Ceritasilat Novel Online

Pusaka Pulau Es 5


Pusaka Pulau Es Karya Kho Ping Hoo Bagian 5



"Memang ada keperluan lain, Pangcu. Kami membawa sepucuk surat dari guru kami untuk disampaikan kepada Pangcu."

   Kata Thian-yang-cu sambil mengeluarkan sesampul surat yang dia berikan kepada Yo Han.

   Sementara itu, Tan Sian Li mengerutkan alisnya karena beberapa kali dia memergoki Bhok-im-cu memandang kepadanya dengan mata lahap sekali. Ia merasakan benar betapa mata tosu itu mengaguminya dan hal ini dianggapnya sama sekali tidak pantas, apalagi tamu itu seorang tosu. Setelah, menerima surat itu, Yo Han membacanya. Alisnya berkerut dan pandang matanya mengandung keheranan ketika dia menyerahkan surat itu kepada isterinya untuk dibaca. Juga Tan Sian Li merasa heran setelah membaca surat itu. Di dalam surat yang ditulis sendiri oleh Thian It Tosu, dinyatakan bahwa Bu-tong"pai"

   Mengajak Thian-li-pang untuk memberontak dan bergerak. Waktunya sudah tiba dan untuk apa menunda dan menanti lagi, demikian isi surat itu.

   Nadanya keras dan penuh kebencian kepada pemerintah Mancu. Yang membuat suami isteri itu heran adalah bahwa biasanya Thian It Tosu bersikap lunak dan biarpun berjiwa patriot seperti mereka, namun tosu tua itu tidak pernah menyatakan keinginannya untuk memberontak sekarang. Kekuatan pihak pemerintah masih terlampau besar sedangkan para pejuang belum bersatu, bahkan banyak golongan pendekar masih mendukung pemerintah Mancu. Bergerak dan memberontak sekarang sukar diharapkan hasilnya dan sama dengan bunuh diri. Itulah sebabnya mereka terheran-heran membaca surat yang keras itu, yang mengajak mereka untuk memberontak dan bergerak sekarang juga. Setelah isterinya selesai membaca surat dan mengembalikannya kepadanya, Yo Han menyimpan surat itu dan memandang kepada kedua orang utusan itu.

   "Apakah Ji-wi Totiang telah diberi"tahu akan isi surat ini?"

   "Tentu saja sudah, Pangcu!"

   Kata Bhok-im-cu dengan suara lantang dan mulutnya tersenyum, matanya kembali mengerling genit ke arah nyonya rumah.

   "Kami berdua adalah murid-murid utama yang dipercaya oleh suhu, maka selain mengirimkan surat, kami juga diberi wewenang untuk membicarakan urusan dalam surat itu dengan Pangcu."

   "Hemmm, begitukah? Nah, kalau begitu, ingin kami bertanya, dengan alasan apakah Bu-tong-pai hendak mengajak kami untuk bergerak sekarang?"

   Kini Thian-yang-cu yang menjawab.

   "Menurut suhu, alasannya adalah bahwa sekarang tiba saatnya yang amat baik. Kaisar Cia Cing yang sekarang ini tidak dapat disamakan dengan mendiang Kaisar Kiang Liong. Kedudukannya lemah, apalagi di mana-mana terjadi pemberontakan dan perlawanan dari suku-suku bangsa liar maupun dari bajak laut. Kalau sekarang kita menyerbu dan dapat membunuh kaisar, maka pemberontakan kita akan berhasil baik."

   Yo Han menggeleng kepalanya.

   "Aku sangsikan benar akan keberhasilan itu. Kalau hanya dengan menyerbu istana dan membunuh kaisar saja lalu berarti dapat memenangkan perang dan menggulingkan pemerintah Mancu, ah, hal itu hanya merupakan lamunan kosong belaka. Kita harus ingat akan ratusan ribu bala tentara pemerintah yang berada di luar istana. Mereka itu dapat menyerbu dan menghancurkan kita, kemudian dalam sehari saja mereka dapat mengangkat seorang kaisar baru. Lalu apa artinya pengorbanan kita? Tidak semudah itu, Totiang!"

   Bhok-im-cu mengerutkan alisnya yang tebal dan dia bangkit berdiri.

   "Apakah itu berarti bahwa Pangcu tidak menyetujui niat guru kami yang berjiwa patriot? Demi kemerdekaan bangsa, kami rela mempertaruhkan nyawa. Kalau Pangcu merasa takut, Pangcu boleh membantu di belakang saja dan biarkan kami yang maju di depan!"

   Biarpun ucapan itu memanaskan hati, Yo Han tetap tersenyum dan bersikap tenang.

   "Totiang, ingatlah bahwa perjuangan kita ini bukan sekadar hendak menjatuhkan seorang kaisar untuk diganti kaisar baru, melainkan mengusir penjajah dari tanah air. Untuk itu, kita harus mampu menggerakkan seluruh kekuatan para pejuang dan bukan hanya membunuh kaisarnya, melainkan mengalahkan semua kekuatan mereka dan mengusir mereka dari tanah air. Dan untuk itu, kami rasa waktunya belum tepat. Kita masih belum bersatu, dan di belakang kita rakyat belum siap."

   "Kalau menanti seperti yang Pangcu katakan itu, sampai mati pun kita tidak akan pernah bergerak. Membunuh kaisar berarti mengacaukan keadaan mereka. Sekali lagi, kalau Pangcu takut...."

   "Bhok-im-cu Totiang"

   Bentak Yo Han memotong kata-kata orang itu.

   "Mengapa aku mesti takut? Kalau Totiang tidak takut, aku pun tidak takut. Apa yang dapat Totiang lakukan, aku pun tentu dapat! Aku bukan takut, hanya menggunakan perhitungan akal, bukan hanya ingin mati konyol seperti seorang laki"laki yang tolol!"

   Bhok-im-cu menjadi merah mukanya.

   "Bagus! Sudah lama pinto mendengar akan kehebatan Pendekar Tangan Sakti Yo Han. Pinto hanya memiliki sedikit saja kepandaiah, akan tetapi kalau Yo-pangcu dapat menyamainya, biarlah pinto mengaku kalah!"

   Bhok-im-cu sudah mencabut sebatang golok. Melihat ini, Thian-yang-cu terkejut dan hendak mencegah sutenya.

   "Sute, jangan bersikap kasar!"

   Celanya.

   "Suheng, aku hanya ingin minta petunjuk Yo-pangcu saja. Jangan khawatir!"

   Jawab Bhok-im-cu. Di sudut ruangan itu, terpisah sedikitnya dua puluh meter dari situ, terdapat sebuah orang-orangan dari kayu. Patung ini gunanya untuk belajar ilmu totok bagi murid-murid Thian-li-pang dan sekali Bhok-im-cu menggerakkan tangannya, goloknya sudah meluncur dengan cepat sekali dan tahu-tahu golok itu sudah menancap di ulu hati patung itu, menancap sampai setengahnya! Melihat ini, Yo Han tersenyum. Harus diakui bahwa tosu itu selain pandai sekali menyambit dengan golok, semacam ilmu yang disebut hui-to (golok terbang), juga memiliki tenaga yang cukup hebat sehingga dalam jarak sejauh itu goloknya mampu menancap sampai setengahnya pada patung kayu yang keras itu.

   "Pinjam pedangmu!"

   Kata Yo Han kepada isterinya. Tan Sian Li yang berjuluk Si Bangau Merah ini memang selalu membawa dua batang suling yang berselaput emas. Ia mencabut dan menyerahkan pedangnya kepada suaminya. Yo Han menerima pedang itu dan tanpa membidik pula dia sudah menggerakkan tangan, melontarkan pedang itu ke arah patung. Pedang meluncur bagaikan sebatang anak panah, mengeluarkan suara berdesing panjang.

   "Sing.... cringgg....!"

   Pedang itu dengan tepat mengenai gagang golok sehingga gagang golok terbelah dua, akan tetapi pedang masih meluncur dan tepat menancap pada patung itu, dekat sekali dengan golok dan pedang itu menembus sampai ke gagangnya!

