Ceritasilat Novel Online

Kisah Si Bangau Putih 3


Kisah Si Bangau Putih Karya Kho Ping Hoo Bagian 3



Membayangkan bahwa mereka akan menemukan pusaka-pusaka berharga, terutama kitab-kitab ilmu yang tinggi dari Istana Gurun Pasir, terobatlah rasa kehilangan dan kedukaan mereka atas tewasnya sute mereka dan anak buah mereka. Sin Hong membawa mereka memasuki seluruh kamar yang ada dan tiga orang itu Makin lama makin kecewa karena mereka tidak menemukan sesuatu seperti yang mereka harapkan semula! Yang ada hanyalah perabot-perabot rumah yang walaupun kuno, namun terlalu besar untuk dibawa menyeberangi gurun pasir dan juga tidak berharga. Tidak ada harta benda, tidak ada senjata pusaka kecuali kedua pedang yang dipergunakan Wan Ceng dan Tiong Khi Hwesio tadi, tidak ada sebuah pun kitab pelajaran ilmu silat atau sehelai pun catatan yang penting!

   "Hayo tunjukkan di mana disimpannya pusaka mereka!"

   Berkali-kali Sin-kiam Mo-li membentak dan memperkuat cengkeramannya pada tengkuk Sin Hong. Akan tetapi pemuda itu hanya menggeleng kepalanya.

   "Tidak ada apa-apa di sini kecuali semua ini...."

   "Desss....!"

   Saking marahnya, Sin-kiam Mo-li memukul punggung pemuda itu dan Sin Hong terlempar, jatuh bergulingan dan pingsan!

   "Bunuh saja dia! Mungkin dia sengaja menyembunyikan!"

   Kata Thian Kong Cin-jin sambil menggerakkan tongkatnya. Akan tetapi Thian Kek Seng-jin menahannya.

   "Jangan bunuh lebih baik siksa dia dan paksa dia mengaku!"

   Dengan urutan pada punggungnya, Sin Hong sadar kembali akan tetapi begitu sadar, rambutnya dijambak dan tubuhnya diseret oleh Thian Kek Seng-jin yang bermuka merah menyeramkan dan matanya mencorong seperti mata kucing!

   "Hayo katakan, di mana disimpannya pusaka Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir? Dia dan isterinya adalah orang-orang sakti, tidak mungkin mereka tidak meninggalkan pusaka!"

   "Aku tidak tahu, tidak ada pusaka apa pun di sini,"

   Jawab Sin Hong, tetap tenang dan pasrah.

   "Kubunuh engkau kalau tidak mau memberi tahu di mana pusaka itu!"

   Kata Thian Kek Seng-jin penuh ancaman. Sin Hong menatap muka yang merah dan kurus kering itu tanpa merasa takut, dan dia menggeleng kepala.

   "Aku tidak tahu."

   "Tukkk!"

   Gagang tongkat naga hitam itu menotok lambung dan Sin Hong terkejut lalu meronta-ronta dan menggeliat kesakitan karena yang ditotok adalah jalan darah yang mendatangkan rasa nyeri luar biasa sekali.

   "Hayo katakan, kalau tidak, akan kutambah lagi!"

   Bentak Thian Kek Seng-jin, matanya bersinar-sinar gembira melihat korbannya menggeliat kesakitan. Akan tetapi terjadi keanehan pada tubuh Sin Hong. Seperti juga tadi, ketika berkali-kali mengalami pukulan, rasa nyeri hanya sebentar saja dan ada hawa hangat di dalam tubuhnya yang berkumpul di tempat yang sakit lalu rasa nyeri itu lenyap seketika. Itu adalah hawa sakti di tubuhnya yang bekerja dengan otomatis, berkumpul di bagian tubuh yang rusak karena serangan dari luar dan memulihkannya kembali.

   "Aku tidak tahu,"

   Katanya lagi.

   "Desss!"

   Tongkat itu kembali bergerak dan menyerampang kedua kaki Sin Hong, membuat tubuhnya kembali terpelanting dan bergulingan. Thian Kong Cin-jin menambahinya dengan tendangan sehingga tubuhnya terus menggelinding dan membentur dinding. Dia pun rebah tak bergerak lagi, kembali pingsan!

   "Jangan bunuh dulu!"

   Tiba-tiba Sin-kiam Mo-li berseru melihat betapa dua orang pendeta itu hendak melanjutkan siksaan mereka dan agaknya hendak membunuh pemuda itu karena kecewa.

   "Huh, Mo-li, laki-laki macam ini saja membuatmu tergila-gila? Apanya sih yang menarik? Di setiap dusun engkau akan dapat menemukan pemuda macam ini ratusan orang banyaknya!"

   Kata Thian Kek Seng-jin, pendeta Pek-lian-kauw yang kurus kering dan bermuka merah itu, dengan nada cemburu. Memang pendeta ini pernah diajak tidur bersama oleh Sin-kiam Mo-li, akan tetapi wanita itu tidak suka padanya dan tidak pernah lagi mengulang perbuatannya, padahal kakek ini kagum dan suka sekali kepada Sin-kiam Mo-li. Melihat betapa wanita itu kini melindungi seorang pemuda yang biasa saja, timbul pula rasa cemburu di hatinya!

   "Benar, dia harus dibunuh. Kalau tidak, kelak hanya akan mendatangkan gangguan saja,"

   Kata pula Thian Kong Cin-jin tokoh Pat-kwa-kauw.

   "Hemmm, kalian ini selalu berpikiran kotor dan menuduhku yang tidak-tidak. Pula, andaikata aku memilih dia untuk melayaniku, apa sangkutannya dengan kalian? Dia memang tidak tampan, tidak pandai ilmu silat, akan tetapi ketabahannya membuat aku kagum. Kalian lupa bahwa dia masih dapat kita pergunakan. Ingat saja mayat-mayat yang berserakan di luar itu, apakah kalian akan membiarkan saja mayat sute-sute kalian dan anak buah kalian membusuk di sana? Dia ini dapat kita pergunakan tenaganya untuk menggali lubang dan mengubur mayat-mayat itu."

   "Ah, benar juga!"

   Kata Thian Kek Seng-jin, malu kepada diri sendiri yang tadi hanya mencela karena cemburu.

   "Dan engkau tidak perlu khawatir dia akan mendatangkan gangguan kelak, Thian Kong Cin-jin. Pertama, dia seorang pemuda lemah yang tidak pandai ilmu silat, bahkan kalau dia sekarang mulai belajar sekalipun, sampai kita mati tua dia masih belum apa-apa. Kedua, setelah aku tidak membutuhkannya lagi, dia tentu akan kubunuh."

   Thian Kong Cin-jin mengangguk-angguk. Dia tahu bahwa kalau Sin-kiam Mo-li sudah bosan dengan seorang pemuda, maka pemuda itu akan dibunuhnya dan biasanya, dalam waktu beberapa hari saja Sin-kiam Mo-li sudah akan merasa bosan. Apalagi pemuda ini seorang laki-laki lemah. Mana dia dapat tahan melayani Sin-kiam Mo-li si iblis betina yang haus laki-laki itu?

   "Nah, mulai sekarang, harap kalian jangan pedulikan pemuda ini. Dia punyaku, budakku, jangan diganggu dan akulah yang kelak akan membunuhnya."

   Berkata demikian, Sin-kiam Mo-li menghampiri Sin Hong yang masih pingsan lalu mengurut-urut beberapa bagian tubuhnya sehingga dia sadar kembali. Begitu sadar, Sin Hong bangkit duduk dan sedikit pun dia tidak mengeluh karena memang sama sekali tidak ada yang dirasakan nyeri. Hal ini membuat Sin-kiam Mo-li semakin kagum saja.

   "Engkau tidak menderita sesuatu? Apanya yang nyeri?"

   Sin Hong sendiri merasa heran. Dia telah dihujani pukulan, tendangan dan siksaan, akan tetapi sedikit pun tidak ada bekas-bekasnya lagi.

   "Tidak apa-apa "

   Katanya sambil menggeleng kepala. Bukan main, pikir Sin-kiam Moli, anak ini memiliki daya tahan yang luar biasa hebatnya! Mungkin akan dapat men-datangkan kesenangan besar baginya!

