Kisah Si Bangau Putih 5
Kisah Si Bangau Putih Karya Kho Ping Hoo Bagian 5
Di perkumpulan itu diadakan pesta perayaan ulang tahun Siangkoan Lohan yang ke enam puluh. Siangkoan Lohan tidak mengundang terlalu banyak orang. Dipilihnya mereka yang kedudukannya sudah tinggi saja, yaitu tokoh-tokoh dunia kang-ouw yang kenamaan, ketua-ketua dan tokoh-tokoh perkumpulan besar. Biarpun demikian, tetap saja melihat mengalirnya para tamu sejak pagi, tidak kurang dari seratus orang datang bertamu! Para murid Siangkoan Lohan, yang menerima tugas dari guru mereka, mengadakan pemilihan. Para tamu yang dianggap sebagai kaum muda yang tingkatnya belum tinggi, dipersilakan duduk di bagian luar sedangkan mereka yang dianggap sebagai tamu kehormatan dipersilakan duduk di dalam dan yang paling dihormati duduk di panggung bersama-sama Siangkoan Lohan sendiri!
Hanya kurang lebih tiga puluh orang duduk di ruangan dalam, di antaranya beberapa orang duduk semeja dengan Siangkoan Lohan, sedangkan selebihnya duduk di ruangan luar, di jamu oleh para pembantu dan murid Siangkoan Lohan. Akan tetapi, mereka yang duduk di luar tidak merasa terhina, karena mereka pun maklum bahwa mereka masih belum pantas untuk duduk satu ruangan, apalagi satu meja, dengan ketua Tiat-liong-pang itu! Siangkoan Tek atau Siangkoan Lohan yang usianya sudah enam puluh tahun itu masih nampak lebih muda daripada usianya. Tubuhnya yang tinggi kurus masih tetap dan nampak kokoh kuat. Mukanya merah dengan jenggot panjang sampai ke dada. Rambutnya yang mulai dihias uban itu digelung dan ditutupi sebuah topi yang dihias bulu merak dan emas.
Pakaiannya gemerlapan indah berwibawa, membayangkan kehormatan dan kekayaan. Sepasang matanya yang mencorong seperti mata naga itulah yang membuat kebanyakan orang tidak berani menatap pandang matanya terlalu lama. Siangkoan Lohan adalah seorang yang congkak, mengandalkan kedudukan, kepandaian dan hartanya sehingga dalam semua surat undangannya, dia mencantumkan bahwa keluarganya tidak menerima sumbangan dalam perayaan itu dan diharapkan agar para tamu datang tanpa membawa sumbangan! Hal ini saja merupakan ketidaklajiman dan sekaligus memperlihatkan kecongkakannya seolah-olah dia hendak mengatakan bahwa dia tidak membutuhkan sumbangan-sumbangan karena dia sudah kaya raya! Dan semua orang juga tahu belaka akan kekayaan kakek ini.
Ketika dia berusia tiga puluh tahun lebih, mengingat akan jasa perkumpulan Tiat-liong-pang, dia dihadiahi seorang puteri dari istana! Seorang gadis yang amat cantik, dan setelah mendapatkan isteri puteri, tentu saja hubungannya dengan istana menjadi dekat dan mengumpulkan kekayaan bagaikan orang mencari pasir di sungai saja bagi Siangkoan Lohan. Isterinya itu sayang sekali meninggal dunia ketika melahirkan seorang putera. Semenjak diboyong dari istana ke bukit itu, sang puteri memang selalu berduka. Biarpun Siangkoan Lohan termasuk seorang pria yang gagah dan tidak buruk, akan tetapi wataknya yang keras, juga kesukaannya mengumpulkan wanita cantik, merongrong hati puteri itu sehingga ketika melahirkan, kesehatannya demikian lemah dan ia pun meninggal dunia ketika melahirkan.
Puteranya, yang merupakan anak tunggal karena Siangkoan Lohan tidak pernah lagi mempunyai anak dari wanita lain, sungguhpun amat banyak wanita yang telah digaulinya baik secara sah maupun tidak. Oleh karena hanya mempunyai seorang anak saja, maka sudah tentu dia amat memanjakan anaknya yang diberi nama Siangkoan Liong, sesuai dengan nama perkumpulannya. Dia pun menggembleng puteranya itu sejak kecil dengan ilmu silat, dan mengundang guru-guru kesusastraan untuk mengajar Siangkoan Liong. Anak ini memang cerdik sekali, maka dia dapat menguasai kedua ilmu itu dengan amat baiknya sehingga kini dia menjadi seorang pemuda yang amat lihai ilmu silatnya, akan tetapi juga amat pandai membawa diri seperti seorang terpelajar tinggi.
Ketika para tamu yang duduk di ruangan dalam melihat siapa yang duduk di kursi kehormatan, banyak di antara mereka terheran-heran dan berbisik-bisik di antara mereka sendiri. Ada beberapa orang duduk di kursi kehormatan, semeja dengan ketua Tiat-liong-pang itu, mengelilingi sebuah meja bundar yang luas. Selama ini mereka mengenal Tiat-liong-pang sebagai perkumpulan yang dekat dengan pemerintah Kerajaan Ceng, dan biarpun sepak terjang ketua dan para anggautanya keras dan menekan terhadap rakyat jelata, namun mereka menggolongkan diri mereka sebagai pahlawan, sebagai pendekar dan sama sekali tidak mau mencampuri atau mendekati golongan hitam atau sesat! Dan kini apa yang mereka lihat? Ketua Tiat-liong-pang duduk menjamu tokoh-tokoh hitam yang terkenal sebagai datuk-datuk iblis!
Di antara para tamu yang duduk semeja dengan Siangkoan Lohan terdapat seorang wanita berusia kurang lebih setengah abad akan tetapi masih nampak cantik, tinggi ramping dengan pakaian mewah dan riasan mukanya tebal menun-jukkan bahwa dia seorang pesolek. Wanita ini bukan lain adalah iblis betina Sin-kiam Mo-li yang sudah banyak dikenal oleh orang-orang kang-ouw sebagai tokoh besar yang amat kejam dan lihai. Selain nenek ini, terdapat pula dua orang kakek tua renta yang membuat para tamu yang duduk di ruangan dalam itu terkejut bukan main karena mereka melihat tanda gambar pat-kwa (segi delapan) di dada seorang di antara mereka, dan gambar bunga teratai di dada yang lain. Jelas mereka berdua adalah tokoh-tokoh Pat-kwa-pai dan Pek-lian-pai, dua perkumpulan pemberontak yang juga amat terkenal karena penyelewengan dan kejahatan mereka sebagai perkumpulan iblis.
Dan memang benar, kakek yang rambut dan jenggotnya sudah putih, tinggi kurus berwibawa, membawa tongkat setinggi badan adalah Thian Kong Cinjin, wakil ketua Pat-kwa-pai, sedangkan kakek kedua yang kurus kering bermuka merah darah, memegang tongkat naga hitam dan matanya seperti mata kucing, adalah Thian Kek Sengjin, tokoh besar perkumpulan Pek-lian-pai. Selain tiga orang datuk sesat ini, di tempat kehormatan itu hadir pula tiga orang lain yang menarik perhatian. Yang seorang adalah Toat-beng-kiam-ong (Raja Pedang Pencabut Nyawa) Giam San Ek yang usianya sekitar empat puluh lima tahun. Dia seorang pendekar selatan, ahli bermain pedang dan kabarnya, setiap kali jagoan ini mencabut pedangnya, pedang itu tidak akan kembali ke sarungnya sebelum minum darah lawan!