   "Maaf, Totiang, kalau aku tanpa sengaja merusak gagang golokmu. Nah, ambillah golokmu itu!"

   Dengan muka merah Bhok-im-cu meng"hampiri patung itu dan mencabut goloknya yang sudah pecah gagangnya itu, kemudian menghampiri tuan rumah dan memberi hormat.

   "Kepandaian Yo-pangcu memang bukan berita kosong belaka. Pinto kagum sekali."

   Sementara itu, Thian-yang-cu yang mendongkol melihat sikap sutenya, sudah memberi hormat dan berkata,

   "Yo-pangcu, sekarang kami mohon diri dan maafkanlah kelakuan kami yang tidak sepatutnya."

   "Selamat jalan, Ji-wi Totiang dan sampaikan pesanku kepada Thian It Tosu bahwa pada saatnya nanti kami akan menerima undangannya dan menghadiri pertemuan itu."

   Dua orang tosu itu lalu meninggalkan Thian-li-pang. Setelah mereka pergi, Tan Sian Li mendengus.

   "Hemmm, kenapa para tosu Bu-tong-pai sekarang menjadi begitu pongah? Sikap tosu tadi tidak mencerminkan pimpinan yang baik. Mengapa engkau berjanji mau datang memenuhi undangan Thian It Tosu?"

   Suaminya menghela napas panjang.

   "Biarpun sikap tosu tadi tidak patut, akan tetapi aku tetap menghormat Thian It Tosu sebagai seorang tokoh yang lebih tua. Dalam suratnya dia menyatakan untuk mengundang semua perkumpulan yang berjiwa patriot untuk hadir. Dan aku akan menghadirinya, biarpun hanya untuk mencegah terjadinya penyerbuan ke istana yang tergesa-gesa, tidak ada manfaatnya bahkan hanya akan membuat kita semua menjadi buruan pemerintah saja."

   Baru setelah dua orang tosu itu pergi, muncul Han Li. Gadis ini memandang kepada ayah ibunya, dan bertanya.

   "Ayah dan Ibu, siapakah dua orang tosu tadi dan apa keperluan mereka?"

   "Mereka adalah murid-murid Bu-tong"pai dan mereka mengundang kami untuk menghadiri pertemuan rapat yang hendak diadakan ketua Bu-tong-pai."

   Jawab Yo Han sambil menghampiri patung dan mencabut pedang isterinya dari situ.

   "Eh, kenapa pedang Ibu menancap di patung itu? Apa yang terjadi, Ibu? Engkau kelihatan seperti tidak senang hati!"

   Han Li kembali bertanya, kini ditujukan kepada ibunya.

   "Hemmm, seorang di antara dua tosu Bu-tong-pai tadi memperlihatkan ilmu golok terbangnya menantang ayahmu sehingga terpaksa ayahmu melayaninya."

   "Tosu sombong itu menjemukan!"

   Kata Tan Sian Li, masih mendongkol karena Bhok-im-cu tadi memandangnya dengan sinar mata kurang ajar.

   "Sudahlah, urusan itu dihabiskan sampai di sini saja!"

   Kata Yo Han dan mereka bertiga meninggalkan ruangan tamu itu.

   Keng Han melakukan perjalanan cepat menuju ke barat. Dia masih membayangkan wajah Kwi Hong dan merasa kagum sekali kepada gadis itu. Seorang gadis yang hebat, pikirnya. Kalau saja dia tidak ingat akan kepantasan dan juga akan keselamatan gadis itu, tentu dengan senang hati dia menerima tawaran Kwi Hong yang menyatakan hendak ikut dan membantunya menuntut Dalai Lama yang telah menyuruh orang membunuh gurunya! Pada suatu hari, tibalah dia di sebuah dusun di daerah pegunungan. Ketika dia mendaki bukit itu, dari jauh dia sudah mendengar suara ribut-ribut di depan dan melihat orang-orang dusun berkumpul di luar dusun. Dia mempercepat jalannya dan berlari mendaki lereng.

   Setelah tiba di sana dia tertegun. Mula-mula jantung"nya berdebar karena mengira bahwa Kwi Hong yang mengamuk itu, akan tetapi ternyata bukan, melainkan seorang gadis lain yang sama cantiknya dengan Kwi Hong. Bahkan gadis ini agaknya memiliki gerakan ilmu pedang yang lebih hebat daripada ilmu pedang yang dikuasai Kwi Hong juga jauh lebih ganas. Gadis itu dikeroyok oleh sedikitnya tiga puluh orang, akan tetapi berbeda dengan ketika Kwi Hong dikeroyok para murid Pek-houw Bu-koan dan yang membuat dia terpaksa turun tangan membantu, gadis ini agaknya sama sekali tidak perlu dibantu! Setiap kelebatan pedangnya merobohkan seorang pengeroyok, bukan hanya melukai ringan, melainkan merobohkan dan menewaskannya seketika! Melihat orang-orang dusun yang menonton bersorak setiap kali ada pengeroyok yang roboh,

   Keng Han mengambil kesimpulan bahwa gadis itu tentulah orang yang dianggap baik oleh penduduk dusun dan mungkin sekali pembela mereka. Dan melihat para pengeroyok itu rata-rata orang yang kasar dan buas, dia lalu mengambil keputusan untuk menjadi penonton saja. Karena di situ terdapat banyak penduduk dusun, agar tidak menarik perhatian, diam-diam dia melompat ke atas pohon besar yang berada dekat dengan tempat pertempuran itu. Dari atas pohon Keng Han dapat melihat lebih jelas lagi dan kini nampak olehnya betapa hebatnya gerakan gadis itu. Gadis itu lebih tua dari Kwi Hong, lebih matang dan dewasa. Kwi Hong masih dapat dikatakan seorang gadis remaja. Dan gerakan pedangnya yang amat hebat itu diimbangi pula dengan gerakan tangan kirinya yang menyambar-nyambar.

   Sekali tangan kiri menyambar dan mengenai tubuhlawan, maka pengeroyok itu tentu terpelanting dan tidak mampu bangkit kembali! Dan agaknya gadis itu berkelahi dengan gembira. Mulutnya yang amat manis itu tersenyum-senyum, se"nyum mengejek dan sepasang matanya yang bersinar-sinar seperti bintang kejora itu berseri. Sudah dua puluh orang lebih yang malang melintang menjadi korban amukan gadis itu. Sisanya tinggal sepuluh orang anak buah dan dua orang pimpinan mereka. Dua orang pemimpin ini adalah dua orang pria setengah tua yang bertubuh tinggi besar dan wajahnya menakutkan, bengis dan kasar. Mereka menggunakan golok besar sebagai senjata. Melihat anak buahnya banyak yang menjadi korban amukan gadis itu, dua orang itu lalu melompat ke belakang dan memberi aba-aba kepada anak buahnya,

   "Pergunakan paku-paku beracun!"

   Mendengar ini, agaknya para anak buah baru menyadari dan ingat akan senjata rahasiaa mereka yang ampuh. Mereka juga berlompatan ke belakang, dan serentak mereka mengeluarkan senjata rahasia itu dan menghujankan ke arah gadis itu. Gadis itu sama sekali tidak menjadi gugup. Pedangnya diputar dan paku-paku itu rontok, dan ketika tangan kirinya bergerak, ia sudah menangkap beberapa batang paku beracun itu dan begitu ia menggerakkan tangan menyambitkan paku-paku itu ke arah penyerangnya, empat orang terjungkal roboh oleh senjata mereka sendiri. Agaknya gadis itu marah diserang dengan cara curang. Tubuhnya tiba-tiba melayang bagaikan seekor burung ke arah dua orang pimpinan itu.

