Ceritasilat Novel Online

Si Bangau Merah 22


Si Bangau Merah Karya Kho Ping Hoo Bagian 22



Pendekar ini benar. Ia yang terburu nafsu dan mencurigainya. Apa salahnya memandang sebentar saja wajahnya yang penuh rahasia, mengambil kesempatan selagi dia belum siuman? Dengan jari-jari tangan gemetar karena tegang dan juga diam-diam merasa malu kepada diri sendiri bahwa ia telah mencuri dan membuka rahasia orang Sian Li menyingkap tirai di depan muka itu, lalu menyingkap rambut yang terurai awut-awutan menutupi muka. Ia melihat sebuah wajah yang tampan. Muka itu berbentuk lonjong dengan dagu runcing dan ujung dagu berlekuk, alis yang tebal hitam dengan mata terpejam, dahinya lebar, hidung mancung dan bentuk muka yang amat dikenalnya. Ia terbelalak, tak bergerak seperti patung, lalu bibirnya berbisik berulang-ulang, seolah tidak percaya kepada pandang matanya sendiri.

   "Yo Han....? Suheng.... Kakak Yo Han....?"

   Akan tetapi, ia membantah sendiri. Tidak mungkin ini suhengnya yang selama bertahun-tahun dirindukannya itu. Suhengnya itu selamanya tidak pernah suka berlatih silat. Suhengnya itu amat baik kepadanya, seperti kakak kandungnya sendiri, akan tetapi sama sekali tidak pandai silat walaupun ayah ibunya berusaha untuk menggemblengnya. Dan pendekar ini memiliki ilmu silat yang amat tinggi.

   Akan tetapi wajah ini....! Bagaimana mungkin ia bisa salah? Wajah ini hampir tidak pernah meninggalkan lubuk hatinya. Biarpun kini telah menjadi seorang laki-laki dewasa, namun bentuk muka itu tidak berubah. Dahi itu, hidung mulut dan dagu itu! Ah, ia teringat akan sesuatu. Pernah ketika suhengnya ini mandi di sungai kecil dan bertelanjang tubuh bagian atas, ia melihat sebuah tahi lalat sebesar kedele di dada suhengnya itu, tepat di tengah ulu hatinya. Semenjak itu, sering kali ia menggoda dan memperolok suhengnya dengan tahi lalat itu. Dengan jari tangan menggigil Sian Li membuka kancing baju pendekar itu untuk melihat dadanya. Ia membuka baju itu dan.... di sanalah, tepat di tengah ulu hati, bertengger tahi lalat itu.

   "Kakak Yo Han....!"

   Kini ia tidak ragu lagi dan ia merangkul, menangis! Pendekar itu membuka mata dan melihat Sian Li menangis di atas dadanya, ia mendorongnya dengan halus dan bangkit duduk.

   "Nona.... kau...."

   Akan tetapi dia tidak melanjutkan ucapannya karena Sian Li sudah memandangnya dengan mata yang berlinangan air mata, akan tetapi mulut gadis itu tersenyum, sinar matanya penuh kebahagiaan.

   "Han-suheng (Kakak Seperguruan Han), Han-koko (Kakanda Han), kenapa engkau bersikap begini terhadap aku? Benarkah engkau tidak mengenal aku lagi? Aku Sian Li, Tan Sian Li....!"

   Akan tetapi Yo Han, yang selama beberapa tahun ini berkeliaran di perbatasan Tibet dan dijuluki Sin-ciang Tai-hiap oleh mereka yang pernah ditolongnya, tidak merasa heran. Tentu saja dia sudah tahu atau dapat menduga siapa adanya gadis remaja berpakaian serba merah itu.

   "Sian Li.... Sumoi...."

   Katanya dan sinar matanya mengandung kasih sayang sedemikian mendalam sehingga Sian Li teringat akan masa lalu, ketika ia merasakan benar kasih sayang suhengnya ini kepadanya.

   "Suheng....!"

   Dan lupa akan segala, lupa bahwa ia bukan lagi kanak-kanak, ia menubruk dan merangkul Yo Han, menangis di dalam rangkulan pendekar itu! Yo Han membiarkan saja dan mengelus rambut yang halus itu, maklum bahwa di saat seperti itu,

   Semua peraturan telah terlupakan, yang ada hanya peluapan perasaan. Pada saat itu, dia tahu bahwa perasaan gembira, terharu dan bahagia meluap di hati Sian Li. Dia sendiri pun merasa terharu dan tak terasa kedua matanya menjadi basah. Betapa sering dia membayangkan dan mengenang Sian Li, dengan hati penuh kerinduan. Hampir dia tidak dapat percaya akan tiba saat seperti sekarang ini, di mana dia merangkul Sian Li yang menangis di dadanya. Setelah gejolak perasaan itu mereda, Yo Han mendorong kedua pundak gadis itu dengan lembut, bahkan memegang kedua pundak itu dan mengamati wajahnya sambil tersenyum. Sepasang matanya mencorong sehingga diam-diam Sian Li terkejut dan kagum. Kalau ada perubahan pada diri suhengnya ini, barangkali hanya pada sinar matanya itulah. Ia pun membalas, mengamati wajah Yo Han.

   "Aihh, adikku yang dulu begitu bengal tabah, keras hati dan pemberani, kenapa sekarang telah berubah menjadi seorang gadis yang cantik dan cengeng?"

   Seketika sinar mata itu bernyala.

   "Aku tidak cengeng! Aku menangis karena haru dan bahagia! Aih, Han-ko, selama ini engkau ke mana sajakah? Dan kenapa pula engkau tega meninggalkan aku sampai bertahun-tahun? Bagaimana pula engkau tahu-tahu telah menjadi seorang pendekar sakti dan berjuluk Sin-ciang Tai-hiap? Kenapa pula engkau selalu menyembunyikan muka dan tidak ingin dikenal orang? Apa pula yang menyebabkan engkau menjadi seorang petualang di daerah ini dan kenapa tidak kembali kepada kami?"

   Diberondong pertanyaan-pertanyaan seperti itu, Yo Han tersenyum dan memandang wajah Sian Li penuh kasih sayang. Sian Li masih cerewet, masih lucu seperti dulu!

   "Panjang ceritanya, Li-moi. Akan tetapi.... apakah engkau sudah melupakan suhengmu yang ditawan oleh gerombolan Lama Jubah Hitam?"

   Sian Li seperti baru teringat kepada Sian Lun.

   "Ah, engkau benar juga, Han-ko. Kita harus cepat menolong dan membebaskannya, sekarang juga!"

   Yo Han mengangguk dan diam-diam hatinya merasa girang. Adik seperguruan yang sejak kecil sudah dianggap seperti adiknya sendiri dan yang amat disayangnya ini ternyata merupakan seorang gadis gagah perkasa yang bertanggung jawab dan juga setia.

   "Tidak akan ada gunanya kalau kita menyerbu ke sana sekarang. Malam hampir tiba dan selain di sana banyak terdapat orang lihai, juga penjagaan amat kuat dan dipasangi banyak jebakan berbahaya. Kita memang harus membebaskannya, akan tetapi tidak sekarang. Besok pagi aku akan berkunjung ke sana dan minta kepada Dobhin Lama, Ketua Lama Jubah Hitam, agar suhengmu dibebaskan.

   "Tapi.... kenapa harus menanti sampai besok? Bagaimana kalau kita telambat dan terjadi apa-apa dengan Suheng? Mungkin saja dia dibunuh!"

   "Jangan khawatir, Li-moi. Aku sudah tahu akan sepak terjang gerombolan Lama Jubah Hitam. Mereka tidak memusuhi para pendekar, bahkan ingin merangkul dan mengajak para pendekar bersekutu. Mereka membutuhkan kerja sama dan bantuan orang-orang pandai dalam usaha mereka merebut tahta kekuasaan di Tibet. Perjuangan melawan pemerintah Mancu hanya sebagai sarana untuk memperoleh dukungan para pendekar saja. Pada hakekatnya, yang terpenting bagi mereka adalah menguasai Tibet seperti juga orang-orang Nepal itu bercita-cita untuk merampas kekuasaan di Nepal dan mereka mencari sekutu agar kelak dapat membantu mereka. Jangan khawatir, suhengmu tidak akan dibunuh, mungkin bahkan dibujuk untuk bakerja sama dengan mereka."

