Kisah Si Bangau Putih 17
Kisah Si Bangau Putih Karya Kho Ping Hoo Bagian 17
Perasaan penasaran yang terkandung di dalam hatinya melihat orang-orang kang-ouw yang kasar itu berada di situ dan agaknya menjadi pembantu atau tamu dari Tiat-liong-pang, mendorong Li Sian untuk membicara-kannya dengan Siangkoan Liong yang telah dipercayainya. Setelah beberapa hari tinggal di situ dan melihat betapa Tiat-liong-pang melatih para anggautanya untuk bermain perang-perangan, seolah-olah perkumpulan itu mempersiapkan diri untuk berperang, ia pun pada suatu senja bercakap-cakap tentang semua itu dengan Siangkoan Liong dalam sebuah taman. Mereka duduk berhadapan di atas bangku kayu sederhana di dekat kolam ikan buatan yang membuat tempat itu terasa nyaman dan sejuk segar. Baik gadis itu maupun Siangkoan Liong, baru saja mandi dan berganti pakaian bersih sehingga keduanya merasa segar pula. Biarpun Li Sian baru tinggal belasan hari di tempat itu,
Namun pergaulannya dengan Siangkoan Liong telah cukup akrab karena pemuda itu memang pandai membawa diri, selalu sopan dan ramah. Siangkoan Liong adalah seorang yang amat cerdik, bagaikan seekor harimau yang mengenakan bulu domba, sedikit pun tidak nampak wataknya yang mata keranjang dan siap menerkam ketika melihat Li Sian yang cantik. Bahkan Li Sian merasa amat tertarik kepada pemuda yang memang tampan dan gagah ini. Setelah mereka duduk saling berhadapan keduanya saling pandang. Seperti biasa Siangkoan Liong duduk dengan tenang dan sikapnya pendiam, halus dan lembut. Wajahnya yang tampan itu terpelihara dengan cermat, rambutnya hitam licin disisir rapi, dan tercium keharuman dari pakaian dan rambutnya. Pakaiannya pun selalu rapi dan setiap hari berganti pakaian baru.
Dilihat sepintas lalu saja, Siangkoan Liong tidak menunjukkan bahwa dia seorang pemuda yang amat lihai ilmu silatnya, lebih pantas dia menjadi seorang kongcu (tuan muda) bangsawan yang hartawan dan terpelajar tinggi. Pemuda itu pun memandang Li Sian dengan sinar mata penuh kagum. Gadis ini nampak manis sekali, terutama tahi lalat di dagunya, menjadi penambah dalam kecantikannya. Biarpun bukan pesolek, namun Li Sian pandai berdandan, pakaiannya yang sederhana nampak rapi, juga rambutnya digelung dengan indahnya, ada sedikit anak rambut terjuntai di dahinya, lembut sekali. Sikapnya halus dan lembut namun anggun, seperti puteri bangsawan sejati, gerak-geriknya halus namun di balik kehalusan itu nampak jelas oleh mata Siangkoan Liong yang terlatih bahwa di situ tersembunyi kekuatan dahsyat.
Dia semakin kagum. Tak disangkanya bahwa dalam diri seorang gadis yang begini cantik dan halus, terdapat kepandaian silat yang tinggi, lebih tinggi tingkatnya daripada Sin-kiam Mo-li! Dia kagum dan makin bulat tekadnya untuk menundukkan gadis ini, untuk memilikinya agar dapat dibanggakannya. Bukan sekedar dijadi-kan permainannya, sebagai sumber kesenangan jasmani saja. Tidak, dia ingin mempersunting Li Sian menjadi isterinya karena agaknya hanya gadis yang berdarah bangsawan ini sajalah yang patut untuk mendampingi-nya kalau kelak dia menjadi seorang kaisar! Setelah sekian lamanya saling pandang, baru terasalah oleh Li Sian ketidakwajaran itu, betapa sepasang mata pemuda itu memandangnya tidak seperti biasa, akan tetapi penuh dengan kekaguman dan daya tarik. Tiba-tiba ia merasa mukanya panas dan gadis itu pun menunduk-kan mukanya.
"Eh, Twako, kenapa sejak tadi memandang saja padaku tanpa bicara?"
Tegurnya. Siangkoan Liong tersenyum dan nampak seperti baru sadar dari mimpi. Dia cepat bangkit berdiri dan memberi hormat dengan bersoja dan membungkukkan tubuhnya sampai dalam.
"Ah, maafkan aku, Sian-moi. Tanpa kusadari aku telah terpesona.... maaf, bukan maksudku untuk merayu, akan tetapi sore hari ini engkau sungguh nampak begini cantik jelita seperti bidadari, membuat aku terpesona tadi...."
Menghadapi ucapan dengan sikap yang demikian sopan, bagaimana Li Sian dapat merasa tidak senang oleh pujian itu? Pujian yang terdengarnya demikian sopan, disertai maaf, bukan sekedar rayuan kasar. Ia pun tersenyum dan mukanya menjadi semakin merah, sampai ke lehernya. Ia melempar kerling malu-malu dan berkata,
"Aih, Toako, harap jangan bicara seperti itu, membuat aku merasa malu saja. Kalau kaulanjutkan pujian-pujianmu itu, aku akan segera pergi ke dalam kamarku dan tidak mau bicara padamu sore ini."
"Maaf, maaf....! Aku tidak bermaksud membuat hatimu tersinggung, Sian-moi. Maafkan aku dan aku berjanji tidak akan mengulangi lagi."
Li Sian tersenyum.
"Sudahlah, Toako, engkau tidak bersalah apa-apa, tidak perlu minta maaf. Aku sengaja ingin bicara denganmu sore hari ini, karena ada beberapa hal yang selama ini menjadi pertanyaan dalam hatiku dan menimbulkan rasa penasaran."
Siangkoan Liong memperlihatkan sikap serius ketika dia memandang wajah gadis itu penuh perhatian.
"Persoalan apakah yang membuatmu penasaran, Sian-moi? Tanyakanlah, tidak ada rahasia bagimu di sini."
"Begini, Toako. Pertama, begitu tiba di sini, aku bertemu dengan tokoh-tokoh kang-ouw yang melihat sikap mereka agaknya bukanlah manusia baik-baik, melainkan lebih pantas kalau menjadi tokoh-tokoh kaum sesat dari dunia hitam! Seperti Sin-kiam Mo-li itu, selain julukannya saja sudah jelas menunjukkan bahwa ia seorang iblis betina, juga sikapnya demikian menyeramkan,seperti menyembunyikan sesuatu dan pandang matanya kadang-kadang begitu kejam dan buas. Dan Toat-beng Kiam-ong itu, hih, pandang matanya padaku membuat aku bergidik dan hampir saja aku ingin menyerangnya ketika pada suatu kali dia memandang dan tersenyum kepadaku. Juga para pendeta Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-kauw itu, agaknya mereka pun bukan orang baik-baik. Toako, benarkah dugaanku bahwa mereka adalah tokoh-tokoh sesat dan kalau benar demikian, kenapa Tiat-long-pang menerima orang-orang seperti itu di sini?"
Pertanyaan ini diajukan Li Sian dengan pandang mata tajam penuh selidik ditujukan kepada wajah pemuda itu. Siangkoan Liong tetap tersenyum tenang, bahkan lalu berkata,
"Selain itu, adakah lagi hal lain yang mendatangkan perasaan heran dan penasaran di dalam hatimu, Sian-moi? Kalau ada, ajukanlah pertanyaan itu agar sekalian kujawab, karena memang terdapat banyak hal yang belum kau ketahui dan agaknya perlu kujelaskan kesemuanya itu kepadamu."
"Ada satu lagi, Toako. Aku melihat betapa para anggauta Tiat-liong-pang dilatih perang-perangan seolah-olah mereka itu menghadapi suatu pertempuran atau perang. Apakah artinya semua itu? Apakah ada bahaya yang mengancam Tiat-liong-pang?"
Pemuda itu tertawa, lalu berkata dengan suara sungguh-sungguh.
