Ceritasilat Novel Online

Pedang Kayu Harum 6


Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo Bagian 6



"Plakkk!"

   Kedua tangannya ditampar dan nona itu membuka mulut.

   "Kau mau apa? Ingin diseret di belakang keretakah?"

   Keng Hong kaget setengah mati sampai pantatnya terloncat dari tempat duduknya.

   "Walah.....! Kau bikin kaget aku saja, Nona. hampir mati aku merasa kaget! Kusangka kau..... kau tidak bernapas lagi....."

   "Begini goblokkah murid Sin-jiu Kiam-ong sehingga tidak tahu orang sedang melakukan latihan Pi-khi-hoan-hiat (Menutup Hawa Mengatur Jalan Darah)?"

   "Ohhh.....!"

   Keng Hong hanya dapat mengeluarkan suara ah-eh-oh saja karena makin lama makin kagum dan heran. Ia pernah mendengar dari suhunya akan ilmu Pi-khi-hoan-hiat ini, sebuah ilmu untuk selalu mengadakan pengontrolan tentang jalan darah dan yang berhubungan dengan sinkang, namun ilmu yang hanya dapat dilakukan oleh seorang yang telah tinggi tingkat kepandaiannya. Dan nona cilik ini telah melatihnya di dalam kereta yang berguncang-guncang! Biarpun hanya mengeluarkan suara ah-eh-oh sejak tadi, namun suara ini jelas membayangkan kekaguman, dan hal ini agaknya terasa oleh gadis itu yang tentu saja sebagai seorang manusia normal, terutama wanita, amat senang hatinya mendapat pujian.

   "Kau mau apa sih, panggil-panggil orang terus?"

   "Nona, aku she Cia Keng Hong bukanlah orang yang tidak mengenal budi. Aku telah berhutang nyawa kepadamu....."

   "Aku tidak pernah menghutangkan nyawa!"

   "Eh, aku..... aku telah Nona selamatkan dari pedang Cui Im...."

   "Hemmmm, sudah jauh begitu ya hubunganmu dengan suci sehingga kau menyebut namanya begitu saja?"

   Wajah Keng Hong menjadi merah sekali. Nona ini boleh jadi pendiam, akan tetapi seperti biasanya orang pendiam, sekali mengeluarkan kata-kata selalu akan menusuk jantung!

   "Kumaksudkan.... nona Bhe Cui Im.... aku telah kau tolong dan selain pernyataan terima kasihku, aku pun selamanya tidak akan melupakan budi pertolongan itu. Akan tetapi, setelah menyelamatkan nyawaku yang tak berharga ini, mengapa Nona menawan aku?"

   "Heiii, awas Sumoi! Dia itu laki-laki pandai sekali merayu, melebihi gurunya. Jangan-jangan kau nanti dirobohkan rayuannya yang manis seperti madu. Hi-hi-hik!"

   Dari depan Cui Im berkata dengan suara mengejek. Gadis baju putih itu mengeluarkan suara mendengus dari hidungnya.

   "Huh! Sejak kapan aku dapat dirobohkan rayuan orang? Tidak semudah engkau aku dapat dipikat rayuan bocah ini, Suci!"

   "Heh-heh-heh, bocah ya? Dia itu bocah? Hi-hi-hik, tunggu saja kau, Sumoi, kalau sudah berada dalam pelukan dan belaiannya, nanti...."

   "Suci, diam!"

   Gadis itu membentak, alisnya yang hitam panjang itu melengkung indah. Cui Im tidak bicara lagi, hanya terdengar ia ketawa dan mencambuk empat ekor kuda itu sehingga jalannya kereta makin kencang. Kembali Keng Hong tergoncang-goncang, akan tetapi dia segera dapat mengerahkan sinkangnya dan kini dia duduk diam tak bergerak seperti nona di depannya. Mulailah nona itu memandangnya, dan biarpun mulutnya tidak menyatakan sesuatu, namun pandang matanya penuh pengertian bahwa pemuda di depannya ini memiliki sinkang yang hebat.

   "Nona, jangan perhatikan omongan Cui.... eh, dia itu. Aku sama sekali tidak membujuk rayu Nona, melainkan hendak bertanya mengapa setelah Nona menyelamatkan nyawaku, kini menawanku."

   "Ibuku yang menyuruh, aku hanya pelaksana,"

   Jawabnya sederhana.

   "Dan jangan mengira aku menolongmu. Kalau tidak ingin memenuhi perintah ibu biar suci mau membunuh seribu orang macam engkau, aku tidak akan peduli."

   Wahhh, pahit benar ucapan ini, pikir Keng Hong. Akan tetapi tak mungkin dia bisa marah menghadapi seorang gadis seperti ini.

   "ibumu? Siapakah dia, Nona?"

   "Lam-hai Sin-ni!"

   "Ohhhh.....!"

   Tadinya Keng Hong mengira bahwa nona ini sebagai sumoi dari Cui Im tentulah murid ke dua Lam-hai Sin-ni. Kiranya bukan hanya muridnya, malah puterinya! Pantas saja, biarpun disebut sumoi oleh Cui Im, akan tetapi memiliki tingkat ilmu kepandaian yang lebih tinggi dan juga disegani oleh sucinya itu.

   "Kau sudah mengenal nama ibuku?"

   "Sudah, Nona, Ibumu adalah datuk pertama dari Bu-tek Su-kwi, bukan?"

   "Hemmm, kau hanya mendengar saja dari suci tentu."

   "Aku sudah pernah bertemu dengan tiga orang dari Bu-tek Su-kwi yang semuanya kalah oleh suhu"

   "Hemmm....., sombong! Kalau bertemu ibu, suhumu akan mampus sampai seratus kali"

   "Nona, bolehkah aku mengetahui namamu?"

   Alis yang indah itu terangkat, mata yang bagus itu mengeluarkan sinar berapi dan mulut yang segar itu membentak,

   "Kau.....! Selain hidung belang, juga ceriwis sekali!"

   "Hi-hi-hik, Sumoi. Tidak benarkah kata-kataku bahwa dia pandai merayu?"

   "Suci, berhenti dulu!"

   Kereta berhentai secara tiba-tiba dan hal ini saja membuktikan betapa pandainya Cui Im menguasai empat ekor kuda yg menarik kereta, dan betapa kuat kedua lengan yang kecil itu. Alis nona baju putih itu masih berdiri ketika ia melolos sabuknya yang putih panjang, lalu tanpa banyak cakap ia mengikat kedua kaki Keng Hong dengan ujung sabuk dan setelah itu ia melempar tubuh pemuda itu ke belakang kereta!

   "Jalan terus, Suci!"

   "Hi-hi-hik, agaknya engkau pun tidak tahan terhadap rayuannya, sumoi. Hati-hatilah....., engkau sama sekali belum berpengalaman."

   "Diam, suci!"

   Bentak gadis itu sambil merenggut dan kereta dijalankan cepat oleh Cui Im yang terkekeh-kekeh. Kini tubuh Keng Hong yang rebah terlentang dibelakang kereta, diseret di atas tanah berbatu! Kedua tangannya dibelenggu, kedua kakinya diikat ujung sabuk sedangkan sedangkan ujung sabuk lainya diikatkan pada tiang kereta oleh gadis itu. Sabuk itu cukup panjang sehingga tubuh Keng Hong terpisah empat meter dari kereta. Pemuda ini cepet-cepat mengerahkan sinkang untuk melindungi tubuh belakangnya yang terseret. Kalau tidak kuat sinkangnya, tentu kulit tubuh belakangnya akan habis babak bundas. Biarpun kini hawa sakit di tubuhnya melindungi kulitnya, namun tidak dapat melindungi pakaiannya sehingga sebentar saja habislah pakaiannya di bagian belakang, compang-camping tidak karuan. Diam-diam dia mengutuk,

   "Wah, gadis setan! Benar-benar seperti iblis-iblis betina dua orang gadis itu, sungguhpun kekejian mereka itu agak berbeda. Cui Im cabul dan pengejar kepuasan hawa nafsu, sebaliknya sumoinya ini alim dan pendiam, akan tetapi keduanya memiliki kekejaman yang sama. Bahkan boleh jadi gadis baju putih ini lebih kejam lagi."