   Legalah rasa hati Sian Li. Ia percaya sepenuhnya kepada Yo Han, bukan hanya percaya karena Yo Han adalah suhengnya yang sejak dahulu paling disayangnya dan dipercayainya, akan tetapi juga karena ia ingat bahwa sudah lama Yo Han bertualang di daerah ini dan tentu mengenal benar keadaannya sehingga keterangannya tadi pasti benar.

   "Baiklah kalau begitu, aku menyerahkan kepadamu agar Suheng dapat bebas dari tangan mereka. Sekarang, herap kau ceritakan semua pengalamanmu sejak kita saling berpisah, Han-ko."

   Yo Han merasa girang bahwa Sian Li menyebut dia koko (kakak), bukan suheng (kakak seperguruan) karena bagaimana-pun juga dia tidak pernah dengan sungguh-sunggguh belajar silat dari ayah ibu Sian Li.

   "Memang sebaik-nya malam ini kita lewatkan dengan saling menceritakan pengalaman, Li-moi. Akan tetapi aku ingin tahu lebih dulu, bagaimana engkau dapat mengobati luka beracun di pundakku. Kurasakan racun itu cukup berbahaya dan kalau harus menggunakan kekuatan sendiri untuk mengusirnya dan menyembuhkan luka beracun itu, tentu akan menggunakan waktu sedikitnya sepuluh hari. Akan tetapi sekarang aku telah sembuh sama sekali! Bagaimana engkau dapat memiliki kepandaian pengobatan yang begini hebat?"

   Biasanya, Sian Li tidak haus pujian, bahkan ia akan menganggap seorang pria merayu kalau memujinya. Akan tetapi entah bagaimana sekali ini menerima pujian dari Yo Han, ia merasa amat girang dan bangga.

   "Aku mempelajari ilmu pengobatan dari Yok-sian Lo-kai,"

   Katanya sederhana untuk menyembunyikan rasa bangga dan senangnya.

   "Ah, begitukah? Pantas saja kalau begitu. Aku sudah mendengar nama besar Dewa Obat itu. Dan kulihat ilmu silatmu juga hebat, agaknya engkau telah menguasai benar Pek-ho Sin-kun dari Suhu, akan tetapi aku melihat gerakan lain yang bukan dari ayah ibumu."

   Sian Li mengangkat telunjuk kanan dan mengamangkannya kepada Yo Han.

   "Nah, nah kau mau mengakali aku, ya? Engkau belum menceritakan sedikit juga tentang pengalamanmu dan engkau sudah memancing-mancing agar aku menceritakan segala tentang diriku."

   Yo Han tertawa. Sudah lama dia tidak pernah merasakan kegembiraan hati seperti saat itu. Dan dia bersyukur kepada Tuhan bahwa dia dipertemukan dengan Sian Li di tempat yang sama sekali tidak pernah disangkanya ini dan melihat Sian Li telah menjadi seorang gadis yang cantik jelita, manis budi dan gagah perkasa. Yo Han menceritakan pengalamannya dengan singkat saja.

   "Setelah aku meninggalkan tempat tinggal orang tuamu di Ta-tung...."

   "Nanti dulu, ceritakan dulu kenapa engkau meninggalkan aku, meninggalkan kami dan sampai selama ini tidak pernah kembali, Han-ko!"

   Yo Han menatap wajah gadis itu dan menarik napas panjang. Sekali lagi dia harus menghadapi suatu kenyataan dalam hidup ini, bahwa biarpun membohong adalah perbuatan tidak baik, namun ada waktunya perlu sekali orang membohong! Membohong bukan dalam arti menipu demi keuntungan pribadi, melainkan membohong agar jangan sampai menyinggung atau menyakiti perasaan orang yang dibohonginya! Kalau sekarang dia berterus terang bahwa dia meninggalkan keluarga gadis itu karena mendengar ayah ibu gadis itu menyatakan keinginan hati agar Sian Li jauh darinya, tentu cerita ini akan mengguncang perasaan Sian Li dan bukan hanya menyinggung, namun menyakitkan dan membingung-kan. Maka, dia harus berbohong!

   "Lupakah engkau, Li-moi? Aku menggantikanmu menjadi tawanan Ang I Moli. Aku sudah berjanji kepadanya bahwa kalau ia mengembalikan engkau kepada orang tuamu, aku akan menggantikanmu menjadi muridnya."

   Lega rasa hati Yo Han setelah dia mulai memberi keterangan. Bagaimanapun juga, dia tidaklah berbohong, hanya tidak berterus terang menceritakan keadaan selengkapnya. Tentu saja Sian Li masih ingat akan semua itu. Bahkan dahulu ketika Yo Han pergi, hampir setiap hari ia menangis dan menanyakannya, dan ia pun teringat akan pembelaan Yo Han kepadanya terhadap Ang I Moli.

   "Han-ko, jadi engkau telah menjadi murid iblis betina itu?"

   "Tidak, Li-moi. Ia jahat bukan main, jahat dan kejam. Aku tidak suka menjadi muridnya. Aku berhasil lolos darinya dan aku mendapatkan seorang guru di tempat rahasia. Guruku itu kini telah tiada, dan aku merantau ke sini adalah untuk memenuhi pesan terakhir guruku."

   "Mencari mutiara hitam itu?"

   "Benar, Li-moi. Benda mustika itu dahulu milik guruku yang hilang dicuri orang. Aku hanya ingin merampasnya kembali untuk memenuhi pesan mendiang Suhu."

   "Dan engkau malang melintang di daerah barat ini sebagai Sin-ciang Tai-hiap?"

   Yo-Han menarik napas panjang. Selama bertahun-tahun dia berhasil menyimpan rahasia dirinya, akan tetapi, sekali ini rahasianya terbuka, bukan oleh orang lain, bahkan oleh Sian Li!

   "Ternyata tidak mudah mencari mutiara hitam seperti yang menjadi pesan terakhir Suhu,"

   Dia bercerita.

   "Suhu hanya mengatakan bahwa benda pusaka itu berada di daerah barat ini. Sampai hampir lima tahun aku berkeliaran di sini, bahkan sudah menjelajah sampai ke daerah Tibet, namun belum berhasil. Dalam penjelajahan itu-lah aku bertemu dengan hal-hal yang menggerakkan hatiku untuk turun tangan menentang kejahatan. Aku tidak ingin dikenal orang, maka aku selalu menyembunyikan mukaku dan tidak memperkenalkan diri. Orang-orang memberi julukan Sin-ciang Tai-hiap. Aku membiarkan saja dan tidak ada seorang pun tahu bahwa akulah Sin-ciang Tai-hiap. Baru hari ini ada yang tahu, yaitu engkau Li-moi."

   Sian Li tertawa dan suasana menjadl akrab sekali ketika dara itu tertawa. Yo Han teringat akan masa lalu. Suatu tawa Sian Li seperti bunyi musik merdu yang mendatangkan perasaan bahagia dalam hatinya. Seperti tetesan air hujan pada hatinya yang selama ini seperti tanah kering. Terasa demikian sejuk den segar dan dia pun tak dapat menahan timbulnya senyum lebar penuh kebahagiaan yang membuat wajahnya berseri.

   "Hi-hi-hik, heh-heh, engkau ini sungguh aneh dan lucu, Han-ko. Engkau ingin menyembunyikan diri, tidak ingin dikenal orang, ataukah engkau bahkan ingin mempopulerkan julukanmu atau penyamaranmu itu? Dengan penyamaranmu itu, maka semakin terkenallah Sin-ciang Tai-hiap sebagai seorang pendekar yang rambutnya riap-riapan, bercaping yang ditutupi tirai! Sebaliknya, kalau engkau tidak menyamar lagi, tidak menyembunyikan diri, siapa yang akan tahu bahwa engkau adalah Sin-ciang Tai-hiap? Kenapa mesti menyamar lagi, Han-ko?"

   Yo Han mengangguk-angguk.

   "Engkau benar, Li-moi. Aku sudah begitu khawatir untuk dikenal orang maka aku bahkan membuat Sin-ciang Tai-hiap semakin terkenal karena dipenuhi rahasia. Mulai sekarang aku akan menanggalkan penyamaran sebagai Sin-ciang Tai-hiap, dan aku akan menjadi Yo Han biasa saja...."

