Ceritasilat Novel Online

Suling Naga 17


Suling Naga Karya Kho Ping Hoo Bagian 17



Bi Lan memandang tajam.

   "Yakin benarkah engkau, Kun Tek? Ingat, aku hanya seorang perempuan dari darah daging belaka, tidak lemah lembut dan tidak baik budi, tidak cantik lahir batin, banyak cacat celanya!"

   "Aku yakin sepenuh hatiku, Bi Lan. Aku cinta padamu, terasa benar dalam hatiku."

   Kini Bi Lan tersenyum, senyum sinis dan mengejek.

   "Hemm.... hemmm.... lalu ke mana larinya perempuan khayalmu itu, Kun Tek?"

   Pemuda itu terbelalak.

   "Perempuan khayal....?"

   "Ya, lupakah engkau bahwa engkau takkan jatuh cinta kecuali kepada seorang perempuan yang seperti khayalanmu itu, tanpa cacat cela dan segalanya itu? Bagaimana engkau sekarang, hanya dalam waktu sehari saja, sudah melupakan perempuan khayalmu itu dan mengatakan jatuh cinta padaku?"

   Kun Tek teringat dan dia merasa terpukul.

   "Aku telah bodoh selama ini, Bi Lan. Perempuan seperti yang kukhayalkan itu tidak ada di dunia ini, bukan dari darah daging, tidak mungkin ada wanita tanpa cacat cela dan...."

   "Cukup! Engkau memang tolol, bodoh, sombong. Aku tidak sudi.... aku tidak dapat menerima cintamu. Engkau cintailah saja wanita khayalan yang bukan dari darah daging, dan tidak akan dapat menolakmu. Selamat tinggal!"

   Dan dengan cepat Bi Lan pergi dan berlari cepat. Kun Tek menjadi bengong. Dia menjadi bingung, tidak mengerti kesalahan apa yang telah dilakukannya kepada Bi Lan yang menyebabkan gadis itu nampaknya demikian marah kepadanya. Dia tidak berani melakukan pengejaran karena hal itu tentu akan membuat Bi Lan semakin marah. Dia hanya duduk terlongong termenung tenggelam dalam lamunan. Dia mengingat kembali segala percakapannya tadi dengan Bi Lan, juga percakapan mereka kemarin. Setelah kini dia dapat menenangkan pikirannya, nampaklah dengan jelas semua kesalahannya.

   "Aku memang tolol, bodoh dan sombong. Tepat sekali apa yang dikatakan oleh Bi Lan tadi,"

   Bisiknya duka.

   Kini nampaklah olehnya betapa sikapnya dan kata-katanya merupakan kebodohan demi kebodohan yang tidak ketulungan lagi. Mula-mula dia menggambarkan bahwa dia tidak akan jatuh cinta kecuali kepada seorang wanita seperti yang digambarkannya itu dan tentu saja ucapan seperti ini di depan seorang gadis menyinggung perasaan dan harga diri gadis itu. Kemudian dalam pengakuan cintanya, dengan tolol sekali dia mengatakan bahwa wanita tanpa cacad itu TIDAK ADA, dengan demikian kembali dia telah menyinggung perasaan wanita yang dicintanya, karena dengan ucapan itu seolah-olah dia sudah mengatakan bahwa Bi Lan tidak seperti wanita khayalnya itu, bahwa Bi Lan penuh cacat cela Sungguh amat tolol! Hatinya kini merasa berduka sekali. merasa betapa keadaan sekelilingnya tanpa Bi Lan nampak sunyi mati,

   Segala sesuatu nampak kurang menarik lagi. Beginilah kalau cinta asmara sudah menyerang orang dan membuat orang itu menjadi korban kegagalan. Yang datang kemudian hanyalah kekecewaan yang melenyapkan gairah hidup sehingga hidup ini nampak amat buruk. Semua ini karena perasaan iba diri yang menikam perasaan. Merasa diri paling celaka karena idam-idaman hatinya terbang melayang meninggalkannya. Sementara itu, Bi Lan berlari dengan cepat sekali. Tanpa tujuan tertentu, asal dapat meninggalkan Kun Tek secepatnya. Hatinya terasa panas bukan main. Tadinya ia ingin mempermainkan Kun Tek untuk memberi "hajaran"

   Kepada pemuda yang diangapnya sombong itu, yang seolah-olah menganggap di dunia ini tidak ada wanita yang pantas untuk dirinya, pantas menjadi jodohnya!

   Kemudian, ia berhasil menggerakkan hati dan kejantanan Kun Tek yang membuat pemuda itu bertekuk lutut dan menyatakan cinta kepadanya. Tadinya ia hendak mentertawakannya, merasa gembira karena berhasil memberi hajaran. Eh, tidak tahunya kembali pemuda itu mengeluarkan kata-kata amat menyinggung hatinya. Katanya bahwa wanita tanpa cacad itu tidak ada! Padahal baru saja menyatakan cinta kepadanya. Bukankah hal itu sama saja dengan membandingkan ia dengan perempuan khayal itu? Perempuan khayal itu yang paling hebat dan ternyata perempuan seperti itu tidak ada! Dan ia sendiri? Dengan demikian ia bukan perempuan yang paling baik bagi Kun Tek. Sombong! Pemuda tolol dan sombong! Agaknya berlari cepat sampai mengeluarkan keringat yang membasahi seluruh tubuhnya membuat kemarahan Bi Lan mereda pula.

   Hati yang panas mulai dingin dan ia lalu menghentikan larinya dan duduk di lereng sebuah bukit karena ketika lari tadi tanpa disadarinya ia menanjak sebuah bukit. Pantas saja keringatnya bercucuran, tak tahunya tempat ia berlari tadi menanjak terus. Lereng bukit itu sunyi sekali dan iapun duduk di bawah sebatang pohon yang berdaun rindang. Sejuk sekali tempat itu dan angin semilir mengusir kegerahan. Dengan sehelai saputangan, diusapnya keringat dari leher dan mukanya. Kemudian ia duduk termenung, membayangkan hal-hal yang baru saja terjadi. Ada tiga orang pria berturut-turut menyatakan cinta kepadanya! Pertama adalah Bhok Gun, ke dua Gu Hong Beng dan ke tiga Cu Kun Tek. Tanpa disadarinya, ia membanding-bandingkan tiga orang pria itu, dan melamunkan kalau ia menjadi jodoh seorang di antaranya. Bhok Gun yang tertua di antara mereka,

   Berusia kurang lebih tiga puluh tahun, seorang pria yang sudah matang dan banyak pengalamannya. Bhok Gun berwajah tampan dan nampak makin menarik karena dia pesolek dan pandai merias diri. Ilmu silatnya juga lihai karena sebagai cucu murid Pek-bin Lo-sian, dia mewarisi ilmu yang satu sumber dengan ilmu-ilmu yang dimiliki oleh Sam Kwi. Akan tetapi pria ini mata keranjang, bahkan cabul dan gila perempuan. Juga memiliki sifat-sifat jahat dan curang. Menjadi isteri seorang pria macam Bhok Gun ini memang bisa saja berenang dalam lautan kemewahan, akan tetapi hatinya tentu akan selalu dirong-rong karena pria ini takkan berhenti mengejar wanita-wanita lain. Rayuan-rayuan mautnya itu semua hanyalah palsu belaka, hanya untuk menundukkan wanita yang sebentar lagi akan dicampakkannya begitu saja kalau dia sudah merasa bosan!

   Tidak, ia tidak sudi menjadi jodoh pria macam itu. Apalagi perkenalannya dengan Bhok Gun itu hanya melalui sucinya yang menjadi kekasih Bhok Gun. Masih muak kalau ia mengingat kembali apa yang didengarnya dan dilihatnya antara Bi-kwi dan Bhok Gun, kemuakan yang membuat wajahnya merah dan jantungnya berdebar aneh. Bagaimanapun juga, Bi Lan sudah mulai dewasa! Belum pernah Bhok Gun melakukan sesuatu yang baik baginya. Tidak, ia tidak sudi menjadi jodoh Bhok Gun. Lain lagi halnya dengan dua pemuda lainnya dan kini diam-diam ia membanding-bandingkan antara Hong Beng dan Kun Tek. Kedua orang pemuda itu, Gu Hong Beng dan Cu Kun Tek, keduanya sama muda, sama gagah perkasa, sama pendekar dan keduanya pernah menyelamatkannya dari bahaya yang bahkan mungkin lebih hebat dan mengerikan dari pada maut sendiri!