   Keng Hong yang rebah terlentang dan terseret di belakang kereta kini dapat melihat keadaan di kanan kiri kereta sampai jauh di depan. Mereka melalui jalan sunyi di pegunungan, jauh dari dusun-dusun. Diam-diam dia berpikir dan ingin sekali melihat apakah dua orang gadis iblis itu akan tetap menyeretnya seperti ini kalau melalui dusun dan kota? Apakah mereka akan membiarkan dia terseret dan menjadi tontonan? Tentu penguasa setempat akan turun tangan kalau melihat peristiwa ini, akan tetapi penguasa manakah yang sanggup melarang dua orang gadis iblis itu? Tiba-tiba Keng Hong melihat di depan sebelah kiri muncul dua orang penunggang kuda, dua orang laki-laki tinggi besar berusia lima puluh tahun yang menghadang kereta dengan senjata golok di tangan, memberi isyarat dengan tangan agar kereta dihentikan. Cui Im menghentikan kereta itu dan memandang dengan alis berkerut marah.

   "Kalian ini mau apakah? Apakah perampok-perampok buta?"

   "Hemmm, Ang-kiam Tok-sian-li! Masih berpura-pura tidak mengenal kami Thian-te Siang-to (Sepasang Golok Bumi Langit)? Kami memenuhi perintah suhu untuk minta tawananmu, murid Sin-jiu Kiam-ong. Memandang muka suhu kami, harap kau suka mengalah!"

   Jawaban ini keluar dari mulut kakek yang sebelah kiri dan setelah kini berhadapan, Cui im baru melihat jelas betapa muka kedua orang kakek itu serupa benar. Teringatlah ia akan murid kembar dari Pat-jiu Sian-ong, maka ia tertawa mengejek.

   "Hi-hi-hik, jangan hanya kalian Thian-te Siang-to yang maju meminta tawanan, biarpun gurumu sendiri yang datang takkan kuberikan. Kalian mau apa?"

   "Hah, Ang-kiam Tok-sian-li! kami masih memandang muka gurumu maka masih bicara dengan baik-baik. akan tetapi engkau sombong. Turunlah dan mari kita lihat siapa yang lebih unggul di antara kita. Yang unggul berhak membawa pergi murid Sian-jiu Kiam-ong!"

   "Bagus, kalian sudah bosan hidup!"

   Cui Im meloncat turun dari kereta sambil mencabut pedang merahnya. Akan tetapi begitu meloncat dan menerjang, Cui Im mengeluh karena baru teringat ia akan keadaanya, akan tenaga sinkang yang sebagian besar telah lenyap semenjak malam tadi ia bermain cinta dengan Keng Hong. Apalagi sekarang yang dihadapinya adalah dua orang murid Pat-jiu Sian-ong yang merupakan seorang di antara empat datuk Bu-tek Su-kwi! Kalau dalam keadaan normal sekalipun,

   Tak mungkin ia dapat menangkan pengeroyokan dua orang ini dan mingkin hanya akan dapat mengalahkan seorang di antara mereka. Akan tetapi sekarang, dengan sinkangnya habis setengahnya lebih, melawan seorang di antara mereka sekalipun ia tak menang. Keng Hong yang kini sudah bangkit duduk karena kereta itu tidak menyeretnya lagi, melihat betapa Cui Im terdesak hebat oleh dua orang laki-laki bersenjata golok yang berjuluk Sepasang Golok Bumi Langit itu. Untung bahwa pedang Cui Im benar-benar hebat, kalau tidak, tentu dalam beberapa gebrakan saja ia akan roboh. Cui Im mainkan pedangnya secepat mungkin, dan biarpun ia sama sekali tidak mampu melakukan serangan balasan namun ia masih dapat mempertahankan dirinya dengan gerakan pedang dan juga sambil mengelak ke sana ke mari. Ia terdesak hebat dan menurut taksiran Keng Hong, tidak sampai sepuluh jurus lagi gadis itu tentu akan roboh.

   "Sumoi, tidak lekas membantuku menunggu apa lagi?"

   Cui Im yang repot itu akhirnya berteriak-teriak. Keng Hong hanya melihat muili (tirai) kereta itu tersingkap dari dalam, kemudian berkelebat segulung cahaya putih berturut-turut dua kali. Cahaya ini menyebar ke arah dua orang kakek yang mendesak Cui Im dan mereka cepat menangkis dengan pedang. Namun mereka berteriak kesakitan dan meloncat ke belakang. Ternyata pangkal lengan kedua orang kakek itu telah terluka mengeluarkan darah. Yang melukai mereka adalah dua butir bola putih yang halus permukannya namun mempunyai duri-duri runcing dan ketika dua bola tadi berhasil ditangkis, bola itu tidak runtuh ke atas tanah melainkan melesat dan melukai lengan mereka. Ketika dua orang kakek itu melihat wajah ayu yang tersembul keluar dari balik tirai, mereka terkejut dan cepat menjura ke arah kereta.

   "Kiranya Song-bun Siu-li (Gadis Cantik Berkabung) juga hadir di sini. Maafkan kelancangan kami!"

   Setelah berkata demikian, kakek kembar itu lalu membalikan tubuh dan berlari pergi.

   "Heiii, kembalilah! Mari kita bertanding sampai seribu jurus! Belum bolong dadamu sudah lari, pengecut!"

   Cui Im berteriak-teriak menantang.

   "Suci, jalan terus!"

   Terdengar gadis baju putih yang kini dikenal julukannya oleh Keng Hong berkata halus. Kereta berjalan lagi amat kencangnya, dan terpaksa Keng Hong merebahkan diri telentang lagi, diseret-seret kereta. Ia bergidik kalau mengingat julukan gadis baju putih itu. Song-bun Siu-li (Gadis Cantik Berkabung). Mengapa berkabung? Pantas saja pakaiannya serba putih, bahkan senjatanya yang lihai, sabuk yang kini mengikat kedua kakinya, juga putih dan senjata rahasia yang berbentuk bola itu pun putih!

   "Cepatlah, suci. Setelah murid-murid Pat-jiu Siang-ong muncul, kurasa yang lainya akan muncul pula."

   "Untung engkau berada di sini, sumoi, kalau tidak ..... wah berabe juga. Aku..... aku kehilangan sebagian besar sinkang di tubuhku, karena..... bocah setan itu!"

   "Apa? Mengapa dan bagaimana?"

   Song-bun Siu-li bertanya heran.

   "Benar, aku disedot habis olehnya, keparat! Setelah malam tadi, entah bagaimana aku pun tidak tahu. Dia memang hebat, aku sampai lupa diri dan aku..... tersedot habis..... uhhh....."

   "Suci, diam! kau tahu aku tidak sudi mendengarkan omongan-omonganmu yang cabul!"

   Kereta berjalan terus lebih cepat lagi. Keng Hong tertegun mendengar omongan mereka itu. Dia sendiri pun tidak tahu mengapa Cui Im menjadi lemah. Tersedot olehnya? Ia teringat akan peristiwa di Kun-lun-san, di mana tanpa dia sadari dia pun telah menyedot sinkang dari Kiang Tojin dan tosu-tosu lain. Akan tetapi ketika itu dia menghadapi pukulan sinkang yang amat berat. Sedangkan malam tadi dengan Cui Im...... ah., dia tetap tidak mengerti. Diam-diam dia kagumi Song-bun Siu-li. Betapa lihai gadis muda itu.

   Hanya dengan dua butir bola saja dia mampu mengusir murid-murid Pat-jiu Sian-ong yang dia lihat tadi amat lihai ilmu goloknya. Lewat tengah hari, ketika matahari mulai condong ke barat, mereka tiba di sebuah hutan dan jauh di depan menjulang tinggi pegunungan yang rupanya banyak dusun-dusunnya karena dari jauh sudah tampak genteng-genteng rumah yang kemerahan. Keng Hong yang diseret kereta mulai merasa tersiksa karena selain haus dan lapar, juga debu yang mengebul dari roda kereta itu seolah-olah dilemparkan kepadanya semua, membuat rambut dan alisnya menjadi putih, juga mukanya menjadi putih semua. Bernapas pun sukar di dalam kepulan debu yang tebal ini. tiba-tiba Cui Im berseru nyaring dan tangan kirinya menyabar dua batang anak panah yang menyambarnya. Hebat kepandaian ini dan diam-diam Keng Hong yang melihat itu menjadi kagum.

