Ceritasilat Novel Online

Suling Naga 7


Suling Naga Karya Kho Ping Hoo Bagian 7



"Tiga orang guruku sedang bertapa, yang mewakili mereka mengajarku adalah suci Bi-kwi."

   "Tiga orang ? Siapakah guru-gurumu itu?"

   Kao Kok Cu bertanya lagi, makin heran mendengar bahwa gadis ini mempunyai tiga orang guru. Pantas ilmu silatnya tadi bermacam-macam dan aneh-aneh, jelas membayangkan sifat ilmu silat kaum sesat.

   "Guru-guruku adalah orang-orang hebat!"

   Kata Bi Lan bangga. Memang gadis ini, biarpun dalam keadaan terganggu pikirannya karena salah latihan, tak pernah dapat melupakan budi kebaikan tiga orang gurunya ketika menolongnya, ketika membalaskan dendam ayah bundanya dengan membunuh semua orang jahat yang mengakibatkan tewasnya orang tuanya itu, dan membantunya mengubur jenazah mereka, juga mengambilnya sebagai murid.

   "Mereka terkenal dengan julukan Sam Kwi."

   "Hemm, Tiga Iblis?"

   Nenek Wan Ceng bertanya, heran karena ia dan suaminya belum pernah mendengar nama ini. Memang sesungguhnyalah, dua orang kakek dan nenek ini sejak muda jarang berkecimpung di dalam dunia persilatan, hidup terpencil di gurun pasir di utara, maka mereka tidak banyak tahu tentang tokoh-tokoh kaum sesat. Apa lagi karena Sam Kwi juga menyembunyikan diri dan bertapa selama sekian tahun setelah mereka dikalahkan oleh Pendekar Super Sakti dan baru sekarang mereka muncul ketika mereka ingin menguasai Liong-siauw-kiam, Pedang Suling Naga yang tadinya berada di tangan susiok mereka.

   "Ya, ya, Tiga Iblis!"

   Kata Bi Lan dengan nada suara gembira walaupun pandang matanya agak kecewa melihat betapa nenek itu tidak mengenal nama guru-gurunya.

   "Tiga orang guruku itu adalah Raja Iblis Hitam, Iblis Akhirat, dan Iblis Mayat Hidup. Kepandaian mereka hebat sekali!" Suami isteri tua itu saling pandang dan Kao Kok Cu memancing dengan ucapan halus,

   "Nona, kami melihat bahwa nona adalah seorang yang baik, akan tetapi mengapa menjadi murid tiga orang yang menurut julukannya adalah tokoh-tokoh golongan sesat?"

   Bi Lan mengerutkan alisnya.

   "Aku tidak mengerti pertanyaanmu, aku tidak tahu apa itu yang kau namakan golongan sesat, akan tetapi tiga orang guruku amat baik kepadaku, menolongku dari tangan gerombolan orang jahat yang telah membunuh ayah ibuku, bahkan membunuh semua gerombolan itu dan membantuku mengubur jenazah ayah ibuku."

   Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir itu dan isterinya kini dapat mengerti bahwa gadis ini adalah seorang diantara sekian banyaknya korban perang pemberontakan di selatan, dan dapat menduga bahwa gadis ini diselamatkan oleh tiga orang tokoh sesat itu dan kemudian menjadi murid mereka. Akan tetapi gadis ini menerima pelajaran ilmu yang sesat sehingga keracunan dan membuat pikirannya terguncang dan tidak waras.

   Mungkin hal ini bukan kesalahan tiga orang yang berjuluk Sam Kwi itu, melainkan kesalahan suci gadis ini yang berjuluk Bi-Kwi. Sukar dibayangkan apa yang dilakukan oleh datuk-datuk atau tokoh-tokoh kaum sesat yang aneh-aneh, maka mereka pun sukar menduga apa yang telah terjadi di antara keluarga perguruan sesat yang semua memakai julukan setan atau iblis itu. Tetapi gadis ini menerima pelajaran ilmu yang sesat sehingga keracunan dan membuat pikirannya terguncang dan tidak waras. Mungkin hal ini bukan kesalahan tiga orang yang berjuluk Sam Kwi itu, melainkan kesalahan suci gadis ini yang berjuluk Bi-kwi. Sukar dibayangkan apa yang dilakukan oleh datuk-datuk atau tokoh-tokoh kaum sesat yang aneh-aneh maka merekapun sukar menduga apa yang telah terjadi di antara keluarga perguruan sesar yang semua memakai julukan setan atau iblis itu.

   "Siapakah namamu, anak yang baik?"

   Tanya Wan Ceng dengan suara yang mengandung iba. Ia melihat gadis ini seperti setangkai bunga indah bersih yang karena keadaan terpaksa hidup di tengah-tengah lumpur kotor. Bi Lan tersenyum memandang wajah nenek itu.

   "Tiga orang Suhuku bersama suci menyebutku Siauw-kwi. Hi-hik sebetulnya sekarang aku bukan seorang anak kecil lagi, bukan? Namaku sendiri adalah Can Bi Lan."

   "Bi Lan, dengarlah baik-baik, apakah engkau percaya kepada kami? Engkau lihat, kami sama sekali tidak berniat buruk dan tidak melakukan apa-apa yang buruk terhadap dirimu."

   Bi Lan tersenyum dan memandangi dua orang tua itu, lalu mengangguk-angguk.

   "Aku percaya kepada kalian. Aku belum pernah bicara panjang lebar seperti ini dengan orang lain, dan kalian baik sekali."

   Wan Ceng menjadi gembira dan makin bersemangat mendengar ucapan gadis itu. Ia memandang suaminya dan suami yang sudah bergaul selama lima puluh tahunan dengan isterinya ini, sudah maklum apa yang terkandung dalam hati isterinya tanpa si isteri mengatakannya itu mengangguk sebagai tanda setuju.

   "Bi Lan, kami melihat bahwa engkau menderita luka dalam, menderita keracunan yang amat membahayakan kesehatanmu karena engkau telah keliru dalam latihan ilmu silat, terutama sekali dalam latihan sin-kang dan pernapasan. Kami bermaksud untuk mengobatimu sampai sembuh. Maukah engkau?"

   Bi Lan memandang ragu dan bingung.

   "Aku tidak sakit apa-apa,"

   Katanya.

   "dan andaikata sakit tentu suhu-suhuku dan suci akan mampu menyembuhkanku. Pula, bagaimana aku bisa keliru berlatih kalau suci sendiri yang mengajarku?"

   Nenek itu adalah seorang wanita yang amat cerdik. Tadi ketika bicara dekat dengan gadis itu, ia melihat bekas-bekas pukulan yang masih meninggalkan tanda-tanda membiru pada leher dan pipi gadis itu, mungkin pada bagian tubuh lain yang tertutup pakaian. Karena ia dapat menduga bahwa tentu ini perbuatan sang suci yang katanya jahat dan kejam itu, ia lalu tiba-tiba bertanya,

   "Bi Lan, siapa yang memukulimu sampai engkau menderita babak-belur dan ada bekas-bekas di leher dan mukamu?"

   Ditanya secara mendadak itu, Bi Lan yang memang pada dasarnya berwatak jujur dan polos, masih belum ternoda oleh pengaruh lingkungan masyarakat, bahkan pada hakekatnya belum ketularan watak jahat para gurunya dan sucinya, menjawab terang-terangan sambil tersenyum,

   "Ah, suci yang melakukan ini. Katanya ini perlu dalam latihan, ia memukuli dan menendangku dalam latihan-latihan silat."

   Kini Kao Kok Cu yang berkata,

   "Nona telah tertipu oleh sucimu itu. Ia telah memukulimu, mungkin karena benci hanya tidak berani membunuhmu, maka ia melatihmu secara terbalik dan tersesat. Dengan latihan-latihan ini, kalau kau teruskan, engkau mungkin akan mati dalam satu dua tahun ini."

   "Mati adalah suatu hal yang menyenangkan."

   Bi Lan menjawab sambil menahan ketawanya, dan sikap ini jelas membayangkan sikap orang yang pikirannya tidak waras.

   "Eh, mengapa begitu?"

   Tanya Wan Ceng mendengar ucapan yang biasanya hanya diucapkan oleh para pendeta yang berlagak sudah tahu akan keadaan sesudah mati.

