Ceritasilat Novel Online

Pusaka Pulau Es 18


Pusaka Pulau Es Karya Kho Ping Hoo Bagian 18



"Lepaskan dia!"

   Kata Thian It Tosu kepada para muridnya dan dia sendiri mencabut Pek-coa-kiam yang tadi oleh Gulam Sang ditancapkan ke atas papan. Biarpun agak enggan, para murid menarik senjata mereka yang ditodongkan kepada Gulam Sang. Dia tertawa menyeringai, lalu menoleh kepada Bi-kiam Nio-cu sambil berkata,

   "Niocu, maukah engkau pergi dengan aku?"

   "Jahanam busuk! Membunuhmu aku mau, kalau disuruh pergi bersamamu, jangan harap!"

   Gulam Sang maklum bahwa dia telah kalah segala-galanya, maka dia sudah melangkah untuk meninggalkan panggung.

   "Tahan dulu!!"

   Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring. Semua orang menoleh dan Gulam Sang juga memandang. Ketika melihat bahwa yang datang itu adalah dua orang pendeta Lama berjubah merah, wajahnya menjadi pucat sekali.

   "Omitohud....! Dicari ke mana-mana ternyata berada di sini. Gulam Sang, atas perintah Yang Mulia Dalai Lama, kami harus menangkapmu. Menyerahlah engkau agar kami tidak harus menggunakan kekerasan!"

   Gulam Sang maklum bahwa kalau dia menyerah, tidak urung dia akan dibunuh. Dia dan ayahnya, Gosang Lama, telah menyebabkan pemberontakan di Tibet. Ayahnya juga sudah terbunuh, dan selama ini dia dapat meloloskan diri dan bersembunyi di Bu-tong-pai. Ternyata pada saat kejatuhannya, dua orang Lama Jubah Merah muncul. Maka, Gulam Sang menjadi nekat.

   "Kalian tidak akan dapat menangkapku hidup-hidup!"

   Setelah membentak demikian, dia lalu menyerang kedua pendeta Lama itu dengan amat ganas. Akan tetapi, dua orang pendeta Lama itu adalah murid-murid Dalai Lama yang lebih tinggi tingkatnya dibandingkan Gulam Sang. Mereka menyambut terjangan itu dengan pukulan telapak tangan secara berbareng.

   "Desss....!"

   Tubuh Gulam Sang terpental dan bergulingan lalu diam dan tidak bergerak lagi. Ternyata dia telah tewas!

   "Omitohud, setiap perbuatan jahat akan berakibat malapetaka bagi dirinya sendiri!"

   Kata pendeta Lama yang perutnya gendut. Kemudian mereka berdua menghadapi Thian It Tosu dan yang kurus berkata dengan sikap hormat.

   "Apakah Toyu ketua Bu-tong-pai?"

   "Benar."

   "Kalau begitu, kami mohon dengan hormat untuk mengadakan upacara membakar mayat di sini. Bolehkah?"

   "Tentu saja boleh."

   Thian It Tosu dia kini menghadapi semua orang yang berkumpul di situ.

   "Kami harap agar para tamu yang tergolong sesat seperti perkumpulan Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai, suka meninggalkan tempat ini. Kalian Semua memang diundang, akan tetapi bukan pinto yang mengundang. Dan hendaknya kalian maklumi, bahwa Bu-tong-pai bukan perkumpulan pemberontak terhadap pemerintah. Kami hanya menentang orang-orang yang melakukan kejahatan. Yang tadinya merasa bersekutu dengan Bu-tong-pai di bawah pimpinan ketua palsu, diminta agar juga meninggalkan tempat ini!"

   Mendengar ucapan ini, tiga orang datuk segera pergi tanpa banyak cakap lagi. Juga rombongan orang Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai, termasuk mereka yang tadinya disusupkan menjadi anggauta Bu-tong-pai, semua pergi secepatnya dari tempat yang berbahaya bagi keselamatan mereka itu. Kini yang masih tinggal hanyalah orang-orang kang-ouw yang hidupnya sebagai pendekar dan yang selalu menentang orang-orang yang melakukan kejahatan. Tentu saja termasuk Yo Han, Tan Sian Li dan Yo Han Li yang sudah lama menjadi sahabat baik Thian It Tosu. Juga Bi-kiam Nio-cu masih berada di situ. Keng Han menghampiri Bi-kiam Niocu, mengembalikan pedang yang tadi dipijamkan kepadanya,

   "Maaf, Niocu, pedangmu rusak dan patah ujungnya."

   Kata Keng Han.

   "Tidak mengapa engkau telah menyadar-kan aku tentang Gulam Sang yang palsu itu."

   Kata wanita itu sambil menerima kembali pedangnya. Thian It Tosu menghampiri Yo Han dan memberi hormat dengan merangkap kedua tangan depan dada yang segera dibalas oleh Yo Han.

   "Terima kasih atas bantuan Yo-taihiap sekeluarga, juga terima kasih kepada Ji-wi yang muda-muda namun berilmu tinggi."

   Katanya dan ucapan terakhir ditujukan kepada Keng Han dan Bikiam Nio-cu.

   "Ah, Totiang. Aku malah minta maaf bahwa aku sama sekali tidak tahu bahwa Totiang telah ditahan dan Thian It Tosu yang memimpin Bu-tong-pai adalah orang palsu! Pantas saja aku merasa heran sekali atas perubahan sikap Bu-tong-pai dan bersekutu dengan Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai. Kiranya bukan Totiang orangnya."

   "Totiang, saya ingin mencari orang yang bernama Tao Seng, yang menjadi pimpinan pemberontakan ini. Menurut perhitungan saya, dia pasti bersembunyi di dalam Bu-tong-pai bersama datuk-datuk sesat tadi. Apakah ada murid Totiang yang mengetahui di mana dia bersembunyi?"

   Seorang murid Bu-tong-pai cepat maju dan berkata,

   "Memang ada seorang yang kemarin dulu diterima oleh ketua palsu sebagai tamu dan dia disebut Ji-wangwe."

   "Ya itulah orangnya!"

   Seru Keng Han.

   "Tahukah engkau di mana dia bersembunyi?"

   "Tadinya mereka semua bersembunyi di kamar rahasia akan tetapi ketika terjadi perkelahian, Ji-wangwe itu keluar dari kamar rahasia dan melarikan diri melalui pintu belakang."

   "Wah, aku harus mengejarnya!"

   Kata Keng Han dan dia sudah meloncat pergi dari situ dan lari ke belakang gedung, melalui taman dan terus melompat pagar tembok di belakang taman.

   Dia mengejar dan mencari terus, namun tidak nampak jejak orang yang dicarinya itu. Tugasnya membela keluarga kaisar sudah berhasil dan kini tinggal menemukan ayahnya dan memaksa ayah itu ikut bersama ke Khitan, menghadap ibunya! Dia tiba di sebuah bukit kecil. Cepat dia mendaki bukit itu dan di puncak bukit itu dia melihat sebuah rumah menyendiri. Mungkin ayahnya itu bersembunyi di sana, pikirnya penuh harapan. Akan tetapi ketika tiba di pekarangan rumah itu, tiba-tiba terdengar suara tawa dan tiga orang meluncur keluar dari dalam rumah itu. Mereka itu ternyata adalah Swat-hai Lo-kwi, Tung-hai Lo-mo dan Lam-hai Koai-jin. Swat-hai Lo-kwi sudah memegang pedangnya, Tung-hai Lo-mo sudah memegang dayung bajanya dan Lam-hai Koai-jin memegang ruyungnya. Jelas bahwa kedatangannya itu telah diketahui mereka dan mereka telah siap untuk menghadapinya.

   "Ha-ha-ha, orang muda. Beberapa kali engkau menggagalkan usaha kami, sekarang tiba saatnya kami melakukan pembalasan dan membunuhmu di sini!"

   Kata Swat-hai Lo-kwi sambil tertawa.

   "Lo-kwi, ingat! Ketika kita berada di Pulau Hantu itu engkau pun berniat membunuhku, akan tetapi sampai sekarang aku masih hidup! Aku tidak takut biarpun kalian bersikap curang hendak mengeroyokku. Aku hanya ingin bertanya, apakah Pangeran Tao Seng atau Hartawan Ji itu berada di dalam? Kalau betul, suruh dia keluar dan aku akan membawanya pergi. Aku tidak ada alasan untuk bertanding dengan kalian!"

