Kisah Si Bangau Putih 6
Kisah Si Bangau Putih Karya Kho Ping Hoo Bagian 6
Ciok Kim Bouw mengelak dan melakukan perlawanan mati-matian, bahkan dengan gerakan-gerakan nekat. Akan tetapi, lengannya kini terasa semakin nyeri dan ngilu sehingga jari-jari tangannya kurang kuat mencengkeram gagang goloknya. Terpaksa dia memindahkan gagang golok itu ke tangan kiri dan kini melakukan perlawanan mati-matian dengan golok di tangan kiri. Dia memang sudah melatih diri menggunakan golok dengan tangan kiri karena dia pun ahli bermain sepasang golok, akan tetapi bagaimanapun juga, tentu saja gerakannya tidaklah selincah kalau menggu-nakan golok itu di tangan kanannya. Maka, tentu saja dia semakin terdesak. Belum juga lewat dua puluh jurus sebuah tendangan kaki kiri Sin-kiam Mo-li mengenai pahanya dan dia pun terpelanting. Untuk mencegah lawan menyusulkan serangan,
Ketua Cin-sa-pang itu bergulingan di atas tanah sambil melindungi tubuh dengan putaran goloknya Sambil tertawa-tawa mengejek Sin-kiam Mo-li melakukan pengejaran sambil melecut-lecutkan cambuknya, mengikuti kemana tubuh lawan itu bergulingan. Sama sekali ia tidak memberi kesempatan kepada lawan untuk melompat bangun kembali. Dikejar seperti itu, Ciok Kim Bouw menjadi sibuk sekali. Bukan saja dia harus meiindungi tubuhnya, akan tetapi juga keadaannya berbahaya sekali karena kalau dia meloncat bangun, tentu dia akan terkena serangan pedang atau kebutan yang amat berbahaya itu. Kebutan yang dapat dipergunakan sebagai cambuk, juga menotok atau menusuk seperti pedang karena dengan kekuatan sin-kang bulu-bulu kebutan itu dapat menjadi kaku seperti baja, sungguh amat berbahaya. Apalagi setiap lembar bulunya mengandung racun berbahaya!
"Ha-ha-ha, Pangcu dari Cin-sa-pang, sekarang engkau seperti seekor tikus yang lari ke sana-sini dikejar kucing! Sian-li kenapa harus main-main dengan dia? Bunuh saja dengan cepat dan kita kembali ke sana!"
Laki-laki yang sudah tidak sabar karena ingin segera berduaan dengan kekasihnya itu, mendesak. Mendengar ini, Sin-kiam Mo-li mengeluarkan suara mengejek dan ia pun menggerakkan pedangnya, melakukan serangan kilat yang amat hebat pada tubuh yang sedang bergulingan itu. Sukar agaknya bagi Ciok Kim Bouw untuk menyelamatkan diri dari serangan itu, akan tetapi tiba-tiba Sin-kiam Mo-li mengeluarkan jeritan halus dan pedangnya ditariknya kembali. Cepat ia membalik ke kanan dan dia melihat seorang pemuda sudah berdiri tak jauh dari situ.
Tahulah ia bahwa yang menyambitkan kerikil kecil dan mengenai pundak kanannya sehingga lengan kanannya menjadi kesemutan itu adalah pemuda ini! Dan ia pun terkejut ketika mengenal pemuda itu. Toat-beng Kiam-ong Giam San Ek merasa heran melihat kekasihnya tidak jadi menyerang, dan dia pun ikut memandang. Dilihatnya seorang pemuda yang mengenakan pakaian serba putih, berdiri di bawah pohon, tak jauh dari situ. Juga Ciok Kim Bouw yang baru saja terlepas dari bahaya maut, sudah berguli-ngan menjauh kemudian melompat berdiri, ikut pula memandang. Pemuda itu berpakaian serba putih, sederhana sekali, sinar matanya lembut dan mulutnya dihias senyum ramah, sama sekali tidak menun-jukkan kelebihan dan nampak seperti seorang pemuda petani biasa saja. Namun, Sin-kiam Mo-li keliha-tan kaget kemudian marah ketika ia melangkah maju.
"Bocah setan, kiranya engkau? Bukankah kau.... kau.... yang dari gurun pasir itu?"
Tanyanya ragu karena walaupun ia masih teringat benar akan wajah yang sudah pernah dibelai, dirangkul dan diciuminya itu, ia masih belum mau percaya. Pemuda yang pernah dirayunya sampai ia hampir gila karena dirangsang berahi dan pemuda itu selalu dingin saja dan tidak pernah tergairah, adalah seorang pemuda yang lemah dan sama sekali tidak mengenal ilmu silat. Waktunya baru berjalan setahun lebih sedikit, bagaimana mungkin kini pemuda itu mampu menyambitkan kerikil yang membuat lengannya hampir lumpuh? Pemuda itu memang Tan Sin Hong! Seperti telah kita ketahui, Sin Hong meninggalkan kota Ban-goan untuk pergi ke kota raja, untuk mencari hartawan she Lay, pengirim barang berharga yang mengakibatkan hancurnya keluarga ayah ibunya.
Ingin dia menemukan hartawan itu, untuk menyelidiki kematian ayahnya yang penuh rahasia, karena siapa tahu hartawan itu menyimpan rahasia dan dari dia maka rahasia kematian ayahnya akan dapat dibongkarnya. Dan pada hari itu, dia tiba di kaki bukit di mana terdapat sarang Tiat-liong-pang, tanpa disengaja, melihat Ciok Kim Bouw yang terancam maut di tangan seorang wanita yang membuat darahnya berdenyut kencang dan jantungnya berdebar. Dia mengenal wanita itu yang bukan lain adalah Sin-kiam Mo-li, seorang di antara datuk sesat yang telah menyerbu Istana Gurun Pasir yang mengakibatkan kematian tiga orang gurunya. Sin-kiam Mo-li yang pernah menggelutinya, berusaha memperkosanya, kini tiba-tiba saja berada di kaki bukit itu, sedang berusaha keras membunuh seorang laki-laki tinggi besar bermuka hitam yang dengan susah payah membela diri.
Biarpun dia tidak mengenal siapa pria bermuka hitam itu dan apa urusannya berkelahi dengan Sin-kiam Mo-li, tanpa ragu-ragu lagi Sin Hong menyelamatkan pria itu dari ancaman maut dengan menyambitkan sebuah kerikil kecil yang mengenai pundak kanan wanita iblis itu. Kini dia menghadapi Sin-kiam Mo-li dengan senyum, dan diam-diam dia bersyukur melihat kenyataan bahwa pertemuan dengan wanita iblis yang telah menyebabkan kematian tiga orang gurunya itu sama sekali tidak membangkitkan kemarahan atau kebencian dalam hatinya. Ini merupakan suatu kemajuan dalam dirinya, pikir Sin Hong. Dia meng-angguk untuk menjawab pertanyaan Sin-kiam Mo-li tadi, membuyarkan keraguan wanita iblis itu.
"Benar, Sin-kiam Mo-li, aku adalah pemuda gurun pasir itu, dan engkau ternyata masih saja mengumbar kejahatan dan menyebarkan perbuatan kejam di manapun engkau berada. Engkau hendak membunuh orang yang sudah jelas tidak lagi mampu melawanmu,"
Sin Hong menoleh ke arah Ciok Kim Bouw yang berdiri agak jauh sambil memijit-mijit lengan kanannya, sedangkan golok tadi sudah disarungkannya kembali.
Ciok Kim Bouw maklum bahwa baru saja dia terbebas dari maut oleh kemunculan pemuda berpakaian putih itu. Entah dengan cara bagaimana pemuda itu dapat membuat Sin-kiam Mo-li meng-hentikan serangannya yang membuat dia kewalahan tadi. Kini dia memandang penuh perhatian, siap untuk membantu pemuda itu. Bagaimanapun juga, kini muncul seorang yang agaknya dapat diharapkan akan membantunya menghadapi musuh-musuhnya yang terlalu lihai baginya itu. Akan tetapi, terdapat keraguan pula di dalam hati ketua Cin-sa-pang ini. Pemuda berpakaian putih itu kelihatan demikian lemah lembut, dan tadi pun dia belum mengeluarkan tanda bahwa dia pandai ilmu silat. Hanya sikapnya saja yang demikian tenang, bahkan menghadapi Sin-kiam Mo-li yang sudah dikenalnya, nampak demi-kian tenang dan berani pula mencela.
