Ceritasilat Novel Online

Petualang Asmara 8


Petualang Asmara Karya Kho Ping Hoo Bagian 8



"Teecu tidak bermaksud buruk. Suhu sendiri yang telah mengambil teecu sebagai murid dan Suhu sendiri yang telah mengucapkan kata-kata itu. Teecu mendengar bahwa kata-kata seorang budiman, yang sudah keluar dari mulut, mewakili suara hati dan menjadi janji yang lebih berharga daripada nyawa. Maka dari itu, kalau sekarang Suhu menarik kembali janji Suhu itu, bukankah hal ini akan menodai nama dan kehormatan Suhu?"

   Bun Hwat Tosu mengelus-elus jenggotnya dan memandang kepada anak gundul itu dengan sinar mata tajam, kemudian dia menghela napas dan berkata,

   "Yap Kun Liong, sekecil ini engkau sudah dapat menggunakan kata-kata untuk mendesak dan menghimpit seorang tua seperti pinto, membuat pinto tidak berdaya. Benar-benar engkau berbakat cerdik, dan entah apa yang akan terjadi kalau engkau sudah dewasa kelak. Kecerdikan dapat mengangkat orang ke tingkat tinggi, akan tetapi juga dapat menyeret orang ke tempat yang paling rendah. Baiklah, pinto tidak mungkin dapat menarik kata-kata sendiri. Pinto akan menurunkan ilmu kepadamu selama lima tahun, akan tetapi tidak boleh menyebut guru kepada pinto karena kalau hal ini pinto lakukan, yaitu mengambilmu sebagai murid, berarti pinto kurang hormat kepada Siauw-lim-pai dan Cin-ling-pai. Bagaimana, maukah engkau?"

   Kun Liong mengangguk-angguk memberi hormat.

   "Teecu menghaturkan terima kasih atas kemurahan hati Locianpwe."

   Bun Hwat Tosu menarik napas panjang.

   "Hemm, kemurahan hati apa? Pinto terpaksa dan entah akibat apa yang akan pinto tanggung kelak apabila engkau melakukan penyelewengan!"

   Serta-merta Kun Liong berkata lantang,

   "Teecu bersumpah bahwa apa pun yang akan terjadi dengan diri teecu, teecu tidak akan menyebutkan nama Locianpwe, tidak akan menyangkut nama Locianpwe!"

   "Sudahlah, agaknya memang engkau sudah berjodoh dengan pinto. Ingat, bukan sekali-kali pinto takut engkau menyebut nama pinto, akan tetapi jangan dihubungkan dengan Hoa-san-pai. Pinto telah lama mengundurkan diri dari Hoa-san-pai, dan andaikata nama pinto rusak oleh sepak terjangmu, masih tidak terlalu hebat. Akan tetapi kalau sampai Hoa-san-pai tersangkut, pinto pasti kelak akan mencarimu untuk mencabut kembali semua ilmu yang kaupelajari dari pinto, biarpun dengan bahaya tercabutnya pula nyawamu atau nyawa pinto."

   Kun Liong hanya mengangguk-angguk dan wajahnya agak pucat. Hebat sekali ancaman yang keluar dari mulut kakek itu dan dia dapat merasakan kesungguhan hati kakek itu yang membuatnya mengkirik.

   "Teecu akan selalu ingat kata-kata Locianpwe."

   "Nah, mari kita pergi!"

   Sebelum Kun Liong bangkit berdiri, tahu-tahu tubuhnya telah disambar dan kembali dia mengalami peristiwa yang mengerikan ketika tubuhnya meluncur dengan cepatnya menuju ke sebuah pegunungan yang kelihatan melintang panjang seperti seekor naga tidur di sebelah depan.

   Sungainya laksana pita sutera biru
gunungnya laksana tusuk sanggul permata!

   Sajak dua baris itu adalah pujian pujangga besar Han Yi (768 " 824) pada waktu Dinasti Tang (618 " 907) ketika pujangga itu mengagumi keindahan pemandangan alam di sekitar Sungai Li daerah Kuilin, Propinsi Kuangsi.

   Memang luar biasa sekali keindahan tamasya alam di daerah ini, terutama sekali kalau orang memandang dari puncak sebuah di antara gunung-gunungm melihat air Sungai Li yang kelihatan seperti pita rambut sutera biru melambai dari rambut seorang perawan jelita. Pemandangan di sepanjang sungai itu selain indah menakjubkan juga berubah-ubah keadaannya, terutama sekali di bagian antara daerah Kuilin dan Yangsuo. Gunung Haiyang berdiri tegak sebagai sebuah di antara gunung-gunung di Pegunungan Taliang-san, di perbatasan Propinsi Kuangsi dan Propinsi Hunan. Dari Gunung Haiyang ini mengalir turun dua batang sungai yang mengalir ke utara memasuki Propinsi Hunan adalah Sungai Siang, adapun yang mengalir ke selatan memasuki Propinsi Kuangsi adalah Sungai Li yang juga disebut Sungai Kui, Sungai Haiyang dan ada pula yang menyebutnya Sungai Kemala!

   Lambang keindahan di daerah Yangsuo di sepanjang Sungai Li, adalah sebuah puncak gunung yang bernama Gunung Teratai Biru. Gunung ini berbentuk sekuntum bunga teratai yang sedang menguncup, segar kebiruan. Di lereng Gunung Teratai Biru ini mendapat sebuah kuil kuno, yaitu Kuil Cien yang ternama, kuil peninggalan dari Dinasti Tang. Kun Liong kagum bukan main ketika dia dibawa oleh Bun Hwat Tosu ke kuil kuno ini. Dia berdiri di situ, kemudian mendaki puncak Gunung Teratai Biru menikmati keindahan alam yang seperti sorga indahnya. Dari puncak ini tampak kota Yangsuo di sekitar gunung berlapis-lapis dan berwama hijau, seolah-olah kota itu dipeluk oleh sekumpulan daun-daun bunga.

   Tak jauh dari situ tampak Gunung Pelayan Pelajar. Bentuknya seperti seorang kacung pelajar yang duduk tegak lurus, membuka mulut mendeklamasikan sajak! Dan di sebelah kiri tampak pula dua buah puncak yang berdiri sejajar seperti kembar. Itulah Gunung Besi dengan dua puncaknya Sepasang Singa yang tersohor, yang berdiri berhadapan dengan Gunung Pelayan Pelajar. Memang bentuk kedua buah puncak itu mirip dengan singa betina dan singa jantan, sepasang singa yang duduk dengan tenang, gagah perkasa, akan tetapi jinak dan tidak ganas. Tebing-tebing gunung yang menjadi dinding di kanan kiri sungai yang melalui pegunungan, menimbulkan pemandangan yang aneh. Ada yang tebingnya berwarna putih berderet-deret sehingga penduduk di sekitar Sungai Li memberinya nama Pegunungan Tebing Putih. Tak jauh dari situ, tebingnya berderet dengan warna merah, dan diberi nama Pegunungan Tebing Merah.

   Betapa luar biasa pemandangan di situ dapat kita bayangkan. Di antara warna kehijauan pegunungan tampak tebing berwarna merah dan putih itu! Semua keindahan ini makin menawan hati kalau kita terus ke selatan, memasuki daerah Simping. Di sini terdapat Pegunungan Panca Puncak dan Gunung Lukisan. Masih banyak lagi pegunungan dengan puncak-puncaknya yang berbentuk aneh-aneh sehingga diberi nama yang aneh-aneh pula. Patutlah kalau para pujangga, para penyair terkemuka dari berbagai dinasti di sepanjang sejarah Tiongkok berdatangan ke daerah ini untuk menikmati tamasya alam yang luar biasa, menulis sajak-sajak abadi untuk memujinya. Para pujangga terkenal dari Dinasti Tang, misalnya Han Yi, Liu Cung Yuan, Huang Ting Cian, Mi Fu, Fan Ceng Ta, pernah berdarmawisata ke daerah ini.