   Melihat sikap pemuda itu demikian tabah menghadapi mereka bertiga, Tung-hai Lo-mo yang wataknya angkuh itu membentak,

   "Dia memang berada di sini. Akan tetapi kami melindunginya. Kalau engkau dapat mengalahkan kami bertiga, barulah engkau boleh menemuinya!"

   "Tung-hai Lo-mo, sudah kukatakan bahwa aku tidak butuh bertanding denganmu. Aku hanya menghen-daki orang itu. Ketahuilah bahwa Pangeran Tao Seng itu adalah ayah kandungku!"

   "Ha-ha-ha, jangan engkau membual!"

   Kata Lam-hai Koai-jin.

   "Kalau dia memang ayah kandungmu, mengapa engkau malah menentangnya sehingga gerakannya gagal?"

   "Karena dia berada di pihak yang bersalah. Dia berbuat jahat dan aku tidak ingin melihat dia berbuat jahat!"

   Jawab Keng Han.

   "Sudahlah, kawan-kawan, tidak perlu berdebat dengan bocah ini. Mari kita bereskan saja dia!"

   Setelah berkata demikian Swat-hai Lo-kwi sudah menggerakkan pedangnya menyerang Keng Han. Keng Han menghindarkan diri dengan mengelak ke kiri. Akan tetapi dari sebelah kiri, dayung baja Tung-hai Lo-mo sudah menyapu ke arah pinggangnya! Keng Han meloncat tinggi ke atas sehingga dayung baja itu menyambar di bawah kakinya. Keng Han menginjak dayung itu dan meloncat ke belakang, berjungkir balik beberapa kali sebelum turun ke atas tanah.

   Baru saja dia hinggap di tanah, ruyung Lam-hai Koai-jin sudah menyerangnya, memukulkan ruyung yang besar dan berat ke arah kepalanya! Hebat serangan ini, tapi Keng Han tidak menjadi gentar. Kembali dia mengelak ke kanan dan kini kakinya menendang ke arah Swat-hai Lo-kwi. Lo-kwi mengelak dan Keng Han segera dikeroyok tiga orang datuk itu. Keng Han telah memiliki tenaga sinkang yang dahsyat dan ilmu silatnya juga ilmu silat tinggi dan sakti dari Pulau Es. Akan tetapi kini dia menghadapi pengeroyokan tiga orang datuk besar di dunia persilatan. Apalagi dia tidak bersenjata, sedangkan tiga orang datuk yang menyerangnya itu menggunakan tiga macam senjata yang berbeda gerakannya. Tubuhnya berkelebatan di antara tiga gulungan sinar dari senjata musuh-musuhnya.

   Tiga orang datuk itu mengeroyok sambil mengeluarkan bentakan-bentakan nyaring, namun Keng Han bukan saja mengelak, bahkan terhadap dayung baja dan ruyung itu beberapa kali dia menangkis dengan tangannya. Setiap kali ditangkis, pemegang senjata itu merasa tangannya tergetar oleh hawa yang dingin sekali kalau yang menangkis itu tangan kiri Keng Han, sedangkan kalau tangan kanan yang menangkis, lawannya merasa hawa yang amat panas menyerang dirinya. Tiba-tiba seorang muncul di depan pintu. Dia itu bukan lain adalah Tao Seng. Melihat betapa itu bukan lain adalah Tao Seng. Melihat betapa puteranya dikeroyok oleh tiga orang datuk itu, tiba-tiba Tao Seng teringat kepada Silani, isterinya yang ditinggalkan di Khitan. Maka dia pun tidak ingin melihat puteranya terbunuh.

   "Sam-wi Locianpwe, jangan bunuh dia! Dia itu anakku, jangan bunuh dia!"

   Swat-hai Lo-kwi menjadi jengkel mendengar ucapan Tao Seng itu. Baginya, orang itu adalah Hartawan Ji yang membiayai semua usaha pemberontakan itu. Kini, melihat hartawan itu malah melindungi Keng Han, dia menjadi marah.

   "Kami harus membunuhnya! Dialah yang menggagalkan semua usaha!"

   Dan dia menyerang semakin gencar kepada Keng Han yang masih terus melakukan perlawanan dengan gigih. Tao Seng melihat betapa Keng Han terdesak hebat dan kalau perkelahian itu dilanjutkan, tentu akhirnya Keng Han akan tewas! Mati terbunuh di depan matanya. Anaknya! Tiba-tiba dia menghunus pedang dan meloncat ke dalam pertandingan itu, sama sekali bukan untuk mengeroyok Keng Han, melainkan dia menggunakan pedangnya menyerang Swat-hai Lo-kwi!

   "Heiii! Apa yang kau lakukan ini, Ji-wangwe!"

   Bentak Swat-hai Lo-kwi sambil menangkis.

   "Jangan bunuh dia! Jangan bunuh dia!"

   Tao Seng berteriak-teriak sambil terus untuk membantu Keng Han.

   "Keparat!"

   Swat-hai Lo-kwi berteriak marah sambil membalik dan menyerang Tao Seng. Baru diserang sebanyak lima jurus saja pedang di tangan Swat-hai Lokwi telah menembus dada Tao Seng. Tao Seng berteriak dan roboh terguling.

   "Ayahhh....!"

   Keng Han berseru keras melihat ayahnya roboh dengan mandi darah dia lalu mengamuk. Akan tetapi dia dikero-yok tiga orang datuk yang rata-rata memiliki ilmu kepandaian tinggi dan semua bersenjata, sedangkan dia sendiri bertangan kosong.

   Swat-hai Lo-kwi menusukkan pedangnya ke arah lambung Keng Han dan pada saat itu dayung baja Tung-hai Lo-mo menghantam ke arah kepalanya dan ruyung Lam-hai Koai-jin menghantam punggungnya! Diserang secara serentak seperti itu, Keng Han cepat meloncat tinggi untuk menghindarkan semua serangan dan kedua kakinya menendang dan menangkis dayung baja dan ruyung, kemudian sambil menjejakkan kedua kaki pada dua senjata itu tubuhnya berjungkir balik ke belakang dan selamatlah dia dari tiga serangan yang dilakukan serentak itu. Akan tetapi jantungnya berdebar juga karena serangan berbareng itu sungguh amat berbahaya. Kalau saja tidak melihat tiga orang datuk itu membunuh ayahnya, tentu dia sudah meninggalkan tiga orang lawannya. Akan tetapi Swat-hai Lo-kwi telah membunuh ayahnya dan dia tidak dapat tinggal diam begitu saja. Dia meloncat ke dekat tubuh ayahnya.

   "Ayah, engkau tidak apa-apa?"

   Tanyanya khawatir.

   "Keng Han, larilah selagi ada kesempatan.. aku... aku tidak apa-apa...!"

   Akan tetapi tiga orang datuk itu sudah mengurungnya lagi dan terpaksa dia melawan sekuat tenaga. Selagi keadaan amat gawat bagi Keng Han itu tiba-tiba terdengar seruan,

   "Keng Han, terimalah pedangmu ini!"

   Ternyata yang datang adalah Cu In! Gadis itu melempar-kan pedang bengkok milik Keng Han yang telah diberikan kepadanya.

   Keng Han menyambut pedang bengkok itu dan melepaskan sabuk sutera putih dan melemparkannya ke arah Cu In. Cu In menyambut senjatanya itu dan langsung saja ia menyerang kepada Tung-hai Lo-mo dengan sabuk suteranya. Di tangan Cu In sabuk sutera itu menjadi senjata yang ampuh, dapat melibat senjata lawan, dapat pula menotok jalan darah dan dengan sin-kangnya ia dapat membuat sabuk itu sebagai pecut yang dapat melecut dengan ganasnya! Bagaimana Cu In dapat datang pada saat yang amat gawat bagi Keng Han itu! Ternyata berita tentang Bu-tong-pai mengundang para tokoh kang-ouw itu sampai ke kota raja dan terdengar pula oleh The-ciangkun, ayah Cu In. Mendengar ini, Cu In menduga bahwa Keng Han tentu pergi ke sana untuk mencari ayahnya. Maka hatinya merasa tidak enak dan ia berpamit dari ayah ibunya untuk pergi melihat-lihat keadaan di Bu-tong-pai.

