Ceritasilat Novel Online

Pusaka Pulau Es 6


Pusaka Pulau Es Karya Kho Ping Hoo Bagian 6



"Selama perjalanan kita ke Tibet, engkau harus selalu mentaati omonganku, Keng Han. Aku jauh lebih berpengalaman darimu, kalau engkau tidak mendengar omonganku, bisa-bisa engkau akan celaka."

   "Tidak, Nio-cu. Aku tidak akan nelakukan perjalanan bersamamu. Aku sekarang juga akan memisahkan diri dari"mu dan aku akan melakukan perjalanan ke Tibet seorang diri saja "`

   "Ehhh, kenapa begitu?"

   "Karena engkau kejam sekali. Kembali engkau membunuhi banyak orang dan aku merasa tidak senang sekali melihat engkau begitu kejam."

   "Engkau tidak boleh meninggalkan aku. Kalau engkau meninggalkan aku, dalam beberapa hari engkau akan mati keracunan. Ingat, tubuhmu sudah kupukul dengan Tok-ciang, dan hanya aku yang dapat memberi obat pemunahnya."

   "Biarlah! Lebih baik mati keracunan daripada menjadi saksi kekejamanmu."

   "Demiklan besarkah perasaan bencimu kepadaku, Keng Han?"

   Dalam ucapannya itu terkandung kesedihan yang mengherankan hati Nio-cu sendiri.

   "Aku tidak membencimu, Nio-cu. Kalau tadinya aku suka melakukan perjalanan denganmu, tadinya aku meng"harap akan dapat menasihatimu agar tidak terlalu kejam. Akan tetapi engkau tetap kejam sekali, maka aku tidak tahan lagi untuk melakukan perjalanan denganmu. Nah sekarang aku harus meninggalkanmu, Niocu. Selamat tinggal!"

   Keng Han mengemasi buntalan pakaiannya sendiri, memanggulnya lalu melangkah pergi dari situ. Melihat kenekatan pemuda itu, Nio-cu cepat bangkit berdiri dan berseru.

   "Nanti dulu, Keng Han! Engkau akan mati dalam beberapa hari lagi. Biarlah kusembuhkan dulu lukamu karena pukulan"ku yang beracun itu!"

   Nio-cu menghampiri Keng Han dan menyuruhnya membuka bajunya. Ketika melihat ke arah dada kiri pemuda itu, ia terbelalak dan ternganga keheranan. Kulit dada itu putih bersih, sama sekali tidak ada tanda telapak tangan merah seperti yang seharusnya ada.

   "Aih....aneh sekali....!"

   Keng Han pura-pura' bertanya.

   "Tanda tapak tangan merah itu telah lenyap! ini tidak mungkin!"

   "Kenapa tidak mungkin? Kenyataannya telah lenyap dan berarti aku telah sembuh. Tidak perlu lagi engkau mengobatiku."

   Kata Keng Han sambil menutupkan kembali bajunya.

   "Hemmm, kau mempermainkan aku! Sambutlah serangan ini!"

   Wanita, itu lalu menyerang dengan hebatnya!

   "Ehhh, apa yang kau lakukan ini?"

   Keng Han melompat ke belakang untuk menghindarkan diri dari serangan itu. Akan tetapi wanita itu mengejarnya dan terus menyerang kalang-kabut dengan gencar sekali. Keng Han terpaksa mainkan ilmu silat Hong-In Bun-hoat untuk menghindarkan diri. Ternyata ilmu silatnya ini hebat sekali. Dia seolah tidak bersilat, hanya menuliskan huruf-huruf di udara dan semua serangan Bi-kiam Nio-cu dapat dielakkan atau ditangkis!

   Tentu saja wanita itu menjadi penasaran sekali. Ia mengeluarkan ilmu totokannya yang ampuh, yaitu Tok-ciang. Ilmu ini bukan hanya menotok, akan tetapi juga menampar dan kedua tangan itu berubah merah! Dan biarpun Keng Han mampu mengelak sampai puluhan jurus, suatu ketika dia tidak dapat menghindar"kan diri dan sebuah totokan mengenai pundaknya membuat tubuhnya lemas dan tidak berdaya! Bi-kiam Nio-cu menambahkan beberapa totokan pada kedua pundak dan dadanya sehingga tubuh Keng Han benar-benar tidak mampu bergerak lagi. Akan tetapi pemuda itu maklum bahwa kalau dia mengerahkan tenaga dari pusar"nya, totokan itu pasti akan dapat di"punahkannya dalam waktu tidak terlalu lama. Dia hanya memandang dengan mata melotot kepada wanita itu.

   "Wanita kejam! Apakah engkau juga hendak membunuhku? Lakukanlah, aku tidak takut mati!".

   "Keng Han, mengapa engkau begini keras kepala? Apakah tidak ada manusia di dunia ini yang kau taati?"

   "Tentu saja ada. Yang kutaati hanyalah ayah bundaku dan juga guruku. Kalau orang lain, hanya yang benar yang akan kutaati, yang tidak benar tidak!"

   Wanita itu tersenyum.

   "Keng Han, aku melihat ilmu silatmu hebat sekali. Akan tetapi buktinya engkau masih kalah olehku. Maukah engkau menjadi muridku?"

   "Hemmm, untuk apa menjadi muridmu? Untuk belajar membunuh? Ilmu silatku sudah cukup untuk menjaga diri."

   "Akan tetapi engkau tidak berdaya menghadapi ilmu totokanku. Bagaimana kalau engkau mempelajari Ilmu menotok dariku? Ilmuku menotok itu disebut Tok-ciang Tiam-hiat-hoat. Kalau engkau memiliki ilmu ini tentu tidak mudah engkau dikalahkan orang."

   Keng Han tertarik sekali. Harus diakui bahwa ilmu totokan dari wanita itu lihai bukan main. Dua kali sudah dia roboh karena totokan itu. Dan kalau totokan lain dapat ditolak dengan sin"kangnya, ternyata totokan ini tidak. Baru setelah lama mengerahkan tenaga sin"kang, dia mampu membebaskan diri. Padahal totokan lain dapat ditolak oleh kekebalan tubuhnya karena sinkang dalam tubuhnya.

   "Kalau engkau suka mengajarkan ilmu totokan itu kepadaku, tentu saja aku suka mempelajarinya."

   Akhirnya setelah berpikir-pikir sejenak, dia menjawab.

   "Bagus, aku suka mengajarkannya untukmu. Engkau tadi telah berusaha menolongku, sudah sepatutnya kalau aku membalas budimu. Akan tetapi untuk mengajarkan ilmu itu, engkau harus mengangkatku sebagai guru. Ini peraturan perguruanku, dan aku tidak mau melanggar peraturan. Nah, kubebaskan totokan pada tubuhmu agar engkau dapat melakukan upacara pengangkatan guru."

   Secepat kilat tangan wanita itu ber"gerak menotok beberapa kali ke tubuh Keng Han dan segera pemuda itu merasa betapa tubuhnya dapat bergerak kembali seperti biasa. Karena dia memang ingin sekali mempelajari ilmu itu, maka dia lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Bi-kiam Nio-cu dan memberi hormat sambil menyebut "subo" (ibu guru). Bi-kiam Nio-cu tertawa terkekeh, girang bukan main.

   "Bangkitlah Keng Han. Mulai saat ini, engkau adalah muridku dan aku adalah gurumu, bukan?"

   "Benar, Subo. Dan apakah Subo akan mengajarkan Tok-cian Tiam-hiat-hoat itu kepada teecu (murid)?"

   "Jangan tergesa-gesa, Keng Han. Mulai sekarang engkau harus mentaati segala perintahku, mengerti?"

   "Akan tetapi...."

   "Akan tetapi apa? Ingat, aku adalah gurumu dan bukankah engkau sudah mengatakan bahwa engkau hanya taat kepada orang tua dan gurumu?"

   "Ahhhk....? Jadi Subo hanya menggunakan akal agar aku selalu taat....?"

