Ceritasilat Novel Online

Petualang Asmara 10


Petualang Asmara Karya Kho Ping Hoo Bagian 10



Di selatan tampak puncak Pegunungan Ta pa san dan Sungai Cia ling yang airnya agak kuning. Di barat tampak menjulang tinggi puncak Pegunungan Min-san yang terkenal itu. Yang disebut Cin-ling-pai adalab sebuah dusun di lereng timur Cin ling san, sedangkan Pendekar Sakti Cia Keng Hong bersama isterinya yang diangkat menjadi Ketua Cin-ling-pai, merupakan juga semacam kepala dusun yang disegani dan dihormati, akan tetapi juga dicinta oleh semua penduduk dusun di situ. Penduduk dusun ini juga menyebut diri mereka anggauta Cin-ling-pai, dari kanak kanak yang baru belajar bicara sampai kakek-kakek yang sudah pikun! Cia Keng Hong adalah seorang pendekar yang usianya pada waktu itu sudah mendekati empat puluh tahun. Wajahnya masih tampak gagah dan tampan, dengan tubuh sedang dan biarpun sudah mendekati empat puluh tahun,

   Tidak seperti sebagian besar kaum pria setengah tua, pinggangnya masih ramping dan dadanya bidang. Baik pakaiannya, sikap maupun tutur sapanya sederhana sekali sehingga dipandang sepintas lalu, tidaklah pantas kalau dia itu Cia Keng Hong yang terkenal oleh setiap orang di dunia persilatan, lebih patut kalau dia itu seorang sastrawan dusun, atau seorang terpelajar yang mengundurkan diri dan hidup sebagai petani sederhana. Hanya kalau orang memperhatikan sinar matanya dan mendengarkan ucapannya, barulah orang tahu bahwa dia bukanlah orang biasa dan dari pribadinya mencuat keluar wibawa yang berpengaruh. Isteri pendekar itu pun bukan orang biasa. Bahkan mungkin sekali namanya lebih banyak dikenal, terutama di kalangan kaum sesat dan namanya pernah membuat setiap orang yang mendengar menjadi ketakutan.

   Isteri pendekar itu bernama Sie Biauw Eng dan dahulu di waktu masih gadis berjuluk Song bun Siu-li (Dara Jelita Berkabung) karena pakaiannya selalu serba putih. Namanya terkenal sekali karena dia adalah murid datuk golongan sesat, mendiang Lam hai Sin ni (Wanita Sakti Laut Selatan)! Di dalam ceritaSiang Bhok Kiam atauPedang Kayu Harum diceritakan riwayat Song bun Siu li Sie Bun Eng ini sebelum menjadi isteri Pendekar Sakti Cia Keng Hong! Kini usia Sie Biauw Eng sudah kurang lebih tiga puluh lima tahun. Namun dia masih kelihatan muda dan cantik, seperti seorang wanita muda berusia kurang dari tiga puluh tahun saja, tubuhnya masih tetap ramping, tegap berisi dengan kulit halus tanpa noda keriput. Sikapnya kadang-kadang masih agak dingin dan kadang-kadang amat galak, akan tetapi kalau sudah timbul ramahnya, dia halus budi dan lemah gemulai seperti seorang dewi.

   Biarpun tingkat ilmu silatnya tidak setinggi suaminya, namun di dunia kang-ouw namanya terkenal sekali dan agaknya tidak banyak tokoh dunia persilatan yang akan mampu menandinginya. Cantik dan halus gerak-geriknya, wanita cantik yang lemah tampaknya, akan tetapi sekali dia mengamuk, jarang ada pendekar yang berani mendekatinya! Suami isteri yang gagah perkasa dan bagaikan yang hidup rukun saling mencinta ini mempunyai seorang anak perempuan yang mereka namakan Cia Giok Keng yang pada waktu itu telah berusia empat belas tahun lebih. Dara remaja ini cantik seperti ibunya, juga berani mati, tidak mengenal takut dan galaknya seperti harimau, presis ibunya di waktu muda. Namun berbeda dengan ibunya yang pendiam dan kelihatan dingin, Giok Keng ini lincah gembira dan pandai sekali bicara, pandai berdebat seperti ayahnya.

   Pada pagi hari itu, Giok Keng berada di rumah dan duduk melamun. Seperti biasanya pagi-pagi sekali dia telah bangun mandi dan mengenakan pakaian bersih. Dia tidak pesolek, akan tetapi seperti ibunya, dia suka akan pakaian yang bersih dan rapi. Rambutnya dibelah menjadi dua dikuncir di sebelah belakang, anak rambutnya berjuntai di depan, menutupi dahi dengan rapi sekali. Telinganya dihias anting-anting bermata kemala hijau, sepatunya tinggi, terbuat dari kulit. Cantik mungil dara remaja ini, segar bagaikan sekuntum bunga mawar hutan yang menguncup dan mulai mekar. Akan tetapi pagi itu, tidak seperti biasanya, dia duduk melamun, mulutnya agak cemberut dan alisnya berkerut. Hatinya memag kesal sekali. Ayah dan ibunya pergi dan dia tidak diperbolehkan ikut. Sudah tiga hari mereka pergi, katanya hendak pergi ke Leng-kok, mengunjungi Yap Cong San.

   "Mengapa saya tidak boleh ikut mengunjungi Paman Yap Cong San, Ayah?"

   Dia menuntut manja.

   "Bukankah kata Ayah dan Ibu, Paman Yap adalah keluarga terdekat, dan sampai sekarang pun saya belum pernah bertemu dengan mereka?"

   "Lain kali saja, manis,"

   Jawab ayahnya penuh kasih sayang.

   "Kalau kau ikut pergi, siapa yang akan menjaga rumah dan bertanggung jawab di sini? Sekali ini, engkau harus mewakili Ayah Ibumu, menjaga Cin-ling-pai. Engkau sudah cukup dewasa!"

   Jawaban yang cerdik ini menyudutkan Giok Keng. Dia ditinggalkan, akan tetapi sekaligus diangkat menjadi wakil! Tentu saja dia tidak sanggup membantah lagi dan pada pagi hari itu, setelah tiga hari lamanya dia merasakan kesunyian yang membuat hatinya mengkal, pagi-pagi dia setelah mandi duduk di ruangan depan rumahnya sambil bertopang dagu dan termenung. Sementara itu, tak jauh dari situ, di luar dusun Kun Liong bertemu dengan beberapa orang penduduk yang sedang menuju ke sawah dengan wajah gembira karena pagi hari itu udara cerah dan hawanya sangat sejuk.

   Dengan susah payah, bertanya-tanya, akhirnya pagi hari itu Kun Liong sudah sampai di luar dusun itu setelah malam tadi dia melewatkan malam dingin di dalam hutan di lereng bukit. Empat orang petani itu menghentikan langkah mereka dan memandang Kun Liong dengan heran. Jarang ada orang luar daerah datang berkunjung, kecuali para pedagang yang hendak membeli daun-daun dan akar-akar obat, ditukar dengan segala macam benda dari kota yang mereka butuhkan. Karena mereka tidak tahu apakah pemuda itu seorang hwesio yang berpakaian biasa ataukah seorang pemuda biasa yang berkepala gundul, empat orang itu hanya memandang dan bersikap waspada. Semua penduduk atau anggauta Cin-ling-pai sudah biasa bersikap waspada dan hati-hati sesuai dengan petunjuk ketua mereka. Kun Liong segera mengangkat kedua tangan ke depan dada sebagai penghormatan dan dibalas oleh empat orang itu dengan gerakan yang sama.

   "Sudikah Cuwi (Anda Sekalian) menunjukkan kepada saya di mana adanya Cin-ling-pai?"

   Mendengar tutur sapa Kun Liong empat orang dusun itu saling pandang. Mereka tidak pernah mengenal huruf dan kesopan santunan kota, dan ketua mereka pun tidak berniat mengubah kewajaran orang-orang dusun itu. Akan tetapi mereka maklum bahwa mereka berhadapan dengan seorang pemuda yang baik, maka seorang di antara mereka menjawab sederhana,

   "Dusun kami itulah Cin-ling-pai dan kami adalah anggauta-anggauta Cin-ling-pai. Ada keperluan apakah engkau mencari Cin-ling-pai?"

