Ceritasilat Novel Online

Pedang Kayu Harum 39


Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo Bagian 39



"Kau......! Kau......! Plak! Plak!"

   Dua kali pipi Keng Hong kena ditampar dan Biauw Eng meloncat bangun, mengeluarkan sabuk hitam dan membelenggu tubuh Keng Hong seperti orang mengikat kue bakcang! Sabuk hitam ini memang sengaja dibawa untuk menawan Keng Hong dan terbuat daripada kulit yang amat kuat.

   Keng Hong menyerah dan hanya tersenyum-senyum karena dia merasa tubuhnya masih seperti diayun-ayun di sorga ke tujuh kalau dia teringat betapa tadi Biauw Eng memeluknya, menciuminya, menangisinya, dan minta diajak mati! Tak dapat dia bayangkan betapa cinta kasih Biauw Eng sepanas itu! gadis jelita yang begini mencintainya dan dia........masih bermain gila dengan segala macam wanita seperti Cui Im! Benar-benar dia layak mampus! Setelah tubuh Keng Hong diikat dan dibelit-belit dengan sabuk kulit yang kuat itu, hati Biauw Eng masih belum puas. Ditotoknya Keng Hong di tiga tempat dan kini ia merasa bahwa totokan-totokannya itu berhasil membuat tubuh Keng Hong menjadi lumpuh. Hun Bwee berhenti menangis. Melihat Keng Hong sudah diikat seperti itu, dia berkata,

   "Sumoi, kulihat orang ini tidak berjantung. Mengapa susah payah membawanya kepada subo? Kau paksa juga tidak mungkin dia akan mau menjadi suamiku. Subo hanya membutuhkan bukti. Kalau kita penggal kepalanya dan bawa kepalanya kepada subo, kurasa dia akan puas dan kita tidak susah payah membawanya."

   "Jangan, Suci. Kalau begitu, dia akan keenakan. Memang dia ingin mampus, akan tetapi aku ingin melihat dia menderita. Biarlah kita serahkan kepada subo, dan kelak untuk membunuhnya masih belum terlambat."

   "Sucimu benar, Eng-moi. Kalau engkau tidak membunuhku sekarang, makin lama engkau makin tersiksa hatimu. Aku tahu betapa besar engkau mencintaku, Moi-moi, dan engkau pun tahu betapa aku mencintamu dengan seluruh jiwa ragaku."

   "Keng Hong, tak perlu aku berpura-pura. Memang aku pernah mencintamu dan masih mencintamu, akan mencintamu selamanya. Aku adalah seorang yang memegang kesetiaan, tidak seperti engkau yang hanya mencinta karena dorongan nafsu binatangmu! Kau ingat, tubuhku telah dimiliki mendiang Sim Lai Sek!"

   Keng Hong tersenyum.

   "Memang dahulu aku bodoh, sebodoh-bodohnya. Aku mencinta engkau, mencinta pribadimu, bukan hanya mencinta tubuhmu. Jangankan baru seorang Lai Sek, biar ada seribu orang, aku tetap yakin bahwa cinta kasih di hatimu hanya untukku seorang, seperti juga cinta kasihku hanya untukmu."

   Sejenak mereka berpandangan. jantung di rongga dada Keng Hong berdebar penuh harapan ketika dia melihat sinar Biauw Eng sama seperti dahulu sebelum gadis ini marah-marah kepadanya, sinar mata yang penuh kemesraan, sinar mata yang membayangkan sorga bagi kehidupannya. Akan tetapi, perlahan-lahan mata yang bening indah itu berkaca-kaca, basah dan berderailah beberapa butir air mata seperti mutiara-mutiara lepas dari untaianya. Pelupuk mata tertutup memeras air mata terakhir, dua baris bulu mata bertemu dan merapat sampai lama. Setelah mata itu terbuka kembali, lenyaplah kemesraan yang tadi dan terbayang pandang mata yang dingin.

   "Keng Hong, tidak perlu lagi engkau merayuku dengan ucapan manis-manis, dengan janji muluk-muluk. Tak perlu lagi engkau mengoles bibirmu dengan madu merah memikat karena aku tahu bahwa semua kemanisan itu mengandung racun. Apapun yang terjadi, tak dapat aku membiarkan penderitaan Suci tidak terobati. Suci telah kau perkosa dan engkau harus menjadi suaminya."

   "Aku tidak memperkosanya."

   "Itu adalah pengakuanmu, akan tetapi Suci tidak akan menjatuhkan fitnah tanpa dasar kepadamu. Sudahlah, biar subo yang akan memberi keputusan nanti."

   Dengan suara dingin Keng Hong berkata,

   "Biauw Eng, engkau pun tidak perlu mengingkari bisikan hatimu sendiri. Aku cinta kepadamu dan engkau ini percaya kepadaku, akan tetapi engkau memaksa dirimu sendiri untuk menghancurkan kepercayaanmu. Engkau percaya pula bahwa aku tidak memperkosa nona Tan Hun Bwee, akan tetapi engkau memaksa diri untuk lebih percaya kepada keterangan Sucimu yang telah menderita sakit jiwa ini. Engkau sengaja hendak merusak kebahagiaan kita berdua. Aku tidak menyesal, Biauw Eng, karena aku rela menebus segala dosa dan kesalahanku yang amat besar terhadap dirimu. Hanya aku kasihan kepadamu......"

   Biauw Eng hanya terisak-isak, tidak mampu menjawab karena apa yang dikatakan pemuda itu tepat sekali, setiap kata-kata menusuk menembus dadanya, mengiris hati menyayat-nyayat jantung.

   "Dia memperkosaku! Cia Keng Hong, engkau memperkosaku!"

   Tiba-tiba Tan Hu Bwee berteriak.

   "Tidak benar!"

   Tiba-tiba terdengar suara lantang dan muncullah Cong San dan Yan Cu! Yang berteriak itu adalah Cong San. Pemuda ini berdiri tegak, memandang dengan kagum kepada Biauw Eng dan dengan mata mengandung iba kepada Hun Bwee. Dia adalah seorang pemuda yang cerdik, maka sekali pandang saja maklumlah dia akan keadaan wanita berpakaian merah itu. Wanita ini menjadi korban perkosaan sehingga menjadi miring otaknya dan kini Keng Hong yang kejatuhan fitnah sebagai pemerkosanya!

   "Cia Keng Hong taihaip sama sekali bukan tukang perkosa! Tidak benar kalau dikata dia yang memperkosa wanita. Nona, engkau tentulah nona Tan Hun Bwee, bukan? Dengarlah! Aku tahu bahwa yang memperkosamu adalah Lian Ci....."

   "Yap-twako.....!"

   Keng Hong berteriak memotong keterangan pemuda murid Siauw-lim-pai itu.

   "Harap jangan mencampuri urusan ini. Sumoi, mau apa kau kembali lagi dan...... bagaimana bisa bersama Yap-twako?"

   "Kau bohong!"

   Hun Bwee menjerit.

   "Yang memperkosaku adalah Cia Keng Hong! Tidak ada orang lain!" Sambil berkata demikian, Hun Bwee melengking nyaring dan pedangnya sudah menerjang Cong San. Pemuda ini terkejut menyaksikan gulungan sinar hitam yang amat cepat itu. Cepat dia meloncat jauh ke belakang. Ketika Hun Bwee mengejarnya, Cong San sudah mengeluarkan senjatanya, sepasang Im-yang-pit dan bertandinglah mereka dengan seru.

   "Sumoi, kenapa kau tidak mentaati permintaanku?"

   Keng Hong menegur Yan Cu. gadis itu tersenyum dan berkata,

   "Suheng, mana mungkin aku harus berpangku tangan saja sedangkan engkau terjatuh ke tangan dua orang wanita yang menderita penyakit jiwa? Tan Hun Bwee ternyata gila karena peristiwa pemerkosaan yang bukan kau lakukan, sedangkan Enci Biauw Eng ini juga gila karena melawan perasaan hati sendiri!"

   "Hentikanlah.....! Hentikanlah.....!"

   Berkali-kali Keng Hong berteriak keras, namun sia-sia saja. Empat orang itu bertanding makin seru dan mati-matian. Keng Hong maklum bahwa baik Cong San maupun Yan Cu tidak akan menang melawan Biauw Eng dan Hun Bwee yang amat lihai dan yang memiliki ilmu silat amat aneh itu. Dia bersikap untuk mencegah jatuhnya korban dalam pertandingan yang tak dikehendakinya itu, akan tetapi tiba-tiba Keng Hong berubah ketika dia melihat berkelebatnya bayangan beberapa orang yang gerakannya cepat sekali.