   "Aku dapat sekalian menyelidiki apa yang dikehendaki Bu-tong-pai dengan undangan itu, Ayah."

   Katanya kepada ayahnya. Ayah dan ibunya tidak melarangnya dan pergilah The Cu In ke Bu-tong-pai, membawa pedang bengkok milik Keng Han yang tidak pernah lepas dari tubuhnya.

   Ternyata ia datang terlambat dan pertemuan itu telah selesai dengan terbongkar-nya rahasia penyamaran Gu Lam Sang dan ketika ia mendaki bukit Bu-tong-san, ia melihat Keng Han dikeroyok oleh tiga orang datuk itu. Maka ia cepat bertukar senjata dengan Keng Han dan segera menyerang Tung-tiai Lo-mo yang dibencinya karena datuk ini pernah menyingkap cadarnya dan melihat mukanya. Diserang dengan hebat oleh sabuk sutera di tangan Cu In, Tung-hai Lomo lalu menggerakkan dayung bajanya untuk menyambutnya. Segera terjadilah perkelahian yang seru di antara mereka. Lo-mo yang bersenjata dayung baja yang berat itu segera terdesak. Senjatanya terlalu berat dan lamban, sedangkan gadis baju putih itu memiliki gin-kang istimewa. Selain gerakannya amat lincah dan cepat, juga senjata yang ringan itu bergerak dengan kecepatan kilat yang menyambar-nyambar.

   Biarpun hanya sabuk sutera, namun berbahaya sekali kalau serangannya mengenai tubuh lawan. Tung-hai Lo-mo terpaksa menghindarkan diri sambil mundur terus, didesak oleh Cu In yang penuh semangat untuk merobohkan lawan. Sementara itu, Keng Han juga mengamuk dengan pedang bengkoknya. Setelah menerima pedangnya dari Cu In, Keng Han seperti seekor harimau yang tumbuh sayap. Sepak terjangnya amat dahsyat, membuat dua orang pengeroyoknya kewalahan. Swat-hai Lo-kwi menjadi penasaran dan suatu saat dia mengerahkan sinkangnya dan memukul dengan tangan kiri terbuka ke arah dada Keng Han. Itulah pukulan jarak jauh yang mengandung hawa dingin. Akan tetapi Keng Han tidak menyingkir. Dia pun merendahkan tubuhnya dan tangan kirinya didorongkan ke depan dengan tenaga Swat-im Sin-kang yang dilatihnya di Pulau Hantu.

   "Wuuuuuttt...!! Desss...!!"

   Benturan dua tenaga sakti yang hebat itu sampai terasa oleh Lam-hai Koai-jin.

   Dia merasa ada hawa yang amat dingin, hampir membuatnya menggigil kalau dia tidak cepat mengerah-kan sin-kangnya untuk melindungi dirinya. Akan tetapi Swat-hai Lo-kwi terdorong mundur. Mukanya pucat dan dia pun roboh terguling. Ternyata tenaga dinginnya itu masih kalah kuat. Keng Han sendiri terhuyung sedikit dan kesempatan itu dipergunakan oleh Lam-hai Koai-jin untuk menyerangnya dengan ruyung. Akan tetapi Keng Han sudah cepat menguasai dirinya dan segera mainkan Hong-in-bun-hoat untuk menghadapi ruyung Lam-hai Koai-jin. Lam-hai Koai-jin adalah seorang datuk dari selatan yang memiliki ilmu ruyung hebat. Akan tetapi, menghadapi Keng Han yang mencorat-corat dengan pedang-nya seperti orang menuliskan huruf-huruf itu dia merasa bingung dan sebentar saja sudah terdesak hebat.

   Swat-hai Lo-kwi yang telah menderita luka dalam tubuhnya itu, bangkit dan terhuyung mening-galkan tempat itu, tidak mempedulikan lagi kepada dua orang temannya karena dia harus menyelamat-kan diri setelah terluka berat itu. Tung-hai Lo-mo juga kewalahan menghadapi sabuk sutera putih di tangan Cu In. Dia hanya dapat memutar dayungnya sambil kadang-kadang mengelak, namun setelah lewat lima puluh jurus, ujung sabuk itu berhasil menotok pundaknya yang sebelah kanan. Seketika lengan kanannya menjadi lumpuh dan dayung baja itu terlepas dari pegangannya. Selagi dia terhuyung, ujung sabuk sudah menyambar lagi dan mengenai ubun-ubun kepalanya. Tung-hai Lo-mo berteriak keras dan dia pun roboh, tewas seketika! Melihat dua kawannya sudah kalah, Lam-hai Koai-jin meloncat jauh ke belakang.

   "Orang muda, aku mengaku kalah sekali ini. Di antara kita tidak terdapat permusuhan, biarlah lain kali aku mencarimu untuk membuat perhitungan."

   Dia lalu meloncat jauh dan melarikan diri.

   "Kau hendak lari ke mana?"

   Cu In hendak mengejar akan tetapi Keng Han berkata, sambil menghampiri Cu In dan memegang lengannya.

   "Musuh yang sudah mengaku kalah tidak perlu dikejar!"

   Mendengar ini Cu In tidak jadi mengejar dan segera kembali menyimpan sabuk suteranya, dililitkan ke pinggangnya yang ramping. Keng Han menghampiri ayahnya dan berlutut. Keadaan Tao Seng payah sekali. Keng Han menotok jalan darah untuk menggugah ayahnya dari keadaannya yang pingsan. Bekas pangeran itu membuka matanya.

   "Kau.... Keng Han.... puteraku....?"

   "Ayah, aku datang hendak mengajak Ayah menemui Ibu di Khitan."

   Kata Keng Han dengan nada sedih karena dia maklum, bahwa ayahnya tidak mungkin tertolong lagi. Pedang itu agaknya telah menembus jantungnya.

   "Sudah... sudah terlambat... aku berdosa besar kepada ibumu... Keng Han, maukah... engkau memintakan maaf kepada Silani? Dan maukah engkau... memaafkan... aku...?"

   Keng Han mengangguk dan mengusap air matanya dengan punggung tangannya. Walaupun ayahnya telah berbuat jahat karena menuruti ambisi yang muluk namun pada saat terakhir ayahnya itu berusaha untuk menolongnya sampai tewas!

   "Tentu saja, Ayah. Ibu pasti akan memaafkanmu...."

   Katanya dengan terharu.

   "Terima kasih.... ahhh, terima kasih, Tuhan! Sekarang.... aku dapat....mati dengan tenang....! Leher itu terkulai dan mata itu terpejam, tanda bahwa Tao Seng telah menghembuskan napas terakhir.

   "Ayah, ohhh.... Ayah...."

   Saking sedih dan terharunya, Keng Han menangisi kematian ayahnya.

   "Keng Han, ayahmu telah tewas, tidak ada gunanya ditangisi lagi."

   Kata Cu In sambil memegang pundak pemuda itu dengan suara halus. Keng Han sadar dan menghentikan tangisnya. Kemudian dia menoleh kepada Cu In.

   "Kalau tidak ada engkau, agaknya aku pun sudah menemani ayahku tewas. Bagaimana engkau dapat berada di sini, Cu In?"

   "Kebetulan saja, Keng Han. Agaknya Thian memang sudah menentukan begitu. Kami di kota raja mendengar akan pertemuan yang diadakan Bu-tong-pai dan aku menduga bahwa engkau akan mencari ayahmu di sini. Maka aku berpamit dari ayah ibuku untuk menyusulmu di Bu-tong-pai. Dan ketika mendaki bukit, aku melihat engkau dikeroyok tiga orang datuk itu."

   Keng Han menoleh ke arah mayat Tung-hai Lo-mo.

   "Engkau membunuhnya?"

   Cu In mengangguk.

   "Aku sudah bersumpah untuk membunuhnya. Ketika dia bersama Swat-hai Lo-kwi dahulu menawanku, Tung-hai Lo-mo ini hendak memperkosaku, akan tetapi setelah dia menyingkap cadarku, dia tidak jadi bahkan hendak membunuhku. Orang seperti dia itu patut dilenyapkan dari muka bumi agar jangan suka menghina orang lagi."