   Tentu saja lebih banyak lagi para pujangga dari dinasti lebih muda yang mengagumi tempat itu. Semenjak kecilnya, Kun Liong tinggal di kota. Tentu saja dia merasa girang dan betah sekali tinggal di tempat yang indah itu. Tubuhnya menjadi segar, kulit mukanya putih kemerahan, sepasang matanya bercahaya dan bibir mulutnya merah seperti bibir seorang dara remaja. Akan tetapi kepalanya tetap saja gundul pelontos tidak ada rambutnya! Sampai lima tahun lamanya Kun Liong belajar dengan amat tekunnya, digembleng oleh Bun Hwat Tosu yang tidak sembarangan menurunkan ilmunya. Memang amat untung bagi Kun Liong. Karena kakek itu maklum bahwa Kun Liong adalah cucu murid Tiong Pek Hosiang dan murid keponakan Cia Keng Hong, maka Bun Hwat Tosu tidak berani sembarangan menurunkan ilmu yang remeh kepada anak itu!

   Tentu saja dia merasa sungkan kalau tidak mewariskan ilmu-ilmu pilihan yang akan dihargai oleh kedua orang tokoh besar dunia persilatan itu. Maka dalam waktu lima tahun itu dia melatih Kun Liong yang sudah memiliki dasar yang baik berkat gemblengan ayah bundanya dengan dua ilmu baru yang diciptakan sendiri setelah dia mengundurkan diri dari Hoa-san-pai. Yang pertama adalah ilmu tangan kosong yang bemama Pat-hong-sin-kun (Ilmu Silat Delapan Penjuru Angin) dan yang ke dua adalah ilmu tongkat kerena memang kakek ini terkenal sekali dengan kepandaiannya bermain tongkat ketika dia masih memegang tongkat kayu cendana berukir kepala naga. Ilmu tongkat yang diajarkan kepada Kun Liong disebut Siang-liong-pang (Tongkat Sepasang Naga), disebut demikian karena gerakan kedua ujung tongkat kalau dimainkan seolah-olah merupakan dua ekor naga mengeroyok lawan!

   Biarpun selama lima tahun hanya disuruh berlatih dengan dua macam ilmu silat ini, namun Kun Liong tidak pernah mengomel, melainkan berlatih dengan amat tekunnya sehingga Bun Hwat Tosu merasa kagum dan juga lega hatinya. Apa pun yang akan terjadi dengan keputusannya menurunkan ilmunya kepada Kun Liong, yang jelas, pemuda ini tidak akan mengecewakan sebagai muridnya, biarpun murid yang tidak sah atau tidak diakuinya! Rasa girang dan puas ini membuat Bun Hwat Tosu lupa diri dan timbul keinginan hatinya untuk menurunkan ilmu kepada Kun Liong, ilmu simpanannya yang khusus diciptakannya untuk menandingi Ilmu Thi-ki-i-beng dari Cia Keng Hong yang kabarnya tiada yang dapat menandinginya!

   Pendekar besar Cia Keng Hong memang memiliki ilmu yang amat aneh, juga amat hebat, yaitu yang disebut Thi-ki-i-beng (Mencuri Hawa Memindahkan Nyawa). Ilmu ini adalah semacam daya tenaga sakti sinkang yang kalau digunakan begitu tangan menampel ke tubuh lawan, maka otomatis tenaga sinkang lawan akan tersedot sampai habis masuk ke dalam tubuh sendiri. Karena memiliki Ilmu Thi-ki-i-beng inilah maka Cia Keng Hong dianggap sebagai tokoh yang paling hebat kepandaiannya. Dan karena ilmu aneh yang dahulu dipakai perebutan di antara orang-orang sakti di seluruh dunia kang-ouw (baca ceritaPedang Kayu Harum) diam-diam Bun Hwat Tosu merasa penasaran dan mencurahkan seluruh kepandaiannya untuk menciptakan sebuah ilmu yang khusus untuk menghadapi Thi-ki-i-beng! Dan kini, ilmu itu dia ajarkan kepada Kun Liong agar ini yang akan menandingi sehingga kalau berhasil, ilmu nomor satu di dunia persilatan itu telah ditaklukkan olehnya!

   "Kun Liong, pemahkah engkau mendengar akan ilmu yang disebut Thi-ki-i-beng?"

   Setelah pemuda
(Lanjut ke Jilid 08)
Petualang Asmara (Seri ke 02 - Serial Pedang Kayu Harum)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 08
itu belajar selama empat tahun, suatu pagi Bun Hwat Tosu bertanya. Kun Liong menggeleng kepala.

   "Teecu belum pernah dengar, Locianpwe. Ilmu apakah itu?"

   "Thi-ki-i-beng pernah menggegerkan dunia persilatan dan kiranya di dunia ini hanya seorang saja yang memilikinya, yaitu Cia Keng Hong."

   "Ahhh, Supek (Uwa Guru)? Memang, menurut penuturan Ibu, Cia-supek adalah seorang sakti yang jarang ada tandingannya."

   "Ibumu benar. Dan kesaktiannya itu terutama sekali karena dia memiliki Thi-ki-i-beng. Akan tetapi, pinto telah menciptakan sebuah daya sin-kang yang hendak pinto ajarkan kepadamu. Ilmu ini adalah kebalikan dari Thi-ki-i-beng. Kalau Thi-ki-i-beng mempunyai daya menyedot sin-kang lawan, maka ilmu ini mempunyai daya membetot sehingga kalau engkau sudah berlatih dengan sempurna, pukulan-pukulan beracun lawan dapat kauhindarkan dengan ilmu ini, juga mungkin, dalam hal ini pinto sendiri belum yakin benar, mungkin saja ilmu ini akan dapat menahan daya sedot Thi-ki-i-beng."

   Kun Liong menganggukkan kepalanya yang gundul.

   "Maukah engkau berjanji kepadaku?"

   "Tentu saja, Locianpwe."

   "Kelak, kalau ada kesempatan, engkau cobakanlah sin-kang ini untuk menahan Thi-ki-i-beng dari Cia Keng Hong. Maukah engkau?"

   Kun Liong terkejut dan maklum betapa akan sulitnya mencoba ilmu sakti dari supeknya itu. Akan tetapi melihat betapa sikap kakek itu penuh gairah, diam-diam otaknya yang cerdik dapat menangkap bahwa agaknya bekas Ketua Hoa-san-pai ini sengaja menciptakan ilmu sin-kang ini untuk menghadapi Thi-ki-i-beng, bukan menghadapi sebagai musuh, melainkan hanya memuaskan hati sudah dapat memecahkan Thi-ki-i-beng yang tersohor di seluruh dunia persilatan. Maka dia tidak tega untuk menolak, benar-benar tidak tega, bukan karena inginnya mempelajari ilmu sin-kang itu.

   "Teecu berjanji, Locianpwe."

   "Bagus! Nah mulai sekarang, kalau siang kau pergunakan untuk melatih kedua ilmu silat yang sudah mendekati kesempurnaan itu, kalau malam engkau pergunakan untuk melatih sin-kang ini."

   Mulai hari itu, Bun Hwat Tosu melatih sin-kangnya yang memiliki daya membetot itu kepada Kun Liong, yang menerimanya dan berlatih dengan amat tekun, kadang-kadang sampai tidak tidur semalam suntuk! Demikianlah, lima tahun lewat dengan cepatnya, Kun Liong telah berusia lima belas tahun, menjadi seorang pemuda remaja yang bertubuh sedang dengan pinggang kecil dan dada lebar. Wajahnya tampan sekali, kadang-kadang kalau dia tersenyum dan menggerakkan alis malah kelihatan cantik karena mulut, mata dan gerakan dagunya mirip dengan ibunya. Gui Yan Cu seorang wanita yang amat cantik jelita. Dagunya yang amat meruncing itu kadang-kadang tampak lembut seperti wanita,

   Akan tetapi kadang-kadang mengeras dengan sedikit lekuk membayangkan kekuatan kemauan yang tak tertundukkan. Sinar matanya yang kadang-kadang lembut seolah-olah wataknya lemah dan cengeng, akan tetapi kadang-kadang sinar matanya membayangkan cahaya kilat yang menyeramkan, keras dan tajam menembus jantung. Matanya lebar, kepalanya yang masih tetap gundul itu bundar dan dahinya lebar. Alisnya berbentuk golok, hidungnya mancung dan mulutnya agak kecil. Mungkin karena selama lima tahun hidup di samping seorang kakek tua renta, seorang tosu yang mengutamakan kesederhanaan dan kewajaran, maka pakaian Kun Liong juga sederhana sekali, demikian pula dalam gerak-geriknya tampak kesederhanaan dan kewajaran, sungguhpun kadang-kadang bersinar dan mulutnya tersenyum penuh kenakalan.