   Setelah berkata demikian, Yo Han yang sudah menanggalkan capingnya itu lalu menggelung rambutnya, tidak lagi dibiarkan riap-riapan. Dia menggelung rambut, tidak dikuncirnya karena dia tidak senang harus mentaati peraturan pemerintah Mancu agar semua orang Han menguncir rambutnya. Peraturan itu dianggapnya menghina.

   "Tapi jangan dibuang caping itu, Han-ko. Pertama, benda itu memang berguna untuk melindungi kepalamu dari panas dan hujan, dan ke dua, siapa tahu kadang-kadang kau perlukan juga tokoh Sin-ciang Tai-hiap itu."

   "Li-moi, sudah cukup aku menceritakan pengalamanku, sekarang kaulah yang harus menceritakan padaku keadaanmu. Semenjak kita saling berpisah. Engkau kini telah menjadi seorang gadis dewasa yang cantik jelita, lincah dan juga lihai ilmu silatnya. Tentu sekarang usiamu sudah dewasa, Li-moi."

   "Ketika engkau pergi, usiaku empat tahun, Han-ko. Kita saling berpisah selama tiga belas tahun lebih, Jadi usiaku sekarang hampir delapan belas tahun. Aku belajar ilmu silat dari Ayah dan Ibu, kemudian aku menerima gemblengan dari Paman Kakek Suma Ceng Liong dan isterinya di dusun Hong-cun dekat kota Cin-an. Di sana aku bertemu dengan Suheng Liem Sian Lun, murid mereka. Selain itu, juga aku belajar ilmu pengobatan dari Yok-sian Lo-kai."

   "Wah, engkau beruntung sekali, Li-moi, mendapat ilmu-ilmu dari banyak orang sakti. Akan tetapi bagaimana engkau dan suhengmu itu dapat berada di sini, amat jauh dari tempat tinggal orang tuamu?"

   "Aku dan Suheng Sian Lun sedang dalam perjalanan pulang. Kami baru saja berkunjung ke Bhutan, Han-ko."

   "Bhutan? Kenapa pergi ke tempat yang demikian jauh?"

   Sian Li lalu bercerita tentang Gangga Dewi dan paman kakeknya Suma Ciang Bun, tentang perjalanan mereka yang jauh, juga tentang pengalamannya ketika bertemu dan bertentangan dengan Lulung Lama dan sekutunya. Dua orang muda yang merasa amat berbahagia dalam pertemuan yang sama sekali tak pernah mereka sangka-sangka itu, bercakap-cakap sampai larut tengah malam. Mereka makan malam secara amat sederhana sekali, dari persediaan makanan yang disimpan Yo Han di dalam guha.

   Mereka saling menceritakan pengalaman masing-masing, menjawab semua pertanyaan. Setelah lewat tengah malam, barulah mereka istirahat dan tidur saling mengetahui hampir semua keadaan diri masing-masing. Hanya ada sebuah hal yang masih membuat Yo Han sangsi dan ragu, yaitu tentang hubungan batin aratara Sian Li dan suhengnya. Mereka adalah kakak beradik seperguruan, akan tetapi apakah tidak lebih daripada itu? Mereka adalah seorang pemuda dan seorang gadis tidak ada hubungan darah, dan keduanya tampan dan cantik, melakukan perjalanan berdua saja. Tidak aneh kalau mereka itu saling mencinta, bahkan agaknya tidak wajar kalau tidak ada perasaan cinta di antara mereka. Yo Han tidak berani bertanya akan hal itu, akan tetapi dia menduga bahwa Sian Li agaknya amat mencinta suhengnya itu.

   Dan dia pun tidak akan merasa heran, suheng Sian Li itu memang seorang pemuda yang tampan dan gagah, sudah sepatutnya kalau menjadi jodoh Sian Li. Hanya, dia merasa heran dan tidak enak mengapa hatinya menjadi pedih membayangkan kakak beradik seperguruan itu saling mencinta dan menjadi jodoh. Bahkan bayangan ini menghantuinya, membuat dia gelisah dan tidak dapat pulas. Baru setelah jauh lewat tengah malam, dia dapat mengusir gangguan itu dan tidur pulas. Pada keesokan harinya, Yo Han menunjukkan kepada Sian Li anak sungai berair jernih yang mengalir tak jauh dari guha itu, di mana dara itu dapat membersihkan diri. Mereka mandi bergantian dan dengan badan segar mereka sarapan pagi seadanya, hanya roti kering dan daging kering yang dihangatkan di atas api ungun, kemudian mereka meninggalkan guha.

   "Kita harus menolong suheng, Han-ko,"

   Kata Sian Li ketika mereka keluar dari hutan.

   "Tentu saja, Li-moi."

   Dia menepuk buntalan pakaiannya.

   "Aku sudah mempersiapkan capingku. Kalau aku menghadapi para Lama, aku harus berperan sebagai Sin-ciang Tai-hiap. Aku akan minta dengan hormat kepada mereka untuk membebaskan suhengmu."

   "Akan tetapi bagaimana mungkin, Han-ko? Bagaimana kalau mereka tidak menuruti permintaanmu?"

   "Aku tidak pernah bermusuhan dengan para Lama itu, dan mereka adalah orang-orang yang menghargai kegagah-an. Kalau perlu, aku akan menantang mereka dengan taruhan bahwa kalau aku menang, mereka harus memenuhi permintaanku."

   "Kalau kau kalah?"

   "Hemm, kita harus bertanggung jawab dan tidak lari dari kenyataan, Li-moi. Kalau aku kalah, mereka boleh melakukan apa saja terhadap diriku."

   "Tapi.... itu berbahaya sekali, Han-ko"

   Yo Han tersenyum.

   "Aku tahu, Limoi, sejak aku mempelajari ilmu silat, tahulah aku bahwa aku telah terjun ke dalam dunia kekerasan di mana terdapat penuh bahaya. Akan tetapi, hidup seperti apakah yang tidak berbahaya? Hidup itu sendiri Sudah merupakan suatu bahaya, Li-moi. Hidup adalah perjuangan, suatu perjuangan orang tiada hentinya melawan bahaya yang datang dari segala jurusan. Hidup merupakan suatu tantangan yang harus kita perjuangkan, kita hadapi, dan perjuangan itu adalah untuk mengatasi semua tantangan itu, semua bahaya itu!"

   Sian Li mengerutkan alisnya dan saking tertarik, ia menghentikan langkahnya, memandang kepada pemuda itu.

   "Eh? Apa maksudmu, Han-ko? Kehidupan seorang dari dunia persilatan seperti kita memang menghadapi banyak tantangan, banyak bahaya, akan tetapi kehidupan seorang biasa, apakah bahaya dan tantangannya?"

   Yo Han tersenyum,

   "Tiada bedanya, Li-moi. Apakah kehidupan seorang petani miskin itu tidak penuh tantangan yang harus mereka hadapi dan atasi tantangan itu dapat datang dari kemiskinannya, dari kesehatan yang terganggu, dari kesejahteraan keluarganya, dari kerukunan keluarganya. Orang dapat ditentang oleh kekurangan makan pakaian dan tempat tinggal, oleh gangguan kesehatan oleh percek-cokan rumah tangga, dan seribu satu tantangan lagi. Semua itu mau tidak mau, harus dihadapi dan diatasi, kita tidak mungkin dapat lari darinya, karena itulah isi kehidupan ini, urusan jasmani, urusan duniawi."

   "Hemm, kalau orang kaya dan orang berpangkat tentu tidak menghadapi semua tantangan dan kesulitan...."

   "Siapa bilang? Mereka pun dapat sakit, dapat cekcok dengan keluarga. Bahkan ditam-bah lagi. Orang kaya harus mempertahankan kekayaannya, menjaganya agar tidak berkurang atau lenyap, selalu khawatir akan kehilangan. Demikian pula orang berkedudukan selalu ingin mempertahan-kan kedudukannya, takut kehilangan. Pendeknya, selagi hidup sebagai manusia, kita tidak akan dapat bebas dari tantangan dan bahaya. Justeru itulah isi kehidupan, itulah romantikanya kehidupan. Dan menghadapi semua itu, berusaha mengatasinya. Perjuangannya melawan semua tantangan, itulah seninya, seni kehidupan! Betapa akan membosankan kalau hidup ini tidak ada tantangan yang harus ditanggulangi, dihadapi dan diatasi. Senang baru akan terasa senang kalau kita pernah merasakan susah. Kepuasan yang sebenarnya hanyalah terasa kalau kita pernah merasa kecewa. Bukankah begitu, Li-moi?"

