Ceritasilat Novel Online

Suling Naga 21


Suling Naga Karya Kho Ping Hoo Bagian 21



"Hemmm, sudah agak patut, akan tetapi rambutmu terlalu bersih, tidak ada kutunya seekorpun. Ini tidak mungkin bukan?"

   Entah kepada siapa dia bicara, kepada diri sendiri atau kepada Suma Lian atau kepada seseorang yang tidak nampak. Kemudian, dengan hati-hati, di dalam cuaca yang masih agak gelap di bawah jembatan itu, dia mulai mencari kutu-kutu dari rambutnya yang putih awut-awutan dan setiap kali mendapatkan seekor, lalu kutu rambut itu dia letakkan ke dalam rambut Suma Lian. Tentu saja anak ini merasa jijik, takut dan ngeri sehingga kalau saja ia mampu mengeluarkan suara, tentu ia akan menjerit-jerit! Diam-diam ia memperhatikan kakek itu dan memandang dengan sepasang mata terbelalak penuh kemarahan dan kebencian. Celaka, pikir Suma Lian.

   Ini namanya dari sumur terjerumus ke dalam lubang! Terlepas dari tangan orang-orang macam Sai-cu Lama, kini terjatuh ke tangan seorang kakek yang selain lebih sadis, lebih jahat, juga masih ditambah kenyataan yang mengerikan, yaitu gila! Sepuluh kali lebih baik menjadi tawanan Sai-cu Lama atau nenek yang bernama Kim Hwa Nio-nio itu dari pada ditawan oleh kakek gila ini. Ia tidak mampu bergerak dan tidak mampu bersuara karena ditotok, juga tidak tahu nasib apa yang akan dihadapinya. Akan tetapi jelas amat mengerikan karena kakek ini memang orang gila. Baru mencium bau pakaian kakek itu dari pakaian yang dipaksakan menutupi tubuhnya saja, ia sudah muak dan hampir muntah. Tiba-tiba terdengar suara panggilan lembut, suara lembut akan tetapi nyaring menusuk telinga, suara Kim Hwa Nio-nio!

   "Anak baik, keluarlah dari tempat sembunyimu! Jangan membikin marahku, nanti kujewer telingamu!"

   Beberapa kali suara itu terdengar dan Suma Lian mengerahkan tenaga untuk membebaskan totokan yang membuat suaranya tak dapat dikeluarkan. Agaknya kakek tadi menotok sembarangan sehingga dengan pengerahan tenaga sin-kangnya, akhirnya ia mampu mengeluarkan suara,

   ".... aku....!"

   Akan tetapi baru mengeluarkan kata itu yang dimaksudkan untuk memberi tahu Kim Hwa Nio-nio bahwa ia berada di bawah jembatan, kakek jembel itu nampak terkejut dan sudah menotoknya lagi!

   "Sialan kau anak gila!"

   Bisik kakek itu. Huh, kakek jembel, engkau yang gila, malah memaki aku gila, balas Suma Lian memaki dalam hatinya.

   "Kalau mereka mendengar dan minta kita keluar, engkau harus keluar dengan kaki terpincang-pincang. Mengerti?"

   Suma Lian nenentang pandang mata kakek itu dengan penuh kemarahan dan sengaja menggeleng kepala tanda bahwa ia tidak mau menurut!

   "Kau harus terpincang-pincang!"

   Kakek itu berbisik lagi, nada suaranya memaksa. Akan tetapi tetap saja Suma Lian menggeleng kepala dan tersenyum mengejek. Ada rasa girang di hatinya bahwa ia mampu melawan dan membuat kakek itu kecewa, walaupun hanya dengan tidak mentaati perintah gila dan aneh itu! Pada saat itu, terdengar derap kaki banyak orang di atas jembatan! Lalu terdengar bentakan suara Kim Hwa Nio-nio dengan nyaring,

   "Siapa berada di bawah jembatan? Hayo keluar!"

   Kakek itu tidak menjawab. Tiba-tiba nampak kepala Kim Hwa Nio-nio menjenguk ke bawah jembatan.

   "Heiii, kalian! Hayo keluar, cepat!"

   Bentaknya. Kakek itu kini membebaskan totokan pada kaki tangan Suma Lian, akan tetapi tetap tidak membebaskan totokan yang membuatnya tak mampu bersuara, lalu dia menggerakkan jari telunjuknya mengetuk tulang kering kaki kiri Suma Lian.

   "Tukk....!"

   Bukan main nyeri rasa kaki yang diketuk itu. Suma Lian tentu menjerit kesakitan kalau saja ia tidak tertotok dan ia hanya mampu memegangi dan mengurut-urut kaki itu yang rasanya seperti patah-patah tulang keringnya. Akan tetapi kakek itu menariknya keluar dari jembatan itu. Tanpa diperintah lagi, Suma Lian yang ditarik itu terpicang-pincang. Tangannya tak pernah terlepas dari pegangan si kakek, begitu kerasnya pegangan itu, seolah-olah merupakan ancaman bahwa kalau ia memberi tanda-tanda, tentu tangannya itu akan dicengkeram sampai hancur! Kim Hwa Nio-nio dan lima orang temannya menghampiri kakek jembel itu.

   "Siapa anak ini bentak?"

   Kim Hwa Nio-nio.

   "Heh-heh, anak sialan ini? Ia cucuku, akan tetapi ia timpang dan gagu. Huh, tidak ada harapan untuk menampung hari tuaku. Eh, kalian mau membelinya? Akan kujual murah, asal kalian mempunyai seguci arak saja dan beberapa keping uang untukku, kuberikan anak ini, heh-heh-heh!"

   Bukan main marahnya Suma Lian! Ia dikatakan timpang dan gagu, dan mau dijual, bukan malah hanya ditukar dengan seguci arak!

   Kakek gila ini benar-benar jahat sekali, lebih jahat dari pada Sai-cu Lama! Akan tetapi karena genggaman pada tangannya itu keras sekali dan ia tidak mau tangannya remuk, apa lagi ia tahu bahwa kakek ini amat lihai dan belum tentu kalah oleh Kim Hwa Nio-nio, iapun diam saja hanya menundukkan mukanya. Kim Hwa Nio-nio sudah putus harapan melihat anak perempuan jembel itu. Sama sekali bukan Suma Lian, bumi dan langit jauh bedanya. Anak ini hitam, kotor, berbau, timpang dan gagu lagi. Tiba-tiba ia menggunakan kebutannya untuk menyingkap pakaian yang membungkus tubuh anak itu. Nampak kulit tubuhnya yang kotor kecoklatan, maka ditutupnya lagi dengan menarik kembali kebutannya. Nenek ini memang cerdik. Kalau tadi nampak tubuh itu putih mulus, tentu akan timbul kecurigaannya. Akan tetapi anak perempuan itu memang kotor luar dalam!

   "Maukah kalian beli? Mau? Murah saja...."

   "Huh, mampuslah kau tua bangka pemabuk gila. Mari kita pergi!"

   Kim Hwa Nio-nio. mendengus dan mengajak anak buahnya pergi dari situ. Kakek itu menggerutu panjang pendek.

   "Sialan! Terkutuk! Dijual murahpun tidak laku.... hayaaaa....!"

   Dan diapun menyeret tubuh Suma Lian dan gadis cilik ini terpaksa mengikutinya dengan kaki terpincang-pincang karena rasa nyeri di kakinya belum juga sembuh. Kakek itu terus menyeret tubuh Suma Lian sampai ke pintu gerbang. Pintu gerbang itu sudah dibuka dan orang-orang mulai keluar masuk. Para penjaga pintu gerbang tentu saja tidak mencurigai kakek jembel itu, walaupun pada pagi hari itu terjadi geger dan penjagaan di situ amat ketat dan pengawasan terhadap orang-orang yang keluar masuk lebih teliti. Berita tentang peristiwa pembunuhan yang hebat di rumah pelesir Pintu Merah itu sudah tersiar dan terdengar oleh mereka pula.

