Suling Naga 27
Suling Naga Karya Kho Ping Hoo Bagian 27
Siu Kwi membelalakkan kedua matanya. Tidak membutuhkan kebahagiaan! Pemuda sederhana ini tidak membutuhkan kebahagiaan! Sedangkan ia yang berenang di dalam kemewahan begitu rindu dan butuh akan kebahagiaan karena merasa tidak bahagia, karena merasa nelangsa dan berduka. Agaknya itulah jawabannya. Pemuda itu berbahagia di dalam kesederhanaannya, berbahagia karena tidak butuh bahagia lagi. Dan ia yang berduka, merasa ditinggalkan kebahagiaan, maka ia amat membutuhkan kebahagiaan! Kalau saja ia tidak berduka, kalau saja ia dapat menikmati segalanya seperti pemuda ini, tentu iapun tidak akan butuh kebahagiaan karena sudah berbahagia!
"Ya, tentu engkau berbahagia, karena engkau bekerja sambil bernyanyi-nyanyi gembira. Engkau tentu seorang yang hidup berbahagia,"
Katanya lagi, memandang wajah dan tubuh pemuda itu dengan kagum. Pemuda itu mengerutkan alis sejenak, lalu mengangguk-angguk pula.
"Boleh jadi. Aku dapat melihat semua keindahan pagi ini, dapat mendengarkan kicau burung yang gembira, melihat bunga-bunga dan pohon-pohon, mencium keharuman tanah yang kucangkul, dapat menghirup udara segar dengan bebas, kalau lapar dapat makan dan kalau haus dapat minum, memiliki pekerjaan. Mau apa lagi?"
Siu Kwi semakin tertarik dan memandang kagum. Bukan kagum dan bukan seperti biasanya tertarik oleh laki-laki karena dorongan nafsu berahi. Bukan sama sekali. Sekali ini, ada sesuatu yang aneh terjadi di dalam hatinya. Ia merasa tertarik dan kagum karena ia melihat betapa laki-laki yang berlepotan lumpur ini lebih utuh sebagai manusia dari pada dirinya sendiri. Laki-laki ini jauh lebih berarti dalam kehidupan ini. Ia seperti melihat mutiara gemerlapan di dalam lumpur. Seorang pemuda yang amat polos, jujur terbuka, bersih seperti batu kemala yang belum digosok,
Nampak kasar dan biasa saja namun mengandung keindahan yang amat berharga di dalamnya. Jawaban pemuda itu merupakan suatu pelajaran yang tak ternilai harganya, walaupun pemuda itu tidak sengaja hendak mengajarkan sesuatu kepadanya. Memang demikianlah. Guru berada di mana-mana kalau saja kita mau membuka mata lahir batin dan mau mengamati segala sesuatu di dalam dunia ini, di luar dan di dalam diri sendiri, secara seksama dan waspada. Melayangnya sehelai daun kering dari atas pohon karena patah dari tangkainya, sudah dapat merupakan suatu pelajaran tentang hidup dan mati. Dalam mempelajari dan mengerti tentang hidup, tak perlu mencari guru dalam bentuk seorang manusia, karena kehidupan adalah sesuatu yang bergerak terus. Kehidupan adalah suatu kenyataan yang kita hayati sendiri.
Sedangkan apa yang dapat diajarkan oleh seorang guru hanyalah pengetahuan mati tentang kehidupan. Jawaban pemuda petani itupun dapat merupakan suatu pembukaan rahasia tentang kebahagiaan. Dia sudah dapat menerima segala sesuatu yang ada sebagai suatu kenikmatan hidup. Dia TIDAK MENCARI SESUATU YANG TIDAK ADA PADANYA! Karena itulah dia tidak merasa kekurangan apa-apa, dia tidak mengejar apa-apa. Kalau sudah begitu, tentu saja tidak ada kekecewaan, tidak ada iri, tidak ada kebutuhan akan sesuatu dan tidak ada duka. Dan kalau sudah begini, tentu saja dia tidak membutuhkan kebahagiaan, karena kebutuhan akan kebahagiaan muncul apabila kita merasa bahwa kita tidak bahagia! Kalau semua orang seperti pemuda petani itu, tentu tidak akan ada kemajuan! Demikian orang membantah.
Mungkin dia benar! Akan tetapi, apakah yang kita namakan kemajuan itu? Kita mendambakan kemajuan, kita mengagung-agungkan kemajuan. Akan tetapi apakah sebenarnya kemajuan itu? Model celana dipotong pendek, lalu panjang lagi, lalu pendek lagi, panjang lagi. Sempit, lalu long-gar, sempit lagi. Itukah kemajuan? Benda-benda dibikin modern agar LEBIH MENYENANGKAN. jadi, kemajuan berarti pengejaran sesuatu yang dianggap lebih menyenangkan! Itukah kemajuan? Dan sampai di mana kita sekarang ini maju? Sudah majukah? Sudah sampai di batas manakah? Matahari menyinarkan cahayanya yang cerah. Burung-burung berkicau di pohon-pohon. Bunga-bunga mekar semerbak harum. Sejak jutaan tahun yang lalu sudah begitu, dan terus begitu. Semua itu tidak mengejar kemajuan, melainkan bertumbuh dengan wajar.
Apakah keadaan alam seperti itu dapat kita katakan tidak maju? Pikiran yang didorong oleh keinginan untuk mencari kesenangan yang lebih, tidak mungkin berdaya cipta (creative). Tidak akan menjadikan kita bijaksana dan cerdas. Sebaliknya, pikiran yang selalu mengejar kesenangan yang lebih akan menjadi licik penuh akal, kejam dan tak pernah puas. Perbaikan keadaan tentu terjadi karena manusia mempergunakan akal budi yang memang sudah ada padanya sejak lahir. Keburukan hidup menghadapi alam, akan mendorong manusia mempergunakan akal budinya untuk mengatasi segala kesukaran. Daya cipta akan berkembang secara wajar, demi kesejahteraan hidup, bukan demi pergejaran kesenangan. Selagi Siu Kwi termenung karena jawaban pemuda tani itu, tiba-tiba pemuda itu nampak gelisah.
"Nona, harap kau cepat bersembunyi di balik pohon dan semak-semak itu. Cepat, di sana datang tiga orang pemuda berandalan. Mereka baru sepekan berkeliaran di sini, dan mereka itu pemuda-pemuda dari kota yang berandalan. Cepat, bersembunyilah, nona, agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan."
Siu Kwi sadar dari lamunannya dan ia menengok. Benar saja, dari jauh nampak tiga orang laki-laki yang agaknya bicara sambil bergurau dan tertawa-tawa. Akan tetapi mereka masih terlalu jauh untuk dapat didengar apa yang mereka bicarakan dan untuk melihat orang-orang macam apa adanya mereka.
Kalau menurut wataknya yang biasa, tentu saja Siu Kwi akan memandang rendah segala pemuda berandalan seperti itu. Akan tetapi sekali ini memang terjadi hal yang aneh dalam hati Ciong Siu Kwi. Mendengar ucapan pemuda petani itu, ia tidak membantah, melainkan cepat-cepat pergi bersembunyi di balik semak-semak tak jauh dari tempat itu, di tepi jalan dekat pohon besar. Makin dekatlah tiga orang laki-laki yang keluyuran sambil bersenda-gurau itu dan akhirnya mereka tiba di tepi sawah di mana pemuda petani itu sudah melanjutkan pekerjaannya yang tadi, yaitu mencangkul tanah. Tiga orang pemuda iseng itu sejak tadi memang sudah merasa bosan karena tempat itu sunyi dan kini melihat pemuda yang sedang mencangkul tanah, timbul kegembiraan mereka. Mereka menemukan seorang yang dapat dijadikan bahan olok-olok dan keberandalan mereka.
"Hei, lihat itu si tolol bekerja keras!"
Teriak orang pertama yang kepalanya besar dan kedua telinganya kecil seperti telinga tikus.
"Ha-ha-ha, kusangka dia tadi seekor kerbau yang sedang meluku sawah!"
Teriak orang ke dua, orang ini kurus kering seperti berpenyakitan.