   "Jalan terus, suci. Biar aku yang melayani mereka!"

   Berkata Song-bun Siu-li dengan suara dingin.

   Kini berkelebat bayangan putih dan tahu-tahu gadis itu telah berdiri di atap kereta, lalu minta pinjam cambuk kuda yang tadi dipegang Cui Im. Cambuk ini cukup panjang dan dengan tangan kiri bertolak pinggang, tangan kananya memegang gagang cambuk, Song-bun Siu-li berdiri dengan gagah tak bergerak, hanya matanya saja yang memandang tajam ke depan. Tiba-tiba dari arah kiri menyambar tiga batang anak panah, sebuah ke arah Cui im dan yang ke dua ke arah Song-bun Siu-li dan anak panah yang datang menyambar sekali ini, biarpun warnanya juga hitam seperti tadi, namun mengandung kecepatan dan tenaga dahsyat sehingga mengeluarkan bunyi mendesing. Cui im tidak mempedulikan datangnya anak panah yang menyerangnya, melainkan mencurahkan seluruh perhatian kepada kendali empat ekor kuda yang dipegangnya dan dibalapkanya cepat.

   Ia sudah percaya penuh akan penjagaan sumoinya dan kepercayaan ini pun tidak disia-sia. Terdengar bunyi cambuk meledak-ledak, dan..... tiga batang anak panah itu sudah kena digulung dan dibelit ujung cambuk. Keng Hong melongo melihat itu dan dia lebih terbelalak lagi ketika nona baju putih itu menggerakan cambuknya, membuat tiga batang anak panah meluncur ke arah kiri dan..... terdengar jerit-jerit mengerikan disusul terjungkalnya tubuh tiga orang yang tadi bersembunyi di balik batang pohon. Ternyata nona baju putih yang lihai sekali itu telah meretour anak panah kepada pemiliknya masing-masing dan secara kontan keras telah membalas mereka! Tiba-tiba terdengar suara keras yang bergema di seluruh hutan itu, seolah-olah suara raksasa yang sakit, padahal suara itu adalah suara banyak orang yang mengucapkan sebuah kalimat secara berbareng,

   "Atas perintah Pak-san Kwi-ong, kami mohon tawanan putera Sin-jiu Kiam-ong ditinggalkan di hutan ini!"

   "Suci, berhenti sebentar,"

   Kata Song-bun Siu-li dengan suara halus.Kereta berhenti dan kini tampaklah puluhan orang, sedikitnya ada tiga puluh orang yang mengurung kereta itu dalam jarak lima puluh meter. Mereka itu tadinya bersembunyi di balik pohon-pohon dan di dalam gerombolan-gerombolan. Terdengar suara Song-bun Siu-li yang berdiri di atas kereta dengan cambuk di tangan, suaranya masih tetap halus merdu, namun kini dikerahkan dengan penggunaan tenaga khikang sehingga menjadi nyaring dan bergema lebih dahsyat daripada suara banyak orang tadi.

   "Murid Sin-jiu Kiam-ong menjadi tawanan Lam-hai Sin-ni! Di sini ada Song-bun Siu-li dan Ang-kiam Tok-sian-li yang melindunginya, siapapun tidak boleh mengganggu tawanan!"

   Keng Hong yang kini sudah duduk di atas tanah, diam-diam memandang dengan hati geli. Dia tidak tahu siapakah adanya banyak orang-orang laki-laki yang tinggi besar dan kelihatan galak-galak itu, akan tetapi yang dia tahu adalah bahwa dia dijadikan rebutan! Dijadikan rebutan di antara tokoh-tokoh kang-ouw, bukan tokoh-tokoh kaum bersih seperti ketika gurunya dahulu dikepung di Kiam-kok-san, melainkan tokoh-tokoh hitam yang amat lihai. Namun, baik tokoh bersih maupun tokoh sesat, semua memiliki pamrih yang sama yaitu menghendaki Siang-bhok-kiam dan warisan mendiang suhunya.

   ini timbullah keinginan hatinya untuk mencari dan mendapatkan pusaka peninggalan suhunya. Kalau semua tokoh kang-ouw menginginkan pusaka itu, sudah barang tentu amat berharga dan penting. Kini para pengurung itu ketika mendengar disebutnya nama Song-bun Siu-li, menjadi ragu-ragu dan mereka terdiam, kemudian muncul empat orang tinggi besar yang usianya sudah empat puluh tahun lebih. Tangan masing-masing memegang sehelai rantai baja yang digantungi sebuah tengkorak manusia! Melihat rantai dengan tengkorak itu teringatlah Keng Hong akan kakek tinggi besar berkulit hitam arang yang matanya putih telinganya seperti telinga gajah dan badannya berbulu, yaitu Pak-san Kwi-ong. Kakek itu pun senjatanya sehelai rantai besar dengan dua buah tengkorak pada kedua ujungnya. Hanya bedanya, empat orang laki-laki ini, rantainya bertengkorak satu.

   "Kami Pak-san Su-liong (Empat Naga Pegunungan Utara), jauh-jauh datang melakukan perintah suhu. Mengingat akan sahabat segolongan, biarlah kami menyampaikan salam suhu kepada Ji-wi Siocia (Nona Berdua) untuk disampaikan kepada Lam-hai Sin-ni dan salam kami sendiri kepada Ji-wi. Kemudian, mengingat akan persahabatan, harap Ji-wi luluskan kami meminjam sebentar tawanan itu."

   "Hi-hi-hik! Enak saja membuka mulut!"

   Cui Im tertawa mengejek.

   "Kami yang susah payah menawan, kalian yang hendak memboyong. Aturan mana ini? Lebih baik kalian pergi dari sini dan sampaikan kepada Pak-san Kwi-ong bahwa kalau dia menghendaki tawanan, biarlah dia mencoba merampasnya dari tangan guruku!"

   "Suci, tidak perlu banyak bicara melayani mereka. Pak-san Su-liong harap tahu diri dan jangan mengganggu kami. Betapapun juga, kami tidak akan menyerahkan tawanan!"

   Kata gadis baju putih sambil menudingkan telunjuknya ke arah empat orang tinggi besar itu.

   "Hemmm, kalau begitu, terpaksa kami akan menguji kepandaian Ji-wi, apakah cukup patut menjadi pengawal tawanan penting!"

   "Bagus, majulah!"

   Song-bun Siu-li dan Ang-kiam Tok-sian-li sudah meloncat turun. Cui Im masih belum normal tenaga sinkangnya, belum pulih seperti biasa, akan tetapi tidaklah selemah tadi karena di sepanjang jalan gadis ini telah melatih nafas menghimpun tenaganya yang tercecer.

   Ia masih dapat mengandalkan ilmu pedangnya yang memang hebat dan pedang merahnya yang ampuh. Adapun gadis baju putih itu sudah memutar cambuknya sehingga terdengar bunyi ledakan-ledakan nyaring. Empat orang tinggi besar itu menyambut dua orang nona ini dengan sambaran rantai mereka dan terdengarlah suara bersiutan, tanda bahwa mereka itu bertenaga besar sekali dan dari mulut tengkorak-tengkorak itu kadang-kadang mengebul asap putih yang beracun! Pertandingan dua lawan empat ini berlangsung seru, akan tetapi Keng Hong yang duduk di belakang kereta dapat melihat jelas betapa sesungguhnya Cui Im hanya melawan seorang saja sedangkan yang tiga orang lawan diborong oleh Song-bun Siu-li. Makin kagumlah hatinya menyaksikan nona baju putih itu.