   Kun Liong menyembunyikan rasa herannya. Cin-ling-pai adalah nama perkumpulan, bagaimana mungkin sebuah dusun disebut perkumpulan? Dia hanya tersenyum dan berkata pula,

   "Tidak ada keperluan dengan Cin-ling-pai, hanya saja ingin menghadap Ketua Cin-ling-pai. Bukankah ketuanya bernama Cia Keng Hong?"

   Kini empat orang itu memandang penuh kecurigaan, dan orang yang tertua tadi bertanya lagi dengan hati-hati,

   "Kalau boleh aku bertanya, ada hubungan apakah antara Anda dengan ketua kami?"

   "Dengan Pendekar Sakti Cia Keng Hong? Ahh, saya hanyalah murid keponakannya, ibu saya adalah sumoi dari Cia susiok."

   Empat orang itu kelihatan kaget sekali dan cepat mereka memberi hormat dengan membungkuk.

   "Aihh, harap Sicu (Tuan Yang Gagah) sudi memaafkan kami. Rumah Cia taihiap berada di dalam dusun kami, rumah besar yang bercat kuning di tengah dusun. Maaf, kami tidak dapat mengantar karena kami hendak melaksanakan tugas pekerjaan kami di sawah."

   "Tidak mengapa, Paman. Terima kasih atas kebaikan Paman, saya akan mencarinya sendiri,"

   Kata Kun Liong. Empat orang dusun itu bergegas pergi menuju ke sawah.

   Mereka khawatir kalau-kalau oleh pemuda itu dilaporkan bahwa mereka kurang pagi berangkat atau bermalas-malasan. Nona muda amat galak, dan biarpun hidup mereka di situ tidak ditekan, namun nona muda paling tidak suka melihat orang malas karena dia sendiri amat rajin dan suka bekerja! Kun Liong memasuki dusun dan mudah saja dia menemukan rumah besar bercat kuning karena dusun itu ternyata hanya merupakan sebuah dusun kecil dengan sedikit rumah-rumah, paling banyak ada lima puluh buah rumah. Dia memasuki pekarangan rumah yang lebar dan penuh dengan tanaman bunga yang amat indah. Bunga-bunga di sini segar dan sehat seperti di tempat-tempat dingin, dan dia harus mengagumi kepandaian orang yang mengatur taman depan rumah itu. Tidak kalah oleh taman-taman milik orang bangsawan di kota agaknya!

   "Heee! Mau apa kau longak-longok di tamanku? Apakah engkau mau mencuri bunga? Mau malas-malasan tidak bekerja, ya?"

   Kun Liong terkejut sekali. Tadi dia berjongkok mencium setangkai bunga mawar yang amat indahnya, warna merah muda dan berbau harum. Dia bangkit berdiri dan memutar tubuhnya.

   "Ehhh...! Siapa kau...?"

   Dara remaja yang berdiri di ruangan depan rumah itu bertolak pinggang dan mengerutkan alisnya. Kun Liong cepat melangkah maju dan naik anak tangga ke ruangan depan, menghadapi dara remaja itu dengan sinar mata kagum. Dara remaja ini bukan main cantiknya! Seperti bunga mawar tadi, segar kemerahan dan harum! Dan seperti mawar yang berduri, dara ini pun agak galak! Entah mengapa, pribadi dara ini mengeluarkan daya tarik yang membetot semangatnya, membuat Kun Liong hanya berdiri terlongong di depannya.

   "Mau apa engkau? Kalau engkau hwesio minta derma, sebutkan di mana kuilmu dan siapa ketua kuil yang mengutusmu!"

   Merah muka Kun Liong, merah juga kepalanya yang gundul dan perutnya terasa panas! Datang-datang dia disambut penghinaan oleh dara cantik ini! Sombongnya! Hem, apakah karena cantik jelita dan agaknya menjadi orang penting di rumah Pendekar Sakti Cia Keng Hong, bocah ini boleh menghinanya sembarangan saja? Dia seorang laki-laki yang tidak takut apa-apa, masa datang-datang dihina oleh seorang bocah perempuan, betapapun cantiknya dia?

   "Eh, eh, jangan sembarangan menyangka orang. Aku bukan hwesio dan aku sama sekali bukan datang mau minta derma!"

   Kata-kata ini diucapkan dengan marah karena Kun Liong merasa terhina sekali disangka minta derma! Sepasang mata yang seperti mata burung hong itu mengeluarkan sinar berapi, dan alis yang melengkung indah itu berkerut makin dalam, bibir yang merah dan berbentuk gendewa terpentang itu mencibir runcing, kemudian membentak,

   "Kalau bukan hwesio mengapa kepalamu gundul? Tentu engkau hwesio yang menyamar dan kalau ada pendeta menyamar berarti hatinya mengandung niat buruk. Berbahaya!"

   "Sialan! Aku bukan hwesio!"

   Kun Liong juga membentak marah, matanya yang lebar terbelalak. Giok Keng tersenyum. Manis sekali senyumnya, akan tetapi juga menusuk jantung karena di balik senyum manis ini tampak jelas maksud mengejek.

   "Bukan hwesio ya sudah, tak perlu menggonggong! Kalau bukan hwesio, tentu engkau seorang pemuda yang mempunyai banyak kutu rambut, atau mungkin kepalamu penuh kudis maka kaubuang semua rambutmu!"

   "Bocah perempuan sombong! Engkau menghina, ya?"

   Kun Liong melangkah maju setindak. Senyum ejekan itu melebar dan tampak jelas dara itu mengangkat dada ke depan, membusungkan dada yang sudah mulai membusung itu, sambil berkata,

   "Kalau benar aku menghina, habis engkau mau apa?"

   Makin panas rasa perut Kun Liong. Bocah ini benar-benar kurang ajar, pikirnya.

   "Kalau engkau menghina, aku pun bisa menghinamu!"

   "Coba saja kalau berani!"

   "Wah, sombongnya! Masa aku tidak berani membalas seorang bocah perempuan sombong seperti engkau? Engkau memang cantik seperti... bunga mawar, akan tetapi banyak sekali durinya. Engkau cantik akan tetapi galak seperti... hemmm..."

   Kun Liong memutar otak untuk mencari perbandingan agar dapat balas menghina. Muka Giok Keng sudah mulai merah dan dia membanting kaki kanannya.

   "Seperti apa? Hayo katakan kalau berani!"

   Kedua tangan yang bertolak pinggang sudah turun dan dikepal menjadi dua tinju kecil. Senang hati kun Liong melihat dara itu mulai marah. Makin manis kalau marah, pikirnya, kedua pipi itu menjadi kemerahan, presis bunga mawar. Biar dia bertambah marah, pikirya dan dia berkata,

   "Seperti... kucing betina kehilangan tanduk!"

   "Keparat kau!"

   Giok Keng sudah menerjang dengan pukulan kilat ke arah kepala gundul Kun Liong. Pemuda ini mengelak, namun kalah cepat karena gerakan gadis ini benar-henar amat cepat luar biasa.

   "Takkk!"

   Kepala Kun Liong yang gundul kena diketak (dipukul dengan buku jari) tangan kanan Giok Keng. Berkat sin-kang yang dipelajarinya dari Bun Hoat Tosu, kepala itu terlindung dan tidak terluka,
(Lanjut ke Jilid 10)
Petualang Asmara (Seri ke 02 - Serial Pedang Kayu Harum)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 10
akan tetapi kulit kepalanya terasa nyeri sehingga Kun Liong meringis. Akan tetapi Giok Keng juga menyeringai kesakitan ketika buku jari tangannya bertemu dengan batok kepala yang amat keras!

   "Aihhh, kepala gundulmu keras juga, ya?"

   Ucapan ini sengaja dikeluarkan bukan untuk mengejek, melainkan karena terheran dan dengan sungguh-sungguh, akan tetapi membuat Kun Liong makin marah. Tidak saja kepalanya diketak, akan tetapi juga diejek!

   "Pukulanmu seperti tahu saja!"

   Dia balas mengejek dan balas pula menyerang, akan tetapi karena dia tidak ingin memukul, dia hanya menggunakan tangannya untuk mendorong pundak dara itu dengan tangan terbuka.

   "Cih, kiranya engkau manusia cabul!"

   Giok Keng mengelak.

   "Cabul hidungmu!"

   Kun Liong makin marah.

   "Siapa yang cabul?"

   Dia menjadi makin marah dan mukanya makin merah. Dorongan ke pundak dikatakan cabul, apakah dia disangka akan menggunakan tangannya untuk memegang apa?