   Memang benar wawasan Keng Hong. Yap Cong San terdesak hebat oleh gulungan sinar hitam dari pedang di tangan Hun Bwee. Pemuda murid ketua Siauw-lim-pai ini merasa heran dan terkejut sekali menyaksikan permainan pedang yang luar biasa anehnya, papalagi ketika Hun Bwee mulai terkekeh-kekeh dalam penyerangannya, membacok dengan pungung pedang, kadang-kadang malah memukulnya dengan gagang pedang, dan lebih gila lagi, ujung pedang yang runcing itu beberapa kali mengancam leher gadis itu sendiri! Justeru penyerangan-penyerangan aneh inilah yang beberapa kali hampir saja memcelakan Cong San. Akhirnya pemuda Siauw-lim-pai ini maklum bahwa ilmu pedang lawannya amatlah kukoai (janggal) dan amat berbahaya,

   Maka dia lalu bersilat dengan tenang dan mencurahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya untuk melindungi tubuhnya. Ilmu silat Siauw-lim-pai amat terkenal dalam gaya pembelaan diri sehingga keadaan Cong San seumpama batu karang yang kokoh kuat dapat menahan segala gempuran ombak membadai dari serangan-serangan aneh Hun Bwee. Yang payah keadaannya adalah Yan Cu. Tingkat kepandaiannya kalah jauh kalau dibandingkan dengan Biauw Eng yang memiliki tingkat kepandaian lebih tinggi daripada tingkat Hun Bwee. Untung bahwa Biauw Eng bukanlah seorang yang berwatak keji. Tadi memang ia merasa cemburu kepada gadis ini. Siapa yang tidak akan cemburu melihat gadis ini demikian cantik jelita sehingga dia sendiri pun sebagai wanita merasa tertarik, apalagi Keng Hong seorang pemuda yang mudah kagum akan keindahan wajah dan tubuh wanita?

   Akan tetapi setelah mendengar ucapan-ucapan Yan Cu ketika hendak pergi, ia maklum bahwa gadis ini memiliki watak yang mulia dan jujur sehingga kini dia tidak tega untuk membunuhnya. Kalau Biauw Eng ingin membunuhnya, agaknya pertandingan di antara mereka tidak akan berlangsung terlalu lama. Akan tetapi, untuk merobohkan Yan Cu tanpa melukai berat, bukanlah hal yang mudah karena tingkat ilmu silat yang dimiliki Yan Cu sudah cukup tinggi, apalagi dia mempergunakan sebatang pedang pusaka yang ampuh! Mengapa wajah Keng Hong berubah ketika dia melihat bayangan-bayangan berkelebat? Ternyata bayangan-bayangan yang kini telah berada di tempat itu bukan lain adalah Ang-kiam Bu-tek Bhe Cui Im, Pat-jiu Sian-ong, Lian Ci Seng-jin, Kiam-to Lai Ban dan Thian It Tosu! Melihat munculnya orang-orang ini, Cong San terkejut bukan main. Ia meloncat ke belakang dan berteriak berkali-kali,

   "Tahan.....!"

   Akan tetapi seorang yang sudah kacau pikirannya seperti Hun Bwee itu mana mau berhenti.

   "Jai-hwa-cat!"

   Ia memaki dan menerjang terus, mendesak dengan pedang hitamnya.

   Tentu saja Cong San kembali menggerakan Im-yang-pit dengan marah karena dia ikut-ikutan dimaki penjahat cabul oleh wanita gila yang agaknya amat membenci penjahat-penjahat cabul dan menganggap semua laki-laki yang menjadi musuhnya sebagai penjahat cabul! Kembali mereka bertanding dengan seru. Adapun Biauw Eng yang mengenal Cui Im, kaget sekali dan juga marah. Akan tetapi Yan Cu yang sudah marah itu kini melihat keraguan Biauw Eng, malah mendesak dengan pedangnya! Pertandingan yang seru itu membuat empat orang ini celaka sendiri. Sambil tertawa-tawa Cui Im bergerak ke depan dan di lain saat Biauw Eng dan Yan Cu sudah roboh ditotok oleh Cui Im yang amat lihai. Kalau saja Biauw Eng tidak sedang didesak Yan Cu, agaknya tidaklah akan mudah begitu saja bagi Cui Im untuk merobohkannya. Adapun Cong San dan Hun Bwee juga roboh oleh totokan Pat-jiu Sian-ong yang dibantu oleh Thian It Tosu.

   "Hi-hi-hi-hi-hik! Kiranya si tampan ini sudah lebih dulu roboh oleh dara-dara manis ini!"

   Cui Im terkekeh-kekeh girang sambil menudingkan telunjuknya kepada Keng Hong yang masih rebah dengan tubuh terbelit-belit sabuk kulit hitam, sama sekali tidak mampu bergerak.

   "Nah itulah dia!"

   Tiba-tiba Cong San yang tertotok lumpuh itu berseru, matanya memandang ke arah Lian- Ci Sengjin.

   "Perempuan gila Tan Hun Bwee, engkau menuduh Keng Hong! Hemmm, dia itulah laki-laki yang telah memperkosamu! Lihat baik-baik, apakah engkau tidak ingat lagi?"

   Mendengar ucapan ini, Biauw Eng, Hun Bwee dan juga Yan Cu mengikuti pandang mata pemuda itu, semua memandang kepada Lian Ci Sengjin yang berdiri dengan muka pucat. Cui Im menengok ke arah Lian Ci Sengjin yang terbelalak pucat memandang ke arah wanita baju merah. Kemudian Cui Im tertawa terkekeh-kekeh,

   "Heh-heh-hi-hi-hik! Lian Ci Sengjin, seleramu boleh juga! Memang dia itu cukup denok montok dan cantik! jangan khawatir, dia kini sudah tertawan dan engkau boleh memiliki dia sepuas hatimu, hi-hi-hik! Tidak perlu memperkosa lagi!"

   Akan tetapi Lian Ci Sengjin tidak segembira yang disangka Cui Im. Sebaliknya dia berdiri terbelalak dengan muka pucat dan sikap penuh kengerian karena pada saat itu Hun Bwee memandangnya dengan mata yang liar.

   "Kau.....! kau.....! kau..... tosu yang menawanku..... kiranya engkau.....! Ya benar...... demi Tuhan......! Engkaulah orangnya! Terkutuk.....!"

   Gadis ini mengeluarkan lengking mengerikan dan roboh pingsan!

   "Cringggg.....!"

   Pedang itu terpental dan kiranya Sian Ti Sengjin, suhengnya sendiri yang menangkisnya.

   "Sute! Apa yang kau lakukan? Sudah memperkosa malah hendak membunuhnya? Sampai begini gelapkah pikiranmu?"

   Bentak kakek itu dan Lian Ci Sengjin hanya menunduk, mukanya merah sekali karena malu mendengar suara ketawa Cui Im yang mengejeknya. Dia jatuh cinta kepada Cui Im yang pernah hampir menjadi isterinya. Kini rahasianya terbuka, bagaimana dia tidak merasa malu sekali? Akan tetapi Cui Im pada saat itu tidak mempedulikannya. Wajahnya berseri ketika ia mengambil pedang pusaka Hoa-san-paidari atas tanah, pedang yang tadi dipakai Yan Cu, kemudian merenggut lepas perhiasan-perhiasan yang dipakai Hun Bwee. Bahkan setelah melakukan penggeledahan, ia menemukan sisa-sisa pusakanya dari sebelah dalam baju Yan Cu. Akan tetapi keningnya berkerut ketika ia tidak dapat menemukan dua buah kitab Siauw-lim-pai. Cong San, Yan Cu, Biauw Eng dan Hun Bwee kini pun dibelenggu dengan kedua lengan di belakang.

   Hun Bwee sudah sadar kembali, akan tetapi dia menjadi pendiam sehingga Biauw Eng sendiri sukar untuk menentukan apakah sucinya itu sedang kumat ataukah tidak. Gadis baju merah itu banyak menundukan muka, dan apabila sekali-kali mengangkat muka, ia memandang ke arah Lian Ci Sengjin dengan sinar mata seolah-olah hendak membakar bekas tokoh Kun-lun-pai itu. Biauw Eng memandang ke arah Keng Hong yang berbeda dengan mereka berempat yang biarpun dibelenggu dapat berdiri, sebaliknya Keng Hong rebah karena seluruh tubuhnya dibelit-belit sabuk dengan amat kuat dan tubuhnya sudah lumpuh terkena totokannya pula. Ketika Biauw Eng memandang, Keng Hong juga sedang memandang kepadanya. Biauw Eng menahan tangis, akan tetapi tetap saja matanya menjadi merah sekali dan membasah. Mulutnya berbisik penuh penyesalan.