   Ia sukar membayangkan betapa akan jadinya dengan dirinya kalau tidak ada Hong Beng dan Kun Tek. Tentu sudah dua kali terjatuh ke tangan Bhok Gun jahanam itu. Gu Hong Beng sudah dikenalnya dengan baik. Seorang pemuda yatim piatu yang nasibnya hampir sama dengan nasibnya sendiri. Wajahnya cukup menarik walaupun pemuda ini amat sederhana dengan pakaiannya yang serba biru, seperti seorang petani saja, atau seorang buruh biasa. Akan tetapi kepandaiannya hebat karena pemuda ini adalah murid dari keluarga Pulau Es! Sayang wataknya terlalu pendiam dan bahkan agak pemalu walaupun budi bahasanya halus, akan tetapi dia amat pencemburu seperti yang sudah dibuktikan ketika dia menyerang Kun Tek hanya karena melihat Kun Tek meraba kulit pinggangnya yang tanpa ditutup kain.

   Memang disengajanya untuk "menjatuhkan"

   Kun Tek sebagai penghajaran! Padahal, sentuhan itu hanya dilakukan oleh Kun Tek untuk mengobatinya, dan hal itu sudah membuat Hong Beng cemburu dan menyerang Kun Tek! Ah, ia takkan merasa berbahagia hidup sebagai isteri orang pencemburu seperti itu, yang tidak mempunyai rasa humor sedikitpun dalam hidup. Sama saja dengan mempunyai suami patung hidup, betapapun lihainya dalam ilmu silat! Bagaimana dengan Kun Tek? Pemuda yang gagah perkasa, tinggi besar dan biarpun mukanya ber-kulit agak kehitaman, namun dia ganteng dan gagah perkasa. Sayang, selain juga tidak banyak bicara, kalau bicara amat tajam dan galak, juga agak terlalu tinggi menghargai diri sendiri sehingga ada kecondongan kepada sifat sombong dan besar kepala.

   Tidak, iapun takkan berbahagia bersuamikan Kun Tek. Sampai lama gadis itu bengong saja, akhirnya teringat akan nasibnya sendiri. Sebetulnya, ia sendiri tidak mempunyai persoalan, tidak mempunyai musuh karena semua pembunuh orang tuanya sudah dibasmi habis oleh Sam Kwi. Akan tetapi, kalau tadinya ia berhutang budi kepada Sam Kwi, kini budi itu dioper oleh Bi-kwi, sucinya yang telah menyelamatkannya dan membebaskannya dari bencana diperkosa oleh Sam Kwi. Dan ia sudah berjanji kepada sucinya itu untuk merampas Suling Naga dan kelak kalau sempat ia akan membantu pula sucinya yang ingin menjadi jagoan nomor satu di dunia persilatan dengan Suling Naga di tangannya! Pusaka yang kini menjadi milik Pendekar Suling Naga Sim Houw itu sudah dia ketahui di mana harus dicarinya.

   Dari Kun Tek ia sudah mendengar bahwa Pendekar Suling Naga yang bernama Sim Houw itu kadang-kadang berkeliaran di sekitar puncak Pegunungan Tai-hang-san. Persoalan merampas pusaka itu untuk membalas budi sucinya seperti pernah ia janjikan, kini telah mulai nampak jalan keluarnya. Akan tetapi sebelum pusaka itu dapat direbutnya, muncul persoalan baru. Pedang Ban-tok-kiam, yang oleh subonya hanya dipinjamkan kepadanya, kini dirampas orang! Dan perampasnya adalah seorang pendeta Lama yang demikian lihai! Dia dibantu Hong Beng saja tidak mampu merampas kembali, apa lagi kalau menghadapinya sendiri. Akan tetapi, apapun resikonya, ia harus dapat merampas kembali Ban-tok-kiam. Ia akan ke Tai-hang-san lebih dulu, akan mencari pendekar Sim Houw yang berjuluk Pendekar Suling Naga dan merampas kembali pedang pusaka itu!

   Ia akan membujuk pendekar itu untuk mengalah dan menyerahkan kembali pedang itu yang memang menjadi hak dari keturunan Sam Kwi, karena pendekar itu merampasnya atau menerimanya dari Pek-bin Lo-sian, susiok (paman guru) dari Sam Kwi. Berangkatlah dara yang tabah itu seorang diri dan karena memang pada dasarnya ia berwatak gem-bira jenaka, maka begitu ia bangkit dan melangkah pergi, semua pikiran tentang masalah-masalah yang menyulitkan itupun sudah ditinggalkannya! Ia akan mencari Pendekar Suling Naga dan tentang bagaimana nanti selanjutnya, terserah keadaan sajalah. Ia tidak mau berpusing-pusing tentang hal yang belum terjadi! Keadaan batin seperti yang dimiliki Bi Lan ini membuat ia dapat menikmati hidup. Kehidupan menjadi indah karena apa yang dilihatnya senantiasa baru.

   Kebanyakan dari kita tidak mau hidup seperti itu. Kita tergantung kepada hal-hal yang lalu, terikat kepada hal-hal yang akan datang seperti yang kita harap-harapkan. Kita terluka parah oleh masa lalu dan kita terbuai oleh masa depan yang kita namakan cita-cita. Karena terluka oleh masa lalu, selalu mengingat-ingat masa lalu, maka wajah kita menjadi selalu muram dan seolah-olah selalu diliputi awan gelap. Dan karena kita selalu mengejar-ngejar cita-cita atau yang kita namakan pula kemajuan, yang bukan lain hanyalah keinginan-keinginan yang diharapkan akan terjadi di masa depan, keinginan akan suatu keadaan yang lebih menyenangkan, maka kita terombang-ambing antara masa lalu dan masa depan sehingga kita lupa bahwa HIDUP adalah SEKARANG, saat ini! Hidup adalah saat demi saat ini. Yang lalu sudah mati,

   Tak perlu diingat lagi, walaupun dari pengalaman-pengalaman masa lalu dapat membuat kita lebih waspada dalam menghadapi segala peristiwa hidup. Masa depan adalah khayal. Lebih baik bekerja keras dari pada melamunkan masa depan yang baik. Suatu keadaan yang baik tidak hanya dapat terjadi karena direncanakan atau dilamunkan, melainkan BEKERJA, Dan BEKERJA adalah SEKARANG ini. Hidup adalah sekarang ini. Bahagia adalah sekarang ini! Kalau pikiran kita berhenti berceloteh, berhenti mengoceh mengenai kenangan masa lalu dan harapan masa depan, maka batin kita menjadi tenang dan mata kita menjadi waspada sekali terhadap SAAT INI, yaitu terhadap HIDUP ini. Kita dapat menikmati hidup ini hanya setiap saat sekarang, bukan besok atau lusa. Mengapa pusing-pusing tentang besok atau lusa kalau nanti mungkin saja kita mati?

   Ada orang tua yang menasihati anak-anaknya agar sekarang bersusah payah dahulu dan bersenang-senang kemudian? Apa maksudnya ini? Apakah anak kita harus sengsara dulu sekarang ini dan dengan bersusah payah, bersengsara sekarang ini lalu kelak akan senang dan bahagia? Betapa malangnya anak yang disuruh begitu. Mungkin dia menurut, lalu bersusah payah setengah mati sampai dewasa, kemudian oleh suatu sebab dia mati. Dengan demikian berarti bahwa sejak kanak-kanak sampai matinya, hidupnya hanya diisi oleh jerih payah dan susah payah, tak pernah diberi kesempatan untuk bersenang atau bersuka! Orang tua yang bijaksana dan benar-benar mencinta anak-anaknya akan memberi kebebasan kepada mereka, membiarkan mereka tumbuh subur, hanya tinggal memupuk dan mungkin meluruskan kalau tumbuhnya bengkok, akan tetapi memberi kesempatan seluas-luasnya kepada mereka untuk berbahagia.