   "Hi-hik, aku sendiri tidak tahu, nek, yang berkata demikian adalah suci."

   "Sucimu lagi!"

   Kata Wan Ceng, diam-diam merasa marah terhadap orang yang menjadi suci gadis ini.

   "Coba, kau bernapas yang dalam, lalu tahan sebentar."

   Bi Lan masih tersenyum-senyum, akan tetapi menuruti permintaan nenek itu. Setelah menarik napas panjang dan dalam, ia menahan hawa itu di dalam dadanya.

   "Cukup, apa yang kau rasakan? Bukankah ada kelainan dan rasa nyeri di punggungmu?"

   Nenek itu memiliki ilmu kepandaian tinggi dan sudah banyak pengalamannya tentang keracunan dan luka di sebelah dalam tubuh. Ia sendiri pernah menjadi murid Ban-tok Mo-li (Iblis Betina Selaksa Racun), maka dapat dikata ia adalah seorang ahli tentang keracunan. Bi Lan memandang heran dan mengangguk.

   "Benar, ada rasa seperti ditusuk di punggungku. Nenek apakah engkau bermain sihir sehingga tahu apa yang kurasakan?"

   "Tidak, Bi Lan. Itu tandanya bahwa engkau benar-benar menderita luka dalam yang kalau tidak cepat disembuhkan akan membahayakan nyawamu. Dan kami yakin bahwa hal itu timbul karena kesalahan dalam latihan dan agaknya sengaja sucimu itu mengusahakan agar engkau tewas, karena latihan-latihanmu. Maukah engkau kami obati sampai sembuh?"

   Gadis itu mengamati wajah kedua orang tua itu dengan sikap ragu-ragu. Akhirnya ia berkata,

   "Tiga orang suhuku adalah orang-orang yang paling sakti di dunia ini, kemudian disusul oleh suci Bi-kwi. Apa yang kalian dapat lakukan, tentu dapat dilakukan pula oleh mereka. Coba perlihatkan dulu kepandaian kalian, baru aku akan percaya bahwa kalian adalah orang-orang yang lebih pandai dari mereka, dan aku mau kalian obati."

   Kao Kok Cu dan isterinya mengerti bahwa pengaruh Sam Kwi dan Bi-kwi sudah demikian dalam terutama di dalam hati gadis ini sehingga gadis ini percaya sepenuhnya kepada mereka. Maka, perlu untuk diyakinkan hati gadis ini dengan demonstrasi kepandaian agar dapat percaya dan mau ditolong. Mereka saling pandang dan kakek itu mengangguk.

   "Bi Lan, bukankah tadi kami sudah memperlihatkan bahwa kami jauh lebih pandai dari padamu?" "Kalau hanya mengalahkan aku, sucipun dapat seribu kali mengalahkan aku."

   "Baiklah. Kau lihat pohon di depan itu? Apakah kau kira guru-gurumu atau sucimu akan dapat merobohkan pohon itu tanpa memukul keras, tanpa menggugurkan setangkaipun daunnya?"

   Bi Lan memandang. Pohon itu besarnya seperti tubuh manusia. Ia tahu bahwa tiga orang gurunya, juga sucinya, amat lihai dan tentu akan mampu merobohkan pohon itu. Akan tetapi tanpa memukul keras? Tanpa menggugurkan daunnya? Mana mungkin? Iapun lalu menggeleng kepala.

   "Nah, kau lihat!"

   Kata Wan Ceng dan nenek ini lalu menghampiri pohon yang dimaksudkan itu. Sebentar ia mengerahkan tenaga, mengumpulkan tenaga sinkang di kedua tangannya, kemudian menempelkan kedua telapak tangannya pada batang pohon itu. Tidak kelihatan ia memukul dan pohon itupun tidak terguncang sama sekali. Akan tetapi, diam-diam nenek ini sudah mengerahkan hawa pukulan Selaksa Racun, pukulan kaum sesat yang amat hebat dan yang selama ini tidak pernah ia pergunakan walaupun nenek ini selama puluhan tahun telah menghimpun tenaga sin-kang yang amat kuat. Hanya nampak tubuhnya sendiri yang tergetar keras dan kemudian nenek itu meloncat mundur dengan muka agak pucat dan peluh membasahi dahi dan leher. Melihat ini, Bi Lan terkekeh.

   "Hi-hik, apakah yang telah kau lakukan tadi, nek ? Aku sama sekali tidak melihat pohon itu roboh."

   "Bi Lan, coba kau dorong pohon itu,"

   Kata Wan Ceng sambil tersenyum. Bi Lan maju dengan tangan kirinya mendorong batang pohon dan tiba-tiba pohon itupun tumbang dan ternyata batang di mana nenek tadi menempelkan tangannya telah remuk dan kehitaman seperti terbakar! Bi Lan terkejut dan melompat ke belakang, matanya terbelalak. Akan tetapi ia lalu mengerutkan alisnya.

   "Nek, mungkin kau bermain sihir, akan tetapi kepandaianmu itu tidak kelihatan hebat."

   Nenek itu nampak tak senang dan penasaran, akan tetapi suaminya memberi isyarat dengan pandang mata, lalu pendekar tua itu berkata,

   "Nona, tadi hanya main-main. Kau ingin menyaksikan kehebatan kami berdua? Nah, lihat, dengan kaki dan tangan kami, kami akan membersihkan sekitar tempat ini."

   Berkata demikian, kakek itu dengan sebelah lengannya lalu menerjang sebatang pohon besar. Terdengar suara

   "kraaakkk!"

   Dan pohon itupun tumbang. Wan Ceng mengerti akan maksud suaminya. Seorang gadis yang masih belum berpengalaman seperti Bi Lan ini tentu akan lebih tertarik melihat kekuatan yang kasar dan kelihatan dahsyat. Maka iapun menerjang sebongkah batu besar, ditendangnya sehingga batu besar itu terlempar jauh. Suami isteri ini lalu mengamuk, menumbang-kan pohon-pohon di situ, melempar-lemparkan batu besar, bahkan Wan Ceng mencabut sebatang pohon berikut akar-akarnya dan melemparkan sampai jauh. Sebentar saja, terbukalah tempat yang cukup luas, telah ditumbangkan tujuh batang pohon besar dan belasan bongkah batu. Melihat ini, Bi Lan terbelalak lalu bertepuk tangan, tak habisnya memuji kedahsyatan sepasang suami isteri tua itu.

   "Hebat, kalian hebat! Mungkin tidak kalah oleh guru-guruku dan suci!"

   Katanya.

   "Nah, engkau sudah percaya ? Sekarang kami akan berusaha mengobatimu. Duduklah bersila di sini, Bi Lan,"

   Kata Wan Ceng.

   "Tempat terbuka ini akan kami jadikan tempat tinggal kami untuk sementara agar dalam waktu beberapa lama ini kami dapat mengobatimu."

   Bi Lan tidak membantah lagi dan iapun duduk bersila di atas rumput. Kakek dan nenek itu juga duduk di depan dan belakang-nya, bersila seperti ia sendiri.

   "Kendurkan semua urat syarafmu, dan sama sekali jangan melawan. Ingat saja bahwa kami bermaksud baik, bahwa kami kasihan kepadamu dan ingin mengobatimu,"

   Kata Wan Ceng yang duduk di depannya.

   Tiba-tiba Bi Lan merasa betapa tengkuknya ditepuk dari belakang oleh kakek itu dan iapun tidak ingat apa-apa lagi. Kakek dan nenek yang sakti itu lalu bekerja keras. Mereka menotok jalan-jalan darah di kepala gadis itu, membuka jalan-jalan darah yang tersumbat karena akibat salah latihan, dan menempelkan telapak tangan mereka pada dada dan punggung gadis itu, menyalurkan tenaga sin-kang untuk memulihkan kesehatan di dalam dada Bi Lan. Sementara itu, dengan pengetahuannya tentang keracunan, Wan Ceng mengusir hawa beracun yang berada di dalam tubuh gadis itu. Mereka berdua tidak berani tergesa-gesa, tidak berani sekaligus mengobati gadis itu karena hal ini akan berbahaya sekali bagi Bi Lan.