   "Maafkan aku yang telah menjatuhkan fitnah padamu....."

   Keng Hong tersenyum, menggerakan kepala mengangguk-angguk, pandang matanya penuh dengan pengampunan, kesabaran dan kasih sayang. Yan Cu yang dibelenggu pula dan berdiri di dekat Biauw Eng, dapat mendengar bisikan Biauw Eng itu. Hatinya menjadi panas dan ia segera berseru nyaring,

   "Dasar engkau yang berhati kejam, Sie Biauw Eng! Kalau saja engkau tidak menawan suheng, tak nanti monyet-monyet ini dapat merobohkan kita! Sekarang, kita semua telah tertawan musuh karena kebodohanmu, menangis lagi perlu apa?"

   Biauw Eng menoleh kepada Yan Cu dan menundukkan muka, berkata,

   "Engkau tidak tahu betapa hatiku telah tersayat-sayat, betapa segala kepahitan telah kurasakan sebagai akibat cinta kasihku kepadanya....."

   Yan Cu tercengang dan hatinya terharu melihat Biauw Eng yang terbelenggu itu perlahan-lahan menghampiri Keng Hong, berlutut, kemudian dengan gerakan kaku karena kedua lengannya dibelenggu ke belakang tubuh,

   Ia membungkuk dan mencium Keng Hong! Bukan main kekasihnya ini! Keng Hong hampir menangis saking terharunya. Dahulu, dengan suara lantang Biauw Eng tidak ragu-ragu untuk mengaku cintanya di depan banyak tokoh kang-ouw di puncak Kun-lun-san. Sekarang, untuk menyatakan penyesalan dan cinta kasihnya, di depan begitu banyak orang, Biauw Eng dengan gerakan wajar dan tanpa ragu-ragu atau malu-malu lagi menciumnya! Ingin dia membisikan sesuatu, namun karena dia melihat betapa Cui Im memandang ke arah mereka penuh perhatian dengan senyum mengejek, dia tidak jadi berkata apa-apa, hanya memandang Biauw Eng dengan sinar mata penuh kasih sayang dan penuh keyakinan agar kekasihnya itu tidak usah khawatir.

   "Aku rela dan siap mati bersamamu, Keng Hong."

   Biauw Eng berbisik ketika ia menangkap isyarat pandang mata Keng Hong. Cui Im menghampiri mereka, sejenak memandang tajam kepada Keng Hong lalu berkata,

   "Keng Hong, di mana kitab yang dua buah lagi? kitab-kitab Siauw-lim-pai?"

   Keng Hong tersenyum mengejek.

   "Cui Im, engkau takkan dapat menemukan kedua buah kitab itu. Sampai mati pun takkan mungkin dapat kau temukan!"

   Cui Im menggerakan tangan dan pedang merahnya sudah tercabut, ujungnya yang runcing menodong muka Keng Hong, hanya beberapa senti di depan mata pemuda itu,

   "Keng Hong, engkau boleh jadi seorang laki-laki yang keras hati dan keras kepala, yang tak mengenal takut akan tetapi kalau tidak kau jawab pertanyaanku, hemmmm..... hendak kulihat bagaimana sikapmu kalau pedangku ini mencongkel keluar biji matamu!"

   Ang-kiam Bu-tek, hanya seorang pengecut besar yang mengancam orang yang sudah tidak berdaya. Ha-ha-ha, ingin sekali aku melihat apakah sikapmu masih seperti itu gagahnya mengancam Cia-taihiap kalau dia tidak terbelenggu. Dengarlah, kitab I-kiong-hoat-hiat dan kitab Seng-to-cin-keng oleh Cia-taihiap telah dikembalikan kepadaku dan telah kuserahkan ke tangan suhu. Kalau kau masih menginginkannya, coba saja engkau ambil dari tangan suhu Tiong Pek Ho-siang. Jelas engkau tidak berani, bukan? Ha-ha-ha!"

   "Desss!"

   Tubuh Cong San terbanting roboh karena pukulan Lian Ci Sengjin yang mengenai punggungnya ini keras sekali. Cong San yang dipukul dari belakang ini menggulingkan tubuhnya dan meloncat bangun kembali sambil tersenyum mengejek. Kiranya Lian Ci Sengjin yang amat marah kepadanya karena pemuda murid Siauw-lim-pai ini yang tadi membuka rahasianya, menjadi marah mendengar pemuda ini mengejel Cui Im.

   "Biar kubunuh saja bedebah ini!"

   Bentak Lian Ci Sengjin, makin penasaran melihat betapa pukulannya yang keras tadi ternyata tidak dapat membunuh pemuda itu. Akan tetapi Cui Im sambil tersenyum mengangkat tangannya.

   "Jangan bodoh, Sengjin! Dia ini murid tersayang ketua Siauw-lim-pai, merupakan tawanan penting. Juga Keng Hong tidak boleh dibunuh, aku masih amat membutuhkannya saat ini! Kita bawa saja mereka berlima ini ke tempat Pat-jiu Sian-ong dan baru di sana kita memutuskan apa yang harus kita lakukan kepada lima orang ini."

   "Ha-ha-ha-ha-ha-ha, Bhe Cui Im wanita cantik yang amat cedik. Murid Sin-jiu Kiam-ong ini amat gagah dan tampan, demikian pula murid ketua Siauw-lim-pai. Aku tahu mengapa engkau merasa sayang untuk membunuh mereka sekarang, ha-ha-ha!"

   Cui Im juga terkekeh genit dan memainkan biji matanya ke arah kakek kecil kate berkepala besar yang memegang kebutan hudtim itu.

   "Ihhh! Bukankah sudah kukatakan bahwa bagiku, tua atau muda, tampan atau buruk, tidak ada bedanya? Aku sudah berjanji kalau kalian membantu dan kita berhasil, aku akan melayanimu sampai kau tidak kuat bangun kembali! Aku menawan Keng Hong karena ada persoalan penting mengenai ilmu silat antara dia dan aku....."

   "Cui Im, kalau kau hendak mempelajari Thi-khi-i-beng, engkau harus mati dulu!"

   Keng Hong mengejek. Akan tetapi Cui Im tidak mempedulikannya dan melanjutkan,

   "Adapun murid ketua Siauw-lim-pai ini, bukankah dapat kita pergunakan sebagai perisai kalau menghadapi ketua partai itu? Tiong Pek Hosiang si tua bangka itu lihai sekali, dan siapa tahu dia akan hadir pula. Mengertikah engkau sekarang, Pat-jiu Sian-ong?"

   Kakek kecil kate berkepala besar itu tertawa dan mengangguk-angguk, mengebut-ngebutkan hudtimnya dengan lagak seorang dewa atau seorang pertapa sakti sambil berkata perlahan,

   "Kasihan..... kasihan..... orang-orang muda yang tak tahu diri, berani lancang menentang Ang-kiam Bu-tek..... hem.....!"

   Ia lalu melambaikan kebutannya dan terdengar suara bersuit nyaring. Keng Hong yang masih rebah menahan napas dan diam-diam dia merasa bersyukur bahwa dia tadi awas sehingga tidak semberono karena dia sudah menduga bahwa Cui Im kalau sudah berani menyergapnya tentulah mempunyai andalan.

   Kiranya di samping teman-teman yang memiliki ilmu kepandaian tinggi itu, di sekitar tempat itu sudah terkurung dan kini muncullah puluhan orang anak buah Pat-jiu Sian-ong dipimpin oleh dua orang kakek kembar yang bukan lain adalah Thian-te Siang-to, murid Pat-jiu Sian-ong. Beramai-ramai lima orang muda yang menjadi tawanan itu di giring ke tempat tinggal atau sarang Pat-jiu Sian-ong, yaitu di dekat tembok besar di sebelah utara puncak Tai-hang-san. Di bagian ini, tembok besar yang amat panjang itu melalui lereng-lereng gunung dan di dekat tembok di lereng Gunung Tai-hang-san sebelah utara inilah dijadikan sarang oleh pat-jiu Sian-ong, di mana dibangun sebuah benteng yang cukup kuat. Perjalanan itu melalui lereng-lereng gunung dan hutan-hutan liar, memakan waktu beberapa hari. Para tawanan di jaga ketat dan sungguhpun mereka itu diberi waktu makan dan istirahat, namun mereka tidak mendapat kesempatan untuk saling bicara.

