Ceritasilat Novel Online

Pusaka Pulau Es 12


Pusaka Pulau Es Karya Kho Ping Hoo Bagian 12



"Suhu, mari kita cepat pergi. Para pengawal tentu segera berdatangan!"

   "Heh-heh-heh, aku tidak pernah melarikan diri dari dapur sebelum perutku benar-benar kenyang. Mari kita makan dengan leluasa, Han Li. Begini lebih enak. Ini ada nasi dari Hang-ciu, nasinya lembut dan harum sedap."

   Kai-ong tidak mau pergi malah kini duduk menghadapi meja, menyambar mangkok dan sumpit lalu mulai makan dengan lahapnya. Han Li membanting-banting kaki dengan bingung. Sudah terdengar suara banyak kaki lari ke tempat itu.

   "Wah, ini bagaimana, Suhu? Mereka sudah berdatangan!"

   "Biarkan saja. Kalau mereka berani mengganggu aku makan, akan kuhajar! Nih, kau makan nasi, Han Li. Atau ingin buah-buahan segar. Itu di sana banyak anggur, buah leci dan apel. Tinggal pilih mana yang kau suka, heh-heh-heh!"

   "Akan tetapi, Suhu....!"

   Han Li tidak dapat melanjutkan kata-katanya karena pada saat itu di ambang pintu dapur telah bermunculan pasukan pengawal yang belasan orang jumlahnya. Seorang komandan pengawal menudingkan goloknya ke arah Kai-ong yang sedang melahap makanan,

   "Pencuri busuk, engkau mengacau di dapur istana pangeran?"

   "Heh-heh-heh, makanan ini datangnya dari perahan keringat rakyat, apakah kami tidak boleh merasakannya? Aku mendengar bahwa Pangeran Mahkota adalah seorang yang dermawan dan bijaksana. Apakah dia tidak mengijinkan kami mencicipi makanan ini?"

   Kata Kai-ong sambil menggigit paha ayam dan menyeringai ke arah para pengawal.

   "Keparat, berani engkau....!"

   "Tahan dulu, Ciangkun. Biarkan kami bicara dengan mereka!"

   Tiba-tiba terdengar suara lembut dan perwira pengawal itu terpaksa mundur lagi karena yang menegurnya adalah Pangeran Mahkota Tao Kuang sendiri. Han Li dan Kai-ong memandang penuh perhatian dan melihat munculnya seorang laki-laki bangsawan yang tampan dan berwibawa. Usianya sekitar empat puluh tahun. Di sebelah kanannya berdiri seorang wanita cantik dan di sebelah kirinya berdiri seorang gadis manis. Baik wanita cantik maupun gadis manis itu membawa sebatang pedang di punggung mereka sehingga mereka nampak anggun dan juga gagah.

   Pria itu adalah Pangeran Mahkota Tao Kuang. Gadis manis itu bukan lain adalah Tao Kwi Hong dan wanita cantik itu ibunya. Mereka tadi sedang bersiap hendak makan siang ketika mendengar laporan para koki bahwa di dapur terdapat kakek pengemis yang mencuri makanan. Pangeran Mahkota Tao Kuang tertarik mendengar ini dan dikawal oleh Tao Kwi Hong dan ibunya, Liang Siok Cu, mereka bergegas menuju ke dapur. Pangeran Mahkota Tao Kuang memiliki watak seperti kakeknya, yaitu suka bergaul dan menghargai orang-orang kang-ouw. Maka, begitu melihat kakek berpakaian pengemis itu bersama seorang gadis cantik yang mendatangkan kekacauan di dapurnya, dia melarang para pengawal turun tangan. Dia sendiri lalu mengangkat kedua tangan ke depan dada sebagai pemberian hormat dan berkata dengan lembut,

   "Apakah kunjungan Locianpwe dan Nona ini hanya untuk mencicipi makanan?"

   "Habis, untuk apa lagi? Kami tidak mempunyai urusan dengan Pangeran Mahkota Tao Kuang, heh-heh-heh!"

   Kata Kai-ong.

   "Kamilah Pangeran Mahkota Tao Kuang. Kalau begitu, biarlah kami mengundang Locianpwe dan Nona untuk makan bersama!"

   Penawaran ini diajukan dengan sikap lembut dan manis sehingga Han Li merasa tidak enak dan malu sendiri.

   "Kau dengar itu, Han Li?"

   Kata Kai-ong sambil tertawa girang.

   "Sudah lama aku mendengar bahwa Pangeran Mahkota Tao Kuang adalah seorang yang bijaksana dan sekarang terbukti kebenaran berita itu. Terima kasih, Pangeran, kami menerima undanganmu itu, ha-ha-ha!"

   Han Li diam saja akan tetapi merasa tidak enak hati. Sejak kecil ia mendengar tentang penjajahan bangsa Mancu terhadap negara dan bangsanya. Ia sendiri adalah puteri ketua Thian-li-pang yang bercita-cita memerdekakan bangsa dan sekarang ia diundang makan bersama oleh keluarga Pangeran Mahkota bangsa Mancu! Akan tetapi, menolak pun tidak mungkin karena gurunya sudah menerima, maka ia pun mengikuti saja ketika mereka dipersilakan masuk ke dalam ruangan makan yang luas. Setelah mereka duduk menghadapi meja makan, hidangan-hidangan yang paling lezat disuguhkan. Pangeran Tao Kuang memberi isyarat kepada pelayan untuk mengisi arak dalam cawan-cawan perak di depan tamunya lalu menyulangi dua orang tamunya dengan secawan arak.

   "Silakan Ji-wi (Anda Berdua) minum untuk ucapan selamat datang kami dan untuk perkenalan ini."

   Sambil tersenyum lebar Kai-ong minum secawan arak itu dan Han Li hanya mencontoh gurunya, Pangeran Tao Kuang memperkenalkan selirnya dan puterinya lalu bertanya,

   "Siapakah nama Locianpwe yang terhormat dan siapa pula Nona ini?"

   "Heh-heh-heh, Pangeran. Terima kasih bahwa Paduka suka menyambut kami orang-orang biasa dengan ramah tamah. Saya bernama Lu Tong Ki orang biasa saja, bahkan pengemis yang tidak pernah minta-minta."

   "Lu Tong Ki....? Apakah bukan Kai-ong (Raja Pengemis) Lu Tong Ki?"

   Tiba-tiba Liang Siok Cu bertanya dengan kaget.

   "Heh-heh-heh, saya hanyalah rajanya para pengemis, Nyonya."

   "Mendiang ayahku Liang Cun, sering bicara tentang Locianpwe."

   Kata nyonya itu kagum. Kini sepasang mata Lu Tong Ki terbelalak,

   "Liang Cun? Ah, Sin-tung Koai-jin sudah meninggal dunia dan Nyonya adalah puterinya? Pantas, kalian begini ramah. Kiranya keturunan seorang datuk dari Thai-san!"

   "Ha-ha-ha, kiranya kita berada di antara orang sendiri!"

   Pangeran Tao Kuang tertawa gembira.

   "Dan engkau, Enci yang baik, siapakah namamu?"

   Tiba-tiba Kwi Hong bertanya kepada Han Li sambil memandang gadis itu penuh perhatian.

   "Apakah engkau murid Locianpwe ini'?"

   "Benar, aku murid Suhu, namaku Yo Han Li,"

   Jawab Han Li singkat.

   Mereka mulai makan dan minum. Setelah selesai makan di mana Kai-ong dapat memuaskan seleranya, tiba-tiba Raja Pengemis itu tertawa dan mengelus perutnya.

   "Aihhh, kalau setiap hari makan begini, dalam waktu sebulan aku akan menjadi orang gendut!"

   Semua orang tertawa dan Kai-ong kembali berkata,

   "Ha-ha-ha, Pangeran tentu tidak menduga siapa adanya nona yang mengaku saya sebagai gurunya ini. Sesungguhnya ia jauh lebih terkenal dari pada saya yang hanya raja kaum pengemis. Ibunya terkenal dengan julukan Si Bangau Merah, ayahnya lebih terkenal lagi dengan julukan Pendekar Tangan Sakti yang juga menjadi ketua Thian-li-pang...."