"Awas....!"
Tiba-tiba Ciok Kim Bouw berteriak memperingatkan Sin Hong karena pemuda itu sedang menoleh kepadanya dan pada saat itu dia melihat Sin-kiam Mo-li telah menggerakkan pedangnya menusuk ke arah lambung pemuda berpakaian putih itu!
Akan tetapi, biarpun dia sedang menoleh ke arah Ciok Kim Bouw, tentu saja Sin Hong tahu akan serangan gelap itu. Pada waktu itu, tingkat ilmu kepandaiannya sudah mencapai titik yang tinggi sekali berkat penggabungan tenaga sin-kang yang diterimanya dari tiga orang gurunya dan berkat gemblengan ilmu-ilmu yang sudah mendarah daging di tubuhnya. Dia tahu akan tusukan yang datang menuju lambungnya dan tanpa menoleh, ketika tusukan tiba, tubuhnya sudah bergeser dan mengelak tanpa banyak kesulitan sehingga tusukan pedang Sin-kiam Mo-li mengenai tempat kosong! Sin-kiam Mo-li yang merasa penasaran dan bangkit kebenciannya kepada pemuda yang membuatnya tergila-gila namun yang berani menolak cintanya itu, sudah melanjutkan serangannya bertubi-tubi dengan kebutan dan pedangnya. Demikian cepat dan bersambungan datangnya serangan-serangan ini,
Namun semua dapat dihindarkan dengan amat mudahnya oleh Sin Hong, hanya dengan menggerakkan kedua tangan ke depan seperti menolak. Setiap kali telapak tangannya mendorong, ada kekuatan dahsyat yang meniup pergi bulu-bulu kebutan, bahkan telapak tangan itu berani menampar pedang itu sehingga tertangkis. Ciok Kim Bouw yang tadinya siap untuk membantu dengan goloknya yang akan dimainkan dengan tangan kiri, tidak jadi bergerak dan kini dia berdiri melongo. Kalau tadi ada seorang pemuda yang halus dan lembut gerak-geriknya menghadapinya dengan tangan kosong dan dia dikalahkan, kini ada seorang pemuda lain yang juga dengan tangan kosong bahkan berani melawan kebutan dan pedang di tangan Sin-kiam Mo-li! Kalau tidak melihat sendiri, tentu dia tidak akan percaya bahwa ada orang, apalagi masih begitu muda,
Berani menghadapi Sin-kiam Mo-li hanya dengan kedua tangan kosong saja. Toat-beng Kiam-ong Giam San Ek juga merasa heran dan kagum melihat betapa pemuda berpakaian serba putih itu berani melawan Sin-kiam Mo-li dengan tangan kosong. Akan tetapi dia percaya sepenuhnya bahwa kekasihnya tentu akan menang dan dalam waktu singkat merobohkan pemuda itu, dan dia tidak akan membunuh Ciok Kim Bouw, khawatir kalau kekasihnya merasa tersinggung dan marah. Biarlah Sin-kiam Mo-li yang melaksanakannya sendiri. Akan tetapi, betapa kagetnya ketika tiba-tiba Sin-kiam Mo-li mengeluarkan jeritan tertahan dan sebagi-an dari bulu kebutan itu rontok berhamburan ketika bertemu dengan jari-jari tangan Sin Hong yang mencengkeram! Tentu saja melihat Sin-kiam Mo-li terhuyung ke belakang, Giam San Ek cepat melompat maju dan menyerang dengan pedangnya.
"Tranggg....!"
Pedang itu ditangkis oleh golok Ciok Kim Bouw. Si muka hitam ini menjadi gembira sekali dan timbul semangatnya melihat betapa pemuda berpakaian putih itu benar-benar mampu menahan Sin-kiam Mo-li, bahkan dalam belasan jurus saja sudah merontokkan bulu kebutannya. Maka, melihat majunya Toat-beng Kiam-ong, dia pun maju membantu Sin Hong.
"Mundurlah!"
Sin Hong membentak sambil mendorongkan kedua tangan bergantian ke arah Giam San Ek. Si Raja Pedang ini meloncat meninggalkan Ciok Kim Bouw untuk menghadapi Sin Hong, namun dia bertemu dengan tenaga dorongan amat kuat, merupakan tenaga tidak nampak, seperti angin yang menahannya dan membuatnya terhuyung. Tentu saja dia terkejut bukan main dan pada saat itu Sin-kiam Mo-li berseru keras.
"Kiam-ong, mari kita pergi!"
Wanita itu pun sudah meloncat dan melarikan diri! Melihat ini, tentu saja Kiam-ong terkejut dan tanpa bertanya lagi dia pun membalik dan mengambil langkah seribu menyusul temannya. Melihat ini, Ciok Kim Bouw menjadi semakin kagum kepada Sin Hong. Dia cepat menghadapi pemuda itu dan mengangkat kedua tangan ke depan dada sambil membungkuk memberl hormat.
"Pendekar muda yang gagah perkasa telah menyelamatkan nyawaku yang tidak berharga. Aku adalah Ciok Kim Bouw, ketua Cin-sa-pang. Tidak tahu siapakah nama Taihiap (Pendekar Besar) yang mulia?"
Sambil memandang wajah laki-laki tinggi besar itu. Sin Hong berkata,
"Maaf, Pangcu. Pertemuan antara kita hanya kebetulan saja dan saya tidak ingin dikenal, yang paling penting adalah agar Paman mengetahui bahwa Paman telah menderita luka pukulan beracun yang amat berbahaya."
"Ahhh....!"
Ciok Kim Bouw berseru kaget, lalu menyingkap lengan bajunya yang kanan, memperlihatkan tanda merah kehitaman sebesar jari di bawah sikunya.
"Memang luka ini mendatangkan rasa gatal dan nyeri sekali...."
"Hemmm, itulah tanda bekas totokan jari beracun yang amat keji Pangcu,"
Kata Sin Hong.
"Biar saya mencoba untuk mengobatinya."
"Terima kasih, Taihiap, dan silakan,"
Kata ketua Cin-sa-pang itu sambil menyodorkan lengan kanannya, Sin Hong memegang lengan itu, kemudian mengguna-kan jari tangannya menotok jalan darah di atas siku, lalu mengurut luka itu. Terasa nyeri bukan main oleh Ciok Kim Bouw, namun ketua ini menahan rasa nyeri, Sin Hong lalu mencengkeram bagian yang berwarna merah kehitaman, menggunakan hawa sakti di tubuhnya melalui telapak tangan untuk "membakar"
Hawa beracun itu. Rasa nyeri dan panas membuat wajah ketua itu berpeluh, akan tetapi rasa panas itu semakin lama berkurang dan rasa nyeri pun lenyap. Setelah Sin Hong melepaskan tangan-nya, warna merah itu lenyap dan rasa nyerinya pun lenyap.
"Sudah baik kembali, Pangcu, dan saya harus melanjutkan perjalanan saya,"
Berkata demikian, Sin Hong lalu meloncat dengan cepat.
Ciok Kim Bouw hendak memanggil, namun diurungkan niatnya karena pemuda itu telah berkelebat cepat dan sudah jauh sekali. Dia hanya berdiri mengikuti bayangan itu yang makin mengecil akhirnya lenyap, berulang kali menarik napas panjang, kemudian dia pun melarikan diri dari tempat berbahaya itu. Sehari bertemu dengan dua orang muda yang demikian lihainya cukup bagi ketua ini, membuka matanya bahwa tingkat kepandaiannya masih jauh daripada cukup untuk dipakai malang melintang di dunia kang-ouw. Dia merasa rendah diri dan semenjak itu, dia lebih sering tinggal di pusat perkumpulan Cin-sa-pang untuk melatih diri, dan memperdalam ilmu silatnya. Sementara itu, di ruangan paling dalam dari rumah perkumpulan Tiat-liong-pang, Siangkoan Lohan menjamu beberapa orang tamunya.