   Mereka terkejut dan mengangkat golok untuk menangkis. Namun, pedang itu bergerak cepat sekali dan tahu-tahu dua orang pimpinan itu telah roboh dengan dada tertusuk pedang. Bukan main hebatnya gerakan itu. Menyerang dengan tubuh masih di udara, sekaligus merobohkan dua orang pemimpin para pengeroyok yang melihat gerakan golok mereka juga bukan orang-orang lemah. Keng Han bergidik. Gadis itu lihai bukan main, akan tetapi juga kejam tak mengenal ampun. Sisa para pengeroyok kini melarikan diri cerai berai dan gadis itu tidak mengejar mereka. Orang-orang dusun yang tadi menjadi telah roboh dengan dada tertusuk pedang. Bukan main hebatnya gerakan itu. Penonton, kini serentak menjatuhkan diri berlutut ke arah gadis itu, dipimpin oleh seorang tua yang agaknya menjadi kepala dusun.

   "Kami semua menghaturkan terima kasih atas pertolongan Lihiap dengan membasmi gerombolan penjahat yang selalu mengganggu kehidupan kami. Akan tetapi, bagaimana kalau kawan-kawan mereka datang henpak membalas dendam, Lihiap?"

   Gadis itu mencibirkan bibirnya, membersihkan pedangnya pada pakaian para korbannya lalu menyimpan kembali pedangnya di pinggang, baru ia berkata,

   "Hemmm, kalian ini memang pengecut-pengecut besar! Kalian mempunyai banyak laki-laki mengapa membiarkan diri ditekan dan diganggu gerombolan perampok itu? Kalau kalian bersatu, jumlah kalian ratusan orang, tentu akan mampu melakukan perlawanan! Mulai sekarang bersatulah dan kalau ada gerombolan perampok datang mengganggu, lawanlah. Kalau ada yang hendak membalas dendam katakan saja bahwa yang membunuh mereka adalah aku, Bi Kiam Niocu (Nona Pedang Cantik). Nah, sekarang urus dan kuburlah mereka semua ini, aku harus pergi!"

   Gadis itu melangkah pergi dan kebetulan lewat di bawah pohon di mana Keng Han bersembunyi. Tiba-tiba ia ber"henti dan tersenyum-senyum..

   "Engkau yang di atas pohon, tidak lekas turun?"

   Keng Han terkejut akan, tetapi diam saja, pura-pura tidak mendengar. Dia merasa malu telah ketahuan persembunyiannya, juga dia khawatir akan terjadi kesalah-pahaman kalau dia turun. Maka dia diam saja.

   "Nonamu bilang turun, engkau tidak cepat turun?"

   Gadis itu kembali berseru. Para penduduk yang mendengar ini sudah cepat memandang ke atas pohon dan kini mereka melihat seorang pemuda duduk nongkrong di atas cabang pohon, mereka memandang dengan hati tegang, tidak tahu siapa pemuda itu, kawan dari para penjahat tadi ataukah bukan. Keng Han sudah terlanjur diam saja. Dia merasa malu untuk melompat turun dan tiba-tiba tubuh gadis itu melayang ke atas. Tidak nampak kapan ia men"cabut pedang akan tetapi tiba-tiba ada sinar terang menyambar ke arah cabang pohon.

   "Krakkk....?"

   Cabang pohon itu terpotong dan jatuh ke bawah. Tentu saja tubuh Keng Han ikut melayang ke bawah. Akan tetapi tubuh pemuda itu tidak terbanting karena Keng Han sudah dapat menguasai dirinya dan hinggap di atas tanah dengan ringan. Gadis itu kini sudah berada di depannya. Pedangnya sudah disarungkannya kembali dan sepasang matanya meman"dang dengan liar dan penuh ancaman.

   "Engkau anak buah mereka?"

   Tanyanya dan sikapnya siap untuk menyerang sehingga diam-diam Keng Han juga bersiap siaga untuk membela diri.

   "Sama sekali bukan. Aku seorang perantau yang kebetulan lewat dan melihat pertempuran tadi aku lalu menonton dari atas pohon."

   Agaknya wanita itu dapat membedakan pemuda yang gerak-geriknya lembut ini dengan para anggauta gerombolan yang kasar dan buas, maka pandang matanya menjadi lembut.

   "Hemmm, engkau tidak terbanting jatuh, agaknya engkau memiliki kepandai"an ilmu silat yang boleh juga."

   "Ah, tidak, aku hanya belajar satu dua jurus untuk membela diri dari tangan orang-orang kejam."

   "Apa? Kau berani mengatakan aku orang kejam?"

   Wanita itu membentak marah.

   "Tidak, hanya memang kenyataannya engkau kejam sekali, Nona. Orang demikian banyaknya kaubunuh tanpa berkedip mata, apalagi namanya itu kalau tidak kejam?"

   "Engkau melihat bagaimana mereka, perampok-perampok itu melakukan terhadap penduduk dusun? Mereka menperkosa, menyakiti, membunuh dan merampok! Sudah sepatutnya mereka kubunuh! Dan kau berani bilang aku kejam?"

   "Ya, memang engkau kejam sekali."

   Kata Keng Han bersikeras karena sudah tidak dapat mundur lagi.

   "Setan cilik! Tanyakan kepada penduduk dusun ini! Heiii,warga dusun! Adakah di antara kalian yang menganggap aku kejam karena membunuhi para perampok ini?"

   Serentak mereka semua menjawab.

   "Tidaaak! Yang kejam adalah para perampok itu!"

   "Nah, kau dengar itu, bocah kepala batu?"

   "Aku tidak mau ikut-ikutan dengan mereka. Aku tadi melihat betapa kau membunuhi orang-orang yang tidak mampu melawanmu dan itu sungguh kejam sekali!"

   "Bagus, kalau begitu hanya ada dua pilihan untukmu. Pertama, kau ambil sebatang golok mereka dan membunuh diri di depanku atau, engkau boleh membela diri dari seranganku, aku yang akan membunuhmu!"

   "Nah, inilah bukti baru dari kekejamanmu, Nona. Aku yang tidak bersalah apa pun hendak kaubunuh. Bukankah itu kejam sekali namanya!"

   "Tidak peduli! Engkau memanaskan perutku, engkau berani memaki aku kejam. Hayo kaupungut golok di sana itu dan membunuh diri di depanku."

   "Aku mendengar bahwa bunuh diri adalah perbuatan seorang pengecut, dan aku bukan pengecut. Aku berani hidup dan tidak takut mati demi membela kebenaran."

   "Aha!"

   Wanita itu mencibir.

   "kiranya engkau seorang pendekar pembela kebenaran?"

   "Bukan hanya pendekar yang harus membela kebenaran. Biar orang awam seperti aku pun berkewajiban untuk membela kebenaran!" "Jadi engkau tidak mau membunuh diri mentaati perintahku?"

   Tanya wanita itu, nadanya mengancam.

   Keng Han menggeleng kepalanya.

   "Tidak mau!"

   Jawabnya tegas.

   "Kalau begitu, engkau harus membela dirimu dari seranganku. Aku akan menyerangmu, kalau sampai sepuluh jurus aku tidak mampu membunuhmu, biarlah aku mengampuni nyawamu. Akan tetapi kalau sebelum sepuluh jurus kau mati, jangan arwahmu menyalahkan aku!"

   "Engkau memang wanita kejam!"

   Keng Han memaki marah dan memandang dengan mata melotot. Dia tidak menganggap wanita itu jahat, karena wanita itu telah. membantu para penduduk dusun dari gangguan gerombolan perampok, akan tetapi wanita itu terlalu kejam, terlalu mudah membunuh orang.

   "Lihat serangan!"

   Wanita itu berseru dan tiba-tiba tangan kirinya bergerak cepat sekali menampar ke arah pelipis kanan Keng Han. Namun dengan mudah saja Keng Han menarik kepalanya ke belakang sehingga tamparan tangan kiri itu lewat dii depan hidungnya dan dia mencium bau harum ke luar dari lengan baju itu. Agaknya wanita itu pun terkejut melihat betapa tamparannya dengan mudah dielakkan oleh pemuda itu, maka, ia pun menyusulkan serangan yang lebih hebat lagi, menotok ke arah dada Keng Han. Kembali pemuda ini bergerak, miringkan tubuhnya dari totokan itu pun luput! Ketika wanita itu mendesak terus dengan pukulan ketiga yang amat ganas, Keng Han menggerakkan tangan menangkis pukulan yang mengarah mukanya itu.