   Tubuh gadis itu sudah terbiasa dengan keadaan tercekam hawa beracun yang dihimpunnya sendiri melalui latihan-latihannya yang tersesat, dan kalau sekaligus dibersihkan, perobahan ini akan menimbulkan guncangan yang membahayakan. Oleh karena itu, mereka mengambil keputusan untuk mengobati gadis itu secara bertahap. Mereka lalu menghentikan pengobatan itu dan dengan urutan tangan, Kao Kok Cu memulihkan jalan darah dan gadis itupun siuman dari pingsannya. Begitu siuman, Bi Lan menge-luh, lalu memegangi kepala dengan kedua tangan. Ia membuka mata memadang kepada kakek dan nenek yang kini sudah duduk di depannya, dan teringatlah ia bahwa mereka adalah dua orang yang kasihan kepadanya, yang mengobatinya karena menganggap ia menderita luka dalam.

   "Aduhh.... kepalaku berdenyut-denyut, nyeri rasanya!"

   Ia mengeluh. Nenek Wan Ceng menaruh tangannya di pundak gadis itu, suaranya menghibur,

   "Bi Lan, jangan khawatir, hal itu bahkan membuktikan bahwa kini jalan darahmu ke arah kepalamu mulai membaik. Tadinya, banyak jalan darah ke kepalamu tidak lancar jalannya, terhambat oleh hawa beracun yang timbul karena kesalahan latihanmu. Kami berani memastikan bahwa setelah pengobatan beberapa kali, jalan darah itu akan lancar kembali."

   Bi Lan percaya dan iapun tersenyum.

   "Kalau benar omonganmu, aku beruntung sekali bertemu dengan kalian."

   Dan dengan girang iapun meloncat ke atas. Akan tetapi ia segera mengeluarkan seruan kaget. Dan dipandangnya kakek dan nenek itu dengan sinar mata penuh keraguan.

   "Aihh....! Tubuhku terasa berat dan kedua kakiku kehilangan tenaga, juga tubuhku tidak dapat bergerak ringan seperti biasa!"

   Ia lalu mencoba untuk meloncat ke atas, akan tetapi belum juga tinggi tubuhnya sudah meluncur turun kembali.

   "Ah, bagaimana ini? Aku tidak mampu meloncat tinggi lagi!"

   Kini Kao Kok Cu yang bangkit dan berkata dengan suara tenang, halus dan berwibawa, mengundang kepercayaan bagi pendengarnya.

   "Nona, jangan khawatir. Memang, untuk menghalau hawa beracun dari tubuhmu, otomatis tenaga khi-kang yang berada di tubuhmu ikut pula berkurang. Tenaga sin-kangmu sudah keracunan, dan kalau kami membersihkan hawa beracun itu, berarti tenaga sin-kangmu juga akan ikut terusir. Akan tetapi jangan kau khawatir, kami akan menggantikannya dengan tenaga sinkang yang murni. Dengan dasar tenaga sin-kang murni, engkau akan mampu memainkan ilmu-ilmu silatmu tadi secara tepat dan baik, juga tangguh dan tidak akan merusak kesehatanmu sendiri. Percayalah, kami berdua berniat baik dan mungkin engkau akan terkejut dengan perobahan-perobahan pada dirimu dan engkau tidak akan mengerti. Percaya sajalah dan engkau tidak akan menderita kerugian bahkan selain mendapatkan kesembuhan, juga akan memperoleh ilmu yang benar."

   Lambat laun keraguan lenyap dari dalam batin Bi Lan walaupun tadinya masih bingung. Apa lagi ketika nenek itu merangkulnya dan berbisik,

   "Bi Lan, engkau pantas menjadi anakku, bahkan cucuku. Bagaimana kami dapat timbul niat mencelakaimu? Kami suka sekali kepadamu."

   "Akan tetapi, apakah aku harus terus-menerus berobat ke sini? Bagaimana kalau suci sampai tahu? Tentu ia marah-marah dan aku akan dipukuli lagi!"

   Bi Lan nampak jerih.

   "Tentu saja engkau harus setiap hari datang ke sini,"

   Kata nenek Wan Ceng.

   "Dan lebih baik sebelum kau sembuh benar, jangan bicara apa-apa tentang kami kepada sucimu itu. Kalau sudah tiba saatnya, kami yang akan menghadapinya. Akan tetapi, dapatkah kau setiap hari datang ke sini?"

   "Kami akan tinggal di sini untuk sementara waktu, membangun sebuah pondok di sini untuk mengobatimu setiap hari,"

   Kata Kao Kok Cu.

   "Akan tetapi, aku mendapat tugas dari suci untuk mencari kayu setiap hari, untuk memenuhi gudang kayu kami. Tentu saja aku dapat datang ke sini setiap hari, akan tetapi bagaimana dengan kayu yang harus kukumpulkan ?"

   Wan Ceng tersenyum dan menuding ke arah pohon-pohon yang tadi roboh dan tumbang.

   "Di sini terdapat banyak kayu. Tak perlu kau pusingkan, setiap hari engkau datang ke sini, berobat dan pulangnya membawa kayu. Syukur kalau di waktu malam kau dapat pula datang ke sini, lebih sering lebih cepat pula engkau sembuh dan pulih. Percayalah, Bi Lan, engkau akan tertolong lahir batin yang akan merobah seluruh jalan hidupmu kalau engkau menurut semua kata-kata kami."

   Bi Lan nampaknya masih bimbang, akan tetapi ia mengangguk. Bagaimanapun juga, harus diakuinya bahwa selama ini ia memang sering mendapat gangguan dalam tubuhnya, bahkan pernah sehabis latihan ia muntah darah. Dan sikap sucinya terhadap dirinya juga amat galak. Maka, melihat sikap baik kedua orang kakek nenek ini, ia segera percaya sepenuhnya walaupun ia sendiri belum menyadari betapa pentingnya pengobatan itu bagi dirinya. Demikianlah, mulai hari itu, setiap hari Bi Lan pergi meninggalkan puncak memasuki hutan itu dan membiarkan dirinya diobati oleh kakek dan nenek itu. Wan Ceng memesan kepada Bi Lan agar sikapnya terhadap sucinya biasa saja.

   "Ingatlah, Bi Lan. Keracunan di tubuhmu dan tidak lancarnya jalan darah ke kepalamu membuat sikapmu menjadi aneh seperti orang yang miring otaknya. Engkau suka tertawa-tawa sendiri, bicara seorang diri. Kebiasaan ini, andaikata engkau sadar pun, di depan sucimu harus kau lanjutkan. Jangan sucimu melihat perobahan sebelum engkau sembuh benar. Kemudian Kao Kok Cu memesan agar gadis itu menghentikan semua latihan sin-kang dan pernapasan seperti yang diajarkan Bi-kwi, dan dia memberikan suatu cara berlatih samadhi untuk menghimpun hawa murni di dalam tubuh gadis itu.

   "Latihan ini selain akan membantu cepatnya semua hawa beracun meninggalkan tubuhmu, juga akan menghimpun tenaga baru untuk menghentikan tenaga sesat yang sudah terhimpun selama bertahun-tahun dalam dirimu."

   Setelah mengalami pengobatan, Bi Lan lalu membawa kayu yag sudah dikumpulkan oleh kakek dan nenek itu.

   Kakek Kao Kok Cu dan isterinya sudah membangun sebuah gubuk darurat dari kayu-kayu pohon yang mereka robohkan dan dengan tekun mereka berdua mengobati Bi Lan dan disamping mengobati, juga membantu gadis itu menghimpun tenaga sin-kang yang baru dan murni. Sungguh beruntung sekali nasib Bi Lan sehingga tanpa disengaja ia berjumpa dengan Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir dan isterinya, dan telah menarik perhatian suami isteri pendekar sakti ini sehingga ia bukan saja tertolong dari cengkeraman maut yang ditanamkan oleh Bi-kwi di tubuhnya, juga gadis itu telah memperoleh latihan menghimpun sin-kang, bahkan suami isteri itu mulai pula memberi petunjuk-petunjuk dalam ilmu silat tinggi kepadanya! Penyembuhan perlahan-lahan tentu saja tidak terasa oleh Bi Lan.

