnya, bagaimana kalau mereka bertemu dengan ayah bundanya. Maka kini keduanya langsung menghadap dan menjatuhkan diri berlutut di depan pendekar sakti dan isterinya itu. Dengan sikap hormat sekali Bu Kong berlutut dan tidak berani mengangkat muka, sedangkan Giok Keng setelah menyebut "ayah dan ibu"
Lalu mencabut keluar pedangnya dan berkata kepada ayahnya dengan suara penuh ketegangan,
"Ayah, harap Ayah periksa pedangku ini."
Benar saja perhatian Keng Hong dan Biauw Eng segera tertarik. Kalau tadinya mereka berdua ini menatap wajah Bu Kong dengan pandang mata heran dan penuh pertanyaan, kini sekaligus mereka mengalihkan pandang dan melihat pedang yang diberikan oleh Giok Keng kepada ayahnya itu. Pedang itu adalah pedang Gin-hwa-kiam pemberian Cia Keng Hong kepada puterinya, sebatang pedang pusaka yang ampuh. Akan tetapi begitu melihat pedang yang terhunus itu, Keng Hong dan Biauw Eng terkejut bukan main. Di badan pedang itu tampak jelas bekas jari tangan orang, seolah-olah pedang itu terbuat dari tanah liat yang basah saja sehingga garis-garis jari tangan itu terlukis di batang pedang! Hal itu menandakan bahwa ada orang memiliki tenaga sin-kang mujijat yang telah berani menangkis atau melawan Gin-hwa-kiam dengan jari tangannya! Seorang yang memiliki kepandaian sehebat itu benar-benar belum pernah mereka temukan.
"Siapa yang melakukan ini?"
Sebagai seorang pendekar sakti yang sukar dicari tandingannya, tentu saja Cia Keng Hong tertarik sekali untuk mengetahui siapa orangnya yang mampu menangkis pedang Gin-hwa-kiam dengan tangan kosong itu. Memang inilah yang dikehendaki Giok Keng dengan mencabut dan memperlihatkan Gin-hwa-kiam kepada ayahnya. Dia ingin mengalihkan perhatian ayah bundanya sehingga urusannya dengan Bu Kong dapat diceritakan melalui jalan terputar dan tidak secara langsung.
"Orangnya aneh dan amat sakti, Ayah. Namanya Kok Beng Lama, seorang pendeta Lama berjubah merah. Dia datang dan menantang-nantang Bun Hwat Tosu, Tiang Pek Hosiang, Go-bi Thai-houw, dan juga menantang Sucouw (Kakek Guru) Sin-jiu Kiam-ong!"
Dengan panjang lebar Giok Keng menceritakan tentang munculnya kakek itu yang telah membunuh banyak perajurit pemerintah hanya dengan suara ketawanya saja, dan betapa kakek Lama itu dengan jari tangan kosong telah menangkis pedangnya ketika dia ikut mengeroyok dan membuat cap jari tangan pada Gin-hwa-kiam.
"Kok Beng Lama...?"
Cia Keng Hong dan isterinya saling pandang, mengerutkan alis dan mengingat-ingat.
"Seingatku, belum pernah aku mendengar nama ini di dunia kang-kouw...! Mengapa dia menentang perajurit pemerintah?"
"Semua ini gara-gara Yap Kun Liong! Pemuda itu telah melakukan penyelewengan besar, Ayah. Dia telah menjadi seorang buronan dan kini dikejar-kejar oleh pasukan pemerintah. Pendeta Lama itu muncul menolong Kun Liong pada saat dia sudah dikepung dan hampir dapat tertawan."
Dapat dibayangkan betapa kagetnya hati Keng Hong dan isterinya mendengar berita ini.
"Mengapa? Apa yang telah dilakukannya?"
Biauw Eng bertanya dengan mata terbelalak penasaran.
"Dia telah menentang Pangeran Han Wi Ong, melarikan calon isteri pangeran itu."
Cepat-cepat Giok Keng menceritakan pula keadaan Yap Kun Liong bersama seorang gadis cantik jelita yang telah menjadi nikouw, calon isteri pangeran yang agaknya dilarikan oleh Kun Liong. Dalam penuturan ini, beberapa kali dia dibantu oleh Liong Bu Kong yang menuturkan betapa mereka berdua melihat pasukan pemerintah yang dipimpin oleh Pangeran Han Wi Ong dan dibantu oleh beberapa orang perwira dan orang-orang kang-ouw sedang mengeroyok Yap Kun Liong. Setelah mereka berdua mendengar bahwa Kun Liong melarikan calon isteri Pangeran Han Wi Ong, mereka segera membantu pasukan.