   Tiga rantai tengkorak yang mengepungnya tak boleh dipandang ringan karena ternyata bahwa naga-naga dari Pak-san itu benar-benar berkepandaian tinggi, malah kalau dibandingkan dengan Thian-te Siang-to murid Pat-jiu Sian-ong, agaknya masih lebih berat empat orang ini. Namun pecut di tangan Song-bun Siu-li amat lincah gerakannya, menyambar-nyambar dengan suara nyaring seperti halilintar mengamuk dan mengancam kepala tiga orang lawanya. Asap putih yang mengepul dari mulut empat tengkorak itu adalah hawa beracun, akan tetapi menghadapi ini, dua orang murid Lam-hai Sin-ni tentu saja memandang rendah karena guru mereka adalah hali racun nomor satu di dunia ini! baik Song-bun Siu-lu maupun Cui Im sudah mengeluarkan sehelai saputangan berwarna kuning yang amat harum,

   Menggosok-gosokan saputangan masing-masing dengan keras ke hidung dan mulut mereka, kemudian menyimpan kembali saputangan itu lalu menghadapi lawan tanpa mengkhawatirkan asap beracun. Biarpun tenaga sinkangnya belum pulih seluruhnya, namun ilmu pedang Ang-kiam Tok-sian-li memang hebat, sehingga tidak percuma dia berjuluk si pedang merah, dan kecerdikanya serta kekejamannya membuat ia patut pula dijuluki Tok-sian-li Si Dewi Beracun! Karena tiga orang lawan diborong sumoinya dan dia sendiri hanya menghadapi seorang lawan, pedangnya sudah dapat mengimbangi gulungan sinar rantai, bahkan beberapa kali hampir berhasil melukai lawan, yaitu memapas sebagian ujung bajunya dan membuat retak rahang tengkorak. Keng Hong yang menonton pertandingan itu, duduk dengan hati tegang, juga dia menjadi kagum.

   Semenjak turun gunung, dia menyaksikan pertandingan-pertandingan yang hebat. Kini mengikuti pertandingan antara murid-murid orang sakti, murid-murid dua orang datuk dari golongan sesat yang tinggi ilmunya, matanya kabur. Gulungan sinar pedang di tangan Cui-Im merah dan indah sekali, membentuk lingkaran-lingkaran yang makin lama makin melebar, mengurung gulungan sinar yang dibuat oleh rantai tengkorak lawannya. Adapun cambuk di tangan Song-bun Siu-li juga telah lenyap bentuknya, yang tampak hanya gulungan sinar hitam yang berkelebatan di angkasa dan mengeluarkan bunyi meledak-meledak keras dan sinar hitam ini dapat menahan rantai tengkorak tiga orang lawannya yang berusaha keras untuk mengalahkan gadis muda yang nama sudah amat dikenal di dunia Kang-ouw itu.

   Tiba-tiba Keng Hong mendapat perasaan aneh dan menengok ke belakang. Alangkah kagetnya ketika dia melihat bahwa dari arah belakang datang puluhan orang, berindap-indap dan jelas sekali mereka berniat untuk menangkapnya. Mereka adalah anak buah Pak-san Su-liong, datang menghampirinya dengan sikap mengancam, bagaikan segerombolan serigala yang hendak menyergap seekor kijang. Keng Hong maklum akan bahayanya kalau terjatuh ke tangan anak buah Pak-san Kwi-ong. Memang tidak enak juga menjadi tawanan dua orang gadis berhati ganas itu, akan tetapi menjadi tawanan orang-orang kasar ini agaknya akan lebih mengerikan pula. Mengapa dia tidak membebaskan diri saja? Kalau tadinya dia masih belum membebaskan diri adalah pertama, dia suka melayani permainan asmara Cui Im yang benar-benar telah dinikmatinya dan ke dua, karena dia tertarik dan berterima kasih kepada Song-bun Siu-li yang menyelamatkan nyawanya.

   Akan tetapi sekarang, melihat dirinya mulai diperebutkan seperti sebuah benda berharga, Keng Hong menjadi muak dan timbul keinginannya untuk meloloskan diri selagi ada kesempatan mereka saling gasak itu. Keng Hong mengerahkan sinkangnya, mendesak pusat tenaga di pusar menyalurkan hawa sakti yang dia luncurkan ke arah kedua lengannya, kemudian sekuat tenaga dia merenggut. Tali sutra hitam yang mengikat pergelangan tangannya bukan sembarang tali, kuatnya melebihi kawat baja. Namun masih tidak dapat menahan sinkang yang tersalur di kedua lengan itu, yang kekuatannya amat luar biasa, seperti tarikan dua buah belalai gajah. Tali itu mengeluarkan bunyi keras ketika terputus dan bergerak-gerak seperti tubuh ular terputus dan bergerak-gerak seperti tubuh ular terputus di atas tanah.

   Keng Hong hanya merasakan kulit pergelangannya panas. Ia cepat membungkuk dan melepaskan tali sutra putih yang mengikat kakinya. Ia tidak mau memutuskan tali kakinya yang dia tahu adalah sabuk sutera yang dijadikan senjata si nona baju putih, maka setelah tangannya bebas dia melepaskan tali kakinya. Pada saat itu, empat orang tinggi besar telah menubruk dan menangkapnya, ada yang merangkul kaki, ada yang merangkul pinggangnya, ada yang memegangi tangan dan ada yang memiting leher. Akan tetapi Keng Hong tidak perduli, dia terus bangun dan berjalan mendekati kereta, menyeret empat orang itu yang melekat di tubuhnya seperti lintah. Keng Hong menyedal sabuk putih kemudian berseru kepada Song-bun Siu-li yang sibuk melayani tiga orang musuhnya.

   "Song-bun Siu-li! Nih senjatamu, terimalah!"

   Ia sudah menggulung sabuk itu dan melemparkannya ke arah gadis baju putih yang mengeluarkan suara heran akan tetapi cepat menyambar senjatanya yang istimewa ini dan mengganti cambuknya dengan sabuk putih. Hebat bukan main gerakan Song-
(Lanjut ke Jilid 06)
Pedang Kayu Harum (Seri ke 01- Serial Pedang Kayu Harum)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 06
bun Siu-li setelah ia kini mainkan sabuk sutera putih itu. Tampak sinar putih bergulung, amat tebal menyilaukan mata seperti pelangi berwarna putih perak dan dalam tiga jurus saja sabuknya sudah melibat rantai seorang di antara tiga lawannya dan sekali renggut, rantai itu terlepas dari tangan lawan dan ujung sabuk yang sebelah lagi sudah menotoknya roboh! Dua orang lawan yang lain menjadi marah dan menerjang lebih dahsyat lagi, namun dilayani oleh gadis baju putih itu dengan sikap tenang.

   Setelah kini senjatanya kembali ke tangannya, gadis ini menjadi lebih tenang dan penuh kepercayaannya pada diri sendiri. Keng Hong masih dikeroyok empat orang tinggi besar yang hedak menawannya, dan sambil berteriak-teriak belasan orang tinggi besar lain merubungnya, siap membantu teman-teman mereka kalau kawalahan. Keadaan Keng Hong seperti seekor jengkrik yang dirubung semut. Keng Hong menjadi marah dan tidak sabar lagi. Ia mengeluarkan seruan keras sambil menggoyang tubuhnya, gerakannya seperti seekor harimau yang menggoyang tubuhnya sehabis tertimpa air hujan. Terdengar pekik kaget dan tubuh empat orang yang menempel di tubuhnya tadi mencelat ke empat penjuru sampai lima enam meter jauhnya, menimpa teman-teman sendiri!

   "Tangkap.....!"

   "Jangan sampai dia lari!"

   Orang-orang yang menjadi kaki tangan Pak-san Su-liong itu berteriak-teriak sambil mengepung terus. Mereka ini hanya merupakan segerombolan orang liar yang mengandalkan tenaga, keberanian dan pengalaman bertempur karena orang-orang ini datang dari utara, menjadi anak buah Pak-san Su-liong yang di luar tembok besar sebelah utara terkenal sebagai pemimpin orang-orang liar. Namun tenaga mereka hanyalah tenaga otot dan tebalnya kulit, tentu saja menghadapi Keng Hong mereka itu tidak banyak artinya. Keng Hong mulai mengamuk untuk mencari kebebasannya. Ia menggunakan kaki dan tangannya, menendang dan memukul. Para pengeroyok berteriak-teriak kesakitan karena setiap pertemuan kaki tangan mereka dengan kaki tangan Keng Hong pasti mengakibatkan tulang patah dan kulit pecah.