   "Gundul cabul tak tahu malu! Rasakan hajaran Nona Cia!"

   Giok Keng kini menyerang dengan gerakan yang amat cepatnya sehingga Kun Liong sibuk mengelak ke sana sini. Juga dia kaget setengah mati mendengar bahwa dara di depannya ini adalah Nona Cia. Berarti puteri susioknya! Dia sudah mendengar sepintas lalu dari ayah ibunya bahwa Cia Keng Hong mempunyai seorang puteri kalau tidak salah ingat namanya pakai Keng keng begitu.

   "Eh, tahan dulu...! Plak!"

   Karena lengah, pundaknya kena dipukul membuat dia terhuyung, akan tetapi tidak apa apa. Hal ini membuat Giok Keng heran dan penasaran, maka dia menerjang lagi.

   "Nanti dulu! Desss!"

   Kun Liong menangkis dengan keras, kini Giok Keng yang terhuyung karena Kun Liong menggunakan sinkang.

   "Apakah engkau Keng?"

   Giok Keng menghentikan serangannya, dahinya berkeringat sehingga anak rambut di dahi kacau balau dan melekat seperti dilukis, matanya berkilat dan pipinya bertambah merah.

   "Apa Keng?"

   Dia membentak.

   "Bukankah namamu memakai Keng-keng begitu? Kau puteri Ketua Cin ling-pai?"

   "Banyak cerewet! Rasakan tanganku!"

   Giok Keng sudah menyerang lagi dan karena dia dapat menduga bahwa pemuda gundul ini lihai juga serta memiliki kekebalan sehingga dapat menahan pukulannya, maka kini dia menggunakan dua jari tangan kanan kiri, melakukan serangan dengan totokan-totokan yang cepat sekali. Biarpun kebal, jalan darahnya tentu tidak kebal, pikirnya.

   "Cusss!"

   Serangan bertubi tubi itu akhirnya berhasil dan dada kanan Kun Liong kena ditotok. Akan tetapi karena jalan darah yang ditotoknya itu tidak kena dengan tepat, tubuh Kun Liong tidak menjadi kaku seperti kalau terkena tepat melainkan bergoyang dan menggigil sedikit, kemudian pemuda itu sudah meloncat mundur dan berkata,

   "Hemm, engkau mengajak berkelahi, ya? Aku seorang laki laki sejati, tidak mau memukul perempuan, akan tetapi aku harus membela diri."

   "Kau laki laki apa? Cerewetnya melebihi seorang nenek bawel. Mampuslah!"

   "Wuussss...!!"

   Kedua tangan Giok Keng sudah menerjang lagi dengan totokan totokan lihai sekali dan hal ini tidaklah mengherankan karena dara itu mainkan jurus jurus San in Kun hoat (Ilmu Silat Awan Gunung), semacam ilmu silat tinggi sekali yang dipelajari dari Cia Keng Hong. Ilmu silat San in Kun hoat ini hanya terdiri dari delapan jurus, akan tetapi setiap jurusnya merupakan gerakan gerakan yang luar biasa lihainya.

   Kalau saja Giok Keng sudah memiliki sin-kang yang kuat, tentu dia dapat merobohkan Kun Liong dengan ilmu silat tinggi ini. Akan tetapi karena dara itu menyangka bahwa pemuda gundul itu memiliki kekebalan luar biasa, dia mengganti kepalan dengan totokan. Namun kecepatan dan keanehan gerakannya membuat Kun Liong sibuk sekali. Terpaksa pemuda ini lalu mainkan jurus dari Pat hong sin kun untuk menjaga diri dan memang daya tahan dari ilmu silat ini luar biasa. Jangankan hanya dua buah tangan Giok Keng yang datang dari dua jurusan, andaikata dia diserang dari delapan jurusan sekalipun, dia akan dapat melindungi dirinya sesuai dengan sifat Ilmu Silat Pat hong sin kun (Silat Sakti Delapan Penjuru Angin). Setelah beberapa lama Giok Keng tak dapat mengenai sasaran tubuh lawannya, dara itu menjadi makin marah dan timbullah kenakalan Kun Liong untuk mengejeknya,

   "Hayo, keluarkan Thi khi-i-beng, hendak kulihat bagaimana lihainya."

   "Eihhh...!!"

   Giok Keng tak dapat menahan kemarahannya. Thi-khi-i-beng adalah ilmu sakti yang hanya dimiliki ayahnya. Tentu saja dia belum diajar ilmu itu, atau belum tentu selamanya akan diajar ilmu itu yang menurut ayahnya tidak boleh sembarangan dimiliki orang yang dasarnya belum kuat benar lahir batin. Kini pemuda gundul ini menantang Ilmu Thi-khi-i-beng. Hati siapa tidak menjadi gemas?

   "Jahanam gundul keparat sombong! Tak perlu dengan Thi-khi-i-beng untuk melawan manusia macam engkau!"

   Kini dara itu merobah ilmu silatnya dan gerakannya menjadi aneh sekali. Baru beberapa jurus saja, dengan gerakan memutar setelah mendesak Kun Liong dengan totokan totokan maut, dara itu berhasil menendang pinggul Kun Liong sehingga pemuda itu terlempar dan terbanting.

   "Wah, curang! Kusangka hanya menotok terus, tahu tahu menendang pinggul!"

   "Mampuslah!"

   Giok Keng sudah menubruk maju.

   "Ciaaattt!"

   Dua buah jari tangan kirinya menusuk ke arah mata Kun Liong yang masih telentang dan baru hendak bangkit duduk.

   "Aihhhh...!"

   Kun Liong meloncat ke atas, menghindarkan totokan dan tangan sudah dikepal untuk balas menghantam kepala dara itu dari atas. Akan tetapi entah mengapa, dia tidak tega memukul dan kepalannya dibuka, berubah menjadi cengkeraman dan dia berhasil menjambak sebuah di antara dua kuncir rambut dan menariknya.

   "Aduhhhh... curang kau, setan!"

   Giok Keng yang dijambak rambutnya menjerit, akan tetapi berbareng dia pun menggunakan jari tangannya menotok pundak sambil mengerahkan tenaga.

   "Dukkk!!"

   Tubuh Kun Liong menjadi lemas dan dia roboh terguling! Sambil bertolak pinggang berdiri di dekat tubuh Kun Liong yang rebah telentang, Giok Keng tersenyum mengejek, menggerakkan kepalanya untuk memindahkan rambutnya yang agak awut-awutan dijambak Kun Liong tadi ke belakang punggung, napasnya agak terengah, muka dan lehernya berkeringat, pipinya merah segar.

   "Hemmm, kalau hendak membunuhmu, betapa mudahnya!"

   Dia mengejek. Biarpun tubuhnya masih lemas dan tak dapat digerakkan, namun Kun Liong masih dapat menggerakkan mulut bicara, dan pandang matanya sama sekali tidak takut atau menyerah, bahkan mengejek!

   "Kalau begitu, mengapa tidak kau bunuh? Hemmm, kau tidak berani membunuhku, ya? Karena kalau kau membunuh orang yang kau curangi sehingga tanpa tersangka-sangka kena totokan, berarti engkau seorang dara pengecut paling besar!"

   "Setan gundul! Kau masih berani membuka mulut besar?"

   "Mengapa tidak? Engkau seorang dara yang cantik tapi galak, berhati baik akan tetapi pura-pura keras. Engkau puteri seorang pendekar besar yang tentu berjiwa pendekar pula, akan tetapi kau memperlakukan seorang tamu dengan kurang ajar dan menghina. Tunggu saja kau, akan kulihat bagaimana sikapmu kalau kuceritakan kepada ayah bundamu kelak!"

   Sepasang mata yang indah itu terbelalak.

   "Ehh...? Kau... kau siapa?"

   "Ayahmu adalah Supekku (Uwa Guru) karena ibuku adalah sumoinya."

   "Apa? Engkau... engkau she Yap?"

   "Tidak ada keduanya!"

   "Engkau yang bernama Yap Kun Liong putera Paman Yap Cong San?"

   "Hanya inilah orangnya!"

   "Celaka! Kenapa kau tidak bilang sejak tadi?"

   Tergopoh-gopoh Giok Keng menotok kembali pundak Kun Liong sehingga pemuda itu terbebas dan dapat bangkit berdiri lagi. Mereka berdiri saling berhadapan, saling pandang. Akhirnya Giok Keng yang membuka mulut berkata dengan nada suara penuh permintaan.