Akan tetapi ketika Kun Liong sudah hampir tertangkap, muncullah kakek Lama yang amat sakti itu, yang membantu Kun Liong bersama dara yang dilarikannya itu sehingga mereka berdua dapat melarikan diri, dan kakek itu sendiri pun lalu pergi setelah membunuh banyak perajurit. Mendengar penuturan mereka, Keng Hong dan Biauw Eng terkejut bukan main sampai mereka berdua tidak mampu berkata-kata. Hampir mereka tidak dapat percaya bahwa Yap Kun Liong telah melakukan perbuatan demikian rendahnya, melarikan calon isteri orang sehingga menjadi orang buruan pemerintah! Kalau bukan puteri mereka yang bercerita, tentu mereka tidak mau percaya. Namun, hati Keng Hong menjadi tak senang mengingat bahwa puterinya ikut pula mengeroyok Kun Liong. Bukankah pemuda itu menjadi calon suaminya?
"Giok Keng!"
Tiba-tiba pendekar ini membentak dan suaranya terdengar dingin menyeramkan.
"Boleh jadi saja Kun Liong melakukan penyelewengan, akan tetapi mengapa engkau ikut pula mengeroyoknya? Hal itu menunjukkan kelancanganmu. Lebih mengherankan hati kami lagi, mau apa engkau mengajak dia ini ke Cin-ling-san? Bukankah dia ini anak Kwi-eng Niocu?"
Pertanyaan seperti ini, bahkan yang lebih lagi, sudah diduga oleh Giok Keng dan dia sudah siap menghadapinya. Maka begitu mendengar percakapan beralih mengenai diri Bu Kong, dia lalu menjawab,
"Ayah, memang benar dia adalah Liong Bu Kong, akan tetapi dia hanyalah putera angkat dari mendiang Kwi-eng Niocu. Biarpun Kwi-eng Niocu terkenal sebagai seorang satuk sesat, akan tetapi dia ini tidak seperti ibu angkatnya, ayah. Diam-diam dia menentang ibu angkatnya, karena itu ketika sarang ibu angkatnya diserbu, dia cepat pergi menyelamatkan pusaka-pusaka..."
"Harap Ji-wi Locianpwe sudi mengampunkan teecu yang berani datang menghadap,"
Terdengar Bu Kong berkata dengan suara halus dan penuh penghormatan.
"Memang tidak teecu sangkal bahwa ibu angkat teecu adalah Ketua Kwi-eng-pang yang selalu melakukan pelanggaran. Teecu sendiri sebagai anak angkat tentu saja terpaksa dan tidak berani membantah kehendak ibu angkat teecu. Akan tetapi setelah kini ibu angkat teecu tewas, teecu bersumpah ingin mulai hidup baru yang bersih, dan untuk membuktikannya, teecu sudah membawa dua buah pusaka Siauw-lim-pai yang akan teecu kembalikan."
"Harap Ayah dan Ibu tidak ragu-ragu lagi. Aku sudah menyaksikan sendiri betapa dia melawan Thian-ong Lo-mo ketika hendak mengambil pusaka, bahkan dia telah menewaskan lima orang anggauta Kwi-eng-pang. Dia tidaklah jahat seperti ibu angkatnya."
"Giok Keng...!"
Cia Keng Hong membentak, suaranya berwibawa sekali sehingga Giok Keng dan Bu Kong terkejut setengah mati, wajah mereka berubah pucat.
"Apa kehendakmu maka engkau menceritakan ini semua kepadaku? Mengapa kau bicara seperti seorang hendak menjual sebuah benda dan membujuk kami menyukai benda itu? Mengapa engkau membela bocah ini?"
Wajah Giok Keng pucat. Dia memang sudah memperhitungkan bahwa dia akan terpaksa untuk mengaku, akan tetapi tidak disangkanya bahwa ketika tiba saatnya, ia merasa begitu gugup. Dengan suara lirih dia lalu menjawab,
"Ayah... aku sudah bicara dengan Kun Liong... tentang perjodohan... kami berdua sudah saling setuju untuk membatalkan ikatan jodoh itu karena antara dia dan aku tidak ada rasa cinta... dan... dan aku hanya mau dijodohkan dengan orang yang kucinta, Ayah. Harap Ayah dan Ibu ampunkan..."