Dia ditakuti sekali, dan menjadi sahabat Siangkoan Lohan sejak lama. Tubuhnya sedang dan wajahnya masih tampan, apalagi karena dia pesolek, pakaiannya indah dan sikapnya agak ceriwis. Orang ke dua nampak gagah tinggi besar, mukanya hitam matanya besar mengingatkan orang akan tokoh cerita Sam-kok yang bernama Thio Hwi, dan hanya beberapa orang saja mengenal tokoh ini. Dia adalah Ciok Kim Bouw, berusia lima puluh tahun dan dia menjadi pangcu (ketua) dari Cin-sa-pang, sebuah perkumpulan di Secuan yang terkenal kuat pula. Ciok Kim Bouw tidak begitu akrab dengan Siangkoan Lohan, akan tetapi mungkin mengingat akan kebesaran nama perkumpulannya, maka Siangkoan Lohan mengundangnya. Orang ke tiga jelas merupakan seorang Mongol, nampak berwibawa dengan pakaian sukunya,
Dan dia pun bukan orang sembarangan karena dia adalah Agakai, kepala suku yang cukup besar dan berpengaruh di Mongol. Agakai ini berusia lima puluh tahun lebih dan dia adalah putera dari Tailucin, tokoh Mongol yang amat terkenal dan pernah menggemparkan, yang terbunuh oleh keluarga Pulau Es dan Agakai ini mengaku bahwa nenek moyangnya masih keturunan Jenghis Khan! Dia pun menjadi tamu kehormatan, bukan karena kepandaiannya yang tidak berapa hebat dibandingkan dengan tokoh-tokoh yang semeja dengannya, melainkan karena kedudukannya sebagai kepala suku yang berpengaruh di utara. Pesta itu meriah karena hidangan yang serba lezat, arak yang berlimpah-limpah dan terutama sekali karena pesta itu diramaikan oleh serombongan gadis cantik yang memainkan musik, bernyanyi dan menari.
Mereka bukanlah rombongan penyanyi dari luar, melainkan para selir dari Siangkoan Lohan sendiri yang memang terlatih memainkan alat musik, bernyanyi, dan menari. Semua orang menjadi kagum mendengar bahwa gadis-gadis yang muda-muda dan cantik-cantik, pandai bermain musik, menyanyi dan menari itu adalah selir-selir dari tuan rumah! Diam-diam di antara para tamu muda banyak yang timbul perasaan iri hati! Kalau orang sedang berbintang terang, pikir mereka, apa saja kesenangan yang diinginkan tercapai! Kepandaian tinggi, kedudukan mulia, harta benda, kehormatan, berkecukupan lahir batin dan dikelilingi wanita-wanita muda yang cantik-cantik! Demikianlah kebiasaan kita, suka membayangkan keadaan orang lain yang dianggap serba lebih daripada keadaan kita. Kita selalu membayangkan hal-hal yang belum kita miliki,
Membayangkan hal-hal yang kita anggap serba lebih indah, lebih menyenangkan, tanpa kita sadari bahwa semua bayangan keinginan ini sungguh jauh bedanya dengan kenyataannya. Seperti bumi dengan langit bedanya. Karena kita belum memilikinya, maka yang kita bayangkan itu hanyalah segi indah dan senangnya saja. Padahal, tidak ada apa pun di dunia ini yang sifatnya hanya sepihak, hanya indah dan menyenangkan saja. Kalau sesuatu itu menyenangkan, maka sesuatu itu pula pada suatu ketika akan berbalik menyusahkan, karena senang-susah merupakan dua hal yang kembar dan berpasangan, tak terpisahkan pada akhirnya walaupun nampaknya tidak bersamaan. Karena itu, orang yang tidak berkedudukan membayangkan betapa senangnya orang yang berkedudu-kan, terhormat, mulia dan sebagainya.
Sebaliknya, orang yang sudah berkedudukan, di samping kesena-ngannya yang makin lama makin terasa menipis, juga mengalami segi-segi buruknya, akibat daripada kedudukannya itu, seperti pertanggungan jawabnya, iri hati dari orang lain, mereka yang ingin merebut kedudukannya, resiko-resikonya, kebosanannya dan sebagainya lagi. Demikian pula bagi yang tidak memiliki harta, memandang dan membayangkan keadaan orang berharta tentu saja yang dibayangkan hanya segi senangnya saja. Banyak uang, apa pun yang dike-hendaki tercapai! Padahal, tidak semua hal yang dikehendaki dapat dicapai dengan uang! Ketenteraman hati, kedamaian, cinta kasih, semua itu tak dapat dicapai dengan uang segunung sekalipun. Bagi yang sudah banyak uang, maka kenikmatan karena banyak uang sudah tidak terasa, atau kalau pun terasa, makin lama semakin menipis.
Sebaliknya, gang-guan-gangguan yang timbul karena banyak uang, terasa setiap hari! Tiada bedanya dengan memiliki banyak selir cantik, dan lain-lain hal yang dianggap kesenangan luar biasa bagi mereka yang belum memilikinya. Karena itu, seorang bijaksana akan waspada, tidak akan silau oleh semua gemerlap itu, sadar bahwa yang berkilauan itu belum tentu emas, dan kesenangan sama sekali bukanlah kebahagiaan, kesenangan hanya sedalam kulit, bagaikan awan tipis berarak di angkasa, bagaikan angin semilir lembut dan semua itu hanya akan lewat sebentar saja! Bahkan akan nampak betapa di balik kesenangan itu bersembunyi saudara kembarnya, yaitu kesusahan! Maka, seorang bijaksana tidak akan mengejar kesenangan, tidak akan menginginkan hal-hal yang belum dimilikinya. Bukan berarti menolak kesena-ngan yang ada!
Kesenangan hidup merupakan satu di antara anugerah yang boleh dinikmati oleh setiap orang karena untuk menikmatinya kita sudah diberi alat yang amat sempurna. Dari seluruh tubuh kita tersedia sarana yang sempurna untuk menikmati kesenangan, yaitu kesenangan yang ada pada kita. Sekali kita mengejar kesenangan, maka kita akan diperbudak oleh nafsu dan terjadilah pelanggaran-pelanggaran, penyelewengan-penyelewengan. Di antara mereka yang duduk semeja dengan tuan rumah, terdapat seorang yang tidak kelihatan segembira yang lain. Dia nampak acuh saja, hanya lebih sering minum arak daripada makan hidangan dan nonton pertunju-kan hiburan. Bahkan alisnya seringkali berkerut dan sepasang matanya berkilat penuh penasaran kalau memandang ke arah Siangkoan Lohan. Orang ini adalah Ciok Kim Bouw, atau Cin-sa-pangcu.
Hatinya kesal bukan main ketika dia melihat Sin-kiam Mo-li berada di antara orang-orang yang duduk di panggung kehormatan bersama dia dan tuan rumah dan yang lain-lain. Dia mengenal siapa adanya Sin-kiam Mo-li! Seorang datuk sesat, seorang iblis betina yang pernah secara kejam membunuhi beberapa orang murid Cin-sa-pang setelah terjadi bentro-kan antara mereka. Hal itu terjadi kurang lebih sembilan tahun yang lalu. Ketika itu, Cin-sa-pang diketuai oleh suhengnya yang bernama Louw Pa. Dia sendiri tidak mencampuri pekerjaan suhengnya yang memimpin Cin-sa-pang, karena dia tidak suka akan keadaan suhengnya yang pernah menjadi bajak laut. Dia lebih suka berkelana seorang diri dan memperdalam ilmu silatnya. Akan tetapi, terjadilah peristiwa itu. Suhengnya, Louw Pa, mempunyai seorang putera yang bernama Louw Heng Siok.
Pemuda ini menarik perhatian iblis betina Sin-kiam Mo-li yang menangkapnya dan mempermainkannya kemudian membunuhnya. Mendengar ini, Louw Pa memimpin anak buahnya, lebih dari tiga puluh orang banyak-nya, menyerbu tempat kediaman Sin-kiam Mo-li, yaitu di kaki Pegunungan Heng-tuan-san di tepi Sungai Cin-sa. Tempat itu berbahaya sekali dan akhirnya, Louw Pa dan seluruh anak buahnya tewas dibantai oleh Sin-kiam Mo-li dan kawan-kawannya. Hanya seorang saja yang sempat lolos karena belum mema-suki daerah itu sampai dalam, dan dialah yang menceritakan keadaan Louw Pa dan anak buahnya itu.