"Kau kira apa? Apa sih bedanya si tolol dengan seekor kerbau? Hei, tolol! Coba tirukan suara kerbau, bagaimana?"
Teriak orang ke tiga yang gendut. Mereka itu tiga orang pemuda yang melihat pakaiannya saja dapat diketahui bahwa mereka itu adalah orang-orang kota! Padahal, merekapun tadinya orang-orang dari dusun tak jauh dari situ, hanya sudah lama mereka tinggal di kota dan ketularan kesombongan orang-orang kota yang memandang rendah kepada para petani yang miskin.
Kini mereka memperolok seorang pemuda petani, padahal mereka lahir di rumah-rumah keluarga petani. Pemuda yang sedang mencangkul itu sudah mendengar bahwa tiga orang pemuda itu adalah pemuda berandalan yang sudah sepekan suka melakukan hal-hal yang buruk, memperlihatkan kenakalan mereka mendatangkan keributan dan perkelahian, juga kekacauan. Oleh karena itu dia bersikap tidak perduli dan pura-pura tidak mendengar saja. Tiga orang pemuda itu mendongkol juga karena olok-olok mereka sama sekali tidak dilayani. Mereka selalu memperoleh kegembiraan dari olok-olok mereka, baik kalau yang dihina itu melawan maupun ketakutan. Akan tetapi pemuda petani itu diam saja, menganggap mereka seperti angin saja! Marahlah mereka.
"Hei, tolol! Apakah kamu tuli atau gagu?"
"Hayo naik ke sini, kau harus bersihkan sepatu kami dengan baik!"
"Kalau tidak, akan kuhajar kamu! Hayo naik ke sini!"
Akan tetapi, pemuda itu tetap diam saja, hanya melirik sedikit dan di dalam hatinya dia mengambil keputusan bahwa kalau tiga orang itu berani masuk ke sawahnya, dia akan melawan mereka, akan membuat mereka berenang di sawahnya dan minum air lumpur!
"Hayo naik kamu, pengecut! Naik ke sini biar kuhajar kau sampai minta-minta ampun!"
Teriak pula tiga orang pemuda itu sambil mencak-mencak dengan marah. Mereka tidak berani memasuki sawah karena takut kalau sepatu dan pakaian mereka men-jadi kotor. Akan tetapi pemuda petani itu tetap diam saja dan melanjutkan pekerjaannya mencangkul dengan tekun.
"Kurang ajar! Serang dia dengan batu kata seorang dari mereka dan mereka bertiga kini mencari batu-batu sebesar kepalan tangan dan menyambitkan batu-batu itu ke arah pemuda petani.
Pemuda petani itu berusaha untuk menangkis dan mengelak, akan tetapi masih ada batu yang mengenai kepalanya sampai timbul benjolan besar. Tiga orang pemuda itu tertawa-tawa. Mulai giranglah hati mereka karena mereka dapat menghajar pemuda petani itu. Mereka akan menghujankan batu sampai pemuda itu roboh dan minta-minta ampun! Melihat keadaan pemuda petani itu, hati Siu Kwi merasa khawatir. Ia sudah marah sekali terhadap tiga orang pemuda berandalan dan kalau ia mau, sekali menggerakkan tangan saja ia akan dapat membunuh mereka dan hal itu tentu sudah dilakukannya sejak tadi kalau saja tidak terjadi perubahan besar dalam hati Siu Kwi. Kini ia keluar dari balik semak-semak dan berseru dengan suara yang sengaja dibikin agar terdengar seperti suara orang ketakutan.
"Jangan sambiti dia.... ah, jangan sakiti dia....!"
Tiga orang pemuda itu terkejut dan menoleh heran. Akan tetapi wajah mereka menjadi terang berseri dan mulut mereka menyeringai nakal ketika mereka melihat bahwa yang berseru itu adalah seorang wanita yang demikian cantik manisnya! Mereka merasa tercengang dan tidak pernah menduga sama sekali bahwa di tempat sunyi itu mereka akan dapat bertemu dengan seorang wanita secantik itu! Tentu saja mereka menjadi girang sekali karena mereka sudah membayangkan kesenangan yang akan mereka dapat dari wanita itu.
"Ahhh....! Tidak mimpikah aku?"
Teriak si gendut.
"Benarkah di depanku ada wanita secantik bidadari?"
"Luar biasa sekali! Petani tolol busuk itu mempunyai seorang pacar yang begini cantiknya!"
Kata si kepala besar.
"Hati-hati, kawan. Jangan-jangan ia ini seorang siluman!"
Kata si kurus kering. Siu Kwi merasa heran sekali atas perubahan yang terjadi pada dirinya. Kenapa ia tidak marah dan membunuh mereka ini? Dahulu, jangankan sampai menggoda dengan nada menghina, baru memandang secara kurang ajar saja, kalau ia tidak suka kepada laki-laki itu, tentu akan dibunuhnya seketika!
"Dia tidak bersalah apa-apa, kenapa kalian menganggunya?"
Hanya itu saja yang ia katakan, itupun dengan nada meminta agar para pemuda itu jangan mengganggu si petani. Sementara itu, pemuda petani itu terkejut bukan main melihat munculnya wanita cantik itu dari balik semak-semak. Dia tahu bahwa tiga orang pemuda berandalan itu tentu tidak akan mau melepaskan wanita itu begitu saja. Karena khawatir kalau gadis itu menderita dari gangguan mereka yang kurang ajar, pemuda petani itu segera melangkah keluar dari dalam sawah, lalu cepat menghampiri mereka dan berdiri di depan gadis itu dengan sikap melindungi.
"Kuharap kalian tidak mengganggu gadis ini. Kami adalah orang-orang yang tidak pernah mengganggu kalian, maka kuminta dengan sangat agar kalian tidak mengganggu kami,"
Kata pemuda itu dengan sikap tenang. Melihat pemuda yang bertelanjang dada dan berlepotan lumpur ini kini berani melindungi wanita itu, tiga orang pemuda berandalan menjadi marah sekali.
"Petani busuk, mampuslah!"
Bentak si perut gendut dan dia sudah menyerang dengan pukulan keras menyambar ke arah muka si pemuda petani.
"Desss....!"
Pemuda petani itu tidak mengira bahwa dia akan dipukul, maka dia tidak sempat menangkis dan mukanya kena dipukul. Pukulan ini tepat mengenai batang hidungnya, maka segera nampak darah keluar dari lubang hidungnya.
"Plakkk....!"
Karena marah, si pemuda petani membalas dan tangannya yang menampar mengenai pipi si gendut.
Tubuh si gendut terpelanting. Tamparan itu demikian kerasnya sampai membuat matanya berkunang dan kepalanya berdenyut-denyut, ditambah rasa panas dan pedih di pipinya. Dua orang temannya segera maju mengeroyok. Pemuda petani itu mengamuk. Kini dia dikeroyok tiga, dan tiga orang pemuda berandalan itu seperti tiga ekor serigala yang mengeroyok seekor anjing pemburu yang melawan mati-matian. Akan tetapi karena pemuda petani itu tidak pandai silat, hanya mengandalkan kekuatan tubuh yang tahan pukulan dan tenaga besar semangat berkobar, dia menjadi bulan-bulanan pukulan dan tendangan tiga orang pengeroyoknya. Biarpun demikian, sungguh dia bertubuh kuat dan biarpun dihujani pukulan dan dikeroyok, dia masih sempat berteriak.
"Nona, cepat kau pergilah dari sini!"
Siu Kwi memandang dengan penuh kagum. Pemuda petani itu kini menjadi seorang yang kegagahannya tidak kalah oleh para pendekar manapun juga. Bahkan mungkin lebih gagah, pikirnya. Kalau seorang pendekar berani membela orang lain, dia mengandal-kan kepandaian silatnya dan senjatanya. Akan tetapi, pemuda ini membelanya mati-matian, pada hal pemuda sederhana ini tidak pandai silat.