   "Bukan hanya itu, aku memang ingin engkau menjadi muridku, akan tetapi murid yang taat. Nah, sekarang ceritakan kepadaku tentang suhumu yang katanya terbunuh oleh utusan Dalai Lama. Ingat, aku akan membantumu bertemu Dalai Lama dan hanya aku yang dapat menolongmu."

   Keng Han lalu menceritakan dengan singkat tentang tiga orang pendeta Lama Jubah Merah yang telah membunuh Go"sang Lama, Oh tentang pesan terakhir Gosang Lama agar dia membunuh Dalai Lama yang mengutus tiga grang Lama Jubah Merah itu, dan juga membunuh ketua Bu-tong-pai yang menjadi musuh besar gurunya itu. Setelah Keng Han selesai bercerita, Bi-kiam Nio-cu menarik napas panjang dan berkata,

   "Gurumu itu agaknya seorang yang benar-benar kejam. Aku membunuhi orang jahat kaukatakan kejam, akan tetapi gurumu itu seperti hendak membunuh engkau sendiri! Engkau mimpi untuk dapat membunuh Dalai Lama dan ketua Bu-tong-pai, sukarnya seperti naik ke langit! Aku sendiri, terus terang saja, tidak berani mencoba untuk melakukan dua hal itu, akan tetapi aku dapat membantumu bertemu dengan Dalai Lama dan juga dengan ketua Bu-tong-pai."

   Keng Han merasa girang sekali.

   "Bantuan itu saja sudah cukup bagi teecu, Subo. Kalau sudah bertemu dengan mereka, aku akan menuntut mereka dan minta keterangan mengapa mereka memusuhi suhu Gosang Lama. Selanjutnya biarlah aku sendiri yang akan menghadapi mereka."

   Mereka lalu melanjutkan perjalanan menuju ke barat. Kini Keng Han merasa lebih senang karena ternyata gurunya yang baru ini mengenal jalan ke Tibet sehingga tidak perlu bertanya-tanya lagi seperti ketika dia melakukan perjalanan seorang diri. Dia percaya bahwa gurunya ini, biarpun masih muda, namun berilmu tinggi dan sudah memiliki banyak pengalaman. Ingin dia menanyakan riwayat subonya yang tentu menarik. Apakah subonya sudah memiliki suami? Ataukah masih memiliki keluarga lain, dan kalau ada di mana tempat tinggalnya? Namun, dia khawatir kalau dibentak karena subo"nya kadang bersikap galak kepadanya, maka sampai lama dia tidak pernah mengajukan pertanyaan ini.

   Malam itu gelap sekali, Keng Han dan Bi-kiam Nio-cu terpaksa melewatkan malam di sebuah gua. Menurut Nio-cu, dusun yang terdekat dari situ masih lima puluh li lebih sehingga mereka akan ke"malaman di tengah jalan kalau melanjut"kan perjalanan. Lebih baik melewatkan malam di gua itu, agak terlindung dari angin dan hawa dingin. Keng Han me"ngumpulkan kayu bakar dan membuat api unggun di depan gua. Dia pun mencari rumput kering untuk alas lantai gua sehingga gurunya akan dapat mengaso. Akan tetapi Nio-cu duduk saja dekat api unggun dan termenung mengamati api, yang bernyala. Keng Han duduk di de"pannya, terhalang api unggun.

   "Keng Han, ke sinilah. Duduk di dekatku sini, aku ingin bercakap-cakap denganmu."

   Keng Han pindah duduk di sebelah gurunya, diam saja. Setelah agak lama mereka berdiam diri, Nio-cu menghela napas panjang dan berkata,

   "Keng Han, apakah engkau berbahagia?"

   Pemuda, itu heran mendengar pertanyaan ini.

   "Bahagia? Apakah artinya bahagia itu, Subo? Kita sudah makan tadi, perutku kenyang, badan yang letih kini dapat beristirahat, dekat api unggun yang hangat sehingga tubuh ini terasa enak. Hatiku juga merasa senang karena kita tidak mendapat gangguan. Ya, boleh jadi aku berbahagia saat ini, Subo."

   "Aih, betapa rinduku akan kebahagiaan. Aku tidak pernah merasa berbahagia. Senang, memang. Akan tetapi itu lain. lagi. Senang hanya sebentar saja lewat dan berlalu. Aku ingin bahagia! Ah, betapa aku ingin bahagia, akan tetapi bagaimana caranya? Di manakah kebahagiaan itu? Aku ingin mencarinya, Keng Han. Dapatkah engkau membantuku?" .

   "Bagaimana caranya membantumu, Subo? Aku sendiri merasa berbahagia, lalu bagaimana aku dapat menularkan kebahagiaan ini kepadamu? Kebahagiaan adalah suatu perasaan, suatu keadaan hati, dan hati orang tidaklah sama. Aku sendiri, saat ini merasa senang, tidak ada apa pun yang mengganggu, maka aku tidak butuh bahagia itu! Barangkali Subo merasa tidak berbahagia, bagaimana bisa mencari kebahagiaan? Hilangkanlah ketidakbahagiaan itu, Subo!"

   "Aku merasa kesepian, merasa tidak berbahagia, bagaimana dapat, menghilangkan ketidak-bahagiaan ini?"

   "Ah, aku juga tidak tahu, Subo."

   Keduanya melamun sambil memandang ke dalam api yang bernyala di depan mereka.

   Setiap orang mendambakan kebahagiaan, bahkan ada yang mencari kebahagiaan itu dengan cara apa pun, ada yang menyiksa diri, ada yang bertapa dan sebagainya lagi. Ada pula yang mengejarnya dengan belajar ilmu ini dan itu, seolah kebahagiaan itu adalah sesuatu yang bisa dicari dan didapatkan. Setiap orang mendambakan kebahagiaan dalam hidupnya. Tidak bahagia ini adalah suatu perasaan yang timbul apabila terjadi sesuatu yang tidak menyenangkan hatinya. Dalam keadaan yang tidak berbahagia ini, bagaimana mungkin orang mencari dan men"dapatkan kebahagiaan? Orang yang se"dang berjalan-jalan di pegunungan, melihat matahari tenggelam amat indahnya pikirannya tidak melayang-layang tidak karuan, dia tentu akan mengalami ke"bahagiaan itu dan kalau sudah begitu, tentu dia tidak mencari kebahagiaan!

   Dari pada mencari-cari kebahagiaan, bukankah lebih tepat kalau mempelajari mengapa dia tidak bahagia, apa yang menyebabkan dia tidak berbahagia. Kalau yang menjadi penyebab ketidak-bahagiaan itu sudah tidak ada lagi, apakah dia membutuhkan kebahagiaan? Tidak lagi, karena dia sudah berbahagia! Jadi, kebahagiaan itu sesungguhnya tidak pernah meninggalkan kita, seperti Tuhan tidak pernah sedetik pun meninggalkan kita dengan kasih sayangNya. Kitalah yang meninggalkan kebahagiaan, kitalah yang meninggalkan Tuhan! Kita meninggalkan kebahagiaan melalui akal pikiran kita yang bergelimang nafsu sehingga kita tidak pernah merasa puas dengan keada"an, kita penuh harap, penuh kecewa, penuh iri, penuh amarah, penuh kebencian. Semua itu membuat kebahagiaan tidak nampak lagi dan membuat kita merasa tidak berbahagia!

   Seperti halnya kesehatan. Kita sudah sehat setiap saat, akan tetapi kita tidak dapat merasakan itu, tidak dapat menikmati itu. Kalau kita sakit saja barulah kita dapat membayangkan betapa akan nikmatnya kalau kita sembuh dan sehat! Kebahagiaan sudah ada setiap saat. Kalau ada gangguan sehingga kebahagiaan tidak terasa, itu adalah kesalahan kita sendiri. Karena itu, setiap saat kita wajib bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Kasih. Kalau menghadapi malapetaka, di samping berusaha sekuat mungkin untuk menghindarkan diri, juga kita harus menyerah dan pasrah sepenuhnya kepada Tuhan, karena hanya Tuhanlah yang berkuasa mengatur segalanya. Juga mengatur. kehidupan kita. Makin kita mendekatkan diri kepada Tuhan, makin kuat iman kita kepada Tuhan, makin dekat pula kebahagiaan dengan kita, makin dapat terasakan.