Melihat keadaan Cin-sa-pang setelah suhengnya tewas, Ciok Kim Bouw lalu turun tangan, membangun kembali Cin-sa-pang, memperkuatnya, menerima anggauta baru dan mengubah sama sekali cara hidup Cin-sa-pang sehingga perkumpulan itu menjadi perkumpulan orang gagah cukup terkenal. Bukan lagi perkumpulan para bajak! Dan dia pun tidak mendendam kepada Sin-kiam Mo-li karena selain iblis betina itu lihai sekali, juga dia menganggap bahwa kematian suhengnya adalah karena kesalahan sendiri. Akan tetapi, kini dia didudukkan semeja, makan bersama dengan iblis betina itu! Tentu saja dia merasa tidak enak dan tidak senang. Tak disangkanya bahwa Siangkoan Lohan yang dianggap sebagai seorang tokoh yang bersih, kini bergaul dengan orang-orang seperti Sin-kiam Mo-li dan para tosu Pat-kwa-pai dan Pek-lian-pai!
Sementara itu, di pihak mereka yang duduk di ruangan dalam, di bawah panggung kehormatan, banyak juga yang merasa penasaran. Apalagi melihat sikap jagoan yang bernama Giam San Ek, yang genit, banyak di antara mereka yang merasa muak. Giam San Ek agaknya sudah setengah mabuk. Tanpa malu-malu setiap kali ada seorang selir habis menari, dia bangkit dari tempat duduknya, menghampiri penari itu dan memberi hadiah beberapa potong perak dengan gaya yang royal! Siangkoan Lohan tersenyum saja melihat hal ini. Toat-beng-kiam-ong Giam San Ek adalah seorang sahabatnya, dan dia tahu benar akan kelihaian pendekar pedang itu, dan dia pun maklum bahwa sahabat ini adalah seorang laki-laki yang mata keranjang dan paling suka wanita muda yang cantik, suatu kesukaan yang menjadi kesukaannya pula.
"Ha-ha-ha, Toat-beng-kiam-ong, kalau engkau suka, boleh engkau memilih satu dua orang di antara mereka untuk menemanimu malam ini, ha-ha-ha!"
Ucapan Siangkoan Lohan itu pun dikeluarkan tanpa sungkan-sungkan, terdengar oleh banyak orang yang merasa semakin muak. Tentu saja banyak pula di antara mereka yang menjadi gembira dan menyambut ucapan itu dengan sorakan. Akan tetapi, orang-orang yang menghargai kegagahan dan kesopanan, tentu saja menjadi merah mukanya mendengar kelakar yang saru (tabu) itu. Yang bermuka tebal adalah Si Raja Pedang Pencabut Nyawa sendiri. Mendengar penawaran tuan rumah, dia tertawa bergelak dan dengan sikap genitnya dia melirik ke arah Sin-kiam Mo-li.
Sejak tadi memang pendekar pedang yang pesolek ini bermain mata dengan Sin-kiam Mo-li. Biarpun datuk wanita ini sudah berusia lanjut, hampir setengah abad, namun harus diakui bahwa ia masih nampak cantik jelita dan lemah lembut, tubuhnya tinggi ramping dan masih padat berisi dan montok, juga pandang mata dan senyumnya menunjukkan bahwa ia adalah seorang wanita yang sudah matang! Sifat-sifat ini jauh lebih meiiarik bagi Giam San Ek daripada para selir tuan rumah yang masih muda-muda dan dianggapnya tentu belum berpengalaman seperti Sin-kiam Mo-li. Juga kabar yang didengarnya tentang kelihaian Sin-kiam Mo-li, terutama dalam permainan pedang sehingga wanita itu dijuluki Pedang Sakti, amat menarik hatinya dan membuat dia semakin bergairah. Maklumlah bahwa dia sendiri juga seorang jago pedang yang hebat.
"Ha-ha-ha, Lohan, banyak terima kasih atas kebaikanmu. Akan tetapi, para selirmu begini muda-muda dan cantikcantik, mana aku dapat bertahan melayani mereka? Dan pula, sejak semula hatiku telah terpikat oleh kehadiran pendekar wanita yang amat hebat, baik dalam hal ilmu pedang maupun kecantikan dan nama besar, sehingga mataku tidak dapat melihat lain wanita lagi!"
Berkata demikian, dia memandang kepada Sin-kiam Mo-li dengan senyum memikat. Mendengar ucapan ini dan melihat sikap sahabatnya yang dia tahu memang seorang yang mata keran-jang, Siangkoan Lohan juga tertawa lagi. Dia mengenal pula watak sahabatnya itu yang polos, maka dia pun tidak mau berlaku sungkan lagi.
"Ha-ha-ha, aku tidak heran, Kiam-ong, kalau kalian saling tertarik karena memang keduanya merupakan ahli pedang yang sukar ditemukan tandingnya. Aih, Sin-kiam Mo-li, di antara sahabat sendiri tidak perlu kita bersungkan-sungkan. Bagaimana kalau engkau dan Kiam-ong saling memperlihatkan ilmu pedang masing-masing dalam suatu latihan bersama untuk meramaikan suasana pesta sederhana ini? Kuharap kalian sudi memenuhi permintaanku, hitung-hitung menyumbang untuk menyenangkan hatiku agar hidupku dapat lebih panjang."
Semua orang merasa tegang, baik mereka yang ikut bergembira maupun yang tidak senang mendengar kelakar mereka yang tidak sopan tadi. Mereka semua sudah mendengar akan nama Sin-kiam Mo-li sebagai seorang wanita iblis yang amat lihai, juga ilmu pedangnya amat hebat, demikian pula nama Toat-beng-kiam-ong Giam San Ek bukan nama yang tidak dikenal orang. Kalau kedua tokoh pedang ini memperlihatkan ilmu pedang mereka tentu akan merupakan tontonan yang amat menarik. Sin-kiam Mo-li yang merasa tertarik kepada si Raja Pedang yang memang tampan dan gagah, dan yang sejak tadi melempar senyum dan kerling mata memikat kepadanya, kini tersenyum manis sekali.
"Aih, Lohan, mana aku berani memperlihatkan kebodohanku di depan Raja Pedang? Jangan-jangan nyawaku akan tercabut dalam beberapa jurus saja!"
Tentu saja wanita ini menyindir karena julukan Giam San Ek adalah Toat-beng Kiam-ong (Raja Pedang Pencabut Nyawa)! Giam San Ek cepat bangkit berdiri dan menjura ke arah Sin-kiam Mo-li sambil berkata,
"Aih, Sin-kiam Sian-li harap jangan merendahkan diri sedemikian rupa, membuat aku merasa malu saja. Sudah lama mendengar nama besar Sian-li, sungguh besar sekali kebahagiaanku hari ini dapat bertemu dan kalau Sian-li sudi, aku akan merasa berterima kasih sekali menerima pelajaran cara memainkan pedang."
Tentu saja hati wanita itu menjadi gembira bukan main. Orang ini sungguh pandai merayu dan mengambil hati, pikirnya. Julukannya adalah Sin-kiam Mo-li (Iblis Betina Pedang Sakti), akan tetapi pria ini mengubah sebutan Mo-li menjadi Sian-li yang berarti dari julukan Iblis Betina berubah menjadi Bidadari!
"Kata orang, belajar tidak mengenal batas, biarlah aku menambah pengetahuanku tentang ilmu pedang dari Kiam-ong,"
Katanya dan ia pun bangkit lalu meninggalkan kursinya, menuju ke tengah panggung yang cukup luas, bersiap menghadapi lawan untuk memperlihatkan kehebatan ilmu pedangnya. Giam San Ek merasa gembira sekali. Dia pun meninggalkan kursinya, lalu berkata kepada Siangkoan Lohan.