Bahkan dalam hujan pukulan itu dia masih minta kepada-nya untuk menyelamatkan diri. Dia benar-benar merasa gembira karena selama hidupnya baru sekaranglah dia bertemu dengan seorang pria yang membelanya mati-matian tanpa pamrih sedikitpun juga! Biasanya, di dalam kehidupannya yang lalu, kalau ada pria membelanya, maka di balik pembelaan itu tentu mengandung pamrih tertentu. Seperti Bhok Gun misalnya. Para pria yang bersikap baik kepadanya tentu mengharapkan imbalan jasa. Akan tetapi pemuda petani ini sama sekali tidak! Mereka tidak saling mengenal, dan pemuda itu jelas tidak mengharapkan apa-apa, bahkan minta agar ia pergi secepatnya. Keharuan, suatu perasaan aneh yang baru pertama ini dikenal Siu Kwi, menyelubungi hatinya dan iapun cepat pura-pura melarikan diri.
Akan tetapi ia cepat menyelinap kembali, tanpa diketahui mereka, dan bersembunyi di balik pohon tak jauh dari tempat perkelahian itu terjadi, mengintai dengan hati penuh kagum dan khawatir. Pemuda tani itu benar-benar hebat! Biarpun tubuhnya menjadi bulan-bulan pukulan dan tendangan sehingga dada yang bidang itu, juga lengannya, menjadi matang biru, bahkan mukanya juga benjol-benjol, namun dia pantang menyerah. Seperti seekor harimau terbuka dia mengamuk terus, tidak sedikitpun keluhan keluar dari mulutnya. Sebaliknya, setiap kali dia membalas dan mengenai tubuh lawan, tentu pengeroyok yang kena dipukul atau ditendang berteriak kesakitan lalu memaki-maki dan membalas dengan serangan membabi buta. Dari keadaan perkelahian itu saja sudah dapat dinilai watak masing-masing.
Pemuda petani itu bertubuh kuat sehingga akhirnya tiga orang lawan yang mengeroyoknya dan lebih banyak memukulnya itu menjadi kewalahan sendiri. Mereka lalu mencabut pisau belati dan mengepung dengan wajah beringas seperti serigala haus darah. Melihat berkilatnya tiga buah pisau belati di tangan mereka, Siu Kwi mengerutkan alisnya. Pemuda petani itu tentu akan celaka kalau ia tidak turun tangan, pikirnya. Jari-jari tangannya memungut tiga butir batu kerikil dan tiga kali tangannya terayun ke depan. Tiga orang pemuda yang sudah mencabut pisau belati itu tiba-tiba mengeluarkan pekik kesakitan, pisau mereka terlepas dari tangan dan untuk beberapa detik lamanya mereka tidak mampu bergerak. Kesempatan ini dipergunakan oleh pemuda tani, yang tidak tahu mengapa mereka melepaskan kembali pisau-pisau mereka, untuk maju menghajar mereka dengan pukulan-pukulan keras.
Tiga orang pemuda itu jatuh bangun dan semangat mereka sudah buyar sama sekali. Mereka masih ketakutan karena tanpa sebab mereka tadi merasa tangan mereka nyeri bukan main, pisau mereka terlepas dan mereka tidak mampu bergerak. Teringatlah mereka akan wanita cantik tadi dan kembali timbul dugaan bahwa wanita itu tentu siluman dan kini membantu si pemuda petani. Maka, tanpa dikomando lagi, mereka bertiga lalu melarikan diri tunggang langgang! Pemuda petani itu berdiri memandang mereka sampai bayangan mereka lenyap di antara pohon-pohon. Dia lalu menyeka darah dari hidung dan bibirnya yang pecah-pecah, menggunakan punggung tangan yang juga matang biru membengkak. Setelah tiga orang lawannya pergi, baru dia merasa betapa seluruh tubuhnya sakit-sakit dan diapun agak terhuyung menghampiri pohon besar di tepi jalan.
"Ah, kau terluka...."
Hampir saja pemuda petani itu menerjang dan menyerang Siu Kwi yang muncul dengan tiba-tiba dari balik batang pohon besar. Dia sudah melupakan wanita itu yang disangkanya tentu sudah melarikan diri ketakutan dan tidak akan kembali lagi ke tempat itu.
"Ah, kau....?"
Serunya kaget, juga girang bukan main. Kukira engkau sudah pergi jauh dari tempat ini, nona. Dengan hati merasa lega sekali pemuda tani itu lalu menjatuhkan diri duduk di atas rumput, karena tubuhnya kini terasa lelah bukan main, tenaganya seperti hampir habis. Siu Kwi cepat berlutut di dekatnya.
"Ah, tubuhmu luka-luka semua, babak bundas.... ah, tentu nyeri sekali...."
Katanya dan dengan lembut jari-jari tangan wanita itu menyentuh dada, pundak dan pangkal lengan yang memar dan matang biru.
Sentuhan-sentuhan lembut itu seperti obat yang amat nyaman terasa oleh pemuda tani. Biarpun usianya sudah dua puluh lima tahun, akan tetapi dia belum pernah menikah, bahkan jarang bergaul dengan wanita. Dan kini, tiba-tiba muncul seorang wanita yang luar biasa cantiknya berdekatan dengannya, menyentuh tubuhnya dengan lembut. Jantung pemuda itu berdebar keras sekali dan hal ini mudah nampak oleh Siu Kwi sehingga wanita inipun diam-diam merasa girang sekali. Ia sudah berpengalaman, sudah mengenal banyak pria dan tahu akan keadaan seorang pria. Maka mudah saja ia mengetahui bahwa pria dusun inipun amat tertarik kepadanya dan bahwa pendekatannya membuat pemuda itu berdebar jantungnya. Anehnya, sekali ini ia merasa demikian girang dan bangga akan kenyataan ini!
"Luka-lukamu ini perlu dirawat. Aku biasa merawat luka, marilah kuantar engkau pulang dan akan kurawat luka-lukamu.... ahhh...."
Tiba-tiba Siu Kwi teringat dan mukanya berubah pucat dan iapun bangkit dan melangkah mundur. Pria petani itu sudah merasa girang mendengar bahwa wanita cantik itu akan ikut dia pulang dan akan merawat luka-lukanya, akan tetapi terkejut melihat perubahan sikap wanita itu. Diapun bangkit berdiri, memandang penuh selidik.
"Ada apakah, nona?"
"Kau....ah, tentu di rumahmu ada isteri dan keluargamu yang akan merawatmu...."
Kata Siu Kwi, memandang penuh pertanyaan dan dengan hati gelisah. Mengapa dia tidak ingat akan hal itu? Seorang pria sedewasa ini, apa lagi hidup di dusun, sudah tentu pria ini sudah menikah dan mungkin sudah mempunyai beberapa orang anak! Hatinya seperti ditusuk-tusuk. Kalau dulu, ia tidak akan perduli apakah seorang laki-laki itu berkeluarga atau tidak, mau atau tidak padanya. Kalau ia suka, dengan halus maupun kasar ia tentu akan memiliki pria itu, atau membunuh-nya. Akan tetapi sekarang, ia ragu-ragu, khawatir dan berduka membayangkan bahwa laki-laki ini tentu sudah beristeri! Pemuda petani itu tersenyum. Senyumnya cerah, wajar dan sehat.
"Nona, aku belum pernah menikah. Di rumahku hanya tinggal aku dan ayahku seorang. Ibuku sudah lama meninggal."
Merasa bagaikan sebongkah batu dilepaskan dari hatinya yang tertindih, Siu Kwi ingin sekali merangkul dan mencium pemuda itu. Namun aneh lagi. Ia merasa malu melakukannya, dan ia menahan gejolak perasaannya itu.
"Aih, kalau begitu baru aku berani ikut denganmu dan merawat luka-lukamu."
Karena pertanyaan wanita itu, kini si pemuda petani juga memandang ragu. Masih nonakah wanita ini ataukah sudah nyonya? Kiranya sukar dipercaya kalau masih nona, karena usianya sudah tidak begitu muda lagi walaupun kecantikannya membuat ia nampak jauh lebih muda. Setidaknya, tidak lebih muda darinya dan wanita seusia ini tak mungkin masih perawan.
"Dan bagaimana dengan engkau sendiri, nona.... atau.... nyonyakah?"