   "Ahhh....!!"

   Liang Siok Cu berseru kaget sambil memandang Han Li, sedangkan wajah Pangeran Tao Kuang juga berubah agak pucat. Akan tetapi Kwi Hong berseru girang,

   "Aih, kiranya Enci ini puteri Paman Yo? Senang sekali bertemu dengan puteri Paman Yo Han!"

   "Kwi Hong, apakah engkau mengenal ketua Thian-li-pang?"

   Tanya Pangeran Mahkota Tao Kuang, sedangkan isterinya siap untuk melindungi suaminya kalau-kalau puteri pemberontak itu mempunyai niat jahat.

   "Ayah, aku tidak tahu apakah paman Yo itu ketua Thian-li-pang. Yang aku ketahui dia adalah seorang yang gagah perkasa dan telah menolongku dari pengeroyokan pemberontak Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai. Aku kagum sekali kepadanya!"

   Han Li tadi terkejut bukan main mendengar gurunya memperkenalkan ayahnya sebagai ketua Thian-li-pang, akan tetapi ia merasa heran dan juga lega mendengar bahwa Kwi Hong pernah ditolong ayahnya.

   Ketika ia melirik ke arah gurunya. Ia melihat Kai-ong tersenyumsenyum kepadanya dan ia pun dapat menduga bahwa gurunya sengaja menyebut Thian-li-pang untuk menguji sampai di mana ketulusan hati dan kebijaksanaan Pangeran Mahkota itu! Dan memang sebenarnya begitulah. Maklum bahwa ucapannya tadi bisa mendatangkan bahaya, maka diam-diam Kai-ong juga sudah bersiap-siap. Dia cerdik sekali dan andaikata disebutnya Thian-li-pang itu membuat Pangeran Mahkota marah dan mengerahkan pasukan pengawalnya, dia tentu akan bertindak menawan sang pangeran lebih dulu agar dia dan muridnya dapat keluar dari istana itu dengan aman! Akan tetapi dia pun merasa lega ketika ucapan Kwi Hong membuyarkan suasana yang tegang tadi. Kini Pangeran Mahkota yang berkata kepada Han Li,suaranya mengandung perasaan heran.

   "Aneh sekali! Ketua Thian-li-pang menolong puteriku dan hari ini aku menjamu puterinya! Dan semua orang tahu bahwa Thian-li-pang adalah sebuah perkumpulan yang berjiwa pemberontak!".

   "Ayah saya tidak pernah membenci perorangan, Pangeran. Yang ditentangnya adalah penjajah dan penindasan!"

   Jawab Han Li dengan tegas.

   "Heh-heh-heh, dalam anggapan Paduka memang Thian-li-pang pemberontak, Pangeran."

   Kata pula Kai-ong.

   "Akan tetapi dalam anggapan kami rakyat jelata, Thian-li-pang berjiwa pendekar dan pejuang."

   "Berjuang untuk apa?"

   Pangeran Mahkota mendesak.

   "Berjuang untuk menegakkan kebenaran dan keadilan, berjuang untuk kemerdekaan tanah air dan bangsa."

   Kata pula Kai-ong dan ketika mengucapkan kata-kata ini, dia tidak lagi tertawa melainkan berkata dengan suara dan wajah serius.

   "Sama saja, itu pemberontakan namanya, menentang pihak yang berkuasa."

   Bantah Pangeran Mahkota Tao-Kuang.

   "Harap Paduka mempertimbangkan dengan hati dan kepala yang tenang dan dingin."

   Kata pula Kai-ong.

   "Coba Paduka tempatkan diri Paduka sebagai rakyat kami. Apakah Paduka tidak mempunyai keinginan untuk memerdekakan tanah air dan bangsa dari belenggu penjajah? Salahkah itu kalau seseorang bercita-cita untuk kebebasan dan kemerdekaan bangsanya?"

   Pangeran Tao Kuang mengangguk-angguk.

   "Mungkin juga kami akan berpendirian yang sama. Akan tetapi kami bukan penindas. Kami menganggap bangsa Han seperti bangsa sendiri. Kami ingin menjalankan pemerintahan yang adil, ingin menyejahterakan rakyat."

   "Kami percaya, Pangeran. Akan tetapi yang ditentang oleh para pejuang adalah pemerintahan penjajah, bukan perorangan, seperti dikatakan murid saya Han Li tadi."

   "Akan tetapi sekarang terbukti bahwa di antara kita tidak ada kebencian atau permusuhan. Anak kami telah diselamatkan ketua Thian-li-pang dan anak ketua Thian-li-pang kami undang makan menjadi tamu terhormat kami!"

   Kata Pangeran Tao Kuang sambil tersenyum.

   "Ayah, kuharap enci Han Li menjadi tamu kita untuk beberapa waktu lamanya. Aku ingin mengenalnya lebih dekat dan berbincang-bincang tentang ilmu silat dengannya!"

   Kata Kwi Hong kepada ayahnya. Pangeran Mahkota Tao Kuang mengangguk dan tersenyum ramah kepada Kai-ong,

   "Aku tidak keberatan dan mereka ini boleh tinggal di istana sebagai tamu berapa lama pun mereka kehendaki!"

   Kai-ong tertawa.

   "Bagus! Aku suka sekali tinggal di sini beberapa lamanya sampai puas makan enak setiap hari, Han Li, kita tinggal di sini sampai bosan!"

   Kwi Hong merasa gembira sekali. Dengan senyum manis ia bangkit menghampiri Han Li dan menggandeng tangan gadis itu.

   "Mari kita melihat-lihat taman, enci Han Li. Dan kutunjukkan kamarmu di mana engkau boleh tinggal!"

   Kedua orang gadis itu pergi dan meninggalkan Kai-ong yang diajak bercakap-cakap oleh Pangeran Tao Kuang.

   Raja pengemis itu bersama muridnya menjadi tamu dari Pangeran Mahkota! Cu In tidak peduli bahwa dirinya menjadi pusat perhatian orang-orang yang dijumpainya di jalan dalam kota raja. Mukanya yang tertutup sutera putih dari batas hidung ke bawah itulah yang menarik perhatian orang. Akan tetapi tidak ada seorang pun mengganggunya. Tentu mereka itu mengira bahwa ia seorang wanita dari Turki atau negara Islam lainnya. Wanita-wanita Islam biasanya menutup mukanya dengan cadar seperti itu. Tidak sukar bagi Cu In untuk mendapat keterangan di mana adanya rumah Panglima The Sun Tek. The-ciangkun adalah seorang panglima yang terkenal di kota raja. Dialah yang memimpin pasukan memadamkan pemberontakan di selatan.

   The-ciangkun seorang panglima yang bukan hanya pandai ilmu perang, akan tetapi juga seorang yang memiliki ilmu silat tinggi. Cu In tidak tahu orang macam apa adanya The Sun Tek. Yang penting baginya adalah bahwa ia harus membunuh orang itu. Menurut gurunya, panglima The itu adalah musuh besar gurunya, dan lebih daripada itu, panglima The itulah yang membunuh ayah bundanya sehingga ia menjadi seorang yatim piatu sejak masih bayi! Dan sejak bayi ia dipelihara oleh subonya, maka kini tugas untuk membunuh musuh besar subonya itu akan dilaksanakan sebaik mungkin. Bukan hanya untuk membalas budi gurunya, melainkan juga untuk membalas dendam ayah bundanya. Cui In merasa agak heran namun girang melihat kenyataan bahwa rumah itu tidak dijaga regu keamanan seperti rumah para panglima tinggi lainnya. Rumah itu dari luar nampak sunyi saja.