Wajah pendekar Cia Keng Hong menjadi merah sekali. Seperti pandang mata seekor burung rajawali hendak menyambar korbannya, dia memandang puterinya itu dan hanya dengan pengerahan tenaga hatinya yang kuat saja maka dia masih mampu mengeluarkan suara bertanya,
"Siapa itu orang yang kaucinta?"
Giok Keng yang memang sudah "nekat"
Ini tidak menjawab, hanya melirik kepada Liong Bu Kong. Isyarat ini diterima oleh Bu Kong dan sambil berlutut dan menyembah-nyembah dia berkata,
"Mohon Locianpwe sudi mengampunkan kelancangan teecu. Sesungguhnya, di antara puteri Locianpwe, Cia Giok Keng dan teecu, kami berdua telah... salin mencinta..."
Teriakan yang melengking nyaring keluar dari kerongkongan Keng Hong dan tubuhnya sudah berkelebat ke depan. Dalam kemarahannya yang meluap-luap, ucapan pemuda itu dianggapnya merupakan penghinaan besar maka dia sudah menerjang ke depan dan memukul pemuda yang berlutut di depannya. Pukulan maut!
"Dess...!"
Tubuh Giok Keng terpental dan terguling-guling, lengan tangannya terasa nyeri sampai menusuk jantung ketika dia tadi menangkis pukulan ayahnya yang ditujukan kepada kekasihnya. Akan tetapi dia lupa akan rasa nyeri dan kekerasan hatinya bangkit. Dengan mata bernyala-nyala dan wajah merah dia meloncat bangun, sekali meloncat berada di depan ayahnya dan dengan suara menentang dan nyaring dia berkata.
"Ayah keterlaluan! Mengapa hendak membunuh Liong Bu Kong yang tidak berdosa? Dia cinta kepadaku, dan aku cinta kepadanya! Apakah salahnya dengan ini? Kalau Ayah hendak membunuh, bunuhlah aku!"
Mata Cia Keng Hong terbelalak. Hampir dia tidak percaya akan pendengarannya sendiri. Puterinya telah menantangnya untuk dibunuh!
"Kau... kau...! Memang lebih baik melihat kau mati...!"
"Tahan...!"
Biauw Eng sudah melompat seperti seekor singa betina ke depan suaminya, kepalanya dikedikkan, matanya seperti sepasang bintang, mukanya merah seperti mengeluarkan bara api, dadanya diangkat penuh tantangan.
"Mungkinkah kau ini suamiku yang begitu kuat dan tahan segala derita? Kau hendak membunuh anak sendiri? Benarkah ini?"
Suara ini bercampur dengan isak dan Biauw Eng sudah menangis sambil berdiri menantang suaminya. Mendengar ucapan isterinya dan menyaksikan sikap Biauw Eng, Keng Hong merasa seolah-olah disiram air dingin kepalanya. Hampir dia tadi mata gelap. Dengan sedu sedan naik dari dadanya, dia memeluk isterinya, memejamkan mata sebentar, kemudian membuka matanya dan tangan kanannya dengan telunjuk menuding keluar digerakkan tiba-tiba, mulutnya berkata lantang,
"Pergi...! Engkau bukan anakku lagi! Aku tidak peduli lagi apa yang akan kau lakukan. Pergi...!"
Dapat dibayangkan betapa hancur hati Giok Keng. Tadinya dia menentang dan menantang ayahnya. Akan tetapi menyaksikan kedukaan dan kehancuran hati ayah bundanya, kini melihat sikap ayahnya, mendapat kenyataan bahwa dia diusir, tidak diaku anak lagi, hal ini lebih menyakitkan hati daripada dibunuh!
"Ayah...!"
Dia menjerit dan menjatuhkan diri berlutut di dekat Bu Kong yang hanya memandang dengan wajah pucat.
"Jangan menyebut aku ayah! Pergilah dan bawalah semua barangmu, bawa semua harta kami secukupmu. Pergi dan jangan kembali!"
Keng Hong berkata lagi, kini suaranya dingin dan sikapnya tidak keras, namun hal ini malah makin menusuk perasaan karena selamanya Giok Keng belum pernah melihat sikap dan mendengar suara ayahnya sedingin itu.