   "Keng Han, di manakah orang tuamu?"

   Ditanya tentang orang tuanya, Keng, Han terkejut. Dia tidak ingin diketahui orang bahwa dia putera pangeran mahkota dari kerajaan Ceng.

   "Aku hanya tinggal mempunyai seorang ibu, Subo. Ayah telah meninggalkan ibu sebelum teecu lahir."

   "Ah, keparat!"

   Dan tiba-tiba tangan wanita itu sudah bergerak cepat dan menotoknya pula sehingga Keng Han menjadi lumpuh seketika.

   "Subo mengapa.... mengapa Subo berbuat begini?"

   "Jahanam, sama saja. Semua laki"laki memang keparat. Benar kata-kata subo. Karena itu aku benci kepada laki-laki. Ayahmu meninggalkan ibumu ketika ibumu sedang hamil. Hemmm, dan engkau ini. sebagai puteranya tentu sama saja, sama jahatnya!"

   "Aku.... aku selama hidupku belum pernah melihat ayah kandungku, Subo. Aku juga sudah bersumpah mencari ayah, dan kalau dia tidak mempunyai alasan kuat meninggalkan dan menyia-nyiakan ibuku, aku akan menghajarnya!"

   "Bagus! Kalau begitu engkau tidak sama dengan ayahmu!"

   Kini Nio-cu kembali menotok Keng Han sehingga terbebas dari totokan. Keng Han mengelus"elus pundaknya yang tadi ditotok dan meringis karena pundaknya terasa agak nyeri.

   "Kenapa Subo begitu kejam, dengan mudah saja menotokku tanpa sebab?"

   "Aku paling benci kalau mendengar ulah laki-laki yang mempermainkan wanita. Karena ayahmu berlaku keji terhadap ibumu, maka aku menjadi marah dan karena engkau puteranya, aku menjadi marah kepadamu. Akan tetapi sekarang tidak lagi karena engkau menyatakan tidak setuju dengan tingkah laku ayahmu itu."

   "Subo sudah mengetahui banyak tentang diriku, akan tetapi sebaliknya aku tidak tahu apa-apa tentang Subo. Bagaimana kalau kelak orang bertanya tentang guruku, apakah harus kujawab bahwa aku tidak mengenal guruku sendiri?"

   Bi-kiam Nio-cu menghela napas panjang.

   "Riwayatku tidak menarik. Aku yatim piatu. Yang terdekat denganku hanya seorang guru dan seorang adik seperguruan. Guruku pembenci pria dan entah sudah berapa banyak pria yang telah dibunuhnya. Ia mengajarkan kami untuk membenci pria pula, terutama pria mata keranjang dan pria yang suka mem"permainkan wanita. Engkau masih beruntung bertemu dengan aku. Kalau engkau bertemu dengan guruku atau sumoi"ku, tentu kepalamu sudah dipenggal!"

   Keng Han bergidik. Nona ini saja sudah begitu kejam terhadap laki-laki, apalagi sumoinya dan subonya itu. Hemm, mengerikan! Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Keng Han sudah terbangun dari tidurnya. Ketika bangun, dia melihat Bi"kiam Nio-cu sudah berdiri di depan gua dan melihat jauh ke depan, ke arah ba"wah karena gua itu terletak di lereng bukit. Tiba-tiba ia membalik dan dengan kakinya ia memadamkan api unggun, bahkan mencerai-beraikan kayu-kayu bakar sehingga tidak ada yang membara lagi dan tidak mengeluarkan asap. Kemudian ia berkata kepada Keng Han, sikapnya seperti orang ketakutan.

   "Keng Han, cepat kemasi barang-barangmu. Kita pergi dari sini!"

   "Kenapa Subo?"

   "Tidak usah bertanya, cepat lakukan perintahku!"

   Kata wanita itu bengis. Keng Han cepat mengemasi buntalannya dan tak lama kemudian keduanya sudah menuruni bukit itu. Ketika tiba di kaki bukit, tiba-tiba wanita itu manarik tangan Keng Han, diajak bersembunyi di balik semak belukar. Keng Han menurut saja dan ikut mengintai dari balik semak, dan dari jauh dia melihat seorang laki-laki berusia enam puluhan tahun yang berjalan terpincang-pincang menggunakan sebatang tongkat. Sungguh aneh sekali. Gurunya yang demikian lihai nampak ketakutan bertemu dengan seorang tua yang tim"pang kakinya! Akan tetapi dia tidak be"rani bertanya.

   "Jangan bergerak dan jangan bersuara, bisikan halus itu dekat sekali dengan telinganya .Dan dia mencium bau harum rambut gurunya. Keng Han semakin heran dan mengintai terus. Setelah tiba tak jauh dari semak belukar itu, si timpang itu berhenti melangkah dan kepalanya dimiringkan seolah-olah dia menggunakan ketajaman pendengarannya untuk mendengarkan sesuatu. Keng Han tidak beran bergerak, bahkan menahan napas.

   "Kalian tidak lekas keluar menghadap aku, masih tunggu apalagi?"

   Keng Han kaget setengah mati. Kiranya si timpang itu dapat mengetahui kehadiran mereka di situ! Akan tetapi ketika dia hendak bergerak sebuah tangan menahan pundaknya dan dia tetap tidak bergerak. Namun dia siap siaga kalau-kalau diserang oleh kakek timpang itu. Tiba-tiba dari balik semak-semak di seberang bermunculan tiga orang yang segera keluar dan menjatuhkan diri berlutut di depan si kakek timpang.

   "Pangcu, mohon maaf sebesar-besarnya!"

   Kata mereka sambil mengangguk-anggukkan kepalanya.

   "Tidak perlu cerewet. Cepat katakan apakah kalian sudah berhasil merampas kuda itu?"

   "Ampunkan kami, Pangcu. Penunggang kuda itu ternyata lihai sekali dan kami bahkan menerima hajaran darinya. Kami tidak berhasil merampas kuda itu, bahkan nyaris tewas kalau kami tidak melarikan diri."

   Kakek timpang itu mengerutkan alisnya dan matanya mencorong marah.

   "Kalian orang-orang yang tidak berguna! Cabut pedang kalian!"

   Tiga orang itu tidak berani membantah dan mencabut pedang masing"masing dari punggung mereka.

   "Cepat buntungi telinga kiri kalian sebagai hukuman!"

   Kini tiga orang itu diam saja, agaknya merasa ngeri harus membuntungi daun telinganya sendiri. Melihat ini, Keng Han yang masih mengintai merasa penasaran sekali. Alangkah kejamnya pangcu itu! Dia. membuat sedikit gerakan, akan tetapi tangan Niocu cepat menekannya agar dia tidak bergerak. Kenapa gurunya begitu takut terhadap kakek timpang yang kejam itu?

   "Kau tidak cepat melaksanakan perintahku? Baik, akulah yang akan menghukum kalian!"

   Gerakannya demikian cepat dan begitu dia menggerakkan tangan, tahu-tahu dia telah merampas sebatang pedang dari tangan anggauta yang terdekat dan nampak sinar pedang berkelebat tiga kali.

   "Sing-sing-sing....! Crat-crat-crattt...!"

   Nampak darah muncrat dan tiga orang itu sudah kehilangan telinga kirinya! Kakek timpang itu membuang pedang rampasannya, lalu mengeluarkan sebuah bungkusan kecil.

   "Pergunakan bubuk obat ini agar darahnya berhenti mengalir dan cepat sembuh. Hati-hati, kalau lain kali kalian gagal melaksanakan perintahku, bukan hanya telingamu yang kubuntungi, melainkan leher kalian! Hayo cepat pergi!"

