Ceritasilat Novel Online

Pusaka Pulau Es 15


Pusaka Pulau Es Karya Kho Ping Hoo Bagian 15



Akan tetapi tiga belas orang itu ternyata lihai, terutama sekali seorang di antara mereka seorang kakek yang memegang pedang. Banyak Perajurit penjaga roboh di tangan kakek ini yang bukan lain adalah Swat-hai Lo-kwi. Akan tetapi Pangeran Tao Kuang segera dilapori penjaga dan Tao Kwi Hong bersama ibunya Liang Siok Cu, ditemani pula oleh Han Li dan Kai-ong Lu Tong Ki dengan cepat pergi ke tempat di mana terjadi pertempuran, yaitu di taman bunga. Sedangkan Pangeran Tao Kuang sendiri yang nyawanya terancam, telah masuk ke dalam kamar rahasia yang tidak akan dapat ditemukan orang luar. Swat-hai Lo-kwi mengamuk dan dia mencari kesempatan untuk menerobos masuk ke dalam istana itu mencari Pangeran Tao Kuang. Pedangnya membabat ke sana sini.

   "Tranggg....!"

   Tiba-tiba pedangnya bertemu dengan sebatang tongkat bambu. Biarpun hanya tongkat bambu, ternyata mampu membuat pedang di tangan Swat-hai Lo-kwi terpental dan tangannya terasa panas. Datuk sesat ini segera memandang penuh perhatian kepada penangkisnya dan ternyata yang menangkis pedangnya adalah seorang kakek tinggi kurus berpakaian tambal-tambalan dan memegang sebatang tongkat bambu, berdiri sambil tertawa bergelak dan mengelus jenggotnya dengan tangan kiri.

   "Ha-ha-ha-ha-ha! Kiranya Swat-hai Lo-kwi yang memimpin penyerbuan ini. Tidak aneh kalau Swat-hai Lo-kwi dapat diperalat kaum pemberontak, tentu dengan janji pahala yang muluk-muluk!"

   Kata Kai-ong Lu Tong Ki.

   "Kai-ong, jangan mencampuri urusanku. Apakah engkau telah menjadi anjing peliharaan penjajah Mancu?"

   "Heh-heh-heh, tidak perlu engkau berpura-pura bersikap sebagai seorang patriot yang mencinta tanah air dan bangsa. Aku, Kai-ong, sudah lama mengenal isi perutmu!"

   "Keparat, mampuslah engkau!"

   Swathai Lo-kwi menyerang dengan tangan kirinya, memukul dengan telapak tangan terbuka ke arah dada Kai-ong. Pukulan ini bukan sembarang serangan, melainkan serangan maut karena tangan itu terisi tenaga sakti yang amat dingin.

   "Haiiiiit....,!"

   Swat-hai Lo-kwi mengeluarkan tenaga saktinya sambil memekik dahsyat.

   "Hemmm....!"

   Kai-ong juga mengerahkan tangan kirinya, menyambut pukulan tangan terbuka dengan tangannya sendiri.

   "Desssss....!"

   Kedua tangan bertemu dengan dahsyatnya. Akibatnya, Swat-hai Lo-kwi terdorong mundur sampai tiga langkah sedangkan Kai-ong yang bergoyang-goyang saja tubuhnya akan tetapi dapat bertahan sehingga tidak sampai terdorong mundur.

   "Haiiiiit!"

   Kembali Swat-hai Lo-kwi memekik dan kini pedangnya menyambar. Kai-ong juga menggerakkan tongkat bambunya dan kedua orang tua ini sudah saling serang dengan hebatnya. Gerakan mereka tidak cepat, bahkan nampak lamban, akan tetapi setiap gerakan mengandung tenaga sakti yang dahsyat,

   Menyambar-nyambar bahkan terasa oleh mereka yang berada dalam jarak tiga meter dari mereka. Sementara itu, Kwi Hong dan ibunya Liang Siok Cu, dibantu oleh Han Li, sudah meng-amuk menghadapi dua belas orang anak buah Pat-kwa-pai yang rata-rata memiliki ilmu kepandaian cukup tinggi. Para perajurit penjaga merasa lega dengan munculnya tiga orang wanita ini dan mereka segera membantu dengan pengeroyokan. Liang Siok Cu menggunakan senjata sebuah tongkat kecil. Ia adalah seorang ahli tiam-hiat-to (menotok jalan darah) dan tongkatnya merupakan senjata andalannya karena tongkat itu menyambar-nyambar mengarah jalan darah para lawannya. Tak lama kemudian, dua orang anak buah Pat-kwa-pai sudah roboh tak berkutik terkena totokan tongkat nyonya selir Pangeran Mahkota itu. Kwi Hong mengamuk lebih hebat lagi.

   Dengan pedangnya ia mainkan Ngo-heng Sin-kiam dan lawan-lawan-nya menjadi repot melindungi dirinya dari sambaran pedang yang ampuh itu. Tak lama kemudian tiga orang lawan telah dapat dirobohkan oleh pedang di tangan Kwi Hong. Han Li memiliki ilmu kepandaian yang lebih tinggi dibandingkan Kwi Hong atau ibunya. Ia telah mewarisi banyak ilmu silat dari ayah dan ibunya. Akan tetapi menghadapi para penyerbu ini, ia menyerang mereka dengan setengah hati. Bahkan ia tidak mencabut pedangnya, melainkan hanya membagi-bagi tamparan dan tendangan saja. Namun, biarpun ia tidak bermaksud membunuh orang-orang yang menentang penjajah, tamparan, dan tenda-ngan sudah cukup membuat empat orang terpelanting roboh. Para perajurit mengeroyok tiga orang sisa para penyerbu dan mereka pun roboh menjadi korban senjata para perajurit.

   Sekarang tinggal Swat-hai Lo-kwi seorang yang masih bertanding melawan Kai-ong. Ketika Kwi Hong hendak membantu kakek itu, lengannya dipegang Han Li. Jangan, Suhu tidak memerlukan bantuan. Dia tidak akan kalah. Mendengar ucapan Han Li itu, Kwi Hong menghentikan gerakannya. Gadis yang suka bertualang di dunia kang-ouw ini mengerti bahwa banyak tokoh besar persilatan tidak suka dibantu apabila sedang ber-tanding satu lawan satu, tidak mau bersikap curang melakukan pengeroyokan. Maka, membantunya dapat juga diartikan penghinaan. Ia pun berdiri menonton pertandingan yang hebat itu. Akan tetapi sekarang ternyata betapa perlahan-lahan Swat-hai Lo-kwi terdesak hebat oleh tongkat Kai-ong. Mereka bergerak cepat sekali. Yang nampak hanya dua gulungan sinar pedang dan sinar tongkat. Tiba-tiba terdengar suara nyaring

   "tranggg....!"

   Dan sesosok tubuh mencelat keluar dari medan pertandingan. Yang meloncat itu adalah Swat-hai Lokwi dan dari bibir sebelah kiri mengalir darah dan tangannya menekan dadanya. Jelas bahwa dia telah terkena tongkat itu pada dadanya sehingga menderita luka dalam.

   "Sekarang aku mengaku kalah, Kai-ong. Akan tetapi akan datang saatnya aku membalas kekalahan ini!"

   Dan dia pun sudah melompat jauh, melarikan diri dalam kegelapan malam. Setelah semua musuh tidak dapat melakukan gerakan lagi, dua belas orang itu ada yang tewas dan ada yang hanya terluka, Pangeran Tao Kuang lalu diberi tahu. Pangeran itu keluar dari tempat persembunyiannya. Dia memerintahkan pengawal untuk menyeret seorang di antara mereka yang terluka dan dibawa ke depan Pangeran Tao Kuang.

   "Kamu datang dari perkumpulan mana?"

   "Dari Thian-li-pang!"

   Jawab orang itu dengan lantang.

   "Bohong!"

   Bentak Yo Han Li sambil menghampiri orang itu.

   "Kalau engkau dari Thian-li-pang, coba katakan siapa aku ini!"

   Orang itu memandang kepada Han Li dan tidak menjawab.

   "Hayo katakan, siapa aku!"