   Melihat anak buah mereka kocar-kacir, ditambah lagi seorang di antara mereka sudah tertotok roboh, tiga orang di antara Pak-san Su-liong menjadi kacau permainannya. Apalagi kini Song-bun Siu-li sudah memegang senjatanya sendiri yang amat ampuh, maka tiga orang tinggi besar murid-murid Pak-san Kwi-ong itu tak dapat bertahan lagi. Pedang merah di tangan Cui Im berhasil melukai pundak lawannya, sedangkan kedua ujung sabuk sutera putih di tangan sumoinya yang amat lihai itu sudah merampas sehelai rantai dan memecut muka seorang lawan lagi sehingga pipinya terluka dan berdarah. Melihat lawannya mundur dan para anak buah mereka pun kocar-kacir dan mulai menjauhi Keng Hong, Song-bun Siu-li cepat berkata dan meloncat mendekati Keng Hong,

   "Lekas masuk kereta. Kita melanjutkan perjalanan!"

   Keng Hong berdiri memandang gadis itu dan menjawab,

   "Aku tidak mau! Aku ingin melanjutkan perjalanan ku sendiri, Nona."

   "Kau.... kau hendak melawanku?"

   Song-bun Siu-li berkata halus, suaranya dingin, sabuknya siap di tangan.

   "Hati-hati, Sumoi. Dia mempunyai tenaga mujijat!"

   Kata Cui Im yang juga sudah melompat dekat, tidak mempedulikan Pak-san Su-liong yang mulai menolong teman-temannya dan pergi meninggalkan tempat itu karena maklum bahwa mereka tidak mungkin dapat melanjutkan usaha mereka merampas tawanan.

   "Cia Keng Hong, lekas kembali ke kereta. Mereka tentu akan datang kembali, dan kalau yang muncul guru mereka Pak-san Kwi-ong, atau guru Thian-te Siang-to tadi yaitu Pat-jiu Sian-ong, kami tidak akan dapat mempertahankan engkau lagi!"

   Kata pula Song-bun Siu-li, suaranya tetap halus akan tetapi bukan merupakan bujukan, melainkan peringatan. Keng Hong masih berdiri dengan kedua kaki terpentang, kokoh kuat seperti batu gunung, akan tetapi pakaian di sebelah belakangnya sudah compang-camping tidak karuan. Ia menggeleng kepala dan memandang kedua orang nona itu dengan pandang mata tajam.

   "Tidak, aku ingin bebas!"

   "Sumoi, hajar mampus saja laki-laki tak berbudi ini!"

   Teriak Cui Im yang sudah melangkah maju dan siap dengan pedang merahnya.

   "Tahan, Suci. ibu menghendaki dia hidup-hidup! Eh, Keng Hong. Engkau sendiri tadi mengaku bahwa aku telah menyelamatkan nyawamu. Apakah ini balasanmu? Hendak melawan aku? beginikah kegagahan murid Sin-jiu Kiam-ong? Kasihan kakek itu yang tentu gelisah dalam akhirat kalau menyaksikan muridnya yang tak mengenal budi."

   Wajah Keng Hong menjadi merah sekali dan dia mengepal tinjunya.

   "Sudahlah, jangan membawa-bawa nama suhu. Baik, aku ikut akan tetapi ingat, hanya untuk menuruti perintahmu sebagai pembalas atas pertolonganmu. Setelah bertemu dengan Lam-hai Sin-ni, kuanggap hutangku padamu telah lunas!"

   Setelah berkata demikian Keng Hong lalu berjalan menuju ke kereta. Cui Im menyenggol lengan sumoinya dengan siku sambil menggerakan muka ke arah Keng Hong yang tampak oleh mereka dari belakang, sambil terkekeh dan berbisik,

   "Lihat, Sumoi...., hebat tidak, dia?"

   Gadis baju putih itu memandang dan seketika wajahnya yang cantik jelita itu menjadi merah sekali. Matanya yang jelita terbelalak ketika ia melihat ke arah tubuh belakang Keng Hong. pakaian bagian belakang yang compang-camping, kulitnya yang penuh debu itu masih tidak dapat menyembunyikan sebuah punggung yang tegak dengan lengkung kuat di bagian bawah seperti terbuat daripada baja bahu yang bidang, pinggang yang kecil dan sepasang pinggul yang bulat membayangkan otot-otot yang penuh tenaga di atas kaki yang kuat. Cepat-cepat dia memejamkan mata, tidak mau memandang lagi dan mulutnya mencela.

   "Suci, engkau selalu mendahulukan nafsu-nafsumu. Kau tahu aku tidak sudi memperhatikan pria!"

   
Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Gadis ini membuang muka dan setelah Keng Hong memasuki kereta, barulah ia berkata.

   "Ambilkan selimut dan suruh dia menutupi tubuh belakangnya yang pantas!"

   Cui Im terkekeh dan berlarian ke kereta, mengambil selimut dan melemparnya ke arah Keng Hong.

   "Keng Hong, tutupi badanmu yang sebelah belakang rapat-rapat, kau membikin sumoi menjadi jijik, hi-hi-hik!"

   Kemudian ia melompat ke atas di sebelah depan dan segera membalapkan empat ekor kuda setelah sumoinya pun melompat masuk dan duduk menghadapi Keng Hong dengan sikap tidak acuh. Dari luar terdengar suara seorang di antara Pak-san Su-liong.

   "Kalian tunggu saja! Suhu sendiri yang akan merampas tawanan itu!"

   Namun dua orang murid Lam-jai Sin-ni tidak mempedulikan teriakan mereka dan terus membalapkan kereta ke selatan.

   Kereta berguncang-guncang dan Keng Hong duduk anteng, matanya tak pernah terlepas dari wajah gadis di depannya. Ia menjadi makin kagum. Gadis ini amat lihai ilmu silatnya, jug awataknya jauh berbeda dengan watak Cui Im yang cabul dan suka mengumbar nafsunya. Gadis ini pendiam, bahkan sama sekali tidak pernah memperlihatkan kegembiraan. Betapapun juga dalam hal kekejaman dan keganasan, gadis baju putih ini mungkin sepuluh kali lebih ganas dari Cui Im, sungguhpun agaknya tidak berwatak licik dan curang seperti sucinya itu. Diam-diam dia membuat perbandingan. Yang manakah yang baik di antara kedua orang gadis ini? Cui Im hidup sebagai seorang yang ingin menikmati hidup sebanyaknya, selalu menuruti nafsunya tanpa mempedulikan sesuatu, hendak meraih kesenangan dunia sebanyaknya tanpa peduli dia akan dicap gadis cabul atau tidak.

   Pendeknya segala hal di dunia ini harus diarahkan demi kesenangan diri pribadi. Gadis seperti itu tentu saja tidak mempunyai kesetiaan terhadap siapapun kecuali dirinya sendiri. Akan tetapi gadis yang jauh lebih muda dan jauh lebih cantik juga lebih lihai yang duduk di depannya ini memiliki type tersendiri dan sukar sekali meraba-raba untuk mempelajari wataknya. Wajah cantik ini seolah-olah memakai kedok dari salju, begitu dingin dan sukar sekali dijenguk isi hatinya karena apa yang terkandung di dalam hati dan pikirannya sama sekali tidak mengubah kulit muka yang halus dan tetap dingin itu. Tiba-tiba saja muka yang jelita ini bergerak dan sepasang mata yang jernih bertemu dengan pandang matanya. Keng Hong terkejut dan tersipu, cepat mengalihkan pandangan matanya, pura-pura melihat pohon-pohon di pinggir jalan.

   "Engkau lapar?"

   Pertanyaan itu pun tiba-tiba dan halus merdu. Keng Hong mengangguk dan menjawab perlahan.

   "Haus....."

   "Namaku Biauw Eng, dan kau boleh memanggil aku dengan namaku."

   Keng Hong terkejut. Eh, kiranya ada juga sikap manis budi pada diri nona aneh ini. cepat dia mengangkat muka memandang, mengharapkan ada perubahan muka pada nona itu, perubahan muka yang wajar, yang tersenyum seperti halusnya ucapan yang dikeluarkan. Namun dia kecelik, wajah itu tetap dingin dan tenang, sama sekali tidak membayangkan sesuatu kehangantan. Ia menghela napas panjang dan berkata.

   "Memang aku lapar, dan terutama sekali haus, Biauw Eng."