   "Eh, kau jangan..."

   "Namaku bukan eh!"

   "Orang she Yap..."

   "Mengapa kau sombong amat, sih? Memangnya aku penjahat sampai kau tidak sudi menyebut namaku?"

   Giok Keng membanting-banting kakinya dengan jengkel, gerakan yang ia warisi dari ibunya. Biasanya dia amat pandai berbantah, dan dimanja oleh siapa pun, sekarang dia selalu dibantah dan dicela habis-habisan oleh Si Gundul ini! Akan tetapi dia takut kalau-kalau Si Gundul ini mengadu kepada ayah ibunya, terutama sekali kepada ibunya. Mereka memanjakannya, akan tetapi ibunya keras dan kalau ibunya sudah marah, dia amat takut kepada ibunya.

   "Kun Liong..."

   "Eh, eh, engkau memang kurang ajar, tidak tahu aturan, ya?"

   "Kenapa lagi? Cerewet benar kau!"

   "Bukan cerewet, akan tetapi ayahmu adalah suheng ibuku, berarti di antara kita masih ada hubungannya."

   "Hubungan apa? Keluarga bukan, kenal pun baru sekarang!"

   
Petualang Asmara Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Eeehh, orang tua kita adalah saudara seperguruan, berarti kita masih ada bau-bau..."

   "Bau apa? Kurang ajar kau!"

   "Maksudku, masih bau-bau... eh, hubungan sanak. Engkau keponakan ibuku dan aku keponakan ayahmu, berarti kita masih saudara misan seperguruan. Bukan begitukah? Jadi, karena engkau masih kecil..."

   "Sombong! Apa kau kira engkau ini sudah kakek-kakek? Aku bukan anak kecil!"

   "Kalau begitu engkau nenek-nenek!"

   "Aku bukan anak kecil, usiaku sudah empat belas tahun lebih, hampir lima belas tahun!"

   "Dan aku sudah lima belas tahun. Nah, berarti aku lebih tua. Engkau adalah piauw sumoi, dan aku adalah piauw-suhengmu (kakak misan seperguruan). Engkau jangan kurang aturan menyebut namaku begitu saja, ya?"

   Kembali Giok Keng membanting kaki dengan gemas. Dia merasa kalah bicara. Dengan susah payah dia menekan perasaannya dan berulang kali menghela napas, menahan tangannya agar jangan menampar kepala gundul itu. Entah kenapa, tangannya gatal gatal untuk menampar kepada gundul licin itu!

   "Baiklah, Piauw suheng!"

   Dia mengejek sambil membungkuk dibuat buat.

   "Aku minta engkau jangan mengadu kepada ayah bundaku, ya?"

   Kun Liong menggerakkan hidung. Rasakan engkau sekarang, pikirnya! Bocah galak harus dihajar! Dengan angkuh dia menegakkan tubuh mengangkat muka.

   "Salah siapa! Engkau telah menyambutku dengan cara yang kurang ajar sekali, bahkan berani memukul aku. Biar kuberitahukan kepada Supek dan Supek bo, aku ingin melihat bagaimana kalau kau dimarahi, mungkin dipukul!"

   "Aihhh... janganlah, Piauw suheng... ibuku keras sekali. Apa kau tidak kasihan kepada piauw sumoimu?"

   "Huh, enak dan gampangnya. Sudah menghina, sudah memukul, malah minta tolong segala. Kiranya aku ini orang apa, hah?"

   "Piauw suheng yang baik, kau maafkan aku, ya? Aku tidak marah lagi kepadamu, aku tidak menghinamu lagi. Habis engkau sendiri juga salah. Siapa yang menyangka bahwa engkau putera Paman Yap Cong San kalau melihat... eh..."

   "Bilang saja kepala gundulku! Kenapa sih ragu ragu?"

   Kun Liong menghardik sampai Giok Keng kaget.

   "Ya, ya... karena kepalamu yang gundul itu mendatangkan keraguan dan kecurigaan padaku sehingga aku bersikap keras. Ketahuilah, ayah dan ibuku sedang pergi, malah pergi ke tempat ayahmu dan aku diberi tugas untuk mewakili mereka menjaga di sini, memimpin Cin-ling pai. Bayangkan saja betapa beratnya! Maka begitu melihat engkau yang kucurigai akan mengacau Cin-ling-san, aku terus turun tangan. Maafkan aku, ya?"

   Kun Liong merasa seperti dielus elus. Enak sekali rasanya, akan tetapi mulutnya tetap diruncingkan agar kelihatan cemberut dan marah.

   "Kalau aku membiarkan semua orang menampar kepalaku kemudian cukup dengan permintaan maaf saja, agaknya kepalaku akan remuk dalam waktu singkat. Tidak cukup hanya dengan permintaan maaf."

   "Habis, harus bagaimana?"

   Tanya Giok Keng penasaran.

   "Apakah aku harus berlutut di depan kakimu?"

   Kun Liong ingin sekali menuntut hukuman seperti yang dia lakukan kepada Hwi Sian, yaitu agar dara ini pun mencium kepalanya. Akan tetapi dia berpikir panjang. Kalau sampai dara ini marah, karena wataknya begini keras, bisa berabe. Dan lebih hebat lagi kalau dara ini mengadu kepada ayah bundanya, lebih celaka sekali kalau sampai ayahnya mendengar akan hal itu! Dara ini takut kepada ibunya yang keras, tentu tidak tahu betapa dia pun amat takut kepada ayahnya yang keras pula! Tidak, dia tidak boleh menyuruh Giok Keng mencium kepalanya. Tiba-tiba dia mendapat akal dan menjawab sambil tersenyum.

   "Engkau amat menghinaku karena kepalaku yang gundul, bahkan tadi engkau telah menampar kepalaku. Nah, sekarang aku baru mau menghabiskan urusan ini sampai di sini saja kalau engkau suka menampar kepalaku sampai tiga kali lagi!"

   Mata Giok Keng terbelalak lebar.

   "Apa...? Sudah gilakah engkau? Kalau kupukul dengan sungguh-sungguh, tentu akan pecah kepalamu. Jangankan sampai tiga kali, satu kali saja cukup..."

   "Sudahlah, menyombong lagi! Biar pecah, lebih baik agar ayah bundamu tahu bahwa puteri mereka telah menyambut kedatangan piauw suhengnya dengan pukulan maut sampai kepalanya pecah!"

   "Aihhh... habis bagaimana?"

   "Terserah kepadamu. Pendeknya, aku ingin kau menggunakan tanganmu menampar kepalaku sampai tiga kali!"

   Giok Keng memandang kepala itu dengan muka menunjukkan kebingungan hatinya. Tangannya memang gatal gatal rasanya, ingin sekali dia menampari kepala itu, akan tetapi kalau dia menampar sampai Kun Liong terluka atau mampus, tentu dia tidak akan mendapat ampun dari ibunya. Ia memutar otak dan akhirnya dengan wajah berseri dia berkata,

   "Baik, akan kutampar kepalamu tiga kali, akan tetapi luput!"

   "Eeh, mana bisa? Aku tidak menangkis tidak mengelak mana bisa luput? Padahal engkau puteri Ketua Cin ling-pai! Siapa mau percaya?"

   "Habis bagaimana?"

   "Terserah, asal menampar kepala."

   Kun Liong diam diam girang sekali dan merasa sudah dapat membalas dendam mempermainkan dara galak itu.

   "Kalau pelan pelan boleh, kan?"

   "Pokoknya asal menggunakan tangan menampar kepala."

   Jantung Kun Liong berdebar karena dia sudah membayangkan betapa kepalanya akan dielus elus oleh telapak tangan yang halus itu!

   "Baiklah. Nah, awas, aku akan mulai!"

   Giok Keng menggerakkan tangan kanannya dan tepat seperti yang diduga dan dikehendaki Kun Liong, telapak tangan yang halus dan hangat itu menjamah kepala gundul itu tiga kali.

   "Sudah cukup tiga kali!"

   Kata Giok Keng sambil melangkah mundur, geli juga meraba kepala yang gundul kelimis itu.

   "Terima kasih, enak sekali!"

   Kata Kun Liong sambil membungkuk dan tersenyum lebar.

   "Pringas-pringis (menyeringai), bilang saja ingin diusap kepalanya, pura pura minta ditampar!"