Para tamu lain telah pulang dan kini hanya mereka yang menjadi sekutunya sajalah yang duduk semeja dengannya. Mereka adalah Sin-kiam Mo-li, Toat-beng Kiam-ong Giam San Ek, Agakai kepala suku Mongol, Thian Kong Cinjin wakil ketua Pat-kwa-pai dan Thian Kek Sengjin tokoh besar Pek-lian-pai. Masih ada beberapa orang lagi, di antaranya terdapat tiga orang berpakaian perwira yang agaknya baru datang karena mereka ini tidak nampak dalam pesta perayaan ulang tahun siang tadi. Ada pula terdapat seorang laki-laki, yang tentu akan membuat Sin Hong terheran heran kalau dia melihatnya. Laki-laki ini bertubuh tinggi kurus, bermuka pucat dan bermata tajam sekali. Mereka sedang bercakap-cakap dengan sikap yang serius, dipimpin oleh Siangkoan Lohan. Pada saat itu, Siangkoan Lohan sedang menyatakan penyesalannya kepada Sin-kiam Mo-li.
"Sungguh sayang sekali engkau tidak dapat menemukan ketua Cin-sa-pang itu, Mo-li. Padahal semua orang yang lain telah dapat dibasmi. Akan tetapi sudahlah, kukira dia tidak akan banyak bercerita, aku mengundang kalian hadir dalam pesta ulang tahun sebagai sesama. kaum persilatan, tidak ada bukti apa-apa tentang gerakan kita."
Sin-kiam Mo-li memang hanya menceri-takan bahwa ia dan Toat-beng Kiam-ong tidak berhasil mengejar Ciok Kim Bouw.
Ia merasa malu kalau harus menceritakan bahwa ia dan Raja Pedang itu lari ketakutan karena bertemu dengan seorang pemuda dari Istana Gurun Pasir. Hanya kepada Toat-beng Kiam-ong ia terpaksa menceritakan siapa adanya pemuda berpakaian putih yang amat lihai itu. Ketika mereka melarikan diri meninggalkan Sin Hong, Raja Pedang itu bertanya siapa adanya pemuda yang memiliki kepandaian hebat itu. Terpaksa Sin-kiam Mo-li lalu menceritakan bahwa ia pernah bertemu dengan pemuda itu ketika ia dan kawan-kawannya melakukan penyerbuan ke Istana Gurun Pasir sehingga akhirnya berhasil membunuh tiga orang tua sakti di istana itu, dan kemudian membakar istana kuno itu. Akan tetapi ketika itu, si pemuda masih merupakan pemuda lemah. Ia pun tidak tahu bagaimana pemuda itu muncul sebagai seorang yang demikian lihainya.
"Lain kali harap Siangkoan Pangcu lebih berhati-hati,"
Seorang di antara tiga orang berpakaian perwira tinggi itu berkata.
"Jangan sampai menimbulkan kecurigaan, terutama sekali kepada pemerintah sehingga kita akan terbentur dan mengalami banyak rintangan. Nah, sekarang harap Pangcu ceritakan dengan jelas segala hasil usaha yang telah dilakukan dan rencana selanjutnya."
Perwira ini nampaknya berwibawa dengan kumisnya Yang tebal dan sikapnya yang agak sudah biasa memerintah dan ditaati.
"Harap Song-ciangkun jangan khawatir. Kami sengaja mengundang tokoh-tokoh kang-ouw yang kenamaan dan memiliki kepandaian, untuk menarik mereka sebagai pembantu dan buktinya, sebagian besar dari mereka boleh diharapkan akan membantu kita. Adapun mereka yang menentang, telah kami singkirkan. Lolosnya seorang di antara mereka, ketua Cin-sa-pang itu tidak ada artinya. Hasil besar usaha kami terutama sekali pembasmian Istana Gurun Pasir dan penghuninya, walaupun untuk hasil itu kami kehilangan banyak sekali kawan dan untuk itu, biarlah diceritakan sendiri oleh ia yang telah berjasa, Sin-kiam Mo-li. Mo-li, ceritakanlah pengalamanmu di Gurun Pasir dua tahun yang lalu itu."
Sin-kiam Mo-li tadi sudah diperkenalkan kepada tiga perwira itu dan ia maklum bahwa Song-ciangkun itu adalah utusan panglima perang Kerajaan Ceng yang berkuasa di perbatasan utara dan yang telah bersekutu dengan Siangkoan Lohan.
Dua orang perwira lain adalah pembantu-pembantunya. Memang usaha persekutuan yang dipimpin oleh Siangkoan Lohan untuk memberontak itu sudah direncanakan sejak kurang lebih sepuluh tahun yang lalu. Penyerbuannya ke gurun pasir merupakan satu di antara usaha persekutuan itu untuk memperlicin jalan. Istana Gurun Pasir dan penghuninya dianggap sebagai suatu bahaya besar, karena mereka semua maklum belaka bahwa keluarga Istana Gurun Pasir, seperti juga keluarga Pulau Es, selalu menentang pemberontakan walaupun mereka bukan orang-orang yang menghambakan diri kepada pemerintah Mancu. Oleh karena itu, juga terdorong oleh perasaan benci oleh permusuhan sejak dahulu, Sin-kiam Mo-li dan kawan-kawannya dari Pat-kwa-pai dan Pek-lian-pai, melakukan penyerbuan ke Istana Gurun Pasir.
"Penyerbuan kami yang berhasil baik namun mengorbankan banyak kawan itu terjadi kurang lebih dua tahun yang lalu. Kami kehilangan empat belas orang kawan, akan tetapi berhasil membunuh tiga orang penghuni istana yang amat lihai, juga kami telah membakar habis istana itu."
Sin-kiam Mo-li lalu menceritakan peristiwa yang terjadi dua tahun yang lalu itu, didengarkan dengan penuh perhatian oleh tiga orang perwira tinggi itu, dan mereka mengangguk-angguk kagum dan juga senang. Lenyapnya Istana Gurun Pasir dan para penghuninya bagi mereka merupakan lenyapnya satu di antara bahaya yang mungkin akan menyusahkan mereka dan menghalangi rencana mereka. Setelah Sin-kiam Mo-li selesai bercerita, Song-Ciangkun berkata kepada Siangkoan Lohan.
"Bagus sekali dan jasa itu cukup besar, akan kami catat. Sekarang, bagaimana dengan usaha menghimpun kekuatan dari luar tembok? Sampai di mana hasilnya?"
"Hal itu ditangani sendiri oleh saudara Agakai yang juga hadir di sini dan yang akan dapat menceritakan dengan jelas,"
Jawab Siangkoan Lohan sambil memandang kepada kepala suku Mongol itu. Kepala suku Mongol yang mengaku putera mendiang Tai-lucin dan Keturunan Jenghis Khan itu, yang usianya sudah lima puluh tiga tahun Mengangkat dadanya yang bidang dan dengan sikap yang agung karena yakin Akan kemampuan dirinya, dia lalu menceritakan hasil usahanya yang telah dicapai. Dia menceritakan bahwa dia telah mendapatkan banyak kemajuan dalam membangkitkan kembali kekuasaan dan kebesaran Mongol, membangun kembali Kerajaan Mongol yang pernah menguasai seluruh Cina dan negeri di sekitarnya.
"Jangan khawatir,"
Dia menutup ceritanya.
"Biarpun suku terbesar belum dapat saya bujuk, namun kelompok-kelompok suku yang kecil-kecil, terutama mereka yang terdesak dan keadaan hidupnya kekurangan, sudah menyatakan persetujuan mereka dan apabila saatnya tiba, kami dapat mengerahkan tidak kurang dari seratus ribu orang."