   Song-bun Siu-li atau yang mengaku bernama Biauw Eng, dengan tenang mengambil bungkusan dari sebelah belakangnya, di atas tempat duduk kereta itu, membuka bungkusan dan mengeluarkan sebuah roti kering yang besar. Ia mematah-matahkan roti itu, membagi menjadi tiga, lalu memberi sebagian kepada Keng Hong, sebagian lagi ia lemparkan ke arah Cui Im sambil berseru,

   "Suci, silahkan makan!"

   Dan dia sendiri lalu memulai makan bagiannya. Cui Im menggigit roti kering sambil tertawa dan berkata,

   "Sayang, sumoi. Seguci arak Ai-ang-ciu (Arak Merah Asmara) telah dihabiskan sekali teguk oleh bocah itu, hi-hi-hik!"

   Sepasang alis yang hitam itu berkerut sebentar, namun tidak cukup untuk membayangkan bagaimana perasaan Biauw Eng, apakah kecewa, ataukah marah, ataukah perasaan lain lagi. Hanya bibirnya yang tadi tertutup ketika dia mengunyah roti di dalam mulut, kini terbuka sedikit mengeluarkan kata-kata.

   "Aku masih ada persediaan air minum, jangan khawatir, suci."

   Tangan kiri meraih ke belakang dan gadis ini telah mengeluarkan sebuah guci yang mengkilap, berwarna putih, terbuat dari pada porselen yang amat indah. Melihat bahwa Keng Hong paling dulu menghabiskan rotinya, nona ini menyerahkan guci porselen kepadanya sambil berkata.

   "Minumlah dulu."

   Keng Hong menerima guci itu, memandang kagum lalu bertanya,

   "Mana cawannya?"

   "Hi-hi-hik! Keng Hong, kau selalu bersopan-sopan mencari cawan. Apa kau khawatir diracuni? Ah, jangan takut, sumoi selamanya tidak sudi main-main dengan racun dan segala macam racun yang dimasukan ke dalam guci pusaka itu akan lenyap pengaruhnya."

   Cui Im tertawa-tawa mengejek sehingga muka Keng Hong menjadi merah sekali. Ia hanya memegangi guci itu dan tidak minum, menanti sampai nona di depannya menghabiskan rotinya. Biauw Eng juga tidak peduli bahwa pemuda itu belum juga minum dari guci.

   "Kau minumlah dulu, nona Biauw Eng....."

   Katanya memberikan guci itu.

   Sikap nona ini membuat Keng Hong tidak berani untuk menyebut namanya begitu saja, melainkan menaruh sebutan nona di depannya. Nona ini sikapnya seperti seorang puteri istana saja, begitu halus, angkuh namun dingin. Biauw Eng tidak menjawab, melainkan menerima guci itu, membuka tutupnya dan mengangkat guci ke atas mukanya yang ditengadahkan, lalu dituangnya air dari guci yang memancur memasuki mulutnya yang dingangakan. Keng Hong menelan ludah, bukan karena melihat orang minum atau melihat air yang amat jernih dan segarnya memasuki mulut orang, melainkan melihat mulut yang menggairahkan itu. Mulut yang terbuka, tampak giginya berderet putih, lidah meruncing merah sekali bergerak-gerak ketika kejatuhan air jernih, melihat rongga mulut yang segar kemerahan, yang membayangkan kesedapan dan kenikmatan.

   Keng Hong diam-diam bergidik dan tidak tahu dari mana datangnya perasaan ini yang timbul semenjak dia jatuh oleh godaan asmara Cui Im. Setelah gadis itu menyerahkan guci kepadanya, barulah dia sadar dan cepat menerima guci itu. Akan tetapi belum dia minum air itu, dia teringat kepada Cui Im. Keng Hong selama berada di Kun-lun-pai mempelajari tata susila, sopan santun dan telah membaca banyak kitab, maka sifat sopan santun sebenarnya telah meresap di hatinya. Kini teringat bahwa Cui Im belum minum, sungguh pun dia kini merasa muak kepada gadis itu setelah dia mengenal wataknya yang keji dan bahwa bujuk rayu yang amat mesra pada malam itu bukan timbul dari hati mencinta melainkan melainkan sebagai alat membujuk saja, namun dia merasa tidak enak kalau harus mendahului gadis itu minum airnya.

   "Kau minumlah dulu,"

   Katanya menyerahkan guci. Cui Im yang duduk di sebelah depan, memutar tubuhnya, memandang Keng Hong dengan mata genit lalu menerima guci, terus diteguknya seperti yang dilakukan sumoinya tadi.

   Kemudian ia mengembalikan guci kepada Keng Hong dan ketika pemuda itu menerimanya, sejenak Cui Im membelai tangan pemuda itu dan mencubit lengannya penuh arti sambil terkekeh. Keng Hong cepat-cepat menarik tangan dan guci itu sambil melirik ke arah Biauw Eng. Namun gadis ini diam saja tidak bergerak-gerak, seolah-olah tidak melihat atau memang tidak peduli akan kecentilan sucinya.Keng Hong menghilangkan rasa kikuknya dengan menenggak air dari dalam guci dan dia kagum sekali. Roti kering tadi amat enaknya, gurih dan agak manis, berbau sedap. Akan tetapi air ini lebih lezat lagi. Memang rasanya air biasa, namun mengandung keharuman buah apel dan amat sejuk dan segar. Tanpa bicara, dia mengambilkan guci kepada Biauw Eng yang segera menyimpannya kembali dan berkatalah Biauw Eng.

   "Kita perlu menghimpun tenaga karena kurasa masih banyak penghalang di depan."

   Setelah berkata demikian, nona baju putih itu melempangkan punggungnya, dan meramkan matanya, napasnya menjadi makin lambat sampai akhirnya seperti tidak bernapas lagi. Tahulah Keng Hong bahwa nona ini kembali telah melatih dirinya dengan samadhi dan ilmu Pi-khi-hoan-hiat. Ia memandang kagum. Setelah mata itu terpejam, tampak bulu mata yang merapat dan hitam panjang melentik.

   Jantung Keng Hong berdebar dan cepat-cepat dia menekan perasaannya ini. Untuk melawan gelora hatinya menghadapi nona yang luar biasa cantiknya ini, dia pun lalu memejamkan mata menghimpun tenaga? Untuk apa? Untuk membebaskan diri kalau kesempatan muncul, pikirnya. Kalau dia sudah mengikuti nona ini sampai bertemu dengan Lam-hai Sin-ni. Akan tetapi, setelah berhadapan dengan Lam-hai Sin-ni, betapa mungkin dia dapat membebaskan diri? Sedangkan nona Biauw Eng ini saja sudah demikian lihai dan tak mungkin dapat mengalahkannya, apalagi ibunya! Keng Hong diam-diam bergidik ngeri, akan tetapi dia sudah berjanji untuk membalas budi pertolongan nona itu, baru akan membebaskan diri. Hatinya tentram kembali dan Keng Hong pun segera "pulas"

   Dalam samadhinya walaupun kereta itu melalui jalan yang tidak rata dan berguncang-guncang keras.

   Sampai malam tiba, tidak ada rintangan di jalan. Kereta di hentikan di sebuah gunung yang banyak terdapat gua-guanya dari batu. Setelah makan daging kelinci yang ditangkap oleh Cui Im dan minum air gunung, mereka mengaso di luar kereta, di dalam sebuah gua yang agak besar tak jauh dari situ. Cui Im sudah duduk mendekati Keng Hong, tangannya sudah mulai menggerayangi tubuh Keng Hong dan mulutnya membisikan kata-kata merayu, kadang-kadang hanya mengeluarkan suara seperti seekor kucing memancing belaian. Namun Keng Hong tidak memperdulikannya, bahkan menjadi gemas sekali. Ia merasa canggung dan malu sekali karena gadis ini tanpa malu-malu mengajaknya bermain cinta di depan Biauw Eng! Adapun gadis baju putih itu duduk bersila dan seolah-olah tidak melihat itu semua, tidak mendengar suara merintih-rintih dan meminta-minta yang keluar dari mulut sucinya.

   "Cui Im, mengapa kau tidak bisa diam? Jangan ganggu aku!"