   Sian Li terbelalak, kemudian tertawa.

   "Wah-wah-wah, bicaramu seperti seorang guru besar kebatinan saja, Han-ko. Menurut Ayah dan Ibuku, dahulu engkau tidak suka akan kekerasan, tidak suka belajar silat, akan tetapi sekarang malah menjadi seorang pendekar sakti dan bicaramu seperti seorang pendeta!"

   "Li-moi, mengenai kehidupan, apakah hanya para pendeta saja yang harus mengetahuinya? Kehidupan adalah kita sendiri, Li-moi. Sudah sewajarnya, bahkan sepatutnya kalau setiap orang tahu dan mengerti akan kenyataan dalam hidup ini. Sampai sekerang pun aku tidak suka akan kekerasan, Li-moi, karena aku tahu dan yakin benar bahwa kekerasan bukanlah cara terbaik untuk hidup. Namun, menghadapi tantangan dalam kehidupan, sekali waktu kita membutuhkan juga kekuatan untuk menanggulanginya, dan seperti juga semua ilmu, ilmu silat pun amat berguna kalau saja dipergunakan melalui garis yang benar, bukan sebagai alat mengum-bar nafsu. Nah, kurasa engkau pun tentu sudah mengerti akan semua itu, karena aku tahu bahwa orang tuamu adalah sepasang
(Lanjut ke Jilid 21)
Si Bangau Merah (Seri ke 15 - Serial Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 21
suaml isteri yang bijaksana. Apalagi engkau telah digembleng oleh paman kakekmu dan isterinya, juga oleh seorang tokoh besar seperti Yok-sian Lo-kai."

   Sian Li mengangguk-angguk kagum.

   "Cara mereka bicara tidak jauh bedanya dengan apa yang kau katakan semua tadi, Han-ko...."

   "Hemmm, ada orang-orang datang ke sini, Li-moi. Jangan katakan bahwa aku adalah Sin-ciang Tai-hiap...."

   Sian Li mengangkat muka memandang ke depan dan benar saja. Ada enam orang datang dengan langkah lebar. Dari jauh saja, sudah nampak bahwa lima orang di antara mereka adalah para pendeta Lama Jubah Hitam, dapat dilihat dari kepala mereka yang gundul dan jubah hitam mereka yang lebar. Yang seorang lagi adalah seorang pemuda. Setelah mereka datang lebih dekat dan Sian Li mengenal siapa pemuda itu, wajahnya berubah merah dan ia menjadi marah. Pemuda itu bukan lain adalah Cu Ki Bok murid Lulung Lama yang kurang ajar itu. Dan lima orang gundul itu adalah lima orang anggauta Hek I Lama.

   "Jahanam busuk! Akan kubunuh kalian!"

   Sian Li sudah meraba gagang pedangnya, akan tetapi Yo Han menyentuh lengannya,

   "Sabarlah, Li-moi, biarkan mereka mengatakan dulu apa maksud mereka mencari kita."

   Kini Cu Ki Bok sudah tiba di depan mereka. Pemuda yang tinggi tegap dan tampan gagah itu tersenyum, dan lima orang pendeta Lama yang berdiri di belakangnya, diam tak bergerak seperti patung.

   "Selamat pagi, Nona Tan Sian Li. Senang sekali bertemu denganmu, karena Nona tentu akan dapat memberi tahu kepada kami di mana kami dapat bertemu dengan Sin-ciang Tai-hiap."

   Sian Li tersenyum mengejek.

   "Hemm, keparat busuk, andaikata aku tahu sekalipun tak akan sudi aku memberitahukan kepadamu!"

   "Hemm, Nona jangan berlagak. Kalau tidak ada Sin-ciang Tai-hiap, apa kau kira akan mampu lepas dari tangan kami? Sekarang kami menginginkan Sin-ciang Tai-hiap, untuk menyampaikan pesan dari ketua kami. Katakan di mana aku dapat bertemu dengan dia, dan aku tidak akan mengganggumu lagi, melihat muka pendekar itu."

   "Sobat, katakan saja kepada kami apa yang akan kau sampaikan kepada Sin-ciang Tai-hiap, dan kamilah yang akan menyampaikan kepadanya,"

   Kata Yo Han dengan suara tenang dan lembut. Cu Ki Bok memandang kepada Yo Han dengan alis berkerut, jelas bahwa dia memandang rendah kepada pemuda itu, tidak mengenalnya, akan tetapi merasa tidak senang karena pemuda ini berdua dengan gadis yang dirindukannya.

   "Siapa kamu? Dan mengapa aku harus menyampaikan pesanku untuk Sin-ciang Tai-hiap kepada kamu?"

   Sian Li marah sekali melihat sikap dan mendengar ucapan yang nadanya menghina dan memandang rendah itu. Akan tetapi Yo Han tersenyum, girang bahwa kini dia dapat menghadapi orang tanpa menyembunyikan wajah aselinya dan orang itu tidak mengenalnya. Benar juga pendapat Sian Li semalam. Sin-ciang Tai-hiap yang harus dirahasiakan, bukan Yo Han!

   "Namaku Yo Han, dan aku orang biasa saja, akan tetapi aku telah dipesan oleh Taihiap bahwa jika ada orang yang mencarinya, boleh menyampaikan kepada kami berdua. Kalau engkau percaya kepada kami, nah, katakan apa yang kau ingin sampaikan kepadanya. Kalau tidak percaya, sudahlah, kau cari saja sendiri."

   Sian Li mengeluarkan suara tawa mengejek.

   "Huh, mana pengecut ini berani mencari Sin-ciang Tai-hiap? Baru melihatnya saja, dia akan lari terbirit-birit!"

   Lalu dilanjutkannya dengan nada suara marah,

   "Kawanan srigala ini licik dan pengecut, beraninya hanya main keroyokan. Buktinya, Suheng ditawan karena keroyokan. Jahanam Cu Ki Bok, kalau kalian mengganggu Suhengku, aku akan membasmi kalian semua, tak seorang pun kubiarkan hidup!"

   Mendengar ucapan yang keras itu, Cu Ki Bok tidak menjadi marah, bahkan dia tertawa geli.

   "Ha-ha-ha, kau kira suhengmu itu kami ganggu, Nona? Nona masih saja salah sangka. Kami bukanlah penjahat. Kami adalah pejuang-pejuang yang bercita-cita mengusir penjajah Mancu. Kami membutuhkan kerja sama dengan para pendekar. Bukankah ketua kami tadinya juga menawarkan kerja sama dengan Nona dan suheng Nona itu? Dan sekarang suhengmu dengan suka rela membantu kami, dan dia hidup bersenang-senang. Hemm, suhengmu memang pandai mempergunakan kesempatan, aku sendiri sampai iri melihat dia bersenang-senang seperti itu...."

   "Kau bohong!"

   Sian Li membentak, akan tetapi diam-diam ia ingin sekali tahu kesenangan apa yang dimaksudkan oleh orang itu.

   "Sudahlah, aku pun datang bukan untuk membicarakan urusan Liem Sian Lun. Aku diutus oleh ketua kami untuk bicara dengan Sin-ciang Tai-hiap. Kuharap saja dia akan muncul menemui kami."

   "Orang macam engkau tidak berharga untuk bertemu dengan Sin-ciang Tai-hiap,"

   Kata Sian Li.

   "Sampaikan saja kepadaku atau kau boleh minggat dari sini."

   Wajah Cu Ki Bok berubah merah. Dia merasa direndahkan dan dihina oleh gadis itu, akan tetapi harus diakuinya bahwa dia memang merasa jerih untuk berhadapan dengan pendekar sakti itu.

   "Baiklah, akan kusampaikan kepadamu, Nona Tan Sian Li, akan tetapi tidak kepada cacing tanah itu."

   Cu Ki Bok menggerakkan kepala ke arah Yo Han dengan sikap amat merendahkan sehingga wajah Sian Li berubah, merah karena marahnya.