Luar biasa sekali! Siu Kwi merasa mukanya panas dan ia tentu akan terheran-heran kalau dapat melihat betapa kulit mukanya berubah kemerahan seperti seorang perawan yang tersipu malu! Heran sekali ia, mengapa ia merasa begini malu dan canggung ditanya oleh pemuda ini apakah ia masih gadis ataukah sudah menikah? Tentu saja akan tidak enak sekali kalau ia mengaku masih gadis, karena usianya sudah tidak pantas untuk itu.
"Aku.... aku seorang janda yang ditinggal mati suamiku, beberapa tahun yang lalu. Semenjak itu, aku hidup seorang diri saja...."
"Ahh....! Maafkan pertanyaanku kalau aku telah menyinggung perasaanmu dan mendatangkan kembali kenangan yang menyedihkan,"
Kata pemuda itu, agak terkejut. Siu Kwi tersenyum, manis sekali.
"Hal itu sudah terjadi bertahun-tahun yang lalu, kesedihan sudah lama meninggalkan hatiku. Akan tetapi, aku ingin mengetahui siapakah namamu dan di mana rumahmu?"
"Aku she Yo bernama Jin, tinggal berdua dengan ayah di dusun sebelah selatan itu."
Dia menudingkan telunjuknya ke arah selatan di mana nampak dari situ sekelompok rumah dusun.
"Namamu Jin (Welas Asih), pantas engkau berhati mulia, mau membela dan menolong aku yang sama sekali tidak kau kenal. Aku she Ciong, namaku Siu Kwi dan lempat tinggalku tidak tetap karena aku sudah tidak memiliki keluarga lagi."
Pemuda dusun yang bernama Yo Jin itu memandang dengan sinar mata mengandung iba dan dia menggeleng kepala.
"Akan tetapi.... apakah sama sekali tidak mempunyai anggauta keluarga? Orang tua, saudara-saudara...."
Akan tetapi Ciong Siu Kwi menggeleng kepala dan ia memang tidak berbohong. Ia sendiri sudah tidak mempunyai sanak keluarga sama sekali ketika dipungut oleh Sam Kwi.
"Aku hidup sebatangkara, seorang diri saja di dunia yang luas ini. Aihh, kenapa kita bercakap-cakap saja, engkau perlu dirawat. Mari kuantar engkau pulang."
Siu Kwi lalu memegang lengan pemuda itu dan membantunya bangkit berdiri. Melihat betapa wanita itu memegang lengannya, kembali jantung Yo Jin tergetar dan diapun masih merasa ragu-ragu. Seorang wanita secantik ini, sudah menjanda dan nampak begitu mewah pakaiannya, hendak menggandengnya!
"Tapi, nyonya...."
"Hemm, Yo Jin. Aku sudah memperkenal-kan bahwa namaku Siu Kwi, bukan?"
"Baiklah,.... adik Kwi. Aku.... aku masih sangsi apakah mungkin seorang seperti engkau ini merawatku....?"
Senang hati Siu Kwi disebut Kwi-moi (adik Kwi) walaupun ia yakin bahwa ia lebih tua dari pemuda itu. Diapun sengaja menyebut toako (kakak) untuk mengimbangi sebutan Yo Jin dan untuk menghormati pemuda dusun itu. Kenapa tidak, Jin-toako? Engkau sudah menolongku, menyelamatkan aku dari gangguan tiga pemuda berandalan itu.
Budimu terlampau besar dan sudah sepatutnya kalau aku kini merawatmu, sekedar untuk membalas kebaikanmu dan menyatakan terima kasihku. Akan tetapi.... tentu saja aku tidak berani memaksa
(Lanjut ke Jilid 26)
Suling Naga (Seri ke 13 - Serial Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 26
kalau engkau tidak sudi dirawat oleh seorang janda yang hidup merana dan kesepian. Di dalam kalimat terakhir itu terkandung isak dan inipun bukan pura-pura karena memang hati Siu Kwi merasa sedih sekali membayangkan hatinya yang sedang kesepian dan merana itu menderita pukulan karena ditolak oleh Yo Jin. Ia merasa kagum dan suka sekali kepada pemuda ini. Bukan sekedar nafsu berahi yang mendorongnya. Entah bagaimana, melihat sikap pemuda ini yang melindungi dan membelanya mati-matian tanpa pamrih, ia merasa aman sentausa berada di samping Yo Jin. Perasaan sepi lenyap.
"Aih, mana mungkin aku menolak uluran tanganmu, Kwi-moi? Mari, marilah kita pulang."
"Pulang?"
Seperti dalam mimpi Siu Kwi mengulang kata yang terdengar amat luar biasa itu, amat asing namun amat indahnya.
"Ya, pulang! Bukankah engkau tadi mengajakku pulang? Ke rumahku, rumah ayahku."
"Pulang....?"
Kembali Siu Kwi mengulang kata itu, kata yang baginya mengandung makna yang asing dan indah,
Seolah-olah "pulang"
Merupakan sebuah tempat milik mereka berada, sebuah sarang yang aman sentausa, yang nyaman dan penuh kedamaian. Ayah Yo jin adalah seorang kakek petani yang bertubuh tinggi besar, berwatak jujur dan dia menyambut pulangnya puteranya dengan alis berkerut. Tentu saja dia merasa heran bukan main melihat anaknya pulang bersama seorang, wanita cantik berpakaian mewah yang menggandengnya. Mereka nampak demikian mesra! Akan tetapi perasaan heran ini menjadi kekagetan dan kekhawatiran ketika dia melihat betapa muka anaknya itu matang biru dan bengkak-bengkak. Baru dia mengerti setelah Yo Jin menceritakan bahwa dia diganggu dan dikeroyok oleh tiga orang pemuda kota yang berandalan itu dalam membela Ciong Siu Kwi yang hendak diganggu.
"Nyonya.... eh, adik Ciong Siu Kwi mene-mani aku karena ia hendak merawat luka-lukaku, ayah. Aku tidak dapat menolak maksud baiknya itu."
Ayahnya mengangguk-angguk dan menatap wajah wanita ini dengan tajam penuh selidik. Pandang mata itu membuat Siu Kwi merasa kikuk sekali, akan tetapi ia hanya menundukkan mukanya.
"Mari, Jin-toako, kucuci luka-luka itu, karena kalau didiamkan saja dan terkena kotoran dapat membengkak dan berbahaya,"
Katanya halus kepada Yo Jin. Pemuda itu mengangguk dan mulailah Siu Kwi merawatnya. Ia mencuci luka-luka itu, dengan jari-jari tangan menyentuh halus ia menggosok bagian yang bengkak, menaruh obat pada bagian yang memar dan matang biru. Entah mana yang lebih manjur, obat yang dipergunakan Siu Kwi ataukah sentuhan jari-jari tangannya, akan tetapi Yo Jin merasa betapa kenyerian di tubuhnya lenyap seketika. Mau rasanya dia dipukuli orang setiap hari kalau sesudah itu dirawat oleh jari-jari tangan wanita cantik ini! Karena dia memang jujur, maka suara hatinya ini tak dapat ditahannya.
"Wah, aku sungguh beruntung!"
Katanya, Ayahnya sudah meninggalkan mereka yang berada di ruangan samping.
"Beruntung? Kenapa?"
Tanya Siu Kwi, ingin tahu sekali.
"Ya, beruntung telah dipukuli orang sampai babak belur dan matang biru."
Siu Kwi memandang heran.
"Eh? Betapa anehnya!"
"Kalau tidak begitu, bagaimana mungkin aku akan mendapatkan perawatanmu seperti ini?"
Siu Kwi merasa betapa jantungnya berdebar. Ingin ia merangkul pemuda itu, akan tetapi hal itu tidak dilakukannya. Ia harus bersikap biasa, ia tidak menuruti lagi segala kehendak hatinya seperti yang sudah-sudah. Namun ia tidak dapat terbebas dari perasaan jengah sehingga mukanya berubah kemerahan.
"Jin-toako, masih sakitkah bekas pukulan dan tendangan itu?"
"Tidak, sama sekali sudah lenyap. Sentuhan tanganmu yang lembut mengusir semua rasa nyeri,"
Jawab Yo Jin sungguh-sungguh.
"Senangkah engkau kurawat begini?"
"Senang sekali! Mau rasanya aku setiap hari menerima pukulan asal engkau yang merawatnya."