   "Siapa namamu tadi?"

   "Tan Sin Hong."

   Namanya juga sederhana, shenya she Tan dan terdapat banyak sekali orang she Tan, nama keluarganya amat besar.

   "Sin Hong, engkau ini nekat mempertahankan pusaka Istana Gurun Pasir, atau memang benar di sini tidak ada pusaka?"

   Tanyanya dengan ramah dan kini, timbul dari kekagumannya, wajah perpuda itu kelihatan menarik sekali dan menimbulkan gairahnya. Dengan gerakan lembut dan mesra diusapnya darah yang masih nampak di ujung bibir Sin Hong, dengan jari tangannya. Tentu saja hal ini membuat Sin Hong merasa risi bukan main, akan tetapi didiamkannya saja.

   "Aku tidak mempertahankan pusaka apa pun, dan memang setahuku di sini tidak ada apa-apa."

   "Tidak ada kitab-kitab pelajaran ilmu silat?"

   "Aku tidak tahu, yang kutahu hanya bahwa beberapa bulan yang lalu, mereka bertiga telah membakari banyak kitab-kitab...."

   "Keparat jahanam!"

   Seru Thian Kong Cin-jin dengan kecewa sekali.

   "Sayang, sungguh sayang!"

   Teriak pula Thian Kek Seng-jin, amat marah kepada tiga orang tua renta itu yang dianggapnya hanya membuat dia kecele.

   "Kenapa kitab-kitab pusaka dibakar?"

   Tanya Sin-kiam Mo-li kepada pemuda itu, juga merasa amat kecewa. Sin Hong hanya menggeleng kepala,

   "Aku tidak tahu,"

   Dia tidak berbohong karena memang dia tidak tahu mengapa suami isteri tua renta yang menjadi gurunya itu membakari banyak kitab-kitab yang diketahuinya adalah kitab pelajaran silat.

   "Pantas saja kita tidak menemukan apa-apa. Kiranya tua bangka-tua bangka laknat itu telah memusnahkan pusaka mereka!"

   Kata pula Sin-kiam Mo-li.

   "Sin Hong, hayo engkau membantu kami mengubur mayat-mayat itu!"

   Ia memegang tangan Sin Hong dan ditariknya pemuda itu keluar dari dalam istana kuno yang dianggap menyeramkan dan mengecewakan itu. Sin Hong tidak membantah dan dia mengunakan cangkul yang biasa dipakai bekerja di ladang, lalu mencangkul, membuat lubang-lubang untuk mengubur mayat-mayat itu. Dia diperintah membuat lubang biasa untuk tiga orang, yaitu untuk mayat Sai-cu Sin-touw, Ok Cin Cu, dan Coa Ong Seng-jin, kemudian sebuah lubang besar untuk sebelas orang anak buah mereka yang tewas. Karena dia tidak berani mempergunakan tenaga sin-kang dan hanya menggunakan tenaga biasa, menggunakan sebuah cangkul, maka tentu saja Sin Hong harus bekerja sehari lamanya dan barulah empat belas buah mayat itu selesai dikubur. Kemudian, dia mengangkati tiga buah mayat gurunya ke dalam istana. Melihat ini, Sin-kiam Mo-li membentak.

   "Apa yang akan kau lakukan itu? Biarkan saja mereka membusuk di sini, kita berangkat pergi sekarang juga dan engkau harus ikut dengan kami!"

   "Terserah aku menurut saja, akan tetapi bagaimanapun juga aku harus lebih dulu membakar tiga orang mayat ini, sebelum itu, biar di bunuh sekalipun, aku tidak mau ikut!"

   Diam-diam Sin Hong berjudi dengan nyawanya, akan tetapi hal ini dilakukannya dengan sengaja.

   Dia seorang pemuda yang cerdik sekali dan dia tahu bahwa nyawanya diselamatkan oleh wanita tua cantik ini hanya karena wanita ini tertarik kepadanya oleh keberanian dan kenekatannya! Maka kini untuk memenuhi pesan guru-gurunya, dia pun memperlihatkan sikap nekat dengan harapan agar wanita itu memenuhi permintaannya. Dan perhitungannya yang tidak ngawur ini memang tepat! Kembali Sin-kiam Mo-li memandang tajam penuh kagum. Seorang pemuda biasa, mungkin hanya pemuda petani yang bekerja sebagai tukang kebun dan pelayan di istana kuno ini, namun memiliki keberanian dan nyali yang agaknya hanya patut dimiliki oleh para penghuni istana Gurun Pasir! Juga ia merasa tertarik sekali mendengar bahwa pelayan ini hendak membakar jenazah tiga orang sakti itu. Pantasnya keluarga mereka yang melakukan hal ini, bukan seorang pelayan biasa.

   "Kenapa engkau berkeras hendak membakar mayat mereka?"

   Tanyanya.

   "Karena ketika masih hidup, mereka pernah mengatakan bahwa mereka kalau sudah mati suka dibakar mayat mereka."

   "Akan tetapi untuk membakar mayat mereka, kenapa harus mayat mereka kau usung ke dalam istana?"

   Tanya Thian Kong Cinjin yang juga merasa tertarik.

   "Karena aku ingin membakar mereka di dalam istana agar istana itu pun ikut terbakar habis."

   Jawaban ini membuat tiga orang itu melongo dan Sin-kiam Mo-li mengerutkan alisnya. Celaka, jangan-jangan pemuda yang dikaguminya ini miring otaknya!
(Lanjut ke Jilid 03)

   Kisah Si Bangau Putih (Seri ke 14 - Serial Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 03
"Kenapa hendak dibakar istana ini?"

   Tanyanya, memandang tajam. Akan tetapi wajah pemuda itu biasa saja.

   "Mereka sudah meninggal dunia dan aku akan pergi dari sini. Kalau tidak ada yang tinggal lagi di sini dan tidak ada yang mengurusnya, tempat ini hanya akan menjadi buruk sekali dan akhirnya akan ambruk pula. Maka sebaiknya dibakar saja. Dengan demikian, dapat membuktikan kebenaran pengakuanku bahwa tidak ada pusaka apa pun tersimpan di sini. Bukankah begitu?"

   Ucapan ini cerdik sekali dan tiga orang itu pun mengangguk-angguk.

   "Benar sekali!"

   Kata Thian Kek Seng-jin.

   "Biar dibakarnya habis, biar rata dengan tanah, biar terbasmi lenyap seperti halnya Istana Pulau Es. Ha-ha-ha, dunia kang-ouw akan tahu bahwa Istana Gurun Pasir terbasmi lenyap dari permukaan bumi oleh kita bertiga. Ha-ha-ha!"

   Thian Kong Cinjin juga tertawa,

   Senang bahwa setidaknya mereka dapat melampiaskan kedongkolan hati karena teman-teman banyak yang mati dan mereka tidak menemukan pusaka, dengan cara melihat istana itu terbakar habis. Sementara itu, tanpa mempedulikan apakah tiga orang itu setuju atau tidak, Sin Hong telah mengangkuti mayat ini ke dalam, meletakkan mereka di atas tiga dipan yang dipersiapkannya, kemudian dia pergi ke bagian belakang untuk mengambil beberapa guci minyak. Semua gerakannya ini diperhatikan oleh Sin-kiam Mo-li, sedangkan dua orang pendeta sudah tidak peduli lagi, masih mencoba mencari ke sana sini barangkali menemukan sesuatu yang berharga untuk dibawa pulang sebagai oleh-oleh.