   Kembali Han Li membentak dan kini gadis yang marah itu telah mencabut pedangnya dan menodongkan ke dada orang itu. Orang itu menjadi pucat wajahnya, lalu menggeleng kepalanya dan menjawab,

   "Tidak.... tidak tahu...."

   "Nah, Paman Pangeran, jelas bahwa dia berbohong ketika mengaku sebagai anggauta Thian-li-pang."

   Setelah berkata demikian, pedangnya membuat gerakan.

   "Bret-bret-bret....!"

   Baju bagian dada orang itu terbuka sehingga di bawah sinar lampu dapat terlihat jelas di dada itu ada cacahan gambar pat-kwa (segi delapan).

   "Dia dari Pat-kwa-pai!"

   Seru Kwi Hong yang mengenal tanda gambar itu. Han Li mengangguk.

   "Benar. Aku mendengar bahwa di Pat-kwa-pai dan Pek-lian-pai terdapat pasukan berani mati. Sampai mati pun mereka tidak mau mengaku bahwa mereka murid Pat-kwa-pai, maka sengaja tadi dia menyebut Thian-li-pang untuk mengalihkan kesalahan kepada Thian-li-pang."

   Pangeran Tao Kuang mengangguk-angguk dan memerintahkan para pengawal untuk menyingkirkan mayat-mayat itu dan untuk menawan mereka yang masih hidup. Pada saat itulah muncul Keng Han dan Cu In. Melihat pangeran berada di taman bersama Kwi Hong, ibunya dan Han Li bersama gurunya, juga melihat banyak orang menggeletak berserakan di tempat itu mereka dapat menduga bahwa penyerangan terhadap diri Pangeran Mahkota juga telah dapat digagalkan.

   "Mereka mengaku dari perkumpulan apa?"

   Tanya Keng Han.

   "Ada yang mengaku dari Thian-li-pang, akan tetapi nona Yo Han Li telah membuktikan bahwa mereka adalah anak buah Pat-kwa-pai. Lihat tanda di dadanya itu."

   Keng Han dan Cu In melihat tanda gambar pada dada orang itu dan Cu In mengangguk-angguk.

   "Sudah kami duga! Akan tetapi kami tidak menduga bahwa ada tanda gambar perkumpulan mereka di dada. Orang-orang yang menyerbu ke istana juga mengaku dari Thian-li-pang."

   "Ah, kita harus dapat membuktikan bahwa mereka bukan dari Thian-li-pang."

   Kata Han Li.

   "Aku harus menjadi saksi di sana. Untuk itulah kami datang ke sini. Selain untuk melihat keadaan di sini juga untuk menjemput engkau adik Han Li. Hanya engkau yang dapat memastikan bahwa mereka bukan dari Thian-li-pang. Baik, mari kita berangkat"

   Kata Han Li tegas. Gadis ini tentu saja ingin membersihkan nama perkumpulannya dari fitnah yang dilontarkan para calon pembunuh kaisar dan pangeran itu. Setelah mereka tiba di istana, seorang penyerbu yang terluka yang tadi mengaku dari Thian-li-pang, dibawa menghadap Han Li yang telah diterima menghadap Kaisar sendiri. Orang itu didorong dan dipaksa berlutut di depan Kaisar. Han Li lalu menghampiri orang itu dan bertanya, Engkau dari perkumpulan apa? Orang itu menjawab tanpa ragu-ragu lagi. Dari Thian-li-pang! Han Li lalu bertanya sambil mencabut pedangnya, ditodongkan ke arah dada orang itu. Kalau engkau dari Thian-lipang, katakan siapakah aku?

   Orang itu berdongak memandang wajah Han Li. Akan tetapi dia tidak mengenalnya dan menggeleng kepala sambil berkata, Saya tidak tahu. Han Li memberi hormat kepada Kaisar. Nah, Yang Mulia. Orang ini jelas berbohong. Kalau dia orang Thian-li-pang pasti dia mengenal siapa hamba. Hamba adalah puteri ketua Thian-li-pang. Setelah berkata demikian, pedangnya bergerak beberapa kali dan baju di bagian dada tawanan itu pun robek-robek. Semua orang memandang dan melihat cacahan gambar berbentuk bunga teratai di dada itu. Dia seorang anggauta Pek-lian-kauw, Yang Mulia. kata Han Li. Benar, dia anggauta Pek-lian-kauw! kata Cu In. Sekarang bagi mereka jelaslah bahwa selosin anak buah yang menyerbu istana adalah anak buah Pek-lian-pai sedangkan selosin yang menyerbu istana pangeran adalah anggauta Pat-kwa-pai!

   Maka terhapuslah dugaan bahwa Thian-li-pang yang mengirim orang-orangnya untuk membunuh kaisar dan pangeran mahkota. Akan tetapi sudah terlanjur tersiar berita yang datangnya dari para pengawal yang menjadi saksi ketika tawanan-tawanan itu mengaku bahwa mereka orang Thian-li-pang sehingga umum berpendapat bahwa Thian-li-pang sudah mulai dengan pemberontakannya dan mengutus orang-orangnya untuk membunuh kaisar dan pangeran mahkota. Setelah membuka rahasia para penyerbu itu di depan Kaisar sendiri, Keng Han dan Cu In berpamit kepada kaisar. Kaisar hendak memberi hadiah kepada mereka dan memberi anugerah pangkat, namun keduanya dengan hormat dan halus menolak-nya. Mereka keluar dari istana dan waktunya sudah jauh lewat tengah malam. Mendadak mereka melihat panah api diluncurkan orang di udara.

   "Apa itu?"

   Tanya Cu In.

   "Panah api!"

   "Tentu menjadi suatu tanda yang dilakukan orang di dalam kota raja untuk mereka yang berada di luar kota raja. Aku khawatir penyerbuan akan dimulai."

   "Kenapa khawatir? Bukankah menurut Pangeran Mahkota, semua itu telah di aturnya dengan baik? Kita melihat saja. Kalau memang mereka menyerbu dan kota raja terancam, kita berdua membantu."

   "Kau benar, Cu In. Biarpun yang menggerakkan semua ini ayah kandungku sendiri, akan tetapi terpaksa aku harus menentangnya. Dia memberontak untuk dapat merampas tahta kerajaan dengan cita-cita menjadi kaisar! Andaikata yang memberontak itu para pejuang bangsa Han, biarpun aku keturunan Mancu dan Khitan, aku tidak akan membantu siapa-siapa."

   Cu In mengangguk.

   "Aku setuju sekali dengan pendapatmu itu, Keng Han. pernberontak dilakukan oleh orang-orang yang berambisi mengangkat diri sendiri menjadi penguasa, dan mereka telah mengnggunakan tokoh-tokoh sesat dan kumpulan-perkumpulan jahat seperti Pek- lian-pai dan Pat-kwa-pai. Kalau Thian-li-Pai yang bergerak, tentu bukan menggunakan cara ini dan di belakangnya tentu mendapat dukungan rakyat jelata. Mari kita melihat lagi ke istana Pangeran Mahkota untuk mendapat petunjuk dari pangeran."

   Keduanya berlari cepat menuju ke istana Pangeran Tao Kuang. Ternyata mereka semua tidak beristirahat melainkan berkumpul di ruangan depan, juga menanti sesuatu yang pasti akan terjadi.

   "Kami melihat panah api diluncurkan ke udara."

   Kata Keng Han setelah mereka berdua menghadap sang pangeran.

   "Kami juga sudah mengetahui. Tentu itu merupakan tanda bagi pemberontak yang berada di dalam kota raja. Semua telah diatur oleh The Ciang-kun. Dia telah mengetahui semua siasat pemberontak dan sudah siap siaga menghadapi pemberontak, baik di dalam kota raja maupun yang berada di luar."

   Terkejut Cu In mendengar bahwa yang memimpin pertahanan adalah The-Ciangkun.

   "Apakah yang dimaksutkan itu adalah ciangkun yang bernama The Sun Tek?"

   Tanyanya.

   "Benar,"

   Jawab Pangeran Tao Kuang.

   "Dia adalah seorang panglima besar yang pandai ilmu silat dan ilmu perang, dan juga setia. Apakah engkau mengenalnya, Nona?"

   "Saya mengenalnya dengan baik, Pangeran."