   "Cu In, aku akan mengubur jenazah ayahku di tempat ini, juga jenazah Tung-hai Lo-mo."

   "Tung-hai Lo-mo? Untuk apa kita bersusah payah mengubur jenazah manusia sesat itu?"

   "Jangan berpendapat seperti itu, Cu In. Boleh jadi dia jahat di waktu hidupnya. Akan tetapi dia telah tewas dan yang berada di sini bukan lagi Tung-hai Lo-mo yang jahat, melainkan sebuah jenazah yang perlu diurus dan dikuburkan."

   Cu In menggangguk dan matanya memandang kepada pemuda itu dengan penuh kagum. Baru sekarang dia bertemu dengan seorang pemuda yang bukan saja gagah perkasa dan bersikap sopan, akan tetapi juga berpemandangan luas dan berbudi luhur. Keng Han menggali dua buah lubang dan menguburkan jenazah itu di pekarangan depan rumah itu. Dia meletakkan sebuah batu besar di depan makam ayahnya, dan sebuah batu lebih kecil di depan makam Tung-hai Lo-mo. Kemudian dia bersamadhi sejenak di depan makam ayahnya. Cu In juga memberi hormat kepada makam Pangeran Tao Seng itu.

   "Sekarang engkau hendak ke manakah, Keng Han?"

   "Aku harus kembali dulu ke Khitan, Cu In. Pertama untuk mengabarkan kepada ibuku bahwa ayah telah meninggal dunia seperti seorang jantan karena dia tewas dalam membelaku, dan kedua kalinya aku hendak memberitahu tentang perjodohan kita."

   Tiba-tiba mereka mendengar suara orang memanggil dan melihat sesosok tubuh dengan cepatnya berlari ke arah mereka. Dari jauh saja Cu In sudah mengenal orang itu.

   "Itu suci yang datang."

   Katanya. Keng Han mengerutkan alisnya karena beberapa kali dia mrengalami kesulitan kalau berdekatan dengan Bi-kiam Nio-cu. Akan tetapi sekali ini Cu In bersamanya, maka apa yang akan dapat dilakukan oleh Nio-cu? Bi-kiam Nio-cu cepat sekali berlari dan telah tiba di tempat itu. Napasnya tidak terengah, seolah berlari secepat itu tidak melelahkan baginya.

   "Aku tadi khawatir kalau engkau bertemu para datuk itu Keng Han. Dan ternyata engkau sudah berada di sini bersama Sumoi. Dan dua makam ini, makam siapakah?"

   "Yang itu adalah makam Pangeran Tao Seng atau Hartawan Ji, atau juga ayah kandungku. Sedangkan yang ini adalah makam Tung-hai Lo-mo!"

   Bi-kiam Nio-cu terbelalak.

   "Apa yang sudah terjadi? Bagaimana mereka dapat tewas di sini dan kau kuburkan, Keng Han?"

   "Aku bertemu dengan Swat-hai Lokwi, Tung-hai Lo-mo dan Lam-hai Koai-jin di sini dan aku dikeroyok mereka bertiga. Kemudian muncul ayahku yang membelaku, akan tetapi dia tewas oleh Swat-hai Lo-kwi. Ketika aku masih dikeroyok tiga, datang In-moi yang membantuku. In-moi berhasil menewaskan Tung-hai Lo-mo, dan aku telah melukai Swat-hai Lo-kwi. Kemudian Swat-hai Lokwi dan Lam-hai Koai-jin melarikan diri."

   Keng Han menceritakan dengan singkat.

   "Aihhh, mereka bertiga begitu sakti, akan tetapi engkau mampu menandingi mereka. Sungguh hebat engkau, Keng Han. Kalau aku tahu, tentu aku akan membantumu."

   "Bukankah sepatutnya engkau membantu Gu Lam Sang, Niocu?"

   Keng Han mengejek. Wajah Bi-kiam Nio-cu berubah merah.

   "Laki-laki jahat dan palsu itu! Hampir saja dia dapat mengelabui aku. Hampir saja aku mabuk oleh puji rayuannya. Tidak, setelah engkau memberi tahu akan kepalsuannya aku sudah membencinya setengah mati. Sayang dia tewas tidak olehku, melainkan oleh Lama-lama Jubah Merah itu? Sumoi, bagaimana engkau dapat berada di sini. Bukankah engkau ikut.... ibu dan ayahmu ke kota raja?"

   "Benar, Suci. Akan tetapi di sana aku mendengar akan undangan Bu-tong-pai kepada para tokoh kang-ouw. Aku menduga bahwa Keng Han tentu mencari ayahnya di sini dan aku khawatir sekali. Juga ayah menyuruhku menyelidiki apa yang terjadi di Bu-tong-pai ini. Engkau belum sempat menceritakan kepadaku, Keng Han. Sebetulnya apakah yang telah terjadi di sana?"

   
Pusaka Pulau Es Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Keng Han lalu menceritakan pengalamannya betapa dia menyusup ke dalam bangunan induk Bu-tong-pai dan berhasil membebaskan Thian It Tosu yang disekap di penjara bawah tanah oleh Gulam Sang. Betapa selama ini yang berada di Bu-tong-pai adalah Gulam Sang yang menya-mar sebagai Thian It Tosu.

   "Aihhh, pantas kalau begitu mengapa Bu-tong-pai tiba-tiba saja berubah haluan dan bersekutu dengan Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai serta dibantu pula oleh para datuk sesat."

   Kata The Cu In. Keng Han menghela napas panjang.

   "Harus diakui bahwa Gulam Sang itu memiliki otak yang cerdik sekali juga memiliki ilmu silat yang tinggi. Sayang dia pergunakan kepandaiannya untuk berbuat jahat."

   "Memang benar. Kalau saja dia itu seorang pemuda Han yang melakukan semua itu demi menghancurkan pemerintah penjajah dan membebaskan rakyat dari penjajahan, masih bagus! Akan tetapi dia melakukan semua itu demi ambisinya untuk menjadi Pangeran Mahkota seandainya berhasil dan Pangeran Tao Seng menjadi Kaisar."

   Kata Bi-kiam Niocu.

   "Sudahlah, sekarang dia telah tewas, tidak perlu lagi membicarakan tentang kejahatannya. Selanjutnya. begini, In-moi. Setelah terbuka kedoknya, Gulam Sang ditangkap oleh orang-orang Bu-tong-pai. Akan tetapi dasar dia cerdik sekali, orang-orang Bu-tong-pai tidak berani membunuhnya karena dialah yang menyimpan obat pemunah racun yang meracuni tubuh Thian It Tosu. Gulam Sang mau menukar obat itu dengan pembebasannya. Orang-orang Bu-tong-pai yang tidak ingin melihat Thian It Tosu tewas, terpaksa menyetujui. Obat diberikan dan Gulam Sang dibebaskan. Tiba-tiba muncul dua orang pendeta Lama Jubah Merah yang diutus oleh Dalai Lama untuk menangkap Gulam Sang. Gulam Sang melawan dan tewas oleh dua orang pendeta Lama itu."

   "Lalu kenapa engkau berada di sini dan dikeroyok oleh tiga orang datuk itu?"

   Tanya pula Cu In.

   "Tiga orang datuk itu meninggalkan Bu-tong-pai setelah mereka mengetahui bahwa ketua Bu-tong-pai yang mereka bela itu adalah ketua palsu. Aku lalu mencari ayahku di dalam bangunan Bu-tong-pai, akan tetapi mendapat keterangan bahwa pangeran itu telah pergi. Cepat aku melakukan pengejaran dan tiba di tempat ini. Dan ternyata benar, ayahku berada di sini. Aku dikeroyok oleh tiga orang datuk sesat. Aku kewalahan dan terdesak. Lalu muncul Pangeran Tao Seng, ayahku itu, dia mem-belaku dan melarang tiga orang datuk itu membunuhku. Akan tetapi hal itu membuat para datuk marah kepadanya sehingga ayahku dibunuhnya. Aku terus mengamuk sampai engkau datang membantuku, In-moi."