   SEKARANG! Bukan besok atau kelak kalau sudah tua. Bukan berarti lalu membiarkan mereka bebas semau gue, gila-gilaan, atau bukan berarti lalu acuh terhadap mereka. Sama sekali tidak. Cinta kasih menimbulkan perhatian yang serius, namun tidak mengikat, tidak membelenggu. Kebahagiaan tak mungkin didapat tanpa kebebasan! Dalam keadaan gembira dan merasa bahagia karena tidak ada kotoran yang mengeruhkan batinnya, pikirannya kosong sehingga dapat menerima segala keindahan yang terbentang di depan matanya, segala suara yang tertangkap oleh telinganya dan segala keharuman tanah dan tumbuh-tumbuhan yang tercium oleh hidungnya, Bi Lan melanjutkan perjalanannya menuju ke Tai-hang-san, perjalanan yang jauh melalui pegunungan, hutan-hutan dan banyak kota dan dusun.

   Dusun Hong-cun merupakan sebuah dusun yang makmur di luar kota Cin-an. Kemakmurannya, berbeda dengan dusun-dusun lain yang tanahnya gersang, adalah karena letaknya di lembah Huang-ho. Memang, setahun sekali hampir selalu daerah ini mengalami banjir dari luapan air Sungai Huang-ho. Akan tetapi pada musim-musim lainnya, tanah di situ amat suburnya dan menghasilkan panen yang cukup bagi penduduknya. Ada sebuah rumah besar sederhana yang dikenal bukan hanya oleh seluruh penduduk dusun Hong-cun, bahkan dikenal oleh semua orang di kota Cin-an.

   Rumah ini adalah rumah keluarga Suma Ceng Liong! Para pembaca tentu belum lupa akan nama ini. Suma Ceng Liong. Baru melihat nama marganya saja, orang akan dapat menduga bahwa ini adalah keturunan keluarga para pendekar Pulau Es. Suma Ceng Liong adalah putera dari mendiang Suma Kian Bu. Dia cucu langsung dari Pendekar Super Sakti Suma Han dan Puteri Nirahai, jadi masih ada darah bangsawan dari neneknya. Namun, seperti semua keturunan para pendekar Pulau Es, tidak ada seorangpun yang menonjolkan keturunan bangsawan ini dan Suma Ceng Liong juga hidup sebagai petani biasa saja di dusun Hong-cun. Sebagai cucu Pendekar Super Sakti, Suma Ceng Liong mewarisi ilmu-ilmu kesaktian dari Pulau Es, bahkan ia pernah digembleng selama bertahun-tahun oleh seorang Raja Iblis, yaitu Hek-i Mo-ong.

   Oleh karena itu, dapat dibayangkan betapa lihainya pendekar yang kini sudah berusia tiga puluh dua tahun itu. Seperti kita ketahui, kurang lebih tigabelas tahun yang lalu Suma Ceng Liong menikah dengan seorang gadis pujaan hatinya yang bernama Kam Bi Enq. Isterinya inipun, yang usianya sama dengan dia, bukan orang sembarangan. Ia puteri pendekar sakti Kam Hong yang terkenal pula dengan julukannya Suling Emas. Sebagai puteri pendekar sakti, tentu saja Kam Bi Eng ini juga merupakan seorang pendekar wanita gemblengan yang sukar dicari tandingannya. Setelah setahun menikah, suami isteri ini mempunyai seorang anak perempuan yang mereka beri nama Lian, lengkapnya Suma Lian. Lian berarti bunga teratai dan nama ini diberikan karena ketika mengandung, ibunya bermimpi menerima setangkai bunga teratai dari seorang bidadari yang dapat terbang dan bersayap!

   Pada waktu itu, Suma Lian telah berusia dua belas tahun, seorang gadis cilik yang mungil, akan tetapi ia mewarisi watak ayah ibunya yang lincah, jenaka, nakal dan juga galak! Akan tetapi di balik watak yang kadang-kadang suka mempermainkan dan menggoda lain orang itu terdapat suatu sifat kegagahan yang diwarisi pula dari ayah ibunya. Biar pun baru berusia dua belas tahun, Suma Lian akan dapat mencak-mencak saking marahnya dan akan berubah menjadi harimau betina kalau ia melihat ketidakadilan terjadi. Dan ia mudah menaruh hati iba kepada sesama hidup yang menderita. Ibunya pernah marah-marah karena ketika masih kecil, baru berusia delapan tahun, Suma Lian pernah mencuri gandum dan beras dari gudang dan membagi-bagikannya kepada orang-orang miskin. Padahal yang diambilnya itu adalah simpanan keluarga mereka sendiri.

   Untuk menolong orang-orang miskin, ia bahkan berani mencuri gandum keluarga sendiri. Nakal memang, akan tetapi dasarnya adalah karena ia merasa iba melihat mereka yang menderita dan ia berani mengorbankan diri dimaki-maki ibunya demi kebahagiaan orang-orang lain. Selain ayah, ibu dan anak ini, di dalam rumah gedung sederhana itu tinggal pula seorang nenek yang usianya sudah enampuluh enam tahun. Ia juga bukan nenek sembarangan, karena nenek itu adalah Teng Siang In, ibu dari Suma Ceng Liong! Setelah suaminya meninggal dunia dan menjadi janda, Teng Siang In mencurahkan kasih sayangnya kepada Suma Lian, kadang-kadang malah memanjakan cucu itu. Dusun Hong-cun terletak di sebelah utara Sungai Huang-ho dan tidak begitu jauh lagi dari Peking atau kota raja yang terletak di sebelah utara kota Cin-an.

   Karena tanah di lembah itu menghasilkan sayur-mayur yang baik, juga rempah-rempah, dan ikan yang cukup banyak, maka tentu saja keadaannya menjadi makmur dan ramai. Boleh dibilang hampir semua orang dari selatan yang hendak pergi ke kota raja melalui Cin-an, akan lewat dulu di dusun Hong-cun ini. Semenjak neneknya tinggal di rumah itu, Suma Lian memperoleh guru ke tiga! Nenek ini tidak mau kalah oleh putera dan mantunya dalam mendidik gadis cilik itu berlatih ilmu silat! Bahkan ia sudah mulai mengajarkan dasar-dasar ilmu silatnya yang paling berbahaya bagi lawan, yaitu Soan-hong-twi (Tendangan Angin Puyuh). Akan tetapi Suma Ceng Liong yang maklum betapa ibunya amat sayang kepada Suma Lian, berpesan kepada ibunya agar nenek itu jangan mengajarkan ilmunya yang lain, yaitu ilmu sihir!

   "Terlalu berbahaya ilmu itu bagi perkembangan jiwanya, ibu. Kecuali kelak kalau ia sudah dewasa,"

   Demikian pesannya kepada ibunya.

   "Ayaaaa.... kau ini anak-anak tahu apa, Ibumu tentu sudah tahu dan akan mengatur sebaik-baiknya,"

   Jawab nenek itu dan diam-diam Suma Ceng Liong mendongkol.

   Ibunya ini galak dan keras kepala, dan agaknya masih saja menganggap dia yang sudah berusia tiga puluh dua tahun itu sebagai kanak-kanak saja. Akan tetapi Ceng Liong seorang anak yang berbakti dan patuh, tidak membantah lagi. Pada suatu hari, pagi-pagi sekali sudah terdengar bentakan-bentakan dan teriakan-teriakan suara nenek dan cucunya itu ketika mereka berlatih di kebun belakang. Memang nenek Teng Siang In ini lebih suka melatih cucunya di kebun belakang dari pada di ruangan latihan silat yang tertutup. Di kebun lebih sehat dan baik, katanya, karena di tempat udara terbuka. Suma Lian yang berusia duabelas tahun itu dilatih berloncatan dan berjungkir balik ke depan, ke belakang, ke kanan atau ke kiri,

   Akan tetapi bukan hanya jungkir balik sembarangan saja, melainkan jungkir balik sambil menendang. Itulah gerakan-gerakan pertama untuk dapat menguasai ilmu tendang Soan-hong-twi yang amat sukar dilatih, akan tetapi sekali orang sudah menguasainya, maka tubuhnya akan dapat mengirim tendangan dalam posisi bagaimanapun juga. Kaki lebih panjang dari lengan, maka, jika ilmu tendangan dikuasai dengan baik, akan berbahayalah bagi lawan. Bentakan-bentakan itu dikeluarkan oleh si nenek untuk memberi petunjuk dan teriakan-teriakan yang keluar dari mulut Suma Lian itu memang seharusnya demikian. Gerakan-gerakan itu mengguna-kan banyak tenaga dari otot-otot bagian perut sehingga perlu dikeluarkan teriakan-teriakan itu untuk mengatur khi (hawa dalam tubuh) yang selain menciptakan tenaga dalam, juga melindungi isi perut.