   Cui In lalu mengelilingi pagar tembok rumah itu dan ternyata rumah itu memiliki pekarangan dan taman yang luas sekali. Hari itu panas sekali. Matahari telah naik tinggi. Bagaikan seekor burung saja ringannya, Cui In sudah melompati pagar tembok di bagian belakang rumah itu dan mendekam di atas untuk mengintai ke sebelah dalam pagar. Ternyata di sebelah dalam-nya terdapat sebuah taman yang luas, penuh dengan bunga warna warni yang sedang berkembang sehingga suasana di taman itu nyaman dan indah sekali. Ia melompat turun ke sebelah, dalam dan menyelinap di antara pohon-pohon. Agak jauh di tengah taman itu terdapat sebuah pondok dengan dinding rendah dan bagian atasnya terbuka. Semacam tempat untuk duduk bersantai menikmati keindahan taman. Di depan pondok itu terdapat sebuah kolam ikan dengan bunga teratai dan ikan-ikan emas berenang di dalam kolam.

   Gemercik suara air di kolam yang jatuh dari sebuah pancuran mendatangkan suara yang menyejukkan hati. Cui In cepat menyusup ke balik rumpun bunga. Ia melihat seorang laki-laki melangkah seenaknya dengan santai menuju ke panggung atau pondok itu, memasukinya dan duduk di atas bangku menghadapi kolam ikan. Cui In mengintai dan melihat bahwa pria itu berusia lima puluh tahun lebih, akan tetapi rambut kepalanya sudah banyak beruban. Rambut itu dikuncir ke belakang dan diikat dengan sutera biru. Wajah yang mulai berkerut merut itu masih nampak tampan dan gagah. Akan tetapi sinar matanya mengandung duka. Sampai lama pria itu termenung memandangi kolam ikan dan berulang kali dia menghela napas panjang. Tiba-tiba pria itu menengadahkan mukanya, memandangi awan yang berarak di angkasa, dan dia membaca sajak.
"
Seperti awan bergerak di angkasa
kita bercanda penuh suka dan tawa
sumpah saling mencinta saling setia
berbahagia memadu asmara
semua itu hilang musnah
ketika angin datang menerpa
kita berpisah dan merana
yang tertinggal hanyalah air mata!
"
Cu In tertegun. Ia mengenal betul sajak itu karena gurunya, Ang Hwa Nio-nio, sering menyanyikan sajak itu dalam sebuah lagu yang sedih. Dan sekarang pria itu bersajak yang sama! Karena perasaan terguncang, tubuh Cu In membuat gerakan. Biarpun gerakan itu tidak menimbulkan suara keras, akan tetapi pria itu memutar tubuhnya dan terdengar suaranya lantang,

   "Sobat, tidak ada gunanya lagi engkau bersembunyi. Aku telah mengetahui keberadaanmu di situ!"

   Pria itu memandang ke arah Cu In. Cu In terpaksa muncul dari balik rumpun bunga lalu menghampiri pondok itu. Pria itu nampak terkejut dan terheran-heran melihat bahwa yang muncul adalah seorang gadis yang mukanya ditutup cadar putih, pakaiannya juga serba putih.

   "Siapa engkau? Apa keperluanmu datang ke tempat ini tanpa diundang?"

   Tanya pria itu dan suaranya mengandung wibawa yang kuat. Akan tetapi Cu In tidak menjawab, melainkan balas bertanya,

   "Apakah engkau yang bernama The Sun Tek?" "Tidak salah, akulah The Sun Tek. Siapakah engkau, Nona?"

   "Namaku Souw Cu In dan aku datang ke sini untuk membunuhmu, The Sun Tek!"

   The Sun Tek tidak menjadi terkejut mendengar pengakuan itu. Sebagai seorang panglima besar, dia tahu bahwa banyak orang menginginkan kematiannya untuk membalas dendam karena dia sudah sering menghancurkan usaha pemberontakan di mana-mana sehingga tidaklah aneh kalau ada yang mendendam kepadanya. Sering pula terdapat usaha orang-orang yang memusuhinya untuk membunuhnya. Akan tetapi baru sekarang usaha itu akan dilakukan seorang gadis muda. Hal ini mendatangkan rasa penasaran dalam hatinya.

   "Membunuh orang tentu ada alasannya yang kuat, Nona. Kenapa engkau hendak membunuhku. Kita belum pernah bertemu dan di antara kita tidak terdapat urusan apa pun!"

   "Kita memang tidak pernah bertemu akan tetapi engkau keliru kalau mengira di antara kita tidak pernah terdapat urusan apa pun. Alasanku datang untuk membunuhmu ini cukup kuat. Pertama, aku hendak membalaskan dendam kematian ayah bundaku yang telah kau bunuh! Dan kedua, aku datang mewakili guruku yang menjadi musuh besarmu!"

   The Sun Tek mengerutkan alisnya. Kedudukannya sebagai panglima besar yang memimpin pasukan memang banyak resikonya. Entah berapa banyak orang yang dapat menaruh dendam kepadanya karena orang tuanya terbunuh dalam perang.

   "Hemmm, siapakah nama ayah bundamu itu, Nona? Aku tidak merasa pernah membunuh orang, kecuali tentu saja dalam perang. Apakah ayah bundamu tewas dalam peperangan melawan pasukanku?"

   "Aku tidak tahu siapa ayah bundaku, tidak pernah mengenalnya karena sejak aku masih bayi engkau telah membunuh mereka."

   "Lalu bagaimana engkau dapat tahu bahwa aku pembunuh mereka?"

   "Guruku yang memberi tahu."

   "Aha, gurumu yang kau wakili untuk menghadapi aku sebagai musuh besarnya itu? Dan siapa gerangan nama gurumu itu, Nona?"

   "Guruku adalah Ang Hwa Nio-nio!"

   The Sun Tek mem-belalakkan kedua matanya, lalu wajahnya nampak muram dan mengandung duka.

   "Ahhh, Hong Bwe.... Hong Bwe, sampai begitu mendalamkah bencimu kepadaku? Bertahun tahun aku mencarimu dan kini tiba-tiba muncul muridmu untuk membunuhku?"

   Cu In tidak mengerti apa yang dimaksudkan pria itu. Ia sudah melolos sabuk suteranya dan berkata,

   "The Sun Tek, bersiaplah engkau untuk menghadapi seranganku!"

   "Nanti dulu, nona Souw. Bersabarlah karena aku tidak akan pernah melarikan diri darimu. Engkau tidak dapat membunuh orang begitu saja tanpa alasan yang kuat. Engkau harus yakin benar bahwa aku adalah pembunuh orang tuamu. Dan tentang permusuhanku dengan gurumu Ang Hwa Nio-nio itu, tidakkah engkau ingin untuk mengetahui sebab sebabnya?"

   "Aku hanya mendengar tentang kematian ayah bundaku dari guruku, dan kalau guruku sampai menganggap bahwa engkau musuh besarnya, tentulah engkau telah melakukan hal yang amat jahat terhadap subo."

   "Tahan dulu dan dengarlah sebentar penjelasanku. Aku melihatmu sekarang ini, tiada ubahnya seperti ia ketika itu! Bentuk tubuhmu, matamu itu, dan suaramu! Engkau seperti pinang dibelah dua dengan Hong Bwe! Karena itulah aku ingin engkau mendengar penjelasanku."

   Cu In meragu. Ia tidak mengenal siapa itu Hong Bwe, akan tetapi ia pun tidak dapat menolak keinginan orang tua ini untuk menceritakan persoalannya dengan gurunya. Ia pun meragukan, jangan-jangan bukan orang ini pembunuh ayah bundanya dan subonya bercerita demikian agar ia membenci orang ini.

   "Sesukamu, bicaralah, akan tetapi jangan harap aku akan percaya begitu saja keteranganmu."

   "Percaya atau tidak terserah. Terima kasih kalau engkau suka untuk mendengar ceritaku. Silakan duduk, nona Souw."