   Kata Cu In.

   "Bagus, kalau begitu kalian pergilah membantunya. Nona Yo Han Li dan Kai-ong biar tetap di sini untuk menjaga kemungkinan penyerbuan mata-mata musuh."

   "Baik,"

   Kata Keng Han dan Cu In. Mereka lalu keluar dari istana itu.

   "Cu In, benarkah engkau mengenal Panglima The itu?"

   "Tentu saja mengenalnya. Dia itu ayah kandungku."

   Kata Cu In terus terang.

   "Ehhh....?"

   Keng Han menghentikan langkahnya dan memandang Cu In. Wajah bercadar itu hanya nampak garis-garisnya saja dalam malam yang hanya diterangi bintang-bintang itu.

   "Bukankah engkau pernah bercerita kepadaku bahwa ayah ibumu sudah mati terbunuh musuh, dan engkau mencari musuh itu?"

   "Memang benar, akan tetapi belum waktunya aku menceritakan kepadamu. Lihat, di sana sudah terjadi pertempuran!"

   Mereka lari ke tempat itu dan ternyata yang bertempur itu adalah pasukan anak buah Panglima Ciu yang mempertahankan benteng mereka yang sudah dikepung pasukan anak buah Panglima The. Sementara itu, tempat persembunyian pasukan Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai di luar kota raja juga sudah ditemukan para penyelidik dan begitu ada tanda panah api, sebagian pasukan Panglima The yang sudah mengepung tempat itu bertindak menyerbu. Tiba-tiba terdengar suara lantang.

   "Panglima Ciu! Di sini Panglima The dengan semua pasukannya yang kuat. Lebih baik engkau menyerah karena semua persekutuanmu dengan pihak pemberontak telah kami ketahui. Heiii, para perajurit dalam benteng! Kalau kalian tidak menyerah, tentu kalian semua akan mati ditumpas pasukan kami!"

   Mendengar seruan ini, banyak pasukan dari benteng berlari keluar tanpa membawa senjata dan mengacungkan kedua tangan ke atas. Mereka membiarkan diri mereka ditangkap dan ditawan. Panglima Ciu yang maklum bahwa terlibatnya dalam persekutuan pemberontak itu tentu tidak akan mendapat pengampunan,

   Dengan nekat memimpin anak buahnya yang masih setia untuk melakukan perlawanan. Akan tetapi karena kalah banyak jumlahnya juga para anak buahnya sudah kehilangan semangat, dengan mudah pasukannya dapat dihancurkan dan Panglima Ciu sendiri dengan pedang di tangan menyerang Panglima The. Cu In dan Keng Han melihat ini dan mereka tidak memberi bantuan karena melihat bahwa pasukan Panglima The jauh lebih kuat dari pada musuh. Juga ketika Panglima Ciu bertanding melawan Panglima The, Cu In hanya menonton tidak membantu ayah kandungnya. Memang tidak perlu dibantu karena belum sampai lima puluh jurus, pedangnya sudah menyambar dan memeng-gal leher Panglima Ciu. Seorang pembantunya mengangkat kepala Panglima Ciu tinggi-tinggi dengan sebatang tombak dan berseru.

   "Hentikan perlawanan kalian. Panglima kalian telah tewas!"

   Mendengar dan melihat ini para perajurit hilang nyalinya. Mereka membuang senjata dan menjatuhkan diri berlutut tanda menyerah. Sementara itu, pertempuran yang terjadi di luar kota raja juga tidak berlangsung lama. Jumlah para pemberontak itu jauh lebih kecil dibandingkan pasukan pemerintah.

   Biarpun di antara mereka terdapat Gulam Sang yang dibantu Liong Siok Hwa dan beberapa orang tokoh Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai, namun karena dikeroyok banyak sekali orang, akhirnya Gulam Sang mengajak Liong Siok Hwa untuk melarikan diri! Demikianlah watak seorang yang licik. Demi memperoleh kedudukan tinggi dia mau melakukan perbuatan apa pun, akan tetapi begitu melihat usahanya gagal, dia lebih dulu melarikan diri. Gulam Sang mengajak Siok Hwa melarikan diri ke Bu-tong-pai di mana dia menyamar sebagai Thian It Tosu, ketua Bu-tong-pai yang tua itu. Liong Siok Hwa yang datang bersama Gulam Sang itu, diterima oleh para tokoh Bu-tong-pai dengan hormat. Bahkan setelah Thian It Tosu muncul keluar dari tempat pertapaannya, dia mengumumkan kepada para anggauta bahwa mulai hari itu, Liong Siok Hwa diterima menjadi muridnya.

   Sebagai murid Thian It Tosu, tentu saja Siok Hwa boleh tinggal di perkampungan Bu-tong-pai sesuka hatinya. Beberapa hari kemudian Bu-tong-pai kedatangan banyak tamu, antara lain Ji Wan-gwe, Swat-hai Lo-kwi, Tung-hai Lomo, Lam-hai Koai-jin dan banyak orang lagi. Mereka semua adalah pelarian, setelah kalah dan gagal dalam usaha mereka menyerbu istana dan membunuh kaisar dan putera mahkota. Thiat It Tosu menerima. mereka dengan senang hati dan mereka menjadi tamu-tamu kehormatan Bu-tong-pai. Mereka semua pergi ke Bu-tong-pai setelah kalah dan mereka berkumpul di situ pertama kali untuk menyembunyikan diri, kedua untuk dapat mengadakan pertemuan dan berunding. Dalam perundingan mereka, Ji Wangwe atau Pangeran Tao Seng menyesalkan para pembantunya yang ternyata sama sekali gagal dalam tugas mereka.

   "Akan tetapi semua kegagalan itu bukan kesalahan kami, melainkan karena rahasia kita telah bocor dan pihak musuh mengetahui akan semua rencana kita. Aku yakin bahwa yang mengkhianati kita adalah Tao Keng Han!"

   Tung-hai Lo-mo mengangguk dan berkata,

   "Memang benar. Kalau tidak ada pemuda itu tentu kami telah berhasil membunuh Kaisar! Pemuda itu telah mengkhianati Pangeran, ayahnya sendiri."

   Pangeran Tao Seng mengepal tinjunya.

   "Kalau tahu akan begini jadinya ketika dia tertawan dulu, sudah kubunuh dia!"

   "Tidak ada gunanya Ayah marah-marah. Kita masih mempunyai rencana kedua. Kalau rencana ini berhasil, keadaan kita menjadi semakin kuat sehingga kita akan mampu mengobarkan pemberontakan."

   "Hemmm, rencana apakah itu, Kongcu?"

   Tanya Swat-hai Lo-kwi dan para tokoh lain yang juga ingin mengetahuinya.

   "Begini,"

   Kata Pangeran Tao Seng.

   "Bu-tong-pai telah sepenuhnya kita kuasai. Dengan membonceng nama Bu-tong-pai kita dapat mengumumkan bahwa Bu-tongpai mengadakan pemilihan bengcu (pemimpin rakyat) baru. Tentu saja harus diusahakan agar supaya GuLam Sang yang akan menang dan menjadi bengcu baru. Nah, kalau kedudukan bengcu sudah di tangan kita, kiranya akan mudah bagi kita untuk menggerakkan semua orang di dunia kang-ouw untuk mulai dengan gerakan pemberontakan yang besar."

   "Pikiran yang bagus! Akan tetapi bagaimana dengan bengcu yang sekarang?"

   Tanya Tung-hai Lo-mo.

   "Dalam pemilihan bengcu sepuluh tahun yang lalu, sebagian besar orang memilih Pendekar Tangan Sakti Yo Han yang kini menjadi ketua Thian-li-pang. Akan tetapi dia tidak bersedia menjadi ketua. Maka pilihan lalu dijatuhkan kepada Bhe Seng Kok, seorang pendekar Siauw-lim-pai. Nah, kalau kita hendak merampas kedudukan bengcu, lebih dulu kita harus singkirkan Bhe Seng Kok ini. Kalau bengcu yang lama sudah tewas, tentu harus diadakan pemilihan bengcu baru. Dan Bu-tong-pai yang akan mempelopori pemilihan itu."