   Biarpun tubuhnya terasa lelah karena mencangkul tiada hentinya sampai sore, namun Sin Hong merasakan lagi keanehan betapa kelelahan itu sebentar saja lenyap dan kesegaran tubuhnya pulih kembali, seperti ketika tadi dia menderita luka-luka. Maka dengan tenang dia menuangkan minyak ke sudut-sudut ruangan istana itu, juga menuangkan minyak kepada dipan-dipan di mana tiga sosok mayat itu rebah. Setelah itu, dia pun menyalakan api dimulai dari serambi depan yang sudah dibasahi pula dengan minyak. Dia menghabiskan semua persediaan minyak di gudang dan sebentar saja api pun berkobar besar sekali, membakar istana itu dan segala isinya. Sin-kiam Mo-li, Thian Kong Cinjin dan Thian Kek Seng-jin berdiri jauh di pekarangan depan memandang ke arah api yang berkobar semakin tinggi,

   Sedangkan Sin Hong berdiri pula di situ seperti patung memandang ke arah api dan diam-diam hatinya menangis. Tak disangkanya bahwa dalam sehari dia kehilangan tiga orang gurunya yang amat dicintanya! Guru-gurunya dibantai orang, dibunuh dan istana diserbu tanpa dia dapat membela sedikit pun. Kalau dia tadi membela dan melawan, dia tahu bahwa akan terjadi bentrokan hebat dalam tubuhnya dan mungkin sekali dia akan tewas. Dia tidak takut menghadapi bahaya kematian itu, akan tetapi dia merasa ngeri untuk melanggar janji dan sumpahnya terhadap tiga orang gurunya. Setelah istana itu terbakar, barulah teringat oleh Sin-kiam Mo-li bahwa mereka sebenarnya masih membutuh-kan istana itu, setidaknya untuk satu malam. Hari telah mulai gelap dan mereka membakar satu-satunya tempat untuk melewatkan malam dengan enak!

   "Wah, celaka! Kita malam ini harus bermalam di mana?"

   Katanya kepada dua orang temannya.

   "Ha-ha-ha, perlu apa bermalam? Kita langsung saja meninggalkan neraka ini!"

   Kata Thian Kong Cinjin.

   "Benar, aku pun merasa tidak suka tinggal lebih lama di tempat ini,"

   Sambung Thian Kek Seng-jin. Kedua orang kakek pendeta sesat ini sebenarnya jerih kalau-kalau pembunuhan atas diri tiga orang tua itu dan pembakaran istana itu akan mendatangkan akibat yang hebat, kalau-kalau kebakaran itu kelihatan orang dan ada kerabat Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir yang datang.

   "Ih, mana mungkin melakukan perjalanan melintas gurun pasir di waktu malam? Sungguh berbahaya sekali. Biarlah malam ini kita bermalam di sini, setidaknya di kebun sana itu banyak terdapat pohon-pohon. Mari kita mencari tempat istirahat di sana,"

   Kata Sin-kiam Mo-li dan dua orang kawannya setuju karena mereka pun mengerti betapa bahayanya melakukan perjalanan melintasi gurun pasir yang luas di waktu malam gelap. Sin-kiam Mo-li menarik tangan Sin Hong diajak ke kebun di mana memang terdapat banyak pohon buah-buahan dan tumbuh-tumbuhan lain yang berguna. Sin-kiam Mo-li memilih tempat di bawah sebatang pohon besar, dan ia pun tidak lagi mempedulikan dua orang temannya yang meng-ambil tempat istirahat di bawah sebatang pohon lain lagi. Rumput-rumput hijau menjadi hamparan tikar hijau yang lembut dan lunak. Sin-kiam Mo-li memandang Sin Hong yang masih berdiri menghadap ke arah istana yang masih terbakar itu.

   "Sin Hong, kumpulkan kayu bakar dan daun kering. Nanti kita membuat api unggun di sini."

   Sin Hong tidak menjawab akan tetapi juga tidak membantah, lalu mengumpulkan kayu bakar. Dia tahu bahwa akan percuma saja kalau dia melarikan diri sekarang, karena ketika melirik, wanita itu mengikuti setiap gerakannya dengan pandang mata, juga dua orang pendeta di sana itu memandang kepadanya. Setelah bahan api unggun terkumpul, dia pun berdiri lagi termenung memandang ke arah istana yang terbakar, diam-diam mengharapkan agar tiga jenazah gurunya itu akan terbakar sempurna sehingga semuanya akan menjadi abu.

   Dia tidak merasa menyesal bahwa guru-gurunya telah meninggal dunia. Semua orang akhirnya akan mati juga dan kematian tiga orang gurunya adalah kematian orang-orang yang gagah perkasa? Pernah dia mendengar mereka bertiga itu berbincang-bincang tentang kematian dan ketiganya mempunyai harapan agar dapat mati sebagai pendekar! Dan ternyata harapan mereka itu terpenuhi! Mereka mati dengan gagah perkasa, dikeroyok belasan orang tokoh sesat yang lihai, dan sebelum mati mereka berhasil menewaskan empat belas orang lawan! Tak perlu disesalkan kematian mereka. Yang penting sekarang harus mencari jalan untuk melarikan diri karena selama dia belum dapat meloloskan diri dari pengawasan tiga orang ini, nyawanya tetap saja terancam maut yang mengerikan.

   "Sin Hong, kenapa engkau melamun? Apakah engkau menyesal akan kematian tiga orang tua bangka itu?"

   Tiba-tiba Sin-kiam Mo-li bertanya. Sin Hong menggeleng kepala dan menjawab lirih namun suaranya tegas,

   "Tidak!"

   Sin-kiam Mo-li duduk di atas rumput hijau. Ia telah menurunkan tiga batang pedang itu dari pinggangnya. Pedangnya sendiri, Ban-tok-kiam dan Cui-beng-kiam dan menaruhnya di atas rumput tak jauh dari jangkauannya. Ia melonggarkan ikat pinggangnya, bahkan melepas sepatunya untuk mengusir kelelahan akibat perkelahian mati-matian tadi.

   "Sin Hong, engkau duduklah di sini,"

   Katanya sambil memandang penuh gairah kepada pemuda itu. Sin Hong duduk dengan mengangkat kedua lututnya dan itu tanpa menoleh. Sin-kiam Mo-li memandang kagum sekali. Pemuda ini tidak pandai ilmu silat, akan tetapi agaknya memiliki tubuh yang amat kuat daya tahannya. Pemuda itu tadi telah ditamparnya, ditendang dan dipukul oleh dua orang pendeta itu,

   Dan biarpun pukulan-pukulan itu dilakukan tanpa pengerahan sin-kang tetap saja sudah tentu akan membuat pemuda itu menderita nyeri. Dan semua itu masih ditambah lagi dengan ancaman-ancaman yang menakutkan, dan hebatnya lagi dia harus mencangkul dan mengubur jenazah empat belas orang tadi. Mencangkul sehari penuh. Dan kini pemuda itu kelihatannya sama sekali tidak kelelahan! Sin Hong sedang melamun, mencari akal bagaimana akan dapat meloloskan diri dari tiga orang ini tanpa menggunakan kekerasan, ketika tiba-tiba ada sebuah tangan yang kecil dengan jari-jari mungil menyentuh pundaknya dan rambutnya, membelai dan mengusap rambutnya. Ketika dia menoleh, hidupnya mencium keharuman pupur dan minyak, dan ternyata wajah wanita cantik kejam seperti iblis itu telah berada dekat sekali dengan mukanya.

   Sin-kiam Mo-li telah duduk dekat sekali dengannya dan kini merangkul lehernya. Sin Hong adalah seorang pemuda yang sudah dewasa, sudah dua puluh satu tahun usianya. Walaupun selama hidupnya dia belum pernah berhubungan dengan wanita, bahkan bergaul dekat pun belum pernah, namun tentu saja dia mengerti apa maksud wanita ini mendekatinya dan bersikap demikian mesra. Seketika wajahnya menjadi merah dan jantungnya berdegup kencang penuh ketegangan. Dia melihat betapa dua orang kakek iblis itu duduk tak jauh dari situ, dapat dengan mudah melihat apa yang dilakukan wanita ini, akan tetapi agaknya wanita ini tidak merasa sungkan atau malu lagi. Dia merasa ngeri. Manusia-manusia macam apakah yang telah menawannya ini?

   "Sin Hong, berapakah usiamu sekarang?"

   Sin-kiam Mo-li berbisik dekat telinga pemuda itu, bahkan bibir itu lalu mengecup leher di bawah telinga. Meremang bulu tengkuk Sin Hong ketika merasa betapa bibir basah yang mengeluarkan napas panas itu menyentuh lehernya. Akan tetapi dia menguatkan perasaannya dan menjawab dengan sikap dan suara biasa saja.