Siu Kwi memandang penuh perhatian. Bersandiwarakah pemuda ini? Apakah dia sebenarnya seorang laki-laki yang pandai merayu hati wanita dan kini berpura-pura sebagai seorang pemuda dusun yang bodoh? Tidak, dia merasa yakin bahwa pemuda ini bukan seorang perayu, melainkan seorang yang amat jujur. Apa yang diraskannya, apa yang dipikirkannya, langsung saja keluar melalui mulutnya. Dan ia merasa betapa ada suatu kegembiraan besar memenuhi dadanya. Tiba-tiba terdengar teriakan-teriakan nyaring di luar rumah dan ayah Yo Jin memasuki ruangan itu dengan wajah membayangkan kekhawatiran besar.
"Mereka bertiga datang bersama Lui-kongcu putera kepala dusun di timur! Ah, Yo Jin, engkau mencari gara-gara saja. Bagaimana baiknya sekarang?"
Yo Jin mengerutkan alisnya dan diapun bangkit. Sedikitpun dia tidak merasa takut.
"Ayah, mereka itu pengacau-pengacau tak tahu malu. Kalau mereka berani datang untuk membikin ribut di sini, biarlah aku akan menghajar meereka lagi."
Berkata demikian, dengan sikap gagah Yo Jin lalu melangkah keluar.
"Toako, berhati-hatilah...."
Siu Kwi berseru dan iapun sudah bangkit dan memegang lengan pemuda itu. Yo Jin menoleh.
"Lebih baik engkau jangan keluar, jangan memperlihatkan diri. Biar aku yang menghadapi mereka."
"Tapi.... tapi engkau akan dikeroyok lagi, dipukuli...."
Suling Naga Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Yo Jin tersenyum dan untuk beberapa detik lamanya tangannya menggenggam tangan wanita itu.
"Tak perlu dirisaukan! Bukankah di sini ada engkau yang akan mengobati semua bekas pukulan?"
Dia lalu melepaskan tangannya dan cepat keluar karena orang-orang itu sudah berteriak-teriak lagi. Siu Kwi berdiri bengong dan mulutnya tersenyum, wajahnya berseri. Ia merasa seperti seorang gadis remaja yang baru pertama kali jatuh cinta! Akan tetapi ia segera mengkhawatirkan keadaan Yo jin dan iapun cepat mengintai dari balik pintu. Ternyata tiga orang pemuda berandalan itu, setelah melarikan diri. Segera pergi menghadap Lui-kongcu (tuan muda Lui), putera dari kepala dusun tempat asal tiga orang pemuda itu.
Mereka memang berkawan dengan putera kepala dusun yang terkenal mata keranjang. Mereka memuji-muji kecantikan wanita yang menjadi pacar seorang pemuda petani di dusun selatan sehingga Lui-kongcu tertarik sekali. Apa lagi mendengar betapa tiga orang pemuda itu yang dianggap sebagai anak buahnya, telah dihajar babak-belur oleh pemuda itu karena memperebutkan wanita cantik, Lui-kongcu merasa penasaran. Mengandalkan kedudukan ayahnya, dia memang sudah biasa merajalela dan suka membikin kacau, menekan para penduduk yang tentu saja takut kepadanya mengingat akan kedudukan ayahnya, yaitu kepala dusun Lui. Ketika Yo Jin muncul diikuti oleh ayahnya yang memandang khawatir, Lui-kongcu sudah menyambutnya dengan dampratan.
"Monyet inikah yang telah lancang tangan berani memukuli tiga orang pemuda dusun kami?"
Dia membentak sambil menudingkan telunjuk kanannya ke arah muka Yo Jin.
"Siapakah namamu?"
Yo Jin tidak mengenal pemuda yang bertubuh jangkung kurus dan berwajah tampan akan tetapi angkuh ini. Akan tetapi tadi ayahnya sudah memberi tahu bahwa tiga orang pemuda berandalan itu datang bersama Lui-kongcu putera kepala dusun timur.Maka dia dapat menduga tetu pemuda tampan jangkung berpakaian mewah ini putera kepala dusun itu.
"Maaf, bukan aku yang memukuli dan mengeroyokku. Aku hanya membela diri saja. Namaku adalah Jin she Yo...."
"Bagus, Yo Jin. Aku adalah Lui-kongcu, putera kepala dusun kami di timur. Engkau telah berani kurang ajar terhadap kami, hayo cepat berlutut minta ampun!"
Bukan watak Yo Jin untuk merendahkan diri karena takut. Dia tidak merasa besalah, maka diapun tidak takut terhadap siapa juga.
"Lui-kongcu, sudah kukatakan bahwa aku tidak bersalah, maka diapun tidak takut terhadap siapa juga.
"Lui-kongcu, sudah kukatakan bahwa aku tidak bersalah. Merekalah yang terkenal sebagai pemuda-pemuda berandalan yang suka membikin kacau. Sebaiknya kalau Lui-kongcu sebagai putera kepala dusun, menghukum mereka agar mereka tidak lagi menjadi berandalan-berandalan yang suka mengacau ke kampung-kampung."
"Tutup mulutmu! Engkau berani membantah dan melawan aku, ya?"
Bentak Lui-kongcu marah sambil melangkah maju mendekati Yo Jin.
"Hayo lekas berlutut!"
"Aku tidak bersalah apa-apa, kenapa harus berlutut?"
Jawab Yo Jin dengan sikap tenang dan alis berkerut, pandang mata tajam ditujukan kepada wajah kongcu itu.
"Engkau melawanku?"
Lui-kongcu membentak, lalu membuat gerakan memasang kuda-kuda dengan gagah dan membentak,
"Haiiiit....!"
Lalu tubuhnya menerjang ke depan, tangannya yang dikepal memukul bertubi-tubi. Yo Jin menyangka bahwa anak kepala dusun ini akan memukulnya, dan dia pun merasa sungkan untuk membalas, maka dia menangkis sedapatnya. Karena tidak membalas, dan karena dia masih lelah, beberapa pukulan mengenai tubuhnya, dan tentu saja terasa nyeri karena mengenai bagian yang memar dan masih biru. Lui-kongcu melanjutkan serangannya sambil berteriak-teriak seperti lagak seorang jagoan tulen. Karena kesakitan, Yo Jin lalu melawan. Dia membalas dengan pukulan tangan kanan yang mengenai dada Lui-kongcu sehingga tubuh si jangkung ini terpelanting!
Kiranya, hanya lagak saja seperti jagoan. Memang dia pernah belajat silat, akan tetapi orang seperti dia mana ada ketekunan belajar secara sungguh-sungguh? Dia belajar hanya untuk berlagak, maka yang dihafalnya hanyalah pemasangan kuda-kuda dan gerakan-gerakan yang nampak indah, namun karena dia tidak tekun mempelajari dasar-dasarnya, maka semua gerakannya itu kosong belaka, bagaikan bungkusan indah yang tidak ada isinya. Maka, begitu Yo Jin membalas, diapun terkena pukulan dan terpelanting. Melihat demikian, tiga orang pemuda berandalan itupun maju mengeroyok. Tentu saja Yo Jin yang masih belum pulih kesehatannya, dan masih lelah itu, harus menerima hajaran empat orang pengeroyoknya, dipukul dan ditendang sampai babak belur. Namun, dengan gigih dia membela diri dan melawan, sedikitpun tidak pernah mengeluh.
"Heiii, jangan berkelahi! Jangan pukuli anakku....!"
Ayah Yo Jin yang melihat puteranya dipukuli orang lalu maju untuk melerai, akan tetapi ia disambut oleh pukulan-pukulan yang membuat ia roboh terpelanting pula! Melihat itu, Siu Kwi lalu keluar dari tempat persembunyiannya.
"Tahan, jangan berkelahi!"
Mendengar suara perempuan, empat orang pengeroyok itu menghentikan amukan mereka dan Lui-kongcu memandang bengong ketika dia melihat seorang wanita muda yang amat cantik jelita berdiri di situ. Tiga orang pemuda berandalan itupun memandang dan mereka segera mengenal wanita itu.
"Kongcu, itulah pacarnya yang cantik!"