   "Cu Ki Bok, kalau engkau menghina kami berdua, berarti engkau menghina Sin-ciang Tai-hiap karena Taihiap telah memberi kuasa kepada kami berdua untuk mewakilinya bicara dengan siapa saja! Nah, katakan kepada kami berdua apa keperluanmu tanpa menghina orang, atau aku akan mewakilinya membunuhmu di sini juga!"

   Cu Ki Bok tidak gentar terhadap Sian Li, akan tetapi dia takut kalau Sin-ciang Tai-hiap muncul membantu nona itu.

   "Baik, dengarlah pesan kami. Ketua kami, Dobhin Lama mengundang Sin-ciang Tai-hiap untuk mengadakan pertandingan adu ilmu...."

   "Huh, dan kalian tentu akan menjebaknya dan mengeroyoknya dengan mengandalkan banyak orang, bukan?"

   Sian Li mengejek. Ia sengaja memanaskan hati pihak lawan.

   
Si Bangau Merah Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Sama sekali tidak!"

   Bantah Cu Ki Bok penasaran.

   "Nona, engkau belum mengenal siapa adanya Supek (Uwa Guru) Dobhin Lama! Beliau adalah seorang tokoh besar di Tibet yang memiliki kedudukan tinggi. Tidak mungkin Supek mengguna-kan siasat. Supek telah lama mendengar akan nama besar Sin-ciang Tai-hiap dan kini ingin mengadu ilmu dengan Sin-ciang Tai-hiap. Kalau Sin-ciang Tai-hiap mampu menandingi Supek Dobhin Lama, maka mutiara hitam akan dikembalikan kepadanya."

   "Hemm, tidak cukup dengan itu! Kalau dia dapat menga-lahkan Dobhin Lama, selain mutiara hitam diserahkan kepadanya, juga Suheng Liem Sian Lun harus di-bebaskan!"

   Kata Sian Li.

   "Kalau syarat ini tidak dijanjikan, aku tidak sudi menyampaikan kepadanya."

   "Ha-ha-ha, sekarang juga dia sudah bebas, akan tetapi mana mungkin dia mau meninggalkan segala kesenangan itu? Akan tetapi baiklah, aku yang tanggung bahwa syarat ke dua itu dapat diterima dan disetujui oleh Supek. Kalau Supek kalah, Liem Sian Lun akan dibebaskan dan mutiara hitam akan diserah-kan kepada Sin-ciang Tai-hiap. Akan tetapi sebaliknya, kalau Supek yang menang, Sin-ciang Tai-hiap harus membantu perjuangan untuk menentang penjajah Mancu."

   Tentu saja Sian Li tidak berani lancang menerima syarat itu, maka ia menoleh kepada Yo Han dan berkata,

   "Han-ko, bagaimana pendapatmu? Biarpun Taihiap sudah menyerahkan keputusannya kepadaku, akan tetapi aku ingin tanya pendapatmu sebelum menerima syarat itu."

   Yo Han mengangguk-angguk.

   "Sin-ciang Tai-hiap adalah seorang pendekar yang menjunjung tinggi keadilan dan kebenaran. Bangsa Mancu menjajah, hal itu jelas tidak adil dan tidak benar, maka tentu saja dia tidak akan berkeberatan untuk menentang penjajah Mancu."

   Sian Li mengangguk-angguk.

   "Tepatsekali, aku pun berpikir demikian, Hanko. Nah, Cu Ki Bok, akan kusampaikan pesan itu kepada Sin-ciang Tai-hiap. Kuulangi taruhannya. Kalau dia menang, mutiara hitam harus diserahkan kepadanya dan Suhengku harus dibebaskan. Kalau Dobhin Lama yang menang, Sin-ciang Tai-hiap harus membantu perjuangan menentang penjajah Mancu. Kalau dia menerima tantangan itu, lalu kapan pertandingan itu diadakan dan di mana?"

   Cu Ki Bok tersenyum.

   "Dalam hal ini, Supek ingin memperlihatkan iktikad baiknya dan kejujurannya ketika mengajak Sin-ciang Tai-hiap untuk mengadu ilmu. Supek menyerahkan kepada Sin-ciang Tai-hiap untuk menentukan waktu dan tempat."

   "Kalau begitu sekarang juga!"

   SianLi berkata dengan cepat. Dara yang cerdik ini segera mengambil keputusan yang dianggapnya menguntungkan pihaknya.

   "Dan tempatnya, di puncak bukit sebelah sana itu!"

   Ia menunjuk ke arah bukit disebelah kiri. Ia tahu bahwa tempat yang menjadi sarang Hek I Lama berada disebelah kanan, maka bukit itu tentu merupakan tempat bebas dari pengaruh kekuasaan Hek I Lama sehingga kalau diadakan pertandingan di sana, maka pihak musuh tidak akan sempat mengatur siasat untuk menjebak atau mengeroyok. Cu Ki Bok memandang ke arah bukit itu dan mengangguk-angguk.

   "Baiklah, Kami akan melapor kepada ketua kami. Sebentar lagi, menjelang tengah hari, tentu Supek telah berada di puncak bukit itu. Harap saja janji kalian bukan merupakan bual kosong belaka. Selamat tinggal!"

   Cu Ki Bok lalu pergi dari situ diikuti lima orang pendeta Lama.

   "Kenapa engkau memilih tempat pertandingan di puncak bukit itu, Li-moi?"

   "Aku sengaja memilih tempat yang jauh dari mereka agar kita dapat mendahului mereka ketempat itu sehingga mereka tidak sempat membuat jebakan. Sebaiknya kalau kita sekarang juga pergi ke sana, Han-ko, untuk mengenal medan dan mempersiapkan diri."

   Yo Han kagum. Kiranya Sian Li, Si Bangau Merah yang dahulu sering digendongnya dan diajak bermain-main itu, kini telah menjadi seorang gadis yang cantik jelita, lihai, pemberani dan juga cerdik sekali.

   Cara gadis itu tadi menghadapi Cu Ki Bok saja sudah menunjukkan kecerdikannya. Diam-diam dia merasa bangga. Mereka lalu berangkat mendaki bukit yang tadi ditunjuk oleh Sian Li. Bukit itu ternyata merupakan sebuah bukit yang sunyi, penuh dengan hutan belukar dan tidak nampak ada dusun di atas bukit. Dusun-dusun hanya terdapat di kaki bukit, begitu mereka mendaki ke atas, ternyata tidak terdapat dusun di lereng-lereng bukit itu yang penuh hutan liar belukar dan rawa-rawa. Bahkan mendaki ke puncak pun tidak mudah walaupun bukit itu tidak terlalu besar. Karena kini dia sudah berada di tempat di mana ditentukan adu kepandaian itu, untuk menjaga kalau-kalau ada pihak musuh yang melihatnya. Yo Han sudah mengenakan caping berikut tirai sutera hitamnya, dan membiarkan rambutnya juga terlepas riap-riapan.

   Akan tetapi, betapa heran mereka ketika tiba di puncak, mereka melihat sebuah pondok berdiri di situ! Sebuah pondok kayu yang nampaknya masih baru, mungkin hanya beberapa bulan saja umurnya. Kecil namun kokoh kuat. Dan di belakang dan kanan kiri pondok itu nampak ditanami sayur-sayuran, di depan pondok, sebuah taman yang penuh bunga indah amat menyedapkan pandang mata. Tentu saja Sian Li dan Yo Han tertegun sejenak dan saling pandang. Sungguh diluar dugaan mereka bahwa di tempat sunyi itu terdapat pondok tempat tinggal orang! Siapa orangnya yang tinggal di tempat sunyi seperti ini? Tentu hanya pertapa atau pendeta yang sengaja mengasingkan diri dari dunia ramai. Ketika dengan ragu-ragu mereka memasuki pelataran rumah itu yang merupakan sebuah taman dikelilingi pagar bambu, tiba-tiba terdengar bentakan halus suara wanita,

   "Berhenti! Siapa kalian berani lancang memasuki pekarangan rumah orang tanpa diundang!"

   Yo Han dan Sian Li berhenti, lalu memandang ke arah suara yang keluar dari pinggir pondok.