   Bahkan di waktu rombongan berhenti bermalam, lima orang muda itu dipisahkan. Betapapun juga, hati Keng Hong dan teman-temannya merasa lega bahwa mereka tidak pernah menerima gangguan. Agaknya Cui Im memang melarang mereka diganggu. Keng Hong diam-diam merasa gelisah. Bagi dia sendiri, dia tidak usah merasa takut karena kalau dia menghendaki, mudah saja baginya untuk membebaskan diri. Ketika dia dibelenggu oleh Biuaw Eng dan ditotok tiga kalipun, kalau dia menghendaki, mudah saja baginya untuk bebas. Akan tetapi dia tidak mau melakukan hal ini, pertama karena dia ingin menguji Biauw Eng untuk penghabisan kali, ke dua karena keadaan musuh yang amat kuat sehingga kalau dia berlaku nekat, tentu teman-temannya terancam bahaya. Di antara mereka berlima, yang boleh diandalkan kepandaiannya hanya Biauw Eng.

   Mungkin Hun Bwee juga memiliki kepandaian luar biasa, akan tetapi wanita yang terganggu jiwanya itu sama sekali tidak boleh diandalkan. Cong San dan Yan Cu memang memiliki kepandaian yang cukup tinggi, akan tetapi menghadapi tokoh-tokoh seperti Bhe Cui Im dan Pat-jiu Sian-ong, mereka itu masih terlalu lemah. Apalagi menghadapi Cui Im! Agaknya harus dia sendiri yang maju, baru wanita keji itu akan dapat ditundukan. Malam ke empat rombongn itu beristirahat di sebuah kuil kosong tua yang berada di sebuah lereng gunung. Lima orang tawanan itu dipisahkan dan dijaga ketat. Bahkan Keng Hong yang masih terbelit-belit sabuk kulit hitam itu direbahkan di sebuah kamar kuil tua dan dijaga sendiri oleh Cui Im! Selosin orang anak buah pat-jiu Sian-ong dengan golok terhunus masih menjaga di luar kamar, berdiri seperti patung.

   "Uuuhhhh, pegal-pegal semua tubuhku. Cui Im, maukah engkau membantuku agar aku dapat duduk bersandar tembok?"

   Keng Hong berkata. Cui Im yang duduk di sudut kamar itu mengangkat muka memandang penuh kecurigaan, kemudian tagannya menggapai seorang penjaga. Penjaga itu masuk dan Cui Im berkata,

   "Bantu dia duduk bersandar tembok."

   Penjaga itu menghampiri Keng Hong dan dengan gerakan kasar menyeret pemuda itu ke dekat dinding lalu menjambak rambutnya dan menariknya sehingga terduduk. Setelah mendengus, penjaga itu pergi lagi berjaga dengan teman-temannya di luar kamar. Keng Hong tersenyum,

   "Aahhhh, terima kasih. Begini lebih enak, aku dapat duduk dan memandang wajahmu. Eh, Cui Im. Lama tidak berjumpa, sekarang engkau makin cantik saja dan tubuhmu..... hemmm..... makin padat dan montok menggairahkan!"

   Wanita yang duduk di sudut lain itu mengangkat muka dan memindahkan pandang matanya dari pedang Siang-bhok-kiam yang dipegangnya itu ke arah muka Keng Hong. Ia melihat betapa pandang mata pemuda itu menjalari seluruh tubuhnya. Ada getaran aneh terasa oleh Cui Im, seolah-olah bukan pandang mata melainkan jari-jari tangan pemuda itu yang menggerayangi tubuhnya, membuat semua bulu di tubuhnya bangkit penuh gairah. Akan tetapi ia tersenyum mengejek.

   "Keng Hong, sungguh tidak kunyana seperti ini pertemuan kita yang terakhir. Yang terakhir kataku, kau dengar? Karena kalau sekali ini engkau tidak mau menuruti keinginanku, yaitu mengajarkan Thi-khi-i-beng dan ilmu silat baru yang kau mainkan tempo hari, yang seperti gabungan dari Pat-kwa-kun dan Ngo-heng-kun itu, tentu kau akan kubunuh!"

   Keng Hong tersenyum.

   "Aku bukan orang bodoh, Cui Im, dan aku tahu menerima kekalahan. Sekali ini aku tidak berdaya, dan memang aku pun sudah melihat betapa bodohnya aku mencinta sorang seperti Biauw Eng yang tidak mempunyai cinta kasih dan tidak mengenal budi. Engkaulah wanita yang cocok untukku, Cui Im....."

   "Ihhh! Tak perlu kau merayu. Kau kira aku percaya kepadamu?"

   "Aku tidak merayu. Kalau kuingat betapa pertama kali mengenal wanita adalah denganmu! Engkaulah yang mengajarku tentang cinta, Cui Im, bagaimana mungkin aku dapat melupakanmu?"

   "Bohong! Engkau selamanya mencinta Biauw Eng."

   "Itu dulu! Sekarang tidak lagi karena kau melihat sendiri betapa dia menawanku dan hendak memaksaku mengawini gadis gila itu. Phuuuhhh! Lebih baik aku mati. Dan engkau yang begini denok.....? Hemmmm, Cui Im. Perkara belajar Thi-khi-i-beng atau Thai-kek Sin-kun, apa sih susahnya? Ke sinilah, manis. Sesungguhnya sudah bertahun-tahun aku menahan kerinduan hatiku kepadamu, membayangkan manisnya bibirmu....."

   Cui Im tertawa mengejek, akan tetapi biarpun dia tidak percaya, tetap saja ia tertarik dan meloncat bangun, menghampiri Keng Hong, berlutut di dekat pemuda itu.

   "Kau perayu yang canggung! Apa kau kira begitu mudah hendak merayuku dengan palsu itu? Hi-hi-hik, aku tidak percaya, Keng Hong."

   "Cui Im......"

   Keng Hong berbisik.

   "Lupakah kau akan malam pertama itu, ketika engkau menawanku, sebelum muncul Biauw Eng? Engkau memberi minum arak merah....... dan kita........hemmmm....... betapa senangnya kita ketika itu......"

   Jantung Cui Im berdegup keras. Dia bukan orang bodoh dan tentu saja dia tidak mau percaya akan ucapan Keng Hong itu. Akan tetapi memang pada dasar hatinya, wanita ini jatuh cinta kepada Keng Hong semenjak pertama kali bertemu dahulu. Karena cintanya inilah maka dahulu Cui Im membenci Biauw Eng dan berusaha merusak nama Biauw Eng di depan mata Keng Hong. Biarpun ia tahu bahwa pemuda ini tidak membalas cintanya dan bahwa kini membujuk rayu dengan palsu, tidak urung jantungnya berdebar dan nafsu gairahnya timbul.

   "Aku..... aku tidak percaya...... hendak kubuktikan....."

   Karena tahu bahwa Keng Hong terbelenggu tak mampu bergerak sehingga tidak membahayakan,

   Cui Im mendekatkan mukanya, merangkul leher dan mencium bibir pemuda yang sebetulnya masih ia harapkan cinta kasihnya ini. Ia hendak menguji dan betapa gembira hatinya ketika merasa bahwa Keng Hong membalas ciumannya! Begitu gembira hati Cui Im sehingga ia lupa segala dan segera tubuhnya lemas karena sebelum ia sadar akan apa yang terjadi, tengkuknya sudah ditotok Keng Hong sehingga ia roboh pingsan dalam keadaan masih merangkul pemuda itu! Memang Keng Hong sebetulnya tidaklah dikuasai oleh belenggu sabuk kulit yang melibat-libat tubuhnya. Kalau dia kehendaki, dalam sekejap mata saja dia mampu meloloskan diri. Dari balik pundak Cui Im, Keng Hong melihat pungung dua belas orang penjaga membelakangi kamar itu.