"Lohan, sejak dahulu orang mengetahui bahwa sekali aku mencabut pedangku, maka pedang itu tidak akan kembali ke sarungnya sebelum berubah warna menjadi merah. Akan tetapi, tentu saja terhadap Sin-kiam Sian-li aku tidak mau mempergunakan pedangku. Sungguh terlalu sayang kalau sampai ada secuwil kulit dagingnya terluka pedang, segumpal rambutnya sampai terbabat putus. Sungguhpun aku akan merasa bangga kalau tewas di ujung pedang seorang wanita perkasa sepertinya!"
Kembali kata-katanya amat manis terdengar oleh Sin-kiam Mo-li, penuh pujian. Siangkoan Lohan tertawa dan memberi tanda kepada anak buahnya untuk menyerahkan sebatang pedang biasa kepada Raja Pedang itu.
"Bagaimana dengan engkau, Mo-li? Apakah engkau pun tidak tega terhadap Kiam-ong dan ingin mempergunakan pedang pinjaman yang tidak berbahaya?"
Sin-kiam-li tersenyum dan ia pun mencabut pedangnya dengan tangan kanan, dan kebutannya dengan tangan kiri.
"Orang bilang bahwa pedang tidak bermata, akan tetapi aku yakin bahwa pedang dan kebutanku bermata sehingga tidak ada bahayanya aku akan kesalahan tangan mencelakai Kiam-ong, kecuali kalau dia menghendaki hal itu terjadi."
Dalam ucapan Sin-kiam Mo-li ini pun terkandung sindiran bahwa apa yang akan terjadi akibat dari adu kepandaian itu tentu saja tergantung dari Toat-beng Kiam-ong sendiri. Pendeknya, ia siap siaga untuk mengimbangi sikap orang itu. Mau bersahabat dan hanya main-main, boleh, kalau hendak bersungguh-sungguh dan bertanding matian-matian, ia pun tidak gentar! Giam San Ek memandang kagum. Bukan main wanita ini, pikirnya. Sudah banyak dia menggauli wanita sepanjang hidupnya, akan tetapi mereka itu selalu wanita muda yang cantik, dan belum pernah dia bersahabat akrab dengan seorang wanita gagah perkasa seperti ini, maka gairahnya semakin berkobar.
"Sin-kiam Sian-li, mari kita main-main sebentar!"
Teriaknya gembira dan dia pun berseru untuk memberi tanda bahwa dia mulai dengan serangannya. Dan memang hebat serangannya itu.
Agaknya untuk membukti-kan bahwa julukannya sebagai Raja Pedang tidaklah kosong belaka, begitu menyerang, pedangnya berkelebat dan lenyap bentuknya, berubah menjadi sinar bergulung-gulung yang mengeluarkan bunyi berdengung ketika menyambar ke arah Sin-kiam Mo-li. Semua orang menahan napas dengan kagum karena dari gerakan pertama ini saja sudah dapat dilihat bahwa Giam San Ek memang seorang ahli pedang yang hebat. Namun, sambil tersenyum manis Sin-kiam Mo-li mengelebatkan pedangnya menangkis dibarengi kebutannya yang menyambar ke depan, ke arah pelipis kanan lawan. Gerakannya lembut, namun dahsyat mematikan dan serangan balasan itu dilakukan pada saat pedangnya menangkis pedang lawan, sehingga merupakan serangan balasan yang langsung!
"Bagus!"
Kiam-ong memuji sambil meloncat ke belakang menghindarkan kebutan lawan dan menarik kembali pedangnya yang diputar cepat untuk melindungi tubuhnya dari desakan lawan. Perkiraannya benar karena begitu melihat lawan mundur, Mo-li mendesak dengan serangan lanjutan ujung kebutan menotok jalan darah pundak kanan lawan sedangkan pedangnya membabat pinggang.
"Tranggg....!"
Bunga api berpijar ketika dua batang pedang saling bertemu dan dengan gerakan indah Kiam-ong mengelak dari totokan ujung kebutan. Pedangnya yang tadi menangkis, sengaja dipentalkan untuk membalas dengantikaman dari bawah menyerong, menuju ke lambung lawan. Mo-li mengelak cepat dan balas menyerang, namun sekali ini, Kiam-ong mengeluarkan kelihaiannya. Pedang itu berputar cepat membentuk gulungan sinar yang menyelimuti seluruh tubuhnya sehingga serangan Mo-li kembali tertangkis bahkan sebagai balasan, ada sinar pedang mencuat ke arah pangkal kebutan, dengan maksud untuk membabat putus bulu kebutan itu.
"Hemmm, bagus!"
Sin-kiam Mo-li memuji dengan kagum karena sungguh indah gerakan pedang lawan. Pantas orang ini dijuluki Raja Pedang karena memang gerakan pedangnya amat cepat, kuat dan indah sekali. Dari gerakan dasarnya, ia dapat menduga bahwa agaknya si Raja Pedang ini memiliki dasar ilmu silat pedang dari Bu-tong-pai. Akan tetapi tentu telah dibaur dengan ilmu-ilmu pedang lain karena gerakan-gerakannya juga mengandung gerakan ilmu pedang yang diperkuat tendangan dari utara,
juga perputaran badan sambil memutar pedang seperti ilmu pedang dari Korea. Betapapun juga, harus diakuinya bahwa lawannya memang lihai sekali bermain pedang, lihai dan memiliki tenaga yang dahsyat, juga kecepatan yang mengagumkan. Biarpun mereka hanya main-main Mo-li harus mengakui bahwa andaikata ia hanya mengandalkan pedangnya, tanpa dibantu senjata kebutannya yang dalam banyak hal bahkan lebih lihai daripada pedangnya, agaknya akan sukar baginya untuk dapat memenangkan suatu pertandingan ilmu pedang melawan Raja Pedang ini. Makin seru pertandingan itu, semakin kagumlah para tamu karena baru sekarang mereka menyaksikan pertandingan ilmu pedang yang demikian hebatnya.
Siangkoan Lohan juga diam-diam merasa kagum. Sebagai seorang ahli silat tinggi yang berpengalaman, dia pun tahu bahwa gulungan sinar pedang kedua orang ahli itu amatlah berbahaya,
(Lanjut ke Jilid 05)
Kisah Si Bangau Putih (Seri ke 14 - Serial Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 05
baru sinarnya saja sudah cukup untuk dapat membunuh lawan! Untuk membuktikan dugaannya, juga untuk menambah kegembiraan dan kekaguman mereka yang menonton, tuan rumah ini mengambil delapan batang sumpit dari atas meja, kemudian satu demi satu dia melontarkan sumpit-sumpit itu ke arah dua orang yang sedang bertanding ilmu silat pedang. Dan sumpit-sumpit itu begitu tersentuh sinar pedang, tanpa menimbulkan suara, berjatuhan ke atas lantai dalam keadaan terpotong-potong, ada yang menjadi empat, tiga atau dua, seperti lilin-lilin lunak terpotong pisau tajam saja!
Melihat ini, para tamu semakin kagum dan terkejut, juga ngeri. Pantas dikabarkan bahwa setiap kali mencabut pedangnya, pedang itu tentu kembali ke sarungnya dalam keadaan berlepotan darah, kiranya ilmu pedang dari Kiam-ong memang hebat. Akan tetapi, ternyata Sin-kiam Mo-li tidak kalah hebatnya, nampak betapa wanita ini mampu menandingi kehebatan ilmu pedang Toat-beng Kiam-ong. Setelah lewat kurang lebih lima puluh jurus, tiba-tiba dari dua gulungan sinar pedang itu nampak bunga api berpijar dibarengi suara benturan pedang yang nyaring, disusul meloncatnya tubuh Kiam-ong keluar dari kalangan pertempuran. Pedang yang dipegangnya, pedang pinjaman dari murid Tiat-liong-pang tadi, ternyata telah buntung ujungnya! Dia tersenyum dan memberi hormat kepada Sin-kiam Mo-li.
"Sin-kiam Sian-li sungguh lihai bukan main! Aku mengaku kalah dalam pertandingan adu pedang. Akan tetapi dalam hal pertandingan mengadu kekuatan di bidang lain, aku yakin akan mampu mengalahkanmu, Sian-li!"