"Sian-moi, sebelum aku menjawab pertanyaanmu itu, menjelaskan hal-hal yang terjadi di sini dan menimbul-kan keheranan dalam hatimu, ingin aku bertanya, ingatkah engkau akan peristiwa yang menimpa keluarga orang tuamu, beberapa tahun yang lalu ketika engkau masih kecil, peristiwa yang mengakibatkan hancurnya keluarga orang tuamu?"
Li Sian mengerutkan alisnya dan mengangguk.
"Karena sebagai seorang menteri ayah berani menentang Thaikam Hou Seng yang berkuasa. Menurut penjelasan mendiang guruku, kaki tangan Hou Seng itulah yang membunuh ayah ibu dan kemudian ayah difitnah sehingga sisa keluargaku ditangkap sebagai pemberontak. Semua kakakku tewas kecuali kakak Pouw Ciang Hin yang kabarnya kini menjadi perwira...."
Pemuda itu mengangguk-angguk,
"Jelaslah bahwa keluargamu hancur karena kelaliman kaisar! Kaisar yang menjadi permainan para thaikam dan para menteri yang jahat dan korup. Ingat, Sian-moi, biarpun menjadi menteri, akan tetapi ayahmu bukanlah seorang Mancu aseli, melainkan peranakan dan darahmu lebih banyak darah Han daripada darah Mancu."
Gadis itu terbelalak.
"Maksudmu bagaimanakah Toako, dengan menyinggung soal keturunan dan darah?"
"Maaf, Sian-moi. Kita adalah orang-orang Han, dan engkau tentu tahu bahwa pemerintah sekarang ini adalah pemerintah penjajah bangsa Mancu yang menjajah tanah air kita, memperbudak bangsa kita!"
Ucapan ini penuh semangat dan gadis itu memandang dengan penuh perhatian.
"Lalu, bagaimana?"
Tanyanya, ingin tahu karena ia belum dapat menduga ke arah mana percakapan itu.
"Nah, karena itulah Tiat-liong-pang, menganggap sudah tiba saatnya untuk menentang pemerintahan penjajah, menumbangkan kekuasaan bangsa Mancu!"
"Kau maksudkan memberontak?"
Li Sian membelalakkan matanya, tidak menyangka sama sekali bahwa Tiat-liong-pang bermaksud memberontak. Pemuda itu mengangguk.
"Memberontak terhadap kekuasaan penjajah Mancu, Sian-moi, berjuang untuk membebaskan tanah air dan bangsa dari cengkeraman penjajah. Itulah sebabnya mengapa kami menghimpun kekuatan, melatih anak buah kami dan tentang para tokoh itu engkau tidak keliru, memang di antara mereka terdapat orang-orang kang-ouw, dari dunia hitam. Kami membutuhkan tenaga mereka, bantuan mereka karena mereka itu memiliki kepandaian tinggi, juga memiliki banyak anak buah. Kami harus menghimpun kekuatan dari manapun juga untuk memperkuat kedudukan kami agar perjuangan kami menentang penjajah dapat berhasil. Nah, engkau mengerti sekarang keadaan di sini, Sian-moi?"
Sesungguhnya, hati Li Sian. diliputi kekhawatiran dan kebingungan. Ia belum mengerti benar, akan tetapi ia mengangguk-angguk. Bagaimanapun juga pada dasarnya ia dapat mengerti, Tiat-liong-pang hendak memberontak, menentang pemerintah karena kerajaan yang sekarang adalah Kerajaan Mancu, bangsa asing yang menjajah tanah air dan bangsa! Dan ia pun merasa bangga dan kagum. Kiranya Tiat-liong-pang sedang mengadakan gerakan perjuangan yang demikian mulia, akan tetapi juga amat berbahaya. Tiba-tiba ia teringat akan sesuatu dan wajahnya berubah pucat.
"Liong-ko, kalau begitu Tiat-liong-pang akan memusuhi pasukan pemerintah?"
Pemuda itu mengangguk,
"Tentu saja, pasukan pemerintah adalah pasukan kerajaan penjajah dan....
"
"Tapi.... tapi kakakku, Pouw Ciang Hin kabarnya menjadi perwira pasukan pemerintah! Kabarnya dia ditugaskan di perbatasan utara ini dan apakah sampai sekarang anak buahmu belum dapat menemukannya?"
Siangkoan Liong tersenyum tenang.
"Jangan khawatir, Sian-moi. Ketahuilah bahwa komandan pasukan yang bertugas di utara ini telah mengadakan hubungan dengan kami dan dia mendukung gerakan kami. Jadi, kalau kakakmu itu menjadi perwira bawahannya, tentu hal itu berarti bahwa kakakmu juga akan bekerja sama dengan kita. Engkau tentu suka membantu, bukan?"
Gembira rasa hati Li Sian mendengar tentang kakaknya itu.
"Ah, kalau begitu bagus sekali. Tentu saja aku suka membantu, Liong-ko."
Akan tetapi Siangkoan Liong masih belum merasa puas dengan kesanggupan ini. Selama belasan hari ini, diam-diam dia mengamati gerak-gerik Li Sian dan bahkan menyuruh Sin-kiam Mo-li diam-diam melakukan pengamatan dari jauh. Satu hal yang membuat dia merasa gelisah dan belum percaya benar adalah karena menurut keterangan Sin-kiam Moli, Pouw Li San adalah murid dari mantu Pendekar Super Sakti Pulau Es! Padahal, dia sudah mendengar bahwa di antara keluarga Pulau Es dan keluarga kaisar Mancu, masih terdapat hubungan kekeluargaan yang dekat. Isteri Pendekar Pulau Es adalah seorang puteri Mancu, bahkan isterinya dan puterinya pernah menjadi panglima-panglima Mancu yang gagah perkasa dan sudah menumpas banyak gerakan pemberontakan.
"Sian-moi, engkau pernah menceritakan kepada ayah bahwa gurumu adalah seorang sakti, keluarga Pulau Es, bahkan mantu dari mendiang Pendekar Super Sakti dari Pulau Es. Bagaimana pendapat mendiang gurumu itu tentang pemerintah penjajah dan gerakan para patriot?"
Dia memancing. Li Sian mengingat-ingat, lalu menggeleng kepalanya.
"Seingatku, suhu belum pernah bicara tentang pemerintahan dan kalau sekali waktu aku bertanya dia tidak mau memberi penjelasan. Hanya pernah dia mengeluh tentang kelemahan kaisar yang membiarkan dirinya dipermainkan para pembesar durjana."
"Nah, tidak salah lagi. Diam-diam suhumu itu pun tentu tidak setuju dengan adanya pemerintah penjajah yang lalim!"
Siangkoan Liong berseru girang. Tadinya dia khawatir bahwa guru gadis ini condong memihak kerajaan.
Pada saat itu, nampak serombongan orang datang. Dari jauh saja Siangkoan Liong dan Li Sian dapat mengenal rombongan yang dipimpin oleh Sin-kiam Moli, kini mengiringkan seorang laki-laki dan seorang wanita yang berjalan sambil bergandeng tangan. Laki-laki itu nampak bersikap gagah walaupun langkahnya tidak menun-jukkan dia pandai ilmu silat, sedangkan wanita itu cantik manis, berusia sebaya dengan laki-laki itu, men-dekati empat puluh tahun, akan tetapi wanita yang nampak tenang sederhana itu memiliki langkah kaki yang mengejutkan Siangkoan Liong dan Li Sian karena mereka berdua dapat menduga bahwa wanita itu bukanlah orang sembarangan. Laki-laki dan wanita itu adalah Yo Jin dan Bi-kwi atau Ciong Siu Kwi yang baru datang bersama rombongan Sin-kiam Mo-li.