Lui-kongcu tidak perlu diberitahu lagi karena matanya yang berminyak sudah melahap kecantikan yang berada di depan matanya dan diapun sudah dapat menduga bahwa tentu wanita ini yang menjadi gara-gara keributan itu, yang diperebutkan dan dia tidak menyalahkan anak buahnya kalau tergila-gila kepada wanita ini. Memang cantik jelita!
"Yo Jin, aku akan mengampunimu kalau engkau mau memberikan pacarmu ini kepadaku, setidaknya kupinjam dia untuk beberapa malam lamanya!"
Kata Lui-kongcu tanpa malu-malu lagi. Dapat dibayangkan betapa panas rasanya hati Yo jin. Dia sudah jatuh cinta kepida Siu Kwi dan kini mendengar kata-kata yang tidak sopan dan kurang ajar itu, yang ditujukan kepada Siu Kwi, tentu saja dia menjadi marah.
"Lui-kongcu, andai kata ia itu pacarku, tunanganku atau isteriku, tentu takkan kuserahkan kepadamu, dan akan kuhajar engkau yang berani bersikap kurang ajar! Akan tetapi sayang, ia hanya seorang sahabat baru dan seorang tamuku yang terhormat."
Mendengar jawaban ini, Lui-kongcu dan tiga orang pemuda berandalan itu saling pandang. Si gendut, seorang di antara tiga pemuda berandalan itu, berseru tak percaya.
"Kau bohong! Kalau bukan pacarmu, kenapa engkau membelanya sampai mati-matian?"
"Hemmm, orang-orang macam kalian ini tentu merasa heran, akan tetapi orang-orang sopan tentu mengerti bahwa sudah sepatutnya kalau seorang pria menghormati wanita, membelanya dan bukan seperti kalian yang hendak menghinanya dan mempermainkannya!"
"Ha-ha-ha, bocah petani dusun tolol! Orung macam engkau mau memberi kuliah kepadaku? Kalau ia bukan apa-apamu, sudah, mundur kau dan jangan turut campur!"
Kata Lui-kongcu yang diam-diam merasa jerih juga melihat kenekatan Yo Jin yang agaknya tidak mengenal takut dan sakit. Ia menghampiri Siu Kwi dan tersenyum menyeringai sambil memasang aksi.
"Nona cantik, marilah engkau ikut bersamaku. Aku adalah Lui-kongcu, putera kepala dusun di timur yang kaya raya. Engkau tentu akan mengalami kesenangan kalau ikut bersamaku. Jadilah tamuku yang terhormat dan kita bersenang-senang bersama. Marilah, manis!"
Dia mengulur tangan hendak memegang tangan Siu Kwi.
Agaknya, pemuda ini selalu yakin bahwa setiap orang perempuan tentu akan tunduk dan memyambut ajakannya dengan girang. Wanita mana yang dapat menolaknya? Dia masih muda, tampan dan gagah, kaya raya dan ayahnya menjadi kepala dusun yang hidupnya seperti seorang raja kecil saja di dusunnya! Sudah terlalu banyak wanita yang tunduk kepadanya, seperti kerbau dicocok hidungnya kalau dia merayu dan mengajak mereka. Siu Kwi ingin sekali tampar menghancurkan kepala Lui-kongcu itu. Akan tetapi ia masih terus sadar dan teringat bahwa ia kini harus menjadi seorang yang baru sama sekali, tidak boleh lagi mempergunakan ilmunya untuk mengulangi lagi kehidupan sesat dan kejam seperti yang sudah-sudah. Akan tetapi, tentu saja ia tidak dapat memadamkan kemarahan yang berkobar di dalam dadanya melihat sikap anak kepala dusun itu.
"Tidak, aku tidak mau pergi ke mana-mana, ti-dak mau pergi meninggalkan Jin-toako yang membutuhkan perawatanku. Kalian pergilah dari sini dan jangan membikin kacau!"
Lu-kongcu tertawa dan membelalakkan matanya.
"Aih, kenapa begitu, nona manis? Apakah engkau lebih suka tinggal di sini, di tempat yang kotor dan amat tidak pantas bagimu ini? Dan lihat si tolol Yo Jin ini, seorang petani busuk yang kotor dan bodoh. Tidak patut sama sekali engkau bersahabat dengan orang tolol macam ini. Untuk menjadi bujangmupun, dia belum pantas!"
Siu Kwi menjadi marah bukan main.
"Huh, toako Yo Jin ini adalah seorang laki-laki sejati. Dia seribu kali lebih baik dari pada kamu dan kawan-kawanmu. Pergilah dan jangan menganggu kami lagi!"
Mendengar ucapan ini, Lui-kongcu menjadi marah. Mukanya merah sekali. Pemuda dusun itu seribu kali lebih baik dari dia?
"Hajar mampus petani busuk ini, baru kularikan gadis tak tahu diri itu!"
Katanya dan diapun sudah menyerang Yo jin dengan marah, dibantu kawan-kawannya. Dan kini, mereka mencabut pisau yang sudah mereka persiapkan lebih dulu.
"Jin-toako, kau pukul mereka sampai puas!"
Tiba-tiba Siu Kwi berkata.
"Cepat hajar mereka, toako!"
Tentu saja Yo Jin terheran mendengar seruan itu, akan tetapi dia menjadi semakin heran dan girang melihat betapa empat orang pemuda yang mengeroyoknya itu tiba-tiba saja menghentikan gerakan-gerakan mereka dan ketika dia memukul mereka,
Empat orang itu sama sekali tidak melawan, tidak menangkis atau mengelak. Dia tidak tahu bahwa dengan gerakan yang luar biasa cepatnya, Siu Kwi telah membuat mereka untuk sementara lumpuh dengan sambitannya, mempergunakan kerikil-kerikil kecil sekali. Enak saja Yo Jin membabat mereka dengan kaki tangannya, memukul dan menendang sampai mereka itu terguling-guling. Ketika pengaruh totokan sudah hilang dan mereka mampu bergerak kembali, mereka sudah menjadi ketakutan. Lui-kongcu bangkit berdiri, sempoyongan dan memandang kepada Yo Jin dan Siu Kwi bergantian, kemudian dia memandang kepada ayah Yo jin dan berkata sambil menudingkan telunjuknya ke arah muka Siu Kwi,
"Ia seorang siluman! Ya, seorang siluman betina yang jahat dan akan menghancurkan keluargamu!"
Setelah berkata demikian, Lui-kongcu melarikan diri diikuti tiga orang pemuda berandalan. Tadi, tiga orang pemuda itu sudah menceritakan betapa mereka mengalami hal yang aneh ketika mencabut pisau sehingga mereka dihajar oleh Yo Jin. Sekarang, kembali mereka mengalami hal yang sama dan juga Lui-kongcu mengalaminya. Maka, mereka semua condong percaya kepada dugaan pemuda berandalan kepala besar bahwa agaknya Yo Jin dibantu siluman, dan siapa lagi kalau bukan perempuan cantik itu silumannya?
"Mereka sungguh kurang ajar!"
Bentak Yo Jin marah ketika mendengar wanita yang telah menjatuhkan hatinya dimaki siluman.
"Biarkan mereka pergi, Jin-toako. Mereka adalah anak-anak yang masih bodoh dan hanya mengandalkan kedudukan orang tua dan kekayaan saja. Wah, luka-lukamu lecet kembali, mari kuberi obat lagi."
"Baik, Kwi-moi dan terima kasih atas kebaikanmu."
Dua orang muda itu hendak masuk kembali ke dalam rumah.
"Nanti dulu!"
Tiba-tiba terdengar ayah Yo Jin membentak.
Orang tua ini sungguh amat terpengaruh oleh kata-kata yang ditinggalkan oleh Lui-kongcu. Pada jaman itu, memang semua orang amat percaya akan tahyul, percaya akan siluman-siluman yang suka mendatangkan gangguan terhadap kehidupan manusia, percaya pula akan dewa-dewa pelindung dan segala macam tahyul lagi. Mendengar ucapan Lui-kongcu, ayah inipun terkejut dan sejak tadi dia sudah mengamati Siu Kwi penuh perhatian. Seorang wanita yang amat cantik, dengan pakaian mewah dan perhiasan emas permata yang mahal-mahal. Dan wanita seperti itu mau mendekati puteranya, seorang petani biasa! Dan pula, wanita itu muncul begitu tiba-tiba. mengaku tak memiliki keluarga, tak memiliki rumah tinggal. Mana mungkin ini? Seorang wanita gelandangan tidak sekaya ini, apa lagi secantik ini.