   Tiga orang itu menghaturkan terima kasih dan setelah menerima obat mereka lalu pergi dengan cepat, menahan rasa nyeri pada telinga kiri yang daunnya telah buntung itu. Kini Keng Han tidak lagi dapat menahan kesabaran hatinya. Tanpa mempedulikan tangan gurunya yang mencoba untuk menahannya, dia sudah meloncat keluar menghadapi kakek itu sambil membusungkan dadanya.

   "Orang tua, engkau sungguh kejam bukan main! Terhadap anak buah sendiri yang gagal melaksanakan tugas, engkau bersikap begitu, kejam membuntungi daun telinga kiri mereka. Apalagi terhadap orang lain!"

   Kakek timpang ini adalah Toat-beng Kiam-sian (Dewa Pedang Pencabut Nyawa) Lo Cit, seorang di antara para datuk persilatan yang terkenal kehebatan ilmu silatnya. Dan sekarang, ada seorang pemuda berani menegurnya seperti seorang tua menegur seorang anak nakal saja! Demikian heran kakek itu sampai dia tidak mampu menbeluarkan kata"kata, hanya memandang dengan bengong kepada Keng Han. Akhirnya setelah dia merasa yakin bahwa dia tidak sedang mimpi, dia membentak dengan bengis,

   "Bocah setan, apa engkau sudah bosan hidup?"

   Bi-kiam Nio-cu terkejut setengah mati melihat ulah Keng Han. Ia merasa jerih melihat kakek timpang ini. Ketika tadi ia melihat seorang pria timpang berjalan dengan tongkatnya, ia segera mengenal siapa dia dan ia merasa jerih. Lebih baik tidak bertemu dengan datuk ini, pikirnya. Bagaimana ia tidak akan merasa jerih? Gurunya sendiri, Ang Hwa Nio-nio, pernah bertanding melawan da"tuk timpang ini dan berakhir seri, tidak ada yang menang! Kini melihat Keng Han melompat keluar dan menegur kakek itu, hatinya tentu saja khawatir bukan main. Di luar kesadarannya sendiri Bi-kiam Nio-cu merasa amat sayang kepada Keng Han dan khawatir kalau pemuda itu celaka, maka ia melupakan rasa takutnya sendiri dan meloncat pula keluar dari balik se"mak-semak. Ia cepat memberi hormat dengan mengangkat kedua tangan di depan dada sambil berkata dengan nada menghormat.

   "Harap Lo-pangcu sudi memberi maaf kepada muridku yang kurang sopan ini. Karena dia tidak mengenal Locian-pwe, maka telah bersikap kurang hormat. Dengan memandang mukaku, dan muka guruku, harap Lo-pangcu sudi memaafkan."

   Kakek itu menoleh kepada Nio-cu dan memandang tajam penuh perhatian.

   "Hemmm, ini muridmu? Dan siapa gurumu?"

   "Guru saya adalah Ang Hwa Nio-nio!"

   Kakek itu mengangguk-angguk dan kembali memandang kepada Keng Han.

   "Hemmm, jadi anak setan ini adalah cucu murid Ang Hwa Nio-nio? Nenek gurunya saja tidak mampu mengalahkan aku, sekarang cucu muridnya berani menegur aku. Dia harus dapat menahan sepuluh jurus pukulanku, baru aku dapat memaafkan dia!"

   Bi-kiam Nio-cu Siang Bi Kiok terkejut bukan main, ia tahu bahwa kakek itu lihai bukan main. Bukan saja terkenal sebagai ahli pedang sehingga dia disebut. Dewa Pedang dan pedang itu disembunyikan di dalam tongkatnya itu, akan tetapi juga dia ahli mempergunakan ilmu pukulan yang disebut Pukulan Halilintar yang ampuhnya menggila! Mana mungkin Keng Han dapat bertahan sampai sepuluh jurus? Lima jurus saja sudah cukup untuk membunuh Keng Han. Ia sendiri belum tentu dapat bertahan sampai sepuluh jurus.

   "Saya hanya mohonkan ampun bagi nyawa murid saya. Harap Lo-pangcu tidak membunuhnya karena kalau Pangcu melakukan itu, tentu akan membuat kami semua, juga guru saya, merasa tidak enak sekali."

   "Ha-ha-ha, jangan khawatir. Aku tidak perlu membunuhnya, cukup membuat kaki tangannya lumpuh untuk selamanya agar dia tidak berani lagi bersikap kurang ajar!"

   Sementara itu, Keng Han sudah berkata,

   "Subo, jangan minta-minta seperti itu. Kakek ini memang kejam bukan main."

   "Keng Han, cepat minta ampun kepada Lo-pangcu!"

   Kata Nio-cu.

   "Tidak, dia yang harus minta ampun kepada Tuhan atas dosanya! Aku akan menerima tantangannya menghadapinya sampai sepuluh jurus. Harap Subo tidak khawatir. Aku mampu menjaga diri!"

   "Bagus, bocah sombong. Nah, terimalah jurus pertama ini!"

   Kakek timpang itu berseru dan tangan kirinya sudah menyambar dengan hebat sekali ke arah kepala Keng Han. Memang bukan main cepatnya serangan itu, cepat dan kuat sekali sehingga mendatangkan angin pukulan yang dahsyat. Akan tetapi Keng Han sudah bergerak cepat dan berhasil mengelak dari jurus pertama itu. Dia mengelak dengan gerakan dari Hong In Bun-hoat. Melihat serangan pertamanya gagal, kakek timpang itu menjadi penasaran sekali dan kini dia memukul lagi dengan tenaga sepenuhnya. Terdengar angin berdesir dan debu mengepul ketika kakek itu memukul dengan tangan kirinya lagi
(Lanjut ke Jilid 06)
Pusaka Pulau Es (Seri ke 17 - Serial Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 06
ke arah dada.

   Keng Han mengubah gerakan silatnya dan kini dia memakai ilmu silat Toat-beng Bian-kun, ilmu silat yang dipelajarinya dari Pulau Hantu. Ilmu silat ini bersifat lemas, namun di balik kelemasan itu terkandung tenaga dahsyat sekali sehingga ketika dia menangkis, pukulan kakek itu seperti masuk ke dalam air saja. Kakek itu terkejut bukan main dan dia segera mengamuk, mengirim pukulan beruntun dengan hebatnya. Sementara itu, Bi-kiam Nio-cu hanya menonton dengan hati tidak karuan rasanya. Ia yakin bahwa muridnya yang tersayang itu akan terpukul mati atau setidaknya akan lumpuh seperti ancaman kakek itu dan ia tidak berani turun tangan membantu. Akan tetapi segera ia memandang dengan terheran-heran. Muridnya itu bukan saja mampu menghindarkan diri, bahkan berani menangkis pukulan datuk itu.

   Karena merasa penasaran bukan main setelah lewat sembilan jurus dia belum mampu mengalahkan bocah itu, Toat-beng Kiam-sian lalu merendahkan tubuhnya dan menyalurkan tenaga sinkang ke dalam kedua tangannya, kemudian memukul ke depan seperti mendorong. Inilah Pukulan Halilintar yang telah menga"lahkan banyak sekali ahli silat di dunia kang-ouw. Nio-cu mengandang dengan muka pucat sekali karena sekali ini muridnya pasti celaka. Melihat pukulan yang luar biasa kuatnya itu, yang mendatangkan angin seolah timbul badai, Keng Han juga merendahkan tubuhnya dan dia menyambut pukulan itu dengan kedua tangannya pula. Diam-diam dia mengerahkan dua hawa sakti yang berlawanan dalam tubuhnya dan dua macam tenaga sakti meluncur melalui kedua tangannya, yang kanan mengandung hawa panas dan yang kiri mengandung hawa dingin!

   "Wuuuuuttttt.... desssss....!!!"