Setelah tiba di luar daerah kekuasaan Tiat-liong-pang, rombongan ini disambut oleh Toat-beng Kiam-ong dan para tokoh yang membantu pergerakan Tiat-liong-pang, diantaranya ada beberapa orang pendeta Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-kauw. Melihat mereka diam-diam Bikwi terkejut. Tadinya ia mulai percaya akan pengakuan Sin-kiam Mo-li bahwa iblis betina itu sedang membantu perjuangan orang-orang gagah yang dipimpin oleh ketua Tiat-liong-pang, akan menentang pemerintah penjajah Mancu. Akan tetapi, ketika melihat orang-orang yang dikenalnya sebagai tokoh sesat, ia pun mulai meragu lagi. Akan tetapi, dengan cerdik Bi-kwi diam saja, bahkan pura-pura tidak mengenal mereka. Melihat betapa Sin-kiam Mo-li pulang membawa laki-laki dan wanita yang tidak dikenalnya itu, Siangkoan Liong segera bangkit dan menghadang, diikuti oleh Li Sian yang juga ingin tahu.
"Mo-li, siapakah dua orang saudara yang baru datang ini?"
Tanya Siangkoan Liong sambil memandang kepada Bi-kwi karena kecantikan dari wanita ini pun menarik hatinya. Sin-kiam Mo-li tersenyum dengan bangga karena ia merasa betapa usahanya telah berhasil baik.
"Siangkoan-kongcu, inilah Bi-kwi yang pernah saya bicarakan dengan Kongcu dan dengan bengcu (pemimpin). Saya telah berhasil mengajaknya ke sini dan bergabung dengan kami. Dan laki-laki ini adalah suaminya. Bi-kwi adalah murid utama dari mendiang Sam Kwi, ia lihai bukan main, Kongcu."
Kemudian ia memperkenalkan pemuda itu kepada Bi-kwi dan Yo Jin.
"Kongcu ini adalah putera pimpinan kami bernama Siangkoan Liong."
Bi-kwi memandang pemuda itu. Sekali pandang saja tahulah Bi-kwi bahwa pemuda tampan yang kelihatan lemah lembut ini memiliki kepandaian tinggi, juga di balik kelembutan sikapnya itu, di balik sinar matanya yang lembut,
Ia dapat melihat gairah nafsu yang besar, maka diam-diam ia berhati-hati. Juga ia memandang kepada gadis yang berada di dekat Siangkoan Liong, dan ia pun dapat menduga bahwa gadis itu pun bukan gadis sembarangan. Hemmm, banyak terdapat orang pandai di sini, pikir Bi-kwi khawatir. Tadi pun ia mengenal Toat beng Kiam-ong, tokoh-tokoh Pek-lian-kauw, dan Pat-kwa-kauw, juga beberapa orang kang-ouw yang berkepandaian tinggi berada di tempat itu. Siangkoan Liong mengerutkan alisnya dan agaknya dia meman-dang rendah kepada Bi-kwi dan suaminya. Betapapun lihainya, agaknya suami isteri itu berada di bawah pengaruh Sin-kiam Mo-li, dan orang yang kelihaiannya tidak melebihi Sin-kiam Mo-li, kurang menarik hatinya walaupun sempat hatinya terguncang dan gairahnya bangkit oleh kecantikan Bi-kwi yang sudah matang itu!
"Bawalah mereka menghadap ayah,"
Katanya dan dia pun mengajak Li Sian untuk kembali duduk bercakap-cakap di dalam taman. Rombongan itu lalu masuk ke dalam untuk menghadap Siangkoan Lohan. Setelah mereka berdua duduk lagi di dalam taman. Li Sian bertanya,
"Apakah suami isteri itu pun hendak membantu gerakan yang dipimpin oleh ayahmu, Liong-toako?"
"Agaknya begitulah. Perjuangan ini didukung oleh orang gagah, dan aku yakin bahwa usaha ayah akan berhasil baik,"
Kata Siangkoan Liong gembira.
"Wanita itu kelihatan memiliki kepandaian tinggi,"
Kata pula Li Sian.
"Kau tunggu saja, Sian-moi. Kalau ada kesempatan akan kuperkenalkan engkau kepada suhuku."
"Gurumu?"
Gadis itu memandang wajah pemuda di depannya dalam keremangan cuaca senja.
"Bukankah gurumu itu adalah paman Siangkoan Tek sendiri? Bukankah ayahmu memiliki tingkat kepandaian yang amat tinggi?"
Pemuda itu tersenyum bangga.
"Memang benar, Sian-moi. Akan tetapi guruku ini lebih lihai lagi. Ayah sendiri pernah menguji kepandaiannya maka ayah memperbolehkan aku berguru kepadanya. Ilmu kepandaian guruku itu sukar diukur sampai bagaimana tingginya!"
Li Sian tersenyum dalam hatinya. Baru sekarang ia mendengar ucapan yang mengandung nada bangga dan bahkan sombong dari pemuda ini. Ia tidak merasa heran karena mungkin saja apa yang dikatakan pemuda ini benar. Menurut keterangan gurunya, di dunia ini memang banyak terdapat orang-orang sakti.
"Siapakah gurumu, Liong-toako? Dan kenapa tidak sejak kemarin aku kau perkenalkan padanya?"
"Guruku sedang bertapa dan dia tidak suka diganggu. Kalau dia kebetulan datang berkunjung ke sini, barulah akan kuperkenalkan engkau padanya. Beliau bernama keturunan Ouwyang, biasa disebut Ouwyang Sianseng (Tuan Ouwyang) dan tak pernah ada yang tahu siapa namanya. Nama julukannya adalah Nam-san Sian-jin (Manusia Dewa Pegunungan Selatan). Dia bukan orang sembarangan, Sian-moi, karena dahulu dia pernah menjadi seorang yang amat penting, bahkan menjadi penasihat raja di Kerajaan Birma."
Li Sian tertarik sekali. Ia sudah dapat menduga bahwa pemuda ini memiliki kepandaian tinggi, namun belum pernah ia menyaksi-kannya. Selama belasan hari ini, mereka bergaul cukup rapat sehingga ia seolah-olah diberi kesempatan untuk mengenal pemuda ini, bukan hanya wajahnya, bentuk tubuhnya, suaranya akan tetapi juga watak dan keadaannya. Akan tetapi ia belum melihat sampai di mana tingkat kepandaiannya dan berkenalan tanpa mengetahui atau melihat kepandaiannya tidaklah lengkap. Ingin ia menguji kepandaian pemuda itu. Apakah jauh di atas tingkatnya sendiri?
"Liong-ko, setelah menerima gemblengan dari ayahmu sendiri, kemudian dilatih pula oleh seorang sakti seperti gurumu, tentu engkau kini telah memiliki tingkat ilmu silat yang amat tinggi. Kita sudah saling mengenal sejak kecil, bahkan kini ayahmu menerimaku dengan ramah dan baik, bahkan menganggap aku sebagai keponakan sendiri sehingga antara kita terdapat pertalian persaudaraan. Oleh karena itu, ingin sekali aku melihat sampai di mana tingkat kepandaianmu itu, Toako, agar aku dapat menambah pengetahuanku darimu."
Siangkoan Liong tersenyum, apalagi melihat gadis itu sudah bangkit berdiri menuju ke petak rumput yang cukup luas dan enak untuk dipakai berlatih silat, di dalam taman itu dekat kolam ikan, dan gadis itu berdiri tegak menantinya. Tentu saja dia tahu bahwa gadis itu agaknya ingin sekali menguji kepandaiannya, dengan maksud baik tentu, karena jelas nampak olehnya betapa Li Sian mulai tertarik kepadanya. Dia pun bangkit berdiri dan mengham-piri gadis itu.
"Sian-moi, aku sudah melihat bahwa engkau memiliki ilmu kepandaian yang tinggi sehingga ketika engkau pertama kali muncul di sini, engkau mampu menandingi kelihaian Sin-kiam Mo-li. Aku menjadi gentar melawanmu, Sian-moi. Bagaimana kalau sampai aku tewas atau terluka parah karena pukulanmu?"
"Aih, Liong-toako, harap jangan berkata demikian. Kepandaian Sin-kiam Mo-li amat lihai dan kalau tidak muncul ayahmu datang melerai, tentu aku akan celaka di tangannya. Dan aku hanya ingin melihat sendiri kelihaianmu dalam suatu permainan bersama. Bagaimana mungkin kita akan saling melukai? Sudahlah, Toako, jangan pelit, mari kita main-main sebentar untuk membuka mataku."