   Cepat dia merebahkan tubuh Cui Im yang masih pingsan, meniup padam lilin dan tubuhnya berkelebat ke arah pintu. Dengan kepandaiannya yang hebat, ginkangnya yang luar biasa, Keng Hong berkelebat cepat. Dua belas orang penjaga itu masih berdiri di tempat masing-masing, akan tetapi sesungguhnya mereka itu berdiri secara tidak wajar lagi karena tubuh mereka menjadi kaku. Mereka hanya melihat bayangan berkelebat cepat, tak tahu bayangan apa itu. Keng Hong terkejut sekali ketika melihat betapa empat orang kawannya itu terpisah-pisah dan terjaga amat kuatnya. Tidak mungkin dia dapat membebaskan mereka semua tanpa diketahui penjaga dan sekali mereka tahu, tentu dia dan kawan-kawannya akan dikurung. Dia tidak menghendaki hal ini terjadi karena tentu fihaknya akan jatuh korban,

   Mengingat banyaknya jumlah lawan dan banyaknya pula orang-orang pandai di fihak lawan. Betapapun juga, dia harus membebaskan Biauw Eng! Maka dia cepat menghampiri kamar di mana Biauw Eng ditahan dan melihat bahwa kekasihnya ini dijaga oleh Thian-te Siang-to, sepasang kakek kembar murid Pat-jiu Sian-ong bersama selosin anak buah mereka. Keng Hong tidak mau membuang waktu lagi. Dua buah kerikil di tangannya disambitkan ke dalam kamar dan padamlah dua buah lilin di atas lantai kamar itu. Selagi sepasang kakek kembar itu berteriak dan sibuk memasang api, tubuh Keng Hong sudah berkelebat cepat dan seperti halnya selosin penjaga di depan kamar di mana dia ditawan, kini selosin orang penjaga di situpun menjadi kaku oleh totokannya yang cepat dan tepat. Ia lalu menyerbu ke dalam.

   Thian-te Siang-to adalah murid-murid Pat-jiu Sian-ong yang sudah memiliki ilmu kepandaian tinggi. tadinya mereka masih tidak mengira bahwa padamnya lilin-lilin itu adalah karena perbuatan musuh, akan tetapi begitu mendengar sambaran angin dari luar pintu, keduanya meloncat sambil mencabut golok dan menerjang ke arah pintu. Keng Hong melanjutkan loncatannya, akan tetapi menukik ke bawah. Du buah golok itu menyambar di atas tubuhnya ketika dia menubruk dua pasang kaki Thian-te Siang-to yang berteriak kaget, akan tetapi segera tubuh mereka lemas karena Keng Hong cepat menotok mereka. Biauw Eng tengah bersandar dinding dengan kedua lengan dibelenggu ke belakang. Tiba-tiba ia melihat lilin padam dan mendengar suara ribut-ribut, maka ia cepat meloncat bangun.

   "Biauw Eng, lekas kau lari! Biar aku melindungimu dari pengejaran!"

   Bisik Keng Hong sambil merengut putus tali yang membelenggu kedua tangan Biauw Eng.

   "Bagus...... mari kita bebaskan yang lain......!"

   Biauw Eng berbisik kembali.

   "Sttt..... jangan! kau larilah dulu, biar aku yang akan membebaskan mereka. Engkau harus selamat dulu, Biauw Eng."

   "Apa? Tidak! Aku tidak mau bebas sendiri tanpa engkau dan mereka!"

   "Ah, berbahaya..... mereka amat kuat. Engkau pergilah dulu......."

   "Tidak, Keng Hong. Aku tidak mau berpisah lagi denganmu!"

   Suara Biauw Eng terdengar tegas sehingga Keng Hong menjadi bingung. Dia maklum bahwa amatlah sukar untuk membebaskan mereka sekaligus dan dia baru akan merasa lega dan tenang kalau Biauw Eng sudah selamat. Bagi dia sendiri, tidak khawatirlah dia. Akan tetapi kalau mereka semua lari, tentu akan sukar sekali. Betapapun juga, dia sudah mengenal Biauw Eng dan dipaksa pun akan sia-sia saja.

   "Baiklah, mari!"

   Mereka lalu berkelebat pergi dari kamar itu untuk membebaskan tiga orang kawan mereka. Akan tetapi, tepat seperti yang dikhawatirkan Keng Hong, baru saja mereka mendekati tempat tahanan Cong san, gerakan mereka telah diketahui oleh Pat-jiu Sian-ong yang berteriak keras,

   "Tangkap mereka!"

   Ributlah dalam kuil tua itu dan puluhan orang penjaga, akan buah Pat-jiu Sian-ong yang berjaga di sebelah dalam kuil sudah menyerbu. Keng Hong dan Biauw Eng terpaksa mengamuk. Para penjaga itu merupakan makanan lunak bagi mereka, akan tetapi setelah pat-jiu Sian-ong membebaskan Cui Im dari totokan, dua orang ini lalu menyerbu sendiri menghadapi mereka. Terjadilah pertandingan hebat di dalam kuil, di bawah sinar penerangan obor-obor yang dinyalakan oleh para penjaga. Kalau mereka menghendaki, Keng Hong dan Biauw Eng tentu saja akan dapat melarikan diri dengan mudah di malam gelap itu. Akan tetapi mereka, terutama Biauw Eng, tidak sudi melarikan diri meninggalkan tiga orang kawan mereka dan dua orang lawan mereka yang amat tangguh itu tidak memungkinkan mereka dapat menolong kawan-kawan mereka yang masih ditawan dalam kamar.

   "Berhenti! Cia Keng Hong, lihat, apakah kau ingin melihat mereka ini mampus di depan matamu?"

   
Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Keng Hong dan Biauw Eng terkejut sekali melihat betapa Cong San, yan Cu dan Hun Bwee sudah diseret ke situ dan di ancam dengan pedang di leher mereka oleh Lian Ci Sengjin, Sian Ti Sengjin, Kim-to lai Ban dan Thian It Tosu!

   "Hi-hi-hik! Keng Hong, apakah engkau masih belum mau menyerah? Ataukah engkau hendak mengorbankan mereka ini demi keselamatanmu?"

   Cui Im mengejek.

   "Cui Im, engkau curang dan pengecut!"

   Keng Hong membentak marah.

   "Hi-hi-hik, siapa yang curang? Apakah engkau yang merayu aku tadi untuk dapat membebaskan diri tidak curang?"

   Terpaksa Keng Hong dan Biauw Eng menyerahkan diri dan tidak melawan ketika Pat-jiu Sian-ong dan Cui Im menotok mereka roboh. Mereka diikat lagi dengan erat, bahkan Keng Hong kini ditotok sendiri oleh Cui Im menggunakan ilmu Tiam-hiat-hoat dari kitab pusaka Sin-jiu Kiam-ong sehingga sekali ini Keng Hong benar-benar lumpuh tak dapat menggerakan kaki tangannya.

   Karena tidak ingin mengalami hal-hal tidak enak seperti yang telah terjadi tadi, malam itu juga Cui Im melanjutkan perjalanan membawa lima orang tawanan itu menuju ke arah Pat-jiu Sian-ong. Beberapa hari kemudian tibalah mereka di tempat yang menjadi tempat tinggal Pat-jiu Sian-ong dan anak buahnya. Tempat ini merupakan sebuah benteng yang kuat, dikelilingi pagar tembok tinggi dan terjaga kuat. Diam-diam Keng Hong memperhatikan keadaan benteng itu dan harus mengaku di dalam hati bahwa sekali ini, kalau dia mendapat kesempatan, dia harus berkelahi mati-matian dengan empat orang temannya dan agaknya tidaklah akan mudah bagi dia dan teman-temannya untuk dapat lolos dari tempat yang kuat itu.

   Mereka memasuki benteng ini pada siang hari dan betapa kaget hati Keng Hong ketika melihat banyak sekali orang-orang yang kelihatan berkepandaian tinggi, bahkan di antara mereka ini dia melihat Pak-san Kwi-ong! Selain ini, dia melihat pula Pak-san Su-liong, tokoh-tokoh yang bersenjata tengkorak, yaitu murid-murid Pak-san Kwi-ong yang lihai dan masih ada lagi empat orang pengawal-pengawal rahasia kaisar, yaitu Gu Coan Kok si Iblis Cebol, Huk Ku si setan bangsa Kerait dan Thai-lek Sin-mo Cou Seng! Heran dia mengapa pengawal-pengawal rahasia kaisar itu, yang tadinya berjumlah empat orang ditambah lagi Pak-san Kwi-ong, Bhe Cui Im dan Siauw Lek, bisa berkumpul di tempat ini.