"Ibu...!"
Dia tersedu memanggil ibunya. Biauw Eng masih menangis dalam pelukan suaminya. Dia maklum betapa hancur hati suaminya menghadapi peristiwa ini. Dia cinta kepada puterinya, tentu saja, akan tetapi dia lebih cinta kepada suaminya. Biarpun dia merasa kasihan kepada Giok Keng, akan tetapi dia lebih kasihan kepada suaminya. Giok Keng sudah ada yang punya, sedangkan suaminya hanya mempunyai dia!
"Giok Keng, pergilah dulu... pergilah... jangan bicara apa-apa lagi..."
Katanya terisak. Bu Kong mengerti akan isyarat dari calon ibu mertuanya ini. Memang dalam keadaan seperti itu, selagi pendekar sakti itu dibakar kemarahan, tidak mungkin dapat bicara lagi. Dia lalu membimbing kekasihnya bangun, menjura sebagai tanda penghormatan lalu menuntun Giok Keng yang menangis tersedu-sedu itu keluar dari dalam taman, diikuti pandang mata Keng Hong yang terbelalak marah dan pandang mata sayu dari Biauw Eng.
Setelah bayangan kedua orang muda itu lenyap barulah Keng Hong merasa betapa lemas tubuhnya. Dia menjatuhkan diri terduduk di atas bangku, duduk diam seperti arca, matanya tak pernah berkedip akan tetapi dua butir air mata keluar dari pelupuk matanya, perlahan-lahan dua butir air mata ini mengalir turun melalui kedua pipinya. Melihat suaminya seperti itu, Biauw Eng menubruknya dan menangis sesenggukan di atas dada suaminya. Tanpa diduga-duga, seperti datangnya hujan tanpa mendung, kedukaan hebat melanda suami isteri ini. Mereka dilanda duka dan kecewa hebat sekali sehingga hampir terjadi peristiwa hebat, hampir terjadi malapetaka ketika ayah ini hampir membunuh puterinya sendiri!
Memang demikianlah hidup! Manusia, hampir tidak disadarinya lagi karena telah menjadi tradisi dan kebiasaan, hidup dalam suasana kepalsuan. Mata manusia seolah-olah buta akan kenyataan, dibutakan oleh nafsu keinginan mementingkan diri pribadi. Kita hidup tanpa membuka mata, dituntun oleh nafsu keinginan kita yang membentuk si aku sehingga setiap gerak, setiap perbuatan, dan setiap sikap selalu mencerminkan kekuasaan si aku yang hendak menang sendiri. Bahkan dalam cinta, si aku berkuasa sehingga cinta menjadi sebutan hampa, menjadi kepalsuan yang diselubungi kata-kata mutiara yang serba indah! Seorang pendekar besar seperti Cia Keng Hong, kini merasa berduka. Karena apa?
Kalau dia ditanya, tentu dia mengatakan bahwa dia berduka karena puterinya! Tentu dia akan menjawab bahwa karena puterinya memilih anak datuk sesat sebagai kekasih dan calon suami, maka dia berduka! Benarkah demikian? Benarkah dia berduka demi Giok Keng? Tidakkah sesungguhnya dia berduka demi dirinya sendiri? Berduka karena keinginan hatinya sendiri tidak terpenuhi. Karena puterinya memilih seorang pria yang tidak berkenan di hatinya? Benarkah dia sebagai seorang bapak mencinta anaknya kalau dia ingin memaksakan kehendak hatinya agar ditaati anaknya! Cintakah itu kalau tadi dia sampai hampir membunuh anaknya? Dan kini dia berduka, menangis, kecewa! Bukankah kecewa dan berduka karena nafsu keinginan di hatinya tidak tercapai? Sebenarnya bukan menangisi Giok Keng, melainkan menangisi dirinya sendiri?