   Kata Gulam Sang. Semua orang memandang pemuda Tibet ini dengan kagum. Dia agaknya tahu akan segala peristiwa di dunia persilatan.

   "Akan tetapi siapa yang akan menyingkirkan ketua Bhe Seng Kok? Aku pun mendengar bahwa murid Siauw-lim-pai itu tangguh sekali!"

   "Aku yang akan melakukannya, dengan bantuan Tung-hai Lo-mo. Kalau kita berdua yang menghadapinya, aku tanggung dia akan tewas!"

   Kata pula Gulam Sang. Pangeran Tao Seng mengerutkan alisnya.

   "Murid Siauw-lim-pai? Ah, kalau sampai Siauw-lim-pai mengetahuinya dan memusuhi kita, akan celakalah. Kekuatan mereka besar sekali dan nama mereka sudah terkenal sehingga lain-lain aliran tentu akan berpihak kepada Siauw-lim-pai."

   "Harap Paduka tidak khawatir. Pembunuhan itu harus dilakukan dengan menggelap dan menyamar sehingga kalau pun ada yang melihatnya mereka tentu tidak akan mengenal kami. Kami membunuh dengan alasan sebagai balas dendam musuh lama. Sebagai seorang pendekar, kalau sampai Bhe Seng Kok terbunuh oleh orang-orang yang mendendam, tentu tidak mengherankan semua orang dan hal itu wajar saja terjadi."

   Demikian kata Gulam Sang. Mendengar ini, Pangeran Tao Seng menjadi lega hatinya dan dia menyerahkan saja urusan itu kepada anak angkat yang sudah dipercaya sepenuhnya itu. Dia tidak tahu bahwa kalau Gulam Sang masih setia kepadanya padahal perebutan tahta tidak berhasil,

   Hal ini adalah karena Gulam Sang masih, membutuhkan harta kekayaan untuk membiayai rencananya. Setelah selesai perundingan itu, Swat-hai Lo-kwi dan Lam-hai Koai-jin berpamit untuk pulang ke tempat masing-masing dengan janji bahwa kelak pada pemilihan bengcu mereka pasti akan hadir dan siap membantu Gulam Sang. Tung-hai Lo-mo tinggal di situ untuk membantu Gulam Sang. Keng Han meninggalkan istana dan kota raja bersama Cu In. Biarpun tidak berjanji keduanya ternyata melakukan perjalanan bersama dan setelah mereka berada jauh dari kota raja, Keng Han menunda langkahnya dan berhenti. Melihat ini Cu In juga berhenti melangkah. Keduanya saling pandang dan Keng Han bertanya, suaranya mengandung kekhawatiran kalau-kalau gadis itu akan meninggalkan dia lagi.

   "Cu In, ke manakah tujuan perjalananmu kali ini?"

   Cu In tidak menjawab, menengok ke depan dan kanan kiri seperti orang mencari jawabannya dari pohon-pohon dan sawah ladang yang berada di kanan kirinya.

   "Dan engkau sendiri, Keng Han. Engkau hendak kemanakah?"

   Akhirnya ia bertanya kembali tanpa menjawab pertanyaan pemuda itu. Keng Han menghela napas panjang.

   "Tujuan perjalananku meninggalkan Khitan adalah untuk mencari ayah kandungku dan mengajaknya pulang karena ibu sangat merindukannya. Akan tetapi kenyataannya, ayahku seorang ambisius yang memberontak dan melakukan perbuatan jahat dengan usaha pembunuhan, pembunuhan itu. Bahkan sekarang ayah telah menjadi seorang pelarian dan buruan pemerintah, dan aku tidak tahu dia berada di mana. Aku tidak tahu ke mana harus pergi, dan aku akan mengikuti saja ke mana engkau pergi, Cu In."

   Gadis itu menghela napas panjang, lalu duduk di atas sebuah batu di tepi jalan. Keng Han juga mengambil tempat duduk di depannya.

   "Aku sendiri belum tahu ke mana aku harus pergi?"

   Kata Cu In.

   "Cu In, bukankah engkau mempunyai ayah dan ibu? Engkau berjanji akan menceritakan kepadaku tentang pengalamanmu. Dahulu engkau mengatakan bahwa engkau yatim piatu dan engkau hendak membalas dendam kepada pembunuh orang tuamu. Akan tetapi kemudian engkau mengatakan bahwa engkau telah bertemu dengan ayah bundamu. Bagaimanakah ini?"

   Cu In menghela napas panjang lagi. Kalau bukan kepada Keng Han, ia segan menceritakan persoalan ayah ibunya. Akan tetapi ia amat tertarik dan percaya kepada Keng Han, maka ia merasa tidak tega untuk berbohong.

   "Sejak kecil sekali aku dipelihara subo (ibu guru) dan subo selalu mengatakan bahwa ayah ibuku telah terbunuh orang. Setelah aku dewasa, subo mengatakan kepadaku bahwa pembunuh ayah bundaku adalah The Sun Tek yang tinggal di kota raja."

   "Ahhh....!"

   Keng Han berseru heran.

   
Pusaka Pulau Es Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Kau maksudkan The-ciangkun yang memimpin pembasmian pemberontak itu?"

   "Benar, dialah orangnya. Aku dapat mencarinya di kota raja dan aku sudah siap untuk membunuhnya, akan tetapi The-ciangkun menceritakan tentang hubungannya dengan Ang Hwa Nio-nio. Ternyata bahwa suboku adalah bekas kekasih The Sun Tek, dan bahwa aku adalah puteri mereka berdua! Muncul guruku atau ibuku yang memaksa aku harus membunuh The Sun Tek. Karena aku sudah tahu bahwa aku anak The-ciangkun, maka aku tidak mau melakukannya. Subo marah dan hendak membunuhku, akan tetapi dicegah ayahku. Hatiku demikian sakit rasanya. Kiranya ibuku mendendam sedemikian hebatnya kepada ayahku sehingga ia mendidik aku sebagai muridnya hanya dengan maksud agar setelah dewasa aku akan membunuh ayahku sendiri! Pembalasan dendam yang amat keji. Karena hatiku sakit, aku lalu meninggalkan mereka."

   Keng Han mendengarkan penuh perhatian, menghela napas dan berulang kali menggeleng kepalanya.

   "Dan bagaimana engkau dapat terlibat dalam keluarga Putera Mahkota?"

   "Aku bertemu dengan adik Yo Han Li yang sekereta dengan Kwi Hong. Ia memanggilku dan mereka membujuk aku agar suka berkunjung ke rumah Kwi Hong. Demikianlah, maka aku berada di sana ketika engkau hendak membunuh Pangeran Mahkota."

   Kembali Keng Han menghela napas.

   "Nasib kita hampir sama, Cu In. Engkau disuruh membunuh ayahmu oleh ibumu sendiri, dan aku hampir saja membunuh pangeran yang tidak bersalah. Engkau mendapat kenyataan betapa kejam ibumu, dan aku pun mendapat kenyataan betapa kejam ayahku. Hemmm, sekarang aku mulai mengerti mengapa Bi-kiam Nio-cu begitu membenci pria dan kalau ada pria mencintanya harus dibunuhnya. Tentu engkau pun demikian, bukan?"

   "Memang suboku atau ibuku selalu mendidik kami agar membenci kaum pria. Dikatakannya bahwa laki-laki itu semua palsu dan bohong, tukang bujuk rayu yang berbahaya, maka kami diharuskan menjauhkan diri dari laki-laki dan kalau ada laki-laki yang menggoda, harus dibunuh! Akan tetapi semenjak aku.... bertemu denganmu, pandanganku sudah berubah. Seperti juga wanita, laki-laki itu ada yang jahat dan ada yang baik. Apalagi setelah aku mengetahui mengapa ibu demikian membenci pria, aku tahu bahwa sebabnya hanya karena ia sakit hati dan dendam kepada seorang pria."

   "Akan tetapi, bagaimana ibumu dahulu sampai berpisah dari The-ciangkun?"

   "Ayahku dilarang orang tuanya mengambil ibuku seorang wanita kang-ouw sebagai isteri, dan dia sudah ditunangkan dengan wanita lain, seorang gadis bangsawan. Ayah membujuk ibu agar suka menjadi selir, akan tetapi ibu tidak mau dan mereka berpisah ketika ibuku sudah mengandung aku tiga bulan."