   "Sudah pantas saja, Piauw sumoi, untuk obat kepalaku yang masih terasa nyeri oleh tamparanmu tadi. Jadi Cia-supek dan Supek bo tidak berada di rumah?"

   "Tidak, karena itu, lain kali saja kau datang menjumpai mereka. Akan tetapi awas, kau sudah berjanji tidak akan mengadu kepada mereka!"

   "Wah, kau tidak percaya kepadaku? Eh, sumoi, namamu Cia Giok Keng, ya? Sekarang aku ingat. Indah sekali namamu, seindah... orangnya... eh, maksudku... eh, kau cantik sekali, Piauw moi, dan ilmu silatmu lihai bukan main. Aku kagum sekali kepadamu."

   "Dan aku benci kepadamu!"

   "Oh, ya? Sebaliknya, aku sangat cinta kepada diriku ini!"

   "Aku benci, terutama kepalamu."

   "Dan aku terutama sekali sayang kepada kepalaku ini."

   Kun Liong mengelus kepalanya. Betapa dia tidak sayang? Kepalanya mendatangkan banyak "untung"

   Jika dia bertemu dengan dara-dara jelita! Sambil tersenyum lebar dia lalu menjura dan berkata lagi,

   "Nah, aku pergi, Piauw-sumoi yang cantik dan galak. Sampai bertemu lagi, ya?"

   "Tidak sudi! Sekalipun cukuplah."

   "Uihh, jangan begitu! Bagaimana kalau kelak orang tuarnu minta kau berjumpa dengan aku?"

   "Tidak usah, ya!"

   Kun Liong tertawa bergelak lalu meninggalkan nona itu yang masih membanting-banting kaki saking jengkelnya. Biarpun mulutnya tertawa-tawa dan hatinya lega karena sudah berhasil membalas dara galak itu, menggodanya dan berhasil pula dielus-elus kepalanya oleh tangan halus itu, namun diam-diam Kun Liong merasa penasaran sekali. Harus dia akui bahwa ilmu kepandaian Giok Keng amat hebat dan agaknya kalau bertempur sungguh sungguh,

   Dia tidak akan mampu menandingi dara itu yang sejak kecil tentu digembleng ayah bundanya yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, jauh lebih tinggi daripada kepandaian ayah bundanya sendiri. Dia harus mempelajari ilmu silat yang lebih tinggi! Kalau tidak, apa dayanya untuk mencegah perbuatan jahat kalau dia bertemu dengan orang-orang seperti Ban-tok Coa-ong Ouwyang Kok dan Siang tok Mo li Bu Leng Ci? Akan tetapi, ke mana dia harus belajar ilmu? Kalau saja dia dapat menjadi murid supeknya, Cia Keng Hong, tentu dia akan memperoleh kemajuan hebat. Akan tetapi dia bergidik kalau mengingat akan kegalakan Giok Keng. Baru bertemu saja sudah cekcok dan berkelahi, apalagi kalau tinggal serumah. Tentu seperti kucing dengan anjing! Teringat ini, Kun Liong tertawa. Dara itu dimakinya seperti kucing, dan memang pantas! Dan dia anjingnya.

   "Ha ha! Mana ada anjing gundul?"

   Kembali dia mengelus kepalanya dan teringatlah dia akan Pek pek, anjingnya yang berbulu putih seperti kapas, yang dahulu menumpahkan obat ayahnya. Ke manakah anjing itu pergi? Sudah matikah? Kata ayahnya, Pek pek dahulu ditemukan di dekat Kuil Siauw lim si. Ahhh...! Benar! Kuil Siauw-lim-si! Siauw-lim pai adalah sebuah perkumpulan besar yang memiliki banyak orang sakti. Ayahnya sendiri pun bekas murid Siauw-lim-pai. Dia harus pergi ke Kuil Siauw-lim-si, belajar kepada tokoh tokoh Siauw-lim-pai! Bukan niat ini saja yang mendorong Kun Liong pergi mengunjungi Kuil Siauw-lim si, akan tetapi juga ada dugaan bahwa ayah dan ibunya tentu mengunjungi kuil itu pula. Kalau tidak ada di rumah Cia Keng Hong, ke mana lagi ayah dan ibunya akan pergi? Setidaknya tentu akan singgah di Siauw lim si,

   Karena ketika ayahnya mencarikan obat untuk para perwira yang terluka, bukankah ayahnya juga pergi ke Siauw-lim si? Bekal pemberian kakek pamannya tinggal tak berapa lagi, akan tetapi dengan berhemat, kadang kadang hanya makan buah buah dan binatang hutan cukup juga sisa bekal itu mengantarnya sampai ke Kuil Siauw lim si. Kuil besar yang berada di lereng bukit itu kelihatan megah, membesarkan hati Kun Liong akan tetapi juga menimbulkan ketegangan karena menduga duga apakah dia akan berhasil mendapatkan keterangan tentang ayah bundanya di kuil itu, dan apakah dia akan dapat menjadi murid Siauw-lim si. Menjadi murid Siauw lim pai? Tak mungkin, pikirnya ketika dia tiba-tiba teringat bahwa ayahnya sendiri sudah keluar dari Siauw-lim si dan tidak diakui sebagai murid. Biarpun ayahnya tidak pernah menceritakan sebabnya,

   Namun dia tahu bahwa dengan menyebut dirinya "bekas murid Siauw lim pai"

   Berarti ayahnya tidak lagi diakui sebagai murid. Kalau para hwesio tokoh Saiuw-lim pai tahu bahwa dia adalah anak Yap Cong San yang telah tak diakui lagi sebagai murid, mana mungkin Siauw-lim pai mau menerimanya. Pikiran ini membuat dia berkeputusan untuk menyelidiki ayah ibunya di kuil itu tanpa mengaku bahwa dia adalah putera mereka. Demikianlah, pada suatu hari menjelang senja, dia telah berdiri di depan pintu gerhang Kuil Siauw-lim si yang menjadi pusat dari Siauw-lim pai yang terkenal. Berbeda dengan kuil kuil Siauw-lim si yang menjadi cabang Siauw lim-pai, kuil pusat ini selain besar, juga amat luas dan dikelilingi pagar tembok yang tinggi dengan pintu pintu gerbang yang dijaga oleh dua orang hwesio siang malam, seperti sebuah benteng saja!

   "Apa? Engkau hendak mengabdi kepada kuil kami, orang muda? Dan untuk keperluan itu engkau telah mendahului membuang rambutmu?"

   Tanya kepala penjaga yang diberi laporan oleh penjaga pintu gerbang akan datangnya seorang pemuda tanggung berkepala gundul yang datang untuk mengabdi dan menjadi kacung kuil itu. Karena tidak ingin banyak rewel, Kun Liong menjawab,

   "Demikianlah, Losuhu, sungguhpun teecu tidak sengaja. Harap saja Suhu sudi menerima teecu."

   "Hemm, urusan menerima seorang kacung harus diputuskan oleh ketua sendiri, karena kami tidak berani bertanggung jawab kalau kalau ada pihak musuh yang menyelundup."

   Di dalam hatinya, Kun Liong mencela hwesio ini. Orang yang sudah menjadi hwesio, berarti menyerahkan jiwa raganya kepada agama, dan orang beragama berarti orang yang melakukan hidup suci, mengapa masih mengaku punya musuh? Akan tetapi karena niatnya hanya ingin menyelidiki kalau kalau ayah bundanya berada di situ dan untuk mencari kesempatan belajar ilmu silat tinggi,

   Kun Liong tidak banyak rewel dan mengikuti kepala penjaga yang membawanya menghadap Ketua Siauw lim pai. Dia sudah mendengar dari ayahnya bahwa Ketua Siauw lim pai adalah hekas suheng ayahnya sendiri yang berilmu tinggi dan bernama Thian Kek Hwesio, maka dengan jantung berdebar dia menghadap ketua ini. Memang benar demikian. Thian Kek Hwesio sendiri yang menerima pelaporan kepala penjaga dan Kun Liong menjadi kecut hatinya ketika melihat bahwa ketua kuil itu adalah seorang hwesio yang amat menakutkan, berusia delapan puluh tahun lebih, tubuhnya tinggi besar dan berkulit hitam, matanya seperti kelereng besar, dan sikapnya keren, kelihatan galak bukan main! Memang demikianlah keadaan Thian Kek Hwesio, wataknya sesuai dengan tubuhnya, kasar dan jujur namun memiliki hati emas!