Song-ciangkun dan dua orang kawannya kelihatan gembira sekali Mendengar laporan Agakai itu.
Bagus, pikir Song-ciangkun yang sudah tahu akan Siasat yang dipergunakan atasannya, yaitu Panglima Coa yang berkuasa sebagai komandan pasukan yang bertugas jaga di perbatasan utara. Panglima Coa memang berniat untuk melaksanakan pemberontakan setelah dapat dibujuk dan dihasut oleh Siangkoan Lohan. Dan dia berpendapat bahwa tanpa bantuan pasukan lain yang besar dan kuat, akan sukarlah diharapkan untuk dapat berhasil menggempur pasukan pemerintah. Akan tetapi, kalau suku bangsa Mongol mau membantu, mengingat akan kemampuan tempur mereka, tentu akan lain jadinya. Pula, pasukan yang dipimpin Panglima Coa dapat terus minta tambahan pasukan untuk memperkuat posisinya, dengan Dalih bahwa bangsa-bangsa liar dari luar tembok mengadakan gangguan dan pemberontakan.
Dan pihak pasukan pemberontak yang dipimpin Panglima Coa membiarkan Agakai bermimpi bahwa gerakan itu adalah demi kepentingan pembangkitan kembali kekuatan dan kekuasaan Mongol! Dengan demikian, kedua pihak diam-diam hanya akan saling mempergunakan demi keuntungan sendiri! Dan Siangkoan Lohan tahu akan hal ini, maka diam-diam dia ingin mempergunakan kesempatan itu untuk keuntungan diri sendiri atau lebih tepat, keuntungan dan masa depan puteranya! Kalau gerakan itu berhasil, kalau mereka berhasil menggulingkan pemerintah Mancu, Panglima Coa sudah setuju untuk mengangkat Siankoang Liong menjadi kaisar kerajaan baru yang mereka bangun, dan Coa-ciangkun tentu saja menjadi orang ke dua setelah kaisar!
"Dan bagaimana dengan pusat kedudukan di perbatasan untuk Penyebaran mata-mata dan utusan melewati Tembok Besar seperti yang Pangcu pernah ceritakan kepada Coa Tai-ciangkun?"
Tanya pula Song-ciangkun. Siangkoan Lohan tersenyum gembira.
"Sudah beres, Ciangkun! Rencana Yang kita jalankan delapan tahun yang lalu kini telah matang. Piauwkiok di Ban-goan itu telah kita kuasai sepenuhnya sehingga dengan menyamar sebagai para piauwsu, maka utusan-utusan dan mata-mata kita dapat dengan mudah hilir mudik menyeberangi Tembok Besar tanpa menimbulkan kecurigaan sama sekali. Dan untuk pengurusan dalam keperluanitu, telah kami serahkan kepada murid murid kami sendiri yang boleh dipercaya."
Persekutuan ini lalu berunding sambil makan minum, dan agaknya tiga orang perwira utusan Coa-ciangkun itu merasa gembira sekali dengan hasil pertemuan malam itu. Apalagi ketika pertemuan itu selesai, mereka diantarkan ke dalam kamar masing-masing, sebuah kamar yang indah mewah dan bersih, dan lebih hebat lagi, masing-masing di sambut senyum manis dan gaya memikat dari seorang wanita muda yang siap melakukan apa saja untuk menyenangkan hati tamu agung itu. Siangkoan Lohan memang pandai mengambil hati orang dan untuk itu, dia tidak segan-segan memerintahkan selir-selirnya untuk menghibur tamu agung! Ambisi merupakan ladang subur pertumbuhan si aku. Kita tidak pernah merasa puas dengan apa yang kita miliki,tidak pernah merasa senang dengan keadaan kita sendiri.
Kita selalu memandang keadaan orang-orang lain dan membanding-bandingkan, dan keadaan orang yang lebih kaya, lebih tinggi kedudukannya, lebih pintar, lebih terhormat dan sebagainya membuat kita selalu merasa diri sendiri rendah, kurang dan serba tidak memuaskan! Dari sinilah timbul ambisi! Ingin yang lebih dari pada keadaan sekarang! Dan mulailah kita Melakukan pengejaran terhadap bayangan indah berupa cita-cita atau ambisi itu. Bagaikan bayangan, yang kita kejar itu tidak pernah berhenti, makin di dapat, semakin kurang dan semakin haus. Sekali tidak mampu menikmati keadaan sekarang, sampai kapanpun tidak akan pernah mampu menikmati keadaan diri sendiri karena mata ini selalu memandang ke adaan orang lain yang serba lebih, dan mata selalu memandang untuk mengejar yang di depan dan cita-cita atau ambisi ini makin dikejar semakin membesar dan semakin menjauh sehingga takkan habisnya kita mengejar,
Sampai mati! Kita di bius oleh kata-kata yang indah seperti cita-cita, kemajuan, dan sebagainya lagi. Lalu apakah kita lalu menjadi layu, melempem, tak bergairah dan tidak melangkah, statis dan acuh, mati kutu? Bukan demikian bagi orang yang bijaksana dan waspada akan keadaan diri pribadi setiap saat. Kewaspadaan ini akan menuntun ke arah perbuatan dan langkah yang benar. Hati yang tidak dibebani keinginan-keinginan, iri hati, membanding-bandingkan, hati yang demikian itu bersih dan akan mampu menampung datangnya sinar bahagia, dapat menikmati keadaan bagaimanapun juga. Batin yang kosong dari segala macam nafsu sajalah yang mengenal apa artinya cinta kasih dan hidup penuh sinar cinta kasih adalah bahagia.
Ambisi atau pengejaran keinginan selalu mendatangkan perbuatan-Perbuatan yang menyeleweng! Segala cara dilakukan orang untuk mencapai tujuan. Tujuan menghalalkan segala cara karena tujuanlah yang terpenting bagi seorang yang ambisius. Namun sebaliknya, caralah yang terpenting bagi orang yang waspada, karena cara inilah kehidupan sehari-hari, langkah-langkah hidup, sedangkan tujuan hanyalah bayangan, khayalan yang dikejar-kejar. Pengejaran akan sesuatu yang dianggap akan mendatangkan kebahagiaan membuat kita buta, dalam mengejar itu kita tidak peduli lagi apakah kita melangkahi orang, menendang orang yang kita anggap menghalang di depan. Pengejaran kesenangan inilah sesungguhnya yang menciptakan segala macam tindakan kemaksiatan! Hal ini jelas nampak di sekeliling kita kalau saja kita mau membuka mata.
Pengejaran kesenangan melalui uang menimbulkan perampokan, pencopetan, pencurian, penipuan, korupsi, penyuapan, penyelundupan dan sebagainya lagi, cara-cara yang di halalkan untuk mencapai tujuannya, yaitu memperoleh uang secara mudah dan banyak, termasuk diantaranya perjudian. Pengejaran kesenangan melalui sex menimbulkan perkosaan, perjinaan dan pelacuran. Pengejaran kesenangan Melalui kedudukan menimbulkan perebutan kekuasaan, pertentangan, pemberontakan, perang! Apakah kalau begitu kita tidak boleh menikmati kesenangan? Sebaliknya malah! Orang yang bebas akan pengejaran kesenangan akan menikmati setiap keadaan, sedangkan pengejaran kesenangan melenyapkan kenikmatan dari keadaan yang sudah ada! Tanpa keinginan memperoleh minuman lain, segelas air putih akan terasa nikmat, sedangkan hati yang dipenuhi keinginan minum bir, diberi limun sekalipun takkan dapat menikmati limun itu!