   Keng Han merasa terharu dan ikut bersedih akan nasib gadis ini.

   "Ah, sekarang aku mengerti pula mengapa engkau menutupi mukamu dengan cadar. Tentu agar tidak terlihat pria sehingga kalau ada yang melihat dan menggodamu engkau akan terpaksa membunuhnya?"

   Cu In mengangguk membenarkan. Pada saat itu terdengar seruan orang,

   "Cu In....! Engkau di sini? Aku mencarimu ke mana-mana, kiranya engkau berada di sini. Sungguh aku girang sekali dapat menemukan anakku di sini!"

   Keng Han dan Cu In menoleh dan ternyata yang mengeluarkan ucapan itu bukan lain adalah Panglima The Sun Tek! Cu In bangkit berdiri dan Keng Han juga bangkit berdiri.

   "Engkau tentu pemuda bernama Tao Keng Han, aku sudah mendengar banyak tentang dirimu dan aku kagum sekali, orang muda."

   Keng Han memberi hormat pula.

   "Sebaliknya saya pun mendengar bahwa berkat pimpinan Paman maka pemberontak dapat diruntuhkan."

   "Dan ada urusan apakah engkau mencariku, Ciangkun?"

   Tanya Cu In, suaranya dingin.

   "Ah, Cu In. Engkau adalah puteriku. Aku ayah kandungmu! Tentu saja aku mencarimu."

   "Ibuku sendiri tidak mengakui aku sebagai anaknya, maka ayahku juga sebaiknya demikian. Biarlah aku menganggap diriku ini tidak mempunyai ayah dan ibu lagi...."

   Dalam suaranya terkandung isak tangis.

   "Cu In, harap engkau tidak berpendirian seperti itu. Ayahmu adalah seorang yang terhormat, gagah dan terpandang. Dan dia sudah bersusah payah mencarimu. Aku sendiri, kalau ayahku bersikap sebaik ayahmu, tentu akan menyambutnya dengan bahagia sekali,"

   Kata Keng Han membujuk.

   "Akan tetapi apa artinya seorang ayah bagiku, tanpa seorang ibu? Ibuku memusuhi ayah, apakah aku harus mengkhianati ibuku?"

   Pertanyaan Cu In ini ditujukan kepada ayahnya.

   "Cu In, ketahuilah bahwa ibumu bersedia menghabiskan sisa hidupnya bersamaku, akan tetapi dengan satu syarat bahwa aku harus dapat mengajakmu pulang menemuinya. Karena itu, demi kebahagiaan kita, marilah kita pergi mengunjungi ibumu di Beng-san."

   "Ah, itu bagus sekali! Aku ikut merasa girang, Cu In. Aku mau menemanimu ke sana.

   "Sebaiknya kita semua ke sana,"

   Kata The Sun Tek.

   "Kai-ong dan muridnya juga sudah berangkat. Ketahuilah bahwa Bu-tong-pai mengundang semua orang kang-ouw untuk datang ke sana untuk mengadakan pemilihan bengcu baru."

   "Bengcu baru?"

   Tanya Keng Han heran.

   "Lalu ke mana perginya bengcu yang lama?"

   "Entahlah, itu pun menjadi pertanyaan dalam hatiku. Beng-san tidak jauh dari Bu-tong-san. Setelah aku dapat memboyong isteriku, kita semua dapat singgah di Bu-tong-san untuk menghadiri pertemuan besar itu dan di sana tentu akan dapat terjawab mengapa diadakan pemilihan bengcu baru dan ke mana perginya bengcu yang lama. Bukankah yang menjadi bengcu adalah Bhe Seng Kok, tokoh Siauw-lim-pai?"

   "Benar, Paman. Saya pun mendengar bahwa bengcu yang sekarang bernama Bhe Seng Kok."

   "Kalau begitu, mari kita berangkat, Cu In. Kita kunjungi ibumu dan aku akan memboyongnya ke kota raja. Dari sana kita sekalian pergi ke Bu-tong-pai untuk melihat pemilihan bengcu baru."

   Akhirnya setelah dibujuk oleh Keng Han, Cu In mau juga pergi bersama ayahnya dan Keng Han. Mereka bertiga melakukan perjalanan ke Beng-san dan Cu In menjadi penunjuk jalan. Dan selama dalam perjalanan ini, The Sun Tek mengerti dari sikap dan kata-kata Keng Han dan Cu In bahwa kedua orang muda ini saling menaruh hati! Akan tetapi dia diam-diam merasa girang karena diketahuinya bahwa Keng Han seorang pemuda yang baik sekali, walaupun dia itu putera Pangeran Tao Seng yang memberontak. Bhe Seng Kok adalah seorang pria berusia empat puluh lima tahun dan tinggal di kota Cian-an. Sepuluh tahun yang lalu, ketika diadakan pemilihan bengcu, dia juga hadir.

   Tadinya semua orang memilih dan menunjuk Pendekar Sakti Yo Han untuk menjadi ketua baru, akan tetapi Yo Han yang sudah menjadi ketua Thian-li-pang menolak. Kemudian atas usul Yo Han yang mengenal baik Bhe Seng Kok, pendekar Siauw-lim-pai inilah yang dipilih menjadi bengcu. Bhe Seng Kok menerimanya dan sejak itu dialah yang menjadi bengcu. Tugas seorang bengcu adalah mengepalai seluruh dunia kang-ouw dan kalau terjadi bentrokan antara orang kang-ouw, bengcu inilah yang akan menyelesaikannya. Akan tetapi ketika terjadi perang antara pemberontak dan pemerintah, dia sama sekali tidak mau mencampurinya. Biarpun banyak anggauta kang-ouw yang terlibat, akan tetapi Bhe Seng Kok menganggap itu urusan pemerintah dan dia tidak mau melibatkan diri, hanya mendengar laporan dari orang-orang kang-ouw saja.

   Bhe Seng Kok, hidup menyendiri, tidak mempunyai keluarga dan tidak pernah menikah. Bahkan ada keinginan dalam hatinya untuk kembali ke biara Siauw-lim-pai dan menjadi hwesio di sana. Pada suatu hari Bhe Seng Kok sedang duduk sendiri di dalam rumahnya yang tidak besar. Tiba-tiba terdengar langkah kaki orang di depan rumahnya dan dia cepat keluar untuk menyambut tamu yang datang. Ternyata yang datang adalah dua orang, seorang pemuda yang gagah dan seorang kakek tinggi kurus yang memegang sebatang dayung baja. Bhe Seng Kok yang menjadi bengcu tentu saja mengenal hampir semua orang kang-ouw, apalagi tokoh-tokoh yang tua. Maka begitu melihat kakek yang memegang dayung baja, dia teringat dan segera menyambut dengan ramah.

   "Ah, kiranya Tung-hai Lo-mo yang datang berkunjung. Selamat datang dan marilah kita duduk di dalam agar dapat bicara dengan leluasa."

   "Terima kasih, Bengcu."

   Kata Tunghai Lo-mo dan dia masuk ke dalam rumah, diikuti oleh Gu Lam Sang, pemuda gagah itu.

   "Silakan Ji-wi (Kalian berdua) duduk!"

   Bhe Seng Kok mempersilakan dua orang tamunya.

   "Terima kasih, Bengcu."

   Kata Tunghai Lo-mo sambil tersenyum.

   "Perkenalkan pemuda ini bernama GuLam Sang, seorang pemuda yang memiliki ilmu silat tinggi bukan main."

   Bhe Seng Kok mengangguk dan memandang kepada GuLam Sang sambil berkata,

   "Maafkan kalau aku belum mengenal Sicu, karena Sicu masih muda dan baru muncul di dunia. kang-ouw. Tunghai Lo-mo, keperluan apakah yang membawamu datang ke tempat ini?"

   "Yang mempunyai keperluan justeru GuLam Sang kongcu ini. Aku hanya mengantarkannya saja."

   "Ah, begitukah? Sicu, ada keperluan apakah maka Sicu datang menemuiku?"

   Gulam Sang tersenyum mengejek.

   "Aku mendengar bahwa engkau adalah bengcu yang mengepalai seluruh dunia kang-ouw. Benarkah?"