   "Kun Liong, sudah saatnya pinto mengakhiri hubungan di antara kita. Lima tahun telah lewat seperti yang pinto janjikan dan pinto telah berusaha sebaik mungkin untuk menurunkan ilmu-ilmu yang tertinggi yang pinto miliki kepadamu. Mulai saat ini, kita berpisah dan engkau boleh mengambil jalan hidupmu sendiri. Pinto tidak menganjurkan atau memaksamu, akan tetapi sebaiknya kalau engkau kembali kepada orang tuamu agar mereka tidak gelisah memikirkan kepergianmu. Nah, selamat berpisah!"

   Tanpa menanti jawaban Kun Liong yang sudah menjatuhkan diri berlutut, kakek itu melangkah pergi meninggalkan lereng Gunung Teratai Biru. Sampai beberapa lama Kun Liong tetap berlutut, menekan keharuan hatinya. Betapapun juga, selama lima tahun dia tinggal di kuil bersama gurunya, berlatih silat di samping melayani gurunya, mencari kebutuhan mereka sehari-hari. Selama lima tahun itu hubungannya dengan guru yang tidak mau diakui sebagai guru itu, berjalan baik sehingga ada pula ikatan batin antara dia dan gurunya dan begitu gurunya pergi, Kun Liong merasa terharu dan merasa betapa sunyi dan tidak menyenangkan tempat yang indah itu! Dia bangkit berdiri, memandang ke sekelilingnya dan menghela napas panjang. Terngiang di telinganya ucapan Bun Hwat Tosu ketika bicara dengannya mengenai keindahan, ketika dia memuji keindahan tamasya alam di situ.

   "Memang indah sekali tamasya alam di sini, Kun Liong. Akan tetapi apakah engkau kira hanya di sini saja yang indah pemandangan alamnya? Di manapun juga, di dalam kota yang ramai dan sibuk, di dusun-dusun yang kotor dan miskin, di mana saja adalah indah kalau orang yang melihatnya berada dalam keadaan bebas pikirannya. Keindahan terasa dan tampak oleh orang yang tidak terganggu pikirannya. Akan tetapi sekali pikiran manusia kemasukan hal-hal yang menimbulkan suka atau duka sehingga pikiran itu menjadi penuh sesak, mata tidak akan dapat melihat lagi keindahan di sekelilingnya. Yang bersenang-senang akan buta oleh kesenangannya, yang berduka akan buta oleh kedukaannya!"

   Sebagai seorang pemuda tanggung lebih mudah bagi Kun Liong untuk memenuhi kebutuhan perutnya dengan jalan bekerja di sepanjang perjalanannya. Dia membantu para pelancong membawakan barang-barangnya, adakalanya membantu penebang kayu dan akhirnya dia membantu tukang perahu muatan di sepanjang Sungai Huang-ho. Dengan cara ini, akhirnya dia sampai juga ke Leng-kok.

   Tidak ada seorang pun yang mengenal pemuda tanggung yang berkepala gundul ini, karena lima tahun yang lalu, Kun Liong masih merupakan seorang anak kecil yang berpakaian indah dan berambut panjang hitam mengkilap! Sekarang dia merupakan seorang pemuda tanggung berkepala gundul, berpakaian sederhana dan agak butut, mukanya agak kurus dan gerak-geriknya sederhana. Bahkan Liok Siu Hok, kakek yang sudah tua itu sama sekali tidak mengenal cucu keponakannya ini ketika Kun Liong berdiri di depan toko citanya. Disangkanya hanya seorang tamu yang hendak berbelanja, sungguhpun dia memandang heran melihat seorang pemuda aneh, disebut hwesio akan tetapi biarpun gundul pakaiannya bukan seperti pendeta, kalau bukan hwesio mengapa kepalanya gundul? Barulah dia kaget ketika Kun Liong memberi hormat dan berkata,

   "Kukong (Paman kakek), apakah Kukong tidak mengenal padaku? Aku adalah Kun Liong."

   Mata tua yang terbelalak itu makin melebar, kemudian mata itu mengenal wajah di bawah kepala gundul.

   "Aihhhh... Kun Liong... engkau...?"

   Tergopoh-gopoh dan membongkok-bongkok Kakek Liok Siu Hok keluar dari tokonya memegang tangan Kun Liong dan menarik pemuda gundul itu masuk ke dalam rumah setelah memerintahkan seorang pegawai untuk menjaga toko.

   "Engkau ke mana saja? Dan mengapa kepalamu...?"

   "Kukong, aku tadi pulang ke rumah. Kenapa rumahku ditutup? Dan ke mana perginya Ayah dan Ibuku?"

   Kun Liong balas bertanya tanpa menjawab pertanyaan paman kakeknya.

   "Aihhh... mengapa baru sekarang engkau pulang? Telah begitu lama... bertahun-tahun... aku sendiri tidak tahu ke mana perginya mereka setelah terjadi peristiwa hebat itu..."

   "Kukong, apa yang telah terjadi?"

   Kun Liong bertanya. Liok Siu Hok menyuruh cucu keponakannya minum teh yang disuguhkan pelayan, kemudian dia menceritakan semua yang terjadi semenjak Kun Liong pergi. Dia menceritakannya semua, tentang pengobatan gagal, tentang ditangkapnya Yap Cong San dan kemudian dibebaskan dengan paksa oleh Gui Yan Cu, dan betapa rumah keluarga Yap disita oleh pemerintah, toko obatnya ditutup. Ceritanya diselingi dengan tarikan napas panjang penuh penyesalan.

   "Sayang ibumu terlampau keras hati, kalau menurut nasihatku, kita dapat menggunakan uang untuk membebaskan ayahmu dengan jalan halus sehingga tidak perlu mereka melarikan diri dan rumah mereka disita."

   Akan tetapi Kun Liong sudah tidak mendengarkan lagi karena dia telah menangis! Bukan main menyesal hatinya dan tampaklah dengan jelas sekarang betapa perbuatannya yang nakal dahulu itu telah menimbulkan malapetaka yang menimpa ayah bundanya! Ayah bundanya celaka karena dia! Kegagalan mengobati itu tentu karena tertumpahnya obat, ditumpahkan oleh Pek-pek, anjing peliharaan yang lari dikejar dan ditakut-takuti dengan mengikatkan kaleng-kaleng pada ekornya. Tentu ayahnya ditahan karena gagal mengobati, dan ibunya telah membebaskan ayahnya. Karena itu, ayah bundanya terpaksa lari. Mereka menjadi orang-orang buruan, menjadi pelarian dan rumah serta toko disita pemerintah. Semua gara-gara dia!

   "Sudahlah, Kun Liong, jangan menangis. Masih untung bahwa mereka itu dapat menyelamatkan diri dan bahwa engkau ternyata juga selamat. Ke mana saja engkau pergi dari mengapa kepalamu gundul? Apakah engkau masuk menjadi hwesio?"

   Kun Liong menggeleng kepalanya.

   "Aku pergi belajar ilmu, Kukong, dan tentang kepalaku... aku baru senang gundul, begitulah. Sekarang aku hendak pergi menyusul ayah ibuku. Ke mana kiranya mereka pergi, Kukong?"

   "Mana aku tahu? Mereka pergi tanpa memberi tahu dan semenjak itu, tak pernah memberi kabar. Aihhh, semenjak kecil ayahmu memang berdarah perantau dan petualang!"

   Kakek itu menarik napas panjang dan menggeleng kepalanya, kelihatan berduka sekali.

   "Dan engkau jangan pergi, biarlah menunggu saja di sini."

   "Tidak, Kukong. Sekarang juga aku akan pergi mencari ayah ibuku."

   Kun Liong bangkit dari duduknya.

   "Eh-eeehhh"

   Nanti dulu, baru saja datang masa mau pergi lagi?"

   "Biarlah, Kukong. Aku harus cepat dapat menemukan ayah bundaku."

   Memang di dalam hatinya Kun Liong ingin segera menghadap ayah bundanya untuk menyatakan penyesalannya dan untuk minta ampun atas segala kesalahannya.