   Ketika pemilik suara muncul, mereka memandang heran. Wanita itu berusia lima puluh tahun lebih, namun masih nampak cantik manis. Pakaiannya sederhana namun bersih dan ringkas, tubuhnya masih padat dan tegak, sikapnya gagah dan sebatang pedang yang tergantung di pinggang menunjukkan bahwa wanita ini seorang ahli silat yang tidak lemah. Rambut panjang yang sudah dihias uban itu digelung ke atas, dengan hiasan tusuk sanggul dari perak berbentuk bunga seruni. Wanita itu dengan alis berkerut dan sinar mata tajam menyelidik, mengamati Yo Han dan Sian Li. Juga ia merasa heran melihat bahwa tamu-tamu yang tidak di undangnya itu seorang pemuda tampan bermata tajam mencorong, dan seorang gadis yang jelita. Sian Li yang lincah jenaka itu sudah dapat menguasai keheranannya dan iapun tersenyum manis.

   "Aih, Bibi ini manusia ataukah peri? Bibi kelihatan seperti seorang wanita setengah tua yang cantik dan gagah, agaknya memang seorang manusia dari darah daging. Akan tetapi kalau manusia, kenapa hidup dipuncak bukit yang amat sepi ini seorang diri?"

   Wanita itu terbelalak dan matanya bersinar marah.

   "Kau bocah lancang mulut!"

   Wanita itu menggerakkan lengan bajunya dan tiba-tiba tubuhnya sudah meloncat dan melayang ke depan Sian Li.

   Gerakannya demikian ringannya seperti terbang saja. Begitu tiba di depan Sian Li, ia menggerakkan tangan menampar ke arah pundak gadisitu. Tamparannya nampak lembut dan tidak mengandung tenaga, akan tetapi ada angin yang dingin menyambar ke arah pundak Sian Li. Gadis ini terkejut, mengenal pukulan yang mengandung sin-kang (tenaga sakti) dingin. Cepat ia pun mengelak dan sambaran tangan wanita itu luput. Kini tangan kanan wanita itu menyambar dan kembali tangan itu menampar ke arah pundak kiri Sian Li. Kalau tadi tangan kiri wanita itu mendatangkan angin yang dingin sekali, sekarang tangan kanannya yang menyambar itu membawa angin pukulan yang amat panas sehingga telapak tangan itu beruap! Kembali Sian Li terkejut dan cepat ia menggeser kaki, menarik diri ke belakang sehingga pukulan ke dua itupun luput.

   "Ehh....?"

   Wanita itu nampak terkejut dan heran. Tak disangkanya sama sekali bahwa gadis remaja yang lancang mulut itu mampu menghindarkan diri dari dua tamparannya yang hebat! Ia merasa penasaran dan siap untuk menyerang sungguh-sungguh akan tetapi pada saat itu terdengar suara mencegahnya.

   "Ibu, harap jangan pukul orang....!"

   Wanita setengah tua itu terkejut dan membalikkan tubuh, dan ketika ia melihat seorang pemuda keluar dari pintu pondok, ia mengangkat kedua tangannya ke atas dan memandang penuh kekhawatiran.

   "Ciang Hun, kenapa engkau bangun. Seharusnya engkau melanjutkan pengobatan dengan menghimpun hawa murni agar engkau sembuh benar!"

   Pemuda itu tersenyum,

   "Ibu, aku sudah sembuh."

   Mendengar ini, wanita itu berlari menghampiri dan merangkul pundak pemuda itu dengan pandang mata yang membuat Sian Li terharu. Pandang mata wanita itu terhadap puteranya sungguh penuh kasih sayang mendalam! Wanita itu seorang ibu yang teramat besar kasih sayangnya kepada puteranya.

   Ia pun seperti Yo Han, kini memperhatikan pemuda yang baru muncul dari dalam pondok itu. Pemuda itu bertubuh tinggi besar dan tegap sehingga nampak gagah perkasa, namun wajahnya membayangkan kelembutan dan ketenangan. Usianya sekitar dua puluh delapan tahun. Pada saat itu, wajahnya agak pucat, wajah yang tampan dengan alis tebal dan hidung mancung besar. Matanya seperti mata ibunya, jeli dan bersinar tajam. Pemuda itu kini meng-hampiri Sian Li dan Yo Han. Pandang matanya menyelidik, akan tetapi mulutnya tersenyum ramah dan dengan rendah hati dia mengangkat kedua tangan di depan dada sebagai penghormatan. Tentu saja Yo Han segera membalasnya, dan Sian Li yang masih mendongkol karena tadi diserang secara membabi-buta, mengikuti Yo Han dengan setengah hati.

   "Harap Jiwi (Anda Berdua) memaafkan ibuku yang menyambut Jiwi dengan sikap kasar. Hendaknya Jiwi ketahui bahwa disini banyak berkeliaran orang jahat, maka ibuku menjadi pemarah dan mencurigai semua orang. Kalau boleh kami mengetahui, siapakah Jiwi dan apa pula maksud kunjungan Jiwi kesini?"

   Selain suaranya lembut, wajahnya cerah dan dihias senyum, juga kata-katanya teratur, tanda bahwa pemuda tinggi besar itu seorang yang terpelajar. Yo Han segera merasa tertarik dan dia pun merasa sungkan sekali, ingat betapa dia dan Sian Li telah lancang memasuki pekarangan orang tanpa ijin. Wanita, setengah tua itu tidak bersalah, apalagi agaknya ucapan jenaka dari Sian Li tadi agaknya membuat wanita yang sedang risau dan pemarah itu salah sangka atau salah tampa.

   "Kamilah yang seharusnya minta maaf sobat,"

   Kata Yo Han dengan sikap sopan.

   "Kami telah lancang memasuki pekarangan ini, bukan dengan niat buruk dihati, melainkan karena keinginan tahu siapa penghuni rumah ditempat yang sunyi ini. Saya bernama Yo Han dan adik ini bernama Tan Sian Li."

   Pemuda tinggi besar itu menerima perkenalan dengan ramah.

   "Namaku Gak Ciang Hun, dan ini adalah ibuku. Baru beberapa bulan kami memilih tempat ini sebagai tempat tinggal yang baru. Kami kira tempat ini tenteram dan penuh kedamaian, siapa kira, baru sebulan yang lalu dikaki bukit kami bertemu dengan orang-orang jahat yang mengeroyok sehingga biarpun kami berhasil mengusi rmereka, aku menderita luka dan ibu menjadi pemarah, selalu mencurigai setiap orang asing."

   "Apakah orang-orang jahat itu para Lama berjubah hitam, ataukah orang Nepal, atau pengemis-pengemis bertongkat hitam?"

   Tanya Sian Li. Gak Ciang Hun memandang kepada Sian Li dengan mata terbelalak lebar. Baru sekarang dia memandang gadis itu sepenuhnya dan diam-diam dia merasa kagum dan terpesona. Gadis ini bukan saja lincah jenaka, akan tetapi mampu menyambut dua kali pukulan ibunya, dan ternyata amat cantik jelita dan juga nampaknya cerdik bukan main.

   "Nona, bagaimana Nona bisa mengetahuinya dengan tepat? Memang diantara para pengeroyok, terdapat tiga macam orang itu!"

   "Tentu saja aku tahu!"

   Kata Sian Li sambil tersenyum dan membusungkan dada yang sudah menonjol itu.

   "Bahkan aku tahu lebih banyak lagi! Setidaknya, aku tahu bahwa Bibi Gak ini tentu pernah mem-pelajari ilmu Hui-yang Sin-kang dan Swat-im Sin-kang dari keluarga pendekar Pulau Es."

   Wanita itu mengeluarkan seruan kaget dan dengan gerakan cepat sekali ia telah meloncat mendekati Sian Li, sepasang matanya seperti berapi ketika ia memandang kepada gadis itu.

   "Hemm, bagaimana kau tahu tentang ilmu-ilmu dari Pulau Es? Hayo cepat katakan!"

   Sian Li sendiri adalah seorang gadis yang galak dan pemberani. Ia tersenyum mengejek.

   "Bibi, engkau terlalu galak! Aku bukan apa-apamu, kenapa main bentak saja? Kalap seperti ini sikapmu dalam bertanya, aku pun tidak jadi menjawab. Nah, kau mau apa?"

   Sebelum ibunya marah-marah, pemuda tinggi besar itu cepat menengahi dan berkata,

   "Harap Nona suka memaafkan Ibuku. Seperti kukatakan tadi, Ibu menjadi pemarah karena gangguan orang-orang jahat itu. Akan tetapi, sungguh kami berdua merasa terkejut dan heran sekali mendengar Nona mengenal ilmu-ilmu dari Pulau Es. Bagaimanakah Nona dapat mengetahui bahwa Ibuku mempelajari ilmu-ilmu Pulau Es?"