Semua ini dapat kita lihat dengan mata dan hati terbuka sebagai suatu kenyataan. Akan tetapi, betapa kita hidup bergelimang kepalsuan sehingga kenyataan ini pun sukar diterima! Betapa pandainya si aku ini bersandiwara sehingga setiap perbuatan yang sesungguhnya demi si aku dapat disulap seolah-olah bukan demikian. Betapa kita telah dicengkeram sepenuhnya oleh si lapuk tua "aku"
Yang bukan lain adalah pikiran kita, pikiran gudang pengalaman masa lalu, sehingga mata kita tertutup oleh bayangan masa lalu, tidak dapat lagi menikmati kenyataan yang baru karena segala sesuatu diukur dengan perbandingan masa lalu, enak tidak enak, senang tidak senang bagi si aku! Demikian menebalnya pemupukan si aku ini sehingga setiap sesuatu yang nampak maupun yang tidak nampak, segala apa di dunia ini, dari debu sampai kepada sebutan Tuhan, ditujukan semata-mata demi si aku, demi kepentingan aku. Demikian pula cinta, juga demi aku!
"Kau sungguh terlalu, masa begitu tega terhadap Keng-ji..."
Biauw Eng menangis.
"Sekarang kau telah mengusirnya... ah, bagaimana akan jadinya dengan dia?"
"Hemmm, anak itu terlalu manja!"
Keng Hong berkata dengan kemarahan yang masih membakar hati, mengatasi kedukaan dan kekecewaannya.
"Terlalu memandang rendah orang tua. Mana boleh dia membatalkan ikatan jodoh begitu saja? Mana boleh dia membutakan mata memilih pemuda golongan sesat menjadi calon suaminya? Selain dia akan menghancurkan hidupnya sendiri, juga dia akan menyeret nama baik orang tua ke lubang pecomberan!"
Biauw Eng mengangkat muka, matanya bersinar-sinar.
"Lupakah engkau? Ingatlah baik-baik, pergunakan pikiranmu dengan adil dan jujur! Siapakah aku ini? Bukankah aku pun puteri Lam-hai Sin-ni, seorang datuk kaum sesat. Apakah Lam-hai Sin-ni kalah tersohor dengan Kwi-eng Niocu? Ingat, aku pun seorang puteri datuk sesat, aku pun seorang dari golongan hitam! Dan engkau toh sudah memperisteri aku!"
"Aihhh... engkau lain lagi..."
"Apanya yang lain? Aku tidak hendak mengatakan bahwa aku suka mempunyai mantu seperti pemuda putera Kwi-eng Niocu itu!"
"Akan tetapi kalau penolakanmu itu engkau dasarkan bahwa kau merasa derajat puterimu terlalu tinggi dan kau merendahkan seorang dari golongan sesat, kau benar-benar tidak adil! Urusan semestinya ditangani dengan halus. Giok Keng masih hijau dan bodoh, semestinya diberi nasihat dan dibujuk dengan halus, tidak dengan kekerasan seperti itu! Sekarang kau telah mengusirnya, sama saja dengan kau makin melekatkan dia dengan pemuda itu!"
Kembali Biauw Eng menangis terisak-isak.
Hati Keng Hong menjadi bingung sekali. Sekarang terbukalah matanya dan dia mau tidak mau harus membenarkan ucapan isterinya. Isterinya juga puteri seorang datuk kaum sesat yang lebih tersohor dan lebih tinggi tingkatnya daripada Kwi-eng Niocu, namun buktinya, puterinya tidaklah sesat seperti ibunya (baca cerita Pedang Kayu Harum). Kalau sekarang dia membenci Liong Bu Kong hanya karena ibunya adalah datuk kaum sesat, sungguh tidak adil. Apalagi Kwi-eng Niocu bukanlah ibu kandung pemuda itu, melainkan ibu angkat. Siapa tahu kalau puterinya itu lebih benar daripada dia! Akan tetapi puterinya telah ditunangkan dengan Yap Kun Liongg bantah hatinya! Yap Kun Liong adalah putera sumoinya yang tewas secara mengenaskan. Masa sekarang tali ikatan jodoh yang djusulkan itu boleh diputuskan begitu saja?
"Aku mau pergi mencari Kun Liong!"
Tiba-tiba dia berkata. Biauw Eng mengangkat mukanya yang basah dan merah.
"Mau apa mencari dia?"
"Dia harus mencari penjelasan! Kalau benar dia membatalkan ikatan jodoh, berarti dia tidak menghargai kita! Kalau benar dia melarikan calon isteri Pangeran Han Wi Ong, dia patut kuberi hajaran!"
"Akan tetapi kita tahu bahwa Han Wi Ong adalah seorang pangeran tua yang terkenal mata keranjang!"