   "Gerakan memantul ke belakang tadi keliru. kepalamu jangan diangkat, melainkan didongak-kan dan dilempar ke belakang sehingga memudahkan tubuhmu berjungkir balik ke belakang karena gerakan itu menambah daya luncur dan menambah lengkungan tubuh!"

   Nenek itu lalu memberi contoh beberapa kali dan ternyata tubuh nenek yang usianya sudah enam puluh enam tahun itu masih gesit dan lincah membuat gerakan sukar itu. Pada saat itu, di tepi dusun Hong-cun nampak seorang kakek tinggi besar yang wajahnya menyeramkan karena wajah itu penuh dengan rambut, membuat muka kakek itu nampak seperti muka singa. Akan tetapi karena kepalanya gundul dan dia memakai jubah pendeta Lama, keseraman wajahnya itu tertutup, bahkan menimbulkan rasa hormat dalam hati orang-orang yang berjumpa dengannya. Ketika itu, kakek ini menyapa seorang pejalan kaki, seorang setengah tua dengan suara yang halus akan tetapi agak kaku, tanda bahwa dia datang dari daerah barat.

   "Selamat pagi, saudara. Semoga Sang Buddha memberkahi anda. Maukah anda menolong saya dan memberi tahu di kuil atau rumah mana kiranya saya dapat beristirahat melemaskan tubuh dan mendapatkan sekedar semangkuk bubur dan seteguk air?"

   Orang yang ditanya itu merasa senang sekali. Pagi-pagi sudah memperoleh doa restu seorang pendeta, sungguh mujur dia! Maka dengan hormat dia memberi hormat dan menjawab,

   "Lo-suhu, di dusun ini tidak ada kuil besar, yang ada hanya sebuah kuil kecil untuk pendeta-pendeta wanita. Akan tetapi kalau lo-suhu mendatangi rumah keluarga pendekar Suma, tentu lo-suhu akan disambut dengan baik. Keluarga Suma terkenal suka menolong orang, apa lagi seorang suci seperti lo-suhu."

   "Omitohud....! Suma....? Mungkinkah dia Suma Han? Si Pendekar Super Sakti dari Pulau Es?"

   Gumamnya dan matanya yang lebar terbelalak. Orang itu tersenyum.

   "Saya hanya tahu bahwa nama pendekar itu Suma Ceng Liong dan memang kabarnya dia itu keluarga pendekar Pulau Es."

   "Omitohud, semoga Sang Buddha memberkahi anda untuk kedua kalinya! Terima kasih! Di mana rumah keluarga Suma itu?"

   "Tak jauh dari sini. Harap lo-suhu jalan saja lurus kalau melihat sebuah rumah gedung kuno di tepi jalan sebelah kanan, bercat kuning, itulah rumah mereka. Tak salah lagi karena tidak ada lagi rumah sebesar itu di dusun ini."

   Pendeta Lama itu lalu menjura dan pergi. Siapakah dia yang mengenal Suma Han, Pendekar Super Sakti Pulau Es? Sebetulnya mengenal sih tidak, akan tetapi sebagai seorang bertingkat tinggi di dunia persilatan, tentu saja dia pernah mendengar nama besar keluarga Pulau Es.

   Pendeta Lama ini bukan lain adalah Sai-cu Lama, pendeta pelarian dari Tibet yang kini menuju ke kota raja karena diam-diam dia sudah melakukan hubungan dengan pembesar tinggi Hou Seng di kota raja yang sedang merajalela di istana sebagai kekasih kaisar! Hubungan ini melalui seorang kenalan lamanya yang bernama Kim Hwa Nio-nio yang sekarang telah menjadi pembantu pembesar Hou Seng itu. Mendengar bahwa di dusun kecil itu terdapat keluarga Pulau Es, tentu saja hatinya tertarik sekali. Dengan langkah lebar dia lalu mencari rumah gedung besar kuno itu dan dapat menemukannya dengan mudah. Niatnya hanya hendak berkenalan dan melihat sendiri keadaaan keluarga yang terkenal di dunia persilatan itu, bahkan kalau mungkin menguji kepandaian Suma Ceng Liong itu, di samping ingin membuktikan apakah benar mereka itu demikian budiman suka menolong orang.

   Akan tetapi, ketika dia tiba di pekarangan depan, lapat-lapat telinganya mendengar bentakan-bentakan yang menunjukkan bahwa orang yang mengeluarkan bentakan itu memiliki khi-kang yang tinggi. Dia mengerahkan perhatiannya dan tahulah dia bahwa di kebun belakang rumah itu ada orang-orang yang sedang berlatih silat karena dia mendengar juga teriakan-teriakaan seorang anak perempuan yang nyaring sekali. Niatnya untuk mengetuk pintu dibatalkan dan dengan berindap-indap dia lalu berjalan menuju ke kebun belakang lewat samping rumah. Kalaupun ada orang di atas jalan depan rumah itu, tidak akan menaruh curiga sama sekali melihat seorang kakek berpakaian pendeta berkepala gundul berjalan di samping rumah itu menuju ke belakang.

   Rumah itu adalah rumah keluarga pendekar dan sudah sering menerima kunjungan orang-orang aneh. Bahkan nenek yang tinggal di situ, bagi orang umum juga sudah merupakan seorang yang berwatak aneh sekali. Ketika Sai-cu Lama mengintai ke dalam kebun dan melihat Suma Lian, sepasang matanya mengeluarkan sinar mencorong karena kagumnya. Anak perempuan itu hebat, pikirnya! Tepat seperti yang selama ini dicarinya. Sahabatnya di kota raja, Kim Hwa Nio-nio, berpesan kepadanya bahwa majikan mereka, yaitu calon perdana menteri Hou Seng yang menjadi "kekasih"

   Kaisar itu, suka sekali akan anak-anak perempuan yang mungil, yang berusia antara sepuluh sampai limabelas tahun. Dan anak perempuan ini sungguh memenuhi syarat. Usianya tentu baru duabelas atau tigabelas tahun,

   Dan memiliki wajah yang cantik manis, tentu akan menyenangkan hati pembesar Hou Seng kalau dibawanya dan dipersembahkannya sebagai "oleh-oleh"

   Kedatangannya. Andaikata pembesar itu tidak mau, lebih kebetulan lagi. Anak perempuan itu tepat untuk dirinya sendiri bukan, sama sekali bukan untuk menjadi mangsa nafsu berahinya seperti yang akan dilakukan pembesar Hou Seng itu, melainkan untuk dijadikan muridnya. Sudah lama dia mendambakan seorang calon murid yang baik anak perempuan ini memiliki bakat yang luar biasa. Anak sekecil itu sudah pandai menirukan gaya si nenek dalam ilmu tendangan yang demikian sulitnya. Apa lagi kalau diingat bahwa anak ini keturunan keluarga Pulau Es. Sungguh cocok menjadi muridnya dan tidak akan memalukan. Dia akan bangga kalau diketahui orang kelak bahwa muridnya adalah keturunan keluarga Pulau Es.

