Ceritasilat Novel Online

Pusaka Pulau Es 4


Pusaka Pulau Es Karya Kho Ping Hoo Bagian 4



"Teng kauwsu (Guru Silat Teng), mohon di kasihani, harap jangan berkelahi di dalam rumah makan kami dan menghancurkan segalanya. Kami sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan peristiwa tadi dan kami sama sekali tidak bersalah...."

   Guru silat yang berjuluk Pek-houw-eng dan menjadi kepala dari Pek-houw Bu-koan itu. mendengus.

   "Hemmm, mana perempuan yang telah menghina murid-murid kami itu?"

   "Ia masih makan di dalam, Teng"kauwsu. Akan tetapi harap Kauwsu suka bersabar dan menanti sampai ia keluar. Kasihanilah tamu-tamu lain yang tidak bersalah dan jangan merusak rumah ma"kan kami."

   "Hemmm, baiklah. Hei, kalian jaga di empat sudut, jangan biarkan perempuan itu meloloskan diri!"

   Perintahnya kepada anak buahnya dan dia sendiri men jaga di depan pintu pekarangan rumah makan itu. Para tamu lain yang melihat kedatangan rombongan itu, menjadi ketakutan. Mereka segera membayar harga makanan dan bergegas meninggalkan tempat itu, takut, terlibat. Kwi Hong melihat hal ini, akan tetapi ia tetap tenang. dan melanjutkan makannya. Ia melihat semua tamu telah pergi, kecuali seorang pemuda berpakaian sederhana yang duduk di meja tengah ruangan itu. Ia tidak peduli.

   Setelah selesai makan, Ia menyeka mulutnya dan memanggil pelayan. Dengan sikap seenaknya ia membayar harga makanan, barulah ia melenggang keluar dari rumah makan itu. Keng Han mengikutinya dengan pandang mata dan akhirnya dia membayar pula harga makanan dan menyelinap keluar. Karena memang sudah dinanti, begitu keluar dari rumah makan yang sudah sunyi itu, Kwi Hong telah datang dihadang oleh Pek-houw-eng Teng Coan bersama tiga puluh orang muridnya! Guru silat itu tercengang juga. Tak disangkanya bahwa perempuan yang telah menghina dan menghajar tiga orang muridnya itu adalah seorang gadis yang cantik jelita dan masih remaja! Paling banyak tujuh belas tahun usianya! Akan tetapi karena sudah terlanjur, dia harus tetap menjaga nama dan kehormatan Pek-houw Bu-koan!

   "Nona, berhenti dulu!"

   Bentak Teng Coan ketika melihat Kwi Hong melangkah terus tanpa mempedulikan dia dan para muridnya, dan sengaja dia menghadang di depan gadis itu. Kwi Hong mengangkat muka memandang seolah baru sekarang ia melihat ada orang menghadangnya.

   "Hemmm, siapakah engkau dan mau apa engkau menahan perjalananku?"

   Tanyanya dengan sikap acuh tak acuh.

   "Nona, benarkah engkau yang tadi telah menghina dan memukuli tiga orang murid kami?"

   "Hemmm, kalau memang betul, mengapa?"

   "Nona, engkau terlalu kejam. Tanpa alasan yang kuat engkau melukai murid"murid kami, akan tetapi melihat bahwa engkau hanya seorang gadis remaja, maka biarlah aku akan habiskan urusan itu kalau saja engkau suka mohon maaf sambil berlutut di depan kakiku!"

   Guru silat itu merasa tidak enak sendiri kalau harus berkelahi dengan seorang gadis remaja, maka dia hendak menghapus penghinaan itu dengan balas menghina dara itu. Kalau dara itu mau berlutut dan minta maaf, dia pun sudah akan puas dan semua orang tentu akan melihat dan membicarakannya. Akan tetapi Kwi Hong mengerutkan alisnya.

   "Apa katamu? Aku berlutut minta maaf kepadamu? Jadi engkau guru mereka? Sepatutnya engkau yang mintakan maaf bagi mereka kepadaku. Tahukah engkau apa sebabnya aku menghajar tiga orang muridmu? Semua orang melihatnya betapa mereka bertiga itu bersikap kurang ajar kepadaku, maka aku mewakilimu untuk menghajarnya! Sepatutnya engkau menghaturkan terima kasih dan mohon maaf, kepadaku!"

   Keng Han yang menonton pertemuan itu hampir tertawa bergelak mendengar ucapan itu. Gadis itu benar-benar hebat. Selain tabah dan berani, ternyata juga amat pandai bicara dan bicaranya tidak ngawur! Akan tetapi kepala perguruan silat itu menjadi merah mukanya dan dia menggertak,

   "Nona, engkau masih tidak mau minta maaf? Lihatlah, tiga puluh orang muridku siap untuk membalaskan dendam saudara mereka. Apakah engkau tidak takut? Cepatlah minta maaf agar urusan ini segera beres dan habis."

   "Kalau engkau dan mereka itu datang untuk membela orang-orang yang bersalah, aku sama sekali tidak takut, bahkan kalian semua ini patut dihajar karena membela yang salah!"

   Kwi Hong marah.

   "Bagus, engkau ternyata keras kepala dan sombong, sudah sepatutnya aku menghajarmu!"

   Teriak guru silat itu agar semua orang mendengar bahwa dia terpaksa melawan seorang gadis remaja karena gadis itu sombong dan tidak mau minta maaf.

   Setelah berkata demikian dengan gerakan sembarangan saja tangannya menampar ke arah pundak gadis itu. Bagaimanapun juga, Teng Coan bukan penjahat, bahkan julukannya adalah Pendekar Harimau Putih, maka dia menganggap dirinya seorang pendekar sejati. Dia tidak menyerang dengan sungguh"sungguh, maksudnya cukup asal menjatuhkan gadis itu saja untuk menghukumnya. Akan tetapi dia kecelik kalau mengira dengan satu tamparan dapat mengalahkan Kwi Hong. Dengan amat mudahnya Kwi Hong menarik pundaknya ke belakang sehingga tamparan itu mengenai angin kosong saja. Melihat tamparannya dapat dielakkan dengan mudah, Teng Coan menjadi penasaran dan kembali tangan kirinya menampar, kini lebih cepat dan kuat ditujukan ke arah muka gadis itu.

   "Wuuuttttt....!"

   Kembali tamparannya mengenai tempat kosong karena dengan mudah dielakkan oleh Kwi Hong yang menggeser kakinya ke kiri lalu tangannya bergerak cepat membalas serangan lawan dengan tonjokan ke arah dada guru silat itu. Kwi Hong tidak me"mandang rendah lawan, maka tonjokannya tidak dilakukan dengan setengah tenaga melainkan dengan cepat dan amat kuat. Melihat ini. Teng Coan cepat menarik tangannya dan sambil miring ke kiri dia menggunakan tangan kanan untuk me"nangkis pukulan Kwi Hong. Dia mengerahkan seluruh tenaganya dengan maksud membuat pukulan itu bukan hanya tertangkis, akan tetapi agar gadis itu terdorong dan lengannya terasa sakit bertemu dengan lengannya sendiri.

   "Dukkkkk....!"

   Dua buah lengan tangan bertemu, lengan tangan yang bertulang besar dan berotot kekar melawan lengan tangan yang bertulang kecil dan berkulit putih halus seolah tidak berotot.

   Akan tetapi akibatnya sungguh amat mengherankan. Tubuh guru silat itu terhuyung ke belakang sedangkan Kwi Hong tetap berdiri tegak sambil tersenyum! Kini anak buah atau murid-murid Teng Coan sudah tidak sabar lagi. Dengan senjata golok dan pedang di tangan, mereka maju mengeroyok. Melihat ini, Teng Coan tidak melerai bahkan dia pun menghunus pedangnya. Karena menghadapi banyak orang yang memegang senjata tajam, Kwi Hong melompat jauh ke belakang sambil mengerahkan kedua tangannya ke punggung dan di lain saat kedua tangannya sudah memegang sepasang pedang yang berkilauan saking tajamnya. Para penonton menjadi panik melihat mereka semua sudah memegang senjata tajam.