   The Sun Tek mempersilakan Cu In duduk dan gadis ini pun mengambil tempat duduk berhadapan dengan panglima itu, terhalang meja kecil. Setelah menghela napas panjang beberapa kali, The Sun Tek berkata,

   "Aku tidak tahu sampai tingkat apa ilmu silatmu, akan tetapi kalau gurumu sudah mengutusmu untuk membunuhku, aku percaya bahwa engkau tentu cukup lihai. Barangkali aku akan terbunuh olehmu, maka aku senang bahwa engkau suka mendengar ceritaku. Terjadinya cerita ini kurang lebih dua puluh tahun yang lalu. Ketika itu, aku belum menjadi seorang panglima, akan tetapi aku suka bertualang di dunia kang-ouw dan mengenal banyak tokoh kang-ouw. Aku lalu bertemu seorang gadis kang-ouw bernama Sim Hong Bwe. Kami berkenalan dan saling jatuh cinta. Ketika itulah aku melamar pekerjaan sebagai seorang perwira muda. Karena orang tuaku mengenal panglima yang bertugas menerima para perwira muda, maka aku pun dapat diterima sebagai seorang perwira. Orang tuaku lalu mendesakku untuk menikah. Ketika aku memberitahu bahwa aku telah mempunyai seorang pilihan hati, yaitu Sim Hong Bwe, ayahku marah. Menikah dengan seorang gadis kang-ouw? Tidak, katanya. Karena aku telah mempunyai tugas dan kedudukan, aku harus menikah dengan seorang gadis baik-baik, dari keluarga yang terhormat. Aku tidak mampu membantah ayahku dan terpaksa aku menerima saja dijodohkan seorang gadis puteri seorang bangsawan."

   Sampai di sini The Sun Tek menghentikan ceritanya, agaknya dia mengingat kembali peristiwa yang membuatnya selalu berduka itu. Dia memandang kepada Cu In, akan tetapi Cu In tidak mengacuhkannya karena ia tidak tahu apa hubungannya semua itu dengan tugasnya membunuh musuh besarnya ini.

   "Aku harus menghadapi kemarahan Sim Hong Bwe. Ia tidak mau mendengar alasanku, bahkan ia menolak keras ketika aku mengusulkan agar ia suka menjadi selirku. Kalau hanya sebagai selir, tentu ayahku tidak akan keberatan. Akan tetapi Hong Bwe menolak dan menuntut agar aku menikahi-nya sebagai isteri yang sah. Aku tidak mungkin memenuhi permintaannya dan ia menjadi demikian marah sehingga meninggalkan aku begitu saja. Padahal, pada waktu itu ia telah mengandung! Ia meng-andung anakku dan sejak itu aku tidak pernah dapat menemukannya. Aku selalu mencarinya, bahkan sampai sekarang aku masih mencarinya. Akan tetapi ia menghilang begitu aku dapat menemukan tempat persembunyian. Aku mendengar bahwa ia telah melahirkan seorang anak perempuan, akan tetapi tidak pernah aku melihat anakku itu pula."

   Cu In mengamati wajah di depannya dengan tajam dan penuh selidik. Wajah itu kelihatan jujur dan tidak berbohong. Ia menjadi bingung ketika mulai dapat menangkap bahwa yang disebut Hong Bwe itu tentulah nama kecil subonya. Akan tetapi subonya tidak mempunyai anak perempuan! Anak laki-laki pun tidak. Subonya tidak mempunyai anak!

   "Nah, demikianlah keadaannya, nona Souw. Sim Hong Bwe itu adalah gurumu. Aku sudah mendengar bahwa ia memakai nama Ang Hwa Nio-nio karena di rambutnya selalu ada kembang merah. Dan itu adalah kesenangan dan kebiasaan Hong Bwe, menghias rambutnya dengan bunga merah. Itulah sebabnya maka ia membenciku dan mengutusmu untuk membunuhku. Akan tetapi aku mencintainya, sampai sekarang masih tetap mencintainya. Sekarang isteriku telah meninggal dunia karena sakit, dan aku mengharapkan Hong Bwe untuk menjadi isteriku. Akan tetapi, agaknya ia tidak dapat memaafkan aku. Nona Souw, engkau muridnya, tentu engkau mengerti bagaimana keadaannya dengan puterinya. Sudah besarkah sekarang anakku itu? Siapa pula namanya?"

   Cu In menggeleng kepalanya.

   "Subo tidak mempunyai seorang puteri, juga tidak mempunyai putera. Subo tidak pernah menikah dan tidak mempunyai anak."

   Ia tidak menceritakan betapa subonya amat benci kepada laki-laki, bahkan sejak ia masih kecil ia pun dilatih untuk membenci dan tidak percaya kepada pria, terutama kepada pria yang mencintanya! Agaknya sakit hati subonya kepada The Sun Tek demikian mendalam, membuat ia menjadi pembenci laki-laki.

   "Nah, demikianlah ceritaku. Aku tidak pernah membunuh orang begitu saja karena urusan pribadi. Kalau aku membunuh orang, tentu hal itu terjadi dalam perang. Maka, aku merasa tidak pernah membunuh ayah bundamu. Mungkin ayahmu berada dalam pasukan musuh sehingga dalam perang aku membunuhnya, akan tetapi tidak mungkin ibumu juga ikut berperang. Aku yakin bahwa itu hanya suatu akal dari Hong Bwe untuk membuat engkau membenci padaku dan membalas dendam kematian ayah bundamu. Dan melihat keadaan dirimu, walaupun mukamu tertutup cadar, aku hampir yakin bahwa engkaulah anak itu, Nona! Engkaulah anak dari Hong Bwe sendiri. Engkaulah anakku. Perasaanku mengatakan demikian. Suaramu dan pandang matamu itu tidak dapat menipuku. Itulah suara dan mata Hong Bwe! Ya Tuhan demikian bencikah ia kepadaku sehingga ia ingin melihat anakku sendiri membunuhku?"

   Cu In bangkit berdiri. Mukanya menjadi pucat. Kemungkinan itu menyerbu pikirannya. Besar sekali kemungkinan apa yang diduga orang tua ini benar. Ia sendiri mempunyai perasaan yang aneh terhadap panglima ini. Tidak ada rasa benci, bahkan ada perasaan iba kepadanya. Jangan-jangan dia benar ayahnya! Pada saat itu terdengar bentakan suara lembut,

   Pusaka Pulau Es Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Cu In, cepat laksanakan perintahku. Jangan dengar dia dan bunuhlah musuh besar kita itu!"

   Yang muncul adalah Ang Hwa Nio-nio. Mukanya kemerahan dan sepasang matanya mencorong penuh kebencian ditujukan kepada The Sun Tek. Panglima itu melangkah maju menghampiri,

   "Hong Bwe....! Ah, bertahun-tahun aku mencarimu, Hong Bwe. Akan tetapi engkau selalu menyingkir. Kembalilah kepadaku, Hong Bwe dan sekarang aku dapat memenuhi permintaanmu. Engkau dapat menjadi isteriku. Dan anak kita! Bukankah nona Souw ini anak kita? Begitu kejamkah engkau menyuruh anak kita untuk membunuhku?"

   "Kejam katamu? Orang seperti engkau ini masih bisa mengatakan orang lain kejam? Engkau yang membuat aku hidup sengsara dan merana selama dua puluh tahun! Engkaulah manusia yang paling kejam di dunia. Cu In, cepat kau bunuh dia!"

   Akan tetapi kini Cu In memandang kepada subonya dengan sinar mata penuh tuntutan.

   "Subo, benarkah dia itu ayahku?"

   "Hemmm, Cu In, jangan sebut subo kepadanya, melainkan ibu!"

   Kata The Sun Tek, kini hampir yakin bahwa gadis itu pasti anaknya dari Hong Bwe.

   "Tidak peduli dia. itu apamu, engkau harus membunuhnya. Sekarang juga! Hayo, cepat serang dan bunuh dia!"

   Kembali Ang Hwa Nio-nio membentak, suaranya bercampur tangis saking jengkel hatinya.

   "Akan tetapi, Su.... bo....!"

   "Tidak ada tetapi, hayo laksanakan perintahku!"

   "Tidak! Kalau benar dia itu ayahku, aku tidak akan membunuhnya!"