   Bukankah dahulu nama besar Hek-i Mo-ong juga terangkat naik karena dia mempunyai murid keturunan keluarga Pulau Es? Pernah dia melihat anak yang menjadi murid Hek-i Mo-ong itu. Kalau tidak salah, namanya pakai Liong begitu. Tiba-tiba dia terbelalak. Suma Ceng Liong, demikianlah nama pemilik rumah ini. Apakah bukan Suma Ceng Liong ini yang dulu pernah menjadi murid Hek-i Mo-ong? Dia masih muda ketika itu dan dia mendengar betapa nama besar Hek-i Mo-ong semakin menjulang tinggi. Kalau benar demikian, tentu anak ini ada hubungannya dengan Suma Ceng Liong. Mungkin puterinya! Wah, betapa bangga hatinya kalau sampai puteri Suma Ceng Liong menjadi muridnya! Dan kalau pembesar Hou Seng mau, pembesar itupun tentu akan merasa bangga dapat memperoleh anak perempuan dari keluarga besar itu! Pada saat itu, kembali nenek Teng Siang In memberi petunjuk.

   "Untuk melakukan tendangan jurus ke tiga yang datangnya dari atas, engkau lebih dulu harus menendangkan kaki kiri ke arah muka lawan sambil mengayun tubuhmu. Kalau tendangan itu tertangkis, tenaga tangkisan dapat kau sambut dan kau pinjam untuk melayangkan tendangan susulan dengan kaki kanan. Delapan bagian dari sepuluh tendangan ke dua itu pasti berhasil. Kalau dielakkan tendangan pertama, tubuhmu langsung mencelat ke atas terbawa tenaga tendangan dan ketika meluncur ke atas itulah engkau jungkir balik tiga kali agar cukup tinggi. Dari atas lalu engkau meluncur turun dengan kedua kaki bergantian menotok ke ubun-ubun dan ke tengkuk."

   "Wah, gerakan itu amat sukar, nek!"

   Suma Lian yang sudah mulai lelah itu mengeluh. Nenek itu bertolak pinggang dan memandang cucunya dengan marah. Ia menyayang dan memanjakan Suma Lian, akan tetapi dalam hal melatih silat, ia memang keras sekali.

   "Apa? Baru begitu saja engkau mengeluh, ingat, engkau ini Suma Lian, jangan merendahkan dan membikin malu nama keluarga Suma dengan keluhan! Keluarga kita tak pernah mengeluh menghadapi kesukaran yang bagaimanapun juga! Tahu?"

   Sudah menjadi watak Suma Lian, kalau dihadapi dengan kekerasan, iapun memperlihatkan sikap keras. Ia hanya memandang wajah neneknya dengan mata tajam menentang dan mulut cemberut!bMelihat sikap cucunya ini, hati nenek itu menjadi luluh. Ia sendiri dahulu terkenal sebagai seorang wanita yang keras hati dan keras kepala, juga kekerasan hatinya itu menurun kepada Suma Ceng Liong. Agaknya kini diwarisi pula oleh cucunya ini. Nenek itu teringat bahwa menghadapi Suma Lian dengan kekerasan sama saja dengan mencari lawan! Ia lalu tersenyum dan merangkul cucunya.

   "Cucuku yang manis, ilmu silat keluarga kita tidaklah mudah untuk melatihnya, harus tekun dan untuk itu kadang-kadang nenekmu ini harus menggunakan gemblengan keras kepadamu. Mengertikah engkau?"

   Suma Lian juga sudah luluh kekerasan hatinya melihat senyum neneknya.

   "Aku mengerti, nek. Akan tetapi aku tadipun tidak mengeluh, hanya mengatakan yang sebenarnya bahwa gerakan itu amat sukar. Cobalah beri contoh lagi kepadaku, nek."

   "Baik, kau lihat baik-baik, cucuku!"

   Dengan teriakan melengking nenek itu lalu menendangkan kaki kirinya ke depan, dan tubuhnya terus melayang ke udara karena tendangan itu tidak ada yang menyambut, seperti dielakkan lawan dan tubuh itu membuat jungkir balik ke atas sampai lima kali, hal yang sungguh sukar untuk dilakukan. Kemudian, bagaikan seekor burung garuda yang turun menyambar korbannya, tubuh itu meluncur ke bawah dan kedua kakinya bergerak melakukan tendangan-tendangan beruntun ke arah ubun-ubun dan tengkuk lawan yang tidak ada!

   "Nah, sudah jelaskah sekarang, Suma Lian? Heiii, di mana engkau....?"

   Nenek itu tidak melihat cucunya di tempat tadi dan tiba-tiba ia melihat berkelebatnya bayangan orang yang tinggi besar meloncat keluar dari pagar tembok.

   Dengan hati penuh kecurigaan karena setelah memandang ke sekeliling ia tidak melihat cucunya, nenek itu lalu melakukan pengejaran dan mengerahkan seluruh kepandaian ilmu gin-kangnya yang membuat tubuhnya meluncur cepat sekali seperti terbang saja, keluar dari kebun itu meloncati pagar tombok. Ternyata bayangan itu sudah jauh dan menuju ke luar dusun! Maklumlah nenek Teng Siang In bahwa si tinggi besar yang dari belakang mengenakan jubah lebar itu memiliki ilmu berlari cepat yang hebat. Hatinya menjadi semakin curiga dan gelisah jangan-jangan orang itu tadi ketika ia melakukan gerakan silat untuk memberi contoh kepada cucunya, telah turun tangan menangkap dan menculik cucunya. Mungkin saja hal itu terjadi karena ketika tubuhnya meluncur dan berjungkir balik lima kali di udara,

   Banyak kesempatan terbuka bagi orang yang berilmu tinggi untuk menculik cucunya. Iapun mempercepat larinya, akan tetapi sampai ia jauh meninggalkan dusun, jarak antara ia dan orang itu masih sama saja. Ia belum juga berhasil menyusul kakek itu. Kini ia dapat menduga bahwa orang yang lari cepat di depan itu adalah seorang kakek gundul tinggi besar yang berjubah, agaknya seorang hwesio. Memang tepat dugaan nenek Teng Siang In. Ketika ia meloncat tinggi tadi, Sai-cu Lama mempergunakan kesempatan itu untuk melayang dan menyambar tubuh Suma Lian sambil menotok anak itu pada tengkuknya, membuat anak itu lemas dan tidak mampu mengeluarkan suara! Dan diapun terus melompat dan melarikan diri karena dia maklum bahwa nenek itu tentu seorang keluarga Pulau Es yang lihai sekali.

   Dia mengerahkan seluruh tenaga untuk melarikan diri, akan tetapi tiap kali dia menoleh, nenek itu tetap berada di belakangnya melakukan pengejaran, tak pernah tertinggal jauh! Hal ini membuat hati Sai-cu Lama menjadi penasaran dan timbullah keinginannya untuk menguji kepandaian nenek itu. Tidak mungkin dia kalah oleh seorang nenek, walaupun nenek itu keluarga pendekar Pulau Es sekalipun! Dia lalu mempergunakan tali jubahnya untuk mengikat tubuh Suma Lian di atas punggungnya sambil menanti datangnya nenek itu yang berlari cepat mengejarnya. Akhirnya mereka berhadapan dan saling pandang penuh perhatian. Hati nenek Teng Siang In merasa lega melihat betapa cucunya yang terikat di punggung pendeta itu dalam keadaan sehat walaupun tak mampu bergerak atau bersuara, agaknya tertotok jalan darahnya.

   Dapat dibayangkan betapa marahnya nenek Teng Siang In yang berwatak galak dan keras itu. Sepasang matanya mencorong memandang wajah kakek itu dengan teliti seperti hendak mengenal siapa adanya manusia yang berani sekali menculik cucunya begitu saja di bawah hidungnya! Hal itu dianggapnya sebagai suatu tantangan yang kurang ajar sekali. Dengan sepasang matanya yang masih awas ia memandang penuh ketelitian dan akhirnya ia yakin bahwa selamanya ia belum pernah bertemu dengan pendeta Lama yang berusia enampuluhan tahun, tinggi besar berperut gendut, berkepala gundul akan tetapi mukanya menyeramkan seperti muka seekor singa itu. Setelah puas meneliti, ia lalu membentak,

   "Sebelum aku turun tangan membunuhmu, katakan dulu siapa engkau ini dan mengapa berani menculik cucuku!"

   "Omitohud....!"

   Sai-cu Lama sejak tadi memandang nenek itu dengan mata terbelalak penuh pesona. Bukan main wanita ini, pikirnya. Biarpun sudah nenek-nenek, akan tetapi tubuhnya masih begitu langsing dan padat, dan wajahnya masih membayangkan kecantikan walaupun rambutnya sudah banyak yang memutih. Seorang wanita cantik yang gagah!