   Banyak yang menjauhkan diri dan memandang dengan ngeri dan khawatir akan keselamatan gadis cantik itu. Akan tetapi, begitu Kwi Hong menggerakkan sepasang pedangnya menyambut serbuan para murid Pek-houw-bukoan, terdengar jerit-jerit kesakitan dan tiga orang sudah roboh dan terluka. Ada yang pundaknya, ada yang pangkal lengannya, ada pula yang pahanya terserempet pedang di tangan Kwi Hong yang amat lihai itu. Keng Han yang melihat itu, tidak mengkhawatirkan Kwi Hong. Melihat gerakan sepasang pedang itu, maklumlah dia bahwa gadis itu memang lihai bukan main dan tidak akan kalah biarpun dikeroyok banyak orang. Akan tetapi karena pengeroyoknya terlampau banyak, mungkin saja gadis itu akan melakukan banyak pembunuhan dan inilah yang dikhawatirkannya.

   "Nona, jangan membunuh orang!"

   Teriaknya dan Keng Han melompat maju. Kaki tangannya bergerak dan para pengeroyok itu berpelantingan seperti diamuk badai. Mereka hanya merasa ada hawa yang mendatangkan angin demikian kuatnya sehingga mereka semua terdorong ke belakang dan terjengkang bergulingan!

   Sementara itu, Kwi Hong sudah bertanding melawan guru silat Teng Coan. Akan tetapi baru sekarang Pek-houweng Teng Coan menyadari betapa lihainya gadis itu. Sepasang pedang itu menutup semua lubang dan sebaliknya dapat menyerang dari arah manapun sehingga dia yang menjadi repot harus melindungi dirinya dari serangan sepasang pedang yang baginya seolah-olah telah berubah menjadi lima buah banyaknya itu! Dan bayangan pedang-pedang yang menyerangnya itu saling mendukung, susul menyusul datangnya seperti rangkaian yang tidak pernah putus! Belum sampai dua puluh jurus, setelah dengan susah payah dia melindungi tubuhnya, akhirnya pedang kiri Kwi Hong mengenai pundak kanannya sehingga tangan kanannya menjadi lumpuh dan pedangnya terlepas dari pegangan.

   "Singgg....!"

   Tahu-tahu sepasang pedang di tangan Kwi Hong telah menyilang di lehernya sehingga dia tidak mampu bergerak karena bergerak berarti lehernya akan terluka.

   "Nah, perintahkan semua muridmu untuk mundur!"

   Bentak Kwi Hong kepada Teng Coan. Guru silat ini dengan muka sebentar pucat sebentar merah saking malunya, melirik dan melihat betapa para muridnya itu sedang diamuk seorang pemuda dengan tamparan dan tendangan.

   "Semua murid, hentikan serangan!"

   Bentaknya dan para murid Pek-houw"bukoan segera berlompatan ke belakang. Mereka memang sudah jerih melihat sepak terjang pemuda yang tiba-tiba muncul membantu Kwi Hong itu. Dan kini mereka melihat betapa guru mereka sudah dikalahkan gadis itu, maka semangat mereka hilang. Keng Han menghampiri guru silat itu dan berkata dengan suara halus namun mengandung teguran,

   "Engkau adalah pemimpin perguruan, sepatutnya engkau dapat mengajarkan kesusilaan dan sopan santun kepada para muridmu di samping ilmu silat. Ilmu silat bukan untuk main ugal-ugalan dan menang-menangan sendiri. Tiga orang muridmu itu tadi bersikap kurang ajar terhadap Nona ini dan akulah seorang di antara para saksi yang berada di dalam rumah makan. Engkau baru dapat disebut orang gagah kalau mau mengakul kesalahanmu, maka suruhlah murid-muridmu tadi minta ampun kepada Nona ini!"

   Pek-houw-eng Teng Coan menyadari kesalahannya. Dia terburu nafsu mendengarkan laporan tiga orang muridnya. Sekarang baru dia bertemu batunya, menghadapi gadis remaja saja dia kalah.

   "Hayo kalian bertiga cepat maju ke sini!"

   Bentaknya kepada para muridnya. Tiga orang murid yang tadi membuat kekacauan di rumah makan maju dengan sikap takut. Kwi Hong sendiri sudah menyimpan pedang dan ia memandang kepada pemuda sederhana itu dengan heran dan kagum. Ia juga dapat melihat betapa pemuda itu dengan tangan kosong telah merobohkan belasan orang murid tanpa melukai mereka. Tentu pemuda itu memiliki ilmu kepandaian yang hebat. Setelah tiga orang murid itu mendekat, Teng Coan lalu menggerakkan tangannya, tiga kali menampar dan tiga orang muridnya itu terpelanting.

   "Hayo cepat berlutut dan minta maaf kepada Nona ini!"

   Kata Teng Coan, kini kemarahannya sepenuhnya ditujukan kepada tiga orang murid itu yang menimbulkan gara-gara sehingga dia mendapat malu di depan banyak orang. Kalau bukan karena ulah tiga orang murid itu tentu dia tidak sampai terlihat orang"orang dikalahkan oleh seorang gadis remaja! Tiga orang murid itu merangkak ke depan kaki Kwi Hong dan memberi hormat sambil berlutut.

   "Nona, kami mohon maaf atas kesalahan kami!"

   Kata mereka. Kwi Hong tersenyum.

   "Sudah, bangkitlah. Aku tahu bahwa kebanyakan orang muda memang ugal-ugalan. Akan tetapi kalian jangan sekali-kali menggoda wanita. Sepatutnya orang-orang yang belajar silat seperti kalian malah menjadi pelindung dan pembela wanita dari gangguan orang jahat. Apakah kalian ingin menjadi orang jahat yang suka mengganggu wanita?" '

   "Tidak, tidak...., Nona."

   Kata mereka serempak.

   "Bagus, kalian harus menjadi pendekar"pendekar yang sejati, yang menghormati wanita dan membela mereka sebagaimana patutnya seorang pendekar yang menentang si jahat dan melindungi si lemah. Nah, sudahlah, kuhabiskan urusan sampai di sini!"

   "Terima kasih, Nona."

   Tiga orang itu bangkit berdiri dan mundur ke tempat kawan-kawannya. Pek-houw-eng Teng Coan juga memberi hormat kepada Kwi Hong dan Keng Han.

   "Hari ini aku Teng Coan menerima pelajaran dari Ji-wi, untuk itu kami menghaturkan terima kasih dan mulai hari ini, aku akan meneliti kelakuan murid-murid perguruan dan kami bertindak sesuai dengan nasihat Ji-wi (Kalian berdua)."

   Setelah berkata demikian, dengan sikap bengis dia membentak para muridnya untuk kembali ke perguruan dan tempat itu kembali sepi. Para penonton juga bubaran dan tentu saja Kwi Hong menjadi bahan pembicaraan mereka. Setelah melihat tindakan Kwi Hong yang gagah, beberapa orang di antara mereka teringat akan pendekar wanita yang berjuluk Si Bangau Emas. Bukankah gadis itu memakai perhiasan bangau emas di rambutnya.

   "Si Bangau Emas, ia tentu Si Bangau Emas yang terkenal gagah dan pemberantas kejahatan!"

   Demikian segera tersiar berita itu dan nama Si Bangau Emas, semakin dikagumi orang. Sementara itu, Kwi Hong memandang kepada Keng Han. Seorang pemuda yang tampan dan gagah, pikirnya, dan amat sederhana. Kebetulan Keng Han juga se"dang memandang kepadanya. Dua pasang mata yang bersinar tajam saling bertemu dan bertaut sejenak, lalu Kwi Hong mem"bungkuk dan berkata.

   "Terima kasih atas bantuanmu, Sobat!"