   "Kalian memang serasi, selalu saling bantu dan saling menolong. Mudah-mudahan saja kelak kalian menjadi suami isteri yang berbahagia. Sekarang aku hendak kembali ke Beng-san."

   Kata Bi-kiam Niocu sambil memandang dengan hati iri. Sumoinya yang berwajah cacat dan buruk itu memperoleh calon suami yang begitu baik, tampan dan gagah, juga berbudi mulia. Sedangkan ia, yang mempunyai kecantikan yang dikagumi banyak orang, selalu menemukan orang yang salah. Pertama, ia jatuh cinta kepada Keng Han yang sama sekali tidak membalas cintanya. Kedua, ia tertarik kepada Gulam Sang akan tetapi ternyata pemuda itu adalah seorang jahat yang berbahaya.

   "Selamat jalan, Suci. Kuharap kalau engkau pergi ke kota raja, suka singgah di rumah kami."

   Kata Cu In dengan ramah. Ia dahulu tidak suka kepada sucinya ini karena terlalu kejam terhadap kaum pria. Akan tetapi sekarang ia merasa kasihan kepadanya.

   "Selamat berpisah, Niocu. Semoga engkau berbahagia,"

   Kata Keng Han yang juga merasa kasihan karena gadis itu pernah jatuh cinta kepadanya namun tidak dapat dibalasnya.

   "Hemmm....!"

   Bi-kiam Nio-cu mendengus dan sekali berkelebat ia sudah lenyap dari situ. Memang Bi-kiam Niocu memiliki ginkang yang hebat.

   "Kasihan....!"

   Tanpa terasa Keng Han berkata lirih.

   "Eh? Kenapa kasihan, Han-ko?"

   Bukan main senangnya hati Keng Han mendengar gadis itu menyebutnya Han-ko (kanda Han), karena biasanya gadis itu menyebut namanya begitu saja. Dia sendiri pun sudah mendahului Cu In dan menyebutnya In-moi (dinda In). Tentu saja Keng Han tidak mau menceritakan tentang Bi-kiam Nio-cu yang jatuh cinta kepadanya.

   "Kasihan karena ia telah keliru memilih pria yang dicintanya. Gulam Sang adalah seorang yang jahat dan kejam. Bahkan dia menyuruh anak buahnya membunuh kekasihnya ketika kekasihnya itu berteriak hendak membuka rahasia penyamarannya. Sucimu itu sudah sepantas-nya mendapatkan seorang jodoh yang baik."

   "Kuharap juga begitu. Akan tetapi agaknya itu merupakan hukuman baginya karena dahulu, entah berapa banyak pria yang dibunuhnya hanya karena pria itu berani mencintainya."

   "Apakah engkau dahulu juga tidak seperti sucimu itu, In-moi? Bukankah guru-mu... eh, ibumu mengajar kalian untuk membunuh pria yang menaruh hati kepadamu?"

   "Tidak, Han-ko. Untung aku mempunyai wajah yang buruk dan aku selalu menyembunyikan wajahku di belakang cadar sehingga tidak ada orang yang sempat jatuh cinta kepadaku."

   "Siapa bilang tidak ada yang jatuh cinta padamu? Buktinya aku jatuh cinta padamu dengan seluruh jiwa ragaku!"

   Dahi gadis itu berubah merah mendengar ucapan ini.

   "Engkau lain lagi, Han-ko. Engkau adalah seorang pendekar yang tampan dan gagah, akan tetapi bodoh!"

   "Bodoh?"

   "Ya, bodoh! Kalau tidak bodoh, mana mungkin engkau jatuh cinta kepada seorang gadis yang mukanya cacat dan buruk?"

   "Sudahlah, jangan bicara tentang wajah! Aku mencintaimu dengan setulus hatiku, bukan karena baik atau buruknya wajahmu. Sekarang pulanglah engkau ke kota raja, ke rumah orang tuamu."

   "Dan engkau?"

   "Aku? Karena ayahku telah tewas, aku akan pulang dulu ke Khitan melaporkan kepada ibu bahwa ayah telah tewas dan juga mohon doa restunya agar aku dapat menikah denganmu."

   "Ah, aku akan ikut, Han-ko! Aku pun ingin berkenalan dengan ibu, calon mertuaku!"

   Kata Cu In dengan suara bersungguh-sungguh.

   "Akan tetapi, engkau belum memberitahu kepada ayah ibumu! Tentu mereka akan khawatir sekali kalau sampai lama engkau belum juga kembali ke kota raja!"

   "Ibu akan mengerti dan tidak akan mengkhawatirkan aku. Ia pun dapat memberitahu kepada ayah bahwa sejak muda sekali aku sudah sering berkelana di dunia kang-ouw dan selalu pulang dalam keadaan selamat. Apalagi sekarang, melakukan perjalanan bersamamu. Apa bahayanya? Kita pasti akan mampu menanggulangi berdua!"

   "Bukan bahaya yang kukhawatirkan, In-moi. Akan tetapi.... seperti para ibu lain di dunia ini, ibuku tentu ingin sekali melihat wajahmu...."

   "Biarkan ia melihatnya! Bukankah engkau juga sudah melihatku dan hal itu tidak mengurangi cintamu kepadaku?"

   "Ah, itu lain lagi, In-moi. Kalau ibuku melihat wajahmu lalu melarangku berjodoh denganmu, aku tidak akan dapat menyalahkannya. Hal itu wajar saja, bukan? Aku tidak termasuk hitungan karena aku mencintamu dengan hati yang tulus ikhlas. Sebaiknya engkau tidak ikut, In-moi. Aku tidak akan lama tinggal di Khitan. Dan setelah kita menikah baru engkau akan kupertemukan dengan ibuku dan kakekku."

   "Tidak, Han-ko. Aku tidak percaya bahwa seorang ibu yang melahirkanmu akan bersikap sepicik itu. Engkau bijaksana, dan ibumu tentu lebih bijaksana lagi!"

   "Ibuku adalah seorang Khitan yang tidak berpendidikan dan tentu saja pikirannya masih kolot. Aku khawatir..."

   "Khawatir kalau ia menolakku? Tenangkan hatimu. Aku telah siap menghadapi apa saja. Andaikata ibumu menolak aku menjadi calon mantunya sekalipun, perasaanku terhadapmu tidak akan berubah. Kita harus bersikap jujur terhadap ibumu, Han-ko. Kalau ia menolakku itu sudah wajar. Akan tetapi kalau ia menerimaku tanpa melihatku, bagaimana akibatnya di belakang hari kalau ia menyesal mempunyai mantu seperti aku?"

   Keng Han merasa terharu sekali dan dia memegang kedua tangan gadis itu.

   "Alangkah gagah beraninya engkau dalam menghadapi apa pun juga, In-moi. Aku menghargai sikapmu dan marilah kita berangkat ke Khitan."

   Sepasang orang muda itu dengan bergan-deng tangan melanjutkan perjalanan setelah sekali lagi memberi hormat kepada makam Pangeran Tao Seng. Mereka nampak gembira dan bahagia menyongsong masa depan mereka. Cinta kasih di antara mereka membuat mereka merasa kuat sekali. Cinta kasih yang murni hanya memberi dan sama sekali tidak mementingkan diri sendiri, bersih dari nafsu menyenangkan diri sendiri. Kalau cinta itu didasari menyenangkan diri sendiri, maka cinta itu tidak akan tahan lama. Karena segala makam kesenangan di dunia ini selalu disusul kebosanan dan keinginan mencari yang lebih menyenangkan lagi.

   Akan tetapi kalau cinta itu didasari pementingan diri orang yang dicinta, kita selalu berusaha untuk menyenangkan-nya, untuk membahagiakannya karena kebahagiaan dia yang dicinta itu menimbulkan kebahagiaan bagi diri sendiri. Cinta yang terdorong wajah tampan dan cantik, terdorong harta benda atau kedudukan, cinta seperti itu mudah luntur. Menimbulkan kebosanan dan kebencian yang berakhir dengan perpisahan atau perceraian. Cinta nafsu hanya menghendakikeuntungan bagi diri sendiri. Seorang sahabat yang melakukan seribu satu kebaikan kepada kita akan terhapus oleh satu saja keburukan kepada kita. Cinta yang sejati tak lapuk oleh panas tak lekang oleh hujan. Seperti cinta kasih Tuhan kepada semua mahluk ciptaannya. Baik itu berupa tumbuh-tumbuhan, hewan, terutama sekali manusia.