   Memang sesungguhnyalah, para pengawal rahasia itu kesemuanya melarikan diri setelah terjadi peristiwa di luar istana ketika Cui Im berusaha menjebak Keng Hong. Tio Hok Gwan, pengawal Laksamana Tinggi The Ho yang lihai dan telah bersimpati kepada Keng Hong, memberi pelaporan kepada jujungannya. Laksamana The Ho adalah orang yang bijaksana dan amat berpengaruh bijaksana dan amat berpengaruh serta dihormati kaisar, maka ketika The Ho memberi nasihat kepada kaisar betapa bahayanya mempergunakan tenaga orang-orang yang terkenal sebagai datuk-datuk dan tokoh-tokoh dunia hitam itu, kaisar lalu membebastugaskan mereka. Pak-san Kwi-ong dan teman-temannya lalu pergi dari istana dan diam-diam merasa marah sekali, di dalam hati mereka memberontak dan ingin menjatuhkan kaisar,

   Maka mereka lalu beramai-ramai pergi mengunjungi Pat-jiu Sian-ong untuk mengumpulkan kawan dan bersekutu menjatuhkan kaisar! Tugas pertama mereka adalah untuk menggunakan kesempatan selagi orang-orang kang-ouw berkumpul di Tai-hang-san untuk menggempur mereka karena mereka telah mendengar betapa orang-orang kang-ouw itu juga menentang Pak-san Kwi-ong dan sekutunya menjadi pengawal kaisar. Bahkan diam-diam Pak-san Kwi-ong dan para iblis Tembok Besar yang kini tinggal tiga orang itu karena Kemutani telah tewas di tangan Yap Cong San, menghubungi suku bangsa Mongol dan Mancu untuk bersekutu dan menyerang ke sebelah selatan tembok besar. Ketika para tawanan itu dikumpulkan di ruangan dalam, kesemuanya dibelenggu, tiba-tiba Hun Bwee berteriak-teriak dan meronta-ronta,

   "Lepaskan aku! Lepaskan, mengapa kalian membelenggu aku? Awas, kalau tidak dilepaskan, kelak guruku Go-bi Thai-houw tentu akan mencabut nyawa kalian semua!"

   Mendengar disebutnya nama Go-bi Thai-houw, Pak-san Kwi-ong terkejut. Apa? Gadis ini murid Go-bi Thai-houw? Bagaimana bisa menjadi tawananmu, Ang-kiam Bu-tek? Ia kelihatan gelisah dan heran.

   "Hemmm... kalau dia menjadi muridnya, mengapa sih? Dia bersama dengan Biauw Eng, dan agaknya gila."

   "Lepaskan! Aku tidak memusuhi siapa-siapa, aku hanya akan membunuh Cia Keng Hong, bocah yang telah memperkosaku. Lepaskan!"

   "Tan Hun Bwee, yang memperkosamu adalah Lian Ci"

   "Plakkk!"

   Pipi Cong San kena ditampar oleh Lian Ci Sengjin.

   "Diam kau, monyet!"

   "Bohong! Bukan siapa-siapa, melainkan Cia Keng Hong. Lepaskan aku!"

   "Ang-kiam Bu-tek, sebaiknya kau bebaskan dia. Kalau dia murid Go-bi Thai-houw, berarti bukan musuh."

   "Eh, eh, eh, Kwi-ong. Agaknya engkau jerih sekali mendengar nama Go-bi Thai-houw!"

   Cui Im mengejek. Pak-san Kwi-ong terbatuk-batuk.

   "Eeehhhhhh... Dia... dia... Hemmm. Pat-jiu Sian-ong, apakah engkau pun memusuhi Go-bi Thai-houw?"

   Tiba-tiba kakek kecil kate yang berkepala besar itu kelihatan bingung dan cepat mengeleng-gelengkan kepalanya.

   "Siapa memusuhi siapa? Aku tidak pernah bentrok dengan nenek sakti itu."

   "Nona Bhe, engkau belum tahu. Go-bi Thai-houw itu lihai bukan main, dan jauh lebih menguntungkan kalau kita bersekutu dengan dia. Lebih baik jangan menganggu muridnya. Pula, apakah perlunya gadis ini ditawan?"

   Pak-san Kwi-ong berkata. Cui Im tersenyum dan mengeling kepada Lian Ci Sengjin.

   "Aku pribadi tidak mempunyai urusan dengan Tan Hun Bwee ini, juga tidak pernah mengenal Go-bi Thai-houw, maka soal membebaskan dia atau tidak, tidak penting bagiku. Hanya mesti menanyakan pendapat Lian Ci Sengjin, karena kalau nona ini dibebaskan, jangan-jangan dia akan menyerang Lian Ci Sengjin."

   Wajah bekas tosu Kun-lun-pai itu sebentar merah sebentar pucat, akhirnya saking malu dan marah dia hanya mengomel,

   "Perempuan ini terang seorang yang gila, mau bebaskan dia atau mau bunuh, aku tidak peduli!"

   Cui Im tertawa mengejak lalu menghampiri Hun Bwee. Kini ia memandang penuh perhatian karena disebutnya nama guru gadis ini sebagai seorang yang amat lihai, yang ditakuti oleh Pat-jiu Sian-ong dan Pak-san Kwi-ong, benar-benar membuat ia menaruh perhatian.

   "Katakan kalau kau kubebaskan, apa yang hendak kau lakukan?"

   Hun Bwee hanya sebentar saja memandang Cui Im, lalu matanya mencari-cari kemudian menatap wajah Keng Hong, mulutnya berkata nyaring,

   "Akan kubunuh Cia Keng Hong!"

   Cui Im mengerutkan keningnya.

   "Eh, bukankah ada yang bilang bahwa yang memperkosamu bukanlah Keng Hong?"

   "Bohong! Yang memperkosaku adalah Keng Hong, bukan orang lain!"

   "Hemmm... benarkah itu? Bukan dia itu...?"

   Cui Im menuding ke arah Lian Ci Sengjin yang memandang dengan muka merah. Semua orang juga memandang karena ingin melihat apakah gadis gila itu kini akan membuka rahasia itu secara jelas. Dapat dibayangkan betapa menyesal dan kaget hati Keng Hong, Biauw Eng, Yan Cu dan Cong San ketika melihat Hun Bwee menggeleng kepala dan berkata lantang,

   "Bukan! Bukan dia...! Cia Keng Hong yang memperkosa aku, orang gagah itu belum pernah kulihat selama hidupku!"

   Bukan main girang hati Lian Ci Sengjin dan dia menekan kegirangannya, hanya mulutnya berkata dengan suara di bikin-bikin menjadi tenang sekali,

   "Nah, sekarang baru semua orang mendengarnya. Yang suka bermain gila dengan wanita adalah bocah pengacau Cia Keng Hong itu, sama sekali bukan aku. Sudah kukatakan, perempuan ini gila, maka tadinya dia menuduhku yang bukan-bukan."

   Sian Ti Sengjin memandang kepada sutenya dengan kening dikerutkan. Bekas tosu Kun-lun-pai ini tidak berkata sesuatu, akan tetapi terjadi perang hebat di dalam dadanya yang tidak diketahui orang lain. Dia mengenal sutenya dan tahu akan kelemahan sutenya.

   "Baiklah, Tan Hun Bwee, aku akan membebaskan engkau, akan tetapi dengan syarat bahwa engkau harus suka menjadi sekutu kami, kelak engkau membujuk guru untuk bekerja sama dengan kami pula, dan yang terpenting sekarang ini, engkau harus mentaati semua perintahku. Bagaimana, sanggupkah?"

   Betapa cemas dan khawatir hati Biauw Eng menyaksikan keadaan sucinya itu, apalagi ketika melihat sucinya menggangguk. Perasaan cemas ini bercampur rasa marah sekali. Ia tahu bahwa Hun Bwee memang menderita penyakit jiwa, akan tetapi selama ia merasa yakin bahwa di balik kegilaan Hun Bwee terdapat watak yang gagah perkasa dan tak mengenal takut. Mengapa sekarang Hun Bwee berubah seperti itu dan tunduk kepada Cui Im? Juga, biarpun gila, Hun Bwee biasanya cerdik sekali. Kenapa sekarang tetap menuduh Keng Hong sebagai pemerkosanya, sedangkan tadi begitu yakin bahwa Lian Ci Sengjin bekas tosu Kun-lun-pai itulah pelakunya?

   "Suci! Jangan mendengarkan bujukan iblis itu!"

   Biauw Eng berseru memperingatkan Hun Bwee. Akan tetapi Hun Bwee menoleh dan melotot kepadanya.

   "Jangan turut campur! Aku tidak sudi mendengar omonganmu, perempuan tak tahu malu!"