   "Kau.... kau.... berani membantah perintahku? Dari kecil kau kubesarkan, kupelihara, kudidik, hanya untuk melaksanakan keinginanku ini. Kalau engkau tidak mau, aku akan membunuhmu di depan matanya!"

   Ang Hwa Nio-nio menggertak sambil menghunus pedangnya.

   "Jawab dulu, apakah benar dia itu ayahku dan engkau ibuku? Kalau sudah kau jawab, baru aku akan menentukan sikapku."

   "Ya atau tidak, engkau harus membunuhnya atau engkau akan kubunuh sendiri!"

   "Tidak! Aku tidak mau!"

   "Kalau begitu mampuslah kau di depan matanya!"

   Ang Hwa Nio-nio lalu menggerakkan pedangnya dan menyerang Cu In dengan ganasnya. Cu In meloncat ke belakang akan tetapi pedang gurunya mengejar terus.

   "Tranggg....!"

   Pedang itu tertangkis dan terpental oleh sebatang pedang lain, yaitu pedang dalam tangan The Sun Tek.

   "Hong Bwe, tahan dulu! Apakah engkau sudah menjadi gila? Gila oleh dendam yang kau buat sendiri? Hong Bwe, aku memang bersalah kepadamu, kesalahan karena keadaan, karena desakan orang tua. Aku bersedia minta maaf kepadamu sejak lama, dan aku bersedia menerimamu sebagai isteriku yang sah. Mengapa engkau masih mendendam, dan hendak memaksa anak kita membunuhku? Kalau dia tidak mau engkau akan membunuhnya di depan mataku? Begitu kejamkah hatimu, Hong Bwe? Tidak ingatkah engkau betapa dahulu kita saling mencinta dan sampai sekarang pun aku masih mencintamu? Hong Bwe, aku menyesal sekali, aku minta maaf kepadamu, aku mohon ampun kepada-mu. Kalau engkau masih mendendam, nah, ini dadaku, tusuklah dan aku tidak akan melawanmu. Aku rela mati di tanganmu kalau hal itu akan membahagiakan hatimu. Akan tetapi jangan paksa anakku membunuhku!"

   Sim Hong Bwe atau Ang Hwa Nionio tertegun, memandang pria itu dan tiba-tiba tangannya gemetar, pedangnya terlepas dari tangannya, lalu telunjuknya menuding ke arah muka The Sun Tek.

   "Kau.... kau.... ahhhhh....! "

   Tubuhnya terhuyung dan ia tentu akan jatuh kalau tidak cepat The Sun Tek merangkul dan memapahnya. Akan tetapi Ang Hwa Nio-nio telah jatuh pingsan dalam rangkulannya.

   Cu In memalingkan mukanya. Kedua matanya basah air mata, bukan hanya karena keharuan melainkan karena sedih hatinya bahwa ibu kandungnya sendiri yang hendak memaksa ia membunuh ayah kandungnya. Sungguh ibunya keterlaluan. Karena sakit hati, membuahkan pembalasan dendam yang teramat kejam. Dendam ibunya kepada ayahnya sedemikian mendalam sehingga ia tidak puas kalau harus membunuhnya sendiri melainkan menyuruh anak kandung mereka yang membunuhnya. Dan pada saat terakhir, ucapan The Sun Tek agaknya membuatnya lemas, lemah lunglai dan tidak dapat menahan jeritan hatinya sendiri bahwa selama ini, sampai kini, ia masih mencintai pria itu! Cu In berlari meninggalkan tempat itu dengan air mata bercucuran.

   "Cu In....!"

   Terdengar The Sun Tek memanggi-manggil, akan tetapi Cu In tidak peduli dan berlari terus, meloncati pagar tembok meninggalkan rumah besar itu. Sementara itu, Ang Hwa Nio-nio sadar dari pingsannya. Melihat ia berada dalam rangkulan bekas kekasihnya, ia meronta dan meloncat berdiri. The Sun Tek berlutut di depan kakinya.

   "Hong Bwe, aku mohon ampun darimu. Lihat, aku benar-benar menyesal dan ingin menebus kesalahanku kepadamu. Aku akan menghabiskan sisa hidupku untuk membahagiakanmu. Kalau perlu aku akan mengundurkan diri dari jabatanku. Seharusnya hal ini sejak dahulu kulakukan. Maafkanlah aku dan terimalah uluran tanganku, Hong Bwe."

   Wanita itu seperti nanar, memandang sekeliling.

   "Mana ia....? Mana Cu In anakku....?"

   Baru sekarang ia terang-terangan menyebut gadis itu sebagai anaknya.

   "Ia telah lari. Dapat kubayangkan betapa sakit hatinya melihat ayah dan ibunya sendiri hampir saling bunuh. Ah, kelak kita harus memberi cinta kasih dan kesayangan kepada anak kita."

   "Aku juga telah bertindak keliru menuruti hatiku yang panas dan penuh dendam. Aku telah membuat ia menjadi pembenci pria dan ia bahkan rela memakai cadar agar mukanya jangan sampai terlihat pria. Aku mabuk dendam karena engkau...."

   "Aku menyesal. Sekarang marilah kita bangun kembali rumah tangga kita, kita hidup bahagia seperti dulu...."

   The Sun Tek memegang kedua tangan wanita itu. Pada saat itu muncul seorang pemuda berusia dua puluhan tahun, pemuda yang tampan dan gagah. Melihat The Sun Tek bercakap-cakap
(Lanjut ke Jilid 12)
Pusaka Pulau Es (Seri ke 17 - Serial Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 12
dengan seorang wanita asing di taman dalam suasana yang begitu akrab, memegang kedua tangan, dia berhenti melangkah, memandang dan tidak berani bertanya. The Sun Tek mendengar langkahnya dan menoleh, lalu berkata kepada Ang Hwa Nio-nio.

   "Dia ini The Kong, anakku, anak kita karena ibunya telah meninggal. Aku hidup menduda sejak isteriku meninggal dan selalu mengharapkan kedatanganmu. Kong-ji, ini adalah ibumu, pengganti ibumu. Beri hormat kepadanya dan tinggalkan kami berdua di sini!"

   The Kong dengan patuh memberi hormat kepada wanita itu dengan menyebut "ibu", kemudian pergi dari taman meninggalkan mereka berdua.

   "Hong Bwe, seperti kukatakan tadi. Bertahun-tahun aku hidup menduda, tidak mau kawin lagi karena aku mengharapkan engkau. Sekarang engkau sudah datang, hiduplah bersamaku sebagai isteriku, Hong Bwe. Rumah ini seolah dunia gelap memperoleh matahari kalau engkau berada di sini. Anakku Kong-ji adalah seorang anak yang baik dan patuh. Tadi pun dia sudah menyebutmu sebagai ibunya, pengganti ibunya."

   "Hemmm, kau kira luka di hati yang hancur luluh ini sedemikian mudahnya sembuh? Kalau engkau benar-benar hendak memperisteri aku, engkau harus dapat mencari Cu In dan membawanya pulang kepadaku di Beng-san. Aku hanya mau kau boyong ke sini kalau Cu In bersamaku. Kalau sudah begitu, kita boleh melupakan semua kesalahan masa lalu. Nah, aku pergi dulu dan menunggu kedatanganmu bersama Cu In!"

   Setelah berkata demikian, wanita itu menyambar pedangnya, melompat dan pergi dengan cepat.

   "Hong Bwe....!"

   Akan tetapi The Sun Tek maklumi bahwa wanita itu tidak akan mau berhenti. Mau atau tidak terpaksa dia harus melaksanakan permintaan Hong Bwe kalau dia menghendaki hidup sebagai suami isteri dengannya.