   "Saudara muda, kepalamu kenapakah?"

   Suara Thian Kek Hwesio besar dan kasar, namun nada suaranya tidak menyinggung hati Kun Liong yang berlutut di depan hwesio itu di samping hwesio kepala penjaga.

   "Teecu makan jamur di hutan dan rambut teecu lalu rontok semua, Losuhu."

   Kun Liong membohong. Dia terpaksa membohong karena kalau dia bicara terus terang, tentu akan berkepanjangan dan dia tidak akan dapat menyembunyikan keadaannya lagi sehingga sia-sialah usahanya.

   "Omitohud...! Engkau keracunan, orang muda. Racun yang hebat sekali yang dapat membuat rambut rontok seperti itu! Dan biasanya, racun yang tidak merenggut nyawa, hanya merontokkan rambut berarti bahwa racun itu bertemu dengan racun lain sehingga daya mautnya punah. Engkau masih beruntung!"

   Diam-diam Kun Liong kagum sekali. Kini dia mengerti mengapa rambut kepalanya habis. Tentu racun ular dan racun jarum Ouwyang Bouw saling bertanding dalam tubuhnya, urung mencabut nyawanya akan tetapi berhasil menghabiskan rambutnya! Kalau dia dapat berguru kepada kakek ini, akan tetapi ah, tidak banyak selisihnya tentu dengan kepandaian ayahnya. Mereka hanya sute dan suheng. Bukan, bukan kepada Ketua Siauw-lim-pai ini dia ingin berguru, akan tetapi kepada Tiang Pek Hosiang, guru ayahnya atau sukongnya (kakek gurunya)! Dia sudah mendengar dari ayahnya bahwa kakek sakti itu telah mengasingkan diri di dalam Kuil Siauw-lim-si ini, di dalam sebuah kamar yang disebut Ruang Kesadaran! Dan menurut ayahnya, sampai sekarang kakek sakti itu masih hidup. Tentu sudah amat tua, sedikitnya seratus tahun usianya. Kepada sukongnya itulah dia ingin berguru!

   "Sebetuinya di sini sudah tidak membutuhkan lagi bantuan seorang kacung, karena banyak sudah anak murid yang melakukan semua pekerjaannya, akan tetapi karena secara mujijat sekali rambut kepalamu menjadi habis tanpa dicukur, seolah-olah Tuhan sendiri yang menakdirkan engkau menjadi calon hwesio, maka biarlah pinceng (aku) menerima pengabdianmu. Kau bekerjalah di sini membantu para hwesio kecil, kelak kalau memenuhi syarat, engkau boleh menjadi anak murid dan masuk menjadi hwesio. Siapakah namamu?"

   "Teecu she Liong, bernama Kun."

   Kun Liong membohong.

   "Baiklah, kami sebut engkau Liong-ji (Anak Liong). Kau ikutlah kepada kepala penjaga ini. Berikan sebuah kamar untuk dia bersama para hwesio kecil dan serahkan beberapa pekerjaan harian suruh dia bantu,"

   Kata ketua itu yang sudah duduk bersila kembali sambil memejamkan mata. Kepala penjaga itu memberi hormat, kemudian menyentuh lengan Kun Liong diajak keluar dari kamar ketua itu. Demikianlah, Kun Liong yang di situ terkenal dengan sebutan Liong-ji, bekerja di dalam Kuil Siauw-lim-si, membantu tukang kebun. Pekerjaan ini menyenangkan hatinya karena dia lebih bebas. Dari percakapannya dengan para hwesio kecil yang dipancing pancingnya secara lihai, Kun Liong mendengar, bahwa ayahnya dan ibunya tidak pernah datang ke kuil ini semenjak yang terakhir ayahnya datang minta obat. Juga dia mendengar bahwa Tiang Pek Hosiang masih bertapa di dalam Ruang Kesadaran tanpa ada yang berani mengusiknya.

   Dia telah tahu pula di mana letak kamar itu, di dekat kamar gudang penyimpanan pusaka Siauw-lim-pai yang siang malam dijaga oleh empat orang hwesio secara bergilir. Kecewa juga hati Kun Liong mendengar bahwa ayah bundanya tidak pernah datang ke kuil itu, apalagi ketika dia mendapat kenyataan bahwa siapapun juga, baik dia anggauta Siauw-lim-pai atau orang luar, dilarang keras memasuki dua tempat tanpa ijin ketua sendiri, pertama adalah kamar Ruang Kesadaran yang pintunya selalu tertutup dan kabarnya ketua sendiri tidak berani mengusiknya, ke dua adalah gudang pusaka yang hanya jarang dibuka oleh ketua sendiri untuk mengambil atau menyimpan sesuatu. Hilanglah harapannya untuk dapat berguru kepada Tiang Pek Hosiang yang telah belasan tahun lamanya bertapa di dalam kamar itu!

   Sebulan telah lewat. Malam itu gelap dan sunyi. Agaknya semua hwesio telah tidur pulas, kecuali tentu saja mereka yang bertugas jaga. Akan tetapi Kun Liong tak dapat tidur. Dia telah membuang waktu sia-sia selama sebulan dan dia sudah mengambil keputusan tetap untuk mencoba menghadap Tiang Pek Hosiang, apapun juga yang menjadi risikonya. Dia mendengar bahwa siapa berani melanggar dua larangan itu akan dihukum mati. Biarlah kalau dia ketahuan dan dihukum mati. Biarlah kalau orang-orang yang sudah menjadi hwesio, berarti memasuki penghidupan suci masih mau menghukum mati orang! Kalau dalam hal ini dia gagal, besok pagi dia akan minggat dari tempat ini. Hal ini mudah dilakukan karena tugasnya sebagai pembantu tukang kebun memungkinkan dia untuk keluar dari pintu gerbang,

   Membersihkan halaman di luar pintu gerbang. Menjelang tengah malam, setelah keadaan sunyi benar, Kun Liong keluar dengan Hati-hati dari kamarnya. Dua orang hwesio kecil yang menjadi temannya sekamar sudah tidur meringkuk di bawah selimut karena malam itu dingin sekali, di luar penuh kabut sehingga malam bertambah gelap. Karena sudah hafal akan tempat-tempat penjagaan, Kun Liong dapat menyelinap ke dekat dua kamar terlarang yang letaknya berdekatan itu. Kamar pusaka dan kamar pertapaan Tiang Pek Hosiang. Dia tahu bahwa seperti biasa, tentu ada empat orang hwesio penjaga di depan dan belakang kamar pusaka itu, maka dia sudah mempunyai rencana untuk menyelinap dan menghampiri Ruang Kesadaran dari samping sehingga tidak tampak oleh ke empat orang hwesio penjaga.

   Dia hendak memasuki kamar itu melalui jendela yang selalu tertutup pula. Akan tetapi ketika dia menyelinap di balik tembok dan mengintai untuk melihat dua orang penjaga di depan kamar pusaka, dia terbelalak kaget melihat dua orang hwesio penjaga itu menggeletak tak bergerak! Tidurkah mereka? Tidak mungkin! Tertidur di waktu menjaga kamar pusaka bisa mendapat hukuman yang amat berat! Andaikata tertidur, masa dua-duanya? Tentu ada apa-apa yang tidak beres, pikirnya. Dia lalu menyelinap dengan Hati-hati sekali, memutari dua kamar itu dan mengintai untuk melihat dua penjaga yang biasanya duduk di sebelah belakang kamar pusaka. Hampir dia berseru heran dan kaget ketika melihat bahwa kedua orang hwesio ini pun sama keadaannya dengan para penjaga di depan.

   Tertidur! Atau lebih tepat lagi, menggeletak di lantai seperti orang tidur! Musuh! Dia teringat akan ucapan kepala penjaga akan kekhawatiran mereka ada musuh menyelundup. Apakah malam ini ada musuh Siauw-lim-pai yang menyelundup masuk ke Siauw-lim-pai? Kun Liong lalu menghampiri kamar pusaka. Terdengar suara perlahan dan dia melihat jendela kamar pusaka terbuka, dan ada sinar penerangan menyorot dari dalam. Cepat namun Hati-hati sekali Kun Liong menghampiri jendela itu dan mengintai. Tak salah apa yang dikhawatirkannya! Ada tiga orang laki-laki berada di dalam kamar pusaka! Tiga orang laki-laki membongkar lemari dan sedang mengumpulkan benda-benda pusaka, dibuntal kain dan muka mereka memakai kain penutup.