   "Benar, dan aku menjadi bengcu karena dipilih dan didorong oleh para saudara di dunia kang-ouw."

   "Seorang bengcu tentu mempunyai ilmu silat yang tak terkalahkan. Karena tertarik dan ingin sekali membuktikan sendiri bagaimana hebatnya ilmu silat bengcu, maka aku sengaja datang untuk menantangmu mengadu ilmu silat!"

   Kata Gu Lam Sang terus terang. Bhe Seng Kok tersenyum lebar dan berkata,

   "Orang muda, menjadi bengcu bukan diukur dari ilmu silatnya saja, melainkan harus pula memiliki kebijaksanaan dan rasa keadilan. Bengcu bukan jagoan yang membanggakan ilmu silatnya, maka tidak perlu kita harus mengadakan pibu (mengadu ilmu silat)."

   "Maaf, Bengcu. Kurasa pendapat itu tidak benar,"

   Kata Tung-hai Lo-mo.

   "Kongcu GuLam Sang ini datang dari jauh di Barat. Kalau permintaannya untuk pibu tidak dipenuhi, tentu dia akan menceritakan kepada semua orang bahwa Bengcu takut bertanding dengan dia."

   GuLam Sang tertawa.

   "Ha-ha-ha, kalau memang Bengcu takut bertanding melawanku, akuilah saja. Asalkan engkau suka berlutut memberi hormat tiga kali padaku, aku tidak akan memaksamu lagi. Berkerut alis Bhe Seng Kok.

   "Tidak ada yang takut dan tidak ada yang perlu berlutut! Aku menolak diadakan pibu hanya karena menyayangkan Sicu yang masih muda. Kalau sampai Sicu terluka dalam pibu, aku akan ditertawakan orang sedunia. Seorang bengcu melayani tantangan seorang pemuda yang tidak ternama tanpa alasan. Tidak, aku tidak mau pibu denganmu!"

   Gu Lam Sang bangkit dan mencabut pedangnya.

   "Engkau telah menghinakui Pendeknya, mau atau tidak engkau harus melawanku untuk menentukan siapa di antara kita yang lebilh lihai!"

   Melihat kenekatan Gu Lam Sang, Bhe Seng Kok mengerutkan alisnya dan mengangguk-angguk.

   "Begitukah yang kaukehendaki? Kalau begitu terpaksa aku akan melayanimu!"

   Setelah berkata demikian, Bhe Seng Kok menyambar pedangnya yang tergantung di dinding.

   "Mari kita pergi ke kebun di belakang agar lebih leluasa bertanding!"

   Mereka pergi ke kebun di belakang rumah itu. Di kebun ini biasanya Bhe Seng Kok bercocok tanam.

   "Nah, di sini tempatnya luas dan engkau boleh mulai, orang muda!"

   "Bengcu, jagalah seranganku!"

   Kata Gu Lam Sang dan dia sudah menyerang dengan ganasnya. Melihat serangan ini, diam-diam Bhe Seng Kok terkejut karena dia mengenal ilmu silat yang dahsyat. Maka dia pun menangkis dengan pedangnya lalu membalas serangan itu. Gu Lam Sang juga dapat menghindarkan diri dan mereka sudah bertanding dengan seru. Melihat betapa semua serangan Gu Lam Sang bukan sekedar untuk menguji kepandaian, melainkan benar-benar menyerang dengan serangan maut yang berbahaya, Bhe Seng Kok terpaksa mengimbangi-nya dengan ilmu pedangnya yang kokoh kuat.

   Bengcu ini adalah seorang tokoh Siauw-lim-pai maka tentu saja ilmu silatnya sudah mencapai tingkat tinggi. Akan tetapi sekali ini dia bertemu dengan Gu Lam Sang yang pernah mempelajari ilmu-ilmu dahsyat dari Dalai Lama, maka pertandingan itu berlangsung seimbang dan amat hebatnya. Sinar kedua pedang itu bergulung-gulung dan dua orang yang bertanding itu merasa betapa tangguh lawannya. Seratus jurus telah lewat tanpa ada yang terdesak dan ternyata tingkat mereka seimbang! Tiba-tiba sebatang dayung baja yang kuat dan berat menyambar ke arah Bhe Seng Kok. Bengcu itu terkejut bukan main. Dia mengelak dengan cepat dan menahan pedangnya menudingkan telunjuknya kepada Tung-hai Lo-mo sambil berseru,

   "Lo-mo, kau....!"

   Akan tetapi pada saat itu, pedang di tangan Gu Lam Sang telah menyerangnya dari belakang. Bhe Seng Kok sedang mencurahkan perhatiannya kepada Tung-hai Lo-mo, maka dia tidak tahu akan kecurangan itu dan tahu-tahu punggungnya telah ditembusi pedang. Bengcu itu roboh terlentang, matanya mendelik ke arah kedua orang itu dan berseru,

   "Kalian keji dan curang...!"

   Dan dia pun terkulai, menghembuskan napas terakhir.

   "Bagus!"

   Kata Tung-hai Lamo.

   "Perkelahian ini tidak nampak oleh orang lain. Mari cepat pergi (dari sini, jangan sampai terlihat orang lain!"

   Keduanya lalu melarikan diri, menyusup-nyusup di antara pohon-pohon kemudian melompat keluar dari pagar tembok rumah itu. Tidak ada orang lain yang melihatnya dan baru beberapa hari kemudian mayat Bhe Seng Kok ditemukan tetangganya yang mencium bau mayat. Tidak ada orang mengetahuinya siapa yang membunuh bengcu itu.

   Melihat bengcu itu tewas dengan luka di punggung dan masih memegang sebatang pedang, semua orang tahu bahwa bengcu itu terbunuh dalam perkelahian akan tetapi tidak ada yang tahu siapa pembunuh itu. Matinya beng-cu ini segera tersiar ke seluruh pelosok negeri. Dan dua hari setelah kematian beng-cu itu, Thian It Tosu dari Bu-tong-pai mengundang para tokoh kang-ouw dan partai-partai besar untuk datang ke Bu-tong-pai. Bu-tong-pai hendak menjadi pelopor untuk pemilihan beng-cu baru. Undangan ini pun tersiar cepat sehingga terdengar sampai ke kota raja. Maka The Sun Tek juga mendengar tentang undangan Bu-tong-pai itu walaupun dia belum mendengar akan kematian Bhe Seng Kok. Orang yang memiliki pamrih besar yang dia sendiri sebut sebagai cita-cita, memang mempunyai seribu satu macam akal untuk mencapai apa yang dituju.

   Dia tidak peduli lagi akan caranya, segala macam cara dianggap halal dan pantas dilakukan demi mencapai apa yang dicita-citakan. Seperti Gulam Sang dan kawan-kawannya itu. Baru saja dia gagal
(Lanjut ke Jilid 15)
Pusaka Pulau Es (Seri ke 17 - Serial Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 15
dalam usaha membunuh kaisar dan pangeran mahkota, juga penyerbuan ke kota raja gagal, mereka kini sudah menjalankan siasat lain dan untuk keberhasilan siasat itu, mereka tidak segan-segan membunuh orang yang sama sekali tidak bersalah. Siapapun yang dianggap menghalangi jalan mereka tentu akan dihancurkan. Mereka bertiga melakukan perjalanan dengan cepat dan pada suatu hari tibalah mereka di kaki Beng-san. The Sun Tek berjalan di depan, kemudian di belakangnya Cu In berjalan di samping Keng Han. Cu In yang menjadi penunjuk jalan.

   "Di depan itu terdapat jalan simpangan ke kiri. Jalan itulah yang harus diambil Ayah. Membelok ke kiri."

   Kini Cu In sudah tidak asing lagi menyebut ayah kepada The Sun Tek dan hal ini benar-benar membahagiakan hati panglima itu dan juga menyenangkan hati Keng Han.

   "Kita sudah berjalan lebih dari setengah hari, apakah tidak baik kalau kita beristirahat lebih dulu?"

   Keng Han mengusulkan. Dia sendiri sebetulnya masih dapat bertahan, akan tetapi dia melihat betapa dahi Cu- In sudah berkeringat dan dia merasa kasihan kepada gadis itu. Mendengar ini, The Sun Tek tersenyum dan menghentikan langkahnya.