   Semua mendapatkan berkahNya, semua dapat menikmati hidup. Baru matahari saja, seolah diciptakan Tuhan untuk kehidupan semua mahluk di dunia. Tanpa sinar matahari takkan ada yang dapat hidup. Dan diberiNya tanpa pilih kasih, kepada siapa saja, yang kaya maupun yang miskin, yang berkedudukan tinggi maupun yang rendah, yang hidup benar dan baik maupun yang hidup buruk dan jahat. Tuhan memang bukan manusia, akan tetapi kita manusia seyogianya mawas diri dan mengkaji kembali cinta kasih kita kepada kekasih, kepada teman hidup, kepada anak-anak, keluarga, tetangga dan masyarakat. Kalau kita semua hidup dengan cinta kasih kepada sesamanya tanpa nafsu mementingkan diri sendiri, adanya hanya memberi dan membantu, maka kehidupan di dunia ini akan merupakan keindahan sorgawi!

   Gadis dan pemuda itu duduk berhadapan di sebuah hutan. Mereka duduk di atas batu dan di bawah naungan pohon yang rindang dan teduh. Mereka adalah Lo Siu Lan dan Gan Bu Tong. Kita masih ingat bahwa Lu Siu Lan adalah puteri dari ketua Kwi-kiam-pang (Perkumpulan Pedang Setan) Lo Cit yang berjuluk Toat-beng Kiam-sian (Dewa Pedang Pencabut Nyawa). Adapun pemuda itu adalah Gan Bu Tong, suhengnya dan murid dari Toat-beng Kiam-sian. Mereka sedang berburu binatang. Akan tetapi hari itu agaknya mereka sedang sial. Sampai matahari naik tinggi, mereka belum memperolet buruan seekor pun. Karena siang itu panas sekali, mereka lalu beristirahat, duduk di bawah pohon, minum dan ber-cakap-cakap.

   "Sumoi,"

   Kata Bu Tong, suaranya sedih dan penasaran.

   "Kita bergaul sejak kecil dan engkau tahu sendiri betapa besar kasihku kepadamu. Akan tetapi kenapa engkau tega menolakku kalau aku mengajak bicara tentang perjodohan kita?"

   "Karena aku sama sekali belum memikirkan tentang per-jodohan, Suheng. Sudahlah, jangan bicara tentang perjodohan, aku tidak menyukainya!"

   Jawab gadis itu dengan suara agak ketus. Ia seorang gadis berusia kurang lebih sembilan belas tahun, cantik dan berkulit putih mulus, rambutnya hitam panjang diikat ke belakang dengan sanggul manis di atas kepalanya. Lo Siu Lan memang seorang gadis yang sudah dewasa dan menarik hati.

   "Akan tetapi ketika pemuda bernama Keng Han itu berada di sini, engkau bersikap lain! Kau tentu tahu bahwa aku mencintaimu sejak lama, Sumoi. Dan selama ini aku melihat bahwa engkau juga suka kepadaku sehingga pergaulan kita akrab sekali."

   "Tentu saja aku suka padamu, Suheng. Bukankah engkau suhengku? Akan tetapi rasa suka itu berbeda sekali dengan cinta. Aku menyukaimu seperti seorang adik menyukai kakaknya, bukan seperti seorang wanita mencinta pria. Mengertikah engkau, Suheng?"

   Gan Bu Tong adalah seorang pemuda yang sudah berusia dua puluh lima tahun, tampan dan gagah tinggi besar dengan rambut panjang dikuncir tebal. Tentu saja dia mengerti apa yang dimaksudkan oleh sumoinya itu. Dahulu pun dia mencinta sumoinya sebagai seorang kakak terhadap adiknya.

   Akan tetapi setelah Siu Lan menjadi dewasa, nampak cantik jelita, cintanya sebagai kakak itu berubah menjadi cinta seorang pria terhadap wanita dan mengharapkan sumoinya itu untuk menjadi jodohnya. Dan pada hari ini, berdua saja di dalam hutan itu, dia mengambil keputusan untuk minta ketegasan sumoinya. Mendengar jawaban bahwa sumoinya tidak mencintanya, melainkan hanya menyukainya sebagai seorang kakak, hatinya seperti ditusuk rasanya dan habislah harapannya. Kalau gadis itu menjawab belum ada rasa cinta, hal itu masih ada kemungkinan dan harapan bahwa kelak gadis itu akan tertarik dan jatuh cinta kepadanya. Akan tetapi kalau gadis itu menyukainya sebagai kakak, tidak mungkin ia dapat mencintanya sebagai kekasih. Melihat wajah yang murung itu, wajah yang biasanya berseri kini nampak demikian sedih, Siu Lan merasa iba kepada suhengnya itu.

   "Suheng, harap jangan berduka. Cinta tidak selamanya berakhir dengan pernikahan, bukan? Kita dapat saling mencinta sebagai saudara, bersikap baik dan saling membantu, saling melindungi."

   "Akan tetapi, kepada Keng Han itu...."

   "Terus terang saja, aku amat tertarik kepadanya, Suheng. Dia seorang pemuda yang bagiku amat menarik hati, apalagi kepandaiannya pun jauh lebih tinggi daripada kepandaian kita."

   "Akan tetapi dengan tegas dia menyatakan tidak mau kawin denganmu, Sumoi."

   Siu Lan menghela napas panjang.

   "Itu adalah hak dia! Memang tidak mungkin dua orang menjadi suami isteri kalau cinta itu datangnya hanya sepihak."

   "Agaknya dia mempunyai hubungan erat sekali dengan gadis bercadar itu!"

   Gan Bu Tong memanaskan hati sumoinya. Siu Lan tidak marah melainkan menghela napas lagi.

   "Entah bagaimana wajah gadis bercadar itu. Akan tetapi yang jelas, ia pun lihai bukan main. Agaknya nasib kita sama, Suheng. Kita berdua menjadi korban cinta yang gagal, mencinta seorang yang tidak membalas cinta kita. Agaknya memang bukan jodoh kita. Kita tidak boleh putus asa. Suheng, di dunia ini wanita bukan aku seorang, seperti juga di dunia ini pria bukan hanya Keng Han saja. Kelak kita pasti akan bertemu dengan jodoh kita masing-masing! Mari kita teruskan berburu, Suheng, sudah terlalu lama kita beristirahat. Kalau kita pulang tidak membawa hasil buruan, tentu ayah akan mentertawakan kita."

   "Baiklah, mari kita menyusup ke tengah hutan."

   Jawab Bu Tong yang mendapatkan kembali kegembiraannya. Betapapun juga, hatinya menjadi lega. Biarpun cintanya gagal, keadaan ini lebih baik daripada sebelumnya, harap-harap cemas. Kini dia telah mengetahui isi hati sumoinya dan yakin bahwa dia tidak boleh lagi mengharapkan sumoinya menjadi isterinya.

   Hal ini, kepastian ini melenyapkan keraguannya dan malah melegakan hatinya. Dia merasa bebas dari ikatan batinnya sendiri yang mencinta sumoinya, walaupun dia merasakan kepedihan cinta yang gagal. Sebagai seorang gagah dia harus mampu menahan pukulan ini! Kedua orang muda itu menyusup ke tengah hutan dan tak lama kemudian mereka melihat sekawanan kijang sedang minum di tepi sungai kecil. Kijang-kijang itu berada di seberang sungai dan mereka tahu bahwa wilayah kekuasaan Kwi-kiam-pang hanya sampai di sungai itu. Akan tetapi kijang-kijang itu berada begitu dekat dan mereka tidak tahu siapa yang menguasai wilayah seberang sungai itu. Kalau mereka tidak salah ingat, kabarnya yang berkuasa di seberang itu. adalah perkumpulan Hek-houw-pang (Perkumpulan Harimau Hitam).