   "Dua puluh satu tahun."

   "Aih, kalau begitu engkau sudah dewasa, bukan anak-anak lagi. Sin Hong, pernahkah engkau mempunyai seorang pacar?"

   Kini kedua tangan wanita itu tanpa malu-malu membelai dan jari-jari tangan itu merayap-rayap ke seluruh bagian tubuh Sin Hong. Pemuda ini merasa ngeri bukan main ngeri dan jijik. Belaian-belaian itu lebih menyiksa baginya daripada tamparan dan tendangan tadi, dan ingin sekali dia menyerang wanita iblis yang tidak tahu malu ini. Akan tetapi, janjinya terhadap tiga orang gurunya merupakan belenggu yang amat kuat dan dia pun mengerahkan kekuatan batinnya.

   "Belum pernah."

   Jawabnya pula, sikapnya acuh saja sehingga wanita itu menjadi semakin bergairah. Seorang pemuda yang sudah berusia dua puluh satu, sudah dewasa dan sedang segar-segarnya, belum pernah berdekatan dengan wanita, seorang perjaka tulen!

   "Bagus sekali!"

   Sin-kiam Mo-li berseru girang.

   "Kalau begitu malam ini akan kujadikan seorang laki-laki sejati yang lengkap. Engkau layani aku dan senangkan hatiku, dan aku mungkin akan menyelamatkanmu, bahkan akan mengambilmu sebagai murid dan kekasih. Hemmm, engkau mau, bukan?"

   Sin-kiam Mo-li merangkul dan kini bagaikan seorang kelaparan melahap sepotong roti, wanita itu menghujankan ciuman pada muka Sin Hong di pipinya, bibirnya, matanya, hidungnya sampai pemuda itu gelagapan dan seluruh tubuhnya menggigil saking ngerinya! Sin Hong merasa seperti dijilati seekor harimau yang hendak mengganyangnya. Melihat betapa pemuda itu diam saja, tidak menanggapi tidak membalas ciumannya, akan tetapi juga tidak melawan, makin berkobar nafsu berahi dalam diri Sin-kiam Mo-li.

   Dirangkulnya Sin Hong dan ditariknya pemuda itu rebah di atas rumput yang lunak, jari-jari tangannya mulai membuka kancing dan menanggalkan pakaian pemuda ini. Dapat dibayangkan betapa ngeri rasa hati Sin Hong. Dia merasa muak, jijik dan juga ketakutan, dan bagaimanapun juga, dia adalah seorang laki-laki yang normal. Jantungnya berdebar dan api gairah mulai merayap dan hendak membakar dirinya. Namun, karena batinnya memang kosong dan bersih daripada bayangan nafsu, maka nafsu yang muncul karena keadaan badan yang sehat itu pun tidak membuatnya mabuk. Bahkan kini ada hawa hangat yang aneh, yang memang berkumpul di dalam pusarnya, mengalir ke seluruh tubuhnya dan hawa yang hangat ini membuyarkan gairah yang mulai timbul. Dia pun mendiamkan saja segala yang diperbuat oleh Sin-kiam Moli atas dirinya.

   "Sin Hong, layanilah aku, senangkan hatiku. Sin Hong, ohhhhh !"

   Wanita itu merayu, merintih, mengajak dan melakukan segala usaha untuk membangkitkan gairah Sin Hong. Namun sia-sia belaka. Pemuda itu tetap biasa saja, sedikit pun tidak dilanda nafsu berahi. Biarpun wanita tak bermalu itu mengeluarkan semua kepandaiannya dalam merayu pria, biarpun kedua tangan bahkan seluruh tubuhnya sibuk untuk merangsang, tetap saja Sin Hong tenang dan tidak terpengaruh. Diam-diam dia merasa bersyukur sekali karena hawa yang hangat itu melindunginya.

   "Keparat!"

   Tiba-tiba Sin-kiam Mo-li mengeluarkan makian ketika mendapat kenyataan betapa sikap Sin Hong biasa saja, sedikit pun tidak tersentuh gairah.

   "Apakah engkau tidak mau melayaniku? Apakah engkau malu-malu karena engkau masih perjaka?"

   Saking mendongkolnya karena nafsu berahi sudah sampai ke ubun-ubunnya akan tetapi pemuda itu sedikit pun belum tersentuh, Sin-kiam Mo-li tanpa malu-malu lagi marah-marah di depan dua orang kakek yang menjadi rekannya.

   "Ha-ha-ha, Mo-li, dia seperti mayat saja? Ha-ha-ha, mungkin dia yang tolol ataukah engkau yang sudah terlalu tua!"

   Kata Thian Kong Cinjin. Kakek ini biasanya pendiam, halus dan berwibawa, akan tetapi sekali ini dia mendongkol melihat sikap rekannya itu. Mereka benar berhasil membasmi Istana Gurun Pasir,

   Akan tetapi juga kehilangan banyak anak, buah dan sutenya, Ok Cin Cu, juga tewas, dan wanita iblis itu hanya bersenang-senang saja melampiaskan nafsu berahinya, tanpa malu-malu di depannya lagi! Maka, rasa dongkol itu membuat dia kini mampu mentertawakan Sin-kiam Mo-li. Sin-kiam Mo-li memandang ke arah kakek itu dengan mata melotot. Ia marah sekali, akan tetapi ia pun maklum bahwa wakil ketua Pat-kwa-pai itu sama sekali tidak boleh dipandang ringan, dan ia pun tidak ingin mencari keributan. Dengan kasar ia pun mencengkeram tubuh Sin Hong dan dibawanya lari berloncatan ke tempat lain, menjauhi dua orang kakek itu dan bersembunyi di balik semak-semak bunga di kebun itu. Ia tidak peduli mendengar suara ketawa dua orang kakek itu dan melempar tubuh Sin Hong ke atas rumput.

   "Kalau sekarang engkau tetap tidak mau melayaniku, akan kupaksa kau sampai mampus!"

   Kisah Si Bangau Putih Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Desisnya dan kembali ia membelai-belai dan merayu, bahkan kini Sin-kiam Mo-li mengerahkan kekuatan ilmu sihirnya untuk menguasai Sin Hong. Di bawah sinar api unggun kecil yang dibuatnya, Sin Hong terbelalak melihat bahwa kini Sin-kiam Mo-li nampak masih muda dan amat cantik! Kembali darah mudanya tersirap dan mulai bangkit kembali gairah nafsu berahi di dalam dirinya secara wajar dan normal. Sin-kiam Mo-li dapat mengetahui hal ini maka girangnya bukan main. Ia menciumi dan mengecupi seluruh tubuh Sin Hong dengan mulutnya, seperti seekor ayam mematuki beras, berusaha sedapat mungkin untuk mengobarkan gairah yang mulai nampak bangkit dalam diri pemuda itu.

   Namun, Sin Hong mengerahkan batinnya, memusatkan perhatiannya kepada bayangan tiga orang gurunya dan sungguh aneh. Hawa di pusarnya menjadi semakin panas dan kini bergerak mengalir keluar, berputaran melindungi seluruh tubuhnya dan perlahan-lahan gairah yang menguasainya tadi menjadi lemah dan semakin padam. Betapapun Sin-kiam Mo-li mengerahkan tenaga ilmu sihirnya, tetap saja kekuatan sihir itu membuyar ketika menguasai Sin Hong. Pemuda ini mengerti bahwa kekuatan yang diterimanya dari tiga orang gurunya itu telah bekerja dan menyelamatkannya dan dia pun merasa girang sekali. Tenaga dari Ilmu Silat Pek-ho Sin-kun telah memperlihatkan kehebatannya, padahal dia belum mengerahkan sin-kang nya, hanya mengerahkan kekuatan batin untuk menolak pengaruh aneh tadi.