   "Engkau benar, Keng Han. Saking besarnya semangatku hendak. cepat-cepat bertemu isteriku, aku sampai lupa akan kelelahan, dahaga dan kelaparan. Mari kita beristirahat sejenak sambil makan bekal kita."

   Cu In diam saja akan tetapi juga tidak membantah, mereka memilih tempat yang teduh di bawah pohon besar dan duduk di atas batu yang terdapat di situ. Keng Han lalu membuka. buntalan dan mengeiuarkan beberapa potong roti kering dan dendeng kering. Juga seguci anggur dan tiga buah cawan. Tanpa banyak cakap lagi mereka duduk makan dan minum. Karena mereka sudah lelah dan lapar, maka makanan sederhana itu bagi mereka terasa nikmat sekali. Setelah selesai makan mereka lalu duduk beristirahat melepas lelah.

   "Cu In, anakku. Engkau mengenakan cadar di mukamu karena tekanan ibumu agar mukamu tidak sampai terlihat pria yang dianggapnya semua jahat. Akan tetapi, kukira sekarang pendapat ibumu itu lain lagi, maka pantangan itu pun harus kau buang jauh-jauh. Tidak semua pria jahat. Contohnya Keng Han ini. Apakah engkau dapat mengatakan bahwa dia seorang laki-laki yang jahat?"

   "Tidak, Ayah."

   Kata Cu In sambil menundukkan mukanya.

   "Apakah engkau meng-anggap ayahmu ini laki-laki yang jahat pula?"

   "Tidak juga, Ayah."

   "Nah, kalau begitu kenapa engkau selalu memakai cadar itu rnenyembunyikan mukamu dari kami? Aku ayahmu, Cu In. Aku ingin sekali melihat mukamu. Maka kuminta, bukalah cadar itu, Cu In."

   Melihat gadis itu menjadi bingung, Keng Han lalu berkata dengan lembut.

   "Cu In, bukalah cadarmu dan biarkan ayahmu melihatmu. Seorang ayah yang baik tentu akan tetap menyayang anaknya, bagaimanapun juga wajah anaknya itu"

   "Ayah, kau berjanji tidak akan membenciku atau malu mengakui aku sebagai anakmu setelah melihat wajahku?"

   "Ah, bagaimana mungkin? Engkau anakku, tidak peduli bagaimanapun bentuk wajahmu. Bukalah cadar itu sebentar saja, untukku."

   Cu In lalu menghadapi ayahnya dan berkata,

   "Lihatlah Ayah, betapa buruk rupaku!"

   Ia menyingkap cadarnya dan The Sun Tek sampai melangkah mundur dua langkah saking kagetnya.

   "Engkau.... jijik melihatku, Ayah?"

   "Tidak, ah, tidak....!"

   Ayah itu menghampiri dan memeluk Cu In yang sudah menutupkan lagi cadarnya. Aku tetap sayang kepadamu, bahkan aku iba kepadamu. Kenapa mukamu sampai begini, anakku? Kenapa?"

   "Ketika kecil aku diserang penyakit cacar yang berat sehingga setelah sembuh mukaku bercacat seperti ini."

   "Nah, apa kataku, Cu In. Orang yang mencinta dengan hati tulus tidak akan berubah hanya karena melihat muka yang dicintanya itu cacat. Bahkan rasa iba memperdalam rasa cinta itu. Jangan khawatir, kelak aku akan mengobati dan menghilangkan cacat di mukamu itu!"

   Dari ucapan ini The Sun Tek dapat menduga bahwa pemuda itu pun sudah pernah melihat muka anaknya yang cacat. Sudah melihat bahwa muka gadis itu mengerikan akan tetapi tetap mencintanya,sungguh merupakan seorang pemuda yang sulit dicari keduanya di dunia ini.

   "Ucapan Keng Han benar, anakku. Kami akan mencarikan tabib terpandai untuk mengobatimu. Nanti setelah kita hidup serumah dengan ibumu, aku akan menyebar anak buahku untuk mencarikan tabib itu. Nah, setelah sekarang engkau melihat bukti-nya bahwa kami tidak berubah sikap terhadapmu setelah melihat mukamu yang cacat, tentu engkau menyadari bahwa tidak semua laki-laki di dunia ini jahat seperti yang diajarkan ibumu. Baru dua orang yang melihat wajahmu, yaitu aku dan Keng Han, akan tetapi kami tidak menjadi jijik atau membencimu."

   "Bukan baru Ayah dan Keng Han yang melihatnya. Ada seorang lain yang melihatnya dan begitu dia melihatku, langsung saja aku akan dibunuh."

   "Siapakah orang itu, Cu In?"

   Tanya Keng Han dengan cepat.

   "Tung-hai Lo-mo. Kau ingat, Keng Han ketika engkau menolongku dari tangan Tung-hai Lo-mo dan Swat-hai Lokwi? Nah, ketika itu Tung-hai Lo-mo yang menawanku telah membuka cadarku dan begitu melihat wajahku, dia hendak membunuhku. Baiknya engkau datang dan menolong."

   "Tung-hai Lo-mo? Datuk sesat itu memang orang jahat. Biarpun tidak membuka cadarmu pun dia tetap seorang jahat yang harus dibasmi! Orang laki-laki macam dia tidak masuk hitungan, Cu In. Seperti juga julukannya, dia memang seorang iblis!"

   Kata The Sun Tek marah.

   "Aku sendiri akan membunuhnya, Ayah, sesuai dengan sumpahku dahulu bahwa siapa yang berani membuka cadarku, dia harus mati di tanganku."

   "Ah, sumpah itu mengerikan sekali anakku. Aku sendiri dan Keng Han juga sudah melihat wajahmu, apakah engkau juga akan membunuh kami?"

   "Tidak, Ayah. Sumpahku itu sudah kuanggap habis begitu aku bertemu dengan Keng Han dan kemudian melihat bahwa kebencian ibuku terhadap pria hanya sekadar pelampiasan amarahnya terhadapmu. Akan tetapi perkenankan aku memakai cadar ini, Ayah. Pertama, karena aku sudah terbiasa memakainya sehingga kalau ditanggalkan aku merasa malu seolah telanjang, dan kedua kupakai agar tidak menjadi perhatian orang. Ketiga, agar engkau dan Keng Han tidak akan menjadi malu."

   "Aku? Malu? Kenapa aku harus malu."

   "Punya anak yang cacat wajahnya."

   Pusaka Pulau Es Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Aku adalah seorang yang berani menghadapi kenyataan betapapun pahitnya, Cu In. Cacatnya wajahmu tidak mengurangi kasih sayangku kepada engkau sebagai puteriku!"

   "Dan kenapa aku harus malu, Cu In?"

   Tanya Keng Han dengan suara mengandung penasaran.

   "Kalau orang-orang melihat wajahku lalu mendengar bahwa engkau.... cinta padaku, bukankah engkau akan menjadi bahan tertawaan?."

   Keng Han terkejut. Gadis ini membuka rahasia hatinya begitu saja di depan ayahnya! Dia menjadi tersipu dan salah tingkah, lalu memandang kepada The Sun Tek. Panglima ini juga memandang-nya wajah berseri dan mulut tersenyum, lalu kepalanya mengangguk perlahan.

   "Cu In, apa pun yang terjadi padaku, aku tidak peduli. Orang boleh menertawakan aku sesuka hati mereka, namun aku tetap seorang sahabat yang amat mencintamu."

   "Ayah, kau dengar itu? Apakah ucapan seperti itu dapat dipercaya? Bagaimana mungkin seorang pemuda yang tampan dan gagah tanpa cacat dapat mencinta aku yang berwajah buruk mengerikan ini? Aku belum dapat percaya sepenuhnya!"

   "Cu In, engkau belum mengerti tentang cinta. Bagaikan aku dan ibumu. Apa pun yang telah dilakukan ibumu, aku tetap mencinta dan menyayangnya. Bagi seorang yang mencinta dengan tulus, segala macam cacat pada diri orang yang dicintanya tidak ada artinya. Bukankah begitu, Keng Han?"