Dan mengapa Yo Jin tiba-tiba saja menjadi begitu nekat membelanya sehingga anak itu bahkan berani menentang seorang putera kepala dusun? Agaknya anaknya itu sudah tergila-gila kepada siluman ini, yang tentu saja telah mempergunakan ilmunya untuk menundukkan Yo Jin. Puteranya itu walaupun sudah berusia dua puluh lima tahun, akan tetapi dia yakin masih seorang perjaka tulen dan menurut dongeng, siluman memang suka mengubah diri menjadi seorang perempuan cantik untuk menghisap sari tenaga dari tubuh seorang perjaka! Dan menurut dongeng, seorang perjaka yang terpikat oleh siluman, akan mati kehabisan darah, bahkan keluarganya juga akan ikut tertimpa malapetaka! Mendengar bentakan ayahnya dan kini melihat betapa ayahnya memandang dengan mata terbelalak kepada Siu Kwi, Yo Jin merasa heran.
"Ada apakah, ayah?"
"Tidak boleh.... nona ini tidak boleh memasuki rumah kita....!"
Lalu orang tua itu menjadi ketakutan ketika teringat bahwa seorang siluman amat sakti dan akan mampu membunuhnya hanya dengan pandang matanya, dan juga amat kejam, maka cepat dia menjura kepada Siu Kwi.
"Nona, harap maafkan kami.... harap suka mengasihani seorang tua seperti aku, seorang duda yang hidup berdua dengan anakku Yo Jin. Harap kau suka memaafkan kami dan jangan.... jangan menjadikan anakku korban.... carilah korban lain, masih banyak terdapat perjaka di dusun ini dan dusun-dusun lainnya...."
Biarpun Yo Jin dan Siu Kwi terheran-heran mendengar ucapan yang tersendat-sendat itu, mereka berdua maklum apa yang dimaksudkan oleh orang tua itu. Kakek itu menuduh Siu Kwi siluman!
"Ayah....! jangan begitu...."
"Lopek, aku mengerti apa yang kau maksudkan. Engkau menuduh aku seorang siluman betina, bukankah begitu?"
Kata Siu Kwi, suaranya terdengar dingin menusuk. Wanita ini memang marah bukan main. Gatal-gatal kedua tangannya. Ia telah diusir, bahkan dituduh seorang siluman. Kalau dulu, beberapa hari yang lalu saja, tak mungkin ia dapat mengampuni orang yang berani mengusir-nya dan menuduhnya siluman. Tentu ia akan membunuh orang itu. Akan tetapi, ia kini hanya merasa marah dan juga berduka sekali. Ayah pria yang menjatuhkan hatinya kini mengusirnya dan menuduhnya siluman. Kakek itu menjura.
"Maafkan.... maafkan kami...."
Siu Kwi tidak dapat menahan kesedihannya. Ia terisak lalu berlari pergi.
"Kwi-moi....! Tunggu, jangan tinggalkan aku, Kwi-moi....!"
Yo Jin berteriak dan mengejar.
"Yo Jin, berhenti kau!"
Ayahnya menghardik. Selama ini, Yo Jin hanya hidup berdua dengan ayahnya, maka tentu saja dia amat menyayang ayah ini dan mentaatinya. Kini, mendengar bentakan ayahnya, dia seperti tertahan oleh sesuatu yang amat kuat, berhenti berlari, menoleh dan dia lalu menjatuhkan diri berlutut.
"Ayah...., Kwi-moi....!"
Dan pemuda inipun terguling, pingsan. Setelah mengalami pengeroyokan sampai dua kali, menerima gebukan-gebukan yang amat banyak, dan hanya sentuhan dan sikap Siu Kwi saja yang menguatkan hatinya sehingga dia dapat bertahan, kini dia tidak dapat menahan pukulan batin melihat ayahnya menuduh kekasihnya itu siluman dan Siu Kwi pergi meninggalkannya!
"Orang she Yo, sungguh besar sekali nyalimu! Engkau membiarkan anakku yang kurang ajar itu untuk memukul dan melukai Lui-kongcu, putera kepala dusun timur! Sungguh, engkau membikin malu aku yang menjadi kepala dusun di sini!"
Kata kepala dusun Tong kepada kakek Yo. Dia menerima pengaduan dari rekannya, kepala dusun Lui dan karena merasa malu hati terhadap rekannya, maka dia cepat memanggil kakek Yo datang menghadap dan menegurnya dengan keras.
"Sekarang juga Yo Jin harus menyerahkan diri agar dapat kuantarkan kepada kepala dusun Lui untuk menerima hukuman!"
Tentu saja kakek Yo terkejut mendengar ini dan dia cepat-cepat memberi hormat.
"Mohon beribu ampun dan kebijaksanaan Tong-thungcu,"
Katanya.
"Sesungguhnya anak saya Yo Jin sama sekali tidak bersalah, akan tetapi dia terbujuk oleh siluman betina. Untung bahwa saya telah berhasil mengusir siluman betina itu dan menyelamatkan anakku dari ancaman malapetaka."
Kepala dusun itu tertegun.
"Siluman....? Apa maksudmu?"
Kakek Yo lalu menceritakan tentang munculnya siluman betina yang menyamar sebagai seorang wanita cantik sehingga menjadi perebutan antara anaknya dan Lui-kongcu dan terjadi perkelahian. Akan tetapi, anaknya itu terbujuk oleh siluman dan dalam keadaan tidak sadar.
"Kalau terlambat sedikit saja saya mengusir siluman itu, tentu anakku telah mati. Siluman itu sudah saya usir, dan harap Tong-thungcu suka membujuk Lui-thungcu agar mengampuni anak saya yang sebenarnya tidak salah karena berada dalam pengaruh siluman dan tidak sadar."
"Ah, jangan mencari alasan dengan cerita yang gila!"
Bentak kepala dusun Tong.
"Siapa mau percaya omonganmu? Hayo bawa Yo Jin ke sini, ataukah aku harus ke sana sendiri untuk menangkapnya?"
"Ah, Tong-thungcu tidak percaya? Marilah, harap dilihat sendiri keadaan anak saya yang sampai sekarang masih belum sadar benar,"
Kata kakek Yo. Kepala dusun itu merasa heran dan diapun segera mengikuti kakek Yo, dikawal oleh tiga orang anak buahnya. Setelah tiba di dalam rumah kakek Yo, kepala dusun Tong melihat betapa Yo Jin benar-benar berada dalam keadaan sakit dan tidak sadar. Pemuda itu berbaring demam gelisah di atas pembaringan di dalam kamarnya. Mukanya merah sekali, tubuhnya panas dan pemuda itu mengigau, memanggil-manggil
"Kwi-moi!"
Berkali-kali.
"Nah, begitulah keadaannya, thungcu. Yang dipanggilnya itu adalah nama siluman itu. Maka harap Tong-thungcu suka mengasihaninya dan suka membujuk Lui-thungcu."
Kakek Yo dengan suara mohon dikasihani minta kebijaksanaan kepala dusun Tong sambil menyerahkan bungkusan yang terisi seluruh simpanan uangnya kepada pembesar itu. Mula-mula kepala dusun itu berpura-pura menolaknya. Akan tetapi, melihat bahwa isi buntalan itu cukup banyak, diapun menyuruh pengawalnya untuk menerima bungkusan itu sambil berkata,
"Sebenarnya, berat bagiku untuk memenuhi permintaanmu. Aku merasa malu hati kepada rekanku, kepala dusun Lui. Akan tetapi, melihat keadaan anakmu, aku percaya dan biarlah saya akan membicarakan hal ini dengan dia."