   "Tidak perlu berterima kasih, Nona. Aku tahu bahwa tanpa dibantu sekalipun Nona akan mampu menghajar mereka semua, akan tetapi melihat demikian banyaknya orang pria mengeroyok seorang gadis, bagaimana aku dapat tinggal diam? Terpaksa aku mencampuri, Nona."

   "Ah, tidak mengapa. Aku melihat ilmu silatmu amat hebat, Sobat. Bolehkah aku mengetahui siapa namamu dan dari perguruan silat manakah engkau?"

   Keng Han tidak ingin memperkenalkan diri sebagai seorang she Tao, putera pangeran mahkota!. Dia akan merahasiakan keadaan dirinya itu sampai dia dapat bertemu ayahnya.

   "Aku bernama Keng Han...., Si Keng Han, dan guruku adalah seorang hwesio perantauan dari Tibet. Dan engkau sendiri, bolehkah aku mengetahui siapa namamu, Nona? Dan siapa pula gurumu? ilmu sepasang pedang yang kau mainkan itu demikian hebat, tentu suhumu seorang yang amat terkenal pula."

   Seperti juga Keng Han, Kwi Hong tidak ingin orang mengenalnya sebagai puteri Pangeran Mahkota Tao Kuang. Ia tidak ingin menarik perhatian orang. Kebetulan namanya Kwi Hong nama Kwi itu boleh dipakai sebagai nama marga.

   "Namaku Kwi Hong, dan guruku adalah kakekku sendiri. Ilmu silatku biasa saja, tidak dapat dibandingkan dengan kepandaiamu, Saudara Keng Han. Atau bolehkah aku menyebutmu Han-koko saja. Bukankah kita telah menjadi kenalan dan sahabat sekarang?"

   Girang sekali hati Keng Han. Gadis ini selain tabah, lihai ilmu silatnya, lihai pula bicaranya, juga wataknya amat polos! Sungguh watak yang menyenangkan sekali.

   "Tentu Saja dan aku pun tentu boleh menyebutmu Moi-moi saja, karena aku yakin bahwa engkau jauh lebih muda dari padaku."

   "Hik-hik-hik, Han-ko. Engkau bicara seolah engkau ini telah menjadi kakek-kakek saja. Memang aku lebih muda darimu, akan tetapi kuyakin selisihnya tidak seberapa banyaknya. Berapa usiamu sekarang?"

   "Sudah hampir dua puluh satu tahun, Nona....eh, Hong-moi."

   "Nah, dan aku sudah hampir delapan belas tahun! Selisihnya hanya sedikit saja, tiga tahun. Eh, Han-ko, sebetulnya engkau hendak ke manakah dan datang dari mana?"

   Pertanyaan ini lebih lagi tidak dapat dijawab sejujurnya oleh Keng Han. Tidak mungkin dia menceritakan bahwa dia datang dari Pulau Hantu dan kini hendak pergi mencari ayahnya. Pangeran Mahkota.

   "Aku adalah seorang perantau, Hong-moi. Aku sedang menuju ke kota raja untuk mencari pengalaman dan meluaskan pengetahuan. Aku belum pernah ke sana dan aku mendengar hahwa kota raja amat besar dan indah."

   "Ah, kebetulan sekali, aku pun hendak pergi ke kota raja. Kita dapat melakukan perjalanan bersama, Han-ko."

   "Aih, apakah engkau.... tidak me"rasa....janggal, Hong-moi? Melakukan perjalanan bersama Seorang pemuda seperti aku yang sama sekali asing bagimu? Apa akan kata orang nanti?"

   "Peduli amat dengan pendapat orang, Han-ko. Kalau aku terlalu mempedulikan pendapat orang lain, tidak mungkin aku dapat berkelana seperti ini seorang diri. Aku selalu meneliti langkah sendiri, ka"lau aku tidak melakukan sesuatu yang tidak besar, habis perkara. Orang lain boleh menilai bagaimanapun sesuka perut mereka, aku tidak peduli. Kita telah berkenalan, kita telah menjadi sahabat, sama-sama menghadapi orang-orang yang sesat jalan. Nah, bukankah kita tidak asing lagi satu sama lain? Atau.... engkau yang tidak suka melakukan perjalanan bersamaku, Han-ko?"

   Keng Han menghela napas panjang. Tepat dugaannya, gadis ini seorang yang polos dan keras hati. Tentu gadis ini minggat dari rumahnya karena kalau terang-terangan, tentu orang tuanya tidak akan mengijinkannya merantau seorang diri seperti itu!

   "Hong-moi, bagaimana aku dapat tidak suka melakukan perjalanan bersamamu? Tentu saja aku suka sekali, apalagi engkau dapat menjadi penunjuk jalan. Aku tadi ragu hanya karena mengingat akan dirimu, jangan sampai engkau menjadi celaan orang."

   "Biarkan saja orang mencelaku, asal tidak di depanku. Kalau ada yang berani mencela di depanku, tentu akan kutampar mulutnya sampai semua giginya copot. Han-ko, yang penting adalah kita sendiri, bukan? Kalau kita berdua melakukan perjalanan dengan sewajarnya, sebagai dua orang sahabat yang saling menghormati dan saling menghargai, tidak melakukan sesuatu yang melanggar susila, siapa yang akan berani mencela?"

   Bukan main kagumnya hati Keng Han, seorang gadis yang masih begini muda, akan tetapi pengetahuannya tentang kehidupan dan tentang kemanusiaan demikian mendalam. Tentu seorang gadis yang amat terpelajar, di samping ahli silat yang pandai.

   "Engkau benar, Hong-moi. Mendengar pendapatmu, aku menjadi tidak ragu lagi, dan bahkan besar dan bangga hatiku mendapatkan seorang sahabat yang masih muda akan tetapi demikian bijaksana sepertimu. Nah, mari kita berangkat, Hong-moi. Mana jalan yang menuju ke kota raja?"

   "Kita keluar dari pintu gerbang utara dan terus menuju ke utara, tentu akan sampai ke kota raja, Han-ko. Mari kita berangkat."

   Mereka lalu berangkat meninggalkan Tung-san melalui pintu gerbang utara. Ternyata perjalanan itu melalui daerah pegunungan yang sunyi. Baru kurang lebih sepuluh li mereka berjalan, tiba-tiba dari depan datang seorang petani berlari-lari dan nampak ketakutan. Keng Han menghadang dan bertanya.

   "Paman, ada apakah Paman berlari-lari seperti orang ketakutan?"

   "Ah, orang muda, jangan pergi ke sana. Aku melihat perkelahian antara orang-orang yang berkepala gundul dan berjubah merah. Tiga orang mengeroyok seorang dan agaknya mereka hendak membunuhnya. Aku menjadi ketakutan ah, jangan-jangan mereka akan mengejarku pula....!"

   Orang itu berlari lagi ketakutan.Mendengar ini, Keng Han menjadi tidak enak hati. Tiga orang gundul berjubah merah mengingatkan dia akan tiga orang pendeta Lama yang pernah mencari gurunya,
(Lanjut ke Jilid 04)
Pusaka Pulau Es (Seri ke 17 - Serial Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 04
Gosang Lama, yang berkepandaian amat tinggi sehingga ketika dia memukulnya, tangannya sendiri merasa kesakitan dan sekali dorong saja seorang di antara mereka merobohkannya! Jangan-jangan yang dimaksudkan petani tadi adalah tiga orang pendeta Lama itu dan yang dikeroyok adalah gurunya!

   "Mari kita ke sana!"

   Katanya dan dia pun berlari cepat, dikejar oleh Kwi Hong.

   "Tunggu aku, Han-ko!"

   Teriak gadis itu yang mengejar dengan secepatnyd sehingga ia dapat menyusul Keng Han. Tak lama kemudian mereka melihat tiga orang berpakaian pendeta berjubah merah sedang mengeroyok seorang kakek yang berpakaian biasa seperti seorang petani yang kepalanya botak hampir gundul. Ketika mereka tiba di situ kakek yang dikeroyok itu agaknya sudah terluka parah dan sempoyongan hampir roboh. Melihat ini Kwi Hong yang penasaran melihat seorang dikeroyok tiga, sudah menerjang maju dan membentak.