   "Benar sekali, Paman. Aku mencinta Cu In karena kepribadiannya, bukan karena wajahnya. Setelah melihat wajahnya, aku bahkan merasa semakin sayang karena iba, dan kelak aku akan mencarikan tabib yang pandai untuk mengobati cacatnya itu."

   "Nah, anakku. Engkau beruntung sekali menemukan pemuda seperti ini. Cintanya tulus dan suci, dan aku pun setuju sekali kalau dia menjadi mantuku!"

   "Ayah. Apakah Ayah telah tahu siapa dia? Dia adalah putera Tao Seng, pangeran yang memberontak itu! Nah, apakah Ayah masih setuju juga berbesan dengan pengkhianat Pangeran Tao Seng itu?"

   "Menilai orang dengan melihat ayahnya adalah picik. Belum tentu seorang ayah yang baik budi memiliki anak yang baik pula dan tidak semua ayah yang jahat memiliki anak yang jahat pula. Aku tidak peduli calon mantuku itu anak siapa yang penting asal pribadinya baik. Dan kulihat Keng Han seorang pendekar yang baik dan gagah perkasa."

   Cu In menundukkan mukanya, akan tetapi terlihat betapa sepasang mata itu mencorong berseri.

   "Aku sendiri tidak dapat menjawab sekarang. Kita lihat nanti sajalah. Sekarang yang penting kita harus bertemu ibu dulu. Masih ada ibuku yang memiliki hak untuk menentukan siapa calon mantunya."

   Keng Han diam saja akan tetapi The Sun Tek mengerut-kan alisnya. Dia sudah tahu akan watak isterinya yang keras. Kalau isterinya tidak menyetujui Keng Han, sampai mati pun ia tentu tidak akan menyetujuinya! Pada saat itu, nampak bayangan berkelebat dan tahu-tahu di situ telah berdiri seorang wanita yang cantik jelita. Usianya kurang lebih dua puluh tiga tahun, cantik jelita kulit mukanya putih mulus, pipinya kemerahan, mata dan bibirnya begitu manisnya sehingga setiap orang pria pasti akan tertarik. Rambutnya yang dibiarkan terurai panjang di punggung-nya itu diikat sutera merah dekat kepala. Punggungnya membawa sebatang pedang.

   "Suci kiranya engkau!"

   Tegur Cu In. Keng Han merasa tidak enak juga kalau tidak menyapa wanita itu.

   "Subo....!"

   Katanya, terpaksa menyebut subo kepada Bi-kiam Nio-cu Siang Bi Kiok karena dia pernah diberi pelajaran cara menghindarkan totokannya yang amat lihai. Akan tetapi Bi-kiam Nio-cu mengerutkan alisnya dan memandang kepada Keng Han dengan mata bersinar marah. Ia sudah merendahkan diri begitu rupa terhadap pemuda itu, bahkan menemani pemuda itu sampai dapat menghadap Dalai Lama, akan tetapi apa balasan Keng Han kepadanya? Diajak berjodoh dan lari minggat meninggalkan subonya, pemuda itu tidak mau! Dan sekarang nampak bergaul akrab sekali dengan sumoinya! Nio-cu menudingkan telunjuknya yang runcing ke arah muka bercadar itu dan terdengar suaranya lantang.

   "Sumoi, apa artinya ini? Engkau bukan saja telah melanggar pantangan subo, bahkan engkau berani membawa dua orang laki-laki ke sini! Apa kau sudah bosan hidup? Hayo lekas bunuh dua orang laki-laki itu, atau aku akan segera melaporkan kepada subo!"

   "Kebetulan sekali kalau begitu, Suci. Cepat laporkan kepada subo bahwa aku datang menghadap bersama ayahku dan saudara Keng Han yang sudah berulang kali menyelamatkan diriku."

   "Apa kau bilang? Ayahmu....?"

   Nio-cu mengamati The Sun Tek dengan penuh perhatian.

   "Ya, Ayahku. Sudahlah jangan bertanya panjang lebar. Beritahukan saja bahwa aku datang bersama ayahku dan sahabat baikku tentu subo akan mengerti."

   Betapapun marahnya, Niocu yang galak dan kejam ini masih jerih terhadap Cu In yang tingkat kepandaiannya lebih tinggi darinya.

   "Baik, dan kalian tentu akan dibunuh semua!"

   Ia. pun berkelebat dan pergi.

   "Cu In, itukah yang terkenal dengan julukan Bi-kiam Nio-cu? "

   Tanya The Sun Tek kepada puterinya.

   "Benar, Ayah. Ia su-ciku dan ia pun patuh sekali kepada guru kami sehingga ia melaksanakan semua perintah guru. Entah berapa banyak laki-laki yang berani bersikap ceriwis kepadanya telah dibunuhnya."

   The Sun Tek menghela napas panjang.

   "Mudah-mudahan aku dapat menghentikan semua perintah ibumu yang keterlaluan itu."

   Mereka mendaki bukit Beng-san dengan cepat.

   "Kita mengambil jalan pintas, Ayah, agar supaya lebih dekat. Akan tetapi kita harus berhati-hati karena daerah ini termasuk wilayah yang dilindungi oleh keluarga Gak."

   "Keluarga Gak adalah keluarga yang sakti. Paman Gak Ciang Hun sendiri adalah seorang yang dekat dengan keluarga Pulau Es, ilmu silatnya lihai sekali. Juga isterinya memiliki ilmu silat yang hebat. Bahkan subo sendiri kalau tidak perlu sekali tidak mau lewat daerah ini."

   Keng Han tertarik sekali.

   "Kalau begitu, dia tentu mengenal baik Paman Yo Han."

   "Kiranya demikian. Sudah lama aku mendengar akan nama besar Pendekar Tangan Sakti Yo Han. Apalagi isterinya yang berjuluk Bangau Merah, adalah seorang wanita sakti. Kabarnya ia pernah belajar dari locianpwe Suma Ceng Liong yang merupakan keturunan langsung dari Keluarga Pulau Es."

   Keng Han mengangguk-angguk.

   "Kalau begitu tidak salah lagi bahwa Pulau Hantu itu adalah Pulau Es yang dulu tenggelam dan kini muncul lagi. Paman Yo Han mengenal semua ilmu silat yang kupelajari dari pulau itu."

   "Ah, kalau begitu engkau adalah pewaris ilmu-ilmu keluarga Pulau Es!"

   Seru The Sun Tek dengan kagum.

   "Ah, hanya kebetulan saja aku menemukan dan mempelajari, Paman. Dibandingkan dengan orang-orang keturunan keluarga itu tentu kepandaianku tidak ada artinya. Aku belajar sendiri tidak ada yang membimbing."

   "Jangan merendahkan diri, Keng Han. Aku sendiri sudah melihat betapa hebatnya ilmu kepandaianmu, dapat menandingi ilmu silat para datuk sesat."

   "Engkau terlalu memuji, Cu In. ilmumu sendiri juga hebat sekali?"

   Dua orang muda itu saling memuji dan saling merendahkan dirinya sehingga The-ciangkun yang mendengarnya menjadi senang. Pertanda baik bagi orang yang saling mencinta dan calon berjodoh.

   Akan tetapi mereka tidak menemi halangan sehingga mereka menduga bahwa keluarga Gak itu disegani dan ditakuti orang karena adalah pendekar-pendekar yang lihai. Akan tetapi mereka sendiri tidak pernah usil mencampuri urusan orang lain sehingga biarpun ada orang asing memasuki wilayah mereka asal orang asing itu tidak mengganggu, juga tidak dilarang. Ketika mereka tiba di pondok tempat tinggal Ang Hwa Nio-nio ternyata wanita itu sudah menunggu di serambi depan bersama Bi-kiam Nio-cu. Dan wanita itu agaknya mengenakan pakaian yang masih baru dan rambutnya tersisir rapi dengan hiasan kembang merah. Agaknya ia sudah diberitahu oleh Niocu akan kedatangan Cu In, Keng Han, dan laki-laki setengah tua itu. Ketika melihat The-ciangkun, Ang Hwa Nio-nio menyambutnya dengan ucapan dingin.

   

Si Tangan Sakti Eps 15 Si Bangau Merah Eps 13 Si Bangau Merah Eps 20

Cari Blog Ini