   Dua tenaga yang amat hebat bertubrukan di udara dan akibatnya, tubuh kakek itu terpental ke belakang sampai dia terhuyung beberapa langkah, sedangkan tubuh Keng Han hanya bergoyang-goyang saja! Nio-cu terbelalak, hampir tidak percaya kepada pandang matanya sendiri. Juga kakek timpang itu terkejut setengah mati. Tak disangkanya bahwa pemuda itu bukan saja mampu menahan Pukulan Ha"lilintarnya, bahkan mengatasinya dan membuatnya terhuyung! Dia lalu mengangkat tongkatnya yang menyembunyikan pedang dan hendak menyerang lagi menggunakan pedangnya. Akan tetapi Nio-cu cepat meloncat ke depan dan berkata,

   "Lo-pangcu telah menyerang sebanyak sepuluh jurus dan telah mengalah, memberi pelajaran kepada murid saya. Saya sebagai gurunya menghaturkan terima kasih atas kebaikan ini!"

   
Pusaka Pulau Es Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Wajah Toat-beng Kiam-sian berubah merah.

   Akan tetapi dia juga meragu dan agak jerih. Kalau muridnya sudah demikian hebatnya, apalagi gurunya! Agaknya murid Ang Hwa Nio-nio ini memiliki ilmu kepandaian yang hebat sekali. Juga dia teringat akan janjinya bahwa dia akan mengampuni pemuda itu kalau mampu menahan sepuluh jurus serangannya, maka sambil mendengus marah dia mem"balikkan tubuhnya dan sekali melompat dia sudah hilang di balik semak belukar. Gerakannya demikian cepat sehingga mengagumkan hati Keng Han. Setelah bertemu dengan Nio-cu, baru dia tahu bahwa di dunia ini terdapat banyak sekali orang yang amat lihai, akan tetapi juga amat kejam. Nio-cu menghampiri Keng Han dan meraba-raba pundaknya.

   "Engkau tidak apa-apa?"

   "Tidak, Subo. Kenapa Subo melerai? Biarlah dia mengeluarkan seluruh kepandaiannya, teecu tidak takut!"

   Kata Keng Han penasaran.

   "Sudahlah, Keng Han. Engkau dapat keluar dengan selamat saja sudah merupakan keajaiban. Keng Han, sebetulnya engkau memiliki ilmu apakah? Bagaimana engkau dapat menahan ilmu Pukulan Halilintar tadi?"

   Keng Han tersenyum.

   "Aku adalah murid Subo, mengapa Subo bertanya? Semua ilmuku tentu kudapatkan dari guruku, bukan?"

   Dia mengejek. Nio-cu terbelalak dan wajahnya berubah merah. Memang selama ini ia belum mengajarkan apa-apa, juga ilmu totok itu belum ia ajarkan.

   "Marilah aku mengajarkannya kepadamu. Akan tetapi engkau harus sungguh-sungguh melawanku, seperti kau melawan kakek tadi!"

   "Baik, Subo."

   Kata Keng Han dengan girang. Dia memang ingin mempelajari ilmu totokan yang disebut Tok-ciang itu, walaupun bukan itu benar yang membuat dia betah melakukan perjalanan bersama gurunya ini. Entah bagaimana, dia pun suka sekali kepada Nio-cu dan tidak ingin berpisah darinya, ingin agar di temani ke Tibet. Bukan hanya pribadi Nio-cu yang menyenangkan hatinya, akan tetapi juga pengalamannya akan amat berguna baginya dalam perjalanan menemui Dalai Lama itu. Keng Han sudah melepaskan bungkusan pakaian dari pundaknya, dan siap menghadapi serangan gurunya. Nio-cu juga melepaskan buntalan pakaiannya dan pedangnya, kemudian ia memasang kuda"kuda.

   "Lihat seranganku!"

   Katanya tiba-tiba, dan ia pun menyerang dengan cepat. Serangannya cepat dan kuat dan ia telah mempergunakan Tok-ciang, yaitu ilmu pukulan yang mengandung hawa beracun. Keng Han tidak berpura-pura lagi. Dia pun menyambutnya dengan Toat-beng Bian-kun. Dan seka!i ini benar-benar Nio-cu dibuat terheran-heran. Ilmu silat muridnya itu demikian aneh dan asing gerakannya, akan tetapi semua pukulannya meleset dan tidak pernah mengenai sasaran. Kemudian ia mengerahkan seluruh tenaga sinkangnya dan menyerang dengan hebatnya, menggunakan kedua telapak tangannya. Keng Han menyambut dengan kedua tangannya pula.

   "Wuuuttttt....desss....!"

   Dan tubuh Nio-cu terjengkang seperti ditolak oleh tenaga yang amat dahsyat dan ia merasa betapa tangan kanannya bertemu hawa dingin sekali sedangkan tangan kirinya bertemu hawa panas luar biasa.

   "Ahhh.... Subo, engkau tidak ter"luka....?"

   Keng Han cepat menghapiri gurunya dan membungkuk, untuk membantunya berdiri. Akan tetapi secepat kilat tangan Nio-cu sudah menotok pundaknya dan seketika Keng Han tidak mampu menggerakkan kedua tanganya.

   "Subo, kenapa....?"

   Tanyanya heran. Nio-cu bangkit berdiri wajahnya agak pucat, akan tetapi pandang matanya penuh keheranan. Dalam pertandingan ilmu silat tadi, jelas bahwa ia kalah kuat dan bahwa muridnya ini memiliki ilmu silat yang hebat bukan main dan memiliki tenaga sinkang yang berlawanan, tangan kirinya dingin dan tangan kanannya panas. Akan tetapi menghadapi ilmu totokannya, muridnya ini agaknya tidak berdaya.

   "Keng Han, apakah gurumu Gosang Lama itu seorang anggauta keluarga Pulau Es?"

   Tanyanya.

   "Bukan, Subo. Akan tetapi tolong bebaskan dulu totokan ini."

   Nio-cu membebaskan totokannya dan Keng Han dapat bergerak kembali.

   "Diakah yang mengajarkanmu menggunakan tenaga tadi? Dan ilmu silatmu itu, apakah dia pula yang mengajarkannya?"

   Terpaksa Keng Han berterus terang.

   "Sesungguhnya bukan dia yang mengajarkannya, Subo, melainkan aku belajar sendiri dari dalam sebuah gua di Pulau Hantu."

   "Pulau Hantu....?"

   Keng Han lalu meceritakan tentang munculnya sebuah pulau baru di permukaan laut itu yang oleh para nelayan disebut Pulau Hantu dan diceritakannya pula penemuannya di gua, yaitu tulisan di dinding batu berikut gambar-gambarnya tentang ilmu silat yang dipelajarinya. Mendengar ini Nio-cu kagum bukan main.

   "Tidak salah lagi! Pulau itu tentulah Pulau Es yang dikabarkan sudah tenggelam di lautan itu dan engkau telah mewarisi peninggalan Keluarga Pulau Es!"

   "Akan tetapi pulau itu tidak ada es"nya, sama sekali bukan Pulau Es, melainkan Pulau Hantu, Nio-cu."

   Keng Han kadang-kadang menyebut subo (ibu guru) kepada Bi-kiam Nio-cu, akan tetapi kadang-kadang dia terlupa dan menyebut Nio-cu begitu saja. Akan tetapi agaknya wanita itu tidak keberatan disebut Nio"cu.

   "Sudahlah, mungkin karena engkau tidak langsung dilatih orang dan hanya belajar sendiri, maka gerakanmu masih kaku sehingga engkau mudah terserang ilmu totokku. Sebetulnya engkau telah memiliki ilmu yang jauh lebih tinggi daripada ilmu silatku, Keng Han. Karena itu, tidak perlu lagi engkau mempelajari ilmu menotok itu, hanya akan kuajarkan bagaimana cara untuk menghindarkan diri dari totokanku."

   Demikianlah, mulai saat itu, setiap kali berhenti mengaso, Nio-cu mengajarkan cara menghindari ilmu totokannya sehingga Keng Han kini selalu dapat mengelak dan menangkis, tidak sampai tertotok. Ilmu totok itu memang memiliki gerakan yang amat aneh maka kalau tidak mempelajarinya, tentu dia akan mudah tertotok dan dibuat tidak berdaya. Setelah mempelajari rahasianya, Keng Han bahkan dapat menggunakan sinkangnya untuk menolak totokan-totokan itu, sehingga tubuhnya kini menjadi kebal dari totokan itu seperti dari totokan lain.