Ucapan ini bagi mereka yang sudah biasa bercakap-cakap dengan kata-kata yang tak senonoh dan kata sandi yang mengandung makna dalam, memancing senyum mereka. Tentu saja Sin-kiam Mo-li juga maklum apa yang dimaksudkan oleh Raja Pedang itu. Ia pun kagum akan kelihaian orang itu yang tadi banyak mengalah, maka sambil tersenyum manis dan melempar kerling tajam penuh tantangan, ia pun menjawab,
"Dalam bidang apa pun, aku siap menandingimu, Kiam-ong!"
Jawaban ini membuat mulut-mulut yang sudah tersenyum kini menjadi semakin lebar dan Siangkoan Lohan mengeluarkan suara ketawa bergelak.
"Ha-ha-ha, sungguh merupakan pertunjukan ilmu pedang yang amat hebat! Terima kasih, Sin-kiam Mo-li dan Toat-beng Kiam-ong, kalian berdua memang serasi sekali untuk menjadi pasangan dalam hal apa pun, ha-ha-ha!"
Dua orang yang tadi bertanding pedang itu hanya tersenyum mendengar ucapan ini dan kini, seperti sudah mereka sepakati bersama, keduanya lalu mengatur duduk mereka sehingga berdampingan menghadapi meja makan, saling menuangkan arak dan bercakap-cakap secara mesra dan akrab tanpa mempedulikan orang lain!
Sementara itu, ketua Cin-sa-pang yang sejak pertama kali melihat kehadiran datuk-datuk sesat dalam pesta itu sudah merasa tidak senang dan tidak puas, kini tak dapat lagi menahan kemarahannya. Jelaslah kini baginya betapa tuan rumah, Siangkoan Lohan ketua Tiat-liong-pang telah berbalik muka, mengikat persahabatan dengan tokoh-tokoh sesat dan kaum pemberontak. Kalau tadi dia masih ragu-ragu dan mengira bahwa Tiat-liong-pangcu itu hanya menganggap mereka semua sebagai tamu-tamu biasa, saja, kini dia merasa yakin bahwa ada sesuatu di antara mereka, semacam persekutuan dan tentu Siangkoan Lohan memiliki hubungan yang mendalam sekali dengan orang-orang yang amat mencurigainya itu.
Tidak ada seorang pun pendekar gagah di manapun juga yang akan sudi bergaul dengan orang-orang macam Sim-kiam Mo-li, apalagi dengan orang-orang Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-kauw! Mereka adalah orang-orang yang berkedok agama dan perkumpulan, berpakaian pejuang, untuk menyembunyikan kejahatan mereka. Mereka menyebarkan agama sesat, mengumpulkan kekayaan secara tidak bersih, suka mempermainkan wanita dan bersekongkol dengan para pembesar korup dan penindas rakyat. Dan sekarang ketua Tiat-liong-pang bergaul dengan orang-orang seperti itu! Apalagi melihat sikap yang diperlihatkan Siangkoan Lohan terhadap Sin-kiam Mo-li dan Giam San Ek tadi, sungguh membuat hati Ciok Kim Bouw ketua Cin-sa-pang menjadi panas sekali. Dia sudah banyak minum arak dan hawa minu-man keras ini pun menambah berkobarnya api kemarahan dalam hatinya.
"Brakkk....!"
Dia menggebrak meja, tentu saja mengejutkan semua orang yang duduk di panggung kehormatan itu dan semua mata kini ditujukan kepada Ciok Kim Bouw.
Laki-laki tinggi besar bermuka hitam yang matanya lebar sehingga mirip dengan tokoh Sam-kok yang bernama Thio Hwi itu kini bangkit berdiri dan dia kelihatan gagah sekali. Mukanya berubah menjadi semakin hitam gelap karena warna merah yang menjalar di mukanya akibat kebanyakan minum arak. Dia sama sekali tidak mabuk walaupun telah banyak minum arak, namun hawa panas arak itu membuat hatinya yang sudah marah menjadi semakin bernyala besar. Sejenak dia memandang kepada semua tamu yang hadir semeja dengannya di tempat kehormatan itu, kemudian dia menatap tajam kepada Siangkoan Lohan yang juga sudah bangkit berdiri mengerutkan alisnya melihat sikap tamunya ini. Siangkoan Lohan tidak pernah mempunyai hubungan akrab dengan ketua Cin-sa-pang, dan mengundangnya karena nama Cin-sa-pangcu ini memang terkenal sekali.
"Adakah sesuatu yang tidak menyenangkan hatimu, Ciok-pangcu, maka engkau menggebrak meja?"
Tanya Siangkoan Lohan sambil memicingkan mata menatap wajah tamunya itu penuh selidik.
"Siangkoan, Pangcu, seorang gagah tidak akan menyimpan penasaran di dalam hatinya dan sebaliknya kalau pena-saran itu dikeluarkan saja dengan terus terang! Karena itulah, kalau pernyataanku ini akan menyakiti hati dan menyinggung, sebelumnya harap dimaafkan."
Suara ketua Cin-sa-pang ini lantang sekali sehing-ga terdengar oleh semua tamu, baik yang berada di ruangan dalam bahkan terdengar pula oleh mereka yang duduk di luar. Mendengar ucapan yang lantang ini, semua tamu menghentikan percakapan mereka sendiri dan suasana menjadi hening karena semua orang mendengarkan penuh perhatian. Siangkoan Lohan tertawa,
"Ha-ha-ha, memang seharusnya demikian Ciok Pangcu. Nah, keluarkanlah isi hatimu!"
"Kami semua telah mendengar akan riwayat Tiat-liong-pang, mengenal perkumpulan besar ini sebagai perkumpulan orang-orang gagah, dan diakui pula oleh pemerintah, bahkan keluarga pimpinannya masih ada hubungan dekat dengan keluarga kaisar! Karena itu, ketika menerima undangan, kami bergegas datang berkunjung untuk memberi hormat karena memang di dalam hati kami terdapat rasa hormat kepada pimpinan Tiat-liong-pang yang gagah perkasa dan sudah banyak jasanya terhadap pemerintah maupun terhadap rakyat dengan pembersihan yang dilakukan terhadap para penjahat. Akan tetapi, apa yang kami temukan di sini sungguh jauh daripada dugaan kami semula! Di sini kami tidak melihat adanya wakil pemerintah, juga tidak melihat partai-partai persilatan besar yang dipimpin para pendekar. Sebaliknya kami melihat banyak orang yang tidak sepatutnya hadir di sini, seperti orang-orang Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai, dan terutama sekali orang seperti Sin-kiam Mo-li. Siapakah yang tidak tahu bahwa ia adalah seorang datuk sesat, seorang wanita iblis yang tidak mengharamkan segala macam perbuatan jahat? Siangkoan Lohan, pertemuan macam apakah yang kau adakan sekarang ini? Pertemuan di antara para penjahat dan pemberontak? Kalau begitu, sungguh amat mengherankan sekali!"
"Keparat bermulut lantang!"
Tiba-tiba terdengar suara Sin-kiam Mo-li membentak dan tubuhnya sudah melayang ke arah ketua Cin-sa-pang. Bagaikan seekor burung garuda saja, iblis betina itu menyerang dengan loncatan melalui atas meja perjamuan mereka karena Ciok Kim Bouw duduk di seberang. Melihat serangan dengan cengkeraman kedua tangan ke arah kepala dan pundaknya itu, ketua Cin-sa-pang maklum akan datangnya bahaya maut, maka dia pun mengerahkan tenaga untuk menangkis dengan kedua tangannya.
"Bresss....!"
Dua pasang lengan saling bertemu dan akibatnya, Ciok Kim Bouw hampir terpelanting, akan tetapi tubuh Sin-kiam Mo-li juga terdorong ke samping di mana wanita itu dapat berjungkir balik dengan indahnya. Keduanya sudah meraba gagang senjata ketika Siangkoan Lohan berseru keras,
"Kalian tidak boleh membikin ribut di sini!"