   Dikabarkan orang betapa Pangeran Cui Muda telah tewas di tempat itu dan kepalanya hilang entah ke mana. Semua pengawal dan penghuni rumah itupun tewas, dan ada pula sebuah kepala yang dikenal sebagai kepala orang yang bernama Ban Leng, seorang jagoan di kota raja. Tentu saja hal ini mengejutkan dan menggegerkan, karena tak seorangpun dapat menduga siapa pembunuh semua orang itu. Baru setelah tiba di luar kota, jauh dari tembok kota raja, di tempat yang sunyi, kakek tua renta itu mengajak Suma Lian berhenti, lalu sekali saja dia mengurut kaki yang diketuk tadi, rasa nyeripun lenyap. Setelah itu, dia membebaskan totokan yang membuat Suma Lian tadi gagu. Begitu bisa bicara dan dilepaskan pegangan tangannya, Suma Lian memaki-maki.

   "Kau kakek gila, kakek jembel busuk yang bau! Hemm, kalau aku ada kemampuan, tentu akan kubunuh kau! Aku benci padamu! Kau telah menghinaku, menyakiti aku, ahhh.... betapa jahat engkau kakek gila!"

   Kakek itu memandang kepadanya dan tersenyum, agaknya dia senang menyaksikan keberanian anak perempuan itu.

   "Ha-ha-ha, engkau memang pemberani dan tabah, akan tetapi kurang panjang akal. Tidak tahukah bahwa semua yang kulakukan itu hanya sandiwara saja? Kau kuajak bermain untuk menipu nenek galak itu dan ternyata aku berhasil. Ha-ha, nenek galak itu berhasil kutipu. Kita menjadi pemain-pemain sandiwara yang baik sekali."

   "Bohong!"

   Suma Lian berteriak marah, suaranya nyaring dan keras karena sejak tadi ia menahan-
(Lanjut ke Jilid 20)
Suling Naga (Seri ke 13 - Serial Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 20
nahan kemarahannya dan baru sekarang ada kesempatan untuk mengeluarkan semua kemarahan itu.

   "Engkau sengaja menipuku! Engkau jahat, tentu engkau mempunyai niat buruk dan terkutuk! Engkau gila dan jahat, kakek jembel bau busuk! Kau buang pakaianku, kau...."

   "Sssttt apa kau hendak menghancurkan segala keberhasilan kita dengan teriak-teriak begitu dan mengundang datangnya musuh? Aku hanya ingin menyelamatkanmu dari pengejaran mereka tadi. Sekarang engkau telah terbebas, engkau boleh pergi ke mana engkau suka."

   Suma Lian tercengang. Kakek ini tidak berbohong! Dan ia telah memaki-makinya, memaki-maki kakek yang sudah menolongnya bebas dari tangan Sai-cu Lama dan Kim Hwa Nio-nio. Ah, benar, ia yang bodoh. Kalau saja ia tidak penuh kecurigaan tadi, sehingga kakek itu tidak terpaksa mengetuk kakinya sampai terpaksa ia terpincang-pincang tentu ia mengikuti permainan sandiwara itu dan kini dapat tertawa-tawa bersama kakek itu!

   "Hemm, kiranya benar engkau!"

   Tiba-tiba terdengar suara halus dan tahu-tahu Kim Hwa Nio-nio telah muncul di situ!

   "Kau tua bangka telah berhasil menipuku di sana, akan tetapi tetap saja aku dapat menemukanmu dan kau harus menebus dosamu dengan nyawa!"

   Suma Lian merasa menyesal bukan main. Kakek itu menolongnya, malah kini terancam nyawanya karena kesalahannya! Kalau ia tidak marah-marah dan memaki-maki, belum tentu Kim Hwa Nio-nio dapat menemukan mereka! Maka, iapun lalu melangkah maju menghadapi Kim Hwa Nio-nio dan berkata lantang.

   "Nenek, aku Suma Lian tidak mau menimpakan kesalahan kepada orang lain. Bawalah aku kembali akan tetapi jangan ganggu kakek jembel tua itu. Kalau engkau mengganggunya, aku akan mengadu kepada Hou Taijin dan minta agar dia menghukummu. Hayo bawa aku kembali kepada Hou Taijin!"

   Tentu saja Suma Lian tidak tahu betapa ketika ia menyebutkan nama marganya, kakek jembel itu nampak terkejut bukan main. Kakek itu kini malah memegang lengan Suma Lian dan memutar tubuh anak itu menahadapinya sambil bertanya,

   "Anak baik, apakah benar kau she (nama marga) Suma? Hayo katakan, siapa ayahmu?"

   Suma Lian merasa heran, akan tetapi lalu menjawab,

   "Ayahku bernama Suma Ceng Liong. Jangan khawatir, kek. Aku akan menanggung bahwa kau takkan diganggu oleh nenek itu."

   Akan tetapi kakek itu sudah tertawa bergelak,

   "Ha-ha-ha-ha, engkau bernama Suma Lian, puteri dari Suma Ceng Liong? Ha-ha-ha-ha-ha, heiii, Kim Hwa Nio-nio. Berani benar engkau menculik puteri keturunan keluarga para pendekar Pulau Es? Apakah engkau sudah bosan hidup? Hayo, mari kita yang sudah sama tuanya ini mengadu kepandaian, dan jangan ganggu seorang anak kecil!"

   Berkata demikian, kakek jembel itu lalu melangkah lebar menghadapi Kim Hwa Nio-nio dengan sikap memandang rendah sekali. Kim Hwa Nio-nio mengerutkan alisnya, bulu-bulu kebutan di tangannya tergetar. Akan tetapi nenek ini tidak mau ceroboh. Ia tahu bahwa biarpun orang ini nampaknya tua renta dan jembel berbau busuk yang seperti orang gila, namun mungkin saja dia menyembunyikan kesaktian di balik kegilaan dan kemiskinannya itu. Hampir semua tokoh dunia persilatan pernah didengarnya walaupun belum semua dijumpainya, maka ia segera bertanya, suaranya berwibawa,

   "Tua bangka bosan hidup, siapakah namamu?"

   "Ha-ha-ha, namaku? Aku seorang pengemis tua tanpa nama. Hayo majulah, kecuali kalau takut atau kasihan melawan aku, pergilah dan jangan ganggu lagi anak perempuan ini!"

   "Wirrrrr.... singgg....!"

   Kebutan itu menyambar dan demikian kuatnya tenaga yang mendorongnya sehingga tidak hanya mengeluarkan angin berdesir keras, akan tetapi juga menimbulkan suara berdesing seperti kalau senjata tajam digerakkan dengan amat kuatnya! Kebutan itu menyambar kedepan, bulu-bulunya saja terpecah menjadi beberapa gumpalan dan masing-masing gumpalan itu seperti ular-ular hidup mematuk ke arah jalan-jalan darah di sekitar pundak dan leher kakek jembel itu.

   "Hayaaaa....! Kiranya engkau lihai sekali....!"

   Kakek itu berseru dan biarpun nampaknya terkejut dan mengagumi kehebatan nenek itu, namun tanpa banyak kesukaran dia sudah dapat menghindarkan diri dari sambaran kebutan dengan melempar tubuh ke belakang dan berjungkir balik tiga kali. Kembali kebutan sudah menyambar, akan tetapi kedua tangan kakek itu membuat dorongan-dorongan aneh, kemudian setelah dari kedua tangannya itu keluar angin yang menolak bulu-bulu kebutan dan membuyarkan gumpalan-gumpalan bulu itu menjadi mawut seperti rambut kepala wanita tertiup angin, dia membuat coretan-coretan di udara dan tahu-tahu kedua jari telunjuknya telah melakukan totokan-totokan bertubi-tubi sampai sembilan kali ke arah jalan-jalan darah terpenting di tubuh nenek Kim Hwa Nio-nio!

   "Ahhh....!"

   Nenek itu terpaksa mengeluarkan teriakan kaget dan cepat ia memutar kebutannya melindungi diri. Akan tetapi masih saja jari-jari tangan itu sempat menerobos gulungan sinar kebutan sehingga terpaksa nenek itu yang kini melempar tubuh ke belakang dan berjungkir balik untuk menyelamatkan dirinya. Suma Lian yang tadinya hanya memandang bengong, tiba-tiba berteriak,

   "Hong-in Bun-hoat!"

   "Ha-ha-ha, anak baik, ternyata engkau cukup cerdas!"

   Kakek jembel itu berseru sambil menoleh dan tersenyum kepada Suma Lian. Akan tetapi nenek Kim Hwa Nio-nio yang merasa penasaran sudah menerjangnya lagi, membuat kakek itu tidak sempat lagi untuk senyum-senyum.