Kakek Yo merasa girang dan berterima kasih, dan sambil membungkuk-bungkuk dia mengantar kepala dusun itu meninggalkan rumahnya sampai di luar pekarangan. Dia rela kehilangan semua simpanannya asal anaknya tidak ditangkap. Kakek Yo benar-benar percaya bahwa anaknya sakit karena berdekatan dengan siluman. Hawa siluman yang menimbulkan sakit panas itu, maka diapun mengundang seorang dukun untuk menyembuhkan puteranya. Dukun itu seorang tosu yang suka mempelajari ilmu klenik dan sang tosu, dengan biaya yang cukup besar tentunya, segera melakukan sembahyangan di situ, menggunakan darah anjing dipercik-percikkan di empat penjuru rumah, berkemak-kemik membaca mantera dan dengan rambut riap-riapan dan pedang di tangan dia berjalan pula mengitari rumah sampai tujuh kali.
Akhirnya dia meninggalkan rumah kakek Yo sambil mengantongi hadiah yang cukup banyak, juga sebungkus masakan yang lezat. Akan tetapi, penyakit Yo Jin tidak menjadi sembuh, bahkan setelah lewat tiga hari, keadaannya menjadi semakin payah. Dan pada malam hari ke tiga itu, setelah kakek Yo tertidur nyenyak saking lelahnya, sesosok bayangan hitam berkelebat di atas genteng rumah itu. Bayangan itu melakukan pengintaian dari atas genteng, membuka genteng di atas kamar Yo Jin dan ia mendekam sambil mengintai ke dalam kamar. Dilihatnya Yo Jin rebah terlentang dengan muka merah akan tetapi kurus sekali, dan pemuda itu bergerak gelisah ke kanan kiri dengan gerakan lemah.
"Kwi-moi.... Kwi-moi.... jangan tinggalkan aku.... Kwi-moi...."
Demikianlah dia mengigau berkali-kali, mengulang-ulang nama itu dengan bisikan-bisikan lemah.
"Ohhh....!"
Bayangan itu terisak dan menangis. Bayangan itu adalah Siu Kwi dan iapun cepat melayang turun dan memasuki kamar Yo Jin. Ditubruknya Yo Jin dan dirangkulnya tubuh yang panas itu. Yo Jin membuka kedua matanya dan melihat wajah orang yang dirindukannya, diapun merangkul.
"Kwi-moi....!"
"Jin-toako! Aihh.... toako, kau kenapakah....?"
"Kwi-moi, tangan tinggalkan aku lagi...."
Pemuda itu mengeluh lemah.
"Tidak, tidak ah,.... betapa bodohku telah meninggalkanmu."
Ia mencium dahi pemuda itu.
"Hemm, badanmu panas. Engkau demam."
Cepat Siu Kwi memeriksa keadaan Yo Jin dan wanita yang pandai dan banyak pengalaman ini maklum bahwa pemuda itu terserang demam karena luka-lukanya yang tidak terawat kini membengkak dan keracunan! Cepat ia bekerja, mencuci luka-luka itu dan menaruhkan obat luka yang selalu dibawanya, dan juga menyuruh Yo Jin menelan dua butir pel kuning. Setelah menelan pel, Yo Jin tidur pulas dengan kepala di atas pangkuan Siu Kwi. Siu Kwi duduk di tepi pembaringan, mengelus-elus rambut dikepala Yo Jin yang kusut. Ia memandangi wajah yang kurus itu dan tak terasa dua butir air mata menetes turun, keluar dari kedua matanya. Hatinya diliputi keharuan yang amat mendalam.
Selama tiga hari ini, ia sendiri tersiksa sekali. Ia berkeliaran di hutan-hutan dan gunung-gunung, mencoba untuk melupakan Yo Jin, namun tidak berhasil sama sekali. Makin dilupakan, makin teringat dan selama tiga hari ini ia hampir tidak makan dan tidak tidur sama sekali. Akhirnya, iapun tidak kuat dan memaksa diri kembali ke dusun itu dan di waktu malam telah menggelapkan dusun, iapun mendatangi rumah pria yang dicintanya untuk menengok dengan diam-diam. Dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika ia melihat Yo Jin ternyata dalam keadaan sakit yang cukup payah. Dan lebih terharu lagi ketika ia mendengar igau pemuda itu dalam sakitnya. Baru ia tahu bahwa sepeninggalnya, Yo Jin jatuh sakit dan terus mencari-cari dan memanggil-manggilnya!
"Ah, Jin-toako.... aku cinta padamu.... aku cinta padamu...."
Bisiknya berkali-kali dan ia mendekap kepala di pangkuannya itu seperti mendekap sebuah mustika yang takkan pernah dilepaskannya lagi. Karena ia sendiri selama tiga hari kurang tidur, setelah kini bertemu kembali dengan Yo Jin,
Bahkan pemuda itu tertidur di pangkuannya, hati Siu Kwi merasa demikian tenteram sehingga iapun memejamkan matanya, bersandar pada dinding dan dengan kepala pemuda itu masih di atas pangkuannya, iapun tertidur pulas. Seperti itulah keadaan mereka ketika pada keesokan harinya kakek Yo memasuki kamar anaknya. Dia berdiri terpukau di ambang pintu, terbelalak, bahkan sempat menggosok mata dengan punggung tangan beberapa kali seperti tidak percaya akan penglihatannya sendiri. Perempuan siluman itu telah berada dalam kamar anaknya! Agaknya kehadiran kakek ini cukup untuk membangunkan Siu Kwi. Ia membuka matanya dan melihat kakek itu di ambang pintu kamar, ia segera teringat akan keadaannya. Wajahnya menjadi merah sekali dan dengan lembut ia menurunkan kepala Yo Jin dari atas pangkuannya.
"Aku.... aku datang untuk mengobati Jin-toako yang ternyata terserang demam karena luka-lukanya,"
Katanya lirih kepada kakek Yo. Kakek Yo masih tidak mampu bersuara. Ada perasaan marah akan tetapi juga takut terhadap perempuan di depannya. Pada saat itu, Yo Jin juga terbangun.
"Kwi-moi keluhnya dan ketika dia membuka mata dan melihat Siu Kwi telah berada di dekat pembaringan, dia cepat menangkap tangan gadis itu.
"Ah, Kwi-moi, benarkah engkau ini? Engkau telah datang kembali?"
Tanyanya dengan suara gemetar. Siu Kwi meremas tangan pemuda itu.
"Aku datang untuk mengobatimu, Jin-toako.
"Ah, terima kasih, Kwi-moi. Aku sudah sembuh! Melihat engkau datang saja aku sudah sembuh sama sekali. Lihat, aku sudah bisa duduk!"
Suling Naga Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Seperti seorang anak kecil yang kegirangan, pemuda itu bangkit duduk walaupun dengan tubuh yang masih lemas. Hati Siu Kwi merasa terharu bukan main. Kakek Yo tidak dapat menyangkal bahwa anaknya benar-benar kelihatan sembuh. Akan tetapi, hal ini bahkan memperkuat dugaannya bahwa Siu Kwi tentulah seorang siluman tulen yang sengaja membuat Yo Jin sakit dan kini kembali untuk mengobati Yo Jin agar dia dapat percaya! Akan tetapi, untuk menuduh demikian, dia tidak berani. Pertama, diapun ingin melihat anaknya sembuh dulu, dan ke dua, dia mulai merasa ngeri dan takut terhadap Siu Kwi.
"Kwi-moi, jangan kau pergi lagi, Kwi-moi...."
Kata Yo Jin sambil menggenggam tangan wanita itu.
"Tidak, Jin-toako. Aku kembali uutuk menemanimu dan merawatmu sampai sembuh."
"Sampai sembuh dan engkau akan pergi lagi? Tidak, Kwi-moi, engkau tidak boleh pergi, selamanya, dari sampingku!"
Genggaman tangan Yo Jin semakin erat seolah-olah dia benar-benar merasa khawatir kalau-kalau wanita itu akan pergi lagi. Siu Kwi memandang ke arah kakek Yo.
"Kalau saja Yo-lopek mau mengijinkannya."
"Ayah, biarkan Kwi-moi di sini. Aku.... aku tidak dapat hidup tanpa ia, ayah!"
Kisah Pendekar Pulau Es Eps 43 Suling Emas Naga Siluman Eps 46 Suling Emas Naga Siluman Eps 45