"Baik, Sian-moi. Nah, aku sudah siap, kau mulailah keluarkan seranganmu!", kata pemuda itu sambil memandang dengan senyum memikat dan dia pun membuka pasangan kuda-kuda yang gagah dan indah.
Li Sian yang memang ingin sekali melihat sampai di mana lihainya pemuda yang menarik hatinya ini, segera mengeluarkan seruan sebagai isarat bahwa dara ini mulai menyerang. Serangannya merupakan tamparan ke arah pundak Siangkoan Liong, seperti main-main, saja, akan tetapi gadis ini mengerahkan tenaga Hui-yang Sin-kang (Tenaga Sakti Inti Api) kedalam telapak tangannya sehingga hawa panas menyambar ke arah pundak Siangkoan Liong. Pemuda ini kagum sekali ketika merasakan betapa tangan kanan gadis itu menyambar lambat namun membawa hawa yang amat panas. Dia pun cepat menggerakkan tangan kirinya menangkis untuk melindungi pundaknya, dan karena dia maklum bahwa gadis manis itu mempergunakan sin-kang untuk menguji tenaganya, maka dia pun mengerahkan tenaga sin-kang dalam lengan yang menangkis itu.
"Duk!"
Kedua lengan bertemu dan hampir Siangkoan Liong berseru karena dia merasa betapa hawa panas menyusup ke dalam lengannya.
Cepat dia menarik kembali lengannya dan meloncat ke belakang, mengerahkan hawa sakti dalam tubuhnya untuk mendorong keluar lagi hawa panas itu. Li Sian tadi tidak mempergunakan seluruh tenaganya, seperti juga yang dilakukan pemuda itu, karena memang dara ini hanya ingin menguji saja. Ketika melihat bahwa pemuda itu mampu menangkis tamparan yang mengandung Hui-yang Sin-kang, ia merasa kagum dan menyerang lagi, kini dengan tangan kiri yang mendorong dengan tenaga Swat-im Sin-kang (Tenaga Sakti Inti Salju). Kembali pemuda itu menangkis, agak menambah tenaga sin-kangnya karena dia tahu bahwa gadis cantik ini memang lihai dan kuat. Kembali kedua lengan bertemu dan Siangkoan Liong kini meloncat mundur sambil tidak lagi menahan seruannya.
"Bukankah itu tadi dua tenaga sakti dari Pulau Es yang terkenal itu? Yang panas adalah Hui-yang Sin-kang dan yang dingin ini tadi Swat-im Sin-kang?"
Tanyanya setelah berhasil mendorong keluar pengaruh hawa dingin yang menyusup ke dalam tubuhnya. Li Sian menjadi semakin kagum. Pemuda itu ternyata mampu mengenali dua macam tenaga sin-kang yang dipelajarinya dari gurunya, Bu Beng Lokai.
"Benar sekali, Toako. Sekarang terimalah seranganku ini!"
Katanya gembira dan kini tubuhnya bergerak cepat karena ia sudah memainkan Ilmu Silat Lo-thian Sin-kun (Silat Sakti Mengacau Langit) yang merupakan ilmu silatnya yang paling hebat di samping ilmu pedangnya yang sama dasarnya, yaitu Lo-thian Kiam-sut (Ilmu Pedang Pengacau Langit). Menghadapi gerakan ilmu silat yang amat dahsyat itu, cepat dan mengandung tenaga besar, Siangkoan Liong berseru,
"Bagus sekali!"
Dan dia pun menghadapi terjangan Li Sian dengan hati-hati, juga dengan cepat sekali. Dia maklum akan kelihaian gadis ini, tahu pula bahwa kalau dia hanya mengandalkan kelincahan dan tenaga untuk bertahan saja, akhirnya dia akan kalah.
Maka, pemuda ini, yang tidak mau dikalahkan karena hal itu akan merendahkan dirinya dalam pandangan gadis yang amat menarik hatinya itu, segera bergerak membalas dengan serangan-serangan yang tidak kalah dahsyatnya. Dia telah mainkan ilmu silatnya yang aneh, yang banyak mempergunakan loncatan-loncatan dan tendangan sambil meloncat, yaitu Kong-ciak Sin-kun (Silat Sakti Burung Merak) yang dipelajari-nya dari Ouwyang Sianseng dan kini menjadi ilmu andalannya. Memang hebat ilmu silat ini karena mampu menandingi Lo-thian Sin-kun yang merupakan satu di antara ilmu-ilmu silat tinggi. Makin kagum rasa hati Li Sian melihat betapa ilmu silat aneh dari pemuda itu amat lincah dan berbahaya, sehingga ketika ia memainkan Lo-thian Sin-kun,
Siangkoan Liong sama sekali tidak terdesak, bahkan mampu membalas setiap jurus serangannya dengan sama hebatnya. Mereka saling serang sampai tiga puluh jurus lebih dan melihat ini, Li Sian makin lama makin menambah tenaganya. Sampai akhirnya ia mengerahkan semua tenaga dan kepandaian, namun tetap saja ia tidak mampu mendesak Siangkoan Liong, sebaliknya, pemuda ini juga semakin kagum pula karena baru setelah dia mengerahkan hampir semua tenaganya, gadis itu tidak menjadi semakin hebat. Hal ini menunjukkan bahwa biarpun tidak banyak selisihnya, namun tingkatnya masih lebih tinggi. Akan tetapi tentu saja dia tidak ingin mengalahkan nona itu dengan keras, tidak mau melukainya, maka otaknya yang cerdik itu mencari-cari akal bagaimana dia akan dapat memenangkan pibu (adu silat) itu tanpa melukai lawan.
Dia pun teringat akan sebuah ilmu silat dari keluarganya, yaitu Tiat-wi Liongkun (Silat Naga Ekor Besi) yang juga menggunakan tenaga sin-kang yang istimewa dan sejak tadi dipergunakannya untuk menandingi sin-kang dari Li Sian, yaitu Liong-jiauw-kang (Tenaga Sakti Cakar Naga). Sin-kang yang dimilikinya telah diperkuat dengan gemblengan Ouwyang Sianseng, maka kini dalam hal sin-kang, dia malah lebih kuat daripada ayahnya sendiri. Ilmu Silat Naga Ekor Besi ini mempunyai beberapa jurus yang dicampur dengan ilmu gulat dari Mongol, yaitu ilmu menangkap dan membanting, juga ada cara menangkap dan mengempit lawan sampai tidak mampu lolos atau pun bergerak lagi. Inilah yang akan dipergunakannya karena hanya ilmu ini yang akan mampu memberinya kemenangan tanpa melukai atau merobohkan lawan.
Akan tetapi, Siangkoan Liong adalah seorang pemuda yang selain cerdik, juga sudah mempelajari kebudayaan sejak kecil, dan dia tahu bahwa kalau dia melakukan penangkapan dan himpitan seperti terhadap Li Sian tentu akan membuat Li Sian menyangka dia sengaja mempermainkan dan hendak kurang ajar, mempergunakan "kesempatan"
Untuk memeluk dan menangkap gadis itu. Maka, sebelum mempergunakan ilmu itu, dia terlebih dahulu akan memberi peringatan agar gadis itu tidak menyangka yang bukan-bukan, walaupun tentu saja satu di antara sebab yang mendorongnya menaklukkan Li Sian dengan cara itu adalah untuk dapat merangkul dan mendekap tubuh yang membuatnya tergila-gila itu! Tiba-tiba dia mengubah gerakannya dan berseru,
"Awas, Sian-moi, aku akan menyerang dengan tendangan Ban-kin-twi!"
Dan kini Siangkoan Liong sudah mengguna-kan kedua kakinya yang secara bertubi-tubi melakukan tendangan yang amat cepat dan kuat. Ban-kin-twi (Tendangan Selaksa Kati) adalah ilmu tendangan dari ayahnya, dan selain cepat dan sukar diduga dari mana datangnya tendangan, juga amat kuat, sesuai dengan namanya. Melihat tendangan kedua kaki menyambar-nyambar dari segala jurusan ini, Li Sian cepat memainkan San-po Cin-keng dan kedua kakinya membuat langkah-langkah aneh yang teratur dan sungguh aneh, semua sambaran kaki Siangkoan Liong hanya mengenai angin saja karena setiap kaki meluncur, tubuh gadis itu telah bergeser dengan langkahnya yang ringan aneh dan cepat. Akan tetapi, dengan begini, Li Sian tidak mampu lagi balas menyerang sehingga ia nampak terdesak.