   Akhirnya Keng Hong berkata lirih dan mengibaskan tangan Cui Im.

   "Aihhh, mengapa engkau berubah, Keng Hong? Setelah berada di depan sumoi yang jauh lebih cantik dariku, engkau pura-pura tidak tahu.... hi-hi-hik, masih ingatkah malam mesra itu? Masih terasa olehku, Keng Hong..... ahhh....."

   "Cui Im, diamlah!"

   Keng Hong membentak, agak keras karena marah. Ia menyesal sekali sekarang mengapa malam hari dulu itu dia mau melayani gadis ini, pengalamannya yang pertama dia hanyutkan begitu saja bersama seorang gadis bermoral bejat seperti ini. Kalau Cui Im benar-benar mencintanya, dia pun tidak akan menyesal karena dia hanya ingin mengikuti jejak gurunya, melayani cinta kasih seorang wanita yang disukanya. Dan dia memang suka kepada Cui Im seperti rasa sukanya kepada segala yang indah. Kalau Cui Im tidak menggunakan daya tariknya sebagai seorang wanita hanya untuk membujuknya, kalau Cui Im tidak palsu cintanya, tentu dia selamanya akan mengenang pengalamannya dengan Cui Im sebagai kenangan yang manis. Sekarang, dia hanya akan mengenangnya sebagai sebuah kenangan yang memalukan dan menjijikan.

   "Suci, jangan ribut. Ada musuh-musuh datang.....!"

   Tiba-tiba Biauw Eng berkata halus dan ke dua orang itu merasa jengah sendiri mengapa mereka ribut-ribut saja sehingga tidak mendengar datangnya ancaman musuh. Ketika mereka berdua memandang keluar gua, benar saja, di bawah sinar-sinar bintang-bintang yang suram, tampak berkelebat bayangan belasan orang yang gesit dan ringan. Bagaikan bayang-bayangan setan, belasan orang itu menerjang kereta dan terdengarlah suara hiruk pikuk, suara senjata-senjata dipukulkan pada kereta sampai kereta itu hancur dan roboh, kudanya lari tidak karuan. Agaknya orang-orang itu menjadi marah karena mendapatkan kereta itu kosong, dan melampiaskan kemarahan mereka pada kereta kosong!

   "Kurang ajar! Mereka merusak kereta!"

   Cui Im berseru marah.

   "Tenang, Suci. Mari kita sambut mereka! Dan kau Keng Hong, jangan mencampuri urusan kami, kau tinggal saja di sini dan menonton."

   Biauw Eng sikapnya tenang sekali dan kini dia mengajak sucinya untuk keluar dari gua menyambut belasan orang yang sudah mendengar seruan Cui Im dan kini menyerbu ke arah gua. Keng Hong duduk saja bersila di dalam gua, membuka mata memandang bayangan-bayangan itu dan telinganya mendengar suara Biauw Eng yang halus merdu dan tenang.

   "Siapa di depan? Mau apa kalian dan mengapa merusak kereta? Di sini Song-bun Siu-li dan Ang-kiam Tok-sian-li!"

   Belasan sosok bayangan itu tiba-tiba berhenti bergerak, agaknya tertegun dan kaget mendengar nama-nama itu, kemudian terdengar suara.

   "Kami empat orang anak murid Hoa-san-pai, mewakili suhu-suhu kami Hoa-san Siang-sin-kiam untuk diminta diserahkannya tawanan yang bernama Cia Keng Hong!"

   Remang-remang tampak oleh Keng Hong bahwa empat orang yang berkelompok itu adalah tiga orang muda dan yang seorang gadis, kesemuanya memegang pedang. Teringatlah dia akan dua orang tokoh Hoa-san, yaitu Hoa-san Siang-sin-kiam yang bernama Coa Kiu dan Coa Bu, kakak beradik yang hebat ilmu pedangnya itu. Jadi empat orang ini murid-murid mereka? Tentu lihai ilmu silatnya.

   "Pinceng bertiga adalah murid-murid Siauw-lim-pai, mentaati perintah ketua kami untuk menangkap Cia Keng Hong!"

   Tiga orang hwesio gundul Siauw-lim-pai itu masing-masing memegang sebatang toya dan tampaknya mereka itu kuat-kuat.

   "Kami sembilan orang adalah murid-murid Kong-thong Ngo-lojin, mewakili suhu-suhu kami untuk membawa Cia Keng Hong ke Kong-thong-pai!"

   Sembilan orang ini pun masih muda-muda dan kalau tidak keliru penglihatan Keng Hong dalam gelap itu, terdiri dari enam orang pemuda dan tiga orang pemudi, dengan senjata bermacam-macam, ada pedang, golok, tombak pendek, ruyung dan cambuk saja. Diam-diam Keng Hong menjadi gelisah. Betapapun lihainya Cui Im dan Biauw Eng, mana mungkin dapat menang menghadapi pengroyokan enam belas orang yang kesemuanya adalah murid-murid tokoh besar yang sakti? Namun, baik Cui Im maupun Biauw Eng bersikap tenang-tenang saja, bahkan kini terdengar suara Biauw Eng yang halus dan dingin, mengandung ejekan dan tantangan.

   "Cia Keng Hong adalah tangkapan yang berada di kekuasaan kami sebagai wakil dari Lam-hai Sin-ni. Tak seorang pun boleh mengganggunya. Kalian ini murid-murid tokoh besar di dunia kang-ouw, sungguh tak tahu malu telah merusak kereta kami. Kalau memang hendak menggunakan kekerasan, majulah, kami berdua tidak gentar menghadapi kalian!"

   "Omitohud, kiranya Song-bun Siu-li masih seorang bocah yang mulutnya sombong sekali!"

   Bentak seorang murid Siauw-lim-pai yang sudah menerjang maju dengan toyanya, diikuti dua orang sutenya. Yang lain-lain juga segera berseru keras dan menerjang maju, mengeroyok Cui Im dan Biauw Eng. Dua orang gadis murid Lam-hai Sin-ni mengeluarkan suara melengking tinggi dan tampaklah gulungan sinar pedang merah dari tangan Cui Im yang amat gemilang, disusul gulungan sinar putih sabuk sutera Biauw Eng yang lebih gemilang dan lebar lagi. Pertandingan berlangsung dengan seru di malam yang remang-remang itu.

   Tingkat kepandaian dua orang murid Lam-hai Sin-ni sesungguhnya lebih tinggi daripada tingkat kepandaian murid-murid Siauw-lim-pai, Kong-thong-pai dan Hoa-san-pai itu, apalagi Biauw Eng. Kiranya kalau hanya menghadapi pengeroyokan lima orang lawan saja, Biauw Eng masih ada harapan untuk menang. adapun takaran lawan Cui Im kiranya hanya dua atau paling banyak tiga orang lawan saja.

   Kalau mereka dikeroyok tujuh atau delapan orang, barulah ramai dan seimbang. Akan tetapi kini yang mengeroyok mereka adalah enam belas orang! Tentu saja kedua orang murid Lam-hai Sin-ni menjadi terdesak hebat sehingga terpaksa mereka itu harus saling bela dengan cara berdiri beradu punggung dan memutar senjata secepat mungkin untuk menangkis hujan senjata yang menimpa mereka. Sekali ini pun sabuk sutera putih di tangan Biauw Eng berjasa lagi karena sabuk yang panjang itu selain dapat melindungi tubuhnya sendiri, juga dapat membantu sucinya yang mulai repot. Bahkan beberapa kali Cui Im mengeluarkan teriakan marah ketika betis kirinya dan pangkal lengan kanannya tercium ujung senjata lawan sehingga bairpun bukan merupakan luka parah, namun cukup merobek baju dan kulit mengeluarkan darah.

   "Nona berdua sebaiknya menyerah saja. Kami tidak bermusuhan dengan nona berdua, juga tidak ingin membunuh. Kami hanya ingin menawan Cia Keng Hong karena guru-guru kami mempunyai urusan dengan dia sebagai wakil gurunya yang sudah berdosa terhadap partai kami,"

   Terdengar seorang pemuda murid Hoa-san-pai berkata nyaring.

   "Mulut besar!"

   Bentak Cui Im.