Bentakan ini berwibawa sekali dan baik Sin-kiam Mo-li maupun Ciok Kim Bouw tidak berani bergerak melakukan serangan. Bahkan sambil tersenyum mengejek Sin-kiam Mo-li melangkah kembali ke kursinya di dekat Toat-beng Kiam-ong Giam San Ek.
Akan tetapi Ciok Kim Bouw tetap berdiri dan kini dia saling pandang dengan tuan rumah. Wajah Siangkoan Lohan yang biasanya memang merah itu kini menjadi semakin merah dan matanya mencorong tajam, ada api kemarahan terpancar di dalamnya. Kemudian dia melirik ke arah para tamu yang duduk di ruangan dalam. Alisnya berkerut ketika dia melihat kurang lebih dua puluh orang tamu sudah bangkit berdiri dan sikap mereka seolah-olah mereka itu mendukung pernyataan ketua Cin-sa-pang dan mereka semua itu kini memandang kepadanya dengan sinar mata mengandung penuh pertanyaan dan keraguan. Suaranya terdengar tegas ketika dia bicara, bukan ditujukan kepada Ciok Kim Bouw ketua Cin-sa-pang, akan tetapi juga kepada semua tamu, terutama mereka yang berdiri dan nampaknya berpihak kepada pernyataan Ciok Kim Bouw tadi.
"Ciok-pangcu, semua tamu yang kuundang adalah sahabat-sahabat dari semua golongan! Mereka yang menjadi tamuku saat ini maklum belaka bahwa mereka datang untuk merayakan hari ulang tahunku yang ke enam puluh. Pertemuan ini adalah pesta perayaan ulang tahun, bukan pertemuan yang membicarakan urusan politik. Siapa yang kuundang itu merupakan hakku dan agaknya tidak perlu aku minta nasihat darimu. Kalau engkau merasa tidak suka dengan pesta ini, engkau boleh pergi dan aku tidak akan menahanmu! Siapapun di antara para tamu yang tidak suka akan keadaan di sini, boleh saja pergi!"
Kalimat terakhir ini jelas ditujukan kepada para tamu yang masih berdiri. Terdengar suara ketawa dan ternyata yang tertawa itu adalah Toat-beng Kiam-ong Giam San Ek. Jagoan ini merasa mendongkol bukan main melihat Sin-kiam Mo-li yang dianggapnya sebagai calon kekasih barunya, tadi dihina oleh orang, maka kini dia hendak melampiaskan rasa dongkolnya.
"Ha-ha-ha, setelah kekenyangan makan dan minum, sengaja mencari alasan untuk mencela dan pergi. Ha-ha-ha, sungguh tidak tahu malu!"
Mendengar ucapan ini dan melihat betapa Siangkoan Lohan ikut pula mentertawakannya, Ciok Kim Bouw membuka mulut dan memasukkan jari telunjuk kanan ke dalam tenggorokannya. Segera dia muntah-muntah dan keluarlah semua makanan dan minuman yang tadi memasuki perutnya!
"Siangkoan-pangcu, lihat semua yang kumakan dan kuminum sudah kukembalikan! Sekarang dengarlah baik-baik. Sin-kiam Mo-li dan kawan-kawannya dari Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai pernah membunuh tiga puluh orang lebih murid Cin-sa-pang! Aku tidak mendendam untuk itu karena memang pihak Cin-sa-pang ketika itu ada pula yang bersalah. Akan tetapi, melihat betapa kini ia dan kawan-kawannya duduk bersamaku di sini, sungguh aku merasa terhina sekali. Sekarang aku tantang Sin-kiam Mo-li atau orang-orang Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai!"
"Orang she Ciok!"
Siangkoan Lohan membentak.
"Engkau sungguh tak tahu diri. Engkau adalah tamu, mengerti? Dan aku tuan rumah! Aku larang engkau membikin rusuh di sini dan menantang para tamuku!"
"Kalau begitu, aku menantang engkau. Siangkoan Lohan, karena engkau kini telah menyeleweng dan melindungi datuk-datuk sesat, dan telah mengusirku berarti telah menghinaku!"
Setelah berkata demikian, Ciok Kim Bouw lalu meloncat ke tengah panggung dan mencabut golok besarnya. Bagi seorang gagah, nama dan kehormatan lebih penting daripada nyawa. Dia tadi telah dihina orang, bahkan diusir, maka satu-satunya jalan untuk mencuci penghinaan ini hanyalah mengadu nyawa di ujung senjata. Mendengar tantangan ini, semua tamu di ruangan dalam dan luar menjadi tegang. Tak mereka sangka akan terjadi pertentangan seperti itu. Siangkoan Lohan sendiri menjadi marah, akan tetapi wajahnya yang merah itu masih nampak tersenyum walaupun sinar matanya makin mencorong. Dia bangkit dari tempat duduknya dan menjura kepada para tamunya,
"Harap Cu-wi (Anda sekalian) suka memaafkan kami karena kami terpaksa harus menyingkirkan dulu pengacau ini."
Akan tetapi pada saat itu, terdengar suara halus.
"Harap Ayah duduk saja dan biarkan aku yang mengusir anjing yang banyak menggonggong ini."
Semua orang melihat munculnya seorang pemuda. Begitu saja dia muncul dan tahu-tahu berada di atas panggung. Entah dari mana datangnya.
Mungkin karena semua orang tadi mencurahkan perhatian kepada Ciok Kim Bouw dan Siangkoan Lohan, maka tidak melihat munculnya pemuda ini karena memang pemunculannya amat luar biasa. Bagaikan seekor burung walet saja tadi dia melompat dari bawah panggung dan hinggap di atas panggung dengan sikap yang amat tenang. Mendengar ucapan pemuda ini, semua orang yang belum pernah mengenalnya baru tahu bahwa inilah putera Siangkoan Lohan, putera dan anak tunggal yang bernama Siangkoan Liong dan semua orang tertegun dan kagum. Siangkoan Liong memang amat mengagumkan. Seorang pemuda yang bertubuh sedang, berusia kurang lebih dua puluh enam tahun, dengan wajah yang tampan sekali. Begitu tampannya wajah itu sehingga seperti wajah wanita saja.
Kulit mukanya putih halus, dengan hidung mancung dan bibir merah, akan tetapi sepasang matanya mencorong seperti mata naga, seperti mata ayahnya dan alis yang tebal hitam itu menghilangkan keraguan orang bahwa dia adalah seorang pria tulen. Pakaiannya seperti seorang siu-cai (sastrawan) namun mewah, seperti biasa pakaian seorang pemuda bangsawan terpelajar. Gerak-geriknya halus lembut dan seperti gerak-gerik seorang sastrawan tulen yang tidak mengenal ilmu silat. Padahal, ilmu silat pemuda ini, tidak kalah hebat dibandingkan dengan ayahnya, setidaknya sudah hampir menyusul-nya. Kini dengan sikapnya yang lembut, Siangkoan Liong menghadapi Ciok Kim Bouw, sejenak mereka saling pandang seperti dua ekor ayam jago yang saling menilai dan mengukur kekuatan lawan melalui pandang mata.
"Paman, apa pun yang telah terjadi, engkau sebagai seorang tamu telah melakukan pelanggaran sopan santun. Aku tidak tahu apa persoalannya dan tidak ingin pula tahu, akan tetapi aku melihat betapa dengan sengaja Paman telah menumpahkan makanan dan minuman suguhan Ayah ke atas lantai, menimbulkan kejijikan dan kotor. Oleh karena itu, kalau Paman mau membersihkan kotoran yang Paman tumpahkan, kemudian pergi dari sini dengan aman, aku pun menganggap urusan ini selesai dan akan mintakan maaf kepada ayahku. Nah, bersihkan lantai itu, Paman"
Biarpun sikap dan omongannya halus, namun Ciok Kim Bouw merasa terhina sekali. Bagaimana dia akan dapat melihat dunia kang-ouw kalau dia menuruti permintaan ini, membersihkan lantai dari tumpahan perutnya tadi, di depan sekian banyaknya para tamu?