   Ia tidak merasa betapa kini otaknya menjadi bersih dari hawa beracun, jalan darahnya lancar dan ia bertambah cerdik! Dan ia pun kini memperoleh kegembiraan hidup, wajahnya selalu berseri kemerahan, mulutnya yang kecil itu selalu tersenyum manis dan ia kini menjadi seorang dara yang berwatak gembira dan jenaka sekali. Setelah mengalami pengobatan selama tiga bulan lebih setiap hari tanpa berhenti dan terus-menerus, akhirnya ia sembuh sama sekali dan mulai hari itu, kakek dan nenek yang makin lama makin merasa sayang kepada gadis itu, memberi pelajaran ilmu silat tinggi kepada Bi Lan! Melihat bakat yang ada pada diri gadis itu, Kao Kok Cu ingin mengajarkan ilmu yang tangguh, juga isterinya. Maka mereka berunding, kemudian mereka memberitahukan kepada Bi Lan yang sudah menghadap mereka.

   "Bi Lan, mulai hari ini, setelah melihat engkau sembuh sama sekali, kami ingin mengajarkan ilmu silat kepadamu. Akan tetapi kami tidak mungkin dapat mengajarkan ilmu kepada orang yang bukan murid kami,"

   Kata Wan Ceng. Bi Lan adalah seorang gadis yang cerdik. Setelah sembuh dari gangguan hawa beracun, dan setelah jalan darahnya ke kepala kini lancar kembali, kesadaran membuat ia segera menjatuhkan dirinya berlutut di depan kakek dan nenek itu.

   "Aku telah menerima budi kecintaan dari kakek dan nenek berdua telah memperoleh pengobatan dan petunjuk yang penuh kasih sayang selama berbulan-bulan. Ucapan terima kasih saja masih belum ada artinya dibandingkan dengan budi ji-wi. Oleh karena itu, apabila ji-wi sudi menerimanya, biarlah aku menyatakan diri menjadi murid ji-wi."

   Ia memberi hormat sambil berlutut dan menyembah-nyembah. Wan Ceng segera memeluknya dan menariknya bangkit berdiri.

   "Bagus, engkau memang anak yang baik, Bi Lan. Sejak pertama kali berjumpa kami sudah dapat menduganya dan kalau tidak demikian, untuk apa kami bersusah payah selama ini?"

   Ia lalu menoleh kepada suaminya karena bagaimanapun juga, nenek ini tidak berani mendahului suaminya untuk menerima gadis itu sebagai murid mereka walaupun mereka tadi telah berunding.

   "Bi Lan, kami menerimamu sebagai murid. Akan tetapi kami tidak akan lama lagi tinggal di sini. Setelah engkau sembuh, kami hanya ingin mengajarkan masing-masing semacam ilmu kepadamu, dan setelah itu, kami akan kembali ke utara. Kami sudah tua dan kami akan menghabiskaan sisa usia kami dengan hidup tenang di sana."

   Kembali Bi Lan berlutut.

   "Suhu, subo.... teecu akan ikut ke utara. Biarlah teecu yang akan merawat kesehatan suhu dan subo berdua sebagai balas budi teecu...."

   Kao Kok Cu tersenyum dan berkata halus,

   "Muridku, jangan sekali-kali engkau mengikatkan dirimu dengan budi, karena kalau engkau mengikatkan dirimu dengan budi berarti engkau mengikatkan pula dirimu dengan dendam. Budi dan dendam tak terpisahkan, sebagai perwujudan dari pada diri yang merasa diuntungkan dan disusahkan. Anggaplah saja bahwa segala yang dilakukan orang lain kepadamu, dan segala yang kau lakukan kepada orang lain, adalah suatu kewajaran yang tidak perlu ada ekornya yang mengikat diri. Mengertikah engkau?"

   Tentu saja Bi Lan tidak mengerti!

   "Teecu selanjutnya mohon petunjuk suhu, karena apa yang suhu katakan tadi berada di luar jangkauan pengertian teecu."

   "Bi Lan, engkau tidak boleh begitu mudahnya melupakan yang lama setelah menemukan yang baru!"

   Tiba-tiba Wan Ceng berkata sambil tersenyum pula.

   "Begitu engkau menemukan kami sebagai guru baru, engkau lalu akan begitu saja meninggalkan tiga orang gurumu yang lama, yang menurut ceritamu telah bersikap baik kepadamu. Bagaimanapun
(Lanjut ke Jilid 07)
Suling Naga (Seri ke 13 - Serial Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 07
juga, sejak kecil engkau adalah murid Sam Kwi, dan kami berdua menjadi gurumu hanya untuk memulihkan sin-kangmu, dan memberi pelajaran ilmu silat untuk memperlengkap kepandaianmu atau katakanlah sebagai pengganti tenaga-tenaga sin-kang yang telah lenyap bersama hawa beracun dari tubuhmu ketika kami melakukan pengobatan. Karena itu, sungguh tidak bijaksana kalau engkau lalu meninggalkan me-reka begitu saja tanpa mereka setujui."

   "Subo, biarpun Sam Kwi merupakan guru-guruku, akan tetapi kenyataannya mereka tidak pernah secara langsung mendidik teecu sehingga teecu diserahkan kepada suci yang bahkan telah mengajar teecu secara menyesatkan."

   "Sudahlah, Bi Lan. Bukankah ketiga orang gurumu sedang bertapa? Bagaimanapun juga, engkau tidak mungkin ikut bersama kami sebelum mendapatkan ijin dari ketiga orang gurumu. Bukan berarti kami tidak suka kalau engkau ikut dengan kami ke utara. Dan sekarang perhatikan baik-baik, kami akan mengajarkan ilmu kepadamu, dari suhumu semacam dan dariku sendiri semacam,"

   Kata nenek Wan Ceng.

   Pendekar sakti itu bersama isterinya lalu mulai mengajarkan ilmu silat tinggi kepada Bi Lan. Gadis ini memang memiliki bakat yang amat baik, dan juga bagaimanapun juga, ia telah memperoleh dasar yang kuat juga dari Sam Kwi dan Bi-kwi, maka dengan tekun ia mengikuti petunjuk kedua orang suami isteri itu dan berlatih dengan penuh semangat. Bahkan kini ia makin sering datang ke tempat itu di waktu malam, dan baru pulang kalau sudah memperoleh petunjuk-petunjuk selanjutnya dari kedua orang kakek dan nenek itu. Tanpa terasa, enam bulan telah lewat semenjak Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir dan isterinya tinggal di dalam hutan sebuah puncak Pegunungan Thai-san itu. Kao Kok Cu telah memberi pelajaran Ilmu Silat Sin-liong Ciang-hoat (Ilmu Silat Naga Sakti), sedangkan nenek Wan Ceng mengajarkan Ilmu Ban-tok Ciang-hoat (Ilmu Silat Selaksa Racun).

   
Suling Naga Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Karena ketekunannya, ditambah ingatannya yang kuat, Bi Lan akhirnya dapat menguasai kedua ilmu silat ini. Dari kakek dan nenek itu iapun mendengar tentang diri mereka, nama mereka, bahkan ia diperkenalkan pula dengan nama putera mereka, bekas panglima Kao Cin Liong dan isterinya Suma Hui, juga diperkenalkan dengan nama para tokoh pendekar sakti di dunia persilatan. Terhadap Bi-kwi, Bi Lan bersikap biasa saja, bahkan ia masih pura-pura seperti orang gendeng. Juga kalau sucinya menurunkan pelajaran dan latihan, ia masih berlatih seperti yang diajarkan encinya. Akan tetapi tentu saja kini ia telah memiliki dasar sin-kang yang murni dan sama sekali tidak menghimpun tenaga melalui pernapasan dan cara samadhi yang diajarkan secara kacau dan terbalik oleh sucinya.

   Di dalam kamarnya sendiri atau di luar, ia tekun melatih diri dengan pernapasan dan samadhi seperti yang diajarkan oleh kakek dan nenek dari Istana Gurun Pasir. Bahkan ia masih pura-pura gendeng dan linglung kalau Bi-kwi melampiaskan kebenciannya dengan tamparan-tamparan dan tendangan-tendangan melalui latihan ilmu silat. Ia akan mempertahankan semua ini, bukan karena takut kepada sucinya, bukan karena berbakti kepada sucinya yang tidak pernah berlaku baik terhadap dirinya, melainkan karena ingin menanti sampai ketiga orang suhunya keluar dari pertapaan mereka. Baru ia akan melaporkan semua perbuatan sucinya itu kepada Sam Kwi dan minta pertimbangan dan keadilan. Kalau tiga orang suhunya itu tidak membelanya, ia akan meninggalkan mereka semua.