   Nenek itu terlampau berbahaya untuk tidak dihadapi dengan sungguh-sungguh dan kini terjadilah perkelahian yang hebat yang membuat pandang mata Suma Lian menjadi kabur saking cepatnya gerakan kedua orang tua itu. Memang perkelahian itu hebat sekali, terjadi antara dua orang tua yang masing-masing memiliki ilmu silat yang amat tinggi. Kim Hwa Nio-nio diam-diam terkejut bukan main. Ia adalah seorang ahli yang memiliki kesaktian, karena ia adalah murid dari Pek-bin Lo-sian yang sudah mewarisi ilmu dari kakek itu. Pek-bin Lo-sian selain gurunya, juga menjadi kekasihnya dan hanya karena pada akhir-akhir itu ia melakukan penyelewengan, suka bermain gila dengan laki-laki lain yang jauh lebih muda dari gurunya itu, maka di antara mereka terdapat suatu jurang pemisah. Dan itulah sebabnya mengapa Pek bin Lo-sian tidak memberikan Pedang Suling Naga kepadanya!

   Akan tetapi, ilmu kepandaian Pek-bin Lo-sian telah diwarisinya semua dan kalau dibandingkan dengan Sam Kwi yang menjadi saudara-saudara misan seperguruan, tingkat ilmu kepandaian Kim Hwa Nio-nio ini tidak kalah tinggi, bahkan mungkin lebih matang dan lebih tangguh setelah ia memiliki ilmu memainkan kebutannya yang amat lihai itu. Akan tetapi sekarang, dan baru sekarang, ia menemui tandingan yang demikian tangguhnya dalam diri kakek jembel tua ini! Ia merasa penasaran sekali dan nenek itu segera mengerahkan seluruh tenaganya dan mengeluarkan semua ilmu simpanannya untuk mengalahkan lawan. Namun, ia selalu kecelik. Semua ilmunya dapat disambut dengan amat baiknya oleh kakek itu dan suatu kali, bahkan tangan kiri Kim Hwa Nio-nio beradu dengan tangan kanan si kakek jembel dengan kuat sekali.

   "Dukkk....!"

   Kim Hwa Nio-nio mengerahkan tenaganya yang sudah diperkuat dengan latihan ilmu hitam ketika ia bertapa di Pegunungan Himalaya, maka ketika kedua tangan bertemu, tenaga yang keluar dari tangan kirinya itu dahsyat bukan main. Pertemuan tenaga itu hanya membuat kakek itu mundur dua langkah sedangkan ia sendiri terhuyung ke belakang, tanda bahwa ia masih kalah kuat dalam tenaga sin-kang melawan kakek tua renta itu.

   Akan tetapi hal itu tidaklah begitu mengejutkan hatinya. Yang membuat ia terkejut adalah ketika ia merasa betapa tangan kirinya itu ketika bertemu dengan tangan kanan kakek itu, dijalari oleh hawa panas seperti bara api yang terus menyusup ke seluruh lengannya! Ia terkejut dan cepat ia mengerahkan tenaga dari dalam untuk menolak hawa panas itu, karena kalau dibiarkan terus menyusup ke dalam dadanya dapat membuat ia terluka dalam! Setelah ia berhasil menolak keluar hawa panas itu, Kim Hwa Nio-nio yang menjadi semakin penasaran dan marah itu kembali menubruk dan melancarkan serangan bertubi, suatu kombinasi antara serangan kebutan yang sudah lihai itu dengan tamparan-tamparan tangan kiri yang mengeluarkan bunyi berkerotokan, masih diselingi oleh tendangan-tendangan kedua kakinya.

   "Lihat.... ha-ha, selama ini tak pernah bertemu lawan, sekali bertanding menghadapi siluman perempuan yang lihai. Haiiiiitt....!"

   Tiba-tiba saja kakek tua renta itu nampak gembira sekali dan diapun menyambut semua serangan lawan itu dengan tangkisan, elakan, dan juga membalas dengan serangan-serangan yang tidak kalah ampuhnya. Biarpun dia hanya bertangan kosong, akan tetapi setiap kali kaki atau tangannya bergerak, maka angin pukulan dahsyat sekali menyambar dan pakaian nenek itu berkibar-kibar keras! Sekali waktu, dengan tiba-tiba nenek itu menyatukan bulu kebutannya yang berubah kaku oleh tenaga sin-kangnya dan seperti sebatang pedang saja, kebutan yang bulunya bersatu dan kaku itu menusuk ke arah tenggorokan kakek itu!

   "Wahhhh....!"

   Kakek itu terbelalak kagum dan kini tangan kirinya dengan jari tangan terbuka lalu menangkis ke arah pedang aneh itu.

   "Takkkk....!"

   Ujung kebutan yang menjadi kaku itu bertemu dengan telapak tangan, seperti pedang bertemu perisai yang kuat, akan tetapi nenek itu terbelalak dan meloncat kaget bukan main. Ketika kebutannya tadi bertemu dengan tangan itu, ada hawa dingin seperti es. menjalar ke dalam lengan kanannya dan hal inilah yang amat mengejutkan hatinya.

   "Kiranya engkau seorang dari Pulau Es! Siapa engkau?"

   Bentaknya dengan muka agak pucat karena diam-diam ia merasa bahwa isi dadanya terguncang dan ia menderita luka walaupun tidak parah. Hal ini adalah karena tadi ia bersiap siaga untuk serangan dengan hawa panas. Siapa tahu tiba-tiba saja sin-kang kakek itu berubah dingin seperti es. Dan tahulah ia bahwa ia berhadapan dengan seorang ahli dari Pulau Es!

   "Ha-ha-ha, orang seperti engkau ini mana ada harganya untuk mengenal orang-orang bersih dari keluarga para pendekar Pulau Es? Hayo, masih hendak kau lanjutkan lagi?"

   Tantang kakek itu. Kim Hwa Nio-nio tahu diri. Kalau di situ ada Sai-cu Lama, tentu ia akan minta kepada kawannya itu untuk melakukan pengeroyokan. Akan tetapi, ia hanya seorang diri saja dan ia tahu bahwa kakek jembel tua renta itu masih terlampau kuat untuknya.. Maka ia lalu menjura.

   "Baiklah, sekali ini aku mengalah, akan tetapi lain kali aku tidak akan mengampuni nyawamu, jembel tua bangka!"

   Setelah berkata demikian, ia lalu meloncat dan lari kembali ke kota raja, diiringi suara ketawa dari kakek jembel itu. Sejak tadi Suma Lian nonton dengan penuh perhatian akan tetapi juga penuh kekaguman. Ketika ia mendengar ucapan Kim Hwa Nio-nio bahwa kakek itu adalah orang dari Pulau Es, ia terkejut, akan tetapi juga terheran-heran di samping kegirangannya. Ia girang bahwa kalau memang benar kakek ini dari Pulau Es, berarti masih kerabat. Akan tetapi ia terheran-heran karena kalau benar dia seorang keluarga Pulau Es, kenapa begitu jorok dan tingkah lakunya seperti oranq yang miring otaknya?

   "Ha-ha-ha!"

   Kini kakek itu tertawa-tawa memandang kepada Suma Lian.

   "Iblis betina seperti itu saja berani mengganggu kita, keluarga dari para pendekar Pulau Es, sungguh tak tahu diri, ya?"

   Suma Lian ikut tersenyum pula. Biarpun kakek ini tertawa tanpa disertai matanya yang nampak sayu seperti orang menderita duka, namun kata-katanya lucu.

   "Kek, engkau sungguh hebat sekali!"

   "Kelak engkau harus lebih hebat daripada aku, anak yang baik. Namamu Suma Lian dan kau puteri Suma Ceng Liong? Ha, sungguh hebat, engkau memang pantas menjadi keturunan keluarga Suma!"

   "Bu-beng Lo-kai, jelaskan padaku...."

   "Nanti dulu! Siapa yang kau ajak bicara itu? Siapa itu Bu-beng Lo-kai?"

   Suma Lian tersenyum.

   "Siapa lagi kalau bukan engkau. Bukankah tadi nenek Kim Hwa Nio-nio bertanya namamu dan kau menjawab bahwa engkau adalah seorang Pengemis Tua Tanpa Nama (Bu-beng Lo-kai). Nah, engkau adalah Bu-beng Lo-kai."