   Biauw Eng kaget setengah mati. Belum pernah sucinya ini, waras atau sedang kuat, bersikap seperti ini kepadanya. Padahal ketika melotot kepadanya ia melihat bahwa pandang mata sucinya itu tidak seperti kalau sedang kuat. Cui Im tertawa, kemudian bertanya kepada Hun Bwee.

   "Dia menyebutmu Suci? Hi-hi-hik, alangkah lucunya. Sebetulnya, akulah Sucinya. Apakah dia... ahhhhhh! Apakah dia menjadi murid Go-bi Thai-houw?"

   Hun Bwee menggangguk.

   "Dia baru saja menjadi murid subo. Akan tetapi mulai sekarang aku tidak sudi mengakuinya sebagai Sumoi lagi. Dia curang, tak bermalu dan palsu!"

   Cui Im tersenyum girang.

   "Mengapa?"

   "Dia tahu Keng Hong memperkosaku dan hendak menangkap Keng Hong dan memaksa pemuda itu menjadi suamiku. Setelah berhasil menangkap Keng Hong, hemmm... dia ingin memilikinya sendiri!"

   "Heh-heh-hi-hi-hik!"

   Cui Im tertawa senang sekali dan tangannya bergerak, bebaskan Hun Bwee. Gadis ini sejenak mengurut-urut kedua lengannya, kemudian dengan beringas ia menghampiri Keng Hong sambil berkata.

   "Kubunuh engkau, Cia Keng Hong!"

   "Hun Bwee, tahan!"

   Cui Im membentak dan Hun Bwee menghentikan langkahnya lalu menoleh.

   "Dengar baik-baik. Engkau sudah berjanji mentaati perintahku, bukan? Nah, perintah pertama engkau tidak boleh membunuh Keng Hong..."

   "Akan tetapi dia... dia..."

   "Engkau tidak boleh mengganggunya tanpa seijin dariku, mengerti? Kalau sudah tiba saatnya aku harus membunuhnya, biarlah kuserahkan tugas itu kepadamu. Mengert?"

   Dengan muka kecewa sekali Hun Bwee mengangguk, kemudian berdiri dekat Cui Im sambil menundukkan muka seperti orang melamun. Cui Im menepuk-nepuk pundaknya dan berkata.

   "Mulai sekarang engkau menjadi pebantuku yang setia, Hun Bwee... Hun Bwee hanya mengangguk-angguk dan semua ini dipandang oleh Biauw Eng dengan hati panas, akan tetapi bagaimana dia akan dapat menyalakan sucinya yang memang tidak waras pikirannya itu? Ia hanya dapat menghela napas panjang.

   Selain Hun Bwee berubah seperti itu, tentu saja kini menjadi makin sukar lagi bagi mereka untuk lolos. Berkurang seorang tenaga yang amat kuat. Tak terasa lagi, dalam keputusan-asaan ini Biauw Eng mengerling ke arah Keng Hong dan betapa heran hatinya melihat Keng Hong yang menyandar tubuh yang lemas itu ke tiang di mana dia terikat, juga memandangnya dan tersenyum! Pandang mata pemuda itu kepadanya seolah-olah mengantikan kata-kata yang menghibur, yang minta kepadanya agar tidak putus asa! Tawanan yang kini tingga empat orang itu lalu dibawa pergi dan dijebloskan ke dalam kamar-kamar tahanan yang amat kuat dan terpisah. Kamar tahanan itu terbuat daripada dinding batu dan pintu serta jendelanya diberi jeruji besi yang amat kuat. Empat orang muda yang ditahan ini masing-asing tenggelam dalam lamunan sendiri.

   Cong San amat khawatir akan keselamatan teman-temannya, terutama sekali Yan Cu. Ia harus mengakui bahwa baru satu kali ini dia jatuh cinta, yaitu kepada Yan Cu. Dia tidak khawatir akan keselamatan diri sendiri. Sebagai seorang pemuda gemblengan murid ketua Siauw-lim-pai, tentu saja dia mempunyai tenaga dan ilmu simpanan dan kalau dia menghendaki, dengan pengerahan tenaga sakti, dia akan dapat mematahkan belenggu dan membebaskan diri. Akan tetapi tadi dia melihat tanda isyarat pandang mata Keng Hong dan dia dapat menangkap apa kehendak Keng Hong dengan isyarat itu. Memang benar kalau dia memberontak, hal ini akan membahayakan keselamatan mereka berlima, kini hanya tinggal berempat karena wanita gila itu berfihak kepada musuh. Fihak musuh terlalu kuat dan terlalu banyak.

   Dia harus menanti saat yang baik, mencari kesempatan agar sekali memberontak, dapat membebaskan mereka semua. Tentu Keng Hong juga berpendapat demikian, pikir Cong San yang duduk termenung bersandar dinding di dalam kamar tahanannya yang sempit? Benarkah seperti murid Siauw-lim-pai ini pendapat Keng Hong? Hanya sebagian saja demikian. Sesungguhnya banyak hal yang menyebabkan Keng Hong mandah dan diam saja dijadikan tawanan. Dengan ilmu kepandaiannya yang tinggi, kalau dia mau tentu saja dia pada kesempatan pertama sudah dapat menyelamatkan dirinya sungguhpun belum tentu dia akan dapat menyelamatkan empat orang temannya. Akan tetapi Keng Hong tidak mau melakukan hal itu. Pertama kali, ketika mereka semua teertawan dan dia sendiri telah dibelenggu Biauw Eng,

   Dia sengaja diam saja untuk sekedar mencoba Biauw Eng, akan tetapi tentu saja dia setiap saat siap untuk melindungi teman-temannya apabila terancam keselamatannya. Ketika melihat bahwa Cui Im hanya menawan mereka, dia pun diam saja, pura-pura tidak berdaya. Kini, Keng Hong masih belum turun tangan, pertama karena usahanya pertama kali gagal, dan ke dua, selain melihat kokoh kuatnya penjagaan benteng itu dan banyaknya tokoh-tokoh yang berilmu tinggi, juga dia harus mengingat akan pusaka-pusaka yang kembali terampas oleh Cui Im. Terutama sekali pusaka-pusaka
(Lanjut ke Jilid 37)
Pedang Kayu Harum (Seri ke 01- Serial Pedang Kayu Harum)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 37
yang harus dia kembalikan kepada partai-partai besar yang memilikinya. Kalau dia sampai gagal merampas tentu kelak akan sukar sekali baginya untuk merampas kembali dan tentu Cui Im akan lebih berhati-hati.

   Biauw Eng juga melamun dalam kamar tahanannya. Hatinya masih penuh penasaran melihat sikap Hun Bwee. Tak disangkanya sama sekali bahwa sucinya itu ternyata adalah seorang yang rendah budi, yang begitu saja menyerah kepada musuh dan mengorbankan teman-temannya, terutama sekali mengorbankan dia, sumoinya. Benarkah bahwa Hun Bwee berbuat seperti itu karena iri hati dan cemburu kepadanya? Karena dia kini kembali menyatakan cinta kasihnya kepada Keng Hong? Dan gadis ini pun mulai meneliti perasaannya sendiri. Tadinya dia memang benci kepada Keng Hong, tidak saja karena sikap Keng Hong yang lalu, akan tetapi ditambah lagi cerita Hun Bwee bahwa pemuda itu memperkosanya.

   Setelah bertemu dengan Keng Hong dan melihat bertapa Keng Hong menyatakan penyesalannya atas sikapnya yang dahulu terhadap dirinya, bahkan Keng Hong telah menyerah dan rela untuk ditawan atau dibunuhnya sekalipun. Apalagi ketika ia mendengar ucapan Cong San kemudian melihat sikap Hun Bwee dan Lian Ci Sengjin yang membongkar perkosaan itu, makin membuyar rasa bencinya dan timbul kembali cinta kasihnya terhadap Keng Hong yang memang tak pernah padam. Dia mencinta Keng Hong, hal ini terjadi semenjak dahulu. Akan tetapi Hun Bwee, yang katanya telah diperkosa Keng Hong, apakah juga mencinta Keng Hong dan cemburu kepadanya? Akan tetapi kalau benar demikian, mengapa Hun Bwee kini hendak membunuh Keng Hong? Benar-benar ia menjadi bingung. Apakah Hun bwee kuat gilanya? Akan tetapi sinat matanya tidak liar seperti biasanya kalau kumat.