   "Keng Hong adalah tawanan kami, kalau kalian dapat membunuh kami, baru boleh bicara tentang menawan Keng Hong!"

   "Bagus! Memang kaum sesat selalu nekat dan mau menang sendiri!"

   Teriak seorang murid Kong-thong-pai dan kepungan diperketat, serangan diperdahsyat sehingga dua orang murid Lam-hai Sin-ni menjadi makin repot melindungi tubuh mereka dari cengkraman maut. Kini cuaca mulai makin terang karena bulan sepotong yang munculnya sudah malam itu mulai memuntahkan sinarnya. Keng Hong yang menyaksikan pertandingan itu menjadi gelisah. Ia maklum bahwa kedua orang nona itu sudah pasti akan roboh, kalau tidak tewas sedikitnya tentu terluka hebat.

   Ia sedang mempertimbangkan pendiriannya. Harus berfihak yang mana? Fihak enam belas orang itu memiliki pamrih yang sama, yaitu menawannya dan memaksanya menunjukan tempat simpanan pusaka gurunya seperti juga guru-guru mereka dahulu memperebutkan Siang-bhok-kiam adalah untuk mencari pusaka gurunya itu. Sebaliknya, fihak kedua, dua orang murid lam-hai Sin-ni itu pun sama juga. Jelas bahwa kedua fihak itu tidak ada yang bermaksud baik terhadap dirinya.dan dia merasa kasihan kepada dua orang gadis itu yang dianggapnya berada di fihak yang harus dia bantu. Dua melawan enam belas. Mana adil? Pula, pantaslah kalau dia kini berpeluk tangan saja menyaksikan gadis itu terancam bahaya? Bagaimana tindakan suhunya kalau suhunya menjadi dia? Pernah suhunya menasehatinya.

   "Kalau menolong orang, tolonglah saja berdasarkan perasaan hatimu. Jangan menengok latar belakangnya, jangan mengingat keadaannya, jangan pula memperhitungkan urusannya. Kalau kau merasa kasihan dan ingin menolong, tolonglah tanpa ada perasaan pamrih lainnya. kalau tidak ada rasa kasihan dan ingin menolong seperti itu, lebih baik kau tinggalkan tidur dan tidak perlu melibatkan diri dengan urusan orang lain."

   Keng Hong segera bangkit berdiri. Mungkinkah dia membiarkan saja dua orang gadis itu tewas? Tidak! Biarpun dia tidak suka kepada Cui Im, merasa sebal menyaksikan tingkah laku gadis itu, namun harus dia akui bahwa dia telah mengalami kesenangandengan gadis itu dan dia merasa tidak tega kalau melihat Cui Im tewas di ujung senjata banyak lawan yang mengeroyoknya. Apalagi terhadap Song-bun Siu-li yang bernama Biauw Eng. Gadis ini pernah membebaskannya dari kematian di ujung pedang Cui Im. Tentu saja dia tidak tega membiarkannya mati dikeroyok. Keng Hong melompat ke dekat tempat pertempuran, sebelah tangannya memegang sebatang ranting, dan dia berseru.

   "Cia Keng Hong berada di sini! Siapa yang hendak menangkap aku, majulah! Mengeroyok anak-anak perempuan kecil, apa tidak malu?"

   "Keng Hong, tutup mulutmu yang sombong!"

   Cui Im memaki marah karena dikatakan anak perempuan kecil, juga ia menjadi gelisah karena sekali. Keng Hong keluar, terbukalah kesempatan bagi para pengeroyok untuk melarikan pemuda itu. Benar saja.

   Mendengar teriakan ini, sebagian besar para pengeroyok meninggalkan dua orang gadis itu dan mengejar Keng Hong! Kini yang mengeroyok Cui Im dan Biauw Eng hanya tinggal enam orang saja, yaitu seorang hwesio siauw-lim-pai, dua orang murid Hoa-san-pai, dan tiga orang murid Kong-thong-pai. Adapun yang sepuluh orang sudah lari dan berebutan menubruk Keng Hong dengan tangan kosong karena mereka ingin menangkap pemuda itu hidup-hidup seperti yang diperintahkan guru masing-masing. Akan tetapi tubrukan mereka itu disambut sinar yang bergulung-gulung dari ranting yang diputar oleh Keng Hong. Terdengar bunyi plak-plik-pluk ketika ranting di tangan Keng Hong itu menyambet-nyambet mereka, ada yang terkena pipinya, ada yang terkena lehernya atau lengannya. Mereka berseru kaget dan meloncat mundur,

   Tidak mereka sangka bahwa sabetan ranting bisa mendatangkan rasa nyeri yang begitu hebat. Tahulah mereka bahwa murid Sin-jiu Kiam-ong ini tidak boleh dianggap remeh. Mereka kini maju lagi dan mulai mengirim pukulan, sungguhpun hal ini masih dilakukan dengan tangan kosong karena mereka ingin menangkapnya hidup-hidup. Melihat datangnya pukulan-pukulan ini, Keng Hong menggerakan rantingnya lagi. Namun dia merasa kaku sekali untuk mainkan Siang-bhok Kiam-sut dengan ranting itu dalam menghadapi pengeroyokan begini banyak orang. Hujan pukulan dan cengkraman itu ada yang dapat ditangkisnya, namun ada pula yang mengenai tubuhnya, bahkan kini selimut penutup tubuh belakangnya sudah terlepas, bajunya yang kena dicengkram juga mulai robek-robek. Timbulah kemarahan di hati Keng Hong.

   "Kalian nekat, ya?"

   Bentaknya dan ketika seorang hwesio Siauw-lim yang memiliki sinkang paling kuat mencengkram ke arah pundaknya dengan ilmu cengkraman Eng-jiauw-kang (Cengkraman Kuku Garuda), dia cepat mengulur tangan kanannya memapaki cengkraman itu sehingga kedua telapak tangan itu bertumbukan di udara.

   "Plakkk!!"

   Hwesio Siauw-lim-pai itu kaget bukan main, merasa betapa lengannya tergetar dan panas. Cepat dia berusaha menarik kembali tangannya, akan tetapi sia-sia saja, tangannya sudah melekat dengan tangan pemuda itu dan alangkah kaget hatinya ketika merasa hawa sinkang dari tubuhnya berserabutan keluar dari tubuh melalui tangannya itu, disedot oleh telapak tangan Keng Hong! Hwesio itu mengeluarkan teriakan-teriakan aneh dan teriakan-teriakan ini disusul teriakan-teriakan lain ketika banyak tangan sudah menempel di tubuh Keng Hong tanpa dapat ditarik kembali! Ada enam orang di antara para pengroyok yang kini telapak tangannya menempel di tubuh Keng Hong dan sinkang mereka membocor terus disedot oleh tubuh pemuda yang luar biasa ini.

   Yang menjadi paling bingung dan juga jengah sekali adalah seorang murid perempuan Kong-thong-pai dan seorang murid perempuan Hoa-san-pai. Mereka ini adalah dua orang gadis muda yang cantik dan gagah, kini mereka mebetot-betot kedua tangan mereka tanpa hasil, padahal mereka tadi yang menyerang dari belakang dan tangannya menempel pada pingul Keng Hong yang telanjang seadngkan yang seorang lagi tangannya menempel pada leher pemuda itu. Dilihat begitu saja seolah-olah mereka ini sedang main gila, sedang main raba dan colek terhadap tubuh si pemuda! Empat orang gagah yang lain ternganga keheranan, akan tetapi sebagai murid-murid orang sakti mereka ini dapat menduga bahwa si pemuda murid Sin-jiu Kiam-ong tentu menggunakan ilmu siluman sehingga teman-teman mereka melekat seperti itu. Seorang hwesio Siauw-lim-pai segera berkata.

   "Kita kumpulkan sinkang, dan berbareng kita membetot!"

   Ia lalu memegang tangan teman-temannya yang belum tersedot sinkangnya, kemudian mereka lalu memegang pundak mereka yang tersedot, dan mengerahkan kekuatan secara berbareng untuk menarik. Agar dapat menarik berbareng, hwesio itu memberi aba-aba.

   

Kisah Si Bangau Putih Eps 31 Pusaka Pulau Es Eps 7 Kisah Si Bangau Putih Eps 30

Cari Blog Ini