   "Omitohud apa! Orang macam engkau ini hanya pakaiannya saja pendeta, hanya kepalanya saja gundul, akan tetapi watakmu persis seperti mukamu yang menyeramkan dan penuh kekejaman itu. Hayo, jawab siapa engkau sebelum kau mampus tanpa nama!"

   "Omitohud.... belum pernah pinceng (aku) menemui yang sehebat ini. Kau malah lebih hebat dari cucumu ini, sayang sudah tua."

   "Keparat jahanam, engkau memang ingin mampus tanpa nama!"

   Bentak Teng Siang In dan ia sudah menerjang dengan hebatnya.

   Terjangan nenek ini memang dahsyat, karena ia telah mengirim pukulan yang disambung tendangan bertubi-tubi, tendangan-tendangan dengan ujung kaki, hanya menggunakan sedikit saja tenaga, akan tetapi penuh tenaga sin-kang dan ujung sepatunya itu, keduanya berputar-putar menuju ke arah tigabelas jalan darah terpenting dari tubuh depan Sai-cu Lama! Bukan main kagetnya Sai-cu Lama menghadapi serangan sedahsyat itu. Dia sampai mengeluarkan teriakan kaget ketika menangkis dan mengelak sambil terhuyung ke belakang. Dia tidak berani membalikkan tubuh karena maklum bahwa nenek itu memang sengaja menyerangnya dengan demikian cepat dan dahsyat dan sekali saja dia memutar tubuh, tentu anak yang sudah digendongnya itu akan terampas kembali! Maka dia terpaksa menangkis sambil berloncatan mundur dan terhuyung-huyung. Kagetlah kakek ini. Nenek itu sungguh sama sekali tak boleh dipandang ringan.

   "Haiiittt....!"

   Tiba-tiba dia berteriak dan tangan kanannya mendorong ke depan penuh dengan tenaga sin-kang yang amat kuat. Memang, satu di antara keampuhan kakek gendut ini adalah tenaga sin-kangnya yang mampu menyerang orang dari jarak jauh. Tenaga sin-kang yang dibarengi dengan tenaga hitam dari Tibet. Dari telapak tangannya itu, selain menyambar hawa pukulan yang amat dahsyat, juga nampak uap hitam mengepul dan menyambar ke arah muka Teng Siang In. Akan tetapi nenek itu tertawa.

   "Heh-heh, pendeta palsu, aku akan menghilang dari depanmu dan menghancurkan kepalamu!"

   Nenek itu menggerakkan tangannya dan tiba-tiba lenyap dari pandang mata Sai-cu Lama!

   Kakek ini tentu saja kaget bukan main. Cepat dia mencabut Ban-tok-kiam dan memutar pedang itu dengan tangan kanannya, melindungi tubuhnya dengan sinar pedang yang bergulung-gulung membentuk benteng menyelimuti dirinya dan diam-diam dia mengerahkan tenaga batinnya untuk melawan ilmu sihir nenek itu. Dan mulai nampaklah nenek itu dari sebelah kiri, siap untuk menghantam kepalanya, akan tetapi terhalang oleh sinar pedangnya. Untung dia mempunyai Ban-tok-kiam yang belum lama ini dirampasnya dari gadis itu. Kalau tidak, jangan-jangan hari ini adalah hari ajalnya karena kalau tadi nenek itu benar-benar menghantam kepalanya sebelum dia dapat melihatnya, sukar baginya untuk menyelamatkan dirinya.

   "Omitohud, kiranya engkau siluman betina....!"

   Bentak Sai-cu Lama dengan marah dan dia sama sekali tidak berani memandang rendah lagi, cepat mengirim serangan dengan tusukan Ban-tok-kiam ke arah dada nenek itu. Nenek Teng Siang In meloncat jauh ke belakang sambil berjungkir balik dan iapun terbelalak melihat pedang itu.

   "Ban-tok-kiam....! Bagaimana bisa jatuh ke tanganmu? Siapakah engkau ini, pendeta Lama busuk?"

   Bentaknya dengan terheran-heran. Tentu saja ia mengenal Ban-tok-kiam, senjata pedang pusaka yang amat terkenal itu, milik isteri dari Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir! Kenapa tiba-tiba saja berada dalam tangan hwesio ini dan apa hubungan pendeta Lama ini dengan nenek Wan Ceng, isteri dari pendekar Kao Kok Cu di Istana Gurun Pasir?

   "Ha-ha-ha, anggap saja pinceng ini Giam-lo-ong (Raja Akhirat) yang datang untuk mencabut nyawamu, nenek cantik!"

   Kata Sai-cu Lama dan dia memutar lagi Ban-tok-kiam lalu menerjang maju dengan dahsyatnya. Nenek Teng Siang In tak pernah membawa senjatanya. Ilmu silatnya cukup tinggi dan ditambah ilmu sihirnya, tanpa senjatapun ia dapat melindungi dirinya dengan baik. Akan tetapi sekarang ia bertemu dengan seorang lawan tangguh, maka cepat ia menyambar sebatang ranting dan berteriak sambil memutar rantingnya,

   "Lihat baik-baik jimatku Naga Terbang ini!"

   Kembali Sai-cu Lama terbelalak ngeri melihat betapa tiba-tiba saja nenek itu memegang seekor naga pada ujungnya dan naga itu beterbangan hendak menyambar dirinya.

   "Omitohud....!"

   Kakek itu berseru dan kembali dia melindungi dirinya dengan Ban-tok-kiam yang dipakai melindungi tubuhnya, sambil mengerahkan tenaga diapun mengumpulkan kekuatan batinnya dan lambat laun tampaklah olehnya bahwa nenek itu hanya menyerang dengan setangkai ranting pohon yang sama sekali tidak mampu menembus benteng gulungan sinar pedangnya.

   "Ha-ha-ha-ha, kiranya engkau ini hanya tukang sulap yang biasa menjual obat di pasar...."

   Akan tetapi terpaksa dia menghentikan ejekannya dan mengelak cepat ketika tiba-tiba nenek itu menusukkan ujung rantingnya ke arah kerongkongannya disusul serangkaian tendangan yang mengarah kedua kakinya. Cepat dia memutar pedang Ban-tok-kiam ke bawah dan terpaksa nenek itu mundur lagi. Mulai khawatirlah nenek Teng Siang In. Lawan ini terlalu tangguh, tak dapat ditundukkannya dengan ilmu sihir, dan terutama sekali pedang Ban-tok-kiam ini membuatnya menjadi repot. Pedang itu mengeluarkan hawa yang menyeramkan dan di tangan seorang sakti seperti pendeta Lama itu, baru sinar pedang itu saja sudah dapat membunuh lawan karena pedang itu mengandung racun-racun yang amat jahat, sesuai dengan namanya, yaitu Ban-tok-kiam (Pedang Selaksa Racun)! Menyesallah ia mengapa tadi di kebun ia tidak berteriak.

   Kalau sekarang ada puteranya dan mantunya, tentu mereka bertiga akan mampu mengalahkan kakek ini. Akan tetapi, nenek Teng Siang In sejak mudanya bukan merupakan orang yang mudah menyerah. Dengan gigih ia mempertahankan diri dan beberapa kali dapat menyelamatkan dirinya melalui ilmu sihirnya, sedangkan Sai-cu Lama dapat menyelamatkan diri karena di tangannya terdapat Ban-tok-kiam yang benar-benar amat ampuh itu. Dan karena memang Sai-cu Lama merupakan seorang ahli silat kelas tinggi yang juga mempelajari ilmu hitam, maka diapun memiliki kekuatan batin yang mampu menangkis serangan-serangan ilmu sihir dari nenek itu. Akan tetapi, andaikata tidak ada Ban-tok-kiam di tangannya, belum tentu kalau nenek itu terdesak walaupun ilmu silatnya kalah tinggi karena ilmu sihirnya benar-benar membuat Sai-cu Lama kadang-kadang kebingungan.

   "Lumpuhlah kau! Kakimu keduanya lemas dan lumpuh, hayo berlutut di depan nenekmu!"