   Sian Li tersenyum.

   "Apa sukarnya? Ibumu tadi menamparku dengan Swat-im Sin-kang, kemudian tamparan kedua menggunakan tenaga Hui-yang Sin-kang. Setahuku, para murid pendekar Pulau Es tidaklah jahat dan galak, main bentak dan main pukul saja."

   Mendengar ini, Gak Ciang Hun cepatmemberihormat."Kalau begitu, Nona adalah murid keluarga pendekar PulauEs?"

   "Katakan dulu, dari siapakah ibumu mempelajari ilmu Pulau Es? Baru aku akan menerangkan tentang diriku,"

   Kata Sian Li dengan sikap "jual mahal"

   Untuk melepaskan kedongkolan hatinya karena tadi diserang dan dibentak-bentak oleh ibu pemuda itu.

   "Nona Tan Sian Li, ketahuilah bahwa kami mem-pelajari ilmu keluarga Pulau Es dari mendiang kakek kami,"

   Jawab Ciang Hun.

   "Siapa nama mendiang kakekmu itu?"

   "Mendiang kakek adalah Bu Beng Lokai (Pengemis Tua Tanpa Nama)."

   Kini Sian Li terbelalak.

   "Aihh....? Bukankah Locianpwe itu yang bernama GakBun Beng?"

   Ia teringat akan cerita paman kakeknya, yaitu Suma Ceng Liong yang memperkenalkan nama para pendekar yang mempunyai hubungan dengan keluarga Pulau Es dan yang mewarisi ilmu-ilmu dari Pulau Es.

   "Benar, Nona. Kedua orang Ayahku, Beng-san Sian-eng, juga telah meninggal dunia pula kurang lebih setahun yang lalu Setelah Ayah meninggal, Ibu tidak betah lagi tinggal di Beng-san, maka kami pergi meninggalkan Beng-san dan merantau sampai ke sini, lalu memilih tempat sunyi ini sebagai tempat tinggal sementara."

   Kini Sian Li tidak berani main-main dan tidak berani bersikap galak lagi. Ia mengangkat kedua tangan memberi hormat kepada wanita setengah tua yang masih cantik namun galak itu.

   "Kalau begitu, maafkanlah aku, bibi yang baik. Kiranya bibi bukan orang lain dan di antara kita masih ada hubungan yang cukup dekat...."

   "Hemm, cukuplah bermaaf-maafan ini,"

   Kata Nyonya Gak atau Souw Hui Lan.

   "Engkau sudah mengetahui Siapa kami, akan tetapi kami belum tahu siapa engkau dan apa hubunganmu dengan keluarga Pulau Es."

   "Bibi, aku dapat dikatakan murid Pulau Es, akan tetapi juga keluarga Pulau Es. Nenekku bernama Suma Hui adalah cucu Pendekar Super Sakti dari Pulau Es, dan aku pun di ambil murid oleh Paman Kakekku sendiri, yaitu Kakek Suma Ceng Liong."

   Wanita itu membelalakkan matanya dan wajah yang tadinya masam itu kini menjadi cerah berseri.

   "Ahhh.... kiranya engkau cucu Enci Suma Hui dan bahkan murid pendekar benar Suma Ceng Liong? Kalau begitu, sama sekali tidak aneh kalau engkau mengenal dua tamparanku tadi! Engkau benar, kita masih ada ikatan yang dekat. Maafkan sikapku tadi, Sian Li. Kakakmu Ciang Hun benar, aku menjadi pemurung dan pemarah,bukan hanya karena sikap orang-orang jahat dikaki bukit, melainkan sejak kedua pamanmu meninggal dunia...."

   Sian Li sudah mendengar dari paman kakeknya bahwa wanita ini bernama Souw Hui Lian dan menikah dengan dua orang suami, yaitu pendekar kembar Gak Jit Kong dan Gak Goat Kong, putera Gak Bun Beng.

   "Sudahlah Bibi. Yang sudah meninggal tidak perlu disedihkan. Kita semua pun akan mengalaminya, dan kata Paman Kakek Suma Ceng Liong, kematian hanya merupakan perjalanan pulang yang abadi, setelah orang merantau di dunia yang penuh sengketa ini. Kalau Bibi terlalu bersusah hati, akibatnya hanya akan mengganggu kesehatan sendiri."

   "Bukan main!"

   Ciang Hun yang biasanya tenang dan lembut itu kini berseru dengan mata bersinar-sinar.

   "Masih begini muda namun telah memiliki pengertian demikian mendalam tentang kematian. Dan siapakah saudara Yo Han ini? Apakah juga murid atau anggauta keluarga Pulau Es?"

   "Ciang Hun, sekarang engkau yang kurang sopan. Kenapa dua orang tamu terhormat diajak bicara di pekarangan saja? Anak-anak yang baik, marilah kita bicara didalam pondok. Silakan masuk!"

   Kata Nyonya Gak atau Souw Hui Lian. Sian Li tertawa dan mereka pun memasuki pondok. Siapakah ibu dan anak itu? Nyonya itu dahulu bernama Souw Hui Lian, murid dari sepasang pendekar Gak Jit Kong dan Gak Goat Kong. Kemudian, murid itu jatuh cinta kepada kedua orang gurunya, dan demikian sebaliknya, maka ia menjadi isteri kedua orang pendekar itu. Dari perjodohan yang agak ganjil ini, yaitu seorang isteri dengan dua suami, lahirlah seorang anak laki-laki yang diberi nama Gak Ciang Hun. Sepasang Pendekar Gak yang kemudian berjuluk Beng-san Sian-eng (Sepasang Pendekar dari Beng-san) itu adalah putera tunggal Gak Bun Beng,

   Seorang pendekar yang pernah digembleng oleh Pendekar Super Sakti sehingga mewarisi ilmu tenaga sakti dari Pulau Es, dan yang setelah tua berjuluk Bu Beng Lokai. Pada akhir hayatnya, Bu Beng Lokai ini masih sempat mengoperkan tenaga sakti Hui-yang Sin-kang dan Swat-im Sin-kang kepada cucunya, yaitu Gak Ciang Hun yang kini telah menjadi seorang pemuda perkasa berusia dua puluh delapan tahun dan belum menikah. Keluarga ini tinggal di Pegunungan Beng-san. Setelah dua orang pendekar kembar itu meninggal dunia karena usia tua, Souw Hui Lian menjadi sedih sekali, tidak betah lagi tinggal di Beng-san dan mengajak puteranya merantau sampai ke barat, dan memilih bukit itu sebagai tempat tinggal. Mereka kini duduk di dalam pondok, dimana terdapat bangku-bangku batu buatan Ciang Hun sendiri. Sederhana namun kokoh.

   "Nah, sekarang ceritakan tentang dirimu, Saudara Yo Han. Engkau she (bermarga) Yo, tentu bukan keluarga Pulau Es. Apakah murid Pulau Es pula?"

   Yo Han menggeleng dan saling pandang dengan Sian Li. Gadis ini maklum akan perasaan hati Yo Han.

   "Han-ko, Bibi Gak dan Kakak Ciang Hun ini bukan orang lain. Kurasa sebaiknya kalau engkau berterus terang saja, bahkan kita dapat saling bantu dengan mereka menghadapi gerombolan jahat itu."

   Mendengar ucapan Sian Li Itu, Yo Han mengangguk-angguk. Dia dikenal sebagai pendekar bertopeng atau yang selalu menyembunyikan muka dan disebut Sin-ciang Tai-hiap, bukan karena sengaja. Dia merantau dan berkeliaran di daerah perbatasan Tibet ini karena menunaikan tugas, mentaati pesan mendiang gurunya,

   Kakek Ciu Lam Hok, yaitu mencari dan merampas kembali mustika mutiara hitam. Karena bertahun-tahun dia tidak dapat menemukan pusaka itu, maka sepak terjangnya menentang kejahatan membuat nama Sin-ciang Tai-hiap terkenal. Kalau mustika itu sudah dapat dirampasnya, tentu dia akan meninggalkan daerah itu dan Sin-ciang Tai-hiap pun akan lenyap bersama dia. Terhadap orang orang segolongan sendiri, memang tidak perlu menyembunyikan rahasianya itu, apalagi saat ini dia sedang menghadapi ancaman musuh yang selain lihai, juga banyak jumlahnya dan mungkin mereka akan melakukan kecurangan. Dia tidak khawatir akan diri sendiri, melainkan khawatir karena Sian Li terlibat. Kalau ada dua orang Ibu dan anak ini yang juga berkepandaian tinggi dapat saling bantu dengan mereka, tentu keselamatan Sian Li lebih terjamin.