"Sekarang aku akan menyerang dengan Ilmu Silat Tiat-wi Liong-kun, Sian-moi. Awas!"
Dan pemuda itu sudah menghentikan rangkaian tendangannya, kini menyerang dengan cengkeraman-cengkeraman yang dicampur dengan totokan dan tendangan. Li Sian menghadapi seranganserangan ini dengan kembali memainkan Lo-thian Sin-kun agar ia dapat membalas serangan dan keduanya sudah bertanding lagi dengan amat serunya. Ketika Siangkoan Liong melihat kesempatan baik, melihat tangan kanan Li Sian menyambar ke arah lambungnya dengan pukulan jari tangan terbuka, serti pedang, secepat kilat dia menangkap pergelangan tangan kanan itu dengan tangan kanannya dan cepat sekali, tanpa dapat diduga oleh Li Sian, dia sudah menyusup ke belakang tubuh gadis itu sambil memuntir lengan kanan Li Sian sehingga lengan kanan gadis itu terpuntir ke belakang tubuhnya.
Kini tubuh Siangkoan Liong berada di sebelah kiri agak ke depan, dengan lengan kanan gadis itu masih dipuntir dan dicengkeram pergelangannya. Li Sian cepat menggunakan siku lengan kirinya untuk menyerang agar pemuda itu melepaskan lengan kanannya, akan tetapi serangan ini sudah diduga lebih dahulu oleh Siangkoan Liong yang cepat menggunakan tangan kirinya mencengkeram pula ke arah siku lengan kiri Li Sian. Siku itu dapat dicengkeram dan ketika gadis itu merasa tenaga pada lengan kirinya lenyap dan lumpuh. Ia terkejut dan cepat memutar tubuh kekiri dan kakinya bergerak hendak mengirim tendangan. Akan tetapi kembali gerakan ini sudah dapat diduga oleh Siangkoan Liong dan cepat sekali kaki pemuda itu telah mendahului,
Dimajukan ke depan di antara kedua kaki Li Sian. Dengan demikian, tentu saja gadis itu tidak berani melakukan tendangan karena bagian tubuhnya yang paling rahasia menempel pada paha di atas lutut Siangkoan Liong. Gadis itu mencoba untuk meronta, namun hasilnya hanya membuat dadanya bergeser dengan lengan kiri pemuda itu yang mencengkeram siku kirinya dan lengan itu ditekuk sehingga siku kiri pemuda itu mengancam dadanya! Wajah Li Sian berubah merah sekali merasa betapa bagian tubuh depan telah bersentuhan dan didekap oleh siku dan lutut pemuda itu! "Sian-moi, inilah ilmu gulat yang terdapat dalam Tiat-wi Liong-kun kami. Maafkan aku!"
Katanya dan ketika bicara ini, wajahnya dekat sekali dengan wajah Li Sian. Dia pun melepaskan kedua tangannya dan melangkah mundur sambil berkata lagi,
"Wah, ilmu kepandaianmu hebat sekali, Sian-moi. Kalau aku tidak mempergunakan akal dengan ilmu
(Lanjut ke Jilid 16)
Kisah Si Bangau Putih (Seri ke 14 - Serial Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 16
gulat yang tidak kau kenal, belum tentu aku akan mampu menyelamatkan diri dari serangan-serangan dan desakanmu."
Sampai beberapa lamanya Li Sian tidak mampu bicara, jantungnya masih berdebar keras dan tubuhnya terasa panas dingin. Ia merasa malu sekali.
Bukan karena kekalahannya, sama sekali bukan, melainkan mengingat betapa tadi ia dirangkul, didekap dan tubuhnya bersentuhan dengan tubuh pemuda itu! Ia tidak dapat marah, karena ia tahu bahwa pemuda itu sama sekali tidak bermaksud menghinanya, bukan bermaksud melakukan perbuatan cabul dan tidak sopan. Bukankah Siangkoan Liong sudah memperingatkannya setiap kali hendak mengeluarkan suatu ilmunya? Dan pemuda itu tadi mempergunakan ilmu gulat untuk mengalahkannya, dan tentu saja ilmu gulat itu dimainkan dengan cara menangkap, memuntir dan menekan atau menghimpit. Akan tetapi, mengingat betapa payudaranya tadi tertekan lengan Siangkoan Liong, dan antara kedua pahanya tertekan lutut pemuda itu, sungguh membuat ia merasa tubuhnya panas dingin.
"Kenapa, Sian-moi? Maafkan aku, kalau aku telah mengalahkanmu dengan ilmu gulat sehingga mengecewakan hatimu,"
Siangkoan Liong berkata sambil memandang khawatir. Li Sian tersenyum malu-malu dan menggeleng kepala.
"Ah, tidak, Liong-toako. Aku memang sudah menduga bahwa aku takkan menang melawanmu dan ternyata engkau memang hebat, tingkat kepandaianmu lebih tinggi daripada aku, Toako."
"Sudahlah, Sian-moi. Terus terang saja, kalau aku tidak menguasai ilmu silat bercampur ilmu gulat, agaknya aku tidak akan mampu mengalahkanmu. Malam telah tiba marilah kita mencari anak buahku yang berjanji bahwa malam ini dia akan mengajak kakakmu itu datang untuk bertemu denganmu."
Bukan main girangnya hati Li Sian. Ia bangkit lagi dari tempat duduknya dan berseru,
"Ah, terima kasih, Toako. Sungguh aku berterima kasih sekali kalau hal itu benar dan aku dapat bertemu dengan kakak sulungku Pouw Ciang Hin!"
Mereka lalu meninggalkan taman itu dan sungguh aneh, seperti sudah sewajarnya saja tangan pemuda itu menggandeng tangan Li Sian dan lebih aneh pula, gadis ini pun tidak menarik tangannya, hanya tangan itu agak dingin dan sedikit gemetar ketika Siangkoan Liong menggenggamnya, akan tetapi dalam genggaman tangan pemuda itu yang mesra dan lembut, tangan Li Sian menjadi makin hangat dan tidak gemetar lagi. Mereka berdua duduk menanti di dalam ruangan itu, ruangan bagian belakang rumah induk yang luas. Ruangan ini biasanya dipergunakan oleh pangcu Siangkoan Lohan untuk mengadakan rapat dan perundingan dengan para pembantunya. Siangkoan Liong mempersilakan Li Sian duduk setelah dia bicara dengan beberapa orang anak buahnya.
"Kita tunggu di sini sebentar, Sianmoi. Tak, lama lagi utusanku itu akan datang dan mudah-mudahan dia tidak gagal membawa kakakmu ke sini untuk berjumpa denganmu."
Gadis itu menatap wajah Siangkoan Liong dengan sinar penuh rasa syukur dan terima kasih, jantungnya berdebar penuh ketegangan karena akan berjumpa dengan kakaknya sehingga ia tidak mampu mengeluarkan suara untuk menjawab, melainkan hanya mengangguk. Akan tetapi setelah beberapa menit lamanya, gadis ini dapat menenteramkan gejolak perasaan hatinya dan ia pun mengangkat muka memandang wajah pemuda itu. Kebetulan sekali Siangkoan Liong juga sedang memandang sehingga dua pasang sinar mata itu saling tatap dan sejenak melekat, sampai akhirnya Li Sian menundukkan pandang matanya dan bertanya dengan suara lirih.
"Toako, di manakah engkau menemukan kakakku? Benarkah dia bekerja menjadi perwira dalam pasukan pemerintah yang berjaga di perbatasan utara ini?"
Siangkoan Liong tersenyum dan mengibaskan ujung bajunya dengan jari tangannya. Ujung baju itu agak kotor karena pi-bu yang mereka adakan di taman tadi.