   "Dukkk!"

   Pertemuan dua tenaga sin"kang itu membuat wanita itu terdorong mundur dua langkah. Tentu saja ia terkejut bukan main dan merasa penasaran sekali. Pemuda itu ternyata bukan hanya mampu mengelak, bahkan tangkisannya demikian kuat membuat ia terdorong mundur!

   Dengan kemarahan berkobar wanita itu menyerang terus secara bertubi-tubi, namun sampai jurus ke sembilan, serangannya selalu gagal. Keng Han juga harus mengeluarkan kepandaian"nya karena dia mendapat kenyataan betapa dahsyat dan hebatnya serangan-serangan itu. Hanya dengan ilmu silat sakti Hong-in Bun-hoat dia berhasil lolos dari serangkaian serangan itu. Tiba-tiba ada sinar hitam menyambar. Keng Han terkejut bukan main karena sinar hitam itu adalah rambut wanita itu yang bergerak secara luar biasa sekali dan tahu-tahu telah melibat muka dan lehernya! Bau harum menusuk hidungnya dan selagi dia tertegun, tidak tahu harus berbuat apa karena untuk merenggut rambut itu dia merasa tidak tega, sebuah totokan mengenai kedua pundak secara beruntun dan dia pun tidak mampu bergerak lagi!

   "Hi-hi-hik!"

   Wanita itu tertawa puas.

   "Ternyata pada jurus ke sepuluh engkau tidak berdaya, orang muda keras kepala! Sekarang bersiaplah untuk mampus!"

   "Hemmm, aku sudah dapat menduga bahwa engkau hanyalah seorang wanita yang suka menjilat ludah sendiri dan melanggar janji sendiri!"

   Kata Keng Han yang maklum bahwa keselamatan nyawanya terancam.

   "Keparat!"

   Bentak wanita itu.

   "Engkau masih berani memaki aku sebagai penjilat ludah sendiri? Kapan aku melakukan pelanggaran janji itu?"

   "Memang belum akan tetapi hampir. Tadi engkau berjanji bahwa kalau sampai sepuluh jurus engkau tidak mampu membunuhku, engkau akan mengampuni nyawaku. Sekarang, sudah lewat sepuluh jurus engkau tidak mampu membunuhku, namun engkau akan membunuh aku juga! Bukankah itu berarti menjilat ludah sendiri? Cih, tak tahu malu!"

   Keng Han sengaja mengejek karena dia sudah sedikit mengenal watak wanita ini, yaitu angkuh dan tidak mau dianggap rendah budi.
(Lanjut ke Jilid 05)

   Pusaka Pulau Es (Seri ke 17 - Serial Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 05
"Baik, aku tidak membunuhmu, akan tetapi aku tidak berjanji akan membebaskanmu. Engkau akan menjadi tawananku dan kalau kelakuanmu baik, kelak barangkali aku akan membebaskanmu!"

   Setelah berkata demikian, ia menangkap lengan kanan Keng Han yang tidak dapat digerakkan itu dan menarik Keng Han pergi dari situ. Keng Han terseret akan, tetapi wanita itu tetap menariknya dan berlari dengan cepat sekali meninggalkan dusun itu. Para penduduk dusun hanya, menonton saja dan menganggap bahwa pemuda itu tentu mempunyai kesalahan maka pendekar wanita yang telah menolong mereka menjadi marah.

   Wanita cantik itu kini mencengkeram baju di punggung Keng Han dan membawa lari Keng Han sampai mengangkatnya seperti menenteng seekor ayam saja. Keng Han membiarkan dirinya dibawa pergi. Dia sama sekali tidak merasa khawatir karena dia merasa yakin bahwa dengan hawa sakti yang terkandung di tubuhnya, dengan menyalurkan hawa itu dia akan mampu membebaskan dirinya sendiri dari pengaruh totokan. Ketika wanita itu sudah menuruni bukit dan masuk sebuah hutan, Keng Han mulai menyalurkan tenaga dari tan-tian untuk membebaskan dirinya dari pengaruh totokan. Akan tetapi, alangkah terkejutnya ketika dia mendapat kenyataan bahwa jalan darahnya yang pokok tetap saja tidak, dapat ditembus. Dia hanya mampu menggerakkan kedua kaki dan lengannya dengan perlahan saja dan belum dapat menggerakkan jari-jarinya!

   Dia mencoba dan mencoba, akan tetapi hasilnya sama saja. Barulah dia merasa khawatir karena kini dia merasa bahwa dia benar-benar berada dalam cengkeraman wanita kejam ini. Tiba-tiba wanita itu berhenti. Di depannya sudah berdiri dua orang tosu. Mereka itu bukan lain adalah Thian-yang"cu yang tinggi kurus dan Bhok-im-cu yang tinggi besar. Bhok-im-cu ini biarpun sudah menjadi seorang tosu, akan tetapi dia masih, tidak dapat meninggalkan wataknya di waktu muda, yaitu mata keranjang. Kini pun dia memandang Wanita itu dengan mata liar seolah matanya menggerayangi seluruh bagian tubuh wanita cantik itu dan mulutnya berliur seperti seekor srigala kelaparan melihat seekor kelinci gemuk. Akan tetapi, suhengnya, sudah menegur wanita itu dengan suara yang lantang.

   "Nona, siapakah Nona dan mengapa Nona menawan seorang muda ini?"

   "Apa urusanmu, tanya-tanya? Pergilah, jangan menghadang di jalan atau aku akan marah!"

   Pusaka Pulau Es Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Kata gadis itu dengan suara ketus.

   "Aih, Nona. Engkau begini cantik mengapa bersikap begini kasar? Sayang kecantikanmu kalau begitu!"

   Kata Bhok"im-cu mencela. Gadis itu melotot.

   "Apa engkau ingin mampus? Pergilah, atau aku terpaksa akan menghajar kalian!"

   Gadis itu kini membentak marah. Ia mendorong Keng Han ke belakang dan pemuda itu terhuyung lalu roboh terguling karena tubuhnya masih terasa lemas walaupun sebetulnya dia sudah mampu menggerakkan kaki tangannya dengan kaku, belum sempurna benar.

   "Siancai....!"

   Thian-yang-cu berseru.

   "Engkau tentu seorang wanita jahat, Nona. Dan kami dari Bu-tong-pai tidak mungkin tinggal diam saja melihat orang berbuat jahat. Bebaskan pemuda ini atau jelaskan mengapa engkau menawannya, kalau engkau tidak ingin kami terpaksa turun tangan mencampuri urusanmu!"

   "Tosu bau! Kalian kira aku takut kepada kalian?"Gadis itu membentak marah dan ia pun sudah menggerakkan kaki tangannya, menyerang ke arah kedua orang tosu itu. Thian-yang-cu dan Bhok-im-cu adalah dua orang tosu murid utama, tentu saja sudah memiliki ilmu kepandaian tinggi. Mereka dapat menghindarkan diri dan Thian-yang-cu membalas dengan serangan tendangannya. Gadis itu mengelak cepat dan kembali tangannya meluncur untuk melakukan totokan ke arah dada lawan. Bhok-im-cu juga menyerang dan dia merangkul dari belakang untuk meringkus nona itu. Serangannya ini membuat gadis itu bertambah marah karena mengira bahwa tosu itu hendak berkurang ajar.