Ada yang berkata bahwa orang takkan menjadi kaya raya tanpa pengejaran! Benarkah ini? Boleh kita lihat buktinya di sekeliling kita! Kita semua ini Adalah pengejar-pengejar uang sejak kecil, siapa diantara kita yang kaya raya? Semua masih merasa kurang dan tak seorangpun merasa dirinya kaya raya! Namun,lihatlah dia yang makan demikian lahap dan nikmatnya walaupun hanya dengan sayur asam dan sambal, lihatlah dia tidur demikian nyenyaknya walau di atas tikar, dia yang mampu tertawa lahir batin, dia yang menikmati keadaannya. Dia itulah orang kaya raya! Cita-cita atau ambisi yang dimiliki Siang-koan Lohan adalah untuk melihat putera tunggalnya, Siangkoan Liong, menjadi pengganti kaisar! Cita-cita yang tidak kepalang besarnya, yang muncul dalam benaknya bukan tanpa sebab. Sebab itu terjadi kurang lebih sebelas atau dua belas tahun yang lalu.
Ketika itu, Siangkoan Liong baru berusia delapan tahun lebih. Anak ini memang berbakat sekali dan suka akan ilmu silat sehingga Siangkoan Lohan dengan penuh semangat menggembleng puteranya itu. Pada waktu itu, sedikitpun dia tidak memiliki keinginan untuk memberontak. Dia adalah, seorang yang dianggap keluarga oleh istana, bahkan isteri-nya yang telah meninggal, ibu kandung Siangkoan Liong, adalah seorang puteri dari istana yang di hadiah kan oleh kaisar kepadanya. Siangkoan Lohan yang bernama SiangkoanTek Itu selalu merasa berterimakasih dan setia kepada Kerajaan Ceng dan sedikitpun tidak pernah mempunyai hati untuk memberontak. Pada suatu hari, selagi Siangkoan Lohan melatih ilmu silat kepada puteranya Di kebun belakang yangsunyi, tiba-tiba saja terdengar seruan halus memuji,
"Ilmu silat bagus ....!"
Siangkoan Lohan cepat menghentikan gerakannya ketika memberi contoh kepada puteranya dan menengok. Kiranya yang mengeluarkan seruan pujian itu adalah seorang laki-laki berusia kurang lebih enam puluh tahun yang berdiri tegak di atas pagar tembok kebun itu. Diam-diam Siangkoan Lohan terkejut. Ada orang meloncat ke dalam pagar tembok demikian dekat dan dia sama sekali tidak tahu atau mendengarnya! Akan tetapi, laki-laki itu agaknya tidak mempedulikan padanya karena sedang memandang ke arah Siangkoan Liong dan kembali dia memuji.
"Anak yang memiliki bakat yang amat baik untuk menjadi kaisar sekalipun!"
Tentu saja ucapan ini membuat Siangkoan Lohan menjadi terkejut bukan main, apalagi mendengar betapa kata-kata yang keluar dari mulut orang itu logatnya asing walaupun halus dan teratur rapi. Dia memandang penuh perhatian. Seorang laki-laki yang tinggi kurus dan mengenakan pakaian bersih yang amat rapi seperti pakaian seorang pelajar, seorang siucai, rambutnya tersisir rapi dan segala yang nampak pada dirinya, biarpun tidak mewah namun bersih dan rapi. Siangkoan Lohan yang dapat menduga bahwa tentu orang ini bukan orang biasa, cepat memberi hormat dari bawah tembok.
"Sahabat yang baik terlalu memujiilmu silat kami yang tidak ada artinya dan memuji pula puteraku yang bodoh. Silakan turun dan menikmati secawan arak denganku."
Orang itu tersenyum mengangguk,
"Tidak salah pendengaranku. Ketua Tiat-liong-pang memang seorang laki-laki gagah perkasa dan peramah, dapat menghargai orang lain. Sayang kurang semangat!"
Setelah berkata demikian, dia meloncat turun. Cara dia meloncat turun ini yang mengejutkan hati Siangkoan Lohan karena tubuh itu sama sekali tidak membuat gerakan keseimbangan, melainkan meluncur begitu saja seperti balok jatuh, akan tetapi ketika tiba di atas tanah, sama sekali tidak mengeluarkan suara dan kedudukan kaki dan anggauta tubuh lain masih seperti tadi. Juga dia teringat betapa para anggauta Tiat-liong-pang selalu melakukan penjagaan ketat diluar pagar tembok, bagaimana orang ini dapat enak-enak begitu saja memasuki taman tanpa ada muridnya yang mengetahuinya?
"Harap maafkan kalau kami belum mengenal nama besar sahabat yang baru datang dan sebaliknya engkau sudah mengenalku. Siapakah engkau, Sobat dan dari mana engkau datang, ada keperluan apa pula datang berkunjung secara ini?"
Sikap orang itu terlalu halus sehingga Siangkoan Lohan juga tidak mempunyai alasan untuk marah, apalagi orang itu tadi memuji-muji puteranya, memuji ilmu silatnya, dan memuji dirinya sebagai ketua Tiat-liong-pang. Kembali orang itu tersenyum, bahkan senyumnya saja senyum sopan!
"Semua orang menyebutku Ouwyang Sianseng (Tuan Ouwyang). Harus bercerita panjang lebar untuk memberitahu dari mana aku datang dan sebetulnya aku tidak mempunyai keperluan khusus, hanya kebetulan lewat dan mendengar kalian berlatih silat, aku ingin menonton. Puteramu ini sungguh hebat, kalau di didik dengan benar, kelak akan menjadi orang besar, bahkan patut menjadi kaisar!"
Siangkoan Lohan mengerutkan alisnya. Orang ini agaknya keterlaluan bicaranya, pikirnya. Bagaimana mungkin puteranya menjadi kaisar? Dan dia seorang yang setia, terhadap kerajaan!
"Ouwyang Sianseng, harap jangan berlebihan memuji puteraku. Aku hanyalah ketua perkumpulan, bagaimana mungkin puteraku menjadi kaisar?"
Ouwyang Sianseng tersenyum.
"Aku sejak kecil mempelajari kesusastraan Dan ilmu perbintangan, dan aku melihat bahwa puteramu ini memang pantas Untuk menjadi kaisar, Pangcu. Bukankah dia memiliki darah bangsawan istana pula? Tidak percuma orang menjuluki aku Namsan Sian-jin (Manusia Dewa Gunung Selatan) kalau aku tidak dapat melihat arti garis-garis pada wajah anak ini,"
Katanya tanpa bernada menyombongkan diri, bahkan pandang matanya terhadap Siangkoan Liong jelas membayangkan kekaguman,
"Akan tetapi tentu saja diaharus di didik sebaiknya, dan pendidikanmu hanya menjadi pendidikan dasar saja, Pangcu. Kalau kelak aku yang melanjutkan pendidikannya, barulah kemungkinan dia menjadi kaisar semakin besar."
Mendengar ucapan terakhir ini, tentu saja Siangkoan Lohan mengerutkan alisnya dan merasa tidak senang batinnya. Betapa sombongnya orang ini, pikirnya, berani mengeluarkan ucapan yang amat meremehkannya, seolah-olah kepandaiannya masih amat rendah tingkatnya dibandingkan tingkat kepandaian orang itu!
"Nanti dulu, Sobat!"
Katanya sambil tertawa, akan tetapi ketawanya agak masam karena biarpun orang ini datang memuji puteranya dan bermaksud untuk mendidik puteranya agar menjadi kaisar, namun nada suara orang ini amat memandang rendah.
(Lanjut ke Jilid 06)
Kisah Si Bangau Putih (Seri ke 14 - Serial Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 06
"Tidak ada orang lain boleh mendidik puteraku kecuali kalau orangitu memiliki ilmu kepandaian yang jauh lebih tinggi dariku. Kelak dia menjadi orang besar atau tidak, hal itu terserah kepada nasibnya, akan tetapi untuk pendidikannya, ada aku di sini yang mendidiknya, bukan orang lain. Tentu saja boleh dia berguru kepadamu kalau memang ada buktinya bahwa kepandaianmu jauh lebih tinggi daripada aku."
Kembali kakek yang halus tutur sapanya itu tersenyum.