"Menurut laporan para penyelidik, memang begitulah, Sian-moi. Akan tetapi sebaiknya engkau bertanya sendiri kepada kakakmu nanti kalau benar dia dapat diajak datang oleh utusanku. Jangan khawatir, utusanku itu adalah suhengku sendiri. Dia adalah murid ayahku yang paling lihai dan paling dipercaya, oleh karena itu maka aku sengaja mengutus dia untuk menjemput kakakmu."
Percakapan mereka terputus ketika nampak dua orang memasuki ruangan itu dari pintu samping. Seorang di antara mereka adalah seorang laki-laki yang bertubuh tinggi kurus, mukanya pucat dan matanya tajam. Di punggungnya tergantung sebatang pedang. Akan tetapi Li Sian tidak memperhatikan orang itu, melainkan memperhatikan orang ke dua yang usianya sebaya dengan orang pertama, kurang lebih tiga puluh lima tahun yang mengenakan pakaian perwira pasukan kerajaan. Biarpun kini nampak jauh lebih tua, namun ia tidak pangling, melihat wajah orang ini. Kakaknya! Wajah yang tampan ini nampak jauh lebih tua daripada usianya, penuh garis-garis penderitaan hidup, bahkan pandang matanya pun sayu. Sementara itu laki-laki berpakaian perwira itu pun memandang kepada Li Sian, dengan mata agak terbelalak.
"Li Sian engkau Li Sian...."
Kata laki-laki itu yang bukan lain adalah Pouw Ciang Hin, kakak sulung Pouw Li Sian. Hanya dialah seorang di antara keluarga Pouw-taijin yang selamat dan diampuni, bahkan kemudian masuk menjadi tentara dan mengingat bahwa dia putera seorang pejabat tinggi, juga karena kecakapannya, dia pun kini menjadi seorang perwira yang ditugaskan dalam pasukan yang berjaga di perbatasan.
"Kakak Pouw Ciang Hin...."
Li Sian juga berkata lirih. Keduanya merasa agak kikuk karena selain di situ terdapat orang lain, juga karena sudah lama sekali mereka saling berpisah, bahkan menyangka bahwa masing-masing telah meninggal dunia. Akan tetapi sekali berjumpa, mereka saling mengenal, biarpun ketika mereka berpisah, Li Sian baru berusia dua belas atau tiga belas tahun. Melihat sikap kakak beradik itu, Siangkoan Liong tersenyum dan berkata kepada pria yang tadi menemani Pouw Ciang Hin memasuki ruangan itu,
Kisah Si Bangau Putih Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ciu-suheng, mari kita keluar dan biarlah kakak beradik yang berbahagia ini bercakap-cakap dengan Sian-moi, biarlah kami pergi dulu. Pouw-ciangkun, selamat bertemu dengan adikmu."
Setelah berkata demikian,
Dengan sikap hormat Siangkoan Liong menjura dengan hormat kepada mereka berdua, lalu dia keluar meninggalkan ruangan itu bersama suhengnya yang sejak tadi diam saja. Suhengnya itu adalah tangan kanan Siangkoan Lohan, murid utara yang terkenal dengan julukannya Tiat-liong Kiam-eng (Pendekar Pedang Tiat-liong-pang) dan memang dialah yang berbakat memainkan pedang sehingga bukan hanya mampu menguasai dengan baik ilmu pedang dari gurunya, bahkan dapat melampaui gurunya dalam hal ilmu pedang. Karena kelihaiannya dalam berolah pedang, maka di Tiat-liong-pang dia terkenal sebagai Kiam-eng (Pendekar Pedang)! Setelah dua orang itu pergi, kakak beradik itu kembali saling pandang dan kini, semua perasaan yang tadi ditahan-tahan, seperti air bah menjebol bendungan.
"Koko...!"
Li Sian berseru dan berlari maju, disambut oleh kakaknya yang mengem-bangkan kedua lengannya.
"Siauwmoi....!"
Kedua orang kakak beradik itu saling peluk dan bertangisan sampai beberapa lamanya, tidak mampu mengeluarkan kata-kata karena keduanya merasa terharu sekali. Teringatlah semua kenangan lama, tentang kehancuran keluarga mereka, dan bahwa hanya mereka berdualah yang bersisa hidup. Akhirnya Li Sian yang sudah lama digembleng oleh mendiang Bu Beng Lokai dapat lebih dulu menguasai dirinya. Dengan lembut ia melepaskan diri dari pelukan kakaknya, lalu berkata halus.
"Koko, mari kita duduk dan bicara dengan tenang,"
Dan ia pun duduk sambil menyediakan sebuah kursi lain untuk kakaknya, diletakkan di depannya, terhalang sebuah meja. Pouw Ciang Hin dapat pula menenangkan dirinya setelah melihat sikap adiknya sudah pulih dan tenang kembali. Dia menggunakan punggung tangan untuk menghapus sisa air matanya, lalu keduanya duduk sambil berpandangan.
"Adikku, engkau sekarang telah menjadi seorang gadis dewasa! Ah, sungguh tak kusangka akan dapat bertemu denganmu di sini! Ke manakah saja engkau selama ini, adikku? Dan bagaimana dapat lolos dari serbuan pasukan yang membasmi keluarga kita itu?"
Li Sian lalu menceritakan pengalamannya, betapa ia diselamatkan oleh mendiang Bu Beng Lokai dan dijadikan muridnya, dan betapa selama ini ia ikut bersama gurunya ke puncak Telaga Warna di Pegunungan Beng-san. Kemudian, setelah turun gunung ia melakukan penyelidikan ke kota raja tentang keluarganya dan mendengar bahwa semua anggauta keluarganya telah habis kecuali kakak sulungnya yang menjadi perwira dan bertugas di perbatasan utara.
"Aku lalu ingin mencarimu, Koko, dan aku teringat bahwa Tiat-liong-pang yang diketuai oleh paman Siangkoan Tek adalah sahabat mendiang ayah, maka aku lalu mengunjungi Tiat-liong-pang dan berkat bantuan Liong-toako dan anak buahnya, akhirnya malam ini kita dapat saling berjumpa. Dan bagaimana dengan engkau sendiri, Koko?"
"Tidak banyak hal lain di luar yang telah kudengar, adikku. Tadinya aku pun ditangkap dan dipenjara karena fitnah setelah keluarga kita dibasmi, akan tetapi berkat pertolongan para menteri yang setia, yang memintakan ampun, akhirnya Sribaginda mengampuniku, bahkan aku dianjurkan untuk membuktikan darma baktiku kepada kerajaan dengan masuk menjadi tentara. Nah, aku masuk dan kini menjadi perwira. Akan tetapi, semua itu tidaklah penting. Yang penting adalah...."
Perwira itu menoleh ke kanan kiri dan setelah merasa yakin bahwa tidak ada orang lain mendengarkan, dia pun melanjutkan, suaranya direndahkan sehingga terdengar lirih,
".... adalah kehadiranmu di sini, adikku."
"Kehadiranku di sini? Kenapa, Koko?"
Tanya gadis itu heran.
"Ah, mustahil engkau belum melihat sendiri kenyataan yang jelas ini. Engkau berada di antara para pemberontak! Jangan sampai engkau terbujuk dan bersekutu dengan para pemberontak, adikku."
Li Sian mengerutkan alisnya dan memandang wajah kakaknya dengan sinar mata mencela, lalu terdengar suaranya penuh kesungguhan.
"Koko, engkau keliru! Bagaimana engkau dapat mengatakan Tiat-liong-pang pemberontak? Keluarga Siangkoan sejak dahulu adalah keluarga gagah perkasa sehingga menjadi sahabat baik ayah kita. Dan kalau Tiat-liong-pang kini menentang pemerintah, hal itu bukan berarti hendak memberontak, melainkan berjuang untuk menentang kelaliman!"
"Siauwmoi....!"
"Nanti dulu, Koko. Apakah engkau sudah lupa bagaimana keluarga kita terbasmi habis? Ayah ibu dan saudara-saudara kita terbunuh, semua itu terjadi karena kelaliman kaisar! Karena itu, aku sudah mengambil keputusan membantu perjuangan Tiat-liong-pang untuk menentang kaisar yang lalim, untuk membalas atas kematian keluarga kita...."