   "Pengecut-pengecut tidak tahu malu! Mengeroyok seorang tua!"

   Dan ia menyerang pendeta terdekat. Pendeta itu menangkis serangannya. Dukkk....!"

   Dan tubuh Kwi Hong terhuyung ke belakang. Ia merasa terdorong oleh tenaga yang kuat sekali ketika lengannya tertangkis tadi. Maklum bahwa ia berhadapan dengan orang pandai, Kwi Hong lalu mencabut sepasang pedangnya dan menyerang pendeta itu dengan ilmu Ngo-heng-kiam. Pendeta itu terkejut melihat kehebatan serangan sepasang pedang dan menggunakan lengan bajunya yang lebar untuk menangkis sam"bil mundur. Sementara itu, Keng Han melihat bahwa kakek yang terluka parah itu adalah Gosang Lama. Dia cepat menyambar tubuh yang hampir roboh itu.

   "Suhu....!"

   Teriaknya.

   "Keng Han...., pergilah.... mereka lihai sekali. Larilah!"

   Kata Gosang Lama ketika melihat muridnya. Akan tetapi Keng Han segera merebahkan gurunya dan meloncat berdiri. Ketika memutar tubuhnya, dia melihat betapa Kwi Hong sudah bertanding melawan seorang pendeta jubah merah kotak-kotak, sedangkan dua pendeta lain hanya menonton. Dia menjadi marah sekali dan meloncat ke depan dua orang pendeta yang menonton pertandingan itu.

   "Pendeta-pendeta keparat dan kejam!"

   Bentaknya dan karena dia maklum bahwa mereka adalah orang-orang yang tangguh sekali maka dia lalu menyerang dengan pukulan yang dilatihnya di Pulau Hantu. Tangan kanannya memukul dengan kan"dungan hawa yang amat panas sedangkan tangan kirinya memukul dengan kandungan hawa yang amat dingin. Melihat pemuda itu memukul dan ada angin menyambar dahsyat, dua orang pendeta itu terkejut dan cepat menangkis dengan tangan mereka.

   "Wuuuuuttt.... desssss....!"

   Pertemuan tenaga itu hebat sekali dan akibatnya dua orang pendeta itu terjengkang dan terbanting.

   Yang seorang merasa seluruh tubuhnya dilanda hawa panas sekali dan yang kedua merasa seluruh tubuhnya dilanda hawa yang amat dingin. Mereka tidak terluka parah akan tetapi terkejut bukan main. Seorang pemuda dapat menggunakan pukulan berlawanan dalam satu saat sungguh luar biasa sekali! Dan mereka pernah dengar bahwa ilmu-ilmu tangguh seperti itu hanya di"miliki oleh pendekar keluarga Pulau Es! Mereka menjadi jerih dan dalam bahasa Tibet mereka memanggil teman yang bertanding melawan Kwi Hong untuk melarikan diri. Pemuda itu terlalu tang"guh, apalagi di situ masih terdapat Kwi Hong yang memiliki ilmu sepasang pedang yang hebat. Mereka lalu melarikan diri dengan cepat, jubah mereka berkibar di belakang mereka. Keng Han hendak mengejar, akan tetapi dia mendengar suara gurunya mengeluh,

   "Keng Han, jangan....!"

   Mendengar suara gurunya ini, Keng Han tidak jadi mengejar dan berlutut di samping tubuh gurunya. Ternyata Gosang Lama telah terluka parah sekali, napasnya terengah-engah. Melihat keadaan gurunya ini Keng Han mencoba untuk membantunya dengan menempelkan kedua tangan di dada gurunya dan mengerahkan sinkangnya. Akan tetapi tiba-tiba mata Gosang Lama mendelik dan napasnya makin ngos-ngosan! Keng Han terkejut dan segera menghentikan pengerahan tenaganya. Bagaimana napas Gosang Lama tidak akan menjadi terengah-engah kalau ada dua hawa yang berlawanan memasuki tubuhnya yang sudah terluka parah

   "Ah, Suhu. Bagaimana keadaanmu?"

   Dia mengguncang pundak kakek yang usianya sudah tujuh puluh tahun itu. Gosang Lama hanya menggeleng kepalanya dan mulutnya hanya dapat mengeluarkan suara berbisik. Keng Han mendekatkan telinganya dan mengerahkan pendengarannya untuk menangkap pesan terakhir itu.

   "Semua ini.... gara-gara.... Dalai Lama...., Keng Han, kau bunuh Dalai Lama untuk membalas dendamku.... kemudian kau hancurkan Bu-tong-pai.... itu juga musuh besarku.... ada puteraku....Gulam Sang temui dia, ajak kerjasama.... aku.... aku...."

   Kepala itu terkulai dan Gosang Lama telah menghembuskan napas terakhir, membawa semua rahasia hidupnya bersamanya.

   "Suhu....!"

   Keng Han menangis sambil memeluk tubuh yang masih hangat itu. Sebuah tangan yang halus menyentuh pundaknya.

   "Han-ko, yang sudah mati tidak ada gunanya ditangisi lagi. Suhumu sudah meninggal, sebaiknya diurus jenazahnya."

   Ucapan ini menyadarkannya. Tadi dia menangis karena terharu. Selama lima tahun dia digembleng oleh kakek ini dengan penuh kesungguhan hati dan kakek inilah satu-satunya gurunya. Teringat akan kebaikan kakek itu maka dia tadi terharu dan menangis. Ucapan Kwi Hong menyadarkannya dan dia berhenti menanis. Dia menghapus air matanya, menoleh kepada Kwi Hong dan berkata, suaranya sudah tenang lagi.

   "Engkau benar, Hong-moi. Aku terlalu lemah tadi."

   Dengan dibantu oleh Kwi Hong, Keng Han menggali lubang dan mengubur jenazah Gosang Lama dengan sederhana dan khidmat. Setelah itu dia berlutut di depan makam gurunya sambil berjanji,

   "Suhu, teecu akan melaksanakan semua perintah Suhu."

   Kwi Hong mengerutkan alisnya mendengar ucapan Keng Han ini.

   "Han-ko, pesan terakhir suhumu itu sungguh luar biasa sekali."

   Keng Han menoleh kepada gadis itu.

   "Luar biasa? Apanya yang luar biasa? Suhu menyuruh aku membasmi musuh"musuh besarnya yang telah berlaku jahat kepadanya."

   "Pertama, agaknya suhumu itu juga seorang pendeta. Seorang pendeta memesan kepada muridnya untuk membalas dendam! Sungguh luar biasa dan aneh sekali. Biasanya seorang pendeta bahkan melarang muridnya mengandung dendam di hati. Dan kedua kalinya, pesan itu sungguh amat tidak mungkin kaulakukan, Han-ko."

   "Tidak mungkin?"

   Keng Han mengerutkan alisnya.

   "Kenapa tidak mungkin, Hong-moi?"

   Dia merasa penasaran sekali walaupun alasan pertama tadi juga men"jadi bahan pemikirannya. Dia pun sudah banyak membaca kitab agama yang melarang adanya dendam di hati, akan tetapi mengapa suhunya malah menyuruh dia membalas dendam? Akan tetapi tidak mungkin dia mengingkari janjinya kepada suhunya sendiri!

   "Tidak mungkin karena permintaan suhumu itu luar biasa beratnya. Kau tahu siapa itu Dalai Lama?"

   Keng Han menggeleng kepalanya. Memang dia belum pernah membaca atau mendengar tentang Dalai Lama.

   
Pusaka Pulau Es Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Belum pernah. Siapa sih dia?"