   Sambil menghela napas panjang karena hatinya merasa lega seolah-olah batu yang amat berat dan yang selama ini menindih hatinya telah diangkat pergi. Harapan baru bagaikan cahaya matahari menggantikannya menyentuh hatinya. Dia berjanji kepada diri sendiri untuk dapat menemukan Cu In dan membujuknya agar mau pulang ke Beng-san bersamanya. Gadis manis dan ayahnya itu dikerumuni banyak orang di depan pasar di kota Leng-an. Mereka adalah seorang gadis dan ayahnya yang bermain silat, sengaja mempertontonkan kepandaian mereka sehingga menarik banyak perhatian penonton. Setelah gadis itu bersilat dengan sepasang pedang dengan gerakan indah dan kuat dan cepat sehingga mendapat tepuk tangan kagum dari para penonton, sang ayah lalu melangkah maju dan memberi hormat kepada semua penonton di sekelilingnya.

   "Cu-wi (saudara sekalian) yang mulia. Kami ayah dan anak mohon maaf sebesarnya kalau kami berani mempertontonkan ilmu silat kami yang masih rendah. Terutama kepada para eng-hiong (pendekar) yang kebetulan berada di sini, hendaknya dimaklumi bahwa kami sama sekali tidak bermaksud untuk membanggakan kepandaian kami. Kalau kami mempertontonkan kepandaian, tidak lain karena kami kekurangan dan kehabisan bekal dalam perjalanan ini dan mengharapkan sumbangan suka rela dari para penonton, di samping itu juga mengharapkan mudah-mudahan puteriku akan menemukan jodohnya di tempat ini."

   Ucapan yang terus terang itu disambut sorak-sorai dan tepuk tangan.Kini tahulah semua orang bahwa gadis itu hendak mencari jodohnya melalui pertandingan silat. Tentu akan ramai nanti kalau ada pemuda yang berani mencoba-coba. Dan dugaan semua orang benar saja. Penawaran jodoh itu menarik perhatian banyak orang. Hal ini tidak aneh karena gadis itu memang manis sekali. Wajahnya berbentuk bulat telur, dengan anak rambut melingkar-lingkar di dahi dan pelipisnya. Rambutnya yang hitam panjang itu digelung ke atas dengan ringkas. Kulitnya agak gelap, akan tetapi menambah kemanisannya. Matanya tajam dan bersinar-sinar penuh gairah hidup,

   Hidungnya kecil mancung dan mulutnya mengandung daya tarik yang amat kuat. Mulut itu selalu mengandung senyum memikat, dengan lesung pipit di kiri bibir. Mulut dan mata gadis ini yang benar-benar memikat. Usianya pun paling banyak delapan belas tahun. Akan tetapi karena semua orang sudah menyaksikan ketika gadis itu tadi berdemonstrasi silat tangan kosong kemudian silat sepasang pedang, hanya mereka yang merasa dirinya cukup tangguh saja yang berani maju. Mula-mula seorang pemuda berpakaian. ringkas seperti seorang jago silat yang maju. Pemuda berbaju biru ini melompat ke depan dengan sikapnya yang gagah dan semua orang bertepuk tangan mengenalnya sebagai putera seorang guru silat di kota itu. Pemuda itu memang agak menyombongkan kepandaiannya, akan tetapi dia memang belum mempunyai seorang isteri.

   "Saya ingin mencoba-coba ilmu kepandaian Nona!"

   Katanya dengan gagah dan terang-terangan sehingga banyak orang tersenyum lebar. Ayah gadis itu melangkah maju dan bertanya,

   "Apakah Sicu hendak menyumbang?"

   "Saya mempunyai sedikit uang untuk menyumbangnya, akan tetapi saya lebih ingin mencoba ilmu silat puteri Paman. Siapa tahu kami berjodoh."

   Ucapan ini disambut gelak tawa para penonton dan sang ayah memberi isyarat kepada puterinya untuk maju. Gadis itu juga bukan seorang gadis pemalu. Dengan sikap tenang ia melangkah maju menghadapi pemuda baju biru dan bertanya,

   "Aduh kepandaian yang manakah yang Sicu kehendaki? Tangan kosong atau dengan senjata?"

   "Ah, Nona. Kita hanya bermain-main untuk meramaikan suasana, bukan berkelahi untuk saling melukai. Maka, sebaiknya kita main-main dengan tangan kosong saja."

   "Baiklah. Nah, saya sudah siap, Sicu boleh mulai!"

   Kata gadis itu sambil memasang kuda-kuda.

   "Aku seorang laki-laki, Nona boleh menyerang lebih dulu!". kata pemuda baju biru, mengambil sikap mengalah untuk menarik perhatian.

   "Kalau begitu baiklah. Awas, saya mulai menyerang!"

   Gadis itu mengirim pukulan dengan cepat ke arah dada sipemuda. Pemuda itu mengelak ke kiri dan membalas dengan tamparan ke arah pundak, namun dengan mudah tamparan ini dielakkan oleh gadis itu. Segera serang menyerang terjadi dengan seru. Akan tetapi bagi mereka yang memiliki kepandaian, setelah lewat belasan jurus saja ketahuanlah bahwa pemuda itu bukan tandingan si gadis.

   Dia mulai terdesak dan gerakan gadis itu sedemikian cepatnya, terlalu cepat bagi pemuda baju biru sehingga dia tidak mempunyai kesempatan sama sekali untuk menyerang dan hanya dapat mengelak atau menangkis terhadap serangan gadis itu yang datangnya bertubi-tubi. Belum lewat dua puluh jurus, sebuah tendangan kaki gadis itu mengenai lutut si pemuda dan pemuda itu pun terpelanting jatuh. Sorak-sorai menyambut kemenangan gadis ini. Pemuda baju biru itu dengan muka merah bangkit kembali dan setelah memberi hormat lalu mundur, mengaku kalah. Tiba-tiba seorang laki-laki berusia kurang lebih empat puluh tahun, tubuhnya tinggi besar dan mukanya hitam, meloncat ke tengah lingkaran itu. Matanya yang besar memandang kepada gadis itu dan terdengar suaranya yang parau dan lantang.

   "Aku Hek-houw (Macan Hitam) Bong Kiat ingin mencoba-coba kepandaian Nona!"

   Terdengar seruan-seruan di sana sini ketika Bong Kiat memasuki sayembara memilih suami itu.

   "Dia sudah beranak-isteri!"

   "Tidak pantas kalau dia ikut!"

   Mendengar seruan-seruan itu, Bong Kiat membusungkan dadanya dan memandang ke sekelilingnya.

   "Aku Bong Kiat memang sudah beranak-isteri, akan tetapi siapa melarangku memilih seorang gadis untuk menjadi selirku? Hayo katakan, siapa berani melarang?"

   Si Macan Hitam Bong Kiat ini memang terkenal sebagai seorang jagoan yang biasa malang melintang di kota Leng-an, seringkali menimbulkan keributan karena memaksakan kehendaknya sehingga semua orang menjadi takut. Tentu saja tanta-ngannya itu tidak ada yang berani menyambut dan para penonton hanya diam saja. Melihat ini, ayah gadis itu maju menyambut Bong Kiat dengan merangkap kedua tangan depan dada lalu berkata,

   "Kami Liong Biauw dan anak Liong Siok Hwa ini memang mencari jodoh, akan tetapi untuk menjadi seorang isteri yang baik, bukan menjadi seorang selir. Oleh karena itu, harap Sicu mengurungkan niatnya untuk mengadu kepandaian."

   "Apa kaubilang? Mengurungkan niatku mengadu kepandaian untuk memasuki sayembara ini? Tidak bisa! Engkau tadi sudah mengatakan bahwa siapa yang dapat mengalahkan Nona ini akan menjadi jodohnya maka aku kini hendak mencoba kepandaiannya. Kalau aku kalah, sudahlah, akan tetapi kalau aku menang, Nona ini harus menjadi selirku!"

   "Tidak ada yang mengatakan begitu, Sicu. Memang aku mengatakan bahwa kami mengharapkan anak kami mendapatkan jodoh di sini, akan tetapi bukan untuk menjadi selir. Dan perjodohan bukan hanya ditentukan oleh kalah menangnya pertandingan, melainkan oleh cocok tidaknya anakku dengan calon jodohnya."

   "Aih, tidak peduli! Pendeknya, anakmu harus melayani aku bertanding, atau kalau perlu ayahnya boleh maju mewakilinya. Kalau kalian tidak berani, kalian harus cepat pergi dari kota ini!"