"Siangkoan Pangcu, namamu sebagai ketua Tiat-liong-pang sudah terkenal di empat penjuru, Dan semua orang tahu bahwa engkau memiliki ilmu silat yang hebat, Tendangan maut dan tenaga luar dalam yang sukar dicari tandingannya! Akan tetapi untuk dapat mendidik murid seperti aku, engkau masih harus belajar banyak. Tentu saja kepandaianku lebih tinggi darimu, Pangcu. Aku hanya bicara seadanya saja, bukan bermaksud menyombongkan diri."
Memang demikianlah, ketua Tiat-liong-pang itu pun kini melihat betapa orang di depannya itu tidak menyombong, bicara dengan suara seolah-olah menerang kan sesuatu yang sudah pasti. Karena sikap orang itu tidak sombong dan tidak mengandung iktikad buruk terhadapnya, maka dia tidak marah, hanya merasa penasaran sekali. Sementara itu, Siangkoan Liong sejak tadi mendengarkan percakapan antara kedua orang tua itu dan kini dia pun merasa penasaran.
"Ayah, buktikan bahwa Ayah tidak kalah olehnya, agar dia cepat pergi dan tidak mengganggu kita lagi."
Orang yang mengaku bernama Ouwyang Sianseng atau berjuluk Nam-san Sian-jin itu tersenyum gembira memandang Siangkoan Liong.
"Bagus, anak ini sudah memiliki sifat terbuka dan gagah. Majulah, Pangcu, dan mari kita sama membuktikan kebenaran omonganku tadi. Kalau engkau tidak mampu mengalahkan aku, kelak setelah engkau selesai mengajarkan ilmu-ilmu dasar kepada puteramu aku akan melanjutkan pendidikannya. Sebaliknya, kalau engkau dapat mengalahkan aku, aku akan minta maaf dan aku pergi tidak akan mengganggu kalian lagi."
Tantangan ini diucapkan dengan halus dan sama sekali tidak mengandung nada permusuhan, maka Siangkoan Lohan lalu melangkah maju menghadapi kakek itu.
"Baik, marilah kita memulai perkenalan kita dengan menguji kepandaian, Ouw-yang Sianseng. Dengan cara bagaimana engkau menghendaki mengadu kepandaian?"
Sebagai seorang ketua yang berwibawa dan sadar akan kedudukannya, Siangkoan Lohan bersikap mengalah dan mempersilakan calon lawan untuk menentukan cara. Akan tetapi, kakek berpakaian rapi dan bersikap sopan, itu menjura dengan hormat dan tersenyum.
"Senjata yang paling ampuh berada didalam diri, bukan di luar diri. Hal ini tentu telah kau ketahui pula, Pangcu. Aku sudah mendengar akan kelihaian pukulan dan tendanganmu, dan bahwa dengan kaki tangan dan tenagamu saja, engkau lebih lihai daripada puluhan orang bersenjata. Kebetulan aku sendiri pun seorang yang paling tidak suka melihat orang mempergunakan senjata dalam perang, membunuhi sesama manusia seperti orang membunuh binatang saja. Bagaimana kalau kita main-main sebentar dengan mengandalkan kaki tangan saja, senjata-senjata pemberian Tuhan sejak kita lahir?"
Hati Siangkoan Lohan tertarik sekali.
Tentu saja dia akan merasa Beruntung sekali kalau ternyata benar bahwa kakek ini memiliki ilmu kepandaian yang lebih tinggi tingkatnya darinya, untuk menjadi guru puteranya. Bagaimanapun juga, dia meragukan akan hal ini. Dia mengenal tokoh-tokoh besar di dunia persilatan, dan agaknya hanyalah keturunan para pendekar Pulau Es dan Gurun Pasir saja yang akan mampu menandinginya di antara para pendekar, dan hanya datuk-datuk sesat yang sudah terkenal seperti dari Pat-kwa-pai dan Pek-lian-pai saja yang setingkat dengan kepandaiannya. Akan tetapi orang ini sama sekali tidak terkenal walaupun mengaku berjuluk Manusia Dewa Gunung Selatan (Nam-sanSian-jin)!
"Baiklah Ouwyang Sianseng. Aku mengharapkan petunjuk darimu,"
Katanya sambil menggerakkan kedua lengannya, saling berputaran dengan jari-jari tangan membentuk cakar naga. Kedua lengan itu menggetar dan terdengar suara berkerotok ketika tenaga yang amat kuat mengalir ke dalam kedua tangan itu. Melihat ini, Ouwyang Sianseng tersenyum mengangguk-angguk.
"Memang bukan nama kosong, hebat Ilmu Liong-jiauw-kang (TenagaCakarNaga) itu. Mulailah, Pangcu, aku siap menyambut seranganmu!"
"Awas pukulan!"
Tiba-tiba ketua Tiat-liong-pang itu membentak sebagai isyarat bahwa dia mulai menyerang.
Angin menyambar dahsyat ketika lengan kirinya meluncur dari samping dan mengirim cakaran ke arah telinga kanan lawan sedangkan tangan kanan juga bergerak dalam detik berikutnya menyusul serangan pertama itu dengan cengkeraman kearah perut. Kedua tangan dengan jari-jari tangan yang membentuk cakar naga ini luar biasa kuatnya. Jangankan bagian tubuh manusia, bahkan batu karang pun akan hancur terkena cengkeraman itu! Perlu diketahui bahwa tingkat kepandaian SiangkoanTek yang sudah terkenal dengan sebutan Siangkoan Pangcu (KetuaSiangkoan) atau Siangkoan Lohan ini sudah amat tinggi. Dia memiliki tenaga yang dahsyat, yaitu tenaga Liong-jiauw-kang (Cakar Naga) sedangkan ilmu silatnya yang bernama Tiat-wi Liong-kun (Silat Naga Berekor Besi) amat tangguh pula, disamping ilmu andalannya yang disebut Ban-kin-twi (Tendangan Selaksa Kati).
Disamping ini, juga dia seorang ahli ilmu gulat dari bangsa Mongol, maka, kedua tangan yang membentuk cakar naga itu, selain dapat dipergunakan untuk memukul, menampar dan cengkeraman, juga dapat di ubah menjadi jari-jari tangan seorang jago gulat yang tangkapannya membahayakan lawan! Menghadapi cengkeraman ke arah kepala dan perutnya, Ouwyang Sianseng tidak nampak gugup. Kakinya melangkah kebelakang dan kedua tangannya, dengan jari tengah dan jari telunjuk tegak, menyambut kedua tangan lawan dengan totokan ke arah telapak tangan! Melihat ini Siangkoan Lohan terkejut. Kalau orangitu berani menotok telapak tangannya yang penuh dengan tenaga Liong-jiauw-kang,
Berarti bahwa orang itu tentu memiliki sin-kang yang amat kuat. Dia tidak berani mencoba mengadu tenaganya, karena kalau hal itu terjadi, telapak tangannya menyambut totokan jari tangan lawan, seorang di antara mereka tentu akan dapat terluka parah. Maka dia pun cepat menarik kembali kedua tangannya dan tiba-tiba saja kedua kakinya melakukan tendangan, mula-mula yang kanan lalu disusul yang kiri, kemudian kanan lagi. Tendangan bertubi-tubi itu selain amat cepat, juga tenaganya bahkan lebih dahsyat daripada cengkeraman tadi sehingga debu dan tanah mengebul tinggi seolah-olah kedua batang kaki itu menjadi kitiran yang mendatangkan angin besar menerbangkan debu dan daun kering. Melihat betapa tendangan itu semakin lama semakin kuat, Ouwyang Sianseng yang mengelak ke kanan kiri dan kebelakang itu mengeluarkan suara pujian.
"Ilmu tendangan yang berbahaya!"
Katanya dan kini selain mengelak, kedua tangannya yang dimiringkan juga beberapakali menyambut tendangan dengan tangkisan. Terdengar suara berdebuk-debuk ketika tangan bertemu kaki, dan keduanya terdorong mundur. Kembali Siangkoan Lohan terkejut. Tangan itu mampu menahan tendangannya! Bukan main, kakek ini benar-benar memiliki sinkang yang hebat. Diapun lalu menyerang dengan desakan, mengeluarkan jurus-jurus terampuh dari Ilmu Silat Tiat-wi Liong-kun. Tubuh ketua ini bergerak cepat seperti seekor naga sakti, dengan kedua tangan membentuk cakar dan kedua kakinya menyabet-nyabet seperti seekor naga yang mengamuk.