   Karena sungai itu kecil saja, dua orang muda yang sudah haus korban buruan itu tidak mempedulikan bahwa kijang-kijang itu berada di seberang sungai. Mereka sudah memasang anak panah pada busur mereka dan begitu melepaskan anak panah, dua ekor kijang terjungkal dan lainnya lari dengan cepat meninggalkan tempat itu. Bu Tong dan Siu Lan bersorak gembira lalu mereka meloncati sungai kecil itu untuk mengambil hasil anak panah mereka. Akan tetapi baru saja mereka mencabut anak panah dari tubuh dua ekor kijang itu, muncul belasan orang yang berlompatan dari balik pohon-pohon dan semak belukar. Melihat bahwa orang-orang itu memakai pakaian seragam yang ada gambarnya harimau hitam, tahulah Bu Tong dan Siu Lan bahwa mereka berhadapan dengan para anggauta perkumpulan Hek-houw-pang. Mereka itu dipimpin seorang pemuda yang gagah dan bermata lebar.

   "Hemmm, dua orang yang lancang berani berburu binatang dalam wilayah kekuasaan kami?"

   Bentak pemuda bermata lebar itu. Gan Bu Tong cepat mengangkat tangan ke depan dada dan untuk memberi hormat kepada pemuda itu dan berkata,
(Lanjut ke Jilid 18 - Tamat)

   Pusaka Pulau Es (Seri ke 17 - Serial Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 18 (Tamat)
"Kami adalah dua orang murid dari Kwi-kiam-pang. Aku bernama Gan Bu Tong dan sumoiku ini adalah puteri ketua kami bernama Lu Siu Lan. Kami melihat buruan kami di tepi sungai kecil ini dan memanahnya. Kami sama sekali tidak bermaksud lancang memasuki wilayah orang lain!"

   Mendengar perkenalan diri ini, pemuda itu nampak tertegun dan dia memandang kepada Siu Lan dengan penuh perhatian.

   "Jadi kalian adalah murid-murid Kwi-kiam-pang? Kwi-kiam-pang tidak pernah memandang kami sebagai sahabat. Kami dari Hek-houw-pang tidak mengijinkan siapapun juga untuk memasuki wilayah kami tanpa ijin. Kalian telah melanggar maka terpaksa kami akan menahan kalian, dan kalau Toat-beng Kiam-sian Lo Cit sendiri yang datang minta maaf, barulah kami dapat melepaskan kalian."

   Kini Siu Lan tak dapat menahan kesabarannya lagi.

   "Kalian berani berkata demikian? Siapakah engkau yang berani tidak memandang muka ayahku dan bersikap kurang ajar!"

   Pemuda bermata lebar itu tersenyum.

   "Perkenalkan, namaku Tang Hun dan aku adalah putera dari ketua Hek-houw-pang!"

   Kini mengertilah dua orang muda dari Kwi-kiam-pang itu. Setahun yang lalu, ketua Hek-houw-pang pernah datang bertamu ke Kwi-kiam-pang dan ketua ini mengajukan usul untuk menjodohkan puteranya dengan Siu Lan. Akan tetapi, karena gadis itu tidak mau, Toat-beng Kiam-sian Lo Cit menolak dengan halus. agaknya penolakan itu menyinggung perasaan keluarga Tang sehingga kini Tang Hun hendak membalas penolakan dianggap menghina itu. Dia menangkap Siu Lan dan Bu Tong dan baru mau membebaskan mereka kalau ketua Kwi-kiam-pang sendiri yang datang memintakan maaf! Bu Tong adalah seorang pemuda yang cerdik.

   "Sobat, kalau engkau menganggap kami bersalah, maka maafkanlah kami dan kami tidak akan mengambil kijang buruan kami ini."

   "Tidak! Siapa berani berbuat harus berani menanggung resikonya. Kami akan menahan kalian dan sebelum ketua Kwi-kiam-pang sendiri yang minta maaf, kami tidak akan membebaskan kalian!"

   Tang Hun berkata tegas.

   "Akan tetapi bagaimana mungkin? Kalau kalian menahan kami berdua, lalu siapa yang akan memberi kabar kepada suhu? Tangkap dan tahanlah aku, akan tetapi bebaskan Sumoi agar ia dapat melaporkan kepada suhu,"

   Kata pula Bu Tong. Tang Hun diam sejenak, lalu sambil memandang kepada Siu Lan dia berkata,

   "Baiklah, aku akan menahan nona Lo di sini, dan engkau boleh pulang untuk melapor! kata-kata itu demikian tegas dan pasti.

   "Sobat, sungguh tidak enak dan tidak pantas kalau kalian menahan seorang wanita. Biar aku yang ditahan dan Sumoi...."

   "Cukup! Kalian tinggal pilih. Keduanya akan kami tahan atau hanya Nona ini!"

   "Suheng, biarlah engkau yang pulang melapor kepada ayah bahwa aku ditawan orang-orang Hek-ouw-pang dan jangan khawatir, mereka tidak akan dapat berbuat sesuatu kepadaku!"

   Kata Siu Lan sambil meraba gagang pedangnya.

   "Akan tetapi, Sumoi...."

   "Sudahlah, apakah engkau lebih suka kalau kita berdua yang menjadi tawanan? Siapa yang akan memberitahu kepada ayah?"

   Potong Siu Lan. Bu Tong menghela napas panjang.

   "Baik, aku akan pulang. Akan tetapi kalau kalian berani mengganggu sehelai rambut Sumoi, kami akan datang menghancurkan dan membinasakan kalian semua!"

   "Hemmm, engkau boleh menggertak semaumu, Sobat. Kami tidak bersalah. Kami menahan orang yang melanggar perbatasan wilayah kami. Kalianlah yang bersalah, bukan kami!"

   Tangkis Tang Hun sambil tertawa, wajahnya berseri.

   Terpaksa Gan Bu Tong meloncati sungai kecil itu dan terus melakukan perjalanan pulang sebelum hari menjadi sore. Dia berlari cepat dan pada suatu tikungan yang tertutup oleh pohon-pohon besar, hampir dia bertabrakan dengan seorang yang berjalan cepat dari depan. Akan tetapi, bagaikan seekor burung saja, orang itu telah melayang melewati kepalanya! Gan Bu Tong terkejut sekali dan juga kagum. Dia cepat membalikkan tubuhnya dan ternyata orang itu adalah seorang gadis yang cantik sekali. Gadis itu bukan lain adalah Bi-kiam Nio-cu Siang Bi Kiok. Bu Tong sampai ternganga saking kagumnya. Gadis yang cantik jelita, mukanya berseri dengan senyum tenang, kulitnya putih mulus, kedua pipinya kemerahan, mata dan bibirnya manis sekali, rambutnya agak keriting dan panjang.

   "Hemmm, apakah engkau dikejar setan maka berlarian di tengah hutan seperti itu?"

   Kata Niocu sambil tersenyum mengejek. Akan tetapi matanya memandang penuh selidik. Seorang pemuda yang tampan dan gagah, pikirnya.

   "Maafkan aku, Nona. Aku tidak dikejar setan akan tetapi lebih dari itu. Aku hendak melapor kepada suhu bahwa puteri suhu ditawan gerombolan orang-orang Hek-houw-pang!"

   Bi-kiam Nio-cu mengerutkan alisnya dan memandang wajah pemuda itu penuh perhatian.

   "Kulihat engkau bukan orang lemah, kenapa engkau melarikan diri tidak menolong sumoimu itu?"

   "Nona, kami telah dikepung oleh belasan orang yang dipimpin oleh putera ketua Hek-houw-pang. Kalau melawan kami pasti kalah. Mereka menyandera sumoi dan mengatakan bahwa mereka akan membebaskan sumoi hanya kalau suhu sendiri yang datang ke sana minta maaf."

   "Hemmm, kesalahan apakah yang kalian lakukan?"

   "Kami sedang berburu binatang dan memanah dua ekor kijang yang berada di seberang sungai kecil, wilayah kekuasaan mereka. Kami telah minta maaf akan tetapi mereka memaksa untuk menawan sumoi."

   "Hemmm, siapa namamu dan siapa nama sumoimu itu?"

   Tanya Niocu yang semakin tertarik.

   "Namaku Gan Bu Tong dan sumoi bernama Lo Siu Lan." "Kalian dari perkumpulan apa dan siapa suhumu?"

   "Suhu adalah ketua dari Kwi-kiam-pang berjuluk Toat-beng Kiam-sian bernama Lo Cit."