   Biarpun Bi Lan berlaku cerdik, namun kepura-puraan ini akhirnya menimbulkan kecurigaan hati Bi-kwi yang juga termasuk wanita yang cerdik sekali. Ia teringat bahwa beberapa bulan yang lalu, sumoinya itu sudah menunjukkan gejala-gejala keracunan dengan muka yang pucat, tubuh yang kadang-kadang menggigil, mata yang jelas menunjukan ketidakwarasan otaknya. Akan tetapi akhir-akhir ini ia melihat betapa wajah sumoinya semakin segar saja, kedua pipinya kemerahan seperti buah apel masak, matanya jernih dan jeli, penuh kegairahan hidup, senyumnya semakin manis dan membuat ia semakin iri hati saja, dan tidak ada lagi nampak gejala-gejala seperti dahulu. Biarpun dalam ilmu silat, sumoinya masih bersilat dengan kacau dan kalau ia pukuli dan tendangi masih tidak mampu membalas, akan tetapi hatinya mulai curiga.

   Karena melihat betapa sumoinya amat rajin pergi mencari kayu atau memikul air dari sumber yang agak jauh, maka pada suatu hari, pagi-pagi sekali ketika ia melihat sumoinya pergi untuk mencari kayu, diam-diam ia membayangi dari jauh. Baru teringat olehnya betapa banyaknya sumoinya membutuhkan kayu untuk masak. Bahkan di waktu malam, kini sering sekali sumoinya membuat api unggun besar yang menggunakan banyak sekali kayu bakar. Kalau ditanya, sumoinya mengatakan bahwa hawanya amat dingin dan banyak nyamuk maka ia membuat api unggun besar. Ia tidak curiga karena memang menurut perhitungannya, hasil himpunan tenaga sin-kang sumoinya yang dilakukan dengan terbalik dan kacau-balau itu bukan hanya membuat sumoinya tidak akan dapat menahan hawa dingin,

   Bahkan hawa beracun di tubuhnya kadang-kadang bisa mendatangkan rasa dingin sekali. Akan tetapi kini, setelah kecurigaannya semakin besar, ia memperhatikan hal ini dan akhirnya ia mengambil keputusan untuk membayangi kalau sumoinya pergi mencari kayu. Ia membayangi dari jauh sekali sehingga Bi Lan sama sekali tidak tahu bahwa ia sejak tadi dibayangi oleh sucinya. Ia mengintai dari balik semak-semak yang cukup jauh ketika melihat Bi Lan berhenti di dalam hutan, di depan sebuah gubuk kayu yang sederhana. Sepasang mata Bi-kwi berkilat penuh kemarahan ketika melihat munculnya seorang kakek dan seorang nenek dari dalam gubuk itu dan melihat betapa Bi Lan berlutut di depan mereka. Kemarahan membuat Bi-kwi tak dapat menahan diri lagi. Ia meloncat dan dengan cepat sekali telah tiba di dekat sumoinya.

   "Pengkhianat, kiranya engkau hanya seorang bocah pengkhianat yang tak me-ngenal budi! Suhu bertiga menyelamatkanmu, memeliharamu dan kami bersusah payah mendidikmu hanya untuk kau balas dengan pengkhianatan ini?"

   Bi Lan meloncat bangun dan memandang sucinya dengan muka agak pucat karena terkejut melihat tiba-tiba sucinya berada di situ, hal yang sama sekali tak pernah disangkanya. Namun, dua kali tarikan napas panjang saja sudah membuat ia tenang kembali.

   "Suci, aku tidak mengkhianati siapa-siapa."

   "Mulut busuk jangan sembarangan ngoceh! Bukankah aku sudah berpesan bahwa siapa saja yang kau temukan di daerah ini harus kau bunuh? Akan tetapi apa yang kau lakukan sekarang? Engkau malah berhubungan dengan mereka ini. Pengkhianat harus mampus dulu kau sebelum kubunuh mereka!"

   Dan Bi-kwi sudah menyerang dengan ganasnya, sekali ini bukan sekedar hendak menghajar sumoinya seperti yang sudah-sudah, melainkan serangannya ditujukan untuk membunuh!

   Ia cerdik dan maklum bahwa kalau ia menggunakan jurus ilmu silatnya, kebanyakan sumoinya telah menguasainya dan akan mampu menghindarkan diri, maka sekali ini ia menyerang tanpa menggunakan jurus ilmu silat, akan tetapi pukulannya itu mengandung hawa pukulan maut karena tangan yang menyerang diisi dengan tenaga Kiam-ciang (Tangan Pedang) dan tangan itu menyambar ke arah dada Bi Lan dengan kecepatan kilat! Terdengar suara bercuit nyaring ketika tangan itu menyambar dada dan Bi-kwi sudah membayangkan betapa dada sumoi yang dibencinya ia akan tertusuk tangannya, dan ia akan mencengkeram di dalam dada, menarik keluar jantungnya kalau berhasil. Ia tidak takut lagi dimarahi tiga orang suhunya karena sekarang ia mempunyai alasan kuat untuk membunuh Bi Lan.

   "Wuuuttt.... plakkk....!"

   Dan Bi-kwi terkejut setengah mati. Bukan hanya sumoinya mampu mengelak, bahkan tangkisan tangan sumoinya tadi ketika mengenai lengannya, membuat tangannya yang menyerang terpental kembali dan ada hawa tenaga yang lunak namun kuat sekali keluar dari tangan sumoinya! Rasa kaget, heran dan juga penasaran membuat ia marah sekali.

   "Bagus! Keparat jahanam, kau berani melawanku, he?"

   Dan iapun menerjang lagi. Akan tetapi Bi Lan sudah meloncat ke belakang nenek itu yang mengangkat kedua tangan ke atas.

   "Sabarlah, nona....!"

   Kata nenek Wan Ceng kepada Bi-kwi. Dari tadi ia sudah tahu bahwa tentu inilah wanita cantik yang disebut Bi-kwi itu.

   Kalau saja hal ini terjadi dua tiga puluh tahun yang lalu, melihat seorang wanita yang demikian kejam dan jahat, tentu tanpa banyak cakap lagi nenek Wan Ceng sudah turun tangan menentang dan membasminya. Akan tetapi sekarang ia adalah seorang nenek tua isteri yang bijaksana dari Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir, maka sikapnya tenang saja ketika ia mengangkat kedua tangan melindungi Bi Lan dan menyabarkan Bi-kwi. Akan tetapi sebaliknya, Bi-kwi sudah menjadi marah bukan main. Melihat ada orang berani tinggal di tempat yang dianggap masih wilayah kekuasaannya itu saja sudah membuatnya marah, apa lagi mengingat bahwa kakek dan nenek ini agaknya menjadi sahabat sumoinya.

   "Tua bangka yang bosan hidup!"

   Bentaknya dan Bi-kwi sudah meloncat ke depan menyerang nenek Wan Ceng dengan pukulan maut dari Ilmu Silat Kiam-ciang!

   "Dukkk....!"

   Sebuah lengan dengan gerakan Ilmu Silat Kiam-ciang juga telah menangkisnya dan keduanya tergetar, akan tetapi Bi Lan yang menangkis itu agak terhuyung sedangkan Bi-kwi hanya melangkah mundur dua tindak. Dengan sikap tegak dan mata menyinarkan perlawanan Bi Lan berkata dengan suara tegas dan berani.

   "Suci, jangan kau menyerangnya! Mereka ini tinggal di sini karena mereka hendak menolongku, menyelamatkan aku dari bahaya maut yang menjadi akibat perbuatanmu yang keji! Engkau telah sengaja memberi latihan yang terbalik dan tersesat sehingga latihan-latihan itu menghimpun hawa beracun di dalam tubuhku. Mereka menaruh iba kepadaku dan menyelamatkanku, karena itu engkau tidak boleh menyerang mereka!"

   Bi-kwi tertegun sejenak, hatinya terlampau kaget. Pertama, sumoinya berani membela nenek itu dan bahkan dapat menangkis serangannya yang dahsyat tadi dengan jurus yang sama dan ia merasa pula betapa sumoinya kini memiliki tenaga sin-kang yang amat kuat, hampir dapat menyamai tenaganya. Pula, ia melihat sikap Bi Lan demikian tegas dan sama sekali tidak terbayang lagi sikap gendengnya, padahal kemarin masih bersikap seperti orang gendeng. Sebagai seorang gadis yang cerdik, iapun dapat menduga bahwa sumoinya itu agaknya pada hari-hari yang lalu telah berpura-pura gendeng untuk mengelabuhinya. Pikiran ini membuatnya menjadi semakin marah.