"Mata keranjang atau tidak, sama sekali tidak ada hubungannya! Kalau Kun Liong melarikan calon isteri orang, berarti dia itu melakukan perbuatan sesat dan aku sebagai supeknya wajib menghajarnya! Pula, aku akan menyelidiki tentang Kok Beng Lama!"
Melihat sikap suaminya yang terbenam dalam kemarahan dan kedukaan, Biauw Eng tidak kuasa membantah. Pula, dia maklum bahwa biarpun suaminya itu tidak mengatakannya, tentu suaminya itu akan menyusul dan mencari Giok Keng. Dia tahu betapa suaminya mencinta puteri mereka itu dan suaminya yang telah mengusir puterinya itu hanya terdorong oleh kemarahan, akan tetapi sama sekali tidak akan membencinya. Setelah Pendekar Sakti Cia Keng Hong pergi, Biauw Eng menanti di Cin-ling-san dengan hati gelisah sekali memikirkan puterinya dan suaminya. Juga para anggauta Cin-ling-pai yang tentu saja mendengar akan peristiwa hebat yang menimpa keluarga guru atau ketua mereka menjadi prihatin, membuat suasana di Cin-ling-san nampak sunyi.
"Go-bi Thai-houw...! Keluarlah dan mari tandingi pinceng! Mari bertanding sampai selaksa jurus! Hendak kulihat sampai di mana kepandaian Go-bi Thai-houw yang kabarnya sama dengan dewi, ha-ha-ha!"
Kakek raksasa gundul berjubah merah itu menantang-nantang sambil berdiri di atas batu gunung
(Lanjut ke Jilid 36)
Petualang Asmara (Seri ke 02 - Serial Pedang Kayu Harum)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 36
yang sebesar rumah. Suaranya bergelora dan bergema di empat penjuru, terdengar dari permukaan Pegunungan Go-bi-san. Beberapa kali dia mengulangi tantangannya itu dengan suara yang mengandung khi-kang kuat bukan main! Karena tidak ada yang menjawab pertanyaannya, kakek ini sambil tertawa-tawa melayang turun dari atas batu besar, kemudian melangkah lebar menuju ke puncak Pegunungan Go-bi-san. Tak lama kemudian tibalah dia di depan sarang tempat tinggal Kim Seng Siocia dan para anak buahnya! Sambil bertolak pinggang dia berdiri memandangi bangunan megah itu dan tertawa,
"Ha-ha-ha-ha, tidak salah lagi! Di sinilah tentu tempat tinggal Go-bi Thai-houw yang disohorkan orang itu! Haii, Go-bi Thai-houw, mengapa engkau begitu pengecut dan tidak berani keluar melayani tantanganku?"
"Kakek berotak miring!"
Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dan keluarlah Kim Seng Siocia, wanita gendut yang lihai itu diiringi semua anak buahnya yang berjumlah lima puluh orang, dipimpin oleh Acui dan Amoi, dua orang pembantunya yang setia dan yang paling lihai, merupakan murid-murid kepala yang menjadi tangan kanannya. Melihat munculnya barisan wanita ini, mengenal Kim Seng Siocia yang pernah mengeroyoknya ketika dia menyelamatkan Kun Liong dan Hong Ing, kakek itu tertawa bergelak,
"Ha-ha-ha, tentu ini barisan dari Ratu Go-bi! Hayo, suruh keluar ratumu Go-bi Thai-houw!"
Kim Seng Siocia meloncat ke depan dan menudingkan senjata cambuk hitamnya sambil membentak,
"Kakek gila, mau apa engkau mencari mendiang Thai-houw?"
"Hah...? Dia sudah mampus?"
"Thai-bouw sudah meninggal dunia belasan tahun yang lalu dan aku, Kim Seng Siocia adalah pewarisnya. Mengapa engkau menantang-nantang Thai-houw?"
Kakek itu menarik napas panjang, kelihatannya menyesal sekali.
"Ahhhh, aku terlambat! Sialan benar kalau mereka semua sudah mampus! Lama sudah pinceng (aku) mendengar bahwa di dunia ini, orang-orang yang paling pandai hanyalah Sin-jiu Kiam-ong, Go-bi Thai-houw, Bun Hwat Tosu, dan Tiang Pek Hosiang! Jangan-jangan yang lain itu pun sudah mampus. Lalu siapa lawanku di dunia ini?"