   Bentakan-bentakan semacam ini membuat Sai-cu Lama kebingungan karena dia benar-benar merasa kakinya seperti akan lumpuh! Kalau saja tidak memutar pedang Ban-tok-kiam, tentu dengan mudah dia terkena serangan ranting yang di tangan nenek itu berubah lihai sekali. Kemudian, dengan pengerahan tenaga batinnya, dia mampu mempertebal diri, atau setidaknya tidak begitu hebat terpengaruh oleh bentakan-bentakan nenek itu.

   "Ha-ha-ha, nenek siluman, sebentar lagi engkau akan mampus. Sekali saja tubuhmu tergores Ban-tok-kiam, selaksa racun akan mengalir dalam darahmu dan engkau akan mampus dengan muka hitam, mata melotot dan mulut ternganga. Ha-ha, engkau akan benar-benar menjadi setan karena tubuhmu akan hangus semua!"

   "Jahanam busuk lepaskan cucuku!"

   Dengan nekat nenek Teng Siang In maju lagi dan menyerang dengan ilmu tendangannya yang sakti. Dengan Soan-hong-twi, tubuhnya seperti berpusing dan kakinya seperti berubah menjadi puluhan banyaknya, menendang dari sana-sini mengarah bagian-bagian tubuh yang berbahaya. Tentu saja ia membahayakan diri sendiri karena yang diserangnya adalah seorang yang sakti seperti Sai-cu Lama yang memang sudah tinggi tingkat kepandaiannya. Bahkan ketika kakek itu tiba-tiba menghadapi tendangan dari samping, secara mendadak dia memutar tubuh dan memberikan punggungnya untuk menangkis tendangan!

   "Ayaaa!"

   Nenek Teng Siang In menjerit karena terkejut. Tendangannya itu kini menuju ke arah kepala cucunya sendiri! Tentu saja hal itu tidak dikehendaki oleh nenek itu dan dalam keadaan yang demikian berbahaya bagi keselamatan cucunya, ia masih mampu melempar diri ke kanan, menjatuhkan diri ke atas tanah dan bergulingan. Akan tetapi sebelum ia melompat berdiri, tiba-tiba ia merasa pahanya perih dan panas dan ketika kembali ia meloncat ke belakang dan melihat, ia terkejut sekali karena celananya robek sedikit dan berdarah. Sementara itu, lawannya berdiri sambil mengacungkan pedangnnya dan tertawa bergelak.

   "Ha-ha-ha, racun sudah mulai memasuki tubuhmu, nenek cantik! Engkau akan mampus!"

   Nenek Teng Siang In terkejut, cepat ia melihat pahanya dan memang benar, pahanya telah terluka. Ia maklum bahwa sukar menyelamatkan nyawanya lagi. Akan tetapi yang penting bukanlah nyawanya, melainkan keselamatan cucunya, maka dengan nekat, tanpa memperdulikan kenyataan bahwa dirinya telah terluka oleh Ban tok-kiam, nenek Teng Siang In menubruk lagi dan menyerang dengan tendangan-tendangan, pukulan-pukulan dan cakaran-cakaran maut. Melihat kenekatan ini, Sai-cu Lama kagum juga. Kalau saja nenek ini masih muda, tentu dia sendiri akan sayang membunuhnya, lebih baik diambil isteri atau murid atau pembantu! Akan tetapi, dia harus cepat menghabisi nenek ini agar dapat cepat pergi karena kalau sampai keluarga pendekar Suma mengetahui dan dapat menyusul ke sini, dia akan celaka.

   Ngeri juga dia membayangkan kelihaian mereka. Baru nenek ini saja begitu tangguh, apa lagi para pendekarnya yang masih muda. Akan tetapi, baru saja dia memutar pedang hendak memperhebat desakannya, tiba-tiba saja berkelebat bayangan biru dan sebuah tendangan yang mengeluarkan angin pukulan berat telah menyambar ke arah punggung Sai-cu Lama. Akan tetapi kakek ini dapat menghindarkan dirinya dan membabat dengan Ban-tok-kiam sehingga si baju biru yang bermaksud merampas anak perempuan di punggung kakek itu terpaksa menarik kembali tangannya. Ternyata pemuda itu adalah Gu Hong Beng! Seperti telah kita ketahui ketika kakek Sai-Cu Lama merampas Ban-tok-kiam dari tangan Bi Lan,

   Hong Beng juga melihatnya bahkan sempat mengeroyok kakek yang tangguh itu. Kemudian setelah cintanya ditolak oleh Bi Lan, apa lagi sesudah dia menerima teguran keras dari Bi Lan karena cemburunya terhadap Kun Tek, dengan hati sedih dia lalu melanjutkan perjalanannya, untuk memenuhi perintah gurunya, yaitu melakukan penyelidikan ke kota raja tentang pembesar bernama Hou Seng yang kabarnya merajalela di istana dan membuat kaisar yang semakin tua itu menjadi seperti boneka. Sesuai dengan petunjuk suhunya, dia lalu pergi mencari keluarga Suma Ceng Liong di dusun Hong-cun dan kebetulan sekali di tengah perjalanan, dia melihat perkelahian itu. Hong Beng tidak mengenal siapa nenek itu, tidak mengenal pula anak perempuan yang nampak lemas terikat di punggung si kakek iblis Sai-cu Lama yang sudah dikenalnya.

   Melihat keadaan nenek itu yang sudah terluka pahanya akan tetapi masih dengan ma-ti-matian berusaha merampas anak perempuan itu, tanpa tanya lagi Hong Beng tentu saja segera berpihak kepada si nenek yang tak dikenalnya. Dia tahu bahwa Sai-cu Lama amat jahat, maka tentu lawannya bukan orang jahat. Apa lagi nenek itu terdesak hebat dan berada dalam keadaan berbahaya, maka dia pun sekali turun tangan sudah bermaksud merampas anak perempuan itu. Sayang usahanya gagal karena memang Sai-cu Lama hebat sekali kepandaiannya. Teng Sian, In, sejak mudanya, berwatak angkuh. Apa lagi ia tahu bahwa Lama yang menjadi lawan-nya itu hebat bukan main kepandaiannya. Ia tidak ingin ada orang membantunya untuk kemudian mati konyol. Ia tidak mau orang mati karena membantunya.

   "Orang muda, aku tidak butuh bantuan-mu. Pergilah sebelum mati konyol oleh jahanam busuk ini!"

   Teriaknya dan ia masih menyerang lagi dengan tendangan-tendangan ampuhnya.

   "Sai-cu Lama ini masih ada urusan dengan aku juga, nek!"

   Kata Hong Beng dan diapun sudah menyerang lagi dan kini bersilat dengan Ilmu Hong-in Bun-hoat! Biarpun dia bertangan kosong, namun kedua tangannya itu bergerak-gerak aneh, seperti orang menulis di udara, akan tetapi setiap "coretan"

   Merupakan serangan yang amat ampuh dan menda-tangkan hawa dingin seperti es! Bukan hanya Sai-cu Lama yang terkejut melihat hebatnya serangan pemuda ini, akan tetapi nenek Teng Siang In terkejut dan girang, juga heran.

   "Hong-in Bun-hoat! Kau murid siapa?"

   Tanyanya sambil membentak dan menyerang lagi.

   "Guru saya bernama Suma Ciang Bun...."

   "Aihh! Dia keponakanku! Mari kita hancurkan pendeta palsu ini dan rampas kembali cucuku!"

   Mendengar seruan nenek ini, bukan main girang rasa hati Hong Beng, akan tetapi selain girang juga dia marah kepada kakek pendeta Lama itu. Nenek ini masih bibi dari gurunya! Kalau begitu tentu nenek ini ibu dari Suma Ceng Liong!

   "Baik....!"