   Kini, wajah yang nampak muda dan cantik sekali itu berubah menjadi seperti semula, wajah seorang wanita cantik yang mulai nampak tua. Melihat betapa api gairah yang tadi mulai bernyala di tubuh pemuda itu mendadak menjadi padam kembali, bukan main marahnya Sin-kiam Mo-li. Ia marah dan juga heran, dan merasa terhina! Selama ini, jarang ada pemuda yang ditawannya mampu menolak hasratnya, baik secara suka rela atau pun dipengaruhi sihirnya. Akan tetapi pemuda ini, pemuda lemah yang tidak pandai silat, dapat menghadapi sihirnya dengan terang saja dan sama sekali tidak terpengaruh! Ia sungguh merasa terhina, bukan saja ia merasa ditolak seorang laki-laki, akan tetapi juga sihirnya seperti tidak manjur. Karena kecewa dan marah, sedangkan nafsu berahi telah membakar dirinya dan naik ke ubun-ubunnya, Sin-kiam Mo-li menjadi seperti gila.

   Ia mulai menampari Sin Hong, mencakar, menggigit, di samping terus merayu sampai akhirnya tubuh Sin Hong penuh dengan luka cakaran dan tamparan, dan akhirnya pemuda ini tidak kuat lagi dan roboh pingsan di atas rumput! Sedangkan Sin-kiam Mo-li terengah-engah, kelelahan dan ia pun akhirnya tertidur dalam keadaan kehabisan tenaga dan hampir pingsan dibakar nafsu yang dikobarkannya sendiri. Ketika Sin Hong siuman, malam sudah larut, antara tengah malam dan fajar. Dia merasa betapa hawa dingin menyusup ke dalam tulang-tulangnya melalui kulit tubuhnya yang tak tertutup pakaian, juga ada rasa perih karena luka-lukanya. Ketika membuka mata dan melihat bahwa dia rebah terlentang di atas rumput, dan tak jauh dari situ rebah pula tubuh Sin-kiam Mo-li yang mendengkur lirih,

   Tahulah dia bahwa wanita itu telah tidur nyenyak karena kelelahan. Inilah kesempatan baik baginya, pikir Sin Hong. Dua orang kakek itu pun tidak nampak, agaknya tidur di bagian lain dari kebun itu dan malam itu cukup gelap, tidak ada bintang nampak di langit yang tertutup awan hitam. Dengan hati-hati sekali Sin Hong mengambil pakaiannya yang tadi direnggut lepas semua dari tubuhnya oleh Sin-kiam Mo-li, dan melihat dua batang pedang yang berada di dekat Sin-kiam Mo-li, ingin dia mengambilnya. Akan tetapi, seperti orang yang selalu siap siaga, lengan kanan Sin-kiam Mo-li berada di atas pedang itu sehingga Sin Hong tidak berani melanjut-kan niatnya. Apalagi, dia tidak membutuhkan pedang. Tiga orang gurunya telah menggemblengnya sedemikian rupa sehingga dia tidak membutuhkan senjata pelindung diri lagi.

   Pula, dari para gurunya dia mendengar berhwa pedang Ban-tok-kiam dan pedang Cui-beng-kiam merupakan dua batang pedang yang amat jahat, mengandung racun yang amat ampuh dan telah minum darah dan mencabut nyawa entah berapa ribu orang! Dia tidak ingin memiliki dua batang pedang itu dan kalau tadi timbul niatnya mengambil, hanya karena dia teringat bahwa Ban-tok-kiam milik subonya (ibu gurunya) sedangkan Cui-beng-kiam milik Tiong Khi Hwesio, seorang di antara dua gurunya yang laki-laki. Tanpa mengenakan pakaiannya lebih dahulu, hanya membawanya saja, Sin Hong lalu meninggalkan Sin-kiam Mo-li dan keluar dari kebun itu. Dia tahu bahwa dia harus dapat cepat pergi karena kalau sampai diketahui tiga orang iblis itu, tanpa dia dapat mempergunakan ilmu berlari cepat, kalau hanya berlari biasa saja, tentu akan segera dapat disusul, apalagi melalui daerah gurun pasir yang kering,

   Tanpa adanya hutan atau bahkan tumbuh-tumbuhan untuk menyembunyikan diri. Akan tetapi, dia mengenal benar daerah di sekitar gurun pasir itu dan dia tahu di mana letaknya bukit terdekat, bukit yang penuh hutan, yaitu di sebelah barat, dari situ tidak nampak karena tertutup oleh bukit-bukit gurun pasir. Orang lain yang tidak mengenal daerah itu dengan baik, seperti tiga orang jahat itu, sudah mengambil jalan ke selatan, jalan yang paling aman karena jalan ke selatan itu menuju ke daerah tanah keras. Padahal, menuju ke bukit di barat itu lebih dekat dibandingkan jarak menuju ke selatan. Perhitungan Sin Hong ternyata tepat. Ketika Sin-kiam Mo-li terbangun dan tidak melihat pemuda itu, tentu saja ia marah sekali. Kemarahannya semakin memuncak ketika dua orang tosu itu mentertawakannya, dan ia pun mengajak mereka untuk melakukan pengejaran.

   "Akan kusiksa dia, kurobek kulitnya dan kucabut jantungnya!"

   Wanita iblis itu mengancam dengan muka merah sekali.

   Pemuda itu tidak saja telah menolak untuk melayaninya, bahkan ilmu sihirnya pun tidak mempan dan kini tahu-tahu telah melarikan diri. Dan seperti diperhitungkan oleh Sin Hong, tiga orang lihai itu melakukan pengejaran secepatnya menuju ke selatan. Tentu saja mereka tidak berhasil menyusul Sin Hong yang telah tiba di bukit sebelah barat dengan aman. Dia memasuki hutan yang memenuhi bukit itu, hutan lebat yang jarang didatangi manusia karena selain hutan ini amat liar, juga letaknya begitu jauh dari kota dan dusun. Ketika Sin Hong berkeliaran di dalam hutan yang memenuhi seluruh perbukitan di daerah itu, dia melihat banyak binatang hutan dan pohon-pohon yang menghasilkan buah-buahan maka dia pun mengambil keputusan untuk bersembunyi terus di dalam tempat ini sampai pertapaannya selama setahun itu lewat. Di tempat ini, dia tidak akan mengalami gangguan manusia dan dia dapat melaksanakan tapanya dengan aman.

   Dia pun memilih sebuah gua untuk dijadikan tempat tinggal, dan beberapa bulan kemudian, dalam perantauannya menjelajahi perbukitan itu, dia hanya menemukan beberapa orang pertapa saja tinggal di tempat-tempat tersembunyi. Ada yang tinggal di dalam gua, ada yang membuat pondok sederhana. Mereka adalah orang-orang yang mengasingkan diri, menjauhkan diri dari kehidupan masyarakat ramai. Ada yang bertapa untuk melarikan diri dan pertapaan itu hanya merupakan suatu pelarian dari keadaan hidup yang serba tidak menyenangkan, ada pula yang bertapa dengan pamrih memperoleh sesuatu dari hasil pertapaannya, yang pada hakekatnya juga merupakan pelarian dari suatu keadaan yang tidak disukainya untuk mendapatkan suatu keadaan yang diharapkan dan dibayangkan akan mendatangkan kesenangan bagi dirinya.