   Kakek itu nampak girang dengan julukan baru ini. Selama ini dia tidak pernah memperkenalkan nama kepada siapapun juga sehingga dia sendiri seperti sudah lupa kepada nama sendiri, akan tetapi sekarang dia seperti mendapatkan sebuah sebutan nama baru yang cocok dengan keadaan dirinya. Bu-beng Lo-kai (Pengemis Tua Tanpa Nama)!

   "Ha-ha, Bu-beng Lo-kai? Bagus, bagus.... engkau memang anak pandai."

   "Bu-beng Lo-kai, sekarang jelaskan siapa dirimu dan bagaimana engkau pandai memainkan Hong-in Bun-hoat! Dan agaknya engkau mengenal pula nama ayahku."

   "Kenapa tidak? Ayahmu bernama Suma Ceng Liong itu adalah putera tunggal dari Suma Kian Bu dan Teng Siang In, bukan?"

   "Benar sekali! Ah, bagaimana engkau dapat mengenal keluarga kami?"

   "Karena Suma Kian Bu, kakekmu itu, adalah adik kandung dari mendiang isteriku yang tercinta...."

   "Ah....!"

   Sepasang mata yang jernih itu terbelalak.

   "Jadi engkau.... engkau adalah suami nenek Milana? Engkau adalah kakek Gak Bun Beng....?"

   Kakek itu merangkul Suma Lian dan anak inipun merasa terharu, akan tetapi ia harus menahan kemuakan karena hidungnya mencium bau apak, tanda bahwa kakek itu agaknya memang benar-benar telah terlantar dan tak pernah mandi, entah sejak berapa lamanya!

   "Sudah lama aku mengubur nama sial itu, biarlah mulai sekarang sampai mati, aku adalah Bu-beng Lo-kai saja,"

   Kata kakek itu dan Suma Lian semakin terharu mendengar betapa ada isak tertahan di dalam suara yang seperti keluhan itu. Kakek ini menderita batin dan kelihatan berduka sekali, pikirnya. Iapun merangkul dan memandang wajah yang tertutup rambut, kumis dan jenggot putih lebat itu, memandang sepasang mata yang masih bersinar tajam akan tetapi seperti tertutup awan gelap itu.

   Para pembaca yang mengikuti kisah-kisah terdahulu dari seri PENDEKAR SUPER SAKTI ATAU SULING EMAS, tentu tidak asing dengan nama ini. Gak Bun Beng! Di dalam cerita SEPASANG PEDANG IBLIS diceritakan dengan jelas dan menarik tentang kehidupan pendekar ini, seorang pendekar besar yang setelah mengalami jatuh bangun akhirnya berjodoh dengan wanita yang dicinta dan mencintanya, yaitu Puteri Milana, puteri dari Pendekar Super Sakti Suma Han dan Puteri Nirahai. Seperti kita ketahui, mereka hidup menjauhkan diri dari istana di mana Puteri Milana pernah membantu kaisar untuk menghadapi para pemberontak. Mereka mempunyai sepasang anak kembar, yaitu Gak Jit Kong dan Gak Goat Kong yang kemudian menjadi Beng-san Siang eng (Sepasang Garuda dari Beng-san). Ketika nenek Milana masih hidup, Gak Bun Beng bersama isterinya,

   Milana, berkali-kali membujuk sepasang anak kembar itu untuk segera menikah karena mereka berdua sudah ingin sekali memondong cucu. Akan tetapi, Gak Jit Kong dan Gak Goat Kong tidak pernah mau menuruti permintaan orang tua mereka ini. Keduanya tak pernah dapat saling berpisah, jadi sukar sekali bagi mereka untuk mendapatkan isteri-isteri yang cocok. Akhirnya, puteri atau nenek Milana marah sekali dan setiap hari memarahi kedua orang putera kembarnya yang usianya sudah semakin banyak itu. Hal ini membuat Gak Jit Kong dan Gak Goat Kong lalu pergi minggat meninggalkan Beng-san. Mereka merantau dan akhirnya, seperti telah diceritakan di bagian depan cerita ini, mereka mempunyai seorang murid wanita bernama Souw Hui Lan dan ternyata wanita inilah satu-satunya wanita yang mereka cinta berdua,

   Dan ternyata kemudian Souw Hui Lan juga mencinta mereka! Sementara itu, kakek Gak Bun Beng dan nenek Milana, untuk menghibur hati mereka yang merasa kecewa atas sikap kedua orang anak mereka itu, mengasingkan diri di puncak Beng-san dan mereka hanya bertapa. Kemudian, pada suatu hari, muncullah dua orang putera mereka itu bernama seorang gadis manis dan mereka menyatakan bahwa kini mereka ingin menikah dengan gadis itu, yang juga menjadi murid mereka! Mereka itu, kedua orang anak kembar mereka itu, hendak menikah dengan seorang gadis saja! Milana menentang keras dan hampir saja turun tangan membunuh anak-anaknya sendiri kalau saja tidak dicegah suaminya yang minta kepada kedua orang anak kembarnya itu untuk pergi dan mengurus sendiri saja pernikahan yang dianggapnya memalukan itu.

   Sepeninggal tiga orang itu yang terpaksa meninggalkan Beng-san dengan hati tertekan, nenek Milana meninggal karena sakit. Pukulan batin yang hebat ini tak tertahankan oleh kakek Gak Bun Beng. Urusan kedua orang puteranya sudah membuat dia berduka dan kecewa sekali, dan kini dia ditinggal mati isterinya yang tercinta dalam keadaan batinnya masih menderita oleh pukulan pertama. Dengan hati penuh duka, Gak Jit Kong dan Gak Goat Kong mengajak murid dan calon isteri mereka runtuk berkunjung lagi ke Beng-san dan menyembahyangi jenazah ibu mereka. Mereka minta ampun kepada jenazah ibu mereka, dan ketika mereka minta ampun kepada Gak Bun Beng, pendekar ini hanya menggeleng kepala dengan penuh duka.

   "Aku tidak mencampuri lagi urusan kalian. Lakukanlah apa yang kalian suka, aku.... aku.... sudah tidak bisa berpikir lagi....tinggalkanlah aku sendiri bersama kuburan isteriku,"

   Demikian katanya setelah jenazah Milana dikubur dan sampai berbulan-bulan Gak Bun Beng hidup di dekat kuburan isterinya, tak pernah mau merawat dirinya.

   Duka, kecewa dan kesengsaraan batin selalu menjadi akibat dari pada ikatan. Ikatan batin selalu mendatangkan duka nestapa. Isteriku, anakku, hartaku, kedudukanku, MILIKKU. Kalau batin sudah ikut memiliki apa yang dipunyai oleh badan, maka sekali waktu yang dimiliki itu menentangnya, tidak menurut, atau meninggalkannya, maka batin itu akan menderita, kecewa, berduka. Badan memang membutuhkan banyak hal untuk dipunyai, karena badan harus bertumbuh terus, mempertahankan hidupnya. Badan membutuhkan sandang, pangan, papan, bahkan badan berhak menikmati kesenangan melalui panca indriya dan alat-alat tubuhnya. Akan tetapi, semua yang dibutuhkan badan itu, biarlah dipunyai oleh badan saja. Kalau sampai batin ikut memiliki, maka akan timbul ikatan. Segala yang dimiliki itu akan berakar di dalam batin,

   Sehingga kalau sewaktu-waktu yang dimiliki itu dicabut dan dipisahkan, batin akan berdarah dan merasa nyeri, kehilangan, kecewa, berduka dan akhirnya mendatangkan sengsara. Batin harus bebas dari ikatan, tidak memiliki apa-apa ! Mempunyai akan tetapi tidak memiliki, itulah seninya! Yang mempunyai adalah badan, akan tetapi mengapa batin ikut-ikut memilikinya? Cinta kasih bukan berarti memiliki dan menguasai! Dan cinta kasih ini urusan batin, bukan urusan badan. Urusan badan adalah cinta asmara, nafsu berahi dan kesenangan badaniah. Badan mengalami sesuatu yang mendatangkan nikmat dan kesenangan, dan ini adalah urusan badan. Kalau sudah habis sampai di situ saja, memang semestinya demikianlah. Akan tetapi kalau sang aku, yaitu pikiran atau ingatan, mencatatnya dan sang aku ingin mengulanginya, ingin menikmatnya lagi,

   Maka ini berarti batin ingin memiliki dan timbullah ikatan terhadap yang menimbulkan kenikmatan atau kesenangan itu. Dan kalau sekali waktu, kita harus berpisah dari yang telah mengikat kita, maka timbullah duka dan sengsara. Seperti juga Gak Bun Beng dan Milana, kita selalu mengatakan dengan mulut bahwa kita mencinta anak-anak kita. Akan tetapi cinta kita itu membuat kita ingin selalu ditaati oleh anak-anak kita! Kita merasa berkuasa atas diri mereka! Kita merasa bahwa kita memiliki mereka dan berhak mengatur kehidupan mereka! Dan yang beginilah yang kita anggap cinta! Kalau sekali waktu anak-anak kita membantah dan tidak mentaati kehendak kita, maka kita lalu kecewa, marah-marah, berduka dan mungkin saja cinta kita berubah menjadi kebencian dan sakit hati inikah yang dinamakan cinta?