Namun,Ouwyang Sianseng mengimbangi kecepatannya dengan gerakan-gerakan aneh dan lincah sekali. Kadang-kadang kakek ini berloncatan, atau seperti merak terbang, kedua tangannya digerakkan seperti sayap, kedua kakinya itu berloncatan dan sambil meloncat, kakinya itu menendang, atau tangannya membentuk kerucut atau paruh burung untuk menotok dari atas. Gerakannya mirip seekor merak dan memang ilmu silat yang dimainkan adalah ilmu silat merak yang aneh dan indah, juga lihai sekali. Memang ilmu silat yang aneh dan tidak pernah dikenal oleh Siangkoan Lohan, dan ilmu silat dari selatan ini disebut Kong-ciak Sin-kun(Ilmu Silat Merak). Karena sampai puluhan jurus dia tidak mampu mendesak lawan,
Bahkan kadang-kadang gerakannya menjadi kacau oleh keanehan gerakan lawan. Siangkoan Lohan menjadi semakin penasaran. Dia menggereng keras dan tiba-tiba cengkeraman tangan kanannya berhasil me-nangkap pergelangan tangan kiri lawan. Selagi dia hendak menggunakan ilmu gulat untuk membanting, tiba-tiba saja kakek itu mendekat, memutar tubuh dan siku lengan dari tangan yang tertangkap itu sudah menyerang ke arah dada Siangkoan Lohan. Cepat dan hebat serangan ini, sehingga terpaksa pegangannya dilepaskan dan pada saat itu, kedua tangan lawan dengan jari tangannya yang lihai telah menghujankan totokan kearah jalan darah di bagian tubuh depan sebanyak tujuh kali! Tentu saja dia terkejut dan menjadi repot untuk mengelakdan menangkis, dan terpaksa harus meloncat ke belakang karena dia merasa terdesak.
Rasa penasaran membuat ketua Tiat-liong-pang ini mengerahkan sin-kang dan mengirim serangan dari jauh dengan mendorong kedua tangan dengan telapak tangan terbuka ke arah lawan. Melihat ini, Ouwyang Sianseng tersenyum dan diapun menyambut dengan dorongan kedua telapak tangannya. Dua tenaga dahsyat yang tidak nampak bertemu di udara dan akibatnya, tubuh Siangkoan Lohan terdorong ke belakang sampai terhuyung. Tahulah Siangkoan Lohan bahwa lawannya itu benar-benar lebih tangguh darinya, kalau lawan itu menghendaki,dia tentu sudah roboh dan kalah! Hal ini di samping menimbulkan keheranan dan kekaguman, juga dia merasa girang bukan main dan mulailah dia percaya akan omongan orang ini bahwa puteranya berbakat untukmenjadi kaisar! Dia pun menghenti-kan gerakannya dan menjura dengan sikap hormat.
"Nam-san Sian-jin, sungguh baru sekarang saya harus mengakui keunggulan seorang yang ternyata lebih pandai daripada saya. Saya persilakan Sian-jin untuk menjadi tamu kami agar perkenalan kita menjadi lebih akrab dan saya ingin minta petunjuk tentang putera kami kepada Seng-jin."
Kakek itu mengangguk-angguk.
"Baiklah, Pangcu, danterima kasih atas kepercayaanmu."
Sementara itu, Siangkoan Liong yang mendengar akan pengakuan ayahnya bahwa kakekitu lebih lihai dari ayahnya, menjadi bengong, kemudian anak yang cerdik ini lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Ouwyang Sianseng atau Namsan Sian-jin.
"Locianpwe berjanji akan mengambil teecu (murid) sebagai murid, oleh karena itu mulai sekarang, Locianpwe (Orang Tua Gagah) adalah Suhu (Guru) bagi teecu."
Dan dia pun memberi hormat sebanyak delapan kali sambil menyebut "suhu". Kakek itu tersenyum gembira, lalu membangunkan anak itu, meraba-raba pundak, lengan dan kakinya sambil mengangguk-angguk.
"Sudah kuduga, bertulang baik sekali. Pantas menjadi muridku, pantas menjadi calon kaisar!"
Mendengar ini, hati Siangkoan Lohanmenjadi gembira bukan main dan dia pun lalu mengajak tamunya masuk ke dalam, dan mengadakan pesta untuk menyambut dan menghormati tamunya. Dalam kesempatan ini Siangkoan Lohan lebih banyak mengenal tamunya dan kakek itupun dengan singkat menceritakan siapa dia sebenarnya. Nam-san Sian-jin adalah seorang bekas pembesar tinggi di negara Birma! Dia seorang bangsa Han yang memiliki ilmu kepandaian tinggi dan sejak muda dia suka merantau untukmemperdalam ilmunya. Perantauannya membawanya ke Birma dan di sana dia, berkat kelihaiannya, memperoleh kepercayaan dari raja, diberi kedudukan dan karena jasa-jasanya, dia bahkan kemudian diangkat menjadi penasehat raja. Dialah yang berjasa besar dalam menghadapi penyerbuan balatentara Mancu yang berkali-kali menyerbu ke selatan,
Kisah Si Bangau Putih Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Namun tidak pernah dapat menguasai Birma. Berkat pertahanan Birma yang kokoh kuat, dibawah pimpinan Nam-san Sian-jin! Dia setia kepada Birma, apalagi karena oleh raja, dia dihadiahi seorang puteri istana untuk menjadi isterinya. Juga dia menentang keras pasukan Mancu karena dia tahu bahwa bangsa Mancu adalah bangsa yang menjajah Cina, dari mana berasal. Akan tetapi, terjadi malapetaka menimpa keluarganya ketika berkobar perang melawan balatentara Mancu. Dalam suatu penyerbuan, ada pasukan yang berhasil menerjang kota dan menyerbu gedungnya, dan isteri bersama tiga orang anaknya tewas dibantai mereka! Wajah yang tadinya halus lembut dan gembira itu berubah menjadi pucat dan matanya memancarkan sinar berapi ketika dia bercerita sampai di bagian itu. Dia mengepal tinju.
"Mereka telah membasmi anak isteriku, keparat Mancu! Aku lalu mengamuk, membunuh sebanyak mungkin orang-orang yang telah menyerbu rumah kami, dan akhirnya aku terpaksa lari dari Birma...."
Siangkoan Lohan mendengarkan dengan penuh perhatian dan dia pun ikut merasa prihatin.
"Tapi.... mengapa engkau harus lari dari sana, Sian-jin?"
Tanyanya hati-hati melihat orang itu seperti marah-marah.
"Aku dikatakan gila! Yang mengatakan adalah seorang menteri. Kubunuh dia dan setelah melakukan pembunuhan terhadap seorang menteri, aku menjadi buronan dan terpaksa melarikan diri dari Birma. Pula, aku sudah tidak mempunyai sanak keluarga di sana, untuk apa lebih lama tinggal di sana? Aku membawa simpanan hartaku dan melarikan diri, kini tinggal di bukit selatan menjadi pertapa. Orang-orang di sekitar daerah itu menyebut aku Nam-san Sian-jin."
Siangkoan Lohan merasa kagum sekali mendengar riwayat hidup kakek yang memiliki ilmu kepandaian amat tinggi itu. Tentu saja Nam-san Sian-jin tidak menceritakan apa yang menjadi cita-citanya. Dia mendendam kepada Kerajaan Mancu yang dianggap telah membasmi keluarganya dan merusak kebahagiaan hidupnya. Oleh karena itu, dia bersumpah untukmembalas dendam, untuk menghancurkan Kerajaan Mancu yang menjadi cita-cita terakhir dari hidupnya. Inilah sebabnya, ketika melihat Siangkoan Lohan dan puteranya, dia tertarik sekali.