   Sin Hong tinggal dengan aman didalam gua yang terpencil untuk menyelamatkan dirinya. Sungguh berat Ilmu Pek-ho Sin-kun yang diterimanya dari tiga orang gurunya itu, karena selama setahun, dia sama sekali tidak boleh mengerahkan sin-kang dan karena itu tentu saja dia terancam bahaya. Untung baginya bahwa ketika dia menjadi tawanan Sin-kiam Mo-li, dia berhasil meloloskan diri. Kalau tidak, dia tentu akan menjadi korban kekejaman tiga orang iblis itu. Keadaannya serba salah. Melawan, terpaksa dia mengerahkan sin-kang dan dia akan tewas pula, seperti yang dipesankan oleh tiga orang gurunya. Tidak melawan, akhirnya dia akan mereka bunuh! Demikianlah, selama setahun Sin Hong bersembunyi di dalam hutan itu, dan memenuhi pesan tiga orang gurunya,

   Setiap hari dia bersamadhi, melatih diri untuk menguasai hawa sakti yang bergelora di dalam tubuhnya sampai akhirnya dia berhasil menguasai dan mengendalikan hawa sakti itu, dapat memper-gunakan sesuai dengan kehendaknya, bahkan kemudian ketika dia berlatih Silat Pek-ho Sin-kun setiap gerakannya dapat mengatur tenaga sakti sesuai dengan takarannya. Kini, bahaya dari hawa sakti itu bagi dirinya sendiri lenyap dan dia pun kini menjadi seorang yang amat lihai. Pada hari terakhir dia berada di dalam hutan itu, dia berlatih Silat Pek-ho Sin-kun dan kalau saja tiga orang gurunya dapat menyaksikan-nya, tentu mereka akan merasa bangga bukan main. Pemuda itu bersilat dengan tangan kosong, gerakannya nampak perlahan saja, namun pohon-pohon di sekelilingnya seperti dilanda angin taufan, dan di lain saat,

   Gerakan-gerakannya sama sekali tidak menggerakkan daun-daun pohon, namun ketika jari tangannya yang terbuka menyentuh batang pohon, batang pohon itu seperti dibabat dengan pedang tajam dan tumbang! Sin Hong sendiri terkejut melihat hasil ini, juga girang namun berjanji pada diri sendiri untuk berhati-hati mempergunakan Pek-ho Sin-kun karena ternyata merupakan gabungan ilmu-ilmu yang amat ampuh dan akibatnya dapat mengerikan bagi lawannya. Akhirnya dia meninggalkan perbukitan itu dengan pakaian compang-camping karena selama setahun dia tidak dapat berganti pakaian kecuali kadang-kadang kalau pakaiannya dicuci, dia mengenakan cawat dari kulit batang pohon. Biarpun pakaiannya compang-camping, namun Sin Hong nampak gagah. Rambutnya yang hitam panjang itu dikuncir tebal dan dikalungkan di lehernya.

   Bajunya sudah penuh tambalan dan terbuka di bagian dada atas, memperlihatkan dadanya yang bidang dan kulit dadanya yang kemerahan karena ditimpa sinar matahari yang terik. Wajah pemuda berusia dua puluh dua tahun ini tidak tampan akan tetapi juga tidak buruk, namun sinar matanya lembut dan mulutnya selalu tersenyum ramah dan dua hal inilah yang mendatangkan daya tarik dan kesejukan pada wajahnya. Bentuk tubuhnya sedang saja, namun di balik kulit itu terdapat kekuatan dahsyat yang tidak kelihatan, namun yang membuat tubuhnya kokoh seperti batu karang. Dengan mempergunakan ilmunya berlari cepat, pemuda ini melakukan perjalanan ke selatan, melewati gurun pasir. Gurun itu sepi sekali dan ini menguntungkan Sin Hong yang dapat melakukan perjalanan secepatnya.

   Kalau di situ lalu lintasnya ramai, tentu keadaannya akan menarik perhatian orang, bukan saja pakaiannya yang compang-camping seperti jembel, akan tetapi juga larinya yang cepat bagaikan terbang itu. Tujuan perjalanannya sudah jelas. Pertama, dia akan pergi ke Ban-goan, kota kelahirannya untuk menyelidiki tentang kematian ayahnya setelah lebih dulu dia menyelidiki ke Tuo-lun di mana ayahnya tewas dalam sebuah hutan di luar kota Tuo-lun seperti yang didengarnya dari Tiong Thi Hwesio. Kemudian, setelah urusannya selesai, dia akan berkunjung ke kota Pao-teng, mencari suhengnya, yaitu Kao Cin Liong, putera tunggal suami isteri Kab Kok Cu dan Wan Ceng yang menjadi gurunya, untuk mengabarkan tentang tewasnya dua orang tua itu dan terbasminya Istana Gurun Pasir.

   Karena dia mempergunakan ilmu berlari cepat, maka dalam beberapa hari saja dia pun sudah tiba di Tuo-lun. Dia melakukan penyelidikan dan bertanya-tanya kepada para piauwsu yang berada di kota ini. Akan tetapi, semua orang yang ditanya tidak ada yang dapat memberi keterangan lebih jelas daripada apa yang telah didengarnya dari Tiong Khi Hwesio, yaitu bahwa mendiang ayahnya bersama sepuluh orang anak buahnya kedapatan tewas semua di dalam hutan di selatan kota Tuo-lun itu. Dia pun segera mencari hutan itu dan pada suatu pagi, dia menemukan gundukan tanah kuburan yang cukup tinggi di dalam hutan. Sin Hong berdiri di depan tanah kuburan itu dan membaca tulisan yang diukir dengan kasar pada sebuah batu yang besar dan yang ditaruh di depan kuburan. Terbaca nama ayahnya sebagai piauwsu, karena bunyinya hanya

   "Kuburan Tan Piauwsu bersama sepuluh orang temannya". Dia merasa terharu. Tentu gurunya, Tiong Khi Hwesio itu yang telah mengubur ayahnya, dikubur menjadi satu di tempat ini. Dia pun lalu berlutut memberi hormat kepada makam ayahnya. Sin Hong meninggalkan hutan itu dan melanjutkan perjalanan. Dia tidak berhasil mendapatkan keterangan yang berharga di Tuo-lun. Harapannya kini tinggal penyelidikan ke kota kelahirannya di Ban-goan. Dia akan menyelidiki dan mencari Tang-piauwsu yang dulu menjadi wakil dan pembantu utama ayahnya. Mudah-mudahan saja Tang-piauwsu berhasil lolos dari kejaran para perampok berkedok itu, pikirnya,

   Karena kalau Tang-piauwsu juga tewas, sukarlah baginya untuk menyelidiki siapa gerangan para perampok itu dan siapa pula yang membunuh ayah ibunya. Pada suatu hari, tibalah dia di Tembok Besar, tempat penyeberangan dari para pedagang dan pengawal kalau hendak ke luar Tembok Besar. Matahari telah naik tinggi dan Sin Hong berhenti sebentar sambil menghapus keringatnya dengan ujung baju yang sudah compang-camping itu. Keadaan di situ sunyi sekali. Hanya beberapa hari saja dalam sebulan jalan itu ramai dilalui rombongan pedagang. Kini, para pedagang hanya berani melakukan perjalanan membawa barang-barang mereka secara rombongan, dikawal oleh para piauwsu yang kuat karena akhir-akhir ini timbul banyak perampok di daerah perbatasan itu.

   Sin Hong mengamati ke arah selatan dari tempat yang agak tinggi itu sambil mengenang perjalanannya bersama ibunya menyusul ayahnya di Tuo-lun, dikawal oleh Tang-piauwsu. Teringatlah dia akan pendapat nenek Wan Ceng, subonya setelah mendengar akan semua peristiwa yang menimpa dirinya. Nenek yang cerdik itu menyatakan kecurigaannya kepada Tang-piauwsu! Dia tidak begitu ingat lagi bagaimana sikap Tang-piauwsu terhadap keluarganya dan dia pun tidak begitu yakin akan kebenaran persangkaan subonya itu. Akan tetapi, bagaimanapun juga, dia akan menyelidiki dengan cermat dan hati-hati agar jangan sampai menuduh orang yang tidak bersalah. Selagi dia termenung, tiba-tiba dia dikejutkan oleh munculnya belasan orang dari balik tembok dan batu-batu besar.

   Mereka itu adalah orang-orang yang bertampang menyeramkan, dengan sikap kasar dan tangan mereka memegang golok telanjang memandang kepadanya dengan alis berkerut dan penuh ancaman ketika mereka berloncatan menghampirinya. Diam-diam Sin Hong merasa girang. Mereka ini, dilihat sikapnya, tentulah sebangsa perampok dan agaknya dia menemukan jejak pertama untuk bahan penyelidikannya. Maka dia pun menanti dengan tenang dan memperhatikan laki-laki yang berada paling depan. Tentu dia kepalanya, pikirnya. Laki-laki itu berusia kurang lebih empat puluh tahun dan berkumis lebat sekali, sekepal sebelah, dengan jenggot pendek tebal. Tubuhnya tinggi besar seperti raksasa dan mukanya yang sebagian bawah tertutup jenggot dan kumis itu berkulit hitam, matanya melotot lebar dan garang.