   "Hemm, kau keras hati seperti ayahmu. Setidaknya engkau harus menerima bekal dariku, dan biar kusuruh carikan seekor kuda untukmu""

   "Tidak usah, Kukong. Aku dapat berjalan kaki, pula, tidak biasa menunggang kuda""

   "Aihhh, kalau begitu, kau harus membawa bekal uang, untuk keperluan di jalan."

   Tanpa menanti jawaban, tergopoh-gopoh kakek itu lari ke dalam kamarnya dan tak lama kemudian dia sudah keluar membawa sebuah buntalan yang agak besar.

   "Terimalah ini, pakaian dan uang. Pakaian baru, mungkin agak kebesaran bagimu, akan tetapi ergkau sih, terburu-buru, kalau tidak tentu dapat kusuruh buatkan beberapa stel."

   Kun Liong tidak berani menolaknya, takut menyinggung perasaan paman kakeknya yang sudah tua itu. Dia menerima bungkusan dan mengangkat kedua tangan memberi hormat, mengucapkan terima kasih, kemudian meninggalkan rumah kakek itu yang mengantar sampai di depan toko sambil menarik napas berulang-ulang dan menggelengkan kepala dengan muka muram. Setelah keluar dari kota Leng-kok, Kun Liong sejenak berdiri bingung. Ke mana dia hendak menuju? Ke mana harus mencari ayah bundanya yang menjadi orang pelarian? Ke Cin-ling-san, bisik hatinya.

   Tidak salah lagi dalam menghadapi kesukaran itu, tentu ayah bundanya pergi kepada supeknya, Cia Keng Hong, Ketua Cin-ling-pai di Gunung Cin-ling-san! Dengan langkah tegap dan hati mantap Kun Liong mulai melakukan perjalanan menuju ke Cin-ling-san. Dia belum pernah pergi ke tempat itu, akan tetapi ayahnya pernah menceritakan kepadanya di mana arah dan letaknya Cin-ling-san, tempat kediaman supeknya yarig dipuji-puji oleh ayahnya dan terutama ibunya itu. Kun Liong dapat melakukan perjalanan cepat karena sekarang dia tidak perlu lagi menunda-nunda perjalanan untuk bekerja dan mencukupi kebutuhan perutnya. Bekal uang yang diterima dari kukongnya cukup banyak, bahkan lima stel pakaian dalam buntalannya itu cukup untuk dipakai ganti pakaiannya yang kotor dan sudah butut.

   Beberapa pekan kemudian, karena hari sudah mulai gelap, dia berhenti di kota Taibun di sebelah selatan kota Tai-goan, di tepi Sungai Fen-ho. Pegunungan Cin-ling-san sudah tidak terlalu jauh lagi. Dia sudah tiba di sebelah utara kota Sian dan Pegunungan Cin-ling-san terletak di sebelah selatan kota Sian, memanjang ke barat. Ketika dia mengikuti pelayan menuju ke sebuah kamar di losmen kecil kota Taibun, dia menjadi perhatian para tamu lain. Dengan acuh tak acuh Kun Liong melangkah terus biarpun dia maklum bahwa seperti biasa, kepala gundulnya yang menarik perhatian orang. Dia sudah terlalu biasa dengan hal ini sehingga tidak merasa mendongkol lagi seperti dahulu ketika mula-mula kepalanya menjadi gundul. Betapapun juga, dia melirik dengan muka terasa panas sekali ketika melihat bahwa di antara mereka yang memandangnya dengan senyum ditahan,

   Tampak juga seorang dara remaja yang cantik manis. Biarpun dara itu cepat menutupi mulutnya dengan saputangan sutera ketika dia lewat, namun Kun Liong maklum bahwa seperti yang lain, tentu dara itu pun merasa lucu melihat seorang pemuda bukan pendeta berkepala gundul pelontos! Dia merasa malu dan juga jengkel. Kalau orang lain yang mentertawakannya masih tidak mengapa. Akan tetapi seorang dara remaja! Buruk benarkah kepalanya? Dia menghampiri meja di mana terdapat tempat air yang disediakan pelayan tadi, untuk mencuci muka. Melihat bayangan kepala gundulnya di dalam air, Kun Liong menyeringai dengan hati kesal. Celakanya, ketika dia menyeringai ini mukanya kelihatan makin tidak menyenangkan baginya, seolah-olah wajah berkepala gundul di dalam baskom air itu pun ikut-ikutan mengejek!

   "Sialan kamu!"

   Dia memaki dan mencelupkan kepalanya ke dalam air baskom, sengaja membenamkannya lama-lama untuk menghukum muka yang mengejeknya itu sampai akhirnya terpaksa diangkatnya kembali mukanya dari dalam air dengan napas terengah-engah! Digosoknya muka dan kepala gundulnya kuat-kuat dengan saputangan. Air baskom sudah diam lagi sehingga dapat menampung bayangannya. Akan tetapi bayangan muka dan kepala yang kemerahan karena digosok kuat-kuat itu makin menyebaikan hatinya.

   "Biarlah dia tertawa sampai mulas! Kepala dan mukaku sudah begini, siapa peduli?"

   Pikiran ini agak mendinginkan hatinya, akan tetapi dia masih merasa sebal dan melempar tubuhnya ke atas pembaringan. Terbayanglah wajah yang ayu, lesung pipit yang manis kalau wajah itu tertawa, dan terdengarlah seperti bisik-bisik di telinganya,

   "Tidak buruk, bahkan kelihatan bersih sekali. Yang banyak rambutnya mungkin malah penuh kutu. Hi-hik!"

   Ahhh, Li Hwa memang seorang dara yang ayu manis!

   Mungkin satu-satunya anak perempuan yang tidak membenci gundulnya, yang tidak mentertawakan gundulnya! Di manakah anak itu sekarang? Tentu sudah menjadi seorang dara remaja yang cantik! Dan tentu lihai bukan kepalang, karena dara itu adalah murid dari The Hoo, panglima yang kabarnya memiliki kesaktian seperti dewa itu! Kun Liong menarik napas panjang, agak kecewa. Dia sadar dan kaget. Aihh, mengapa dia kecewa? Mengapa dia seperti menyesal dan berduka begitu teringat bahwa Li Hwa adalah murid The Hoo? Dia bangkit duduk dan termenung, meneliti diri sendiri. Ada apa dengan dia? Tadi, bayangan wajah Li Hwa, gema suara dara itu membuatnya gembira dan senang karena anak perempuan itu tidak mencela kepala gundulnya. Akan tetapi mengapa tanpa disadarinya, tiba-tiba dia menarik napas panjang dengan penuh sesal dan kecewa?

   "Wah, apakah aku tiba-tiba merasa iri hati?"

   Demikian celanya. Tidak, bukan iri hati karena anak itu menjadi murid seorang sakti, karena dia sendiri juga telah diajar ilmu silat oleh Bun Hwat Tosu yang juga bukan manusia sembarangan. Habis mengapa? Karena putus harapan, melihat kedudukan Li Hwa terlalu tinggi untuk dia? Terlalu tinggi untuk apa? Pertanyaan ini seperti mengejek dan kembali Kun Liong merasa bimbang dan jengkel.

   "Plakk!"

   Kepala gundulnya ditamparnya sendiri.

   "Uhhh! Tolol benar! Tentu saja terlalu tinggi untuk menjadi temanmu. Habis apa lagi? Dan masih belum tentu lagi! Yang berteman bukan gurunya melainkan dia. Kalau memang dia mau berteman dengan aku, siapa berhak melarang? Dan kalau dia"

   Wah celaka, aku sudah gila!"

   Kun Liong terbelalak.

   "Plakk!"

   Gundulnya menjadi sasaran tangannya lagi.

   "Apa-apaan ini mengenang dan bicara sendiri tentang Li Hwa sedangkan gadis itu tidak berada di sini? Tolol!"

   Setelah menempiling gundulnya sekali lagi, Kun Liong tidur pulas! Dua jam kemudian dia terbangun oleh rasa laparnya. Cepat dia mencuci muka lagi, membawa bekal uang dan keluar dari losmen untuk mencari makanan. Melihat sebuah restoran cukup besar tak jauh dari losmen, dia segera melangkah masuk. Seorang pelayan menyambutnya.