"Orang muda, sikapmu jauh lebih baik daripada ayahmu. Akan tetapi engkau tidak tahu mengapa aku menumpahkan semua makanan itu ke atas lantai. Aku terpaksa melaku-kan itu, dan siapapun yang menyuruhku, aku tidak akan sudi membersihkannya. Terserah kepadamu, akan tetapi aku tidak sudi membersihkan tumpahan itu!"
Sepasang mata yang jeli itu mengeluarkan sinar berkilat.
"Paman, aku tidak suka bermusuhan dengan siapapun, akan tetapi aku tadi mendengar tantanganmu kepada ayahku. Kalau engkau tidak mau membersihkannya, terpaksa aku akan mewakili Ayah untuk memberi hajaran kepadamu."
Sikap ini terlampau memandang rendah dan tentu saja Ciok Kim Bouw menjadi marah. Kiranya di balik kelemah-lembutan sikap pemuda ini tersembunyi kesombo-ngan yang luar biasa.
"Orang muda, tidak perlu banyak cakap lagi. Keluarkan senjatamu dan mari kau coba untuk memberi hajaran kepadaku!", tantangnya sambil melintangkan golok besarnya di depan dada. Golok besar dan berat, berkilauan saking tajamnya dan nampak mengerikan. Ciok Kim Bouw adalah seorang yang lihai, dan dengan golok di tangannya, dia seperti seekor harimau tumbuh sayap. Para tamu ingin sekali melihat bagaimana putera tuan rumah ini akan menghadapi Ciok Kim Bouw atau Cin-sa-pangcu yang lihai itu dan senjata apa yang akan dipergunakannya. Akan tetapi, betapa kaget dan heran hati mereka ketika melihat pemuda itu tersenyum berkata lembut,
"Paman, pergunakanlah golokmu, aku akan menghadapimu dengan kedua tangan kosong saja."
Ciok Kim Bouw sendiri terbelalak mendengar ini. Betapa sombongnya anak ini, pikirnya. Menghadapi golok besarnya dengan tangan kosong? Siapa tokoh di dunia persilatan akan berani melakukan hal itu? Akan tetapi, pemuda itu sendiri yang mencari penyakit. Dia akan menghajar pemuda ini, tentu saja tidak berniat untuk membunuhnya atau melukai-nya secara hebat.
"Baiklah, agaknya engkau memiliki kepandaian yang setingkat mendiang guruku maka berani menghadapi golokku dengan tangan kosong. Nah, bersiaplah untuk menerima seranganku, orang muda yang sombong!"
Ciok Kim Bouw memberi kesempatan kepada pemuda itu untuk mempersiapkan diri dengan memasang kuda-kuda, akan tetapi, pemuda itu tetap berdiri seperti tadi, seperti orang bermalas-malasan, dengan kedua lengan tergantung di kanan kiri, berdiri seenaknya.
"Aku sudah siap siaga, Paman. Mulailah dengan seranganmu!"
"Bagus! Lihat golokku!"
Bentak Ciok Kim Bouw sebelum menyerang dan di lain detik, goloknya telah berubah menjadi sinar menyilaukan mata yang menyambar-nyambar. Golok itu membuat gulungan sinar putih yang lebar, dan menyerang ke arah pemuda itu dari berbagai jurusan, bertubi-tubi dan susul menyusul, ganas bagaikan seekor burung garuda menyambari anak-anak ayam. Kalau tadinya para tamu merasa terkejut dan khawatir, kini mereka memandang dengan mata terbelalak dan mulut celangap.
Mereka melongo melihat betapa tubuh pemuda itu pun lenyap dan kini hanya nampak bayangannya saja berkelebatan di antara gulungan sinar golok! Hebat bukan main tontonan itu. Kiranya pemuda itu memiliki gin-kang (ilmu meringankan tubuh) yang luar biasa sekali, yang membuat dia dapat menyelinap di antara sambaran golok secara cepat. Diam-diam Ciok Kim Bouw sendiri terkejut bukan main. Tak disangkanya bahwa putera Siangkoan Lohan yang masih semuda itu telah memiliki ilmu yang demikian hebat. Dia merasa seperti menyerang sesosok bayangan saja, maka kalau tadinya dia hanya ingin mengalahkan pemuda itu tanpa melukainya, hal itu kini sama sekali tidak mungkin dan dia pun menyerang dengan sungguh-sungguh, mengerahkan tenaganya dan mengeluarkan jurus-jurus terampuh dari ilmu goloknya. Namun, tetap saja bayangan pemuda itu tidak dapat tercium ujung goloknya,
Bahkan kini pemuda itu membalas dengan tamparan-tamparan dan tendangan yang cepat datangnya, yang beberapa kali hampir saja mengenai tubuhnya. Dari serangan balasan ini pun dia sadar bahwa selain ilmu meringankan tubuh yang hebat, pemuda itu memiliki pula sin-kang (tenaga sakti) yang amat kuat sehingga tamparannya didahului angin pukulan yang mantap. Maklumlah dia bahwa dia menghadapi seorang lawan yang amat lihai. Pantas saja pemuda ini tadi demikian sombong-nya, tidak tahunya memang berkepandaian tinggi sekali. Para penonton kini banyak yang melongo dan penuh kagum. Bahkan Sin-kiam Mo-li sendiri sampai terbelalak kagum. Ia dapat menilai ilmu golok ketua Cin-sa-pang itu. Jauh lebih lihai dibandingkan dengan mendiang Louw Pa, ketua Cin-sa-pang yang dulu.
Ia sendiri tentu akan sanggup merobohkan Ciok Kim Bouw, akan tetapi jelas tidak dengan kedua tangan kosong! Dan kini apa yang dilihatnya? Seorang pemuda berusia muda sekali paling banyak dua puluh tahun, menghadapi ketua Cin-sa-pang itu dengan tangan kosong, bahkan ia melihat benar betapa pemuda itu mempermainkan lawannya! Bukan main! Dan pemuda itu demikian tampan, seperti perempuan! Kagumlah hatinya. Ia sudah mendengar betapa tuan rumah hanya memiliki seorang anak, yaitu laki-laki yang tidak pernah diperkenalkan kepada para tamunya. Bahkan ketika diadakan pesta tadi, pemuda ini tidak memperlihatkan diri. Sekarang, kemunculannya menggegerkan orang. Tiba-tiba sebuah tangan menyentuh lengannya. Sin-kiam Mo-li menengok dan ternyata Toat-beng Kiam-ong yang menyentuhnya dan memandangnya dengan alis berkerut.
"Engkau kagum melihatnya? Ingat, ada aku di sini...."
Bisik laki-laki itu, agak cemburu. Sin-kiam Mo-li tersenyum dan memutar lengannya sehingga tangannya dapat menangkap tangan Raja Pedang itu, lalu digenggamnya sejenak sebelum dilepas lagi.
"Ihhh, belum apa-apa sudah cemburu,"
Bisiknya kembali.
"Akan tetapi, hati siapa yang tidak kagum kepada pemuda itu? Masih begitu muda, akan tetapi kepandaian silatnya sudah demikian lihainya!"
"Tidak perlu diherankan, memang Siangkoan Liong amat lihai, mungkin sekarang malah lebih lihai dari ayahnya sendiri,"
Kata Giam San Ek yang mengenal baik keadaan keluarga sahabatnya itu.
"Ehhh? Bukankah ayahnya yang menjadi gurunya?"
"Benar, guru pertama. Akan tetapi dua tahun yang lalu dia bertemu dengan seorang manusia dewa yang menjadi gurunya...."
"Manusia dewa....?"
"Ssttt, lihat....!"
Kata Toat-beng Kiam-ong sambil menunjuk ke arah dua orang yang masih bertanding dengan seru itu. Sin-kiam Mo-li cepat menengok dan kini terjadi perubahan pada pertempuran itu. Gulungan sinar golok menjadi lemah dan menyempit, dan ternyata pemuda itu yang kini mendesak dengan tamparan-tamparan dan tendangannya yang dilakukan amat cepat dan dengan cara aneh dari segala posisi! Akhirnya, betapapun Ciok Kim Bouw hendak bertahan, sebuah tendangan mengenai tangannya yang memegang golok, disusul totokan pada siku kanannya.