   
Suling Naga Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Dan diapun kini cepat mengerahkan tenaga sin-kang yang dilatihnya dari gurunya, tenaga sin-kang yang bersumber dari Soat-im Sin-kang dan Hui-yang Sin-kang, dua tenaga yang mengandung hawa dingin seperti salju dan panas seperti api. Akan tetapi, dia belum dapat menyatukan dua unsur tenaga sinkang ini, bahkan gurunya sendiri belum mencapai tingkat itu. Dia hanya dapat mempergunakan salah satu saja, yang panas atau yang dingin. Namun, itupun sudah hebat karena dia sudah menguasai hampir setengah bagian dari kedua ilmu pengerahan tenaga sakti itu! Apa lagi dia sudah menguasai beberapa ilmu aseli dari Pulau Es dan kini dia mengubah gerakannya dan bersilat dengan Ilmu Silat Siang-mo Kun-hoat. Ilmu ini sebenarnya adalah ilmu pedang dari Pulau Es yang bernama Siang-mo Kiam-sut dan mempergunakan sepasang pedang. Akan tetapi oleh Suma Ciang Bun, berdasarkan gerakan-gerakan ilmu pedang ini,

   Dia mengajarkan ilmu silat tangan kosong kepada muridnya itu yang diberi nama Siang-mo Kun-hoat (Ilmu Silat Sepasang Iblis). Bukan sepasang pedang yang dipergunakan, melainkan sepasang kaki dan tangan. Dia mempergunakan ilmu silat ini yang sifatnya lebih keras dan agresip dibandingkan Hong-in Bun-hoat yang halus dan benar saja, setelah memainkan ilmu silat ini, dibantu oleh nenek Teng Siang In yang masih menyerang dengan tendangan-tendangan mautnya, Sai-cu Lama terdesak mundur! Hong Beng seorang pemuda yang cerdik. Dia tahu bahwa selama pedang yang ampuh dan mengandung racun berbahaya itu masih berada di tangan Sai-cu Lama, maka akan sukarlah bagi dia dan nenek itu untuk dapat merampas kembali cucu perempuan nenek itu.

   Dan kini nampak betapa nenek itu sudah berkurang kecepatannya, agaknya racun dari luka itu sudah mulai menyerangnya. Hong Beng pernah mempelajari penggunaan jarum-jarum halus sebagai senjata rahasia. Memang jarum halus berbau harum merupakan senjata rahasia gurunya yang amat lihai. Akan tetapi Hong Beng tidak suka menyimpan senjata rahasia seperti itu. Selain sifatnya tidak cocok dengan kejantanannya, karena merupakan jarum yang biasa dipakai wanita, juga dia berjiwa pendekar, tidak enak rasa hatinya kalau mempergunakan senjata gelap dalam perkelahian. Kini dia merasa bahwa penggunaan senjata rahasia amat penting, bukan untuk merobohkan lawan yang terlalu tangguh untuk diserang dengan senjata rahasia itu, melainkan untuk membebaskan cucu perempuan nenek itu dari pengaruh totokan.

   Dia percaya bahwa biarpun usianya baru kurang lebih duabelas tahun, sebagai anak keturunan pendekar Pulau Es, anak itu tentu juga pandai silat. Dan kalau ia dapat dibebaskan, dengan kedua tangan bebas dan berada di punggung kakek itu, siapa tahu anak perempuan itu dapat membantu banyak! Pikiran inilah yang membuat Hong Beng melakukan serangan dengan tendangan kedua kaki sambil bergulingan. Namanya saja Ilmu Sepasang Iblis, tentu saja kadang-kadang kasar sekali dan bergulingan. Ketika bergulingan inilah Hong Beng sudah mencengkeram kerikil-kerikil tanpa diketahui lawan. Mereka berdua masih berusaha mendesak terus dan tiba-tiba, setelah melihat kesempatan baik, kedua tangan Hong Beng bergerak-gerak ke depan menyambitkan batu kerikil-kerikil kecil ke arah Suma Lian di punggung kakek itu.

   Sai-cu Lama melihat ini dan hampir dia tertawa melihat sambitan-sambitan batu kerikil. Selain batu-batu itu tidak akan melukai tubuhnya yang kebal, juga sambitan-sambitan itu menyeleweng dari sasaran, menuju ke belakang tubuhnya. Dia tidak tahu bahwa dua di antara batu-batu kecil itu dengan tepat mengenai jalan darah di tengkuk dan pundak Suma Lian dan gadis cilik ini sudah mampu bergerak lagi. Suma Lian juga seorang anak yang cerdik bukan main. Biarpun seketika ia dapat bergerak dan mengeluarkan suara, namun ia diam-diam saja, tidak bergerak dan tidak mengeluarkan suara. Akan tetapi jari-jari tangannya merayap ke arah rambutnya dan dari situ, jari-jari tangan itu mengambil sebuah jepit penusuk rambut terbuat dari emas yang berujung runcing! Ia lalu berpikir-pikir. Pernah ia mempelajari anatomi dari ayahnya, letak-letak otot dan jalan darah,

   Akan tetapi ia belum mempelajari bagian-bagian mana dari tubuh belakang yang paling lemah. Karena itu, ia hanya berpikir bahwa tengkuk yang gemuk itu tentu merupakan pusat dan akan melumpuhkan kakek iblis ini kalau ia dapat menusukkan benda itu dengan tepat. Ia lalu memandang tengkuk yang terbuka itu. Penuh daging dan gajih, seperti punuk babi! Ihh, hampir saja bergidik karena jijik. Akan tetapi sasaran itu amat mudah, tinggal mengangkat dan menusukkan benda runcing itu saja. Ia mengangkat tangan kanannya yang sudah memegang benda itu. Hal ini tidak diketahui oleh Sai-cu Lama. Dalam keadaan biasa, tentu dia akan mengetahuinya, akan tetapi pada saat itu, pemuda berpakaian serba biru itu mendesak dan menyerangnya seperti orang kesetanan, sedangkan nenek itu, yang sudah mulai lemah, tiba-tiba berteriak,

   "Sai-cu Lama, kau lihat baik-baik jimatku!"

   Dan nenek ini menggerak-gerakkan tangannya. Usaha kedua orang ini tentu saja untuk membantu Suma Lian. Keduanya sudah melihat betapa gadis cilik itu mengangkat tangan. Dengan sepasang mata tak pernah terlepas dari tengkuk yang gemuk itu, Suma Lian tiba-tiba menusukkan benda runcing itu pada tengkuk yang gendut.

   "Crottt....!"

   "Aduhhhh....!"

   Kedua tangan Suma Lian tiba-tiba menjadi lemas dan ia tidak mampu lagi menusuk terus, karena ketika benda itu, menembus kulit gajih dan daging, darah muncrat-muncrat dan anak perempuan itu merasa jijik akan tetapi juga timbul rasa kasihan dan tidak tega!

   Bagaimana mungkin ia terus menusukkan benda runcing ke dalam tengkuk gendut itu, yang mirip perut orok? Hampir ia pingsan ketika darah itu muncrat dan sebagian mengenai pipinya, sehingga ia terkulai kembali tanpa dapat menghindar ketika tangan kanan kakek itu menggunakan gagang pedang mengetuk kepalanya. Cukup keras untuk membuat gadis cilik itu roboh pingsan! Sai-cu Lama telah terluka. Biarpun tidak terlalu dalam, akan tetapi dia semakin khawatir. Gadis cilik ini saja demikian lihai. Kalau datang seorang lagi saja, dia akan celaka! Maka, dia memutar Ban-tok-kiam sedemikian rupa sehingga kedua orang lawannya terpaksa berloncatan ke belakang. Kesempatan ini dipergunakan olehnya untuk meloncat jauh ke belakang lalu melarikan diri secepatnya! Hong Beng berseru marah,

   "Kakek jahat, hendak lari ke mana?"

   Dia meloncat dan hendak mengejar, akan tetapi terdengar suara lemah,

   "....jangan.... kejar...."

   Dia menoleh dan melihat nenek itu terguling roboh! Teringatlah Hong Beng bahwa nenek itu sudah terluka parah. Maka diapun cepat meloncat menghampiri dan berlutut di dekat tubuh nenek itu.
(Lanjut ke Jilid 17)
Suling Naga (Seri ke 13 - Serial Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 17
"Bagaimana baiknya, locianpwe....?"

   

Kisah Pendekar Pulau Es Eps 15 Kisah Pendekar Pulau Es Eps 36 Kisah Pendekar Pulau Es Eps 37

Cari Blog Ini