   "Apakah Siauw suhu (pendeta cilik) hendak makan? Maaf, di sini tidak disediakan makanan ciak-jai (sayur tanpa daging), harap Siauw suhu mencari di warung lain saja."

   Kun Liong menelan ludah berikut kata-kata makian yang sudah berada di ujung lidah. Setelah kemarahannya tertelan, dia berkata,

   "Aku bukan hwesio!"

   "Ahh, maaf"

   Tuan. Apakah Tuan hanya sendiri? Sayang meja telah penuh semua, kecuali kalau Tuan suka makan dengan membonceng di meja tamu lain""

   Kun Liong mendengar suara ketawa ditahan dan cepat dia nenoleh. Benar saja! Gadis remaja di losmen tadi yang kini lagi-lagi mendekap mulut dengan saputangan suteranya, menahan suara ketawa biarpun pundaknya bergoyang-goyang! Dan dua orang laki-laki yang duduk semeja dengan nona muda itu juga tersenyum. Seorang di antara mereka, yang usianya kurang lebih empat puluh tahun, segera mengangkat tangan berkata kepada pelayan yang sedang longak-longok mencarikan tempat duduk untuk Kun Liong.

   "He, bung pelayan! Biarlah Tuan muda itu duduk makan bersama kami, meja kami masih kosong!"

   Pelayan itu tertawa lebar, mengajak Kun Liong menghampiri meja itu dan membungkuk mengucapkan terima kasih kepada orang yang menawarkan tempat duduk untuk Kun Liong itu, kemudian Si Pelayan menoleh kepada Kun Liong, bertanya,

   "Tuan hendak memesan makanan apa?"

   "Ahh, tambah saja makanan yang kami pesan untuk seorang lagi. Dia menjadi tamu kami!"

   Kata seorang laki-laki yang ke dua dengan suara ramah.

   Si Pelayan mengangguk-angguk kemudian pergi. Kun Liong masih berdiri di dekat meja mereka. Dua orang laki-laki itu kelihatan peramah. Yang tua berusia empat puluh tahun, orang ke dua kurang lebih tiga puluh tahun, sedangkan dara remaja yang ternyata bermuka segar dengan sepasang pipi kemerahan, sepasang mata yang membayangkan kelincahan dan kejenakaan itu tentu tidak akan lebih dari dia sendiri. Mungkin baru empat belas tahun. Akan tetapi seperti dua orang laki-laki itu, dara remaja itu pun membawa sebatang pedang di punggungnya! Melihat dari sinar mata dan sikap dua orang laki-laki itu ramah dan bersungguh menawarkan tempat untuknya, dan betapa dara remaja itu sudah tidak tertawa dan geli lagi, dia pun mengangguk dan berkata sederhana,

   "Terima kasih!"

   Kemudian duduk di atas bangku dekat meja, berhadapan dengan dara remaja itu. Sepasang pipi Kun Liong masih tampak kemerahan karena tadi menahan kemarahan terhadap pelayan yang menyebutnya pendeta cilik. Melihat ini, laki-laki yang berusia tiga puluh tahun, berkata,

   "Pelayan itu mengeluarkan kata-kata yang tidak menyenangkan, akan tetapi dia tidak sengaja, harap saja tidak dipusingkan lagi."

   Kun Liong mengangguk tanpa menjawab. Matanya mengerling kepada dara remaja di depannya dan ternyata gadis kecil itu memandang kepadanya penuh perhatian secara terbuka, tidak seperti dara-dara lain yang dijumpainya di dalam perjalanan yang selalu memandang kepada pria dengan cara sembunyi-sembunyi, bahkan memandangi gundulnya pun mereka lakukan dengan sembunyi. Kini dara ini tidak saja menatap wajahnya dengan sepasang mata yang jeli dan terang-terangan, bahkan agaknya mengagumi kepalanya yang gundul. Terlalu sekali! Dia menjadi malu dan terpaksa menundukkan muka seperti seorang kanak-kanak yang melakukan sesuatu yang terlarang. Melihat ini laki-laki yang tertua berkata dengan suara menghibur,

   "Harap saja Siauw suhu tidak usah malu karena sekarang banyak saja hwesio yang melepaskan pantangan makan daging dan minum arak, dan""

   "Saya bukan hwesio!"

   Tiba-tiba Kun Liong memotong dan suaranya agak kaku karena dapat dibayangkan betapa sebal hatinya ketika mendapat kenyataan bahwa orang yang disangkanya ramah ini pun ternyata menduga dia seorang pendeta cilik! Mengertilah ia sekarang mengapa dia menjadi bahan tertawaan. Tentu dia disangka seorang hwesio yang sengaja menyamar dengan pakaian biasa agar dapat leluasa makan daging, minum arak, lupa kepada kepalanya yang gundul!

   "Saya bukan hwesio, apalagi hwesio yang pura-pura suci tapi diam-diam menyamar untuk dapat makan daging dan minum arak!"

   Tiga orang itu saling pandang dengan mata terbuka lebar, dan tiba-tiba dara itu pun tak dapat menahan ketawanya. Biarpun dia cepat menutupi mulutnya dengan saputangan sutera hijaunya, namun masih tampak oleh Kun Liong betapa sepasang bibir yang merah itu terbuka, memperlihatkan rongga mulut yang lebih merah lagi dengan deretan gigi putih mengkilap.

   "Brakkk!"

   Kun Liong menggebrak meja di depannya dengan kedua telapak tangannya, tidak terlalu keras akan tetapi cukup menyatakan kemendongkolan hatinya.

   "Mengapa engkau mentertawakan aku?"

   Berbeda dengan sikapnya kepada laki-laki itu, dengan kata-kata cukup sopan biarpun penasaran, terhadap dara ini yang dianggapnya tidak lebih tua dari dia. Kun Liong bersikap kasar dan biasa saja, apalagi karena dia marah mengira nona muda itu mentertawakannya. Dara itu memandang Kun Liong, makin geli melihat pemuda remaja gundul itu marah-marah sehingga dari dekapan saputangannya masih terdengar kekehnya.

   "Aihh, harap suka maafkan sumoi yang masih muda dan suka bergurau,"

   Laki-laki tertua berkata, kemudian dia menoleh kepada dara remaja itu sambil berkata.

   "Sumoi, sudahlah jangan tertawa dan menimbulkan salah paham."

   Petualang Asmara Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Laki-laki ke dua juga berkata,

   "Maafkanlah kami yang salah menduga karena sesungguhnya kami mengira bahwa engkau adalah seorang hwesio muda."

   Dara remaja itu menurunkan saputangannya dan biarpun mulutnya tidak tersenyum lagi, akan tetapi sepasang matanya bersinar-sinar nakal, mulutnya cemberut karena dia ditegur suhengnya, lalu dia berkata sambil mengerling ke arah Kun Liong,

   "Salahnya sendiri! Orang semuda dia memakai potongan gundul, mana pantas? Sepatutnya dia memelihara rambut seperti orang muda pada umumnya."

   "Ada hak apakah engkau hendak mengurus kepala dan rambut orang? Ini adalah kepalaku sendiri, hendak kugundul, atau kupelihara rambut sampai ke kaki, peduli apa engkau? Kalau kau hendak mengatur kepalaku, aku pun bisa saja bilang bahwa kau tidak pantas mengatur rambutmu seperti itu, pantasnya engkau gundul seperti aku!"

   "Ihhh...!"

   Dara remaja itu melompat berdiri dari bangkunya dan meraba gagang pedangnya.

   "Engkau"

   Engkau menghina, ya?"

   Bentaknya.

   "Nah, itu! Kepala orang untuk main-main sesukanya, dibalas satu kali saja sudah mau mengamuk!"

   "Gundul plontos! Kapan aku main-main dengan kepalamu?"

   "Sumoi! Jangan lancang, simpan pedangmu!"

   Laki-laki tertua membentak sumoinya dan anak perempuan itu sudah menyarungkan kembali pedangnya, duduk di atas bangku dan cemberut, akan tetapi memandang kepada Kun Liong dengan mendelik. Kun Liong bingung juga. Memang kalau dipikir, dara remaja ini tidak pernah main-main dengan kepalanya! Akan tetapi karena sudah terlanjur, dia menjadi nekat dan berkata,

   "Sudah dua kali engkau mentertawakan kepalaku, di losmen tadi dan di sini""

   "Hemm, apakah kalau aku tertawa itu berarti mempermainkan gun"

   Eh, anumu? Apakah kalau aku hendak tertawa harus minta ijin lebih dulu darimu? Begitukah?"