Kim Seng Siocia sudah maklum akan kelihaian kakek pendeta Lama yang seperti gila ini, akan tetapi karena dia dibantu oleh semua anak buahnya, dan karena dia menganggap junjungannya, Go-bi Thai-houw dipandang rendah dan dihina maka dia menjadi marah sekali.
"Kok Beng Lama! Engkau terlalu sombong! Biarpun Thai-houw sudah meninggal dunia, akan tetapi aku, pewaris satu-satunya, tidak gentar melawanmu!"
Setelah berkata demikian, Kim Seng Siocia menggerakkan cambuknya dan terdengar suara ledakan-ledakan kecil di udara.
"Jadi engkau murid satu-satunya? Ha-ha-ha, tidak ada gurunya, melihat tingkat muridnya pun sudah dapat menilai sampai di mana kepandaian gurunya!"
Kok Beng Lama melangkah maju memapaki gulungan sinar hitam dari cambuk itu!
"Tar-tar-tar... wuuuutttt...!"
Gulungan sinar hitam itu meledak-ledak dan menyambar-nyambar. Bukan main lihainya senjata ini, karena selain panjang dan terbuat dari bahan yang aneh dan kuat sekali, juga ujung cambuk ini mengikat sebatang piauw yang runcing tajam dan beracun.
"Ha-ha-ha, bagus, bagus! Keluarkan semua kepandaianmu, Gendut!"
Pendeta Lama itu berkata dengan gembira. Pertandingan ini segera membuktikan betapa keadaan mereka berat sebelah. Kim Seng Siocia mengeluarkan semua kepandaiannya yang dia dapatkan dari kitab-kitab peninggalan Go-bi Thai-houw,
Tidak hanya cambuknya yang menyambar-nyambar juga tangan kirinya yang mengandung tenaga sin-kang amat kuat itu menyelingi serangan cambuknya. Namun, pendeta Lama itu hanya tertawa-tawa saja, menggerakkan kedua lengannya dan ujung lengan bajunya melayang-layang menangkis semua serangan lawan. Hebatnya, setiap kali cambuk bertemu ujung lengan baju, ujung cambuk itu terpental keras, dan setiap kali tangan kiri wanita gendut itu dicium ujung lengan baju, Kim Seng Siocia meringis kesakitan dan seluruh lengan kirinya tergetar hebat! Tiba-tiba dengan gerakan yang tidak terduga-duga, Kim Seng Siocia menggerakkan cambuknya berputaran dan ujung cambuk yang ada piauwnya itu menyambar ke arah perutnya sendiri! Berbareng dengan itu, tangan kirinya juga mencengkeram ke arah kepalanya sendiri.
"Heiii..., gilakah...?"
Baru saja Kok Beng Lama berseru dan tubuhnya melayang ke depan untuk mencegah wanita gendut itu "membunuh diri"
Secara aneh tiba-tiba cambuk membalik dan ujung cambuk itu melepaskan piauw yang terikat. Piauw beracun meluncur secepat kilat menyambar ke arah leher Kok Beng Lama, sedangkan tangan kiri wanita lihai itu sudah membalik pula, mengirim pukulan yang ganas ke arah pusar lawan yang kaget setengah mati itu!
"Plakkk... desss...!"
Piauw bertemu dengan telapak tangan Kok Beng Lama dan pukulan tangan kiri Kim Seng Siocia tepat mengenal pusar pendeta Lama itu. Akan tetapi, dapat dibayangkan betapa kagetnya wanita gendut itu melihat bahwa selain piauwnya tidak melukai tangan lawan, juga pukulannya mengenai bagian tubuh lunak dan yang sekaligus membuat sin-kang yang terkandung di tangan kirinya itu "tenggelam"
Dan tak berbekas. Selagi dia terheran dan terkejut, terdengar kakek itu berseru,
"Ilmu siluman...!"
Dan wanita gendut itu tidak keburu mengelak lagi ketika ada sinar hitam menyambar dan terdengarlah jeritan melengking mengerikan ketika piauwnya sendiri itu menghunjam dan menembus pelipis kepalanya. Kim Seng Siocia masih berusaha untuk menendangkan kaki kanannya, akan tetapi dengan mudah Kok Beng Lama menangkis tendangan ini, bahkan sekaligus dia menangkap kaki itu dan mendorong tubuh lawannya sampai terlempar beberapa meter jauhnya!
Pusaka Pulau Es Eps 3 Pedang Kayu Harum Eps 23 Pedang Kayu Harum Eps 39