   "Bibi dan Saudara Gak Ciang Hun, sesungguhnya saya tidak mempunyai hubungan sama sekali dengan keluarga Pulau Es yang terhormat dan yang berilmu tinggi. Akan tetapi di waktu saya kecil, saya pernah menerima pertolongan orangtua AdikTan Sian Li, bahkan saya yang sudah yatim piatu ditampung oleh mereka. Saya diaku sebagai murid, maka hubungan saya dengan Adik Sian Li seperti saudara saja."

   Dia berhenti, tidak tahu harus menceritakan apalagi. Melihat ini, Sian Li membantunya.

   "Kakak Yo Han ini tiga belas tahunyang lalu berpisah dariku, Bibi. Dia mengorbankan diri, menggantikan aku menjadi tawanan seorang iblis betina, dan sejak itu kami saling berpisah. Ketika itu usiaku baru empat tahun. Sekarang, tiga belas tahun kemudian, kita saling bertemu di tempat ini! Bukankah hal itu amat mengherankan dan membahagiakan?"

   Souw Hui Lian mengangguk-angguk.

   "Sungguh mengheran-kan sekali. Kalian yang keduanya datang dari timur, bagaimana dapat secara aneh saling jumpa di sini? Tentu menarik sekali ceritanya!"

   "Nanti dulu, Ibu. Sebaiknya Saudara Yo Han menceritakan dulu siapa gurunya kalau bukan keluarga Pulau Es,"

   Kata Ciang Hun.

   "Ah,guru saya seorang yang tidak terkenal dan menyembunyikan diri, dan saya tidak dapat dibandingkan dengan para murid Pulau Es...."

   Kata Yo Han merendah. Sikap ini membuat Sian Li mengerutkan alisnya.

   "Bibi, Gak-toako (Kakak Gak) belum lama tinggal di sini, akan tetapi dalam perjalanan ke barat, kurasa pernah mendengar nama Sin-ciang Tai-hiap, bukan? Ataukah belum pernah?"

   "Pendekar yang penuh rahasia itu, yang bersikap lembut terhadap para penjahat, yang menundukkan banyak tokoh dan datuk jahat itu? Kami pernah mendengarnya, dan tak mengetahui siapa sebetulnya pendekar itu karena selalu menyembunyikan mukanya dibalik tirai caping lebarnya,"

   Kata Ciang Hun.

   "Nah, inilah orangnya!"

   Kata Sian Li dengan bangga sambil menunjuk kepada Yo Han. Pemuda ini mengerutkan alisnya dan mukanya berubah kemerahan.

   "Saya tidak sengaja menggunakan nama julukan seperti itu...."

   Katanya.

   "Dan saya mohon Jiwi setelah mendengar pembukaan rahasia dari Adik Sian Li, akan menyimpannya sebagai rahasia. Saya tidak ingin dikenal sebagai Sin-ciang Tai-hiap."

   Ibu dan anak itu tercengang. Mereka sudah mendengar bahwa pendekar yang penuh rahasia itu memiliki kesaktian yang luar biasa, dan kini orangnya berada didepan mereka, seorang pemuda yang sederhana, ramah bahkan pemalu! Kalau bukan Sian Li yang memberitahu, tentu mereka tidak akan percaya. Ciang Hun cepat bangkit dan memberi hormat kepada Yo Han.

   "Ah, kiranya kami berhadapan dengan seorang pendekar besar, maafkan kami dan terimalah hormatku, Taihiap!"

   Yo Han cepat membalas.

   "Gak-toako, harap jangan bersikap seperti itu kalau memang Jiwi (Kalian Berdua) menghendaki bersahabat dengan saya."

   "Gak-toako, bersikaplah biasa saja. Biarpun Han-ko ini memiliki ilmu silat yang tinggi, namun dia tidak suka ditonjolkan. Itulah sebabnya dia menyembunyikan keadaan dirinya dan selalu menutupi muka dengan tirai caping dan rambut. Dan biarpun dia penentang kejahatan yang gigih, namun dia tidak suka akan kekerasan. Apalagi membunuh manusia, membunuh seekor ayam pun dia tidak tega!"

   "Ih, Li-moi, jangan goda aku,"

   Kata Yo Han. Ibu dan anak itu memandangpenuh kagum.

   "Sekarang, ceritakan apa yang membawa kalian ke bukit ini, dan bagaimana kalian dapat saling jumpa di tempat terasing ini,"

   Kata Nyonya Gak.

   "Bibi, aku bersama seorang Suhengku, murid Paman Kakek Suma Ceng Liong bernama Sian Lun...."

   "Ah, kakakmu?"

   Tanya Ciang Hun.

   Si Bangau Merah Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Bukan, Toako, biarpun namanya mirip. Dia bernama Liem Sian Lun dan menjadi suhengku. Kami berdua ikut Paman Kakek Suma Ciang Bun dan Nenek Gangga Dewi pergi ke Bhutan."

   "Aku tahu Suma Ciang Bun, akan tetapi siapa Gangga Dewi?"

   Tanya Nyonya Gak.

   "Nenek Gangga Dewi adalah puteri mendiang Kakek Wan Tek Hoat dan Puteri Syanti Dewi."

   Sian Li menjelaskan.

   "Aihhh...! Kiranya begitu? Menarik sekali. Lalu, di mana sekarang suhengmu itu?"

   "Inilah persoalan yang kami hadapi, Bibi Gak. Aku dan Suheng, dalam perjalanan dari Bhutan hendak kembali ketimur, bertemu dengan gerombolan persekutuan orang Nepal, orang-orang HekI Lama dan para anggauta pengemis tongkat hitam. Kami bentrok dengan mereka, dan Suheng tertawan. Kalau tidak muncul Sin-ciang Tai-hiap yang kemudian kukenal sebagai Han-ko ini, tentu aku pun telah mereka tawan."

   "Wah, kalau begitu kita harus cepat menolong suhengmu itu! Kita harus membebaskannya dari tangan mereka!"

   Seru Ciang Hun dan mendengar ini, diam-diam Yo Han merasa girang dan kagum. Gak Ciang Hun ini seorang pemuda yang gagah berani.

   "Benar, kita harus cepat membebaskan suhengmu, Sian Li!"

   Kata pula Nyonya Gak.

   "Itulah persoalannya, Bibi,"

   Kata Sian Li sambil menghela napas.

   "Jumlah mereka banyak sekali, merupakan persekutuan, dan diantara para pimpinan Hek I Lama terdapat banyak orang yang berkepandaian tinggi."

   Mendengar suara gadis itu penuh kegelisahan, Yo Han merasa iba dan dia semakin yakin bahwa gadis yang ketika kecil di asuhnya dan digendongnya ini agaknya memang jatuh cinta kepada suhengnya sendiri.

   "Li-moi, jangan khawatir. Aku pasti akan berusaha sekuat tenaga untuk membebaskan suhengmu,"

   Katanya dengan nada suara penuh keyakinan.

   "Kebetulan kita dapat saling jumpa di sini,"

   Kata pula Nyonya Gak.

   "Mari kita serbu sarang mereka. Dengan tenaga kita berempat, kita paksa mereka membebaskan suhengmu itu, Sian Li."

   "Terima kasih atas uluran tangan Bibi dan Gak-toako. Akan tetapi, Ketua Hek I Lama telah menantang Sin-ciang Tai-hiap untukmengadu ilmu dipuncak bukit ini, dengan taruhan bahwa kalau dia ka lah, dia akan membebaskan Suheng dan menyerahkan mutiara hitam milik guru Han-ko. Sebaliknya kalau Sin-ciang Tai-hiap kalah, dia harus membantu perjuangan gerombolan itu menentang penjajah Mancu."

   

Suling Naga Eps 22 Suling Naga Eps 40 Suling Naga Eps 36

Cari Blog Ini