   Bukankah cinta kita kepada anak-anak kita ini kita samakan dengan cinta kita terhadap binatang peliharaan atau benda-benda lain yang mendatangkan kesenangan bagi kita? Di dalam cinta kasih, tidak ada lagi "aku yang ingin disenangkan"! Di dalam nafsu dan kesenangan, selalu "aku"

   Yang menonjol. Cinta kasih tidak menuntut apa-apa untuk "aku". Cinta kasih mementingkan orang yang dicinta, sama sekali tidak berpamrih untuk diri pribadi. Cinta kasih beginilah yang tidak akan menimbulkan duka dan sengsara, karena tidak mengejar kesenangan untuk diri sendiri saja, yang sudah mengikat batin, yang akan mendatangkan duka dan sengsara sebagai kebalikannya. Kurang lebih setahun kemudian, barulah Gak Bun Beng meninggalkan kuburan isterinya.

   Akan tetapi dia telah berubah. Kakek yang tadinya merupakan seorang pertapa yang gagah perkasa itu, yang arif bijaksana itu, kini menjadi seorang kakek jembel yang kotor sekali tubuhnya. Tak pernah mau mengurus tubuhnya, dan hidup berkeliaran seperti pengemis yang gila. Tak seorangpun memperdulikannya dan diapun tidak memperdulikan apa-apa lagi. Kasihan sekali Gak Bun Beng, walaupun semua itu adalah akibat dari pada keadaan batinnya sendiri. Dia merasa kesepian. Dia merasa amat iba kepada dirinya sendiri dan dia merasa nelangsa karena merasa tidak ada gunanya lagi hidup di dunia, baik bagi diri sendiri maupun bagi orang lain. Selama ini, yang dimilikinya sampai mengikat batinnya adalah isterinya dan dua orang puteranya. Akan tetapi, dua orang puteranya tidak mentaatinya,

   kemudian isterinya, satu-satunya orang yang masih tinggal, yang masih menjadi miliknya lahir batin, meninggalkan dirinya! Dalam perantauan yang tidak ada tujuan ini, akhirnya dia berkeliaran di kota raja! Biarpun keadaannya sudah menjadi seorang kakek jembel yang seperti tidak waras otaknya, namun Gak Bun Beng bekas pendekar yang sudah sering menjelajah di kota raja. Dia mengenal keadaan kota raja dan masih peka oleh berita-berita yang bersimpang siur. Dia mendengar pula tentang keadaan yang kacau balau di istana, tentang pembesar Hou Seng yang menguasai istana dan membuat kaisar menjadi seperti boneka. Semua percakapan di jalan didengarnya dengan peka. Namun, dia hanya tertawa dan sama sekali tidak memperdulikannya. Sampai pada saat dia beristirahat di bawah jembatan dan melihat seorang anak perempuan berlari-lari itu.

   Sebelumnya, sudah ada beberapa orang yang lewat di atas jembatan itu dan mencari-cari seorang anak perempuan. Timbul perasaan iba di hatinya yang memang berwatak pendekar dan suka menolong mereka yang tertindas. Kasihan dia melihat seorang anak perempuan dikejar-kejar, apa lagi karena dia melihat bahwa seorang di antara pengejarnya adalah Kim Hwa Nio-nio! Dia mendengar nama ini dari orang-orang di tepi jalan, bahwa Kim Hwa Nio-nio adalah pengawal pribadi utama dari pembesar Hou Seng! Hatinya tertarik, terutama sekali melihat betapa gerak-gerik nenek itu jelas memperlihatkan kelihaiannya sebagai seorang yang memiliki ilmu kesaktian! Kalau biasanya dia acuh saja terhadap segala peristiwa di sekelilingnya, dan andaikata ada suatu peristiwa yang membuat dia terpaksa turun tangan, maka semua itu dia lakukan dengan sembunyi-sembunyi tanpa diketahui orang.

   Akan tetapi, dia merasa kasihan kepada anak perempuan itu dan cepat dia menariknya ke kolong jembatan dan tanpa banyak cakap lagi karena waktunya hanya sempit, dia lalu menukar pakaian dan melumuri tubuh Suma Lian agar pantas menyamar sebagai seorang anak perempuan pengemis. Dan usahanya campur tangan secara diam-diam itu berhasil. Akan tetapi pada saat dia hendak membebaskan anak itu, muncul Kim Hwa Nio-nio sehingga terpaksa dia mempergunakan kepandaian yang selama ini disembunyikannya saja untuk melindungi anak itu dan dirinya sendiri. Dan sungguh sama sekali tidak disangkanya bahwa anak itu ternyata adalah cucu keponakannya sendiri, puteri dari keponakannya, Suma Ceng Liong! Bu-beng Lo-kai (Pengemis Tua Tanpa Nama), nama baru yang dipergunakan Gak Bun Beng, memegang tangan anak itu dan tersenyum ramah.

   "Suma Lian, sekarang ceritakan kepadaku bagaimana engkau bisa sampai ke kota raja dan jatuh ke tangan orang seperti Kim Hwa Nio-nio itu."

   "Yang menculik aku bukan nenek itu, kek, melainkan seorang pendeta Lama berjuluk Sai-cu Lama."

   Anak itu lalu bercerita tentang kemunculan Sai-cu Lama di kebun rumah orang tuanya di dusun Hong-cun, menculiknya ketika ia sedang berlatih silat di bawah pimpinan neneknya. Bu-beng Lo-kai mendengarkan penuh perhatian.

   "Nenekmu Teng Siang In tidak mampu melindungimu dan merampasmu kembali dari tangan Sai-cu Lama itu? Wah, kalau begitu pendeta Lama itu tentu lihai bukan main!"

   Kata kakek itu.

   "Memang dia lihai sekali dan sekarang dia membantu Kim Hwa Nio-nio menjadi kaki tangan pembesar yang disebut Hou Taijin itu."

   Kakek itu mengangguk-angguk, lalu memandang wajah anak itu.

   "Dan bagaimana sekarang, cucuku? Engkau sudah berada di kota raja dan sudah bebas, apakah engkau ingin pulang ke Hong-cun? Aku akan mengantarmu sampai ke luar dusunmu, lalu kutinggalkan di sana kalau kau ingin pulang."

   
Suling Naga Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Dan engkau sendiri hendak pergi ke mana, kek?"

   Tanya anak itu, memandang kepada orang tua itu dengan sinar mata mengandung rasa kasihan. Kakek ini demikian menderita, pikirnya.

   "Aku? Ha, aku sendiri tidak tahu akan ke mana? Aku tidak punya apa-apa lagi.... di manapun menjadi tempat tinggalku. Aku tidak butuh apa-apa lagi...."

   Akan tetapi di dalam suaranya ini terkandung kedukaan dan keputusasaan yang men-dalam. Merantau! Ah, betapa keinginan ini sejak lama sudah memenuhi hati Suma Lian. Sudah beberapa kali ia mengajak ayah ibunya, juga neneknya, agar ia dibawa merantau, terutama ke kota raja. Akan tetapi mereka mengatakan bahwa keadaan sekarang tidak aman dan ia masih terlampau kecil untuk melakukan perjalanan jauh. Sekarang, ia sudah berada di kota raja. Sayang kalau ia harus pulang kembali begitu saja. Jiwa petualang bergelora di dalam hatinya.