"Moi-moi! Nanti dulu, engkau salah paham. Agaknya karena engkau masih kecil dan dibawa pergi oleh gurumu maka engkau tidak tahu apa yang sebenarnya telah terjadi pada waktu itu...."
Pada saat itu terdengar langkah kaki memasuki ruangan dan melihat bahwa yang masuk adalah Siangkoan Liong, maka Pouw Ciang Hin segera menghentikan kata-katanya. Siangkoan Liong tersenyum gembira dan ramah.
"Ah, sungguh aku merasa menyesal sekali harus menganggu kakak beradik yang sedang bercakap-cakap melepas rindu. Akan tetapi, masih terdapat banyak waktu bagi Ji-wi (Kalian Berdua) untuk bercakap-cakap lagi kelak. Pouw-ciangkun, terpaksa aku mengganggu karena aku menerima perintah dari ayah agar mohon bantuan Ciangkun sekarang juga."
Pouw Ciang Hin memandang tajam penuh selidik, akan tetapi sikapnya juga ramah dan lembut.
"Keperluan apakah itu, Kongcu?"
Siangkoan Liong mengeluarkan segulung surat dalam tempat surat tertutup rapat dan menyerahkan itu kepada Pouw Ciang Hin.
"Ayah mohon bantuanmu agar surat yang amat penting ini disampaikan kepada komandanmu, yaitu Coa Tai-ciangkun. Harap dapat disampaikan sekarang juga karena amat penting."
Pouw Ciang Hin merasa kecewa karena belum sempat menjelaskan kepada adiknya tentang peristiwa yang menimpa keluarga mereka, akan tetapi karena maklum bahwa keraguan akan mendatangkan bencana, dia pun mengangguk.
"Baiklah, akan kusampaikan sekarang juga. Siauw-moi, terpaksa kita berpisah dulu. Tunggulah selama satu minggu, aku akan minta cuti dua hari agar dapat datang ke sini dan bermalam satu malam di sini sehingga kita mendapatkan banyak waktu untuk bercakap-cakap."
"Baiklah, Koko,"
Kata Li Sian dan ia mengikuti bayangan kakak kandungnya itu yang pergi meninggalkan ruangan itu. Kemudian, ia pun minta diri dari Siangkoan Liong untuk pergi ke kamarnya. Di dalam kamarnya, gadis itu termenung, mengenang kembali percakapannya dengan kakaknya.
Benarkah apa yang dikatakan kakaknya? Akan tetapi, tidak ada alasan untuk meragukan perjuangan Tiat-liong-pang yang diketuai seorang sahabat ayahnya. Pula, sudah jelas bahwa keluarganya dibasmi oleh kerajaan. Buktinya, empat orang kakaknya juga ditangkap dan dipenjara, bahkan tiga orang tewas di dalam penjara. Bukankah itu sudah jelas bahwa yang membasmi keluarganya adalah kekuasaan kaisar yang lalim? Katakanlah keluarga ayahnya difitnah orang, tetap saja kesalahan kaisarlah kalau sampai menjatuhkan hukuman kepada keluarga ayahnya, padahal ayahnya tidak bersalah. Ayahnya seorang menteri yang baik, jujur dan bijaksana! Betapapun juga, ia akan menanti kakaknya datang berkunjung dan melanjutkan ketera-ngannya tentang peristiwa pembasmian keluarga mereka itu.
Memang Pouw Li Sian tidak tahu apa yang telah terjadi. Gurunya juga tidak pernah bercerita tentang hal itu, bahkan gurunya juga tidak tahu dengan jelas apa yang sesungguhnya terjadi di balik layar peristiwa itu. Di dalam kisah Suling Naga, diceritakan betapa Pouw Tong Ki yang menjabat sebagai Menteri Pendapatan, adalah seorang menteri yang jujur. Ketika ia melihat betapa Hou Seng, seorang thaikam yang amat dicinta oleh kaisar dan memiliki kekuasaan besar di istana, makin lama semakin mempengaruhi kaisar dan kekuasaannya dipergunakan untuk kepentingan pribadi, dengan jujur dan berani dia mencela perbuatan Hou Seng di depan kaisar. Hal ini tentu saja menimbulkan kemarahan Hou Seng dan thaikam yang berkuasa ini lalu memerintahkan seorang datuk sesat untuk membunuh Pouw Tong Ki dan isterinya.
Untung ketika itu, Bu Beng Lokai menjadi tamunya, dan Bu Beng Lokai yang menyelamatkan Li Sian, bahkan melawan datuk sesat yang kemudian melarikan diri. Akan tetapi, Hou Seng lalu mengerahkan pasukan untuk menyerbu gedung keluarga itu dengan fitnah bahwa Bu Beng Lokai yang membunuh Pouw Tong Ki, dan empat orang putera Pouw Tong Ki ditangkap dengan tuduhan memberontak, dan rumah keluarga Pouw disita! Demikianlah keadaan yang tadinya hendak diceritakan oleh Pouw Ciang Hin kepada adiknya, akan tetapi belum sempat karena kedatangan Siangkoan Liong. Dan Li Sian menanti kunjungan kakak kandungnya dengan sia-sia. Bahkan pada hari terakhir, pagi-pagi sekali Siangkoan Liong menemuinya dan dengan muka serius pemuda itu berkata,
"Sian-moi, telah terjadi sesuatu dengan kakak kandungmu. Sungguh celaka!"
Tentu saja Li Sian terkejut bukan main.
"Apa yang telah terjadi dengan kakakku?"
"Dia dibunuh orang...."
"Ahhhhh!"
Betapapun tabah dan terlatih, Pouw Li Sian terbelalak dan mukanya berubah pucat.
"Siapa yang membunuhnya dan mengapa?"
Tanyanya dengan suara membentak, hatinya penuh duka dan kemarahan.
"Tenanglah, Sian-moi, dan mari ikut bersamaku agar engkau dapat melihatnya sendiri. Aku sudah memesan anak buahku agar keadaannya jangan diubah sebelum engkau datang bersamaku."
Mendengar ini, tanpa membereskan rambutnya yang kusut, Li Sian lalu berlari mengikuti Siangkoan Liong yang menuju ke sebuah hutan kecil di sebelah utara perkampungan Tiat-liong-pang. Sambil berlari, Siangkoan Liong berkata,
"Agaknya kakakmu baru meninggalkan markasnya untuk datang berkunjung, memenuhi janji-nya denganmu, dan agaknya dia memang dihadang di hutan itu, terjadi perkelahian dan dia tewas bersama seorang perwira lain yang agaknya menjadi pembunuhnya."
Setelah mereka memasuki hutan, Li Sian melihat beberapa orang anak buah Tiat-liong-pang berjaga, dan di tengah hutan, ia melihat belasan orang anggauta perkumpulan itu berdiri melingkari dua sosok orang yang menggeletak di atas rumput.
Seorang di antara mereka adalah kakaknya, Pouw Ciang Hin, dan orang yang ke dua adalah seorang laki-laki berpakaian perwira kerajaan, usianya setengah tua. Ketika dekat, ia melihat bahwa di antara anggauta, Tiat-liong-pang terdapat pula Sin-kiam Mo-li, Toat-beng Kiam-ong Giam San Ek, dan Thian Kong Cinjin wakil ketua Pat-kwa-pai, tiga orang yang sudah dikenalnya sebagai tokoh-tokoh sakti yang membantu gerakan perjuangan Tiat-liong-pang. Juga ia melihat wanita cantik yang disebut Bi-kwi, sekali ini tanpa suaminya, berada di situ. Akan tetapi, Li Sian hanya memandang mereka dengan sekelebatan saja karena ia sudah lari dan berlutut di dekat jenazah kakaknya. Kakaknya telah tewas, tak dapat diragukan lagi. Mandi darahnya sendiri. Dan orang ke dua yang berpakaian perwira itu pun tewas, juga mandi darah.
"Siapakah dia ini?"
Li Sian bertanya kepada Siangkoan Liong sambil menudingkan telunjuk kepada perwira asing itu yang tangannya masih memegang sebatang golok besar, sedangkan di dekat tangan kakaknya nampak pula sebatang pedang yang berlepotan darah.