   Jawab Gan Bu Tong dengan bangga karena nama besar. gurunya itu pasti dikenal semua tokoh kang-ouw. Benar saja dugaannya. Niocu tersenyum mendengar nama ini.

   "Ah, kiranya engkau murid kakek pincang itu? Gurumu pernah bersikap baik terhadap muridku, biarlah sekarang aku membantu muridnya. Cepat bawa aku ke tempat sumoimu ditawan. Aku yang akan membebaskannya!"

   Girang sekali hati Gan Bu Tong. Agaknya gadis itu tidak hanya membual. Gerakannya ketika meloncat di atas kepalanya menghindarkan tabrakan itu saja sudah membuktikan betapa hebat ginkangnya. Apalagi gadis ini sudah mengenal nama suhunya.

   "Baik, Nona. Mari kita pergi ke sana!"

   Kata Bu Tong dan dia pun lari kembali ke tempat tadi secepatnya. Akan tetapi, gadis itu seakan berjalan melangkah seenaknya walaupun kenyataannya dia tidak pernah dapat meninggalkannya. Sungguh merupakan ilmu berlari cepat yang hebat. Akan tetapi ketika mereka tiba di seberang sungai itu, tidak nampak bayangan Siu Lan.

   "Tentu sumoi sudah mereka bawa ke sarang mereka!"

   "Kita kejar!"

   Kata Niocu dan tanpa menanti jawaban ia sudah melompat ke depan berlari cepat. Bu Tong berusaha mengejarnya akan tetapi sebentar saja dia sudah tertinggal jauh. Niocu yang berlari lebih cepat segera dapat mengejar orang-orang Hek-houw-pang yang menawan Siu Lan. Gadis ini berjalan dengan sikap tenang di tengahtengah mereka. Ia tidak takut. Suhengnya tentu akan melapor dan ayahnya tentu akan datang untuk membebaskannya. Kini Siu Lan teringat mengapa pemuda itu seperti menaruh dendam kepada ayahnya. Setahun lebih yang lalu, ketua Hek-houw-pang pernah berkunjung ke rumah ayahnya dan dari ibunya ia mendengar bahwa ia dipinang oleh ketua Hek-houw-pang untuk dijodohkan dengan puteranya. Akan tetapi ia berkeras menolak karena belum pernah ia melihat putera ketua Hek-houw-pang itu.

   Ayahnya lalu menolak pinangan itu dengan halus. Agaknya itulah yang membuat pemuda itu hendak membalas dendam dengan menawannya agar ayahnya datang minta maaf kepada ketua Hek-houw-pang! Kini setelah melihat orangnya, ia harus mengakui bahwa pemuda itu cukup tampan dan gagah, akan tetapi matanya yang terlalu lebar itu tidak sedap dipandang, di samping ia belum mengetahui bagaimana watak pemuda itu. Kalau wataknya baik, belum tentu ia menolak pinangannya setelah melihat orangnya. Selagi Siu Lan melangkah sambil melamun, tiba-tiba nampak sesosok bayangan berkelebat dan tahu-tahu di depan rombongan itu telah berdiri seorang wanita cantik. Wanita itu mernandang dengan matanya yang bersinar tajam dan mulutnya tersenyum mengejek.

   "Belasan orang laki-laki menawan seorang gadis muda, sungguh merupakan perbuatan yang tidak tahu malu!"

   Kata wanita itu yang bukan lain adalah Bi-kiam Nio-cu Siang Bi Kiok. Tang Hun yang tadinya berjalan dekat Siu Lan, segera melangkah maju menghadapi Niocu. Dia mengangkat kedua tangan depan dada sebagai penghormatan lalu berkata,

   "Kami tidak mengenal Nona, sebaliknya Nona tidak mengenal kami. Setiap perbuatannya tentu ada sebabnya yang kuat, maka harap Nona jangan mencela dulu dan tidak mencampuri urusan pribadi kami!"

   
Pusaka Pulau Es Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Suaranya itu sopan namun nadanya keras.

   "Tidak mungkin aku tidak mencampuri. Melihat seorang wanita ditawan belasan orang, bagaimana menyuruh aku tidak campur tangan? Cepat bebaskan ia atau aku akan memberi hajaran keras kepada kalian!"

   "Wanita sombong. Apa kau kira aku takut kepadamu?"

   "Heh-heh-heh, bukankah engkau ini putera Hek-houw Tang Kwi? Daripada engkau babak-belur, lebih baik engkau suruh ayahmu datang ke sini melawanku."

   "Nona, sebetulnya siapakah engkau dan mengapa engkau mencampuri urusan ini? Ini adalah urusan antara Kwi-kiam-pang dan Hek-houw-pang. Nona tidak berhak mencam-puri!"

   "Hemmm, bocah seperti engkau hendak melawanku. Ketahuilah bahwa aku yang disebut orang Bi-kiam Nio-cu!"

   Mendengar nama ini, Tang Hun terkejut. Tentu saja dia pernah mendengar akan nama Bi-kiam Nio-cu yang kabarnya amat kejam terhadap pria itu. Akan tetapi dia tidak merasa takut. Malu rasanya kalau takut melawan seorang wanita.

   "Bagus! Nama Bi-kiam Nio-cu memang sudah terkenal di dunia kang-ouw akan tetapi aku Tang Hun tidak gentar menghadapimu. Engkau yang mencari perkara, bukan kami!"

   Pemuda itu berkata demikian sambil mencabut pedangnya. Pada saat itu, Bu Tong sudah tiba di situ. Melihat ini. Bi-kiam Nio-cu berseru kepadanya.

   "Gan Bu Tong, engkau bantulah sumoimu menghajar orang-orang itu, sedangkan bocah she Tang ini serahkan saja kepadaku!"

   "Baik, Nona."

   Bu Tong berseru girang dan berkata kepada sumoinya,

   "Sumoi, mari kita lawan mereka!"

   Kalau tadi kakak beradik seperguruan itu tidak berani memberontak adalah karena di situ ada Tang Hun dan belasan orang anak buahnya. Kini, setelah Tang Hun ada yang menghadapi, mereka menjadi berani dan Siu Lan juga mencabut pedangnya.

   Dua orang kakak beradik ini lalu mengamuk dan dikepung serta dikeroyok belasan orang anak buah Hek-houw-pang. Sementara itu Tang Hun mencabut pedangnya. Dia sudah mendengar akan kelihaian Bi-kiam Nio-cu, maka dia mencabut pedang lebih dulu lalu menyerang lawannya yang masih bertangan kosong. Akan tetapi dengan gerakan yang cepat Nio-cu sudah menghindar dari serangan itu dan ia membiarkan pemuda itu menyerangnya sampai sepuluh jurus yang selalu dapat dielakkan oleh Niocu. Setelah membiarkan lawan menyerang sampai sepuluh jurus, barulah Niocu mencabut pedangnya. Pedang ini baru karena pedangnya yang lama patah ujungnya ketika ia pinjamkan kepada Keng Han untuk melawan Thian It Tosu palsu yang mempergunakan pedang Pek-coa-kiam, pedang Bu-tong-pai. Ia membeli pedang baru yang juga baik sekali, terbuat dari baja pilihan.

   Begitulah Niocu menggunakan pedang untuk melawan, Tang Hun segera terdesak hebat. Akan tetapi Niocu sekarang bukan seperti Niocu dahulu ketika ia masih liar membenci kaum pria. Ia tidak berniat membunuh Tang Hun, hanya membebaskan Siu Lan saja. Apalagi memang ilmu kepandaian Tang Hun sudah cukup tangguh sehingga biarpun terdesak dia masih dapat melakukan perlawanan! Setelah pertandingan berjalan kurang lebih tiga puluh jurus, Tang Hun main mundur terus. Pertandingan antara lima belas anak buahnya yang mengepung Lo Siu Lan dan Gan Bu Tong juga berlangsung seru. Biarpun dikeroyok belasan orang, kakak beradik seperguruan ini dapat menggerakkan pedang mereka untuk melindungi diri, bahkan sempat merobohkan beberapa orang dengan tendangan kaki mereka. Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring.

   

Si Bangau Merah Eps 13 Si Bangau Merah Eps 8 Kisah Si Bangau Putih Eps 25

Cari Blog Ini