Melalui perkumpulan Tiat-liong-pang yang dia tahu amat berpengaruh dan kuat ini dia akan dapat mengumpulkan kekuatan untuk menentang Kerajaan Mancu. Dan dia dapat menggerakkan hati Siangkoan Lohan dengan memuji-muji puteranya yang dikatakan berbakat untuk menjadi calon kaisar. Tentu saja dia sudah menyelidiki keadaan keluarga Siangkoan Lohan ini dan tahu bahwa mendiang ibu anak itu adalah seorang bangsawan tinggi, anggauta keluarga Kerajaan Mancu. Dan diapun berhasil menggerakkan hati Siangkoan Lohan, seperti ternyata kemudian betapa Siangkoan Lohan yang kini mempunyai ambisi agar puteranya menjadi kaisar,mulai mengadakan persekutuan untuk memberontak dan menjatuhkan Kerajaan Mancu agar puteranya mendapat kesempatan menjadi kaisar seperti yang diramalkan oleh Nam-san Sian-jin!
Selama beberapa tahun, kadang-kadang Nam-san Sian-jin datang berkunjung dan dalam percakapan mereka, kakek ini menanam dan menyebar bibit-bibit pemberontakan ke dalam hati Siangkoan Lohan demi masa depan puteranya Sehingga ketua Tiat-liong-pang yang tadinya terkenal sebagai seorang yang amat setia kepada Kerajaan Ceng, kini berubah dan ingin mengadakan persekutuan untuk memberontak! Sementara itu, Siangkoan Liong digemblengnya dengan keras sehingga setelah dia berusia delapan belas tahun, pemuda itu telah berhasil mewarisi dan menguasai ilmu-ilmu silat dari ayahnya. Juga, menurut nasihat Nam-san Sian-jin, ketua Tiat-liong-pang itu mengundang guru-guru sastra untuk mengajar puteranya, karena menurut nasihat Nam-san Sian-jin, seorang calon kaisar haruslah menguasai ilmu tentang sastra dengan baik.
Setelah Siangkoan Liong berusia delapan belas tahun, pada suatu pagi muncullah Ouwyang Sianseng atau Nam-sanSian-jin dan diapun mengatakan bahwa kini tiba saatnya bagi Siangkoan Liong untuk digemblengnya.
"Dia akan kuajak ketempat tinggalku di Nam-san, dan aku mengundang Siangkoan Pangcu untuk datang berkunjung pula agar hatinya menjadi tenteram karena dia tahu bahwa puteranya berada di suatu tempat yang dikenalnya."
Giranglah hati Siangkoan Lohan. Biarpun dia kini sudah menjadi kenalan Baik Si Manusia Dewa, namun belum pernah dia mengetahui di mana tempat tinggal pertapa itu sehingga tentu saja hatinya akan diliputi kesangsian dan kekhawatiran melepas puteranya mengikuti tempat tinggalnya. Kini dia diajak berkunjung, maka tentu saja dia merasa girang dan pada hari itu, berangkatlah dia dan puteranya mengikuti kakek sakti itu.
Pegunungan selatan tidaklah setinggi pegunungan di bagian utara, namun hutan-hutannya lebih lebat dan pohon-pohonnya lebih beraneka ragam. Di atas puncak satu di antara bukit-bukit itulah terdapat sebuah hutan lebat dan Nam-san Sian-jin tinggal di puncak ini. Selama ini, Siangkoan Lohan sudah menyuruh beberapa orang anggautanya untuk menyelidiki keadaan kakek pertapa yang menjadi guru puteranya. Dia mendengar hasil penyelidikan orang-orangnya bahwa kakekitu seringkali mengulurkan tangan menolong para penghuni dusun di sekitar pegunungan itu, bukan hanya menolong dengan pengobatan, akan tetapi juga seringkali menolong mereka yang kekurangan dan kelaparan dengan bahan makanan, pakaian atau bahkan uang secara royal sekali. Tidak mengherankan kalau kakek itu dinamakan Manusia Dewa oleh para penghuni dusun,
Bukan hanya karena dermawan sekali dan pandai mengobati, akan tetapi juga karena kakek itu datang dan pergi seperti menghilang saja.Tidak pernah ada yang dapat berhubungan langsung dengan kakek pertapa itu, melainkan melalui para pelayan kakek itu yang kabarnya juga memiliki kepandaian yang tinggi. Akan tetapi, semua murid dan anggauta Tiat-liong-pang gagal ketika berusaha mencari tempat tinggal Nam-san Sian-jin! Setelah mereka tiba ditengah hutan dipuncak bukit itu, Siangkoan Lohan sendiri terheran-heran. Tidak nampak ada sebuah pun rumah di puncak itu, akan tetapi guru puteranya itu mengatakan bahwa dia tinggal di puncak bukit penuh hutan itu! Dan mengertilah dia mengapa anak buahnya gagal semua menemukan tempat tinggal Si Manusia Dewa, karena tempat tinggalnya amat rahasia dan tidak nampak!
"Kita sudah sampai,"
Kata Nam-san Sian-jin seperti dapat membaca kesang-Sian dalam hati Siangkoan Lohan dan tiba-tiba saja nampak berlompatan tiga orang laki-laki berusia antara empat puluh sampai lima puluh tahun, kesemua-nya berpakaian indah seperti pelayan-pelayan pembesar dan mereka segera memberi hormat kepada Nam-san Sian-jin sambil berlutut!
"Siapkan hidangan untuk menyambut tamu kita,"
Kata Nam-san Sian-jin kepada tiga orang pelayannya itu.
"Siangkoan-pangcu menjadi tamu kita hari ini dan Siangkoan-kongcu (Tuan Muda Siangkoan) ini mulai hari ini tinggal di sini sebagai muridku, sediakan kamar untuknya."
"Baik,Taijin (Orang Besar),"
Kata mereka dan mereka lalu menyelinap diantara semak belukar di tepi jurang dan lenyap! Terkejutlah Siangkoan Lohan melihat cara mereka menghilang itu.
"Pangcu, jangan heran. Semak-semak dan jurang itulah pintu gerbang menuju ke tempat tinggalku. Mari, silakan,"
Kata Nam-san Sian-jin dan dia pun mendahului ayah dan anak itu, menyelinap di antara semak belukar, diikuti oleh Siangkoan Lohan dan puteranya. Ketika mereka menyusup di antara semak belukar, ternyata di balik semak-semak itu terdapat anak tangga yang menuruni jurang! Pantas tidak ada di antara anak buahnya yang dapat menemukan tempat tinggal kakek ini! Siapa yang menduga bahwa dibalik semak belukar, di dalam jurang, merupakan tempat tinggal kakek itu? Anak tangga itu tidak terus menujuke dasar jurang, melainkan berhenti sam-pai di pertengahan dinding jurang dan kiranya disitu terdapat sebuah gua yang tersembunyi dan tidak dapat kelihatan dari atas. Akan tetapi, mulut gua yang berada d idinding jurang ini menghadap ke timur sehingga memperoleh penerangan sinar matahari yang cukup.
"Inilah tempat tinggalku, pangcu. Silakan masuk,"
KataNam-San Sian-Jin sambil melangkah masuk ke dalam gua. Siangkoan Lohan mengerutkan alisnya dan ikut masuk bersama puteranya. Diam-diam dia merasa kecewa. Puteranya harus tinggal di tempat seperti ini? Akan tetapi, setelah memasuki gua itu, dia terbelalak dan menjadi bengong! Gua itu lebar dan nampak biasa saja ketika dia mulai memasukinya, akan tetapi setelah masuk ke sebelah dalam, dia terpesona. Di dalam gua itu ternyata amat luas, seperti rumah gedung besar, dan keadaan di dalamnya tidak kalah dengan gedung tempat tinggalnya sendiri, bahkan jauh lebih mewah.
Kisah Pendekar Pulau Es Eps 27 Kisah Pendekar Pulau Es Eps 23 Suling Naga Eps 31