   "Maling...!"

   Kun Liong berteriak dan meloncat ke dalam kamar pusaka melalui jendela yang terbuka. Tiga orang itu terkejut, melepaskan buntalan, bahkan pemimpin mereka yang biarpun mukanya ditutup sebagian dengan saputangan tampak sebagai seorang pemuda tampan, melepaskan pula buntalannya.

   "Robohkan dia, hwesio cilik itu!"

   Katanya kepada seorang di antara mereka. Orang ini menerjang ke depan dengan totokan yang lihai sekali. Akan tetapi kini Kun Liong telah siap karena dia berhadapan dengan maling-maling yang dianggapnya berbahaya. Melihat totokan, dia memasang tubuhnya dan mengerahkan sinkangnya, menggoyang sedikit tubuh itu sehingga totokan meleset mengenai tubuh yang kebal, sedangkan dia sendiri membarengi dengan pukulan dari jurus Ilmu Silat Pat-hong Sin-kun, mendorong perut orang itu. Maksudnya hanya mendorong, akan tetapi karena sinkangnya masih tersalur, orang yang didorong perutnya itu mengeluarkan suara "hekkkhh!"

   Dan roboh pingsan.

   "Crattt! Augghh...!"

   Kun Liong terhuyung-huyung ketika ada sebuah benda merah menancap di leher kirinya. Pandang matanya gelap dan dia terjungkal keluar dari jendela kamar. Sebelum pingsang dia melihat banyak bayangan hwesio-hwesio berkelebatan masuk ke dalam kamar itu. Dan memang teriakannya tadi telah menggegerkan Siauw-lim-si. Thian Lee Hwesio, sute atau wakil Ketua Siauw-lim-si, memimpin sendiri murid-muridnya menuju ke kamar pusaka. Akan tetapi, pemuda yang memimpin pencurian itu lihai bukan main. Dia menyebar jarum merahnya, mencelat ke atas genteng membobol langit-langit kamar itu dan biarpun dikejar,

   Dia sempat menghilang keluar dari Siauw-lim-si. Anak buahnya yang seorang lagi dapat dirobohkan dan ditangkap, bersama seorang yang telah dibikin pingsan oleh Kun Liong dengan dorongan pada perutnya. Thian Lee Hwesio merasa cemas melihat buntalan-buntalan yang berserakan. Kalau saja tidak ketahuan, tentu banyak pusaka penting Siauw-lim-pai tercuri. Dia cepat melakukan pemeriksaan dan ternyata ada dua buah benda pusaka yang hilang, agaknya terbawa oleh pencuri yang lihai tadi. Kedua benda itu adalah sebuah pedang dan sebuah hio-louw (tempat abu hio) yang amat berharga karena merupakan pusaka kuno dari Siauw-lim-si! Namun masih untung bahwa bukan semua yang berada di buntalan terbawa. Hal ini berkat kewaspadaan Liong-ji, karena empat orang hwesio telah tewas!

   "Liong-ji, ke mana dia? Suruh dia ke sini!"

   Thian Lee Hwesio berkata. Para hwesio mencari-cari, namun mereka tidak dapat menemukan Kun Liong. Thian Lee Hwesio sendiri pergi mencari, namun hasilnya kosong sehingga dia termangu dan terheran-heran penuh kekhawatiran. Apakah memergoki maling, lalu pimpinan maling itu menaruh dendam dan membawa lari anak itu? Dengan hati cemas dia lalu menghadap suhengnya, Thian Kek Hwesio Ketua Siauw-lim-pai untuk membuat laporan. Ke manakah sebetulnya Kun Liong pergi? Tentu saja pemuda itu tidak dapat pergi kemana-mana kalau tidak ada yang membawanya karena dia tadi terguling pingsan terkena jarum merah pemuda berkedok saputangan yang lihai tadi.

   Dia terhuyung ke belakang dan terjungkal keluar dari jendela kamar pusaka. Ketika siuman kembali, Kun Liong mendapatkan dirinya telah berada di dalam sebuah kamar yang luas dan kamar ini kosong tidak ada perabotnya, hanya lantainya bersih sekali, ditilami permadani kuning dan di atas permadani itu duduk bersila seorang kakek yang amat tua, dengan rambut putih dan jenggot panjang. Lehernya masih terasa sakit dan ketika dia meraba lehernya, luka di lehernya telah tertutup obat. Mengertilah dia bahwa dia telah tertolong oleh kakek ini, dan otaknya yang cerdik cepat bekerja. Kakek ini tua sekali, dan bukan hwesio karena rambutnya panjang. Siapa lagi yang dapat menolongnya seperti itu selagi dia berada dalam kuil Siauw-lim-si tanpa diketahui orang? Cepat dia bangkit dan berlutut di depan kakek itu sambil berkata,

   "Sukong (Kakek Guru), teecu (murid) Yap Kun Liong menghaturkan banyak terima kasih atas pertolongan Sukong dan membawa teecu ke dalam Ruang Kesadaran ini."

   Kakek itu tercengang dan mengelus jenggotnya.

   "Aihhh, bagaimana engkau bisa tahu bahwa kau berada di Ruang Kesadaran? Tahukah kau siapa aku?"

   "Sukong adalah Tiang Pek Hosiang..."

   "Hemm, anak cerdik. Agaknya engkau bukan kacung biasa di kuil. Aku melihat engkau berindap seperti maling, akan tetapi malah memergoki maling-maling itu. Kelakuanmu aneh, aku menolongmu selagi kau pingsan akan tetapi kau dapat mengenalku. Siapakah engkau dan mengapa kau menyebut aku kakek guru?"

   "Harap Sukong sudi mengampunkan teecu. Sesungguhnya karena ingin menghadap Sukong sematalah maka teecu berani melakukan kelancangan dan membohong kepada para Losuhu. Teecu bernama Yap Kun Liong, ayah teecu Yap Cong San murid Sukong..."

   "Aha! Kiranya engkau anak Cong San? Engkau menyamar sebagai kacung karena hendak bertemu denganku? Apakah kau disuruh oleh ayahmu?"

   "Tidak, Sukong. Teecu menghadap Sukong untuk berguru kepada Sukong."

   Kakek itu tersenyum lebar.

   "Wah, agaknya engkau nakal sekali, sampai-sampai rambut kepalamu habis karena racun. Mengapa engkau ingin berguru kepadaku? Bukankah ayah dan ibumu memiliki kepandaian juga, apalagi engkau dapat minta petunjuk supekmu Cia Keng Hong?"

   "Teecu tidak berani minta petunjuk Supek! Teecu telah dibimbing selama lima tahun..."

   Tiba-tiba dia teringat akan janjinya kepada Bun Hoat Tosu, maka cepat dia menyambung.

   "Maaf, teecu tidak dapat menyebutkan namanya karena sudah berjanji."

   "Ha-ha, Bun Hoat Tosu sungguh tua bangka yang aneh. Mengapa justeru kepadamu dia menurunkan ilmunya?"

   "Aihhh...! Teecu tidak pernah menyebut nama beliau...!"

   "Jangan khawatir, engkau tidak melanggar janji. Dari gerakanmu ketika kau merobohkan seorang maling, ada dasar gerakan rahasia dari Hoa-san-pai. Dahulu dia pernah mengatakan kepadaku untuk menciptakan sebuah ilmu silat yang mempunyai dasar delapan penjuru. Benarkah?"

   "Sukong sungguh waspada. Memang demikianlah. Teecu selama lima tahun diajar oleh beliau dan diberi ilmu silat tongkat Siang-liong-pang dan ilmu silat tangan kosong Pat-hong Sin-kun, juga latihan tenaga sin-kang yang mempunyai daya membetot."

   "Ha-ha-ha! Tentu untuk melawan Thi-khi-i-beng, bukan?"

   "Ehh...! Sukong tahu juga?"

   "Kakek tua Hoa-san-pai itu terlalu jujur sehingga segalanya dapat dilihat dari perubahan mukanya. Dahulu dia merasa penasaran sekali mengapa tidak ada ilmu yang dapat menandingi Thi-khi-i-beng, maka kalau dia menurunkan sinkang kepadamu dengan daya membetot, tentu dia tujukan untuk melawan Thi-khi-i-beng."