   "Keparat!"

   Tiba-tiba kepala perampok itu menyumpah-nyumpah setelah dia berhadapan dengan Sin Hong, matanya yang lebar melotot memandang pemuda itu dari atas ke bawah, melihat pakaiannya yang compang-camping.

   "Kukira belut gemuk yang lunak dagingnya, kiranya hanya seekor cacing!"

   Para anggauta perampok tertawa mendengar makian kepala perampok itu. Mereka tadi melihat munculnya seorang laki-laki dari jauh dan mereka bersembunyi, lalu keluar untuk menyergap calon korban itu. Sudah sebulan mereka tidak memperoleh mangsa dan dalam keadaan haus mereka sudah bergembira melihat munculnya seorang calon mangsa. Siapa kita, orang itu hanyalah seorang jembel muda yang sama sekali tidak dapat diharapkan memiliki sesuatu yang berharga.

   "Ha-ha-ha, cacing juga cacing kurus pula, kulitnya pun tidak ada harganya satu sen!"

   Kata seorang di antara mereka.

   "Toako, kita bunuh dan cincang saja daging dan tulangnya biar menjadi santapan anjing-anjing hutan!"

   Kata seorang perampok lainnya. Dengan sikap buas dan beringas, belasan orang itu sudah maju mengepung Sin Hong dan mereka pun merasa heran mengapa pemuda itu tidak berlutut dan menangis minta ampun. Sebaliknya, pemuda itu malah tersenyum menghadapi kepala perampok itu dan kini Sin Hong berkata lembut,

   "Kalian ini memang seperti anjing-anjing hutan kelaparan, akan tetapi kebetulan sekali kalian datang, karena aku ingin minta keterangan dari kalian. Kuharap kalian suka memberi tahu kepadaku apakah kalian tahu tentang gerombolan perampok yang suka memakai kedok. Nah, katakanlah dan aku yang berterima kasih tidak akan mengganggu kalian selanjutnya!"

   Para perampok itu saling pandang dan ada di antara mereka yang tertawa bergelak, merasa lucu karena sikap pemuda itu seolah-olah mengancam mereka! Akan tetapi kepala perampok itu menjadi marah bukan main. Matanya semakin lebar melotot ketika dia membentak,

   "Cacing tanah busuk! Berani engkau membuka mulut besar? Engkau tidak tahu berhadapan dengan siapa, keparat! Aku adalah Hek-san-coa (Ular Gunung Hitam) dan bersama kawan-kawanku, kami terkenal di seluruh Tembok Besar!"

   Sin Hong tersenyum mengejek.

   "Kebetulan sekali! Engkau adalah ular hitam, dan aku adalah Pek-ho (Bangau Putih) yang kelaparan, boleh si bangau makan si ular untuk membersihkan daerah ini!"

   Tentu saja ucapan pemuda itu mendatangkan kemarahan besar kepada belasan orang itu. Pemuda jembel begini berani menentang mereka, bahkan menghina kepala perampok! Padahal mereka adalah gerombolan yang ditakuti semua orang dan amat terkenal bagi para pedagang dan pengawal yang suka lewat di situ.

   "Toako, biarkan aku menyembelih tikus ini!"

   Bentak mereka yang bertubuh tinggi kurus dengan mata sipit dan muka kuning pucat.

   Tanpa menanti jawaban pemimpinnya, si tinggi kurus ini sudah menggerakkan goloknya, memba-cok ke arah Sin Hong dengan cepat dan kuat sekali, agaknya dia hendak membuktikan ancamannya, sekali tebas menyembelih leher pemuda yang berani menghina mereka itu. Namun, tentu saja serangan ini terlampau lamban dan terlampau lemah bagi seorang pemuda gemblengan seperti Sin Hong, tiada ubahnya permainan kanak-kanak saja. Dia menundukkan kepala, membiarkan golok lewat di atas kepalanya dan begitu dia menggerakkan tangan, jari tangannya sudah menotok ke bawah siku lengan dan begitu golok terlepas, dia sudah menyambar golok itu dia luncurkan ke bawah, akan tetapi sengaja dia balikkan sehingga punggung golok yang tidak tajam menghantam lutut si tinggi kurus.

   "Takkk....! Aduuuhhhhh....!"

   Si tinggi kurus terjungkal dan meloncat lagi, berloncatan dengan kaki kanan, sedangkan kedua tangannya memegang lutut kirinya yang terasa nyeri bukan main.

   Saking nyerinya, dia roboh lagi, memijit-mijit tulang kering di bawah lututnya. Tulang kering dipukul golok, biar hanya punggung golok, akan tetapi besi yang berat itu tentu saja cukup membuat tulang keringnya retak dan nyerinya sampai menusuk ke tulang sumsum! Sin Hong melempar golok itu ke atas tanah sampai ke gagangnya! Terkejutlah semua perampok, terkejut dan marah. Tak mereka sangka bahwa pemuda jembel itu pandai ilmu silat, bahkan sedemikian lihainya sehingga dalam segebrakan saja telah membuat si tinggi kurus itu roboh tak berdaya. Satu gebrakan saja! Hampir mereka tidak percaya dan menganggap bahwa hal itu hanya suatu kebetulan saja. Akan tetapi, kemarahan melihat seorang temannya terluka membuat mereka marah dan ganas seperti ikan-ikan hiu mencium darah.

   "Jembel busuk, mampuslah!"

   Teriak seorang yang gemuk pendek dengan perut gendut dan orang ini yang berdiri di belakang Sin Hong, sudah membacokkan goloknya dari atas ke bawah, mengarah kepala pemuda itu. Kalau terkena sasaran itu tentu kepala itu terbelah dua dan isi kepala akan berhamburan. Namun, tanpa menoleh, hanya dengan mengandalkan pendengarannya yang tajam, Sin Hong miringkan tubuhnya. Golok yang menjadi sinar terang itu menyambar lewat dan tangannya bergerak ketika tubuhnya diputar membalik tanpa mengubah kedudukan kedua kaki dan di lain saat, golok itu sudah pindah tangan karena pemegangnya merasa lengannya tiba-tiba menjadi lumpuh dan sebelum dia tahu apa yang telah terjadi, golok itu, dengan terbalik, menyambar kakinya.

   "Takkk....! Auuuuuwww.... aduhhh.... aduhhhh....!"

   Dan dia pun berjingkrak-jingkrak seperti monyet menari, kaki kanannya diangkat dan kaki kiri berloncatan seperti halnya orang pertama, kemudian dia pun jatuh terjungkal, memijiti lutut kanannya yang terpukul punggung golok. Kini para perampok itu mengeroyok Sin Hong dengan serangan golok mereka! Sin Hong kembali sudah melempar golok rampasannya setelah tadi mengetuk lutut lawan. Golok meluncur dan menancap di batu sampai ke gagangnya, kemudian dengan kedua tangan kosong dia menghadapi pengeroyokan para perampok itu. Hebat sekali sepak terjang Sin Hong. Tubuhnya sudah sedemikian peka sehingga seolah-olah di mana-mana tubuhnya memiliki mata dan mampu mengelakkan setiap serangan.

   Ilmu Silat Pek-ho Sin-kun tidak dipergunakannya karena dia tidak ingin memperlihatkan ilmu itu kalau tidak penting sekali. Akan tetapi ilmu-ilmu silat yang tinggi-tinggi sudah mendarah daging dengan tubuhnya maka setiap kali dia mengelak sambil menyerang, sudah pasti yang menyerangnya berbalik roboh sambil mengaduh-aduh. Ada yang tulang kakinya retak, tulang pundaknya patah, atau lengannya terkilir. Satu demi satu mereka roboh. Tak seorang pun tewas, akan tetapi tidak seorang pun mampu bangkit atau ikut mengeroyok lagi. Sin Hong hanya berdiri di tempat tadi, tidak melangkah jauh, hanya mengubah kedudukan kuda-kuda kaki sesuai dengan serangan lawan. Dia menanti lawan menyerang dan menghadapi serangan sekaligus merobohkannya. Melihat dalam sekejap mata saja lebih dari setengah jumlah orangnya roboh, kepala perampok itu marah bukan main.