   Ia mengelak sambil membalik dan sebuah tendangan kilat menyambar ke arah perut Bhok-im-cu. Hanya dengan melempar tubuh ke samping dan bergulingan saja Bhok-im-cu dapat meloloskan diri dari tendangan yang dahsyat itu. Akan tetapi dia terkejut sekali dan bersikap hati-hati, maklum bahwa nona itu memang lihai bukan main. Thian-yang-cu adalah seorang murid pertama Bu-tong-pai, tentu saja dia tidak mau bertindak sembrono terhadap gadis yang belum diketahui kesalahannya itu. Dia hanya mencurigai gadis yang menawan seorang pemuda, belum ada bukti bahwa gadis itu seorang jahat. Oleh karena itu, dia pun tidak menyerang dengan sungguh-sungguh. Akan tetapi setelah beberapa gebrakan, dia terkejut bukan main karena gadis itu ternyata memiliki kepandaian yang amat tinggi.

   Terpaksa dia menambah tenaga pada tangannya dan dia sudah menyerang cepat, memukul ke arah pundak gadis itu. Akan tetapi agaknya gadis itu sudah tahu bahwa si tosu tidak mempergunakan se"luruh tenaganya maka ia miringkan sedikit pundaknya sehingga pukulan itu mengenai pangkal lengan dan berbareng pada saat itu ia sudah meluncurkan jari tangannya menotok dada Thian-yang-cu sehingga tosu ini terpelanting roboh dan tidak mampu bangkit kembali. Melihat ini, Bhok-im-cu terkejut dan marah. Lenyaplah sifatnya yang main-main melihat gadis cantik. Dia menubruk dengan marah, akan tetapi dengan gerakan memutar yang indah, gadis itu dapat mengelak dan mengirim tendangan yang me"ngenai perutnya dan Bhok-im-cu juga terpelanting roboh. Sebetulnya kedua orang tosu ini tidak akan demikian mudah dirobohkan kalau saja mereka tidak memandang ringan lawannya.

   "Hemmm, tosu-tosu bau dari Bu-tong"pai hanya memiliki sedikit kepandaian sudah berani mencampuri urusan orang? Kalian yang lancang tidak pantas dibiarkan hidup!"

   Gadis itu lalu melangkah maju, siap untuk membunuh. Akan tetapi pada saat itu Keng Han yang belum dapat menggerakkan kaki tangannya dengan baik, sudah melompat dan menerkam seperti seekor singa menerkam kambing, tahu-tahu tubuhnya sudah menimpa punggung gadis itu, kedua lengannya mendekap dan kedua kakinya juga mengait.Gadis itu terkejut sekali, ia meronta untuk melepaskan diri, akan tetapi tidak mampu karena dekapan Keng Han kuat bukan main.

   "Hei, bocah gila! Lepaskan aku, lepaskan....!"

   Gadis itu berteriak-teriak.

   "Tidak, engkau tidak boleh membunuh orang!"

   Kata Keng Han. Dengan gemas ia meronta pula, mencoba melepaskan dekapan itu, bahkan menampar dan menyikut. Akan tetapi tamparan dan sikunya menghantam tubuh yang keras dan kenyal seperti karet sehingga tamparan itu membalik. Ia terkejut bukan main.

   "Anak setan! Tidak tahu malu kau! Hayo lepaskan....!"

   Gadis itu menjerit"jerit. Entah mengapa, merasa betapa tubuhnya didekap lengan dan tubuh yang tegap dari seorang pemuda, mendadak saja ia merasa seluruh tubuhnya lemas, jantungnya berdebar keras dan keringat dingin membasahi lehernya. Ia tidak peduli lagi melihat kedua tosu itu merangkak dan pergi dengan cepat dari situ.

   "Berjanji dulu bahwa engkau tidak akan membunuh orang, baru aku mau melepaskanmu."

   Keng Han yang kini juga menyadari bahwa perbuatannya itu sungguh tidak pantas, mendekap tubuh seorang gadis seperti itu. Baru sekarang terasa olehnya betapa hangat dan lunak tubuh itu berada dalam dekapannya!

   "Aku berjanji....!"

   Kata gadis itu hampir menangis. Keng Han melepaskannya dan begitu dilepaskan, sebuah tamparan mengenai pipi Keng Han, membuat dia terpelanting roboh. Akan tetapi dia bangkit kembali dan berdiri memandang gadis itu sambil meraba pipinya dan tersenyum.

   "Engkau.... engkau sudah mampu bergerak? Bagaimana mungkin ini?"

   "Melihat engkau hendak membunuh orang, agaknya mendatangkan tenaga bagiku untuk menggerakkan tubuh. Nona, mengapa engkau begitu kejam? Sedikit-sedikit membunuh orang, menganggap nyawa orang seperti nyawa nyamuk saja!"

   "Huh, kau tahu apa? Orang-orang jahat itu, kalau tidak dibunuh merekalah yang akan menyusahkan atau membunuh kita. Dari pada dibunuh orang, lebih baik membunuh lebih dulu, bukan?"

   Gadis itu lalu mendekati Keng Han dan memeriksa tangannya. Jari-jari tangan Keng Han dengan kaku terlihat jelas bahwa dia masih belum dapat bergerak leluasa.

   "Jalan darahmu baru setengahnya terbuka."

   Kata gadis itu.

   "Biarlah aku membukanya sama sekali!"

   Gadis itu lalu menggerakkan jari-jari tangannya dan kini terbebaslah seluruh jalan darah di tubuh Keng Han. Akan tetapi di luar dugaan Keng Han, tiba-tiba telapak tangan kiri gadis itu menghantam dadanya.

   "Plakkk....!"

   Tidak terlalu nyeri, akan tetapi dia merasa betapa ada hawa panas memasuki dadanya. Gadis itu tertawa.

   "Hemmm, kenapa engkau memukul dadaku lalu tertawa?"

   Tanya Keng Han penasaran, tidak marah karena tamparan tadi tidak mengandung tenaga sakti sehingga seperti main-main saja.

   "Jangan kira bahwa setelah aku membebaskan totokanmu, engkau akan dapat pergi dan bebas dariku. Engkau mau atau tidak mau harus menemani aku."

   "Hemmm, kenapa begitu? Kalau aku tidak mau dan pergi, engkau mau apa?"

   "Tidak mau apa-apa, hanya melihat engkau mati dalam waktu sebulan dan tidak ada obat di dunia ini yang mampu menyembuhkanmu. Aku telah membebaskan totokanmu, akan tetapi aku telah memukulmu dengan tok-ciang (tangan beracun). Kalau tidak percaya, lihatlah dadamu!"

   Keng Han penasaran dan membuka bajunya. Di sana, di dadanya sebelah kiri, nampak ada tanda lima telapak jari merah, jelas sekali. Diam-diam Keng Han mentertawakan gadis itu. Pukulan beracun tidak akan mencelakainya, dan sekali mengerahkan tenaga dia akan mampu melenyapkan tanda jari merah itu. Tubuhnya sudah kebal racun berkat makan daging ular merah dan gigitan bina"tang itu. Akan tetapi dia diam saja dan memakai kembali bajunya.

   "Nona, kenapa engkau hendak memaksaku mengikutimu?"

   Tanyanya.

   "Engkau sudah berani memaki, mengatakan aku kejam, bahkan tadi engkau berani merangkulku. Hemmm....untuk itu saja sudah cukup alasan bagiku untuk membunuhmu. Akan tetapi tidak, aku tidak akan membunuhmu. Terlampau enak untukmu. Engkau harus ikut aku, menyaksikan, kekejamanku seperti yang kaukatakan itu, dan engkau akan mati perlahan-lahan. Racun di tubuhmu itu sebulan lagi baru akan bekerja. Dan melihat engkau masih muda, biar aku melihat kelakuanmu selama sebulan ini. Kalau kelakuanmu selama ini baik saja, aku akan mengobatimu, kalau sebaliknya, engkau akan mati tersiksa."

   Kejamnya! Maki Keng Han dalam hatinya. Dia tahu gadis ini seorang yang berilmu tinggi, dan tidak jahat, hanya kejam dan tangannya ringan sekali membunuh orang, biarpun orang yang dibunuhnya itu jahat atau bersalah kepadanya. Dua orang tosu Bu-tong-pai itu pun tentu sudah dibunuhnya hanya karena mencampuri urusannya dan hendak membebaskannya. Dan dia merasa sayang sekali. Gadis ini cantik jelita, dan tidak jahat. Mungkin kalau melakukan perjalanan bersamanya selama sebulan, dia akan dapat membujuknya dan memberinya nasihat sehingga tidak kejam lagi.