   Kun Liong mengangguk-angguk sampai dahinya membentur lantai.

   "Mohon petunjuk dari Sukong."

   "Baiklah. Bun Hoat Tosu yang tidak mempunyai hubungan apa-apa denganmu telah rela melatihmu selama lima tahun. Engkau yang masih putera muridku yang paling baik, tentu saja berhak mewarisi ilmu-ilmuku, terutama ilmu yang selama ini kuciptakan di sini. Apa artinya ilmu itu kalau aku mati? Tak dapat kubawa, maka biar engkau yang mewarisinya."

   Bukan main girangnya hati Kun Liong. Mulai hari itu, di luar pengetahuan para penghuni kuil, dia mendapat gemblengan ilmu silat tinggi dari kakek sakti itu. Mengapa hal ini sampai tidak ketahuan oleh para penghuni kuil? Karena memang tidak ada seorang pun hwesio yang berani memasuki ruangan itu, dan setiap hari seorang hwesio pelayan kecil mengantar makanan dan minuman serta semua keperluan Tiang Pek Hosiang, meletakkannya dengan penuh hormat di depan pintu ruangan yang tertutup lalu pergi lagi. Ransum makanan dan minuman ini cukup untuk makan minum mereka berdua, apalagi karena kakek itu jarang sekali makan. Sementara itu, dua orang tawanan diseret ke depan kaki Ketua Siauw-lim-pai dan dengan suara halus Thian Kek Hwesio, Ketua Siauw-lim-pai, berkata,

   "Ji-wi (Kalian Berdua) siapakah dan siapa pula pemimpin kalian yang sudah mencuri pedang dan bokor? Kalian dari golongan mana?"

   Biarpun Thian Kek Hwesio bicara dengan suara halus, namun karena sikapnya memang angker sekali dengan tubuhnya yang tinggi besar bermuka hitam matanya lebar, mendatangkan rasa takut dan ngeri di dalam hati dua orang maling itu. Mereka mencoba menggerakkan kaki tangan, namun sia-sia saja karena tubuh mereka sudah lemas dan lumpuh oleh totokan lihai.

   Petualang Asmara Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Bebaskan totokan mereka,"

   Kata pula Ketua Siauw-lim-pai itu kepada sutenya, Thian Lee Hwesio yang menggerakkan tangan dan ujung lengannya yang panjang menyambar dua kali ke arah punggung dua orang tawanan. Mereka mengeluh dan dapat bergerak kembali.

   "Nah, sekarang katakan siapa yang menyuruh kalian. Kalau kalian suka berterus terang, tentu pinceng akan memaafkan kalian dan membolehkan kalian pergi dengan aman."

   Dua orang itu kembali mengeluh, kemudian saling pandang dan tangan mereka merogoh saku dalam baju. Semua tokoh Siauw-lim-pai yang hadir di situ sudah siap untuk menjaga diri kalau-kalau kedua orang tawanan itu hendak menyerang mereka, atau siap untuk menangkapnya kembali kalau mereka mencoba untuk melarikan diri. Akan tetapi, tiba-tiba dua orang itu mencabut lagi tangan mereka, meraba leher dan keduanya terguling, berkelojotan dan mati. Thian Lee Hwesio meloncat dekat, memeriksa leher mereka yang menjadi bengkak menghijau. Dengan ails berkerut hwesio tua ini mengeluarkan saputangan dan mencabut benda kecil dari leher kedua orang itu, lalu berkata,

   "Omitohud... kalau tidak salah ini duri kembang hijau...!"

   Dia melangkah maju memperlihatkan dua batang duri itu kepada suhengnya, Ketua Siauw-lim-pai. Thian Kek Hwesio memeriksanya sebentar, lalu mengangguk-angguk dan berkata,

   "Engkau benar, Sute. Ini tentu duri kembang hijau dan kembang itu hanya tumbuh di tepi Kwi-ouw (Telaga Setan)."

   "Kalau begitu mereka adalah orang-orang Kwi-eng-pai (Perkumpulan Bayangan Hantu)!"

   Thian Lee Hwesio berseru kaget.

   "Kita harus segera mengejarnya ke sana dan menuntut kepada ketuanya!"

   Pada saat itu, Thian Kek Hwesio duduk memejamkan matanya dan sikapnya penuh perhatian sehingga sutenya, Thian Lee Hwesio memandang heran dan tidak mendesak. Memang pada saat itu Thian Kek Hwesio sedang mencurahkan perhatian terhadap suara bisikan halus yang memasuki telinganya seperti hembusan angin lalu, suara yang amat dikenalnya karena suara itu adalah suara gurunya, suara Tiang Pek Hosiang!

   "Kacung itu kini menjadi sute kalian yang termuda, dan biarlah urusan pusaka hilang kelak dia yang akan mencarinya."

   Thian Kek Hwesio membuka matanya dan berkata,

   "Sute, tidak usah kita menyusul ke sana. Kelak akan ada orang yang bertugas mengambilnya kembali. Sekarang harap Sute menyuruh para murid memakamkan dua jenazah ini sebagaimana mestinya."

   Thian Lee Hwesio memandang penasaran, akan tetapi tentu saja dia tidak berani membantah kehendak ketuanya, mengangguk dan mengundurkan diri untuk memimpin para anak buah Siauw-lim-pai untuk mengubur dua jenazah maling itu. Diam-diam hwesio tua ini merasa tidak puas dan penasaran sekali. Boleh jadi Kwi-eng-pai merupakan perkumpulan kaum sesat yang amat terkenal dan ditakuti, apalagi ketuanya yang berjuluk Kwi-eng Niocu (Nona Bayangan Hantu) yang kabarnya menjadi seorang di antara datuk-datuk kaum hitam di waktu itu. Akan tetapi Siauw-lim-pai juga sebuah perkumpulan bersih yang amat besar. Kalau sampai terdengar dunia kang-ouw betapa Siauw-lim-pai dihina, pusakanya dicuri oleh orang Kwi-eng-pai tanpa berani membalas atau mencari, bukankah Siauw-lim-pai akan ditertawakan orang dan para tokoh Siauw-lim-pai dianggap penakut?

   Betapapun juga, Thian Lee Hwesio masih tidak berani membantah kehendak suhengnya yang menjadi ketua, dan hanya menanti kesempatan baik untuk merebut kembali pedang dan hio-louw pusaka Siauw-lim-pai yang dicuri orang itu. Adapun Thian Kek Hwesio yang maklum bahwa kini di dunia kang-ouw timbul pertentangan dan persaingan antara mereka yang pro dan anti pemerintah, bersikap bijaksana. Tidak saja dia ingin mentaati pesan gurunya yang berdiam di Ruangan Kesadaran, dan yang kini menggembleng sutenya yang termuda, Si Bekas Kacung itu, akan tetapi juga Ketua Siauw-lim-pai yang bijaksana ini tidak mau melibatkan Siauw-lim-pai ke dalam gelanggang pertentangan hanya karena dua buah pusaka saja. Kalau dia atau Thian Lee Hwesio atau para tokoh Siauw-lim-pai yang lain maju menyerbu Kwi-eng-pai, tentu berarti melibatkan Siauw-lim-pai ke dalam pertentangan.

   Sebaliknya kalau kacung yang kini digembleng suhunya itu yang kelak menyerbu, karena bocah itu bukan jadi anggauta Siauw-lim-pai resmi, tidak ada hubungannya dengan Siauw-lim-pai, tentu Siauw-lim-pai akan bebas dari libatan permusuhan. Lima tahun lewat dengan amat cepatnya. Di dalam Ruang Kesadaran yang terletak di bagian belakang kompleks bangunan Kuil Siauw-lim-si terasing dari dunia luar, Kun Liong digembleng setiap hari oleh Tiang Pek Hosiang yang sudah menjadi makin tua. Selama lima tahun itu Kun Liong hanya menerima dua macam ilmu yang amat tinggi, yaitu Ilmu Silat Im-yang Sin-kun yang dapat dipergunakan untuk main silat tangan kosong maupun dengan sepasang senjata apa saja, dan ilmu sin-kang yang disebut Pek-in-ciang (Tangan Awan Putih), sin-kang yang amat lembut namun memiliki kekuatan yang amat dahsyat.

   

Pedang Kayu Harum Eps 40 Pedang Kayu Harum Eps 17 Pedang Kayu Harum Eps 11

Cari Blog Ini