   Pada suatu hari perjalanan kedua orang ini sudah sampai di daerah Propinsi Secuan sebelah utara, yaitu di Pegunungan Beng-san. Selama berbulan-bulan melakukan perjalanan dengan Keng Han, Bi-kiam Nio-cu nampak semakin akrab. Juga Keng Han merasa betapa gurunya itu ternyata baik sekali kepadanya dan kini tidak lagi membentak atau bersikap keras kepadanya. Bahkan kalau dia berburu binatang dan memasaknya, wanita itu membantu dan bahkan membuatkan masakan-masakan yang lezat untuknya. Maka pemuda ini juga merasa senang sekali dan hubungannya dengan gurunya menjadi semakin akrab. Juga dia sudah mempelajari rahasia ilmu totok gurunya yang aneh sekali itu sehingga kini dia dapat menghindarkan diri dari serangan totokan seperti itu. Ketika mereka sedang menuruni lereng sebuah bukit dari Pegunungan Beng-san, mereka melihat dari jauh seorang wanita berjalan cepat sekali mendaki lereng itu. Mendadak Bi-kiam Nio-cu mendorong punggung Keng Han dan berkata,

   "Engkau jalan duluan, cepat!"

   Keng Han tidak tahu persoalannya akan tetapi dia tidak membantah dan berjalan cepat meninggalkan gurunya. Tak lama kemudian dia berpapasan dengan seorang wanita yang aneh. Wanita itu memakai sehelai saputangan sutera putih menutupi mukanya dari hidung ke bawah. Akan tetapi bagian atas dari muka itu, dari hidung ke atas yang nam"pak saja sudah membuat Keng Han ter"pesona! Hidung mancung lurus, sepasang mata yang bersinar-sinar seperti mata burung Hong dan memiliki sinar lembut, dihiasi sepasang alis mata yang kecil melengkung hitam, anak rambut yang melingkar di dahi dan pelipis, rambut yang hitam panjang dan disanggul dan diberi pita putih, semua itu sudah cukup membuat Keng Han mengakui dalam hati bahwa dia belum pernah melihat yang seindah itu!

   Tubuhnya tertutup pakaian yang serba putih dari sutera halus, dan hanya sepatunya saja yang hitam. Dari muka dan tangan yang nampak dapat diketahui bahwa gadis itu memiliki kulit yang putih mulus kemerahan. Ketika berpapasan, Keng Han memandang dan wanita itu pun mengerling kepadanya. Kerlingan yang hanya sebentar itu tidak akan pernah dilupakan Keng Han selamanya, karena kerlingan itu demikian manisnya. Akan tetapi bukan wataknya untuk menoleh dan memandangi orang secara kurang ajar, maka dia melangkah terus, hanya kini langkahnya lambat sekali karena dia ingin tahu apa yang terjadi kalau wanita itu berpapasan dengan Bi-kiam Nio-cu yang berjalan di bela"kangnya. Apa yang diharapkan Keng Han tercapai. Dia mendengar percakapan mereka.

   "Suci....!"

   "Sumoi....! Engkau dari manakah?"

   "Aku baru pulang mencari rumput merah atas perintah subo. Dan engkau sendiri hendak ke mana, Suci?"

   "Aku, mempunyai urusan di barat. Sampaikan saja hormatku kepada. subo dan setelah selesai urusanku di barat, tentu aku akan pulang."

   "Baiklah, akan tetapi berhati-hatilah, Suci. Aku mendengar di daerah Tibet terjadi pergolakan. Ada bentrokan antara para pendeta Lama."

   "Aku akan berhati-hati, Sumoi."

   Keng Han yang mendengarkan merasa hatinya semakin tertarik. Jelas bahwa yang disebut sumoi oleh gurunya itu adalah nona berpakaian serba putih yang mukanya ditutupi saputangan putih itu.

   Suaranya! Belum pernah dia mendengar ada wanita bersuara semerdu dan selembut itu! Hanya ibunya yang dapat bersuara seperti itu, pikirnya. Jadi nona itu adalah sumoi dari gurunya. Mengapa pakaiannya serba putih dan mengapa pula wajahnya bagian bawah ditutupi sutera putih? Wajah itu pasti cantik jelita luar biasa. Melihat hidung ke atas saja dia sudah dapat membayangkan bahwa wanita itu pasti cantik seperti bidadari! Bulu matanya lentik dan yang takkan pernah dapat dilupakan adalah sinar matanya ketika mengerling kepadanya. Dia belum pernah melihat burung Hong, hanya melihat gambarnya saja. Akan tetapi seperti itulah mata burung Hong. Cemerlang indah penuh pesona dengan sinar yang tajam lembut. Tak lama kemudian subonya sudah menyusulnya. Dia melihat wajah subonya diliputi ketegangan.

   "Subo, mengapa Subo menyuruh saya berjalan lebih dulu? Ada urusan apakah?"

   "Aku baru saja bertemu dengan sumoiku!"

   "Kenapa saya disuruh pergi dulu, tidak diperkenalkan kepadanya? Bukankah ia bibi guruku?"

   "Tidak! Celakalah kalau ia mengetahui bahwa engkau adalah muridku. Kalau subo sampai mengetahuinya, tentu aku disuruh membunuhmu sekarang juga!"

   "Eh, mengapa begitu, Nio-cu?"

   "Murid-murid subo harus bersumpah dulu bahwa selama hidupnya tidak akan mencinta dan dicinta seorang pria. Kalau hal itu terjadi, ia harus membunuh pria yang mencintanya dan dicintanya itu."

   "Ahhh....!"

   Keng Han berseru kaget sekali, bukan hanya kaget mendengar sumpah yang aneh itu, melainkan kaget sekali terutama karena tanpa langsung gurunya itu telah menyatakan cinta kepadanya!

   "Kalau kita jalan bersama dan diketahui sumoi, ia tentu akan bertanya padaku siapa engkau dan apa hubungan di antara kita, dan itu berarti bahaya maut bagiku dan bagimu. Kalau subo mengetahui, bersembunyi di manapun kita akan dapat ditemukan dan dibunuh."

   "Akan tetapi bibi guru tadi, mengapa ia menutupi mukanya dengan saputangan putih?"

   "Itulah usahanya agar tidak dapat nampak wajahnya oleh pria dan agar tidak ada pria yang jatuh cinta kepada"nya. Sudahlah, kita jangan lama-lama di sini. Ini masih merupakan wilayah kekuasaan subo."

   Keduanya melanjutkan perjalanan secepatnya menuju ke barat. Akan tetapi sejak saat itu, bayangan wanita pakaian putih yang tertutup sebelah, bawah mukanya itu seringkali muncul dalam pikiran Keng Han. Dia tidak dapat melupakan kerling itu!

   Berkat kepandaian mereka yang tinggi, Keng Han dan Bi-kiam Nio-cu tiba di wilayah Tibet tanpa ada halangan apa pun. Dalam perjalanan itu, seringkali mereka melihat serombongan kafilah yang juga menuju ke Tibet. Rombongan yang membawa kuda dan onta itu membawa pula pasukan pengawal yang kuat sehingga mengherankan hati Keng Han dan Bi-kiam Nio-cu. Ketika mereka ber"tanya, mereka mendengar keterangan bahwa perjalanan ke barat sekarang tidak aman karena adanya perang saudara antara para pendeta Lama Jubah Kuning yang memberontak terhadap golongan Lama Jubah Merah. Seringkali terjadi pertempuran dan mereka juga mendapat gangguan dari para pendeta Jubah Ku"ning yang tidak segan merampok mereka untuk merampas senjata dan harta benda karena mereka membutuhkan biaya untuk pemberontakan mereka. Mendengar ini, Bi-kiam Nio-cu menerangkan.