"Tranggg....!"
Golok itu terpaksa lepas dari tangannya dan jatuh ke atas lantai! Ciok Kim Bouw berdiri tegak, memegang siku lengan kanan dengan tangan kiri dan memijit-mijitnya karena lengan kanan itu setengah lumpuh. Kemudian dengan muka berubah agak pucat dia mengangguk ke arah Siangkoan Lohan dan berkata dengan suara lantang,"
"Siangkoan Lohan, aku Ciok Kim Bouw hari ini mengaku kalah terhadap puteramu. Sudahlah, aku memang tidak berguna dan juga tidak sudi untuk bergaul dengan datuk-datuk sesat!"
Dia lalu memungut goloknya dan melangkah keluar dari tempat pesta. Dua puluh orang lebih yang tadi mendukungnya, kini juga bangkit berdiri dan meninggalkan tempat itu tanpa banyak cakap. Mereka adalah orang-orang yang selalu menentang golongan sesat, dan merasa betapa kini Siangkoan Lohan telah berubah dan mereka tidak mau ikut terlibat dalam urusan persekutuan dengan datuk-datuk sesat. Ketika mereka yang keluar dari tempat pesta itu tiba di ruang luar, ternyata masih ada lagi belasan orang yang ikut pula meninggal-kan tempat itu! Melihat ini, Siangkoan Lohan mengerutkan alisnya.
Kisah Si Bangau Putih Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Siancai"., kalau mereka semua dibiarkan pergi, tentu gerakan kita akan gagal sebelum dimulai!"
Kata Thian Kek Sengjin, tokoh besar Pek-lian-kauw itu kepada Siangkoan Lohan. Ketua Tiat-liong-pang itu mengangguk-angguk sambil mengerutkan alisnya, kemudian memberi tanda dengan tangan. Lima orang murid kepala cepat datang menghadap.
"Bawa teman-teman dan saudara-saudara secukupnya, mereka tadi harus dibasmi. Kalian tahu apa yang harus dilakukan,"
Katanya dan lima orang murid itu mengangguk, lalu menyelinap pergi.
"Aih, ini adalah tugas kita bersama,"
Kata Sin-kiam Mo-li.
"Aku akan membantu anak buahmu, Lohan."
"Aku akan membantumu pula, Sian-li,"
Kata Toat-beng Kiam-ong sambil mengikuti wanita cantik itu. Thian Kong Cinjin, wakil ketua Pat-kwa-kauw, dan Thian Kek Sengjin tokoh Pek-lian-kauw, juga cepat bangkit berdiri dan meninggalkan tempat itu, bersama beberapa orang tokoh lain yang sudah tahu apa yang harus mereka lakukan. Siangkoan Liong setelah mengalahkan Cok Kim Bouw, acuh saja melihat kesibukan teman-teman ayahnya. Dia hanya mendekati ayahnya dan berkata lirih,
"Ini akibat kekurang telitian Ayah sendiri yang mengundang orang-orang itu."
Setelah berkata demikian, dengan suara mengandung penyesalan, dia pun pergi masuk ke dalam gedung, membiarkan ayahnya duduk kembali sambil mengerutkan alisnya. Dengan hati penuh perasaan penasaran dan kemarahan Ciok Kim Bouw ketua Cin-sa-pang meninggalkan perkampungan Tiat-liong-pang di lereng bukit itu, menuruni bukit dengan langkah lebar. Hatinya penuh dengan perasaan marah dan malu, juga penasaran sekali. Jelaslah bahwa Tiat-long-pang mengambil jalan sesat, bukan hanya bergaul dengan penjahat, datuk sesat, bahkan juga dengan tokoh-tokoh pemberontak.
Akan tetapi, Tiat-liong-pang kuat sekali, dan melihat betapa puteranya saja sedemikian lihainya, sukar diukur bagaimana tingginya ilmu kepandaian Siangkoan Lohan. Dia bergidik kalau teringat akan kehebatan ilmu silat lawannya yang masih muda remaja tadi. Dan dia merasa menyesal, bukan main karena semua waktunya selama puluhan tahun dipergunakan untuk belajar silat, ternyata kini menghadapi seorang pemuda remaja saja dia kalah! Padahal dia mempergunakan golok yang diandal-kan, sedangkan pemuda itu bertangan kosong. Tiba-tiba dia menggaruk siku lengan kanannya, terasa gatal-gatal. Ketika dia menggaruknya, dia meringis karena begitu digaruk terasa panas bukan main. Dia berhenti melangkah dan menggulung lengan baju untuk melihat lengannya. Terkejutlah dia melihat betapa di lengan bawah, di bawah siku, terdapat tanda merah kebiruan sebesar jari tangan.
Itulah kiranya yang terasa gatal dan ganas! Makin terkejutlah dia ketika teringat bahwa ketika dia dikalahkan oleh pemuda tadi, bagian lengan itu tertotok yang membuat lengannya lumpuh dan goloknya terlepas. Agaknya totokan itulah yang mendatangkan bekas yang gatal dan panas ini. Selagi dia hendak melanjutkan perjalanan dekat dengan kaki bukit itu, tiba-tiba berkelebat dua sosok bayangan orang dan terdengar suara seorang wanita tertawa mengejek. Dia mengangkat mukanya dan Sin-kiam Mo-li bersama Toat-beng Kiam-ong Giam San Ek telah berada di depannya, berdiri sambil tersenyum dan tertawa mengejek! Ciok Kim Bouw tentu saja dapat menduga bahwa munculnya wanita ini tentu tidak mengandung niat baik, maka dia pun sudah mencabut golok besarnya dan menghardik.
"Iblis betina, mau apa engkau menghadangku?"
"Hi-hi-hik, Cin-sa-pang! Selama ini aku tidak pernah tahu ketua Cin-sa-pang telah memiliki seorang ketua baru seperti engkau. Sekarang, setelah engkau berani menghinaku di tempat umum, engkau masih bertanya lagi mau apa aku menghadangmu? Tentu saja untuk membunuhmu!"
"Bagus! Memang saat ini yang kutunggu-tunggu, yaitu membunuhmu atau mati di tanganmu. Dan engkau, Toat-beng Kiam-ong, apakah jagoan seperti engkau hendak membantunya mengeroyok aku? Majulah, jangan kira aku takut menghadapi kalian!"
Tantangnya, mendahului lawan karena dia maklum bahwa tentu orang ini berpihak kepada Sin-kiam Mo-li. Toat-beng Kiam-ong Giam San Ek tertawa bergelak.
"Ha-ha-ha, engkau sungguh tak tahu diri. Melawan seorang pemuda remaja bertangan kosong saja engkau keok (kalah), perlu apa membantu Sian-li. Biar engkau memecah diri menjadi rangkap sepuluh, akan mampus satu demi satu di tangan Sian-li!"
"Iblis betina, bersiaplah untuk mampus!"
Bentak Ciok Kim Bouw lantang sambil menyerang dengan goloknya. Dia merasa betapa lengan di bagian dekat siku terasa nyeri, akan tetapi dia tidak peduli dan terus menyerang sekuat tenaga dan dengan kemarahan meluap-luap. Dia sudah nekat karena maklum bahwa sekali ini, akibat perkelahian itu hanya dua, yaitu kalah dan mati, atau menang dan hidup. Biarpun dia tahu bahwa untuk menang amatlah sukarnya, apalagi di situ berdiri si Raja Pedang yang pasti akan membantu iblis betina itu, namun sedikitnya dia tidak merasa gentar dan menyerang dengan ganas dan dahsyat. Sambil tersenyum mengejek, Sin-kiam Mo-li menggerakkan pedangnya menangkis dan membalas dengan serangan kebutannya yang bulu-bulunya mengandung racun jahat.
Suling Naga Eps 18 Suling Naga Eps 27 Kisah Pendekar Pulau Es Eps 41