   Kun Liong termangu, tak dapat menjawab lagi. Dara ini ternyata pandai berdebat dan dia sudah didesak ke sudut.

   "Sudahlah, Laote (Adik), harap maafkan kami. Nah, makanan sudah datang, mari kita makan. Silakan!"

   Akan tetapi Kun Liong sudah bangkit berdiri, menjura kepada dua orang laki-laki itu sambil berkata,

   "Harap Ji-wi twako (Kedua Kakak) sudi memaafkan saya. Setelah saya diundang makan oleh Ji-wi yang ramah, saya malah marah-marah, hal ini amatlah kurang ajar, bagaimana siauwte (adik) berani menerimanya? Maafkanlah!"

   Kun Liong mundur, mengangguk dan melangkah keluar dari restoran itu.

   "Sian-sumoi, jangan!"

   Kun Liong yang mendengar suara laki-laki tertua mencegah sumoinya ini, tidak menoleh. Jadi namanya pakai huruf Sian, ya? Hemm, anak perempuan yang sombong! Awas kau, ya? Eh, mengapa awas? Dia mau apa? Ingin Kun Liong menampar kepalanya sendiri, untung dia teringat bahwa banyak mata mengikutinya ke luar dari restoran itu. Tak lama kemudian dia memasuki restoran lain tak jauh dari situ, restoran yang lebih besar. Seorang pelayan menyambutnya dan cepat Kun Liong mendahuluinya berkata,

   "Aku bukan hwesio. Aku mau pesan makanan dan minuman yang terbaik!"

   Pelayan itu tercengang, menatap gundulnya, kemudian tersenyum lebar dan dengan ramah mempersilakannya duduk. Di restoran ini masih banyak meja kosong dan Kun Liong duduk sendiri menghadap meja, tidak peduli akan pandang mata para tamu yang sedang makan minum di ruangan itu. Karena tidak mengenal nama-nama masakan, apalagi yang mahal-mahal dan yang tidak pemah dimakannya, dia memesan yang mudah saja, yaitu nasi, bakmi, daging panggang dan arak! Mulailah dia makan dengan lahapnya karena memang perutnya sudah lapar sekali. Tidak ingat lagi dia kepada tiga orang di restoran tadi, sungguhpun suara dara remaja yang bernama Sian itu masih mengiang di telinganya.

   "Yakinkah engkau bahwa mereka adalah kaki tangan pemerintah?"

   Suara ini halus dan kata-katanya teratur baik, bukan suara orang-orang kasar.

   "Tentu saja yakin, Ouw-twako. Mereka bertiga sebetulnya adalah murid-murid Pendekar Gak Liong di Secuan, dan Pendekar Gak adalah murid keponakan orang she The itu. Bahkan yang termuda, Nona Hwi Sian, biarpun usianya baru belasan tahun pernah menewaskan seorang anggauta kami. Inilah saatnya Twako membuat jasa untuk Kwi-eng-pai."

   "Hemm, mudah saja. Cantikkah nona itu?"

   "Aih, Twako hanya memikirkan wanita cantik saja. Nona itu cantik jelita, hanya usianya baru empat belas tahun."

   "Ha, lebih muda lebih menyenangkan. Benar mereka berada di restoran itu?"

   "Benar, aku melihat mereka masuk tadi."

   "Hayo, tunggu apa lagi? Kita datangi mereka."

   "Jangan, Twako. Kota ini cukup besar dan karena mereka masih kaki tangan orang she The, tentu pembesar setempat akan membela mereka dan kalau dikerahkan pasukan rencana kita bisa gagal. Sebaiknya kita membayangi mereka dan kalau mereka berada di tempat sunyi..."

   "Sssttt... cukup. Mari minum!"

   Diam-diam Kun Liong terkejut bukan main. Tadinya dia tidak tertarik akan percakapan dua orang yang duduk di meja sebelah belakangnya itu, akan tetapi ketika mereka menyebut-nyebut nama Hwi Sian, nona yang berusia empat belas tahun, segera dia teringat kepada dara remaja bernama Sian yang tadi cekcok dengan dia. Apalagi mendengar disebutnya Kwi-eng-pai, dia teringat akan anak buah Si Bayangan Hantu yang menculik Li Hwa. Bukankah Kwi-eng-pai berarti Perkumpulan Bayangan Hantu dan besar kemungkinannya adalah orang-orang yang dahulu menculik Li Hwa? Dan isi percakapan tadi sungguh mencurigakan sekali.

   "Traakkk..."

   Sebuah di antara sumpit Kun Liong terjatuh, menggelinding di bawah mejanya. Tentu saja hal ini dia sengaja dan dia sudah merangkak ke kolong meja mengambil sumpitnya. Kesempatan ini dia pergunakan untuk berpaling dan memandang kepada dua orang yang duduk di sebelah belakangnya. Betapa kagetnya ketika dia mengenal dua orang itu. Yang seorang adalah seorang laki-laki berusia tiga puluh tahun, berwajah tampan. Berpakaian seperti seorang sastrawan kaya, yang dikenalnya sebagal Ouw Ciang Houw sastrawan yang dahulu pemah ikut di perahunya,

   Kemudian memperkosa isteri guru silat Gui Tong yang kemudian mengakibatkan kematian suami isteri itu! Adapun orang ke dua adalah seorang laki-laki yang usianya lebih tua beberapa tahun, berpakaian serba kuning yang dikenalnya sebagai pemimpin gerombolan atau Ketua Ui-hong-pang di lembah Sungai Huang-ho, yang menculik Li Hwa! Tidak salah dugaannya. Teringat dia betapa orang ini, kalau tidak salah bernama Kiang Ti dan menurut Bun Hwat Tosu adalah murid kepala Si Bayangan Hantu, dengan Ilmu Pukulan Hek-tok-ciang telah menghantam Bun Hwat Tosu akan tetapi yang akibatnya payah bagi orang ini sendiri. Kini, dua orang jahat itu telah bersekutu agaknya dan mempunyai niat yang tidak baik terhadap nona bernama Sian yang agaknya lengkapnya bernama Hwi Sian itu dan dua orang suhengnya (kakak seperguruannya)!

   Menghadapi hal ini, berdebar jantung Kun Liong dan lupa lagi dia akan percekcokannya dengan dara remaja itu. Dia menekan perasaannya dan dengan tenang dia lalu membayar makanannya, keluar dari rumah makan dan diam-diam dia membayangi nona muda dan dua orang suhengnya itu untuk melindungi mereka! Semalam suntuk Kun Liong tidak tidur! Dia melakukan penjagaan dengan diam-diam, siap untuk melindugi tiga orang yang menurut pendengarannya tadi adalah masih cucu keponakan murid dari "orang she The"

   Yang diduganya tentulah Panglima Besar The Hoo, mengingat bahwa panglima itu dimusuhi oleh Si Bayangan Hantu seperti yang diceritakan oleh Bun Hwat Tosu kepadanya. Akan tetapi, tidak terjadi sesuatu di malam hari itu kecuali dia sendiri yang dikeroyok nyamuk karena melakukan penjagaan di luar kamar.

   Akan tetapi Kun Liong tidak menyesal, bahkan merasa lega bahwa pagi-pagi sekali tiga orang itu sudah berangkat pergi meninggalkan losmen. Dia pun segera membayar uang sewa kamar, kemudian dengan diam-diam dia terus membayangi tiga orang itu yang keluar dari kota Taibun menuju ke timur! Biarpun Kun Liong mempunyai tujuan perjalanan ke selatan, akan tetapi pada saat itu dia sama sekali tidak ingat akan hal ini dan terus membayangi tiga orang itu keluar dari kota dan tak lama kemudian mereka melalui sebuah hutan yang sunyi di kaki Pegunungan Thai-hang-san. Tiga orang itu melakukan perjalanan tidak tergesa-gesa dan di sepanjang jalan mereka bersenda-gurau, atau lebih tepat lagi, dara remaja itu yang selalu mengajak kedua orang suhengnya untuk bersenda gurau.