   Liong Biauw, sang ayah, tentu saja tidak ingin mencari permusuhan, maka dia pun menghela napas panjang dan berkata kepada puterinya,

   "Siok Hwa, kemasilah barang-barangnya. Kita pergi saja dari kota ini."

   Jelas bahwa dia tidak ingin melanjutkan keributan dengan Si Macan Hitam. Akan tetapi, ketika penonton menjadi kecewa karena pertunjukan yang menarik itu akan berhenti, tiba-tiba dari penonton muncul seorang pemuda.

   "Tahan dulu!"

   Kata pemuda itu, lalu dia menghadapi Bong Kiat.

   "Sobat engkau tidak tahu malu. Orang sudah menolak untuk bertanding denganmu karena engkau sudah berkeluarga, mengapa memaksa. Bagaimana kalau aku mewakili Nona itu maju menandingimu?"

   Bong Kiat memandang pemuda itu dengan mata penuh selidik. Dia seorang pemuda yang tampan dan gagah, tubuhnya tinggi besar, mukanya bundar dan matanya lebar. Belum pernah dia melihat pemuda ini, akan tetapi watak Bong Kiat memang selalu meremehkan orang lain.

   "Tentu saja boleh, kalau engkau memang sudah bosan hidup!"

   Pemuda itu lalu memberi hormat kepada Liong Biauw dan berkata,

   "Paman, sebetulnya saya pun ingin mencoba kepandaian puteri Paman, akan tetapi terdapat gangguan dari orang tidak tahu malu ini. Maka saya mohon perkenan Paman untuk mewakili puterimu memberi hajaran kepadanya."

   Liong Biauw merasa tertarik dan suka kepada pemuda ini. Seorang pemuda yang sudah matang usianya sekitar tiga puluh tahun dan matanya yang lebar itu bersinar tajam. Dia pun mengangguk dan berkata,

   "Silakan saja akan tetapi berhati-hatilath, dia bukan lawan yang lemah."

   Mendengar ini, Bong Kiat menjadi semakin sombong.

   "Ha bocah tak tahu diri. Berani mencampuri urusan orang lain. Agaknya belum mengenal siapa Si Macan Hitam! Perkenalkan namamu sebelum engkau berkenalan dengan tinjuku!"

   Pemuda itu tersenyum mengejek dan berkata,

   "Namaku Ji Lam Sang, dari kota raja."

   Pemuda itu sesungguhnya adalah Gu Lam Sang. Setelah diaku sebagai putera oleh Pangeran Tao Seng, dia berhak memakai nama Tao Lam Sang,

   Akan tetapi karena Pangeran Tao Seng sendiri sedang menyamar sebagai hartawan Ji, maka dia pun mengaku marga Ji. Belum tiba saatnya dia menggunakan nama keluarga kerajaan itu. Secara kebetulan saja Lam Sang lewat di kota itu dan hatinya tertarik melihat banyak orang melihat pertunjukan silat itu. Dia pun menjenguk pertunjukan itu dan jantungnya berdebar. Dia bukan seorang laki-laki yang mata keranjang, akan tetapi entah mengapa. Melihat Liong Siok Hwa, hatinya tertarik sekali, maka kalau tadinya hanya ingin menjenguk sebentar, dia lalu menjadi penonton. Dia melihat betapa pemuda baju biru dikalahkan gadis itu. Diam-diam dia semakin kagum. Ilmu silat gadis itu lumayan. Lalu muncullah Bong Kiat yang hendak memaksakan kehendaknya. Melihat betapa Liong Biauw dan puterinya hendak mengalah dan pergi, dia lalu turun tangan mencampuri.

   "Cabut senjatamu, Ji Lam Sang, dan bersiaplah engkau untuk mampus!"

   Kata Bong Kiat yang sudah menghunus sebatang golok besar yang berkilauan saking tajamnya. Semua orang bergidik melihat Si Macan Hitam sudah menghunus golok besarnya. Akan tetapi Lam Sang sendiri hanya tersenyum menghadapi ancaman golok besar yang tajam itu, bahkan dia berkata dengan nada mengejek.

   "Untuk menghadapi golok pernotong ayam itu aku tidak perlu menggunakan senjata apa pun, cukup dengan tangan dan kakiku saja. Nah, aku telah siap, cepat pergunakan golok pemotong ayammu itu!"

   Bukan main marahnya Bong Kiat mendengar ejekan ini. Kalau saja Lam Sang tidak mengejek, dia pun tentu akan menghadapi Lam Sang yang bertangan kosong tanpa senjata, untuk menjaga kehormatannya. Akan tetapi ejekan itu membuatnya marah dan dia ingin cepat-cepat dapat membunuh lawannya! Dia memutar-mutar golok besar yang berat itu di atas kepalanya.

   "Sambutlah golokku dan mampuslah!"

   Bong Kiat membentak dan goloknya meluncur ke depan, membabat ke arah leher Lam Sang.

   Akan tetapi, pemuda Tibet itu dengan amat mudahnya mengelak dengan merendahkan tubuhnya, dan ketika golok itu menyambar lewat kakinya mencuat dengan cepatnya ke depan, menendang ke arah perut Bong Kiat. Serangan yang tiba-tiba ini berbahaya sekali, akan tetapi Bong Kiat juga bukan orang lemah. Dia cepat melangkah mundur sehingga tendangan itu mengenai tempat kosong. Akan tetapi gebrakan pertama yang sudah dapat dibalas secara kontan oleh lawannya membuat Bong Kiat berhati-hati karena ternyata lawannya memang memiliki ilmu silat yang tangguh. Kini dia mengayun goloknya dan melaku-kan serangan bertubi-tubi. Golok itu membentuk gulungan sinar terang yang menyambar-nyambar ke arah Lam Sang. Semua orang merasa ngeri melihat buasnya serangan Bong Kiat akan tetapi Liong Biauw mendekati puterinya dan berkata lirih,

   "Pemuda ini memiliki ilmu kepandaian yang tinggi. Dia tentu akan dapat mengalahkan Bong Kiat itu, dan agaknya dia seorang calon jodohmu yang baik sekali."

   Wajah Siok Hwa menjadi kemerahan mendengar ucapan ayahnya itu dan ia menonton dengan penuh perhatian. Pertandingan masih berjalan dengan seru. Bong Kiat menjadi penasaran sekali ketika goloknya tidak pernah mengenai lawan, bahkan kalau sekali-kali Lam Sang menangkis lengannya, dia merasa betapa lengannya terguncang hebat dan terasa ada hawa panas menyerangnya. Dia mengamuk semakin hebat, akan tetapi justeru ini yang dikehendaki Lam Sang. Makin marah dan semakin hebat serangannya, makin lemah pertahanannya. Ketika goloknya menyambar, membacok kepala Lam Sang dari atas ke bawah, Gu Lam Sang mengelak dan membiarkan golok itu lewat. Secepat kilat jari tangannya menyambar dan menotok ke arah siku kanan Bong Kiat.

   "Wuuuttt.... dukkk!"

   Bong Kiat mengeluarkan teriakan kaget. Tangan kanannya menjadi lumpuh dan golok itu dengan sendirinya terlepas dari pegangannya dan sebelum dia tahu apa yang terjadi, tiba-tiba lengan kirinya disambar lawan dan tubuhnya terangkat ke atas. Kiranya Lam Sang menggunakan kesempatan itu untuk menangkap lengan kiri lawan dan memutarnya sehingga tubuh itu terputar ke atas lalu terbanting ke atas tanah.

   "Bukkkkk....!!"

   Keras sekali bantingan itu. Bong Kiat merasa tubuhnya seperti remuk dan kepalanya menjadi pening. Dia mencoba bangkit akan tetapi roboh lagi karena bumi yang diinjaknya seperti bergelombang. Lam Sang tersenyum dan penonton menyambut kemenangan mutlak itu dengan tepuk tangan dan sorak-sorai.