   Yan Cu juga termenung. Gadis ini merasa menyesal sekali kepada Biauw Eng yang ia anggap menjadi gara-gara sampai mereka tertawan. Akan tetapi ia pun merasa menyesal kepada Keng Hong mengapa suhengnya begitu tolol untuk mengorbankan diri demi cintanya kepada Biauw Eng yang tak dapat menghargai cinta orang itu! Dan ia teringat akan sikap Cong San kepadanya. Pemuda murid Siauw-lim-pai itu cinta kepadanya! Akan tetapi dia? Ah, sukarlah untuk menjawabnya. Hatinya masih belum dapat melenyapkan perasaan mesranya terhadap Keng Hong, sungguhpun ia sendiri tidak berani mengatakan apakah dia sebenarnya mencinta Keng Hong. Sampai saat itu pun Yan Cu mencari-cari arti cinta itu belum dapat menemukannya! Akan tetapi, dia tidak putus asa, juga tidak takut. Selama nyawa masih dikandung badan, dia tidak akan kehabisan akal dan harapan.

   Pasti akan muncul saat dan kesempatan bagi seorang di antara mereka untuk meloloskan diri dan menolong teman-temannya. Dia sendiri pun akan mencari kesempatan itu. Kalau mungkin malam nanti melepaskan ikatannya dan berusaha keluar dari kamar tahanan. Atau kalau tidak berhasil, dia akan menanti sampai penjaga memberi makanan. Mungkin dia akan dapat merobohkan penjaga. Kalau saja Keng Hong tidak begitu lemah terhadap cinta kasihnya yang amat mendalam kepada Biauw Eng! Ia percaya penuh bahwa dengan kelihaiannya, suhengnya itu akan dapat menolong mereka semua. Sementara itu, Cui Im, Pat-jiu Sian-ong, Pak-san Kwi-ong dan semua tokoh yang berada di benteng itu mengadakan perundingan. Cui Im yang dianggap paling lihai di antara mereka dan paling cerdik, memimpin perundingan.

   Mereka telah mengirim mata-mata dan kurir, untuk menyediliki keadaan kota raja, menyelidiki pertemuan para tokoh kang-ouw di puncak Tai-hang-san, dan mengirim utusan untuk menghubungi kepada suka bangsa Mongol dan Mancu yang berada di luar Tembok Besar di daerah utara. Mereka itu memutuskan untuk menanti kembalinya para penyedlidik sekalian menanti datangnya utusan Mongol dan Mancu yang mereka undang. Tan Hun Bwee benar-benar diberi kebebasan. Mendapatkan sebuah kamar yang cukup indah dan dia tidak diganggu sama sekali. Namun Cui Im adalah seorang cerdik. Dia memang ingin menggunakan gadis gila itu untuk menarik Go-bi Thai-houw bersekutu, akan tetapi diam-dia ia pun selalu menyuruh orang memperhatikan dan menjaga gadis ini. Namun, dalam beberapa hari itu Hun Bwee kelihatan baik-baik saja, bahkan dia mulai mendekati Lian Ci Sengjin!

   Hal ini diketahui baik oleh Cui Im dan dia diam-diam tertawa. Lebih baik Lian Ci Sengjin didekatkan kembali dengan gadis yang telah diperkosanya itu. Dia tahu betapa Lian Ci Sengjin masih tergila-gila kepadanya dan sering suka menggodanya dengan celaan-celaan dan tuntutan-tuntutan agar dia suka mempertimbangkan lamarannya! Kalau Hun Bwee bisa menghiburnya, tentu akan berkurang bekas tosu itu menggodanya. Malam itu bulan bersinar sepenuhnya Lian Ci Sengjin keluar dari pondoknya dengan muka merah. Baru saja dia kembali cekcok dengan suhengnya. Sian Ti Sengjin. Suehngnya itu telah beberapa kali mengajaknya agar kembali saja ke Phu-niu-san, dimana mareka berdua sedang membangun dan memperkembang partai yang mereka bentuk setelah mereka "tidak mendapat angin"

   Di Kun-lun-pai.

   "Suheng, mengapa tergesa-gesa? Bukankah kita membutuhkan bantuan Cui Im untuk membalas sakit hati kita ke Kun-lun-pai? Pula, kalau kita berhasil menghancurkan Kun-lun-pai, mana bisa nama kita bersih daripada noda setelah kita berdua diusir dari sana? Tentu dunia kang-ouw akan mencemoohkan nama partai Phu-niu-san yang akan kita kembangkan!"

   Demikian dia membantah ajakan suhengnya.

   "Akan tetapi aku merasa ragu-ragu, Sute. Mereka itu... ah, bagaimana kita sudah terperosok begini rendah sehingga bersekutu dengan kaum sesat?"

   Sian Ti Sengjin berkata sambil menarik napas berulang-ulang dan keningnya berkerut.

   "Aku pun tidak suka, akan tetapi kita terpaksa, Suheng! Sudahlah, kita sudah terlanjur basah, lebih baik terjun sama sekali!"

   Dengan kata-kata itu, Lian Ci Sengjin meninggalkan suhengnya dan keluar untuk mencari hawa sejuk agar mendinginkan hati dan pikirannya yang panas. Di bawah sinar bulan purnama itu, teringatlah dia akan wajah-wajah cantik. Ia menengadah, memandang bulan purnama dan bekas tosu Kun-lun-pai yang gagal menguasai nafsunya sendiri itu menghela napas. Bulan yang bundar itu seolah-olah berubah menjadi wajah Cui Im yang tersenyum kepadanya.

   Ah, tiada harapan, pikirnya. Wanita cantik itu terlalu angkuh. Kemudian bulan itu mebayangkan wajah Hun Bwee dan dia menarik napas kembali. Gadis itu cantik juga dan kalau dia teringat akan peristiwa dahulu ketika dia berhasil merenggut kehormatan gadis itu, timbul pula gairahnya. Kalau saja dia bisa mendapatkan Hun Bwee untuk menjinakkan nafsunya yang liar bergelora, akan puaslah hatinya. Sayang bahwa gadis itu agaknya telah berubah ingatannya! Tapi, sekarang kelihatan sudah waras dan dengan pakaiannya yang merah dan ketat, sungguh tidak kalah menariknya oleh Cui Im yang jauh lebih tua. Biarpun kelihatan masih cantik, akan tetapi dia dapat menduga bahwa usia Ang-kiam Bu-tek Bhe Cui Im sudah mendekati tiga puluh tahun, sedangkan Hun Bwee tentu baru dua puluh tahun lebih!

   "Lo-enghiong...!"

   Suara halus ini menyadarkan Lian Ci Sengjin dari lamunan dan ketika dia menengok, dia melihat Hun Bwee berdiri sambil tersenyum manis dan pandang mata begitu indah, seperti sinar bulan purnama sendiri! Pertama-tama dia terkejut dan siap menghadapi wanita ini kalau hendak mengamuk, akan tetapi melihat senyum dan pandang mata itu, dia merasa lega.

   "No... Nona..., engkau di sini?"

   Hun Bwee tersenyum, senyum yang amat manis dalam pandang mata Lian Ci Sengjin, karena disertai bayangan malu-malu kucing!

   "Lo-enghiong... mengapa engkau agaknya selalu menjauhkan diri dariku? Apakah... apakah Lo-enghiong termasuk golongan pria yang berwatak habis manis sepah dibuang?"

   Berubah wajah Lian Ci Sengjin, menjadi pucat lalu berubah merah, matanya terbelalak. Tadinya dia mengira bahwa gadis ini benar-benar menjatuhkan tuduhan perkosaan itu kepada Keng Hong, akan tetapi pertanyaan ini berarti lain?

   "Apa... apa maksudmu, Nona?"

   Kembali Hun Bwee tersenyum malu-malu dan mengerling.

   "Lo-enghiong, aku sudah membersihkan nama baikmu dan menjatuhkan noda kepada Cia Keng Hong yang kubenci, apakah kau masih tidak mengerti apa yang kumaksudkan?"

   "Marilah kita bicara di taman sana, Lo-enghiong. Sungguh tidak menyenangkan dan amat memalukan bagiku kalau ada telinga lain yang mendengarnya,"

   Kata gadis itu perlahan-lahan. Timbul kecurigaan di hati Lian Ci Sengjin.

   "Katakan dulu mengapa kau lakukan itu, baru aku percaya,"

   

Si Bangau Merah Eps 24 Kisah Si Bangau Putih Eps 29 Si Tangan Sakti Eps 18

Cari Blog Ini