   "Akan tetapi aku mempunyai urusan penting sekali. Aku harus pergi ke Tibet!"

   Kata Keng Han.

   "Hemmm, ke Tibet atau ke neraka, apa bedanya bagiku? Aku tidak mempunyai tujuan tertentu, dan tidak mengapa bagiku kalau harus pergi ke Tibet sekalipun. Akan tetapi mau apa engkau pergi ke Tibet? Apakah ingin menjadi hwesio dan mempelajari agama?"

   "Aku hendak mencari dan bertemu dengan Dalai Lama!"

   Gadis itu tertegun dan memandang kepadanya dengan sinar matariya yang tajam. Mata yang indah itu mengamatinya penuh selidik.

   "Agaknya banyak keanehan terdapat pada diri pemuda ini. Ilmu silatnya cukup baik, dapat menghindarkan diri dari sembilan jurus serangannya, bahkan dapat hampir membebaskan diri dari totokannya. Dan kini hendak Mencari dan bertemu dengan Dalai Lama?"

   Tanyanya dengan hati tertarik.

   "Mau apa? Dia seorang yang sewenang-wenang. Aku akan menuntutnya, bertanya mengapa dia mengutus orang-orang untuk membunuh guruku!"

   Tiba-tiba gadis itu tertawa. Tawanya lepas bebas, tidak ditutup-tutup! seperti gadis lain akan tetapi ketika ia tertawa bebas itu, wajahnya nampak lucu dan cerah, nampak semakin manis seperti wajah seorang kanak-kanak. Lenyaplah garis-garis kekerasan dan sifat dingin dari wajahnya yang menjadi anggun dan menyenangkan sekali, sehingga Keng Hong terpesona. Gadis ini sesungguhnya canttk bukan main kalau saja mau melenyapkan kekerasan hatinya.

   "Seharusnya engkau lebih sering tertawa, Enci!"

   Katanya tiba-tiba, menyebut enci karena setelah gadis itu tertawa, dia merasa hubungannya dekat dengannya.

   "Ehhh?"

   Gadis itu dua kali terkejut. Oleh ucapan itu sendiri dan oleh sebutan enci.

   "Mengapa?"

   "

   Kalau tertawa, wajahmu indah sekali!"

   Tiba-tiba wajah itu menjadi dingin kembali, tangan itu sudah diangkat hendak menampar, akan tetapi ditahannya.

   "Apa kau ingin ditampar?"

   "Kenapa ditampar? Apa salahku?"

   "Kau bilang wajahku indah sekali."

   "Habis, harus bilang apa? Apakah aku harus mengatakan bahwa wajahmu buruk sekali, padahal kenyataannya memang indah kalau engkau tertawa?"

   Gadis itu menghela napas panjang, agaknya merasa kewalahan untuk berbantah dengan Keng Han.

   "Siapa sih namamu?"

   "Namaku Keng Han, Si Keng Han."

   Jawabnya, menyembunyikan nama marganya yang dia tahu hanya akan, menimbulkan persoalan baru.

   "Dan engkau siapa?"

   Kembali helaan napas panjang.

   "Orang menyebut aku Bi-kiam Nio-cu. Aku hampir lupa akan nama sendiri, kalau tidak salah Siang Bi Kiok. Akan tetapi engkau pun harus menyebut Bi-kiam Nio-cu kepadaku. Berapa usiamu?"

   "Usiaku dua puluh tahun."

   "Biarpun engkau lebih muda dariku, jangan menyebut enci padaku. Sebut saja Bi-kiam Nio-cu. Eh, gurumu yang dibunuh oleh utusan Dalai Lama itu, siapa namanya?"

   "Dia pun seorang bekas Lama, namanya Gosang Lama."

   "Aku tidak pernah mendengar nama itu. Akan tetapi, sungguh keinginanmu untuk menuntut Dalai Lama ini sangat aneh. Orang dengan kepandaian seperti engkau ini akan menuntut Dalai Lama? Engkau mencari mati!"

   "Aku tidak takut. Budi seorang guru amat besar, pantas dibela dengan taruhan nyawa."

   "Hemmm, engkau seorang pemuda yang aneh sekali. Mungkin karena inilah aku tidak membunuhmu. Nah, sekarang carilah binatang buruan untukku. Perutku terasa lapar sekali, Keng Han."

   "Engkau tidak takut kalau aku melarikan diri, Niocu?"

   "Mengapa takut? Engkau tidak akan melarikan diri, kalau engkau tidak ingin mati keracunan sebulan kemudian. Obat penawarnya berada padaku. Nyawamu berada di tanganku."

   "Hemmm, baiklah, Niocu. Aku pun ingin melakukan perjalanan bersamamu. Siapa tahu dalam sebulan ini aku dapat membujukmu agar jangan bertindak kejam lagi."

   Setelah berkata demikian, Keng Han lalu memasuki hutan itu dan mencari binatang buruan. Setelah berada seorang diri, dia mengerahkan tenaga dari dalam tan-tian menuju ke dadanya dan dalam waktu sebentar saja dia sudah mengusir racun itu dari tubuhnya. Ketika dia membuka bajunya, ternyata tanda telapak jari merah itu telah lenyap. Dia tersenyum dan merasa heran kepada diri sendiri.

   Kenapa dia tidak lari saja meninggalkan gadis itu? Atau melawannya? Kalau dia berhati-hati, belum tentu dia kalah. Wanita itu hanya memiliki kelebihan dalam ilmu totok yang memang hebat. Bahkan tenaga sinkangnya tidak mampu menahan totokan wanita itu! Juga dia merasa heran mengapa wanita itu mau saja mengikutinya pergi ke Tibet! Tiba-tiba dia melihat seekor kijang muda muncul dari semak belukar. Cepat dia menunduk dan bersembunyi di balik semak-semak, untung baginya bahwa angin datang dari arah kijang itu. Kalau sebaliknya, tentu kijang itu tahu bahwa ada manusia di dekatnya dan kalau ia sudah melarikan diri, bagaimana mungkin dapat mengejarnya? Sambil bertiarap itu, tangannya mengambil sebuah batu sebesar kepalan tangannya dan setelah mengintai dan membidik dengan tepat, tiba-tiba dia bangkit dan melontarkan batu itu ke arah kepala kijang.

   "Wuuuttttt.... dakkk!"

   Tepat sekali batu itu menghantam kepala bagian belakang kijang itu. Binatang itu berkuik satu kali lalu roboh dan mati dengan kepala retak. Dengan girang Keng Han lalu mengambil bangkai binatang itu dan dipanggulnya, dibawa kembali ke tempat dimana tadi Bi-kiam Nio-cu menunggu. Sementara itu, Bi-kiam Nio-cu menanti kembalinya Keng Han. Sambil duduk di bawah sebatang pohon, di atas sebuah batu datar. Hawa udara amat panas, akan tetapi di bawah pohon itu teduh dan angin yang semilir membuatnya mengantuk.

   Tiba-tiba ia dikejutkan oleh suara berdetak di belakangnya. Ketika ia menengok, beberapa helai jala menyambar ke arah tubuhnya dari atas. Ia mencoba untuk mengelak, akan tetapi terlalu banyak jala yang menyerangnya sehingga tanpa dapat dielakkannya lagi, tubuhnya telah terbungkus dua helai jala hitam. Ia meronta dan mencoba untuk mencabut pedangnya, akan tetapi hal ini sukar dilakukan karena tali jala-jala itu ditarik dan kedua tangannya terbalut dan seperti teringkus jala. Dan jala itu agaknya ter"buat dari tali yang amat kuat. Ia sudah diringkus dan ketika ia memandang, dari celah-celah jala, ia melihat belasan orang laki-laki berada di situ. Beberapa orang memegang jala yang meringkusnya dan ketika mereka itu maju mengikatnya bersama jala, ia pun tidak berdaya.