   "Lama Jubah Merah adalah para pengikut Dalai Lama. Dan mendengar ceritamu dulu bahwa mendiang gurumu adalah seorang pendeta Lama Jubah Kuning, sangat boleh jadi dia masih sekawan dengan para pemberontak itu. Sekarang tidak aneh kalau sampai gurumu dibunuh oleh Pendeta Lama Jubah Merah."

   "Aku tidak peduli akan perang di antara mereka. Aku hanya ingin bertanya kepada Dalai Lama mengapa dia menyuruh bunuh guruku!"

   Jawab Keng Han bersikeras. Bi-kiam Nio-cu menarik napas panjang.

   "Wah, kita mencari penyakit."

   "Kenapa kita, Subo? Akulah yang akan menemui Dalai Lama."

   "Dan aku akan mengantarmu sampai dapat berjumpa dengan Dalai Lama, bukan? Jadi, kita berdua yang mencari penyakit."

   "Aku tidak takut!"

   "Aku pun tidak takut. Mari kita melanjutkan perjalanan secepatnya."

   Beberapa hari kemudian, pada suatu pagi mereka melihat dua orang pendeta Lama Baju Merah sedang bertanding melawan delapan orang pendeta Lama Jubah Kuning. Melihat pertandingan yang tidak seimbang ini, Keng Han segera mengajak gurunya untuk membantu dua orang Lama Jubah Merah itu.

   "Eh, kenapa membantu mereka? Bu"kankah gurumu juga Lama Jubah Kuning dan mungkin mereka itu teman-teman gurumu?"

   "Subo, aku tidak peduli. Mereka ber"laku curang mengandalkan banyak orang mengeroyok yang sedikit. Pertama, aku selalu menentang yang curang dan kedua, dengan membantu Lama Jubah Merah itu siapa tahu aku lebih mudah bertemu dengan Dalai Lama!"

   "Ah, engkau ternyata cerdik juga. Keng Han. Marilah kita bantu dua orang Lama Jubah Merah itu!"

   Delapan orang pengeroyok itu semua mempergunakan tongkat pendeta yang panjang sedangkan dua Lama Jubah Merah menggunakan senjata kebutan. Melihat gerakan mereka, andaikata mereka itu dua lawan dua saja, tentu Lama Jubah Kuning akan kalah. Akan tetapi menghadapi pengeroyokan delapan orang, dua orang Lama Jubah Merah itu menjadi kewalahan juga dan beberapa kali mereka telah menerima gebukan dan kini hanya main mundur.

   Ketika Keng Han dan Bi-kiam Nio-cu muncul dan membantu mereka, keadaannya menjadi berubah. Biarpun hanya menggunakan kaki tangan saja, namun guru dan murid ini dapat membuat delapan orang pengeroyok itu menjadi kalang kabut. Keng Han merobohkan dua orang dengan tamparan tangannya yang mengandung hawa panas sekali, sedangkan dengan tendangannya, Bi-kiam Nio-cu juga sudah merobohkan dua orang pengeroyok. Melihat datangnya bala bantuan di pihak musuh yang demikian kuat"nya, delapan orang Lama Jubah Kuning itu segera melarikan diri cerai berai. Dua orang Lama Jubah Merah yang sudah kelelahan itu tidak mengejar dan mereka mengangkat tangan memberi hormat kepada Keng Han dan Nio-cu.

   "Ji-wi (Kalian berdua) menjadi bintang penyelamat kami. Kalau tidak ada Ji"wi, tentu kami berdua sudah mati di tangan para pemberontak itu."

   Kata seorang di antara mereka yang bertubuh tinggi kurus.

   "Ah, tidak mengapa, Losuhu."

   Kata Bi-kiam Nio-cu.

   "Sudah menjadi kewajiban kami untuk membantu yang tertindas, apalagi kami sudah mendengar bahwa mereka itu adalah kaum pemberontak. Dan sekarang, kami berbalik mengharapkan bantuan Ji-wi Lo-suhu untuk membantu kami."

   "Tentu saja, kami berdua akan suka sekali membantu Ji-wi, akan tetapi bantuan apakah yang dapat kami berikan untuk Ji-wi, yang lihai?"

   "Kami ingin sekali menghadap dan bertemu dengan Dalai Lama di Lha-sa."

   Dua orang pendeta Lama Jubah Merah itu terkejut bukan main mendengar permintaan ini.

   "Ahhh, Nona dan Sicu, bagaimana mungkin itu dilaksanakan?. Sang Dalai Lama tidak dapat sembarangan saja dikunjungi orang, kecuali kalau ada tujuan yang teramat penting. Bahkan wakil dari Kaisar Ceng sekalipun, kalau menghadap cukup diterima oleh wakil atau pembantu beliau. Kami tidak dapat membantu, harap Nona berdua memaafkan kami."

   Bi-kiam Nio-cu mengerutkan alisnya.

   "Hemmm, begini sajakah watak dua orang pendeta Lama Jubah Merah? Pantas kalau begitu ada yang memberontak. Kami bermaksud baik, akan tetapi kalian menolak mentah-mentah. Kalau kalian haturkan kepada Dalai Lama bahwa yang minta menghadap adalah Bi-kiam Nio-cu, murid Ang Hwa Nio-nio, apakah Dalai Lama berani memandang rendah? Dan kunjungan ini amat penting, untuk membicarakan tentang seorang pendeta Lama Jubah Kuning yang bernama Gosang Lama."

   Kembali dua orang Lama Jubah Merah itu menjadi terkejut. Agaknya nama Bi-kiam Nio-cu terutama nama Ang Hwa Nio-nio sudah mereka kenal dan tentu saja nama Gosang Lama juga amat terkenal, bahkan dialah yang menjadi biang keladi pemberontakan Lama Jubah Ku"ning!

   "Ah, kiranya Nona adalah murid Ang Hwa Nio-nio? Kalau begitu baiklah, mari ikut kami ke Lha-sa, akan kami usahakan untuk dapat diterima oleh Sang Dalai Lama. Akan tetapi kalau gagal harap Ji-wi jangan menyesal dan mempersalahkan kami, karena untuk dapat menghadap dan berwawancara dengan Sang Dalai Lama bukan perkara yang mudah."

   Bukan main girangnya hati Keng Han.

   Untung ada Nio-cu, kalau tidak ada wanita itu, agaknya tidak mungkin kedua orang pendeta Lama itu mau membawa mereka ke Lha-sa. Ibu kota Lha-sa amat besar dan terutama sekali bangunan kuno yang megah di bukit itu nampak amat megah dan hebat. Keng Han yang sejak kecil berada di daerah Khitan yang amat sederhana, kemudian berada di Pulau Es sampai lima tahun lamanya, belum pernah selama hidupnya menyaksikan kemegahan dan keindahan seperti itu. Dia merasa takjub dan merasa dirinya kecil. Apalagi melihat penjagaan di depan tempat ting"gal Dalai Lama. Dia bergidik. Tidak mungkin dia memasuki tempat itu dengan kekerasan. Beratus-ratus pendeta Lama yang nampaknya berkepandaian menjaga di situ, dengan tongkat atau pun kebutan di tangan.

   Untuk dapat memasuki istana Dalai Lama dia harus mengalahkan ratusan orang pendeta Lama! Dua orang pendeta Lama itu menemui pendeta penghubung dan menceritakan betapa mereka berdua nyaris tewas di tangan para Lama Jubah Kuning yang memberontak namun diselamatkan oleh dua orang muda itu. Kemudian mereka minta kepada pendeta penghubung untuk mengajukan permohonan kepada Dalai Lama agar kedua orang itu, seorang di antaranya adalah Bi-kiam Nio-cu murid Ang Hwa Nio-nio, diperkenankan menghadap karena ada urusan penting yang hendak dibicarakan. Keng Han dan Bi"kiam Nio-cu memperkenalkan nama masing-masing kepada para pendeta penghubung. Pendeta-pendeta penghubung lalu melaporkan ke dalam. Tak lama kemudian mereka keluar lagi dan berkata dengan suara lantang dan jelas.