"Kami tidak tahu,"
Kata Siangkoan Liong.
"Dia tidak berada di dalam pasukan Coa Tai-ciangkun yang semua telah kami kenal. Jelas bahwa dia seorang perwira pasukan kerajaan yang lain, dan agaknya dia memaksa kakakmu untuk mengkhianati komandan pasukannya, mungkin memaksanya untuk menjadi mata-mata kerajaan. Dan tentu kakakmu menolak, lalu terjadi perkelahian dan keduanya tewas."
Mendengar penjelasan atau dugaan ini, Li Sian termenung. Teringat ia akan semua ucapan kakaknya yang membujuknya agar tidak mencampuri urusan pemberontakan. Apakah kakaknya sudah mulai tergerak hatinya oleh bujukan pihak pasukan kerajaan? Kemudian, setelah bertemu dengannya, kakaknya mungkin sadar dan hal ini membuat dia dimusuhi tentara kerajaan dan dibunuh? Ia mengepal tinju dan di dalam hatinya ia mengutuk. Kembali keluarganya menjadi korban keganasan tentara kerajaan kaisar lalim! Satu-satunya anggauta keluarganya yang tersisa dari pembasmian tentara kerajaan, kini dibunuh pula.
"Aku bersumpah untuk menumpas tentara kerajaan kaisar lalim!"
Katanya sambil bangkit berdiri, mengusap beberapa butir air matanya. Mereka kembali ke perkampungan Tiat-liong-pang dan jenazah Pouw-ciangkun dipanggul. Jenazah perwira kerajaan yang menjadi lawannya itu dikubur di tengah hutan itu juga. Pada keesokan harinya, jenazah Pouw Ciang Hin dikubur dengan dihadiri semua tokoh yang bersekutu dengan Tiat-liong-pang, dengan upacara kehormatan, bahkan beberapa orang perwira dari, pasukan Coa Tai-ciangkun ikut pula hadir dan memberi penghormatan. Li Sian merasa berduka sekali, tubuhnya terasa lemas dan hatinya nyeri. Ia mencari kakak sulungnya, satu-satunya keluarga yang masih ada di dunia ini, dan berhasil bertemu dengan kakaknya. Akan tetapi, hanya untuk diakhiri dengan kedukaan.
Pertemuan singkat, bahkan mereka belum sempat bercakap-cakap secara panjang lebar. Lebih dari itu malah, agaknya terjadi ketidaksesuaian paham antara mereka mengenai Tiat-liong-pang. Dan ia tidak sempat lagi bicara karena kakaknya dibunuh orang. Semenjak kakaknya mati, Li Sian selalu duduk di dekat peti mati, membalas penghormatan semua orang. Ia merasa lelah sekali, lelah lahir batin dan setelah jenazah itu dimakamkan, ia duduk terkulai di depan makam. Semua orang telah pergi meninggalkan kuburan kecuali ia sendiri dan Siangkoan Liong yang dengan penuh perhatian selalu menemaninya dan mencoba untuk menghiburnya. Melihat gadis itu masih bersimpuh di dekat kuburan baru itu, Siangkoan Liong lalu berlutut di samping Li Sian. Dengan lembut tangannya menyentuh pundak gadis itu dan suaranya halus menggetar penuh perasaan iba,
"Sian-moi.... sudahlah. Tidak ada gunanya ditangisi lagi, kakakmu telah tiada dan hal itu sudah dikehendaki Tuhan. Akan tetapi engkau masih hidup dan karena itu engkau harus menjaga kesehatanmu. Sejak kemarin engkau tidak makan, tidak minum, dan hanya menangis saja."
Li Sian menoleh, memandang kepada Siangkoan Liong dengan sepasang mata merah karena kebanyakan menangis.
"Akan tetapi, Liong-ko, dia.... dia adalah satu-satunya orang di dunia ini yang kumiliki.... satu-satunya keluargaku...."
"Aih, harap jangan berpendapat demikian, Sian-moi. Bukankah keluarga Siangkoan telah menerimamu dengan tangan terbuka seperti keluarga sendiri? Dan lihatlah aku ini, Sian-moi. Aku masih ada di sampingmu, dan aku akan melindungimu, menemanimu, menjadi pengganti seluruh keluargamu, karena aku cinta padamu, Sian-moi. Tak tahukah engkau? Sejak pertama kali kita berjumpa, aku sudah jatuh cinta padamu dengan sepenuh jiwa ragaku...."
Dalam keadaan hatinya sedang duka dan lemah, mendengar ucapan yang penuh kasih mesra dan iba itu, luluh rasa hati Li Sian oleh perasaan haru. Matanya sayu menatap wajah pemuda itu dan mulutnya berbisik lirih,
"Liong-ko...."
Dan ketika pemuda itu merangkul dan memeluknya, ia pun menyembunyikan muka di dada pemuda itu sambil menangis. Hatinya merasa terhibur dan di saat itu bagi Li Sian, tidak ada seorang pun manusia yang lebih baik daripada Siangkoan Liong. Karena hatinya sendiri memang sudah merasa kagum dan amat tertarik kepada pemuda itu, maka ia pun tidak menolak ketika Siangkoan Liong membelai rambutnya, mengusap air mata dari pipinya, bahkan ketika pemuda itu mencium pipinya dan mengecup bibirnya, ia pun hanya mengeluh panjang dan ia menemukan perasaan bahagia yang mendalam di antara kedukaannya.
"Sian-moi, aku akan segera minta kepada ayah agar menjodohkan kita. Maukah engkau menjadi isteriku, Sianmoi?"
Tanya Siangkoan Liong halus dan lirih sekali sambil menempelkan mulutnya di dekat telinga gadis itu. Li Sian kembali mengeluh, merasa canggung untuk menjawab dan memang sukar baginya di saat itu untuk bersuara, maka ia pun hanya menggerakkan kepalanya mengangguk, masih bersandar pada dada pemuda itu. Mereka duduk dalam keadaan seperti itu beberapa lamanya, di depan kuburan baru Pouw Ciang Hin. Cumbu rayu dan belaian kasih sayang Siangkoan Liong perlahan-lahan dapat mengusir kedukaan dari hati Li Sian dan ia pun dapat memulihkan lagi tenaganya dan kesadarannyanya. Dengan lembut ia lalu menarik diri terlepas dari pelukan pemuda itu, lalu memandang kepada makam kakaknya dan kedua pipinya yang tadinya pucat berubah kemerahan.
"Ah, Liong-ko, apa yang telah kita lakukan? Bersenang-senang di depan makam kakakku....!"
Katanya agak menyesal.
"Sian-moi, kakakmu akan tersenyum melihat betapa kita saling mencinta dan adiknya mendapatkan jodoh yang tepat. Marilah Sian-moi, mari kita pulang dan makan. Engkau harus makan agar tidak jatuh sakit."
Mereka bangkit berdiri dan Li Sian kembali menoleh kepada makam kakaknya, lalu menjura sebagai penghor-matan terakhir dan berkata,
"Koko, tenangkanlah hatimu. Adikmu ini akan membalaskan kermatianmu dengan menentang pasukan kerajaan, menentang kaisar yang lalim....!"
"Bagus.... bagus....!"
Terdengar suara yang dalam dan lantang. Li Sian dan Siangkoan Liong membalikkan tubuh dan menghadapi Siangkoan Lohan yang tiba-tiba muncul dan memuji ketika mendengar janji Li Sian di depan makam kakaknya.
"Paman Siangkoan....!"
Li Sian memberi hormat.
"Bagus, Li Sian. Memang kami semua juga sedang berusaha untuk menghancurkan pemerintah lalim itu! Pemerintah kaisar lalim itu telah membasmi keluargamu, sahabatku Pouw Tong Ki yang jujur dan bijaksana serta baik, bahkan kini membunuh pula satu-satunya puteranya yang masih hidup. Dengan adanya bantuanmu, aku yakin gerakan kita akan berhasil baik."
Suling Naga Eps 17 Suling Naga Eps 10 Suling Naga Eps 32