   "Jahanam pengecut.Lepaskan aku dan mari kita bertanding kalau memang kalian gagah!"

   Ia mendamprat akan tetapi sia-sia belaka karena orang-orang itu hanya tertawa. Seorang yang bertubuh tinggi besar bermuka hitam dan yang memegang tongkat besar, agaknya menjadi pemimpin mereka, memberi aba-aba dan mereka semua berloncatan pergi sambil menggotong Bi-kiam Nio-cu seperti mengotong seekor binatang buruan yang terjerat. Wanita itu memaki-maki, menantang-nantang akan tetapi tidak ada yang mempedulikan dan ternyata mereka itu rata-rata dapat berlari cepat, didahului oleh si rakasasa pemegang tongkat besar itu.

   Orang-orang itu berpakaian sederhana sekali, dari kulit binatang dan melihat wajah mereka yang brewokan mudah diduga bahwa mereka adalah orang-orang kasar yang biasa hidup di dalam hutan. Mereka membawa Bi-kiam Nio-cu ke sebuah bukit yang penuh dengan gua-gua batu yang besar. Setelah tiba di depan gua-gua itu, sang pemimpin lalu membawa tawanan itu dengan sebelah tangan, ditentengnya memasuki sebuah di antara gua-gua terbesar. Bi-kiam Nio-cu kini diam saja. Ia tidak takut, melainkan mengumpulkan tenaga, siap untuk memberontak dan menyerang kalau dirinya dibebaskan dari ikatan tali dan jala itu. Akan tetapi, raksasa yang membawanya itu melemparkannya di atas sebuah dipan kayu yang kasar, kemudian dia mengambil guci dan cawan dan tak lama kemudian dia sudah minum arak seorang diri. sambil terkekeh-kekeh senang. Ketika tiba di tempat tadi, Keng Han tidak melihat Bi-kiam Nio-cu.

   "Niocu....! Dia memanggil beberapa kali akan tetapi. tidak ada jawabah. Dia lalu memeriksa tempat itu dan melihat bekas tapak kaki banyak orang di situ. Agaknya Nio-cu didatangi banyak orang dan terjadi pergulatan, pikirnya, melihat banyak semak dan pohon kecil yang rusak. Celaka, jangan-jangan Nio-cu ditangkap gerombolan penjahat, pikirnya. Biarpun pikiran ini agak aneh mengingat bahwa Nio-cu seorang wanita yang tidak mudah ditangkap begitu saja, namun Keng Han merasa khawatir. Dia lalu mencari dan mengikuti jejak belasan pasang kaki itu yang menuju ke bukit di luar hutan. Dia terus menelusuri jejak-jejak kaki itu dan mendaki bukit.

   "Heh-heh-heh, engkau sungguh cantik. Pantas menjadi isteriku dan menemani aku di sini."

   Akhirnya raksasa muka hitam itu . berkata sambil menghentikan minumnya dan menghampiri Bi-kiam Nio"cu yang masih meringkus terikat di atas dipan. Wanita ini dapat berusaha untuk membalik dan telentang sehingga ia dapat melihat keadaan di kamar itu. Sebuah kamar gua yang lebar. Terdapat tiga buah bangku sebuah meja dan sebuah dipan kayu itu. Sederhana sekali. Ketika laki-laki tinggi besar itu menghampi mau tidak mau ia merinding juga. Akan tetapi ia tetap tenang. Kalau saja ia membuka ikatan dan jala ini, pikirnya. Akan tetapi raksasa itu mengangkatnya, masih dalam buntalan jala dan memangkunya. Meraba-raba lehernya yang putih mulus, meraba-raba pipinya.

   "Cuh....!!"

   Bi-kiam Nio-cu yang tidak dapat menahan kemarahannya meludahi muka pria itu. Raksasa muka hitam itu tidak marah bahkan tertawa bergelak.

   "Ha-ha-ha, engkau kuda betina yang liar! Bagus! Aku senang dengan yang liar!"

   Kini tangannya merogoh di antara celah-celah jala dan mengambil pedang dari pinggang Bi-klam Nio-cu! Dia me"mandang pedang itu, mengangguk-angguk.

   "Pedang yang baik, tidak pantas seorang wanita secantik engkau bermain-main dengan senjata tajam seperti ini!"

   Dia melontarkan pedang itu dan "ceppp!!"

   Pedang menancap di atas meja. Gagangnya bergoyang-goyang ketika pedang itu menancap sampai setengahnya. Diam-diam Bi-kiam Nio-cu memperhatikan dan mengertilah ia bahwa laki-laki kasar ini memiliki kepandaian, setidaknya memiliki tenaga yang kuat. Maka ia menjadi semakin waspada. Biarlah pedangnya diambil, ia tidak takut. Masih ada tangannya, kakinya, bahkan rambutnya untuk membela diri.

   "Engkau cantik, engkau liar, engkau menarik!"

   Raksasa itu mulai menimangnya dan aneh cara menimangnya. Dia melempar-lemparkan tubuh Bi-kiam Nio"cu yang masih terikat itu ke atas, diterimanya dan dilontarkannya kembali. Dia mempermainkan tubuh wanita itu seperti sebuah bola saja. Demikian ringan dia melempar-lemparkan tubuh itu. Bi-kiam Nio-cu bergidik ngeri. Laki-laki ini berbahaya, pikirnya, dan celakalah aku kalau sampai tidak dapat lolos dari tangannya. Pada saat itu terdengar teriakan-teriakan di luar gua. Ada orang-orang berkelahi di luar gua itu. Kepala gerombolan itu lalu melempar tubuh Nio-cu ke atas pembaringan pula dan dia bergegas keluar, membawa tongkatnya yang besar. Setelah ditinggal seorang diri, Nio"cu kembali berusaha untuk membebaskan dirinya dan sekali ini ia berhasil.

   Ternyata ketika raksasa tadi melambung-lambungkannya ke atas, tali pengikat tubuhnya mengendur sehingga ia mampu membebaskan kedua lengannya. Ia mencoba untuk membikin putus tali jala itu, akan tetapi usahanya gagal. Maka ia lalu berlompatan sambil masih diselubungi jala, mendekati jala di mana pedangnya diletakkan oleh raksasa tadi. Dan dengan pedang di tangannya, ia mampu membebaskan diri dan membikin putus tali-tali jala. Sebentar saja ia sudah bebas! Dengan kemarahan meluap-luap, ia lalu menerjang keluar dan melihat betapa di luar, Keng Han sedang bertanding melawan kepala gerombolan itu dan dikeroyok banyak anak buahnya. Melihat ini, hatinya merasa girang bukan main. Keng Han berusaha menolongnya dan mempertaruhkan keselamatan dirinya sendiri melawan raksasa yang tangguh itu!

   "Keng Han, serahkan anjing besar itu kepadaku!"

   Bentaknya dengan suara melengking dan ia sudah menerjang ke depan memutar pedangnya menyerang raksasa yang memegang tongkat itu. Keng Han girang melihat Bi-kiam Nio-cu sela"mat dan dia meloncat mundur sambil berseru,

   "Nio-cu, mari kita lari saja!"

   "Tidak, aku harus membunuh anjing ini dan semua pengikutnya!"

   Bi-kiam Nio"cu membantah dan menyerang terus. Serangannya amatlah hebatnya sehingga si tinggi besar itu terdesak mundur. Kepala gerombolan itu terkejut bukan main melihat gadis tawanannya bebas, maka dia berteriak,

   "Pergunakan jala! Tangkap merekal!"

   "Awas jala mereka amat lihai, Keng Han!"