   Dilihat dari jauh, jelas bahwa dara itu memang berwatak lincah gembira, dan diam-diam ada juga dugaan di dalam hati Kun Liong bahwa dara remaja itu bergurau tentang kepala gundulnya! Tiba-tiba terjadilah seperti yang diduganya. Lima orang meloncat keluar dari balik batang pohon! Mengapa lima orang? Kun Liong cepat menyelinap di antara pohon-pohon dan bersembunyi, mengambil keputusan untuk tidak turun tangan membela sebelum tenaganya dibutuhkan. Dia maklum bahwa tiga orang yang "dilindungi"

   Itu adalah orang-orang yang pandai ilmu silat dan pandai pula menjaga diri. Yang membuat dia heran adalah lima orang yang muncul itu. Mengapa di antara mereka tidak ada Kiang Ti dan Ouw-siucai (Sastrawan Ouw) yang cabul? Atau barangkali lima orang ini adalah anak buah Ui-hong-pang yang disuruh turun tangan lebih dulu?

   "Siapakah kalian? Apakah perampok-perampok buta yang tidak melihat orang?"

   Dara remaja itu sudah membentak dan berdiri dengan sikap gagah, sedikitpun tidak kelihatan takut sehingga mengagumkan hati Kun Liong. Pemuda gundul ini pun memandang dengan penuh perhatian kepada lima orang itu. Mereka ini semua berpakaian serba putih seperti orang-orang berkabung. Mendengar pertanyaan dara itu, lima orang tadi menggerakkan kedua tangan.

   "Singgg"!"

   Lima batang golok besar tercabut mengeluarkan suara berdesing dan tangan kiri mereka masing-masing telah mengeluarkan sebuah benda berwarna biru sebesar telapak tangan yang mereka pasangkan di baju mereka sebelah kiri depan dada. Kini tampaklah oleh Kun Liong bahwa benda itu adalah sebuah ukiran bunga teratai putih pada dasar biru. Perkumpulan Pek-lian-kauw (Agama Teratai Putih)!

   "Aihh, kiranya Ngo-wi (Tuan Berlima) dari Pek-lian-kauw? Ada maksud apakah Ngo-wi menghadang perjalanan kami tiga saudara?"

   "Hemm, perlukah kalian masih bertanya lagi?"

   Seorang di antara lima orang itu, yang berjenggot panjang dan bermata sipit sekali berkata.

   "Bukankah kalian bertiga adalah tiga pendekar dari Secuan, murid-murid Gak Liong dan kalian membantu pemerintah memusuhi kami?"

   Laki-laki tinggi kurus itu kini berdiri tegak di dekat sumoinya dan berkata dengan suara lantang,

   "Benar! Aku bernama Poa Su It, ini suteku Tan Swi Bu, dan sumoiku Lim Hwi Sian. Kami bertiga adalah murid-murid Pendekar Gak di Secuan. Akan tetapi kami bukanlah orangnya pemerintah sungguh pun kami akui bahwa Suhu menugaskan kami untuk membantu Susiok-couw (Paman Kakek Guru) The Hoo untuk membersihkan negara dari para pengacau yang membuat negara kacau dan rakyat menderita!"

   "Bagus! Karena itulah maka kami menghadang dan minta nyawa kalian!"

   Teriak orang Pek-lian-kauw yang berjenggot panjang dan ucapannya itu agaknya menjadi komando karena tiba-tiba lima orang Pek-lian-kauw itu sudah menyambit dengan tangan kiri, disusul gerakan mereka menerjang ke depan.

   Tiga orang pendekar Secuan itu menggerakkan tubuh, dengan ringan sekali meloncat ke kanan kiri menghindarkan diri dari sambaran senjata rahasia yang berbentuk kuncup teratai itu, kemudian mereka pun sudah mencabut pedang masing-masing menghadapi para pengeroyok. Kun Liong memandang kagum. Terutama sekali dia amat kagum menyaksikan dara remaja yang kini dia ketahui namanya, Lim Hwi Sian, menggerakkan pedangnya menghadapi seorang anggauta Pek-lian-kauw, sedangkan kedua orang suhengnya masing-masing dikeroyok dua oleh lawan. Dara remaja itu ternyata lihai limu pedangnya. Ketika dia melirik ke arah dua orang laki-laki yang dikeroyok empat orang Pek-lian-kauw, mengertilah ia mengapa dara remaja itu jauh lebih muda daripada kedua orang itu, menjadi adik seperguruan mereka, hal yang tadinya amat mengherankan hatinya.

   Kiranya ilmu pedang dara itu tidak kalah lihai oleh kedua orang suhengnya, dan bahkan dalam hal keringanan tubuh melebihi mereka. Mungkin dara itu kalah dalam hal tenaga saja. Pertandingan itu tidak berlangsung lama, karena lima orang itu segera terdesak hebat. Terdengar seorang di antara mereka, mungkin Si Jenggot, mengeluarkan bunyi bersuit nyaring. Lima orang yang sudah menderita luka-luka goresan pedang itu membanting senjata di atas tanah dan terdengar ledakan-ledakan disusul asap putih tebal. Tiga orang pendekar Secuan cepat melompat ke belakang karena khawatir kalau-kalau terkena senjata rahasia atau asap beracun. Ketika mereka mengejar dengan jalan menghindari asap, ternyata lima orang itu telah lenyap. Kun Liong bernapas lega. Tidak perlu dia turut campur. Untung dia tadi masih bertahan dan tidak muncul.

   Kalau dia muncul, melihat betapa dara remaja itu dan dua orang suhengnya dengan mudah dapat menghalau lawan, tentu dia akan mendapat malu dan bukan tidak mungkin dia akan menjadi bahan ejekan dara manis itu! Selain itu, dia sendiri belum tahu apakah dia akan mampu melawan seorang saja dari kelima anggauta Pek-lian-kauw tadi! Biarpun dia telah mendapat gemblengan dasar ilmu silat tinggi dari ayah bundanya, kemudian dilatih oleh Bun Hwat Tosu yang amat sakti, namun dia sendiri tidak dapat mengukur sampai di mana keampuhan ilmu yang dimilikinya dan tanpa bertanding menghadapi lawan, bagaimana dia mampu mengukur diri sendiri? Akan tetapi, dia amat benci akan perkelahian. Dia mempelajari ilmu bukan untuk berkelahi, melainkan untuk mencegah terjadinya kejahatan yang mengandalkan ilmu silat.

   "Orang-orang Pek-lian-kauw sungguh menjemukan!"

   Lim Hwi Sian berkata sambil menyarungkan pedang dan mengebut-ngebutkan bajunya yang terkena debu.

   "Mereka yang memusuhi orang-orang yang tidak berdosa, akan tetapi mereka selalu mengatakan bahwa pemerintah memusuhi mereka. Kalau mereka tidak memberontak, kiranya Susiok-cow tidak akan memerintahkan para pembantu untuk menentangnya dan Suhu tentu tidak menugaskan kita."

   Tan Swi Bu juga berkata.

   "Kata-kata yang baik!"

   Tiba-tiba terdengar suara orang dan tahu-tahu di situ telah muncul dua orang laki-laki yang tersenyum-senyum. Jantung Kun Liong berdebar tegang melihat dua orang yang memang dinanti-nantikan kemunculannya itu. Ouw Ciang Houw Si Sastrawan cabul dan Kiang Ti, Ketua Ui-hong-pang! Melihat dua orang yang tidak terkenal akan tetapi yang muncul secara tiba-tiba membuktikan ilmu kepandaian mereka yang tinggi, tiga orang pendekar Secuan menjadi kaget. Lim Hwi Sian telah mencabut pedangnya dan membentak dengan suara nyaring,

   "Apakah kalian juga orang-orang Pek-lian-kauw?"

   Ouw-siucai tersenyum lebar dan memandang Hwi Sian dengan sinar mata kagum penuh gairah.

   "Nona kecil yang manis dan pandai ilmu pedang, sungguh mengagumkan sekali!"

   "Cih! Keparat bermulut lancang!"

   Hwi Sian sudah menyerang dengan tusukan pedangnya, akan tetapi dengan gerakan ringan Ouw-siucai miringkan tubuhnya dan mendorong pundak dara itu sehingga terhuyung ke depan.