   "Bocah setan, akulah lawanmu!"

   Melihat kepala perampok sendiri yang maju, enam orang sisa anak buah perampok yang belum roboh segera mundur, memberi kesempatan kepada pemimpin mereka. Kepala perampok itu memegang sebatang golok yang besar dan tebal, nampak amat berat, tanda bahwa dia memiliki tenaga besar. Dengan mata melotot dia menghadapi Sin Hong. Kini dia tidak memandang rendah setelah melihat betapa pemuda itu dengan mudah mampu merobohkan tujuh orang anak buahnya, dan dia ingin tahu siapa adanya pemuda jembel yang lihai ini karena belum pernah dia mendengar, apalagi melihat, tentang pemuda ini.

   "Bocah setan, siapakah engkau sesungguhnya?"

   Bentaknya. Sin Hong tersenyum. Tidak ada gunanya berkenalan dengan segala macam perampok seperti ini, pikirnya.

   "Engkau Ular Gunung Hitam, dan aku si Bangau Putih. Nah, katakan saja tentang perampok yang berkedok itu, dan aku akan pergi dengan aman.

   "Bangsat sombong! Jangan mengira engkau akan dapat terlepas dari hukuman golok keramatku!"

   Dan kepala perampok itu pun sudah memutar goloknya. Golok yang besar dan berat itu lenyap bentuknya, berubah menjadi gulungan sinar yang berdesing-desing mengerikan. Akan tetapi Sin Hong tetap tenang, hanya menanti kepala perampok itu melakukan serangan. Kepala perampok itu tidak segera menyerang karena sesungguhnya dia pun mulai merasa jerih melihat kelihaian pemuda itu, maka kini dia pun berseru kepada enam orang anak buahnya yang belum roboh.

   "Kepung, keroyok dan kita bunuh dia! Cincang badannya!"

   Melihat betapa kini pemimpin mereka sendiri yang maju, enam orang itu pun berbesar hati dan mereka segera menyerang dari semua jurusan, menghujankan serangan golok mereka ke arah tubuh Sin Hong. Kepala perampok itu pun ikut pula menyerang!

   Kembali Sin Hong dikeroyok, sekali ini lebih hebat daripada yang tadi. Namun, Sin Hong tetap tenang dan bersikap menanti. Setiap kali serangan datang, dia mengelak sambil terus merobohkan penyerangnya, dengan tangan, kaki atau punggung golok. Akibatnya sama saja. Yang terkena tamparan tangannya, tentu akan patah tulang pundak atau tulang iga, yang tertendang patah tulang kaki. Dalam waktu hanya beberapa menit saja, enam orang sisa anak buah itu pun sudah roboh semua. Kepala perampok yang licik itu tadi hanya menyerang dengan hati-hati untuk mengeroyok saja sehingga dia belum sampai dirobohkan. Kini, melihat betapa semua anak buahnya roboh, tanpa banyak cakap lagi dia pun membalikkan tubuh dan hendak melarikan diri! Melihat ini, Sin Hong memungut sebatang golok yang tercecer, kemudian menyambitkan golok itu.

   "Ceppp....!"

   Kepala perampok itu mengeluh dan roboh dengan punggung ditembusi golok. Tidak seperti anak buahnya, dia pun tewas. Sin Hong sengaja membunuhnya, karena dia berpendapat bahwa kalau kepala perampok itu tidak dibunuh, akan percuma saja menasihati anak buahnya untuk bertaubat. Kepala perampok itu tentu akan memaksa anak buahnya untuk merampok lagi dan dengan adanya kepala perampok yang ganas dan jahat, maka anaknya pun akan menjadi lebih berani. Tiga belas anak buah perampok itu masih rebah atau duduk sambil mengaduh-aduh kesakitan, dan wajah mereka semua berubah pucat ketika mereka melihat betapa pemimpin mereka tewas dan kini pemuda yang amat perkasa itu menghampiri mereka.

   "Nah, sekarang kalian katakan padaku, siapa gerombolan perampok berkedok yang pada beberapa tahun yang lalu merajalela di sini, bahkan telah membunuh Tan-piauwsu dari Ban-goan, dan menyerang pula Tang-piauwsu. Hayo ceritakan yang benar, kalau tidak, terpaksa akan kubunuh kalian semua seperti yang kulakukan kepada pemimpinmu ini!"

   Para perampok itu saling pandang dengan bingung dan ketakutan, akan tetapi seorang di antara mereka, yang usianya sudah lima puluh tahun lebih, dan menderita patah tulang pundaknya, segera bangkit dan berkata kepada Sin Hong.

   "Harap Taihiap (Pendekar Besar) sudi memaafkan kami orang-orang kasar yang tidak mengenal orang pandai dan berani kurang ajar. Kiranya di antara kami hanya saya seorang yang tahu akan perampok-perampok berkedok yang delapan tahun yang lalu merampok dan membunuh Tan-piauwsu dari Ban-goan karena pada waktu itu, saya kebetulan melihatnya dari jauh."

   Bukan main girang rasa hati Sin Hong mendengar ini dan dia pun cepat menghampiri orang itu.

   "Bagus sekali! Ceritakan bagaimana terjadinya dan siapa mereka itu, siapa pula pemimpin mereka!"

   Orang itu menarik napas panjang dan menggeleng kepala.

   "Sungguh menyesal sekali saya sendiri tidak mengenal mereka, Taihiap. Saya melihat rombongan Tan piauwsu dihadang dan diserang oleh dua puluh orang lebih orang yang mengenakan kedok, merampas barang yang dikawalnya dan membunuh Tan-piauwsu dan kawan-kawannya. Kemudian mereka melarikan diri menunggang kuda. Hanya ada satu hal penting yang dapat saya ceritakan, yaitu sebelum penghadangan itu terjadi, saya melihat rombongan perampok itu tadinya mengenakan pakaian seperti rombongan piauwsu. Mereka berhenti di dalam hutan, mengganti pakaian dan mengenakan kedok. Maka, saya menduga bahwa gerombolan itu agaknya hanya perampok palsu saja, Taihiap, penyamaran dari rombongan piauwsu."

   Sin Hong mengerutkan alisnya. Agaknya tepat dugaan mendiang subonya, pikirnya. Jangan-jangan Tang-piauwsu yang merencanakan itu, untuk merampas barang pengawalan yang berharga. Akan tetapi mengapa Tang-piauwsu sendiri kemudian dihadang perampok berkedok? Apakah itu juga hanya siasatnya saja, untuk membunuh dia dan ibunya? Benarkah seperti yang diduga oleh subonya yang cerdik itu?

   "Engkau masih ada penjelasan lain lagi?"

   Tanyanya. Perampok itu menggeleng kepalanya. Akan tetapi, keterangan itu cukup penting bagi Sin Hong dan cukup banyak pula. Dia harus menyelidiki ke Ban-goan. Sin Hong teringat bahwa dia tidak mempunyai bekal, juga bahwa pakaiannya haruslah diganti, maka dia lalu berkata kepada mereka.

   "Kalian sudah biasa merampok orang, sekarang aku membutuhkan uang. Berikan uang yang ada pada kalian kepadaku!"

   Perampok yang memberi keterangan tadi lalu berkata,

   "Kami tidak mempunyai banyak uang, Taihiap. Sedikit harta yang kami terima dari ketua kami, biasanya cepat habis untuk foya-foya. Akan tetapi saya yakin pemimpin kami itu mempunyai barang berharga."

   Dia lalu menghampiri mayat kepala perampok, dan tak lama kemudian menghampiri Sin Hong sambil membawa sebuah pundi-pundi kecil terisi uang emas dan perak! Akan tetapi Sin Hong tidak membutuhkan uang sebanyak itu. Sebagian dia bagi-bagikan kepada para anggauta perampok sambil berkata,

   

Kisah Pendekar Pulau Es Eps 29 Suling Naga Eps 21 Suling Naga Eps 43

Cari Blog Ini