   "Tuan muda Si Keng Han dan Nona Siang Bi Kiok diper"silakan masuk menghadap Yang Mulia Dalai Lama!"

   Mereka diantar atau dikawal oleh dua orang pendeta Lama, dan ketika me"masuki bangunan itu, Keng Han meng"amati semua bagian dalam ruangan-ruangan yang luas dan terukir indah itu dengan penuh kagum sehingga Bi-kiam Nio-cu merasa geli melihat tingkah laku Keng Han seperti seorang dusun memasuki sebuah istana. Akan tetapi yang menyolok sekali, kalau di bagian luar dijaga ketat sekali, di sebelah dalam bahkan sunyi tidak nampak penjaga atau pengawal. Bahkan ketika mereka memasuki ruangan di mana Dalai Lama duduk, di situ tidak nampak penjaga sama sekali, hanya ada dua orang pendeta cilik yang agaknya menjadi pelayan Sang Dalai Lama!

   "Si Keng Han kongcu dan Siang Bi Kiok siocia telah datang menghadap!"

   Pendeta pengantar itu melaporkan. Sang Dalai Lama lalu memberi isyarat agar mereka berdua mundur, bahkan lalu memberi isyarat pula kepada dua orang pendeta cilik untuk mengambilkan minuman. Si Keng Han merasa dirinya kecil ketika berhadapan dengan pendeta yang sederhana itu. Pendeta Lama itu duduk di atas pembaringan yang bentuknya seperti teratai dari perak, dengan jubah kuning kemerahan yang sederhana sekali. Kepalanya gundul kelimis dan sepasang matanya yang penuh wibawa itu memandang dengan sinar lembut, mulutnya tersenyum ramah. Bersama Bi-kiam Nio"cu, Keng Han lalu memberi hormat, mengangkat kedua tangan depan dada dan membungkuk.

   "Kongcu dan Siocia silakan duduk!"

   Kata Dalai Lama dengan ramah. Kemudian dua orang pendeta cilik itu menyuguhkan secangkir air teh harum. Setelah menyuguhkan air teh, mereka pun mengundurkan diri sehingga yang berada di ruangan itu tinggal mereka berdua bersama Sang Dalai Lama. Kalau dia hendak membalaskan kematian gurunya, alangkah mudahnya dan ini merupakan kesempatan yang baik. Akan tetapi dia teringat akan ucapan Kwi Hong dan juga Bi-kiam Nio"cu bahwa Dalai Lama adalah seorang pendeta yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali. Apalagi di luar. Andaikata dia mampu membunuh Dalai Lama, dia pun tidak akan dapat meloloskan diri dari tempat yang terjaga oleh ratusan orang pendeta Lama itu.

   "Terima kasih, Lo-suhu."

   Kata Bi-kiam Nio-cu dan Keng Han juga mencontoh wanita itu mengucapkan terima kasih, kemudian mereka duduk berhadapan dengan pendeta itu. Wibawa yang amat kuat menyinar dari pendeta itu, pandang matanya yang lembut, mulutnya yang penuh senyum, kesabaran yang terbayang di seluruh wajahnya, semuanya itu membuat Keng Han merasa semakin tidak enak hatinya. Dia seolah merasa berdosa mendendam kepada seorang pendeta se"perti ini.

   "Nah, orang-orang muda yang baik, ceritakan apa maksud kalian menemui pinceng (saya),"

   Kata Dalai Lama dengan suara ramah.

   "Saya hanya mengantar sobat ini menghadap, Lo-suhu. Saya sendiri tidak mempunyai urusan apa pun."

   Jawab Nio-cu yang agaknya juga merasa tidak enak berhadapan dengan pendeta itu. Dalai Lama memandang kepada Keng Han sejenak, lalu bertanya,

   "Orang muda, keperluan apakah yang membawamu da"tang ke tempat ini dan bertemu dengan pinceng? Katakanlah sejujurnya, pinceng siap mendengarkan."

   Keng Han menelan ludah sendiri sebelum menjawab dan suaranya terdengar agak gemetar,

   "Losuhu, saya datang, ini untuk menghadap Losuhu dan bertanya mengapa Losuhu mengutus tiga orang pendeta Lama Jubah Merah untuk membunuh suhuku?"

   "Omitohud....! Siapakah suhumu itu, Kongcu?"

   "Suhu bernama Gosang Lama, seorang pendeta Lama Jubah Kuning. Suhu hidup tenteram di daerah utara, kenapa suhu dicari dan kemudian dibunuh dengan kejamnya? Saya menuntut keadilan, Lo"Suhu."

   "Omitohud....! Gosang Lama itu suhumu? Ahhh, engkau tentu tidak tahu siapa Gosang Lama yang kau angkat menjadi guru itu, Kongcu. Dia tidak dibunuh, melainkan menerima hukuman dari semua kejahatannya."

   "Dihukum? Jahat? Akan tetapi suhu tidak melakukan sesuatu yang jahat!"

   "Mungkin tidak selama menjadi gurumu. Akan tetapi sebelum itu, apakah engkau tahu apa saja yang telah dilakukan Gosang Lama?"

   Keng Han menggeleng kepalanya dan tidak dapat menjawab.

   "Orang muda, berhati-hatilah dengan akal pikiran dan hatimu sendiri, terutama sekali waspadalah terhadap perasaan dendam. Dendam itu merupakan racun yang akan meracuni dan merusak hati sendiri, menimbulkan perbuatan yang kejam dan tanpa perhitungan lagi. Dendam bagaikan api yang membakar hati dan mendatangkan kebencian yang mendalam. Akan tetapi ketahuilah, segala sesuatu yang telah terjadi itu ada kaitannya dengan karma, ada kaitannya de"ngan perbuatannya sendiri. Perbuatannya sendiri itulah yang akan menimbulkan akibat yang menimpa diri sendiri. Engkau mendendam karena kematian gurumu, akan tetapi tidak tahu mengapa gurumu dihukum mati. Kalau engkau menuruti nafsu dendam itu, bukankah berarti engkau bertindak semau sendiri tanpa pertimbangan lagi? Dan mungkin karena dendam itu engkau melakukan pembunuhan-pembunuhan kepada orang-orang yang tidak bersalah. Jangan mencari sebab dan kesalahan keluar, orang muda, melainkan carilah di dalam diri sendiri, karena sebab dan kesalahan itu berada di dalam dirinya sendiri."

   Keng Han tertegun. Dia merasa betapa tepat dan besarnya ucapan itu. Dia mendendam atas kematian gurunya. Akan tetapi dia tidak tahu mengapa gurunya dibunuh. Bagaimana kalau gurunya yang bersalah? Bukankah berarti dia membela orang yang bersalah?

   "Losuhu, mohon Losuhu ceritakan apa saja yang telah diperbuat oleh suhu Gosang Lama sehingga dia dihukum mati."

   "Gosang Lama telah melakukan pelanggaran-pelanggaran di waktu mudanya. Dia melakukan perbuatan yang keji, merampas dan memperkosa wanita, merampok harta milik, penduduk, bahkan dia mengobarkan pemberontakan di kalangan para pendeta Lama Jubah Kuning. Dosanya besar sekali dan karena dia membahayakan kehidupan semua orang, maka majelis lalu menjatuhkan hukuman mati kepadanya. Dia melarikan diri dan menjadi buronan sampai akhirnya petugas"petugas menemukan dia dan melaksanakan hukuman mati itu. Nah, apakah engkau masih hendak membela kematian seorang yang telah melakukan demikian banyak dosa orang muda yang baik?"

   Keng Han tertegun dan tidak mampu menjawab, akan tetapi kemudian dia mengeraskan hatinya dan menjawab,

   "Lo"suhu, bagaimanapun juga suhu Gosang Lama tidak melakukan pembunuhan...."

   

Kisah Si Bangau Putih Eps 24 Si Tangan Sakti Eps 16 Si Bangau Merah Eps 22

Cari Blog Ini