   "Cepat ambil golok pemotong ayammu dan pergi dari sini!"

   Lam Sang membentak. Merasa bahwa dia sudah benar-benar kalah, hati Bong Kiat menjadi jerih. Dengan kepala masih pening dia memungut goloknya lalu terhuyung-huyung seperti mabuk meninggalkan gelanggang itu, ditertawakan oleh para penonton. Lam Sang menghadapi Liong Biauw dan Siok Hwa, menjura dan bertanya,

   "Bolehkah sekarang saya mencoba ilmu kepandaian Nona?"

   Dengan muka kemerahan Siok Hwa mengangguk.

   "Tentu saja boleh, akan tetapi saya bukan tandinganmu, Kongcu."

   "Ah, Nona terlalu merendahkan diri. Kulihat tadi ilmu pedang Nona lihai sekali. Nona boleh mempergunakan siang-kiam itu."

   "Engkau sendiri bertangan kosong, bagaimana aku harus menggunakan senjata? Aku pun akan menghadapimu dengan tangan kosong, Kongcu."

   "Terserah kepadamu, Nona. Aku telah siap, harap Nona suka mulai menyerang."

   Siok Hwa melihat betapa pemuda itu sama sekali tidak memasang kuda-kuda, hanya berdiri saja seperti tidak sedang menghadapi pertandingan. Ia merasa tidak enak dan sebelum menyerang, ia memberi peringatan.

   "Kongcu sambutlah seranganku ini!"

   Dan ia pun menerjang dengan cepat sekali.

   "Bagus!"

   Lam Sang memuji dan dia cepat mengelak, lalu membalas dengan tamparan tangannya. Keduanya lalu saling serang dengan seru dan cepat. Gerakan mereka begitu cepatnya sehingga sukar diikuti oleh pandangan mata para penonton, kecuali oleh mereka yang berkepandaian.

   Liong Biauw menonton dengan penuh perhatian dan dia segera mengerti bahwa pemuda itu mengalah banyak. Pemuda itu agaknya membiarkan Siok Hwa yang memimpin penyerangan. Dia sendiri hanya membalas dengan serangan sekadarnya saja, tidak bersungguh-sungguh. Kalau dia bersungguh-sungguh, tentu sudah sejak tadi Siok Hwa dapat dikalahkannya. Hal ini membuat hatinya merasa girang. Agaknya pemuda itu menaruh hati kepada puterinya maka mengambil sikap mengalah. Sementara itu, Siok Hwa menjadi bingung sendiri. Semua jurus terampuh ia keluarkan untuk menyerang lawan, akan tetapi selalu dapat dielakkan atau ditangkis. Dan kalau lawan menangkis, lengannya bertemu dengan telapak tangan yang lunak. Ia merasa heran sekali.

   Tenaga sinkang yang ia keluarkan dalam penyerangannya seolah lenyap ketika bertemu dengan tangan yang lunak itu, dan kadang tenaganya membalik. Ia sudah mulai berkeringat, akan tetapi belum juga ia mampu mendesak lawan. Ia pun mengerti bahwa pemuda itu mengalah. Serangan pemuda itu seenaknya saja, berbeda dengan pertahanannya yang demikian kokoh kuat. Orang yang dapat bertahan seperti itu, kalau dikehendaki, tentu dapat menyerang dengan hebat pula, tidak seperti pemuda itu yang menyerang hanya dengan tamparan-tamparan lemah. Ia mulai menjadi bingung bagaimana caranya untuk mengakhiri pertandingan itu. Tiba-tiba ia teringat akan sebuah jurus yang belum dipergunakannya. Jurus itu adalah sebuah tendangan yang dilakukan dengan tubuh "terbang"

   Di udara. Tendangan ini ampuh sekali dan jarang ada lawan mampu manghindarkan diri.

   "Haiiittt....!"

   Ia membentak, tubuhnya meloncat ke udara dan kedua kakinya mencuat dan menendang ke arah dada dan kepala Lam Sang!

   "Bagus!"

   
Pusaka Pulau Es Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Lam Sang memuji dan ketika kedua tangannya bergerak cepat, tahu-tahu dia telah menangkap kedua kaki itu. Dia mendorong sehingga tubuh Siok Hwa terpental, berjungkir balik beberapa kali sebelum turun kembali ke atas tanah. Indah bukan main gerakan ini dan semua orang memuji. Akan tetapi gadis itu menjadi kemerahan mukanya, tersipu-sipu malu sedangkan Lam Sang memegang dua buah sepatu gadis itu yang tertinggal di tangannya. Melihat ini, semua orang bersorak memuji. Liong Biauw menghampiri pemuda itu dan menjura,

   "Anakku telah kalah olehmu, Ji-kongcu."

   Lam Sang juga menjura.

   "Nona telah banyak mengalah, harap maafkan aku."

   Dia lalu mengembalikkan sepasang sepatu itu kepada pemiliknya, diterima oleh Siok Hwa sambil tersipu dan tersenyum malu-malu. Liong Biauw memberi hormat kepada para penonton.

   "Cu-wi, terima kasih atas perhatian dan bantuan Cu-wi. Pertunjukan sudah habis dan dihentikan sampai di sini."

   Penonton mulai bubar dan Liong Biauw berkata kepada Lam Sang.

   "Ji-kongcu, silakan ikut dengan kami ke pondokan kami untuk bicara."

   Lam Sang hanya mengangguk sambil tersenyum dan mereka bertiga lalu pergi ke rumah penginapan di mana ayah dan anak itu menyewa dua buah kamar. Setelah mereka masuk ke rumah penginapan, Lam Sang dipersilakan masuk ke kamar Liong Biauw dan di situ mereka berdua mengadakan pembicaraan. Siok Hwa tinggal di kamarnya sendiri karena maklum apa yang akan dibicarakan ayahnya dengan pemuda itu dan ia merasa malu untuk menghadirinya.

   "Ji-kongcu, tentu engkau sudah dapat menduga apa yang hendak kami bicarakan denganmu, bukan?"

   Tentu saja Lam Sang sudah dapat menduganya, akan tetapi dia pura-pura bodoh dan bertanya,

   "Apakah yang hendak Paman bicarakan? Aku tidak dapat menduganya."

   "Kongcu tentu tadi sudah mendengar bahwa kami sedang mencarikan jodoh untuk anakku Liong Siok Hwa dengan mengadakan pertandingan silat. Nah, sekarang ternyata engkau yang telah mampu mengalahkan Siok Hwa, maka hal itu berarti bahwa engkau adalah jodoh Siok Hwa yang selama ini kami nanti-nanti. Lam Sang, pura-pura terkejut.

   "Ah, akan tetapi aku sama sekali belum mempunyai pikiran untuk menikah, Paman!"

   Liong Biauw mengerutkan alisnya.

   "Lalu mengapa engkau tadi mengajak Siok Hwa untuk mengadu kepandaian silat?"

   "Aku hanya iseng-iseng karena kagum melihat Ilmu kepandaian puterimu, dan aku menandingi Bong Kiat tadi karena tidak suka melihat ulahnya."

   "Ji-kongcu, apakah engkau tidak suka kepada Siok Hwa?" "Aku kagum kepadanya, Paman, dan tentu saja aku suka kepadanya. Ia cantik manis dan berkepandaian lumayan."

   "Kalau begitu, mengapa menolak? Kami sudah menyatakan setuju untuk menjodohkan ia denganmu."

   "Tidak begitu mudah bagiku untuk menikah, Paman. Harus kutanyakan dulu kepada orang tuaku dan aku sendiri belum mempunyai keinginan untuk berumah tangga."

   "Kalau begitu, harap engkau suka memberitahukan orang tuamu. Kota raja dari sini tidak berapa jauh, kami akan menanti keputusanmu di sini, dalam waktu seminggu engkau tentu sudah dapat kembali ke sini. Bagaimana, Ji-kongcu?"

   

Kisah Si Bangau Putih Eps 24 Kisah Si Bangau Putih Eps 16 Si Tangan Sakti Eps 9

Cari Blog Ini