   "Mereka tidak berhak mencampuri urusan kita dan mereka harus mampus!"

   Bentaknya dan ia siap untuk menerjang lagi, siapa saja di antara mereka bertiga yang berada paling dekat akan diserangnya. Ia sudah mengambil keputusan untuk membunuh tiga orang ini. Sebelum Bi Lan menjawab, nenek Wan Ceng berkata halus,

   "Bi Lan, minggirlah dan biarkan kami menghadapi iblis betina ini."

   "Baik, subo,"

   Kata Bi Lan dan iapun meloncat ke pinggir membiarkan nenek itu menghadapi sucinya. Ia tahu akan kelihaian sucinya dengan pukulan-pukulan yang keji dan ampuh, maka iapun ingin sekali melihat bagaimana dua orang gurunya yang baru itu menghadapi sucinya. Hanya kalau ia teringat betapa nenek itu sekali cengkeram saja dapat membuat sebatang pohon menjadi hancur di sebelah dalamnya dan tumbang, diam-diam ia bergidik dan tak terasa lagi ia menyambung,

   "Subo, harap maafkan suci dan jangan terlalu keras menghajarnya!"

   Nenek itu melirik kepadanya dan tersenyum maklum bahwa murid barunya itu merasa ngeri dan khawatir kalau-kalau ia akan membunuh sucinya itu, dan iapun mengangguk. Lalu ia menghadapi Bi-kwi dan dengan suara masih halus berkata.

   "Nona, tentu engkau yang berjuluk Bi-kwi, suci dari Bi Lan. Ingat, nona, engkau telah bertindak keji dan hendak membunuh sumoimu sendiri perlahan-lahan, dan kini engkau mendengar sendiri betapa Bi Lan masih memintakan ampun untukmu. Maka, sadarlah, nona, ingat bahwa kekerasan hanya akan menyeretmu sendiri ke lembah kesengsaraan."

   "Sudah mau mampus masih cerewet! Terimalah ini!"

   Dan Bi-kwi sudah memotong kata-kata nenek itu dan menyerang dengan amat hebatnya, ia masih terus mempergunakan Kiam-ciang karena menganggap bahwa ilmu ini yang paling ampuh untuk melakukan penyerangan mendadak. Bi-kwi sudah merasa girang sekali ketika melihat betapa nenek itu hanya menangkis dengan gerakan lambat saja, tidak mengelak. Ia sudah membayangkan bahwa ia akan berhasil membikin patah atau bahkan buntung lengan nenek itu dengan tangannya yang dapat menjadi seampuh pedang. Bi Lan yang mengenal ampuhnya Kiam-ciang, mengerutkan alisnya dan memandang dengan khawatir juga, walaupun ia sudah yakin akan kesaktian subonya. Tak terelakkan lagi, tangan Bi-kwi bertemu dengan lengan kanan nenek Wan Ceng.

   "Dukkk!"

   Terdengar pula bunyi kain robek dan ternyata lengan baju nenek itu robek seperti dibacok pedang, akan tetapi tangan itu sendiri berhenti ketika bertemu dengan kulit lengan, dan Bi-kwi terhuyung ke belakang seperti terdorong oleh tenaga yang amat kuat. Bi-kwi terkejut bukan main. Ilmunya memang telah berhasil merobek lengan baju nenek itu, akan tetapi ketika tangan yang dimiringkan tadi bertemu dengan lengan, ia merasa betapa kulit lengan itu lembut dan lunak, dan tenaga Kiam-ciang itu membalik dan membuatnya terhuyung. Di lain pihak, diam-diam nenek Wan Ceng juga terkejut karena tak menyangka bahwa tangan gadis cantik itu sedemikian ampuhnya sehingga dapat menjadi tajam seperti sebatang pedang saja.

   Bi-kwi sudah menerjang lagi dan tiba-tiba nenek itu mendapat pikiran untuk memberi contoh kepada Bi Lan bagaimana caranya mempergunakan ilmu silat Ban-tok Ciang-hoat yang diajarkannya kepada Bi Lan untuk menghadapi serangan-serangan Bi-kwi. Melihat namanya, yaitu Ilmu Silat Selaksa Racun, tentu merupakan ilmu silat kaum sesat yang mengandung racun. Memang asal mulanya demikian. Dahulu, di waktu ia masih gadis, nenek Wan Ceng pernah menjadi murid seorang nenek iblis yang berjuluk Ban-tok Mo-li dan dari wanita sesat ini Wan Ceng menerima ilmu-ilmu silat yang mengandung racun amat jahatnya. Akan tetapi, setelah ia menjadi isteri Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir, ia telah menjadi seorang pendekar wanita dan ia tidak mau lagi mempergunakan ilmu silat yang pukulannya mengandung hawa beracun.

   Dengan bantuan suaminya, ia lalu merobah Ban-tok Ciang-hoat dari ilmu pukulan beracun menjadi ilmu pukulan yang mengandung sin-kang lembut namun di balik kelembutan itu terkandung tenaga yang amat hebat seperti yang pernah diperlihatkan kepada Bi Lan ketika tangannya mencengkeram batang pohon. Kini, Ban-tok Ciang-hoat hanya tinggal namanya saja yang mengerikan, akan tetapi sudah menjadi semacam ilmu silat yang lihai dan bersih, tidak lagi menggunakan racun. Ilmu inilah yang oleh nenek itu diajarkan kepada Bi Lan. Kini, menghadapi serangan-serangan Bi-kwi, nenek itu lalu sengaja memainkan ilmu silat ini untuk memberi contoh kepada Bi Lan. Melihat ini, Kao Kok Cu maklum akan niat isterinya dan diapun berbisik kepada Bi Lan,

   "Lihat baik-baik gerakan subomu ketika menggunakan ilmu silat itu."

   Bi Lan mengangguk dan gadis yang cerdik inipun segera maklum akan maksud subonya. Ia berterima kasih sekali karena kini ia dapat lebih jelas melihat bagaimana cara mempergunakan ilmu silat itu untuk menghadapi serangan sucinya dengan ilmu-ilmu silat yang sudah dikenalnya pula. Hal ini amat penting baginya karena semenjak sekarang ia harus dapat membela diri terhadap serangan-serangan sucinya. Mengandalkan ilmu-ilmu silat yang diperolehnya dari sucinya untuk membela diri, tentu kurang meyakinkan dan kurang kuat, karena tentu saja ia kalah latihan, juga kalah kuat tenaga dalamnya yang dahulu dilatihnya secara keliru. Perkelahian antara Bi-kwi dan nenek Wan Ceng itu memang seru bukan main. Bi-kwi amat lihai dan ia sudah berlatih secara matang.

   Ilmu-ilmu silat dari tiga orang gurunya sudah diresapinya benar, juga sudah dilatihnya secara matang. Betapapun juga, kini ia melawan nenek Wan Ceng yang telah menjadi isteri Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir, maka ia menemukan seorang lawan berat dan andaikata nenek itu masih belum setua itu, dua puluh tahun yang lalu saja tentu Bi-kwi akan sulit memperoleh kemenangan. Akan tetapi, kini nenek itu sudah tua, selain tenaganya berkurang juga daya tahannya menurun, apa lagi semangatnya untuk berkelahi dan mencari kemenangan sudah lemah, maka setelah lewat seratus jurus lebih, nenek itu mulai kelelahan. Nenek Wan Ceng merasa sudah cukup memberi contoh kepada muridnya, dan iapun maklum bahwa kalau ia melanjutkan menghadapi gadis yang amat lihai itu dengan tangan kosong saja, keadaannya akan menjadi berbahaya.

   "Singgg....!"