   "Dalai Lama adalah pendeta kepala dari para pendeta Lama di Tibet. Kekuasaannya besar sekali, bahkan melebihi kekuasaan raja. Dan di Tibet terdapat banyak sekali pendeta berilmu tinggi yang tentu akan melindungi Dalai Lama. Kurasa engkau tidak akan dapat menyentuh sehelai rambut pun dari Dalai Lama. Beliau sendiri merupakan seorang yang amat tinggi ilmunya. Bagaimana mungkin engkau melaksanakan tugas yang amat berbahaya itu?"

   "Bagaimana besar pun bahayanya, tugas yang diberikan oleh suhu harus kulaksanakan, Hong-moi. Aku tidak takut!"

   Kata Keng Han dengan suara tegas.

   "Hemmm, dan tugas kedua lebih aneh lagi."

   "Membasmi Bu-tong-pai yang menjadi musuh besar suhu? Apa anehnya? Kalau mereka itu musuh besar suhu memang harus dibasmi!"

   "Tahukah engkau siapa Bu-tong-pai itu, Han-ko?"

   "Yang pernah kudengar, Bu-tong-pai adalah satu di antara perguruan-perguruan silat yang terkenal."

   "Bukan hanya terkenal karena ilmu silatnya, melainkan lebih terkenal lagi bahwa murid-murid Bu-tong-pai merupakan pendekar-pendekar yang gagah perkasa dan pembela kebenaran dan keadilan. Bu-tong-pai adalah perkumpulan para pendekar. Bagaimana engkau disuruh untuk membasminya? Sungguh heran sekali aku. Kalau gurumu itu musuh besar Bu-tong-pai, maka...."

   Kwi Hong tidak mau melanjutkan kata-katanya karena dia tidak ingin menyinggung perasaan hati Keng Han.

   "Maka bagaimana, Hong-moi? Engkau hendak bilang bahwa guruku yang berada di pihak yang salah?"

   "Mungkin saja, karena Bu-tong-pai selalu menentang kejahatan dan tidak pernah murid mereka melakukan kejahatan."

   "Apapun alasannya, kalau mereka itu musuh besar suhu, harus kulaksanakan janjiku kepada suhu untuk membasmi mereka!"

   Kata Keng Han berkeras.

   "Jangan, Han-ko. Engkau mempertaruhkan nyawamu!"

   "Tidak sudah sepatutnyakah budi kebaikan guru dibalas dengan taruhan nyawa?"

   "Han-ko...."

   Kwi Hong merasa bingung sekali. Dara ini mengkhawatirkan Keng Han, pemuda yang menarik perhatiannya dan yang mendatangkan suatu perasaan aneh di dalam hatinya. Ia merasa sayang sekali kalau sampai Keng Han menderita celaka dalam tugasnya itu, apalagi memusuhi Bu-tong-pai! Pemuda itu dapat dianggap sebagai seorang penjahat! "Han-ko, urungkan niatmu itu! Marilah engkau pergi bersamaku ke kota raja....!"

   "Tidak, Hong-moi. Aku mengubah tujuan perjalananku. Aku sekarang juga harus pergi mencari Dalai Lama di Tibet!"

   "Akan tetapi perjalanan itu jauh sekali, Han-ko."

   "Aku tidak peduli."

   Dia bangkit berdiri.

   "Selamat tinggal, Hong-moi. Aku berangkat sekarang, juga."

   Dia lalu melompat pergi.

   "Han-ko....tunggu....!"

   Teriakan ini membuat Keng Han menahan larinya dan dia berhenti. Gadis itu mengejar dan menyusulnya.

   "Ada apa, Hong-moi?"

   "Han-ko, aku ikut denganmu!"

   Katanya dengan tegas, lupa sama sekali bahwa ia adalah puteri Pangeran Mahkota! "Aku akan ikut ke Tibet!"

   Benar-benar Kwi Hong sudah lupa diri dan lupa keadaan. Hasrat hatinya hanya ingin bersama pemuda itu, tidak ingin berpisah. Akan tetapi Keng Han masih memiliki kesadaran. Tidak mungkin dia membawa seorang gadis yang baru dikenalnya melakukan perjalanan sejauh itu. Apa akan kata orang tua gadis itu? Juga ini di luar kepantasan.

   "Tidak, Hong-moi. Ini adalah urusan pribadiku yang harus kuselesaikan sendiri. Aku tidak ingin engkau terbawa"bawa. Kalau sudah selesai tugasku, mungkin kita dapat bertemu kembali. Nah, selamat tinggal!"

   Dia menggunakan ilmunya berlari cepat sekali sehingga sebentar saja sudah lenyap dari pandang mata gadis itu. Dan tanpa disadarinya, kedua mata Kwi Hong menjadi basah! Ia merasa menyesal sekali. Pemuda sehebat itu menerima tugas seberat dan seaneh itu. Ia menoleh dan memandang kepada makam Gosang Lama.

   "Hemmm, aku sangsi apakah dia seorang baik-baik."

   Gumamnya, kemudian ia pun meninggalkan tempat itu menuju ke kota raja.

   Kita tinggalkan dulu Kwi Hong yang kembali ke kota raja dan Keng Han yang pergi ke Tibet dan mari kita menengok keadaan perkumpulan Thian-li-pang. Thian-li-pang terkenal sebagai sebuah perkumpulan para pendekar dan patriot yang diam-diam menghendaki kemerdekaan bagi nusa dan bangsanya, terbebas dari penjajahan bangsa Mancu. Perkum"pulan Thian-li-pang tadinya dibawa menyeleweng oleh seorang sesat, akan tetapi kemudian setelah dipegang oleh ketuanya yang sekarang, kembali ke jalan benar. Biarpun sama-sama menentang kekuasaan Mancu, Thian-li-pang tidak sudi bekerja sama dengan dua perkumpul"an lain yang dianggap sesat, yaitu Pek"lian-pai dan Pat-kwa-pai.

   Setelah dipegang oleh ketuanya yang sekarang, yaitu Yo Han, seorang pendekar yang terkenal dengan julukan Pendekar Tangan Sakti, perkumpulan itu menjadi makin besar dan maju, pusat perkumpulan ini berada di puncak Bukit Naga. Para murid Thian-li-pang memegang keras peraturan yaitu tidak boleh sembarangan membunuh, biar yang dibunuh pejabat pemerintah kerajaan Mancu sekalipun. Sasaran mereka bukan para pembesar yang baik, akan tetapi para pembesar yang melakukan penindasan terhadap rakyat jelata. Yo Han mengerti betul bahwa belum tiba saatnya untuk memberontak terhadap pernerintah Mancu. Keadaan pemerintah Mancu masih terlampau kuat.

   Bahkan banyak bangsa Han yang mendukungnya, termasuk perkumpulan-perkumpulan besar dan pendekar-pendekar sakti. Yo Han hanya memimpin para murid untuk bertindak sebagai pendekar-pendekar yang menegakkan kebenaran dan keadilan, menentang yang jahat dan melindungi yang lemah tertindas. Karena itu, pemerintah pun tidak melakukan usaha untuk membasminya sebagai pemberontak, karena tindakan para muridnya seperti para pendekar, bukan seperti pemberontak. Ketua Thian-li-pang yang bernama Yo Han adalah seorang pendekar besar yang namanya amat terkenal di seluruh dunia kang-ouw sebagai seorang pendekar sakti berjuluk Pendekar Tangan Sakti. Selain terkenal amat lihai, juga dia bijak"sana sekali. Pendekar yang satu ini pantang membunuh lawan,

   Bahkan para penjahat yang ditundukkannya selalu diberi nasihat agar kembali ke jalan benar dan tidak dibunuh. Oleh karena itu, banyak sekali penjahat besar yang berhutang budi kepadanya, telah kembali ke jalan benar karena sikap pendekar ini. Yo Han telah berusia hampir lima puluh tahun, akan tetapi dia masih nampak tampan dengan matanya yang bersinar tajam dan cerdik. Wajahnya ber"bentuk lonjong dengan dagu runcing berlekuk, kini ditumbuhi jenggot sedang yang sebagian sudah berwarna putih. Rambutnya yang panjang juga bercampur sedikit uban. Akan tetapi alisnya yang menghias dahinya yang lebar masih tetap hitam tebal. Hidungnya mancung dan mulutnya ramah sekali, selalu dihias senyum. Tubuhnya sedang saja, namun tegap berisi. Inilah ,pendekar sakti Yo Han yang menjadi ketua Thian-li-pang di Bukit Naga.