   "Kek, aku tidak mau pulang!"

   Tiba-tiba ia berkata dengan suara lantang.

   "Eh?"

   Bu-beng Lo-kai memandang heran.

   "Tidak mau pulang?"

   "Aku tidak mau pulang dulu, aku ingin ikut denganmu!"

   "Ikut denganku?"

   Kakek itu termenung, akan tetapi Suma Lian melihat dengan jelas perubahan pa-da wajah yang ditutupi rambut itu. Sepasang mata yang masih tajam itu kini mengeluarkan sinar, walaupun masih redup. Ada gairah.

   "Ikut denganku? Hidup seperti ini? Tanpa rumah tanpa apa-apa, seperti jembel berkeliaran dan terlantar?"

   "Mengapa tidak? Bagi seorang perantau, tak perlu tempat tinggal tetap. Aku dapat tidur di mana saja. Bukankah keluarga kita, keturunan para pendekar Pulau Es, berjiwa perantau dan tabah menghadapi segala hal? Aku dapat tidur di kuil, di hutan, di mana saja, kek."

   "Tanpa pakaian indah, tidak ada uang, tidak ada kekayaan apapun?"

   "Aku tidak ingin pakaian yang indah-indah, asalkan bersih. Kebersihan perlu sekali, kek. Bukankah seperti kata nenekku, kebersihan itu pangkal kesehatan dan kesehatan itu pangkal kegembiraan? Bagaimana kita bisa gembira kalau kita tidak sehat, dan bagaimana kita bisa sehat kalau kita tidak bersih? Bagaimana, kakekku yang baik, bolehkah cucumu ini ikut merantau bersamamu dan setiap ada kesempatan kau mengajarkan ilmu silat keluarga kita kepadaku?"

   Ada semacam cahaya memasuki hati kakek itu. Suma Lian, anak perempuan berusia duabelas tahun ini, mendatangkan gairah hidup di dalam batinnya, membuat dia merasa bahwa dia masih dibutuhkan orang! Dia masih berguna!

   "Baiklah, cucuku. Baik, kita merantau bersama."

   Bukan main girangnya rasa hati Suma Lian. Ia setengah bersorak merangkul kakek itu, akan tetapi lalu menutupi hidungnya.

   "Ihh, engkau berbau tak enak sekali, kek. Engkau harus mandi yang bersih, mencuci rambut itu, mengikatnya dan juga berganti pakaian. Aku juga. Hampir muntah aku kalau tercium bau bajuku sendiri ini!"

   "Berganti pakaian? Aku tidak punya cadangan pakaian. Selimut bututku sudah menjadi pakaianmu."

   "Aku akan mencarikan ganti untukmu, kek. Mari kita ke dusun atau kota terdekat, dan aku akan mencari pakaian untuk kita berdua."

   Anak itu menarik tangan kakek itu dan merekapun melanjutkan perjalanan, tidak kembali ke kota raja karena mereka khawatir kalau bertemu dengan Kim Hwa Nio-nio dan kawan-kawannya. Kakek itu membawa Suma Lian ke sebuah dusun yang cukup ramai di sebelah barat kota raja dan mereka berdua berhenti di sebuah kuil tua yang kosong.

   "Apakah perutmu tidak merasa lapar, kek?"

   Tiba-tiba anak itu bertanya. Kakek itu mengangguk.

   "Sejak kemarin siang aku tidak makan apa-apa,"

   Jawabnya jujur. Harus diakuinya di dalam hati bahwa dia kadang-kadang sudah tidak perduli lagi apakah perutnya terisi atau tidak, bahkan dia sudah lupa bagaimana rasanya lapar atau kenyang itu. Selama ini dia seperti mayat hidup saja.

   "Kalau begitu, kau tinggal saja dan tunggu aku di sini, kek. Aku akan mencari makanan dan pakaian untuk kita."

   Kakek itu memandang dengan alis berkerut.

   "Kau akan membelinya?"

   Suma Lian tersenyum lucu penuh rahasia.

   "Kau tunggu sajalah, dan tanggung beres, kek."

   Anak itu lalu berlari-larian meninggalkan kuil, diikuti pandang mata yang penuh keharuan oleh kakek tua renta itu. Mulailah pohon yang hampir mati kering itu memperoleh air kehidupan lagi, mulai bersemi semangat untuk hidup dan gairah. Dia merasa seolah-olah Suma Lian itu cucunya sendiri, cucu yang amat diharapkan selama bertahun-tahun oleh dia dan mendiang isterinya,

   Cucu yang tak kunjung ada dan kini tiba-tiba saja muncul seorang cucu dalam kehidupannya! Dia tidak khawatir akan keselamatan Suma Lian. Anak itu pandai berjaga diri, dan diapun tidak perlu mengkhawatirkan munculnya Kim Hwa Nio-nio. Kuil itu berada di dekat pintu pagar dusun sebelah timur sehingga kalau ada orang muncul dari jurusan kota raja, dia akan dapat melihatnya lebih dulu sebelum orang itu dapat bertemu dengan Suma Lian yang berada di tengah dusun itu. Kurang lebih sejam kemudian, sesosok bayangan kecil berloncatan dan Suma Lian masuk ke dalam kuil itu melalui tembok belakang yang diloncatinya. Ia membawa buntalan yang cukup besar dan wajahnya berseri-seri ketika ia menghadap Bu-beng Lo-kai di ruangan kuil tua yang lantainya sudah mereka bersihkan tadi.

   "Makanan dan pakaian yang cukup untuk kita, kek!"

   Kata anak itu sambil membuka buntalannya di depan kakek itu. Bu-beng Lo-kai memandang dan mengerutkan alisnya ketika dia melihat dua buah panci yang terisi masakan-masakan dan daging, juga bakmi yang masih panas. Dan selain makanan itu, juga terdapat beberapa potong pakaian yang masih baru untuknya, juga untuk anak itu!

   "Hai....! Dari mana kau memperoleh semua ini? Tak mungkin kalau engkau mengemis dan diberi orang!"

   Tegur kakek itu.

   "Aihh, kek. Nanti saja kita bicara tentang itu. Sekarang, paling perlu mengisi perut yang sudah lapar dengan makanan ini. Dan ini seguci arak untukmu!"

   Seperti main sulap saja, Suma Lian mengeluarkan seguci arak yang ketika dibuka tutupnya, berbau harum sekali, membuat kakek itu menelan air ludah saking ingin segera mencicipinya.

   Kakek itu mengangguk-angguk. Bagaimanapun juga dari manapun asalnya makanan itu, kini sudah berada di situ dan memang sebaiknya dimakan saja dulu, baru nanti dia akan menuntut keterangan dan kalau perlu memberi teguran keras kepada anak ini kalau benar seperti dugaannya bahwa anak ini telah melakukan pencurian! Dan, barang curian atau bukan, kalau perut sudah sedemikian laparnya, masakan itu luar biasa enaknya! Baru sekarang selama dia ditinggal mati isterinya, kakek itu makan sedemikian lahapnya dan enaknya. Suma Lian juga makan dengan lezat, melupakan bau tak sedap yang datang dari kakek itu dan dari pakaiannya sendiri. Tak lama kemudian, makanan itu sudah mereka sikat habis dan kakek itu dengan wajah puas lalu meneguk arak dari gucinya.

   "Nah, sekarang kau...."

   "Nanti dulu, kek. Ketika aku pergi tadi, ada kulihat sebatang sungai kecil di belakang kuil ini. Airnya jernih sekali. Mari kita membersihkan badan, mandi dan berganti pakaian dulu, baru bicara. Akan lebih enak begitu. Marilah, kek!"

   Anak itu lalu menarik tangan Bu-beng Lo-kai yang terpaksa bangkit berdiri sambil membawa guci araknya. Suma Lian membawa buntalan pakaian dan mereka keluar dari kuil, lalu membelok ke arah belakang kuil di mana benar saja terdapat sebuah anak sungai yang jernih airnya.