   Seru Bi-kiam Nio-cu sambil memutar pedangnya lebih cepat lagi, mendesak si kepala gerombolan dengan amat hebatnya sehingga raksasa itu terpaksa harus memutar tongkatnya melindungi diri. Sementara itu, beberapa orang anak buahnya sudah mencoba membantu ketua mereka dengan menggunakan jala. Akan tetapi sekali ini, Bi-kiam Nio-cu sudah siap dengan pedangnya. Begitu jala menyambar, ia melompat dan menggerakkan pedangnya ke belakang dan terdengar jerit mengerikan dan si pemegang jala roboh mandi darah. Dalam waktu sebentar saja, tiga orang pemegang jala sudah tewas di tangan Bi-kiam Nio-cu! Sementara itu, Keng Han juga dikeroyok banyak orang. Dia bergerak dengan cepat, merobohkan para pengeroyoknya hanya, dengan dorongan kedua tangannya, dan ketika dirinya tertutup jala, dengan mengerahkan tenaga jala itu pecah dan talinya putus-putus!

   Gegerlah anak buah gerombolan itu dan mereka seperti puluhan ekor semut mengeroyok dua ekor jangkerik. Gerakan Bi-kiam Nio-cu amatlah berbahaya. Sebetulnya tingkat kepandaiannya masih jauh lebih tinggi daripada kepandaian si raksasa muka hitam. Tadi ia tertangkap karena tidak menyangka dan tidak bersiap sehingga dapat tertangkap jala musuh. Sekarang, dengan pedang di tangan mana mungkin ia tertangkap jala? Bahkan para pemegang jala itu semua tewas di tangannya dan kini wanita itu mendesak lawannya dengan hebat. Si tinggi besar muka hitam menjadi jerih. Melihat anak buahnya banyak yang tewas dan menghadapi permainan pedang yaog demikian tangguh, apalagi melihat betapa pemuda itu pun tidak dapat ditangkap anak buahnya, nyalinya sudah terbang melayang dan dia menyerang hebat untuk mencari kesempatan melarikan diri.

   "Mampuslah!"

   Bentaknya dan tongkatnya meluncur dengan cepat ke arah dada Bi-kiam Nio-cu. Ketika gadis ini mengelak ke kiri, tongkat itu menghantam dari kanan ke kiri dengan kecepatan kilat. Karena serangan itu berbahaya sekali untuk ditangkis mengingat tenaga rakasa itu besar sekali, Bi-kiam Nio"cu melompat ke belakang dengan sigapnya. Kesempatan inilah yang dinantikan kepala gerombolan itu. Begitu lawannya melompat ke belakang, dia lalu membalikkan tubuhnya dan melarikan diri tunggang-langgang!

   "Jahanam hendak lari ke mana kau?"

   Bi-kiam Nio-cu mengejar dan melontarkan pedangnya. inilah satu di antara kepandaiannya yang hebat. Ia dapat melontarkan pedang itu dengan cepat dan pedangnya meluncur bagaikan anak panah saja menuju sasarannya, yaitu punggung lebar kepala gerombolan itu.

   "Singgggg.... cappp!"

   Pedang itu tepat mengenai punggung dan menembus ke dada. Kepala gerombolan itu terbelalak, mengeluh panjang lalu roboh menelungkup, tewas seketika. Bi-kiam Nio-cu sudah berada di dekatnya dan mencabut pedang itu, lalu membersihkannya pada pakaian si raksasa muka hitam. Kemudian ia pun mulai mengamuk! Anak buah gerombolan yang sedang mengeroyok Keng Han itu diamuknya dan pedangnya merobohkan beberapa orang lagi. Sisa anak buah gerombolan cepat melarikan diri melihat ketua mereka telah tewas. Bi-kiam Nio"cu hendak mengejar akan tetapi ditahan oleh Keng Han.

   "Musuh yang sudah lari tidak perlu dikejar lagi, Nio-cu!"

   Katanya. Bi-kiam Nio-cu menyimpan pedangnya dan dengan puas ia memandang kepada belasan orang yang sudah menggeletak tanpa nyawa itu.

   "Hemmm, sayang masih ada yang mampu meloloskan diri. Seharusnya mereka itu dibasmi habis!"

   "Sudahlah, Nio-cu. Kalau mereka semua tewas, tentu kita juga yang repot, harus mengubur mereka. Biarlah yang masih hidup nanti mengubur mayat kawan-kawannya. Sesungguhnya, apa yang telah terjadl Nio-cu?"

   "Mereka bertindak curang dan berhasil menangkap aku dengan jala, lalu mereka membawaku ke sini. Ketika tadi engkau menyerang mereka di luar gua, kepala perampok itu meninggalkan aku dan aku sempat meloloskan diri lalu mengamuk. Dan engkau bagaimana engkau bisa menyusul aku ke sini?"

   "Aku sudah mendapatkan binatang buruan, seekor kijang yang muda, dan ketika aku kembali ke tempat kita tadi, engkau sudah tidak ada. Aku melihat tapak-tapak kaki yang banyak sekali, lalu aku mengikuti tapak kaki itu ke sini. Ketika mereka melihatku, mereka lalu mengepung dan mengeroyokku sehingga terjadi perkelahian. Mari Nio-cu, kita kembali ke sana. Bukankah perutmu su"dah lapar? Akan tetapi, sebaiknya kalau aku kubur dulu mayat-mayat mereka"

   "Bodoh! Untuk apa mengubur mereka? Biar teman-teman mereka yang mengurus mayat mereka. Mari kita pergi!"

   Bi-kiam Nio-cu mendengus marah dan Keng Han mengikutinya. Dia pun percaya bahwa sisa anak buah gerombolan tentu akan kembali ke situ untuk mengubur teman"teman mereka yang tewas. Mereka lalu cepat pergi meninggalkan bukit itu dan memasuki hutan tadi. Keng Han meng"ambil bangkai kijang dan dia simpan di atas sebatang pohon besar dan mulai mengambil dagingnya untuk dipanggang.

   Bi-kiam Nio-cu memandang dengan sinar mata termenung kepada Keng Han yang sedang membakar daging kijang. Ia sudah menaruh bumbu pada daging itu. Kalau melakukan perjalanan, wanita ini selalu membawa bekal bumbu, seperti garam, merica dan lain-lain untuk penyedap makanan. Ia merasa heran sekali. Mengapa hatinya begini tertarik kepada Keng Han dan ia tidak menghendaki pemuda itu jauh darinya? Selama ini, sampai usianya dua puluh dua tahun, ia selalu merasa tidak suka kepada laki-laki. Sejak ia belajar ilmu silat dari gurunya, seorang pendeta wanita yang hidup mengasingkan diri, gurunya selalu menekankan betapa jahatnya kaum pria.

   
Pusaka Pulau Es Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Karena ini, sejak kecil sudah tumbuh semacam perasaan tidak suka kepada pria. Apalagi setelah ia mulai remaja ia melihat betapa mata laki-laki seperti mata elang saja menatapnya, seperti mata elang melihat anak ayam, ingin menerkam. Semakin tidak suka hatinya terhadap pria, makin dewasa ia makin muak. Entah berapa banyaknya pria yang sudah dibunuhnya, hanya karena berani memandangnya terlalu lama, menegurnya secara kurang ajar atau hendak menggodanya. Akan tetapi kini ia merasa heran sekali. Mengapa ia begini tertarik kepada Keng Han yang bahkan lebih muda darinya? Apalagi kalau ia membayangkan ketika pemuda itu mendekapnya untuk menghalanginya melakukan pembunuhan. Seolah masih terasa dekapan yang kuat dan hangat itu! Dan jantungnya berdebar aneh.

   Daging kijang panggang itu sudah matang dan mereka lalu makan daging yang, lunak dan sedap itu. Bi-kiam Nio"cu mengeluarkan seguci arak dan mereka makan minum dengan lahapnya karena memang perut mereka terasa lapar. Akan tetapi diam-diam harus diakui oleh Nio"cu bahwa belum pernah ia makan daging panggang selezat ini! Setelah selesai makan, Bi-kiam Nio"cu berkata,

   

Kisah Si Bangau Putih Eps 22 Kisah Si Bangau Putih Eps 17 Si Bangau Merah Eps 8

Cari Blog Ini