   Isterinya juga bukan orang sembarangan. Isterinya yang bernama Tan Sian Li, dahulunya ketika masih menjadi gadis sudah terkenal sebagai seorang pendekar wanita yang berjuluk Si Bangau Merah. Julukan ini karena pakaiannya yang selalu berwarna kemerahan dan juga karena ilmu silatnya yang khas, yaitu Ang"ho Sin-kun (Silat Sakti Bangau Merah). Biarpun tingkat ilmu kepandaiannya tidak sehebat suaminya, namun Tan Sian Li merupakan seorang wanita yang sukar dicari tandingnya. Wanita ini adalah campuran keturunan dari para Pendekar Gurun Pasir dan Pendekar Pulau Es bahkan juga pernah mempelajari ilmu pedang Liong-siauw Kiam-sut (Ilmu Pedang Suling Naga) dan menggunakan sebatang suling yang berselaput emas.

   Akan tetapi ilmu"nya yang paling diandalkan adalah Ang"ho Sin-kun yang ia pelajari dari ayahnya karena ayahnya adalah Pendekar Bangau Putih yang namanya juga amat terkenal di dunia kang-ouw puluhan tahun yang lalu. Kini usia Tan Sian L i sudah empat puluh tahun, tujuh tahun lebih muda dari suaminya. Dalam usianya yang empat puluh tahun, ia masih nampak cantik jelita. Wajahnya bulat telur dan kulitnya putih mulus. Matanya lebar,hidungnya mancung dan mulutnya selalu senyum mengejek dengan dihias lesung pipit di kanan kiri. Wataknya keras dan agak galak. Selain pandai ilmu silat, Tan Sian Li ini juga pernah mempelajari ilmu pengobatan tusuk jarum dari mendiang Yok-sian Lo-kai (Pengemis Tua Dewa Obat). Suami isteri ini hanya mempunyai seorang anak perempuan yang kini telah berusia delapan belas tahun.

   Puteri mereka ini diberi nama Yo Han Li, yaitu gabungan dari nama Yo Han dan Tan Sian Li. Dengan ayah dan ibu seperti itu, tentu saja Han Li amat cantik manis dan juga sejak kecil ia telah digembleng ilmu silat sehingga setelah berusia delapan belas tahun ilmu kepandaiannya sudah setingkat dengan ibunya! Namun, Han Li yang cantik ini berwatak pendiam dan anggun, tidak seperti ibunya yang dahulu lincah dan galak. Yo Han dan isterinya memimpin Thian-li-pang dengan bijaksana dan keras memegang peraturan sehingga para murid semua patuh dan tunduk. Tidak ada diantara mereka yang berani melanggar pantangan perkumpulan. Mereka tidak boleh mencari perkara, tidak boleh meng"ganggu rakyat, tidak boleh bermain judi, dan kalau bertemu lawan, tidak boleh membunuh.

   "Kita memang membenci kaum penjajah dan sudah menjadi cita-cita kita bersama untuk membebaskan rakyat kita dari cengkeraman penjajah. Akan tetapi kini belum saatnya. Kekuatan kita tidak ada artinya dibandingkan kekuatan kerajaan Mancu. Kalau saatnya sudah tiba dan dalam pertempuran dengan bangsa Mancu, larangan membunuh dengan sendirinya dihapus. Demi membela bangsa dan memerdekakan tanah air dari cengkeraman penjajah, kita harus berjuang mati-matian, dibunuh atau membunuh."

   Demikian antara lagi Yo Han memberi peringatan kepada para murid atau anggauta Thian-li-pang. Perguruan-perguruan lain amat menghormati Thian-li-pang dan terjalin hubungan baik antara Thian-li-pang dengan partai-partai besar seperti Siauw-lim-pai, Bu-tong-pai, Kun-lun-pai, Go-bi-pai dan lain-lain. Sudah beberapa kali Pek"lian-pai dan Pat-kwa-pai mencoba untuk menghubungi Thian-li-pang untuk bekerja sama memberontak,

   Akan tetapi Thian"li-pang selalu mengelak dan tidak bersedia bekerja sama dengan mereka. Yo Han mengenal benar mereka yang memimpin kedua partai ini. Mereka adalah orang-orang golongan sesat yang menggunakan kedok perjuangan untuk keuntungan mereka sendiri. Untuk membiayai perkumpulan mereka, Yo Han menyuruh para muridnya bekerja. Mereka membuka piauw-kiok (pengawal barang kiriman) dan juga menjadi penjaga-penjaga keamanan. Karena barang kiriman yang dikawal Thian-li"pang selalu aman dan tidak pernah diganggu penjahat, maka usaha mereka itu maju sekali dan hasilnya dapat untuk biaya perkumpulan mereka. Di samping itu, ada pula para murid yang bekerja sendiri, ada yang berdagang, ada yang menjadi karyawan, ada pula yang bertani.

   Yo Han sendiri membuka sebuah toko rempah-rempah dan isterinya suka menolong orang sakit dengan pengobatan tusuk jarum. Pada suatu hari, sebuah kereta yang mewah berhenti di depan rumah ketua Thian-li-pang ini. Para murid Thian-li"pang merasa heran karena kereta seperti itu tentu milik seorang bangsawan tinggi. Segera mereka melapor kepada ketua mereka dan mendengar ada kereta bangsawan datang Yo Han bersama isterinya segera keluar menyambut karena mereka sudah dapat menduga siapa yang datang berkunjung. Dari kereta itu turun seorang laki"laki bertubuh tegap, berusia empat puluh tiga tahun, bermuka bundar berkulit putih dengan mata tajam dan hidungnya agak besar, alisnya tebal dan mulutnya tersenyum-senyum. Di sampingnya turun pula seorang wanita yang usianya sebaya, anggun dan cantik,

   Tubuhnya masih ramping, juga wajahnya nampak berseri ketika melihat Yo Han dan Tan Sian Li keluar menyambut. Rambutnya digelung tinggi dan dihias dengan hiasan rambut dari emas permata. Wajahnya yang can"tik dan anggun itu agak dingin, akan tetapi senyumnya demikian manis sehingga dapat mengusir kesan dingin itu. Paling akhir keluar seorang pemuda bangsawan yang gagah dan tampan. Siapakah mereka ini yang menjadi tamu-tamu Thian-li-pang? Mereka memang keluarga bangsawan tinggi karena pria setengah tua itu bukan lain adalah Pangeran Cia Sun, seorang pangeran yang tidak penting kedudukannya di kota raja, karena ayahnya yaitu Pangeran Cia Yan hanya menjadi "anak angkat"

   Mendiang Kaisar Kiang Liong. Pangeran Cia Sun ini juga agaknya tidak terlalu membanggakan kedudukannya sebagai pangeran,

   Bahkan di waktu mudanya dia suka pergi berkelana di dunia kang-ouw. Dia memang pandai ilmu silat dan dia mengenal banyak pendekar dan tokoh kang-ouw. Bahkan dia pernah bersahabat baik dan mengangkat saudara dengan Yo Han. Pernah dia rnelakukan perjalanan petualangan di waktu mudanya dengan Yo Han sehingga hubungan mereka akrab sekali, pernah mengalami suka duka bersama dan menghadapi ancaman maut bersama! Wanita cantik anggun dingin itu adalah isterinya yang bernama Sim Hui Eng. Wanita ini juga bukan wanita sembarangan. Ketika masih muda, ia pernah menjadi puteri angkat ketua Lembah Ban"kwi-kok, yaitu ketua Pouw-beng-pai, juga sebuah perkumpulan sesat yang berkedok perjuangan melawan penjajah. Akan tetapi ternyata kemudian bahwa Sim Hui Eng ini adalah puteri dari Sim Houw dan Can Bi Lan,