   "Nah, kau mandilah dan ganti pakaianmu itu dengan pakaian ini, kek. Lihat, kupilihkan yang polos kuning dan putih untukmu, dengan ikat pinggang biru. Tentu pantas sekali untukmu. Dan ini minyak pencuci rambutmu. Cucilah rambutmu dan badanmu yang bersih, kek. Aku menanti di sini,"

   Katanya sambil duduk di bawah sebatang pohon besar, tak jauh dari anak sungai itu yang berada di bawah, tidak nampak dari situ.

   "Kau dulu yang mandi dan bertukar pakaian. Aku nanti saja setelah engkau. Aku akan berjaga di sini sambil minum arak. Arak ini enak sekali!"

   Kata kakek itu malas-malasan.

   "Baiklah, akan tetapi setelah aku selesai, engkau harus mandi dan berganti pakaian, kek. Berjanjilah! Kakek itu hendak membantah, akan tetapi ketika melihat wajah anak perempuan itu, tak sampai hatinya membantah. Dia mengangguk-angguk.

   "Baiklah."

   Dan menenggak arak lagi seteguk dari gucinya, mengecap-ngecap dan menjilat-jilat bibirnya.

   Suma Lian membawa satu stel pakaian berwarna biru muda dan sambil tertawa-tawa ia berloncatan menuruni tebing menuju ke sungai itu. Tak lama kemudian terdengar suara ia berkecimpung di dalam air sambil bernyanyi-nyanyi kecil, suara yang amat asing dan baru baginya, namun indah sekali dan menyegarkan batinnya. Kini dia dapat tersenyum-senyum penuh kegembiraan seorang diri, bukan lagi senyum untuk menyembunyikan kedukaan hatinya. Tak lama kemudian, Suma Lian sudah berada lagi di depannya. Segar sekali wajah yang kini bersih dan putih kembali itu, rambutnya yang hitam panjang itu masih basah kuyup dan diperasnya, lalu dibiarkan terurai agar cepat kering, kedua kakinya memakai sepatu baru dan pakaian yang dipakainya itu membuatnya nampak manis sekali.

   "Nah, sekarang engkau mandi, mencuci rambut-mu dan berganti pakaian, kek!"

   Kata Suma Lian sambil menyerahkan pakaian untuk kakek itu. Bu-beng Lo-kai memandang pakaian yang berwarna putih dan kuning polos itu dengan alis berkerut, seperti seorang anak kecil memandang obat pahit yang harus ditelannya. Beberapa kali dia menggelengkan kepalanya.

   "Wah, bagaimana aku dapat memakai pakaian sebersih itu? Tentu aku akan takut duduk di tempat sembarangan, selalu harus menjaga agar pakaianku tak menjadi kotor. Wah, repot sekali kalau begitu, tidak bebas lagi aku...."

   "Janji, kek. Janji harus dipenuhi, bukankah itu satu di antara sifat kegagahan?" "Ya-ya, akan tetapi...."

   "Tidak ada tapi, kek. Dan aku yakin bahwa dulu, entah kapan, pernah engkau merupakan seorang yang suka akan kebersihan, tidak seperti sekarang ini! Engkau sudah berjanji akan mandi dan berganti pakaian, kek!"

   Mendengar ucapan itu, Bu-beng Lo-kai termenung teringat akan isterinya.

   Isterinya, Puteri Milana, ketika masih muda, sebagai isterinya, juga suka sekali akan kebersihan. Dia sering diomeli isterinya itu kalau menaruh barang di sembarangan tempat, juga isterinya itu menghendaki agar dia selalu bersih, baik badannya maupun pakaiannya. Dan diapun selalu menjaga dirinya agar bersih. Akan tetapi bertahun-tahun sudah dia hidup tanpa perduli akan apa yang dinamakan kebersihan. Bahkan tidak ada yang kotor baginya. Bukankah daun-daun kering itu juga bersih? Tanah dan lumpur itupun bersih? Akan tetapi sekarang, kata-kata dan sikap Suma Lian mengingatkan dia kembali akan kehidupannya dahulu, sebelum isterinya meninggalkannya untuk selamanya.

   "Akan tetapi.... pakaian seperti ini....? Ingat, cucuku, mulai tadi aku sudah memakai nama Bu-beng Lo-kai. Ingat, apa artinya lo-kai? Pengemis tua! Kalau aku memakai pakaian begini, mana mungkin namaku Lo-kai? Seorang pengemis tua harus mengenakan pakaian butut dan penuh tambalan, kalau tidak begitu, mana mungkin dia laku mengemis? Takkan ada orang mau memberi sedekah!"

   Tiba-tiba Suma Lian tertawa menutupi mulutnya.

   "Hi-hik, sudah kuduga engkau akan mengajukan alasan itu, karena itu akupun sudah siap, kek. Nah, lihat ini!"

   Ia mengeluarkan jarum dan benang, lalu ia merobek pakaian kakek itu di sana-sini, merobek kain kuning paha celana dan memindahkan atau menembelkan robekan itu di pundak baju putih dan sebaliknya. Ia merobek sana-sini, tambal sana tambal sini dan akhirnya pakaian itu menjadi pakaian penuh tambalan yang hanya merupakan pemindahan saja dari bagian-bagian yang dirobek tadi. Kini bajunya yang putih penuh tambalan kuning, sedangkan celana kuning penuh tambalan putih.

   "Nah, pakaianmu sudah penuh tambalan, syarat bagi seorang pengemis, bukan? Akan tetapi, betapapun miskinnya, seorang pengemis tetap berhak untuk hidup bersih. Dan karena itu, di sini masih tersedia dua stel lagi untukmu dan lima stel pakaian untukku. Setiap hari kita berganti pakaian, yang kotor akan kucuci sampai bersih, dan setiap hari kita mandi!"

   Kembali kakek itu termenung, teringat akan mendiang isterinya. Sama benar watak isterinya dengan anak ini, ketika isterinya masih muda. Keras, lincah, galak, pandai bicara dan juga amat suka akan kebersihan. Dia sudah kehabisan akal untuk membantah lagi dan terpaksa dia menerima satu stel pakaian yang sudah penuh tambalan itu dan menuruni tebing. Dan Suma Lian menahan ketawanya ketika ia mendengar kakek itu berkecimpung dan mendengar pula senandung yang digumamkan mulut itu.

   "Yang bersih, kek! Rambutnya juga....!"

   Ia berteriak ke arah bawah tebing. Dari bawah terdengar suara ketawa.

   "Wah, engkau cerewet benar seperti seorang nenek tua saja!"

   Dan Suma Lian kembali tertawa. Bu-beng Lo-kai membutuhkan waktu yang jauh lebih lama untuk membersihkan tubuhnya yang amat kotor, terutama rambutnya yang sudah menjadi gimbal saling melekat itu. Akan tetapi suatu keanehan terjadi pada dirinya.

   Begitu dia merendam tubuhnya di dalam air dan membersihkan semua kotoran, dia merasa hatinya demikian ringan dan senang, membuat dia gembira seperti seorang anak kecil saja. Betapa keriangan hati itu bisa didapatkan di mana saja dan kapan saja, asalkan batin tidak dipenuhi oleh segala macam persoalan yang sebenarnya hanyalah peristiwa-peristiwa yang kita jadikan persoalan sendiri! Tidak ada masalah di dunia ini kecuali hal itu dibuat menjadi masalah. Tidak ada kesusahan kecuali kejadian itu kita buat sendiri menjadi kesusahan! Kalau batin tidak sibuk lagi oleh segala macam penilaian yang menimbulkan aku yang kemudian melahirkan iba diri, maka segala hal kita hadapi sebagaimana adanya, sebagai suatu kewajaran dan segala tindakan kita terhadap hal yang terjadi itu muncul dari kecerdasan akal budi, tanpa keluhan lagi.

   Keriangan hati akan selalu terasa oleh kita apabila batin kita bersih dari segala persoalan yang dibuat oleh pikiran. Terdapat dalam hal yang kecil-kecil dan remeh-remeh, karena hidup merupakan suatu berkah di mana segala-galanya sudah terdapat untuk kita nikmati. Di tanah, di air, di udara, di mana saja terdapat kenikmatan itu, kenikmatan hidup karena setelah batin kita bersih dari pada segala kekuasaan siaku, akan nampaklah sinar cinta kasih yang menerangi alam! Kakek itu benar-benar mencuci rambut dan tubuhnya sampai bersih! Dan dia nampak belasan tahun lebih muda ketika naik ke tebing itu, rambutnya terurai di belakang punggung, dan wajahnya yang tua nampak segar walaupun penuh dengan kumis dan jenggot putih. Nampak bersih segar dan sehat, apa lagi karena garis-garis mukanya masih memperlihatkan bekas wajah seorang laki-laki yang tampan dan gagah.