   Tiba-tiba nampak sinar menyilaukan mata dan sebatang pedang yang mengeluarkan hawa mengerikan telah berada di tangan kanan nenek itu. Bi-kwi sendiri terbelalak dan bergidik, maklum bahwa nenek itu telah memegang sebatang pedang yang ampuh dan mengandung hawa aneh. Itulah Ban-tok-kiam! Dulu pernah pedang ini oleh nenek Wan Ceng diberikan kepada puteranya,

   Putera tunggal yang bernama Kao Cin Liong. Akan tetapi setelah Kao Cin Liong menjadi seorang panglima, ia mengembalikan pedang itu kepada ibunya karena ia harus membawa pedang kekuasaan yang menjadi lambang kedudukannya. Pedang Ban-tok-kiam ini adalah sebatang pedang yang dahulu diterima oleh nenek Wan Ceng dari gurunya, nenek iblis Ban-tok Mo-li dan pedang ini adalah sebatang pedang yang terbuat dari pada baja pilihan. Yang mengerikan adalah bahwa senjata ini telah direndam sampai puluhan tahun dalam ramuan racun-racun yang amat kuat, maka diberi nama Ban-tok-kiam (Pedang Selaksa Racun). Sedikit saja tergores pedang ini sudah cukup membuat korbannya tewas! Melihat isterinya mencabut Ban-tok-kiam, Kao Kok Cu cepat meloncat ke depan dan menarik lengan isterinya.

   "Kau istirahatlah,"

   Katanya halus. Wan Ceng sadar bahwa tidak semestinya ia menggunakan pedang itu, maka dengan muka merah iapun melangkah mundur dekat Bi Lan sambil menyimpan kembali pedangnya. Sementara itu, Kao Kok Cu menghadapi Bi-kwi dan berkata,

   "Nona, hentikan kemarahanmu dan tidak perlu kau melanjutkan serangan-seranganmu. Kami datang ke tempat ini bukan bermaksud buruk, melainkan hendak mengobati Can Bi Lan...."

   "Mampuslah!"

   Bi-kwi yang masih marah dan penasaran karena tidak mampu mengalahkan nenek itu, kini sudah menerjang maju, menghantam dengan Kiam-ciang ke arah kepala kakek itu.

   "Bi Lan, lihat baik-baik!"

   Kata kakek itu dan diapun sengaja mengelak lalu bersilat dengan Ilmu Silat Sin-Liong Ciang-hoat untuk memberi contoh kepada murid barunya bagaimana menggunakan ilmu silat itu untuk menghadapi Bi-kwi. Kalau dia mau, tentu saja dengan sekali gebrakan dia akan mampu merobohkan Bi-kwi. Tingkat kepandaiannya terlampau jauh lebih tinggi dari pada tingkat Bi-kwi. Akan tetapi Pendekar Naga Sakti ini tidak mau berbuat demikian karena dia ingin memberi petunjuk kepada Bi Lan. Gadis inipun mengerti dan diamatinya dengan baik gerakan-gerakan suhunya ketika menghadapi Bi-kwi. Bi-kwi agaknya maklum bahwa ilmu kepandaian kakek ini lebih tinggi dari pada si nenek, maka iapun mengerahkan seluruh tenaga-nya dan mengeluarkan semua ilmu silatnya untuk menyerang kakek itu.

   Berturut-turut ia memper-gunakan ilmu-ilmu dari ketiga orang suhunya, ilmu dari Raja Iblis Hitam yang disebut Hek-wan Sip-pat-ciang (Delapan belas Jurus Ilmu Silat Lutung Hitam), lalu Ilmu Tendangan Pat-hong-twi dari Iblis Akhirat dan Hun-kin Tok-ciang dari Iblis Mayat Hidup. Akan tetapi, semua ilmu itu seperti permainan kanak-kanak saja ketika dihadapi oleh kakek lengan satu itu dengan Sin-liong Ciang-hoat, semua pukulan dan tendangan dapat dihalau dengan mudah dan setiap kali kakek itu balas menyerang dengan jurus dari ilmu silatnya, Bi-kwi terkejut dan terdesak hebat. Bahkan kalau kakek itu melanjutkan serangannya, tentu Bi-kwi akan terkena pukulan atau cengkeraman. Akan tetapi Kao Kok Cu sengaja tidak melanjutkan serangan balasannya, karena diapun hanya ingin memperlihatkan saja kepada muridnya bagaimana harus mengalahkan Bi-kwi dengan ilmu silat itu.

   Diam-diam Bi Lan girang bukan main. Jelas nampak olehnya semua itu dan mulailah ia melihat kelemahan-kelemahan pada ilmu-ilmu silat yang dimainkan sucinya dan iapun kagum bukan main karena kalau tadi subonya hanya membuktikan bahwa subonya mampu menandingi sucinya tanpa terdesak, sekarang suhunya benar-benar menguasai keadaan dan kalau suhunya menghendaki sudah sejak tadi Bi-kwi roboh! Hal ini dirasakan langsung oleh Bi-kwi. Di samping rasa kagetnya, ia juga merasa penasaran sekali. Tadi melawan si nenek, sukar sekali baginya untuk dapat menang dan nenek itu ternyata mampu mengimbanginya. Nenek itu saja ia tidak mampu mengalahkan, dan kini, kakek itu ternyata memiliki kelihaian yang sama sekali tak pernah disangkanya. Hanya dengan sebuah lengan, kakek itu telah menutup seluruh lubang sehingga ia sama sekali tidak mampu menyerang dengan berhasil,

   Bahkan setiap kali kakek itu membalas, ia bingung dan hampir terkena kalau saja kakek itu tidak menghentikan serangannya di tengah jalan. Jelaslah bahwa kakek itu sengaja mempermainkarnya. Ia, Bi-kwi, dipermainkan seorang kakek tua renta! Padahal ialah orang yang telah mewarisi ilmu-ilmu kesaktian Sam Kwi! Untuk kedua kalinya dalam hidup, ia merasa terpukul lahir batin. Pertama ketika ia melawan Pendekar Suling Naga, dan kedua kalinya sekarang inilah! Hampir Bi-kwi menangis saking jengkel dan marahnya. Makin penasaran rasa hatinya dan semakin besar harapannya agar tiga orang gurunya berhasil menciptakan sebuah ilmu yang akan dapat dipakai menghadapi lawan-lawan tangguh seperti kakek ini dan Pendekar Suling Naga. Akan tetapi pada saat itu, kemarahan membuat ia lupa diri dan tiba-tiba ia mencabut pedangnya.

   "Srattt....!"

   Wanita ini jarang mempergunakan pedang karena kedua tangannya saja sudah cukup untuk merobohkan dan membunuh lawan.

   Tadi kalau si nenek yang tangguh itu terus menyerangnya dengan pedang yang mengerikan itu, tentu iapun akan mengeluarkan pedangnya. Kini, merasa tidak sanggup menandingi kakek yang luar biasa itu, ia mencabut pedangnya. Padahal, ini hanya untuk gertakan belaka. Dengan pedang di tangan, ia tidak akan menjadi lebih lihai. Bahkan tanpa pedang ia dapat memainkan ilmu-ilmu yang dipelajarinya dari gurunya. Satu di antara ilmu Iblis Akhirat, yaitu Toat-beng Hui-to, merupakan senjata rahasia pisau terbang yang tidak dapat dilakukannya dengan pedang dan ia masih belum mempersiapkan pisau-pisau yang cocok untuk dipakai dalam ilmu melempar pisau yang dapat terbang membalik itu. Melihat gadis itu mengeluarkan pedang, Kao Kok Cu mengerutkan alisnya dan barseru nyaring,

   "Tak baik main-main dengan senjata! Lepaskan pedang!"

   Pada saat itu, Bi-kwi sudah membacokkan pedangnya. Kakek itu menangkis dengan tangan kanan, menyambut begitu saja pedang telanjang itu dengan jari-jari tangannya, dan nampak pundak kirinya bergerak dan tahu-tahu lengan baju kiri yang kosong itu meluncur ke depan dan menotok pinggang Bi-kwi. Bi-kwi mengeluarkan seruan kaget tubuhnya lemas dan pedangnya terpental, terlepas dari tangannya dan ia tak kuat berdiri lagi, lalu jatuh bertekuk lutut! Bi Lan memandang dengan bengong dan penuh kagum. Ternyata setelah dikehendakinya, kakek itu mampu merobohkan Bi-kwi dan sekaligus membuat pedang terlempar. Bukan main! Akan tetapi Bi-kwi yang tidak tahu diri menjadi semakin berang sampai mata gelap dan ia lalu meloncat berdiri lagi dan menggunakan tangan untuk menghantam dada kakek itu.