   Sepasang suami isteri pendekar sakti yang hilang diculik orang ketika berusia tiga tahun. Baru setelah gadis, ia bertemu kembali dengan ayah bundanya dan sekarang ia menjadi isteri Pangeran Cia Sun, hidup berbahagia dengan suaminya tercinta di kota raja.Pemuda itu adalah putera mereka, anak tunggal yang diberi nama Cia Kun. Sebagai putera ayah ibu yang pandai, tentu saja dia tidak asing dengan ilmu silat. Selain mempelajari sastra seperti layaknya pemuda keluarga bangsawan tinggi, Cia Kun juga digembleng ilmu silat oleh ayah dan ibunya sendiri. Bahkan oleh ibunya dia telah diajar ilmu yang amat tangguh dari ibunya, yaitu Kang-kin Tiat-kut (Otot Baja Tulang Besi)! Dan sebagai anak tunggal, watak Cia Kun agak manja dan tinggi hati, walaupun watak itu agak tertutup oleh ketampanan wajahnya yang menimbulkan rasa suka di hati orang yang bertemu dengannya.

   "Yo-twako....!"

   Cia Sun lari menghampiri Yo Han dan merangkulnya.

   "Cia-te....!"

   Yo Han juga memeluknya dengan terharu. Mereka memang seperti kakak adik saja, dan setelah bertahun-tahun tidak saling jumpa, mereka merasa saling rindu, Sim Hui Eng juga segera saling memberi hormat dengan Tan Sian Li. Ketika melihat Han Li, Sim Hui Eng memandang dan tersenyum manis.

   "Ini tentu puterimu Han Li itu! Aih, sudah begini besar, sudah dewasa dan cantik jelita seperti ibunya!"

   "Aih, engkau terlalu memuji. Han Li ini bodoh seperti ibunya. Hayo, Han Li, beri hormat kepada Paman Cia Sun dan Bibi Sim Hui Eng!"

   Kata Tan Sian Li kepada puterinya yang berada di belakangnya.

   Han Li cepat memberi hormat kepada suami isteri itu akan tetapi ia hanya memandang saja sejenak kepada Cia Kun.

   "Dan ini tentu putera kalian, bukan? Siapa namanya? Cia Kun, bukan? Ah, sudah lama tidak berjumpa, sekarang telah menjadi seorang perjaka dewasa yang gagah dan tampan seperti ayahnya!"

   Kata Yo Han memuji.

   "Cia Kun, hayo cepat memberi hormat kepada pamanmu Yo Han yang sering kuceritakan padamu itu, dan kepada bibimu Tan Sian Li."

   Cia Kun mengangkat kedua tangannya memberi hormat kepada suami isteri itu.

   "Aihhh, kenapa kalian berdua hanya saling pandang saja?"

   Tiba-tiba Sim Hui Eng menegur puteranya dan juga Han Li.

   "Cia Kun, gadis ini adalah Yo Han Li, puteri paman dan bibimu, engkau harus menyebutnya adik. Dan Han Li, jangan malu-malu terhadap Cia Kun, ini adalah putera kami atau kakakmu!"

   Mendapat teguran itu, Han Li segera mengangkat kedua tangan ke depan dada memberi hormat yang segera disambut oleh Cia Kun dengan hormat pula.

   "Mari silakan masuk!"

   Tan Sian Li mempersilakan tarmu-tamunya masuk dan duduk di ruangan dalam. Sebuah pesta kecil segera diadakan oleh tuan rumah untuk menjamu para tamu yang mereka sayang dan hormati itu. Para anak buah Thian-li-pang hanya saling pandang dan saling berbisik saja, melihat ketua mereka menyambut tamu keluarga bangsawan dari istana demikian akrabnya. Namun, tak seorang pun di antara mereka berani menyatakan ketidak-senangan hati mereka dan hanya memendam di dalam hati saja. Tengah makan minum, Yo Han berkata,

   "Cia-te kunjunganmu, sekeluarga ini menggembirakan hati kami sekeluarga. Akan tetapi di balik itu juga mengherankan. Adakah suatu keperluan penting yang kalian bawa dengan kunjungan ini?"

   Cia Sun saling pandang dengan isterinya, lalu tersenyum dan menjawab.

   "Memang ada, Yo-toako. Akan tetapi sebaiknya urusan itu kita bicarakan setelah selesai makan agar lebih santai dan leluasa."

   Demikianlah, setelah makan, mereka pindah duduk di ruangan tamu di samping yang lebih luas dan setelah semua pelayah meninggalkan ruangan, baru Cia Sun bicara.

   "Sebetulnya, Yo-toako, kunjungan kami ini selain karena merasa rindu kepada kalian, juga kami membawa niat yang amat baik untuk mempererat tali kekeluargaan di antara kita. Melihat kenyataan bahwa anak-anak kita telah dewasa dan kebetulan anakmu wanita dan anak kami pria, maka kami mengusulkan agar diantara mereka diikat tali perjodohan. Bagaimana pendapatmu dengan usul kami itu, Toako dan Toa-so?"

   Mendengar ucapan itu, Yo Han Li bangkit dari tempat duduknya dan meninggalkan ruangan itu dengan muka kemerahan. Melihat ini keempat orang tua itu hanya tersenyum, maklum bahwa sudah wajar kalau seorang gadis merasa malu mendengar dirinya dibicarakan untuk urusan perjodohan! Sementara itu, Cia Kun juga merasa tidak enak dan melihat ini, Yo Han berkata kepadanya.

   "Cia Kun, kalau engkau ingin menemani adikmu, pergi ke taman bunga di sebelah. Biar kami orang-orang tua bicara dengan leluasa."

   Cia Kun berterima kasih sekali dan cepat dia pun bangkit lalu melangkah ke taman bunga yang berada di pinggir bangunan itu.

   "Yo-toako, tentu saja kami tidak minta keputusan yang tergesa-gesa dan kalau engkau hendak membicarakan dulu dengan Toaso (Kakak ipar), silakan. Kami akan sabar menunggu."

   "Tidak perlu, Cia-te. Apa yang akan menjadi keputusan kami adalah sama dan dapat kami jawab sekarang juga. Sebelumnya kami mengharapkan maaf kalau kami hendak bicara terus terang dan sejujurnya."

   "Kenapa minta maaf? Bicara terus terang dan sejujurnya bahkan yang kami harapkan. Nah, utarakan pendapatmu itu, Yo-toako."

   "Begini, Cia-te berdua. Andaikata Cia-te bukan seorang Pangeran Mancu, tentu pinangan itu akan kami terima dengan kedua tangan dan hati terbuka. Akan tetapi sungguh sayang, Cia-te adalah. seorang Pangeran Mancu. Sedangkan kami, Cia-te tentu maklum sendiri bahwa kami adalah orang-orang yang berjuang dan bercita-cita memerdekakan bangsa dari tangan kaum penjajah. Kami berjiwa patriot yang mendambakan kemerdekaan bangsa. Bagaimana mungkin kami berbesan dengan Pangeran Mancu? Nah, Cia-te tentu dapat memaklumi alasan kami yang berkeberatan untuk menerima usul itu."

   "Akan tetapi, Yo-toako!"

   Sim Hui Eng membantah.

   "Suamiku bukan seorang yang berjiwa penjajah. Hal ini aku yakin Toako telah mengetahui sendiri!"