   "Nah, kau kelihatan bersih dan gagah, kek!"

   Suma Lian bertepuk tangan kegirangan, membuat orang yang dipuji itu merah mukanya dan untuk menghilangkan rasa kikuknya, kakek itu hendak menjatuhkan diri duduk di atas tanah.

   "Eiiiittt, hati-hati, kek!"

   Suma Lian meloncat dan memegang tangan kakek itu, ditariknya agar tidak jadi duduk.

   "jangan kotorkan pakaianmu dengan duduk begitu saja di atas tanah yang basah. Tuh, duduk di atas batu itu, sudah kubersihkan tadi!"

   Kakek itu menarik napas panjang.

   "Nah, nah, sudah mulai bukan? Aku harus selalu menjaga pakaianku agar tidak kotor. Menambah kerepotan saja!"

   "Bukan begitu, kek. Kalau sudah terbiasa nanti tentu dengan sendirinya engkau tidak mau mengotori pakaianmu. Ingat, engkau tidak ingin membuat kedua tanganku lecet-lecet, bukan?"

   "Tentu saja tidak! Ehh.... apa maksudmu dengan tangan lecet-lecet itu?"

   "Ingat, akulah yang akan mencuci pakaianmu setiap hari. Kalau engkau sembarangan saja membuat pakaianmu kotor sekali, bukankah aku yang mencuci yang akan bekerja berat setengah mati, sampai kedua tanganku lecet-lecet karena harus mencuci pakaian yang kotor sekali?"

   Bu beng Lo-kai tertawa.

   "Ha-ha-ha, engkau memang cerdik. Baiklah, akan kujaga pakaian ini agar tetap bersih."

   "Nah, begitu barulah engkau kakekku yang baik sekali, terima kasih sebelumnya, kek!"

   Dan Suma Lian lalu memberi hormat kepada kakek itu dengan sikap yang lucu.

   "Ah, apa yang terjadi dengan pakaianmu itu? Kenapa sekarang juga penuh tambalan?"

   Kakek itu berseru sambil memandang ke arah pakaian yang di-pakai oleh anak itu. Pakaian itu tadi nampak indah, akan tetapi sekarang penuh tambalan walaupun hal ini tidak mengurangi kepantasan anak itu memakainya.

   "Kek, engkau Bu-beng Lo-kai dan aku cucumu. Cucu seorang pengemis tua harus memakai pakaian tambal-tambalan juga, baru cocok!"

   Kakek itu kembali tertawa dan mengangguk-angguk, kemudian tiba-tiba dia memandang wajah anak itu dengan sikap serius dan suaranya juga terdengar tegas, tidak main-main lagi,

   "Nah, sekarang ceritakan, dari mana engkau memperoleh makanan, arak dan pakaian ini!"

   Melihat sikap kakek itu, nyali Suma Lian menjadi kecil juga. Ia menundukkan mukanya, jari-jari tangannya mempermainkan ujung bajunya, kadang-kadang mengangkat muka memandang, lalu menunduk kembali.

   "Hayo katakan! Kau.... mencuri, ya?"

   Bentak kakek Bu-beng Lo-kai. Dengan pandang mata takut-takut, Suma Lian memandang kakeknya dari bawah bulu mata sambil menundukkan muka,

   "Kau.. kau marah, kek....?"

   "Tentu saja kalau kau membohong! Hayo katakan yang sebenarnya. Kau curi semua itu?"

   Suma Lian mengangguk. Bu-beng Lo-kai marah atau pura-pura marah. Dia bangkit berdiri dan membanting kakinya.

   "Waduh, celaka! Cucuku menjadi pencuri? Menjadi maling? Tidak, kau harus kembalikan semua ini kepada....."

   Dia tiba-tiba tak dapat melanjutkan kata-katanya karena teringat bahwa semua makanan tadi, juga araknya, sudah masuk ke dalam perutnya! Mana mungkin bisa dikembalikan lagi? Suma Lian yang cerdik anaknya dapat menduga isi pikirannya dan dengan suara mengandung kemenangan anak itupun berkata,

   "Makanan sudah kita makan, mana bisa dikembalikan, kek?"

   "Baiklah, akan tetapi pakaian ini.... mana pakaianku yang butut tadi? Dia menjenguk ke bawah tebing dan kembali menjambak rambutnya.

   "Celaka, pakaian itu sudah kuhanyutkan tadi!"

   "Punyaku juga, kek. Dan lagi, kalau dikembalikanpun, yang punya tentu tidak mau menerimanya, sudah kutambal-tambal...."

   Bu-beng Lo-kai teringat bahwa pakaian yang sudah dipakainya itu, selain tak dapat dilepaskan karena pakaian bututnya sudah hilang, juga sudah penuh tambalan, tak mungkin dikembalikan.

   "Masih ada yang baru, yang lain itu, pakaian cadangan itu harus dikembalikan...."

   "Tidak bisa juga, kek. Lihat ini, dan Suma Lian memperlihatkan cadangan pakaian untuk kakek itu dan untuknya sendiri. Ternyata semuanya telah ditambal-tambal oleh Suma Lian, dilakukan ketika kakek tadi mandi dengan lamanya.

   "Wah, wah....! Kau setan cilik...."

   "Eh, kenapa kakek marah-marah dan memaki orang? Kata nenek, kebiasaan memaki itu tidak baik, kelak di neraka lidah akan dicabut keluar oleh malaikat...."

   "Hushh! Sembarangan saja kau bicara. Apakah nenekmu Teng Siang In itu juga tidak pernah mengajarkan kepadamu bahwa mencuri adalah perbuatan yang amat tidak baik? Keturunan para pendekar Pulau Es bukan pencuri!"

   "Aku selalu dilarang mencuri oleh ayah ibu dan nenekku, kek. Akan tetapi, apa yang kulakukan tadi adalah karena terpaksa. Dan yang kuambil pakaian dan makanannya adalah keluarga yang kaya raya, yang agaknya tidak akan merasa kehilangan apa-apa. Bukankah makanan tadi kuambil karena kita berdua kelaparan dan pakaian ini kuambil karena kita berdua amat membutuhkan? Kek, kalau kita mencuri yang mengakibatkan orang yang kecurian itu menderita, dan barang yang kita curi itu untuk kita pakai berfoya-foya, itu barulah tidak benar dan...."

   "Cukup! Sekali mencuri tetap mencuri! Maling tetap maling, biar yang dimaling itu batu koral maupun batu permata! Mengambil barang orang lain yang bukan menjadi haknya adalah perbuatan jahat. Kita adalah keluarga pendekar, bukan keluarga maling dan pendekar berkewajiban untuk menentang para penjahat, termasuk pencuri. Mulai saat sekarang kau tidak boleh mencuri lagi. Kita belajar ilmu bukan untuk menjadi pencuri. Berjanjilah, kalau tidak, terpaksa aku akan membawamu pulang ke Hong-can dan...."

   Kakek itu berhenti marah-marah ketika melihat betapa ada dua tetes air mata jatuh dari se-pasang mata yang memandangnya dengan penuh sesal itu. Dia menarik napas panjang.

   "Sudahlah, aku sudah melihat bahwa kau benar menyesal dan bertobat. Lebih baik minta-minta untuk menolong diri sendiri kalau memang kita sudah tidak mampu bekerja lagi, dan lebih baik mati kelaparan dari pada menjadi penjahat! Mengertikah engkau, cucuku?"

   Suma Lian mengangguk.

   "Aku mengerti, kakekku yang baik."

   Bu-beng Lo-kai tersenyum dan anak itupun tersenyum lagi dan cuaca menjadi cerah.

   "Nah, mari sekarang kita pergi menghadap orang yang kau curi miliknya itu."

   Suma Lian membelalak-kan matanya.

   "Wahh....! Mana aku berani....?"

   

Suling Emas Naga Siluman Eps 42 Suling Emas Naga Siluman Eps 43 Kisah Pendekar Pulau Es Eps 3

Cari Blog Ini