   "Ihhhh"

   Iblis keparat!"

   "Sumoi, tunggu dulu!"

   Poa Sut It yang menyaksikan ketangkasan sastrawan itu, cepat mencegah sumoinya dan dia berkata kepada mereka.

   "Melihat pakaian dan sikap Ji-wi, agaknya Ji-wi bukan dari Pek-lian-kauw. Siapakah Ji-wi dan ada keperluan apakah dengan kami?"

   "Ha-ha-ha-ha!"

   Kiang Ti tertawa bergelak.

   "Kalian adalah kaki tangan The Hoo seperti yang kami dengar dalam percakapan kalian dengan orang-orang Pek-lian-kauw tadi, dan karena itulah maka kalian harus kami bunuh, kecuali nona ini yang sudah lancang membunuh seorang anggota kami, maka dia harus menebus dosa di dalam tangan Ouw-siucai, ha-ha-ha!"

   Kun Liong merasa sebal mendengar ini dan kini dia mengerti mengapa Ketua Ui-hong-pang itu yang usianya lebih tua menyebut twako (kakak) kepada Ouw-siucai, agaknya untuk menghormat karena dia membutuhkan tenaga bantuan siucai cabul itu. Diam-diam dia ingin sekali keluar dan membuka kejahatan mereka, akan tetapi dia takut menjadi bahan ejekan Hwi Sian, juga dia ingin melihat apakah tiga orang itu sanggup menghadapi dua orang ini yang agaknya lebih lihai daripada kelima orang Pek-lian-kauw tadi, maka dia tetap bersembunyi sambil menonton penuh perhatian. Poa Sut It dan kedua orang adik seperguruannya memandang kepada Kiang Ti dengan tajam, kemudian terdengar Hwi Sian membentak,

   "Kiranya engkau orang Ui-hong-pang, kaki tangan iblis betina Si Bayangan Hantu!"

   "Bocah lancang mulut!"

   Kiang Ti membentak.

   "Engkau berani memaki guruku? Aku adalah Ketua Ui-hong-pang!"

   Berkata demikian, dia sudah menubruk maju untuk menyerang Hwi Sian.

   "Eiiit, ingat, dia untukku, Kiang-pangcu (Ketua Kiang)!"

   Ouw-siucai berkata dan menghadang sehingga Ketua Ui-hong-pang itu kini menggunakan kedua tangannya untuk menyerang Poa Sut It dan Tan Swi Bu.

   Dua orang ini melihat pukulan yang hebat dari tangan yang berubah menghitam, maklum bahwa pukulan yang ini tidak boleh dipandang ringan, mereka cepat mengelak kemudian memutar tubuh membalas dengan serangan pedang mereka dari kanan kiri. Kiang Ti terkejut sekali melihat berkelebatnya dua sinar pedang yang amat cepat itu, dari kiri menyambar ke arah lehernya sedangkan sinar pedang dari kanan menyambar ke arah kaki. Tidak ada jalan lain baginya kecuali meloncat ke belakang dengan cepat, menjatuhkan diri bergulingan sampai beberapa meter jauhnya. Ketika dia meloncat lagi, tangan kanannya telah memegang senjatanya yang tadinya dililitkan di pinggang, yaitu sebatang rantai baja lemas yang ujungnya dipasangi bola baja. Mukanya agak pucat karena serangan kedua orang lawannya tadi benar-benar amat dahsyat.

   "Hiaaaattt!"

   Ketua Ui-hong-pang ini mengeluarkan pekikan panjang dan dia sudah menerjang maju sambil memutar senjata rantai bajanya.

   "Cring! Tranggg!!"

   Dua orang lawannya menangkis dengan pedang sehingga tampak bunga api berpijar ketika senjata rantai itu bertemu dengan pedang-pedang itu.

   Selanjutnya terjadilah pertandingan yang seru antara mereka, namun segera rantai baja terhimpit dan terdesak oleh kedua sinar pedang, membuat Kiang Ti terpaksa harus mengeluarkan seluruh tenaganya dan sebentar saja dia sudah mandi keringat. Hati Kun Liong merasa lega ketika dia melihat keadaan kedua orang suheng dari Hwi Sian itu karena dia maklum bahwa keadaan mereka tidak perlu dikhawatirkan. Akan tetapi ketika dia melihat keadaan Hwi Sian sendiri, dia terkejut dan diam-diam dia mencari tempat pengintaian yang lebih dekat. Biarpun ilmu pedang dara itu amat tangkas, namun ternyata dia bukanlah tandingan Ouw-siucai atau Ouw Ciang Houw yang amat lihai. Sambil tersenyum-senyum sastrawan cabul itu mempermainkan Hwi Sian, dengan tangan kosong menghadapi pedang dara remaja itu, mengelak ke sana ke mari sambil mengejek dan menggoda,

   "Aih, luput lagi, Nona manis! Kalau marah begini engkau bertambah cantik saja. Aihhh, tidak kena! Wah, kedua pipimu menjadi merah jambon, ingin aku menciumnya!"

   Ketika pedang menyambar ke dada, siucai itu membuat sedikit gerakan dan pedang itu telah dijepitnya di bawah lengan, kemudian ia mendekatkan mukanya hendak mencium pipi Hwi Sian sambil memperdengarkan suara menyedot.

   "Biadab"!"

   Hwi Sian memaki dan menarik tubuh atasnya ke belakang sambil menendangkan kakinya ke arah perut lawan dan menarik pedangnya dengan sepenuh tenaganya.

   "Wahhh, galaknya! Makin galak makin menyala!"

   Ouw-siucai melepaskan pedang yang dijepit lengan, kemudian menyambar kaki yang menendang. Nyaris kaki itu tertangkap, akan tetapi ternyata Hwi Sian cukup cerdik dan sebelum kakinya tertangkap pedangnya sudah membabat dari samping ke arah tangan yang hendak menangkap kakinya. Ketika lawan menarik tangannya, dia pun meloncat ke belakang dengan muka merah sekali, siap untuk bertanding mati-matian karena dia maklum bahwa lawannya benar-benar amat lihai.

   "Ouw-twako"

   Lekas robohkan dia dan bantulah aku""

   Terdengar Kiang Ti berseru minta bantuan kepada temannya.

   "Ha-ha-ha, baiklah, Kiang-pangcu. Nah, kau tidurlah dulu, Nona manis, nanti aku menemanimu!"

   Sambil berkata demikian, Ouw Ciang Houw menerjang dengan hebat sekali, menggunakan jari-jari tangannya untuk menotok dengan sasaran jalan-jalan darah di tubuh nona itu. Repot sekali Hwi Sian mengelak dan melindungi tubuh dengan pedang, namun dia terdesak hebat dan agaknya tidak lama lagi benar-benar dia harus tidur dulu oleh totokan!

   "Ouw-siucai sastrawan keparat!"

   Tiba-tiba Kun Liong melompat keluar dari tempat sembunyinya dan langsung dia mengulur tangan hendak menangkap dan mendorong pundak Ouw Ciang Houw. Gerakannya bukanlah serangan ilmu silat, hanya sekedar untuk menyuruh siucai itu mundur dan tidak mendesak Hwi Sian. Melihat munculnya seorang pemuda tanggung berkepala gundul, Ouw Ciang Houw mengira seorang hwesio muda, maka dia cepat mengelak. Akan tetapi tanpa disadari sendiri oleh Kun Liong, pemuda itu telah memiliki gerakan yang amat luar biasa, karena hatinya ingin memegang pundak dan mendorong, otomatis gerakannya pun mengandung unsur Ilmu Silat Pat-hong-sin-kun yang dapat memotong jalan delapan penjuru, maka pengelakan itu sia-sia, tahu-tahu pundak siucai itu dapat didorongnya sehingga tubuh Ouw-siucai terhuyung ke belakang!

   "Ehhh"!"

   Ouw-siucai berseru kaget bukan main karena dia sendiri tidak tahu bagaimana elakannya sampai gagal, hanya dia merasa lega bahwa tenaga dorongan "hwesio"

   

Pedang Kayu Harum Eps 19 Pedang Kayu Harum Eps 6 Pedang Kayu Harum Eps 37

Cari Blog Ini