   "Aku tahu. Cia-te adalah seorang yang berjiwa pendekar gagah perkasa. Akan tetapi aku juga yakin dia bukan seorang pengkhianat keluarga dan bangsanya. Kita berdua berdiri di seberang yang berlawanan. Kalau kelak terjadi perang antara para pejuang dan para penjajah, lalu bagaimana anak-anak kita akan bersikap? Aku tentu tidak suka kalau melihat mantuku membantu penjajah memerangi pejuang, sebaliknya aku pun tidak suka melihat mantuku menjadi seorang pengkhianat bagi keluarga dan bangsanya sendiri. Tidak, Cia-te berdua. Ikatan perjodohan ini tidak mungkin kita lakukan. Biarlah mereka berdua menjadi sahabat saja seperti halnya kita."

   "Ahhh, Yo-toako, engkau membuat semua harapanku terbanting hancur berantakan. Semula aku datang dengan penuh harapan untuk mengekalkan persaudaraan kita, siapa kira engkau menolaknya dengan keras."

   Kata Cia Sun menyesal sekali.

   "Maafkan kami, Cia-te. Ada suatu saat di mana kita harus mengambil sikap tegas agar di kelak kemudian hari tidak akan menderita karena keputusan yang diambil tergesa-gesa."

   "Aku mengerti maksudmu, Toako. Dan aku tidak menyalahkan engkau. Aku mendengar bahwa Thian-li-pang, di bawah pimpinanmu, menunjukkan sikap sebagai para pendekar, bukan pemberontak, karena itu aku datang penuh harapan. Siapa tahu...."

   "Kami memang bukan pemberontak, Cia-te. Akan tetapi cita-cita kami untuk kemerdekaan bangsa tidak pernah padam. Kalau sudah tiba saatnya, tentu kami akan bergerak dengan rakyat jelata menuntut kemerdekaan kami."

   "Sudahlah, dasar nasib kami tidak baik. Kalau begitu, kami mohon pamit, Yo-toako. Harap suruh orang memanggil putera kami."

   Dengan sikap tenang walaupun hatinya merasa tidak enak sekali Yo Han mengutus seorang pelayan untuk memanggil Cia Kongcu yang berada di taman bunga. Ketika itu, Cia Kun sudah dapat bertemu dengan Han Li di taman. Ketika pemuda itu memasuki taman bunga, dia melihat gadis itu sedang duduk di antara banyak bunga sedang berkembang dengan indah"nya. Bermacam bunga ditanam di taman itu dan kebetulan sekali waktu itu musim bunga sedang berkembang. Keharuman bunga semerbak di mana-mana dan pemandangan di taman itu sungguh indah. Tentu saja kalau dibandingkan dengan taman bunga di istana, taman bunga di Thian-li-pang itu bukan apa-apanya, bahkan tidak ada artinya.

   "Li-moi, engkau di sini?"

   Tegur pemuda itu setelah menghampiri Han Li. Han Li membalikkan tubuhnya, memandang kepada pemuda itu dengan kedua pipi kemerahan. Ia merasa tersipu karena baru saja orang tua mereka membicarakan tentang perjodohan mereka dan ia merasa heran akan keberanian pemuda itu menyusulnya ke taman bunga.

   "Ah, kiranya engkau, Kun-ko. Aku di sini sedang menikmati bunga-bunga yang sedang mekar. Indah sekali bunga-bunga di taman ini, bukan?"

   Cia Kun memiliki watak yang tinggi hati. Mendengar ucapan itu, dia memandang ke sekeliling, lalu katanya,

   "Ah, tidak artinya apabila dibandingkan dengan taman bunga kami di istana, Li-moi. Datanglah ke taman bunga kami dan engkau akan takjub melihat keindahan bunga-bunga yang ratusan macam di sana!"

   Han Li mengerutkan alisnya. Tentu saja hatinya tidak senang mendengar ini. Pemuda itu meremehkan keindahan ta"man bunganya!

   "Hemmm, tentu saja di istana segalanya serba lebih besar dan lebih indah. Akan tetapi aku tidak ingin melihatnya!"

   Katanya agak ketus karena hatinya tersinggung. Agaknya Cia Kun menyadari kesalahannya dan dia segera berkata,

   "Akan tetapi di sini ada setangkai bunga yang tidak ada duanya, bahkan di istana juga tidak ada, Li-moi. Bunga itu amat cantik jelita, membuat hatiku terkagum-kagum, Li-moi."

   "Ah, benarkah?"

   Han Li kelihatan girang dan memandang ke sekelilingnya.

   "Bunga mana yang kau maksudkan itu, Toako?"

   "Bunga itu adalah engkau, Li-moi. Dirimu yang amat mengagumkan hatiku! Dan orang tua kita sedang membicarakan urusan perjodohan kita, Li-moi. Tidakkah hatimu senang sekali, seperti juga perasaan hatiku?"

   Han Li mengerutkan alisnya dan memandang pemuda itu dengan tajam.

   "Kun"ko aku tidak suka mendengar omonganmu ini! Pergilah dan jangan ganggu aku lebih lama lagi!"

   Cia Kun hendak membantah akan tetapi pada saat itu datang pelayan berlarian yang melapor bahwa Cia Kongcu dipanggil oleh orang tuanya, karena hendak diajak pulang. Cia Kun merasa heran, akan tetapi dia segera memberi hormat kepada Han Li sambil berkata,

   "Maafkan aku, Li"moi. Kita berpisah dulu, sampai bertemu kembali."

   Han Li hanya mengangguk dan tidak pedulikan lagi pemuda itu yang meninggalkan taman. Cara pemuda itu membandingkan taman bunganya dengan taman istana, kemudian cara pemuda itu menyatakan perasaan hatinya, sungguh mendatangkan kesan tidak menyenangkan di dalam hatinya. Ia akan membantah ayah bundanya kalau sampai ia dijodohkan dengan pemuda itu. Akan tetapi hatinya merasa lega karena ayah bundanya tidak pernah menyinggung-nyinggung soal perjodohan itu dalam percakapan mereka.

   Tiga hari kemudian, datang dua orang tosu dari Bu-tong-pai berkunjung ke Thian"li-pang. Karena Thian-li-pang di bawah bimbingan Yo Han memang mempunyai hubungan baik dengan semua partai dan perguruan silat besar termasuk Bu-tong"pai, maka Yo Han sendiri yang menyambut kunjungan kedua orang tosu utusan Bu-tong-pai itu dan mempersilakan mereka berdua memasuki ruangan tamu. Yo Han menyambut dua orang tamu itu bersama isterinya dan ketika mempersilakan mereka duduk, dia mengamati kedua orang itu. Dua orang tosu yang nampak gagah dan bertubuh tegap. Yang seorang berusia kurang lebih lima puluh tahun, yang kedua lebih muda beberapa tahun. Yang pertama bertubuh tinggi kurus dengan sepasang mata sipit sekali, sedangkan yang lebih muda bertubuh tinggi besar dan memiliki mata yang tajam dan agak liar. Terutama sekali mata itu seperti hendak menelan bulat-bulat nyonya rumah yang cantik jelita itu. Diam-diam Yo Han merasa tidak senang dengan sikap tosu yang lebih muda itu.

   "Yo-pangcu (ketua Yo),"

   Kata yang lebih tua sambil mengangkat kedua tangan depan dada.

   "pinto (saya) bernama Thian-yang-cu dan ini adalah sute pinto bernama Bhok-im-cu. Pinto berdua mendapat perintah dari suhu Thian It Tosu untuk datang berkunjung ke sini dan menyampaikan salam suhu kepada Yo"pangcu sekeluarga."

   Yo Han tersenyum dan membalas penghormatan itu.

   "Totiang berdua, terima kasih atas kunjungan Ji-wi To-tiang (totiang berdua) dan salam dari Thian It Tosu telah kami terima dengan baik. Sampaikan juga salam hormat kami kepada beliau kalau Ji-wi pulang nanti. Dan selain menyampaikan salam, ada kepentingan lain apa pula yang membawa Ji-wi datang berkunjung ini?"

   

Si Bangau Merah Eps 27 Si Bangau Merah Eps 22 Si Tangan Sakti Eps 16

Cari Blog Ini