   "Desss....!"

   Bukan kakek itu yang roboh, melainkan tubuh Bi-kwi yang terjengkang dan terbanting keras sebelum pukulannya mengenai dada, karena kakek itu telah menggerakkan tangan kanannya yang melakukan gerakan mendorong ke depan sehingga tubuh wanita itu diterjang angin pukulan yang amat kuat. Akan tetapi bantingan ini tidak membuat Bi-kwi menjadi jera. Ia sudah melompat bangun lagi, mukanya menjadi pucat saking marahnya dan sambil mengeluarkan suara melengking, tubuhnya sudah meluncur ke atas dan ke depan, ke arah kakek itu dalam sebuah serangan maut yang amat hebat. Dalam serangan ini dua buah tangannya menyerang dua bagian tubuh, juga kedua kakinya melakukan tendangan!

   "Hemmm....!"

   Pendekar Naga Sakti mengeluarkan seruan dari hidungnya dan menggerakkan tangan kanan, disusul lengan baju kirinya yang kosong menyambar ke depan.

   "Desss.... brukkk....!"

   Tubuh Bi-kwi terbanting lebih keras lagi dan kini agaknya ia merasa pening karena ia merangkak dan tidak dapat segera bangkit. Bi Lan menjatuhkan diri berlutut di depan Kao Kok Cu.

   "Harap suhu suka mengampuni suci Bi-kwi."

   Kemudian gadis ini menoleh ke arah sucinya dan membentak.

   "Suci, engkau tidak tahu siapa yang kau lawan! Beliau adalah Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir! Apakah kau masih berani kurang ajar lagi?"

   "Ahh....!"

   Bi-kwi terkejut bukan main, merasa seperti disambar halilintar kepalanya. Ia mengangkat muka memandang kakek itu, melihat ke arah lengan baju kiri yang kosong dan iapun teringat. Tentu saja ia pernah mendengar nama besar Pendekar Naga Sakti dari Istana Gurun Pasir, ayah kandung bekas Panglima Kao Cin Liong, nama yang dalam kebesarannya tidak kalah oleh nama Pendekar Super Sakti dari Pulau Es. Dan ia tadi sudah mati-matian menyerangnya!

   "Aihh....!"

   Katanya lagi dan iapun melompat bangun lalu melarikan diri, kembali ke tempat guru-gurunya. Hatinya merasa gentar, juga malu, juga marah dan penasaran. Setelah Bi-kwi pergi jauh, Kao Kok Cu menarik napas panjang.

   "Siancai.... sucimu itu memang lihai dan ilmu kepandaiannya sudah tinggi, agaknya sukar dicari bandingannya untuk waktu ini. Akan tetapi sayang, batinnya tidak semaju lahirnya sehingga ilmu kepandaian itu disalahgunakan untuk mengumbar kejahatan."

   "Akan tetapi sekarang engkau tidak perlu takut lagi menghadapinya, Bi Lan. Engkau sudah melihat tadi betapa Ban-tok Ciang-hoat mampu membendung semua serangannya, dan dengan Sin-liong Ciang-hoat engkau tentu akan mampu membela diri bahkan mengalahkannya,"

   Kata Wan Ceng. Suami nenek itu menangguk.

   "Benar, dalam hal ilmu silat, engkau tidak perlu khawatir karena kemampuanmu sekarang masih dapat diandalkan untuk membela diri dari serangan-serangan sucimu, andaikata ia berniat buruk. Akan tetapi, engkau tidak boleh ikut dengan kami sebelum memperoleh ijin dari guru-gurumu. Sekarang kami akan pergi. Engkau kembalilah ke tempatmu, usahakan agar dapat berdamai dengan sucimu. Kalau engkau sudah tidak melihat jalan lain, tentu saja setiap waktu engkau boleh mencari kami ke Gurun Pasir. Akan tetapi, engkau baru dapat menemukan tempat kami itu kalau engkau lebih dahulu mencari putera kami yang bernama Kao Cin Liong dan yang kini tinggal di kota Pao-teng di sebelah selatan kota raja. Dia berdagang rempah-rempah di sana dan mudah dicari rumah orang yang bernama Kao Cin Liong. Nah, selamat berpisah, Bi Lan. Mudah-mudahan kedamaian dan kebahagiaan akan selalu menyertaimu dalam hidupmu."

   Nenek Wan Ceng merangkul muridnya. Nenek ini sudah merasa sayang sekali kepada murid ini sehingga agak berat rasanya harus berpisah darinya.

   "Bi Lan, bawa dirimu baik-baik dan aku masih merasa khawatir atas keselamatanmu. Karena itu, nih kuberi pinjam Ban-tok-kiam kepadamu. Jangan pergunakan ini kalau tidak terpaksa sekali, dan kelak kau kembalikan kepadaku kalau kau mengunjungi kami di utara."

   Nenek itu menyerahkan pedang yang mengerikan tadi, yang kini tersembunyi di dalam sarungnya yang indah. Sebetulnya, di dalam hatinya Kao Kok Cu tidak setuju isterinya menyerahkan pedang itu kepada Bi Lan. Pedang itu amat berbahaya, dan dapat menimbulkan bencana kalau dipergunakan secara sembarangan. Akan tetapi karena isterinya telah memberikannya, diapun tidak mau mencela.

   "Bi Lan, lebih baik engkau sembunyikan pedang itu agar jangan sampai diketahui sucimu dan kalau ter-paksa membawanya, sembunyikan di balik baju, karena banyak orang akan berusaha merampasnya kalau mereka tahu akan Ban-tok-kiam itu."

   Akhirnya dia memberi nasihat.

   "Bi Lan, berhati-hatilah!"

   Nasihat terakhir Wan Ceng terdengar penuh keharuan. Bi Lan menjatuhkan dirinya berlutut untuk menghaturkan terima kasih dan hatinya juga merasa berduka sekali harus berpisah dari dua orang gurunya ini. Selama setengah tahun ini berdekatan dengan mereka, ia melihat betapa bedanya watak antara tiga orang gurunya dan sucinya, dibandingkan dengan kakek dan nenek yang halus budi dan berwatak mulia ini. Akan tetapi tiba-tiba ia mendengar angin menyambar dan ketika ia mengangkat muka memandang, ia hanya melihat bayangan dua orang itu berkelebat dan lenyap dari situ. Ia terkejut dan penuh kagum, termangu-mangu, lalu memberi hormat lagi sambil berlutut,

   "Teecu Can Bi Lan takkan melupakan budi kebaikan suhu dan subo."

   Setelah beberapa lama termenung, baru sekarang Bi Lan sadar bahwa sesungguhnya pertemuannya dengan kakek dan nenek itu merupakan suatu peristiwa luar biasa yang telah menyelamatkan nyawanya dari ancaman bahaya maut, bahkan bukan itu saja, melainkan ia kini telah memperoleh bekal, menguasai ilmu-ilmu yang dapat melindungi dirinya dari pada ancaman Bi-kwi. Gadis ini lalu kembali ke puncak tempat kediaman guru-gurunya dan sebelum menampakkan diri di puncak,

   Ia lebih dahulu menyembunyikan Ban-tok-kiam di dalam jepitan dua buah batu besar yang hanya dikenalnya sendiri, tak jauh dari bawah puncak. Tentu saja sebelum menyembunyikan pusaka ini, ia lebih dahulu berlari cepat mengelilingi tempat itu dan menyelidiki bahwa tidak ada seorangpun tahu akan perbuatannya itu. Setelah merasa yakin bahwa senjata itu telah disembunyikan di sebuah tempat yang rahasia, ia lalu menenteramkan hatinya agar tenang dan berlari mendaki puncak. Ia sudah siap andaikata sucinya akan menghadang dan menyerang-nya. Ia sudah tahu bagaimana harus melawan sucinya dan Ilmu Sin-liong Ciang-hoat tadi ia lihat mampu menundukkan sucinya. Akan tetapi apa yang dilihatnya di tempat tinggal Sam Kwi amat mengejutkan hatinya, walaupun juga amat menggirangkan.

   

Suling Emas Naga Siluman Eps 46 Kisah Pendekar Pulau Es Eps 12 Kisah Pendekar Pulau Es Eps 23

Cari Blog Ini